Powered By Blogger

Jumat, 20 September 2013

TAZKIYATUN NAFS


Mentransformasikan Takbir dalam Kehidupan Kita


Tiada arti bagi takbir yang diucapkannya bila yang diterapkan dan di junjung tinggi adalah yang diberikan loyalitas adalah hukum buatan manusia
null
Hanya Allah Subhanahu Wata'ala yang kita besarkan, bukan yang lain
Oleh: Shalih Hasyim
Allah Subhanahu Wa ta’ala berfirman :
وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“supaya kalian menyempurnakan bilangan (shaum Ramadlan) dan supaya kalian mengagungkan Allah atas hidayah yang Dia berikan kepada kalian, serta supaya kalian bersyukur.” [QS. Al Baqarah (2) : 185].
SEMINGGU ini gema takbir dikumandangkan. Inilah hari raya setelah kaum Muslimin berbuka dari ibadah shaum Ramadlan. Ied adalah perayaan yang selalu berulang, sedangkan Al Fithr adalah berbuka dari shaum. Jadi ‘Idul Fithri adalah hari raya yang selalu berulang yang dilakukan setelah berbuka dan selesai menunaikan shaum Ramadlan.
Setelah Allah ta’ala menjelaskan pensyari’atan kewajiban shaum Ramadlan dan kewajiban mengqadla atas orang yang tidak shaum karena sakit, musafir, hamil, dan menyusui dan yang serupa itu.
Ayat diatas memberikan arahan kepada kita agar  sempurna shaum kalian sebulan penuh dan supaya kalian memuji Allah ta’ala dengan mengagungkannya dalam bentuk takbir dan dzikir di akhir ibadah shaum kalian. Perintah dzikrullah ini bukan hanya setelah selesai ibadah shaum, akan tetapi setelah selesai setiap ibadah, di mana setelah ibadah shalat jum’at Allah ta’ala memerintahkan untuk dzikrullah, sebagaimana firman-Nya :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا
“Kemudian bila telah ditunaikan shalat (jum’at), maka bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah dari karunia Allah serta mengingatlah Allah dengan banyak.” [QS. Al Jum’ah (62) : 10]
Begitu juga sehabis ibadah haji, Dia berfirman :
فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُواْ اللّهَ
“Kemudian bila kalian telah menunaikan manasik (haji) kalian, maka kalian mengingatlah Allah….” [QS. Al Baqarah (2) : 200]
Begitu juga sehabis shalat fardlu, Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata :
ماكنا نعرف انقضاء صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا بالتكبر
“Kami tidak mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam kecuali dengan takbir.” [HR Al Bukhari]
Para ulama dari ayat “dan supaya kalian mengagungkan Allah…” ini mengambil kesimpulan pensyari’atan takbir di hari raya Iedul Fthri, sedang waktunya adalah mulai dari maghrib 1 Syawal sampai imam memulai melaksanakan shalat Ied.
Takbir اللّهَ اكبر adalah ungkapan pengagungan Allah yang harus muncul dari lubuk hati yang sangat dalam. Di mana takbir adalah pengakuan hati bahwa Allah itu Maha Agung lagi Maha Besar dari segalanya, diikrarkan dengan lisan serta pengakuan itu dibuktikan di dalam praktek kehidupan. Tapi bila di dalam prakteknya ternyata ada hal lain yang lebih didahulukan dan lebih dipentingkan daripada Allah ta’ala dan hukum-Nya, maka sesungguhnya ikrar takbir yang diucapkan dengan lisan itu adalah dusta dan hanya hiasan mulut semata.
Allahu Akbar jika dikumandangkan akan melahirkan keimanan yang kuat. Alangkah kecil, ilmu, harta, kekuasaan dan pengaruh yang kita miliki. Subhanallah, Maha Suci Allah. Bukankah kita seringkali tidak mampu memelihara kebersihan hati, pikiran, mulut, dan anggota tubuh dari maksiat. Al-Hamdulillah, alangkah banyaknya karunia Allah  yang diberikan kepada kita. Sudahkah nikmat itu kita optimalkan untuk mengabdi kepada-Nya !.
Allah Maha Agung… Allah Maha Besar… Dia lebih besar daripada anak dan isteri, oleh sebab itu Ibrahim ‘alaihissalam meninggalkan isterinya Hajar dan puteranya yang masih bayi yaitu Ismail di lembah yang kering kerontang yang tidak ada air lagi tidak ada tanaman, dikarenakan Allah ta’ala yang memerintahkannya. Di dalam Shahih Al Bukhari: Hajar bertanya kepada Ibrahim: “Apakah Allah yang telah memerintahkan engkau dengan hal ini? Ibrahim ‘alaihissalam menjawab: Ya”. Maka Hajar dengan penuh keyakinan mengatakan: “Kalau begitu, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Ini adalah contoh realisasi ucapan takbir, di mana perintah Allah ta’ala didahulukan walaupun harus meninggalkan anak isteri yang sangat dicintai, begitu pula saat jihad sudah menjadi fardlu ‘ain pada kondisi seperti sekarang, maka bukti kongkrit takbir yang diucapkan di dalam shalat pada setiap gerakan adalah orang muslim keluar berjihad meninggalkan anak isteri….Allahu Akbar….
Kisah Siti Hajar
Aplikasi mentakbirkan Allah Subhanahu Wata’ala ada pada  SIti Hajar. Beliau adalah contoh di dalam sikap seorang wanita Muslimah, di mana ia menerima keputusan Ibrahim ‘alaihissalam tercinta untuk meninggalkannya, karena itu adalah perintah Allah ta’ala, sedangkan Allah dan perintah-Nya adalah lebih besar daripada Ibrahim suaminya, dan ia yakin bahwa Allah ta’ala tidak akan menyia-nyiakannya.
Begitulah seharusnya wanita Muslimah bersikap saat suaminya memenuhi panggilan kewajiban jihad, dia jangan khawatir, dan jangan menghalang-halangi suaminya dari menunaikan kewajiban bila takbir yang selalu dia ucapkan di dalam shalatnya itu benar lagi jujur… اللّهَ اكبر
Begitulah makna takbir اللّهَ اكبر ini dibuktikan oleh para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, di mana mereka pergi jauh berbulan-bulan bahkan ada yang tidak pulang lagi meninggalkan anak isteri mereka di dalam menunaikan perintah Allah berjihad menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini. Para sahabat dan generasi salaf melakukan hal ini dan para isteri mereka pun rela dan tulus ikhlas sepenuh hati menerima hal itu, ini dikarenakan makna اللّهَ اكبر terpancang di dalam jiwa mereka.
Namun banyak realitas kaum muslimin yang berat meninggalkan isteri mereka dan begitu pula para isteri menghalangi para suami mereka dari pergi jihad yang sudah fardlu ‘ain, padahal ucapan takbir selalu mereka lantunkan, maka apakah sseperti itu bukti kongkritnya? Yang ada malah wujud الحب اكبر (Cinta Maha Besar?!!!).. Aku tak bisa hidup tanpa dirimu di sisiku!!!? Yang menghantarkan orang itu pada posisi fasiq di dalam surat (At Taubah (9) : 24).
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “Bila bapak-bapak kamu, anak-anak kamu, saudara-saudara kamu, isteri-isteri kamu, karib kerabat kamu, harta-harta yang kamu usahakan dan perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya serta tempat-tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan urusan-Nya. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang fasiq.” [QS. At Taubah (9) : 24].
Allah Maha Besar…Allah lebih besar dari anak kita, oleh sebab itu jangan sampai kecintaan kepadanya menjadi penghalang di dalam menjalankan perintah Allah ta’ala. Perhatikanlah makna اللّهَ اكبر yang terpatri di dalam jiwa Ibrahim ‘alaihissalam tatkala diperintahkan Allah untuk menyembelih putera kesayangannya Ismail ‘alaihissalam, dan perhatikan pula sikap anak yang tunduk dan rela sepenuh hati menerima konsekuensi perintah Allah ta’ala :
يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“(Ibrahim) berkata: “Wahai anakku ! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu !” Dia (Ismail) menjawab: “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” [ QS. Ash Shaffat (37) : 102].
Ini dia Abu Salamah radliallahu ‘anhu, tatkala kewajiban hijrah sudah tetap ke Madinah, maka ia pergi hijrah meninggalkan anak dan isterinya yang ditahan oleh kaumnya, dan begitulah Generasi salaf pergi jauh berjihad meninggalkan anak-anaknya yang masih dikandung atau masih kecil, apakah hanya kita saja yang memiliki anak kecil dan isteri yang sedang hamil tua? Mana makna اللّهَ اكبر yang selalu kita ulang-ulang di dalam gerakan shalat?!!! Coba lihat lagi ayat 24 At Taubah tadi…! Anak itu titipan dan milik Allah, maka jangan sampai ia menghalangi pelaksanaan kewajiban…
Allah Maha Besar… Dia lebih besar dari ayah sendiri, oleh sebab itu Ibrahim ‘alaihissalam berlepas diri dari ayahnya tatkala ayahnya itu bersikukuh diatas kekafiran.
فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ
“Kemudian tatkala telah jelas baginya (Ibrahim) bahwa ayahnya itu adalah musuh bagi Allah, maka ia (Ibrahim) berlepas diri darinya.” [ QS. At Taubah (9) : 114].
Ini dia Abu Ubaidah Ibnul Jarrah pada perang Badar membunuh ayahnya sendiri yang kafir, begitu juga Abu Bakar Ash Shiddiq radliallahu ‘anhu menempeleng ayahnya sendiri Abu Quhafah di Mekkah sampai tersungkur, dan hal itu diceritakan orang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam maka beliau bertanya : “Apa benar engkau melakukannya wahai Abu Bakar?” Ia menjawab: “Demi Allah seandainya ada pedang di dekat saya, tentu saya pukul dia dengannya.” Itu tatkala Abu Quhafah masih kafir dan menghina Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.
Dan berkitan dengan mereka itu turun firman Allah ta’ala :
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir mereka menjalin kasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka itu bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka atau karib kerabat mereka….” [ QS. Al Mujadilah (58) : 22].
Ini juga Sa’ad Ibnu Abi Waqqash radliallahu ‘anhu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim, At Tirmidzi dan yang lainnya, tatkala ia masuk Islam dan komitmen dengan tauhid, ibunya berkata : “Bukankah Allah telah memerintahkan untuk berbakti ? Demi Allah saya tidak akan makan dan minum apapun sampai saya mati atau kafir.” Namun Sa’ad tetap teguh dengan prinsip tauhid walaupun disebut durhaka, dan Allah ta’ala pun menurunkan firman-Nya :
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا
“Dan Kami telah mewasiatkan kepada manusia agar ia berbuat baik kepada kedua orangtuanya, dan bila keduanya memaksamu supaya menyekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka jangan kamu taati keduanya….” [ QS. Al Ankabut (29) : 8].
Ini semua dikarenakan makna اللّهَ اكبر terpatri di dalam lubuk hati mereka, namun sungguh sangat disayangkan realita orang-orang yang mengaku muslim dan sering bertakbir di masa sekarang, di mana dikarenakan desakan orangtua dan keinginan ingin menyenangkan keduanya banyak diantara mereka yang mendaftarkan dirinya untuk menjadi aparat thaghut (polisi, tentara dan yang lainnya), maka mana makna takbir yang selalu diucapkan itu? Batal dengan perbuatannya tersebut…..
Banyak pula yang mundur dari ikut serta di dalam jihad karena dilarang orangtua atau mertua, padahal jihad sudah fardlu ‘ain tidak usah izin orangtua apalagi mertua. Maka mana makna اللّهَ اكبر yang sering diucapkan ?.Allah Maha Besar… Dia lebih besar dari semua harta benda dan perintah-Nya harus didahulukan walaupun harus mengorbankan harta benda.
Makna inilah yang dibuktikan oleh Shuhaib Ar Rumi Radliallahu ‘anhu, di mana saat Allah ta’ala mewajibkan hijrah ke Madinah, maka ia pun hijrah walaupun harus menyerahkan seluruh harta bendanya kepada kafir Quraisy agar mereka melepaskan dia pergi hijrah, maka tatkala ia sampai ke Madinah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepadanya: “Beruntung jual belinya wahai Abu Yahya, beruntung jual belinya wahai Abu Yahya.
 Dan turun firman-Nya :
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridlaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” [QS. Al Baqarah (2) : 207].
Namun zaman sekarang banyak orang yang menjual agamanya demi mendapatkan kenikmatan atau keleluasaan hidup di dunia ini yang hanya sementara. Di mana segolongan manusia mengorbankan tauhidnya berbondong-bondong menjadi polisi dan tentara thaghut demi mendapatkan gaji bulanan dan tunjangan hidup, segolongan mereka mau menjadi mata-mata thaghut yang mengawasi dan melaporkan kegiatan amal jihadi kepada thaghut dan ansharnya, sebagian yang lain rela menjadi alat penjinak para singa tauhid dan jihad demi kepentingan penguasa thaghut dalam rangka mendapatkan imbalan dunia dan lain sebagainya….
Allah Maha Besar… Dia lebih besar dan lebih agung daripada sebidang tanah dan hukum-Nya lebih besar daripada sekedar tanah air. Di mana ajaran Allah harus di junjung tinggi walaupun berbenturan dengan kepentingan tanah airnya atau negaranya. Oleh sebab itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam hijrah meninggalkan Mekkah tanah airnya menuju Madinah dan begitu pula para sahabatnya…
Allah ta’ala pun telah mengancam orang yang lebih mencintai tanah airnya sehingga menelantarkan hukum dan ajaran Allah, di mana mereka lebih mengutamakan dan mengedepankan kepentingan bangsanya dan negaranya daripada agama dan hukum Allah, dan demi meraih ridla anak-anak bangsa yang kafir mereka menggugurkan hukum Islam di dalam aturan sistim pemerintahan dan mereka menggunakan hukum buatan yang direstui oleh orang-orang kafir asli dan orang-orang murtad…sehingga gugur pula makna takbir yang mereka ucapkan, tiada arti bagi takbir yang diucapkannya bila yang diterapkan dan di junjung tinggi adalah hukum thaghut, tidak ada arti bagi takbir yang mereka ucapkan bila yang diberikan loyalitas adalah hukum buatan manusia.







Inputnya Tauhid , Outputnya Akhlak Mulia


Banyak orang menyangka bahwa akhlakul karimah tidak ada sangkut pautnya dengan tauhid atau aqidah
null
SEORANG doktor di bidang aqidah bertanya kepada Syeikh Dr. Umar Al Asyqor guru besar ilmu aqidah :” Wahai Syeikh, saya sudah mencapai gelar akademik tertinggi dalam ilmu aqidah, namun saya belum merasakan dalamnya aqidah ini tertanam di hati dan jiwaku.”
Maka Syeikh Dr. Umar Al Asyqor menjawab; “Pertanyaan itu sudah pernah ditanyakan oleh Syeikhul Islam Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah kepada gurunya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjawab: “Apa yang engkau pelajari hanyalah kaidah-kaidah (rumusan-rumusan) dalam masalah aqidah, sedangkan jika engkau ingin merasakan dalamnya aqidah tertanam didalam hati dan jiwamu, maka hayati dan resapilah kandungan al-Qur’an.”
Sesungguhnya, ilmu tauhid yang kita pelajari selama ini, ternyata baru sekedar kaidah atau rumusan seperti rumus Matematika dan Kimia atau rumus lainnya. Aqidah hanya sebagai kekayaan kognitif. Tidak sampai merasuk ke dalam jiwa yang paling dalam. Aqidah yang tidak memiliki efek apa pun. Tanpa praktek nyata, maka rumusan aqidah itu tinggal rumusan tanpa arti walaupun sebanyak apapun kita menghafalnya.
Khalifah Umar Bin Abdul Aziz berkata :
إِنَّ لِلإِيمَانِ فَرَائِضَ وَشَرَائِعَ وَحُدُودًا وَسُنَنًا ، فَمَنِ اسْتَكْمَلَهَا اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَكْمِلْهَا لَمْ يَسْتَكْمِلِ الإِيمَانَ
“Sesungguhnya iman memiliki kewajiban-kewajiban, batasan dan aturan serta sunnah-sunnah, barangsiapa menyempurnakannya maka sempurnalah imannya dan barangsiapa tidak menyempurnakannya maka tidak sempurna pula imannya.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu marilah kita beriman sejenak sebagaimana ucapan sahabat Muadz bin Jabal Rodiyallahu ‘anhu:
اجْلِسْ بِنَا نُؤْمِنْ سَاعَةً
“Duduklah bersama kami, mari kita beriman sejenak saja.” (HR. Bukhari). Maksudnya adalah bertafakkur dan mengingat Allah sejenak saja.
Allah Azza Wa Jalla Berfirman (artinya):
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal.” (QS Al Anfal (8) : 2).
إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّداً وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ
“Sesungguhnya orang yang benar-benar beriman kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (karena sholat tahjjud) dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan.” (QS As Sajdah (32) : 15).
Banyak orang menyangka bahwa akhlakul karimah tidak ada sangkut pautnya dengan tauhid atau aqidah, sehingga seseorang yang sudah belajar tauhid tidak sedikit pun merasa risih untuk mengeluarkan sumpah serapah atau kata-kata kotor kepada saudaranya sesama muslim. Ia demikian fasih memaki-maki saudaranya hanya karena perbedaan pemahaman aliran keagamaan, sebagaimana fasihnya dalam membaca al-Quran. Padahal tauhid adalah inti iman dan dalam banyak hadits Rasulullah Shollallohu ‘alihi wa sallama selalu mengaitkannya dengan adab dan akhlak. Bahkan Allah Azza wa jalla pun menjadikan amal shalih sebagai bukti keimanan seseorang.
Ucapan kita, pandangan kita, pendengaran kita bahkan desiran hati kita adalah bukti/refleksi dari iman dan tauhid kita.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS” Qaaf  [50] : 16 – 18).
Puluhan nasehat Rasulullah Shollallohu ‘alihi wa sallama mengaitkan keimanan dengan ucapan, sikap dan adab kita. Bahkan menyingkirkan duri dari jalanan pun bagian dari iman. Membuang sampah adalah bagian dari kebimanan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Beliau Shollallohu ‘alihi wa sallama bersabda :
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada 70 atau 60 cabang, yang paling utama adalah ucapan Laa Ilaaha IllaLlah sedangkan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan. Dan rasa malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Muslim).
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik atau diam saja.” (Muttafaq Alaih).
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia menyakiti tetangganya.” (Muttafaq Alaih).
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya.” (Muttafaq Alaih).
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tamunya.” (Muttafaq Alaih).
مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat di atas Mizan (timbangan amal di akhirat nanti) dibandingkan akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan beliau menyatakan bahwa Hadits ini Shahih).
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menyambung silaturahim.” (Muttafaq Alaih).
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari mulut dan tangannya. Muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang hijrah (menjauhi) dari segala yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari).
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Shodaqoh tidaklah akan mengurangi harta sedikitpun, dan tidaklah seorang hamba yang memberi maaf, melainkan Allah akan menambahkan baginya kemuliaan dan kehormatan, dan tidaklah seseorang itu merendahkan diri di hadapan Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah engkau meremehkan amal kebajikan meskipun kecil, walaupun itu hanya berupa wajah yang manis ketika engkau bertemu saudaramu.” (HR. Muslim).
سِبَابُ الْمُسْلِم فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencaci seorang muslim adalah tindakan yang melampaui batas (fasiq) sedangkan membunuhnya adalah kekafiran.” (Muttafaq Alaih).
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Tahukah kalian apakah ghibah (menggunjing) itu ?” Para Shahabat menjawab “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu”. Rasul pun menjelaskan, “(ghibah adalah) menyebutkan sesuatu dalam diri saudaramu yang tidak disukainya”. Seorang shahabat bertanya, “Bagaimana jika yang kami sebutkan itu memang benar-benar ada padanya ?” Rasul pun bersabda, “Jika apa yang kalian sebutkan itu memang benar ada padanya, maka berarti engkau telah menggunjingnya, dan jika tidak ada padanya berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)
Siapakah orang yang bangkrut itu?
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya :  “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut ( pailit ) itu ?” Mereka (para sahabat ) menjawab : “Orang yang pailit di antara kita adalah orang yang tidak mempunyai uang dan harta”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan : “Orang yang pailit dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakatnya, namun dia datang dan (dahulu di dunianya) dia telah mencela si ini, menuduh (berzina) si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu dan telah memukul orang lain (dengan tidak hak ), maka si ini diberikan kepadanya kebaikan orang yang membawa banyak pahala ini, dan si itu diberikan sedemikian juga, sehingga ketika kebaikannya sudah habis sebelum dia melunasi segala dosanya (kepada orang lain), maka kesalahan orang yang dizhalimi di dunia itu dibebankan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke api neraka." (HR. Muslim).
Garbage In Garbage Out
Meminjam istilah komputer yaitu "Garbage In Garbage Out" (jika sampah yang dimasukkan sampah pula yang keluar) maka jika inputnya bagus pastilah outputnya bagus pula. Jika inputnya bagus namun outputnya buruk, tentulah ada masalah pada softwarenya atau hardwarenya.
Jika seseorang telah mempelakari ilmu tauhid/iman, tetapi tidak tercermin (dan tergambar) pada akhlaq dan adabnya , bisa jadi  input yang dimasukkan telah salah. Ibarat computer, harus segera disservice atau diupgrade.






Belajar Keihlasan dari “Sang Pedang Allah”


Ulama salaf dan orang-orang shalih sebelum kita angat takut terhadap fitnah ketenaran, tipuan pangkat, keharuman nama
null
ilustrasi
Ulama salaf & orang-orang shalih sebelum kita takut fitnah ketenaran, tipuan pangkat, keharuman nama
Oleh: Shalih Hasyim
ADALAH Khalid bin Walid lahir sekitar 17 tahun sebelum masa pembangunan Islam. Dia adalah anggota suku Banu Makhzum, cabang dari suku Quraisy. Ayahnya bernama Walid dan ibunya Lababah. Ia termasuk di antara keluarga Nabi yang sangat dekat. Maimunah, bibi dari Khalid, adalah isteri Nabi. Dengan Umar bin Khatab sendiri pun Khalid ada hubungan keluarga, yakni saudara sepupunya. Suatu hari pada masa kanak-kanaknya kedua saudara sepupu ini main adu gulat. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Untunglah dengan melalui suatu perawatan kaki Umar dapat diluruskan kembali dengan baik.
Sebelum memeluk Islan,   Khalid bin Walid adalah Panglima perang kaum kafir Quraisy yang terkenal dengan pasukan kavalerinya. Saat Perang Uhud, Khalid-lah yang melihat celah kelemahan pasukan Muslimin yang menjadi lemah setelah bernafsu mengambil rampasan perang dan turun dari Bukit Uhud dan menghajar pasukan Muslim pada saat itu. Tetapi setelah perang itulah ia menyesali perbuatannya dan memeluk Islam.
Khalid bin Walid seorang panglima pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang termahsyur dan ditakuti di medan perang serta dijuluki sebagai Saifullah Al-Maslul (Pedang Allah yang terhunus). Dia adalah salah satu dari panglima-panglima perang penting yang tidak terkalahkan sepanjang kariernya, terkenal sebagai panglima tertinggi untuk Nabi Muhammad dan penerus-penerusnya.  Dibawah kepemimpinan militernya lah Arabia pertama kalinya dalam sejarah membentuk entitas politik yang bersatu, Kekhalifahan.
Khalid adalah contoh praktik keikhlasan seorang pemimpin dengan yang dipimpin dalam sejarah Islam. Kala itu, datang kepadanya surat dari Amirul Mukminin, Umar bin Khathab. Karena kemaslahatan tertentu, maka Khalifah Islam kedua itu memerintahkan Khalid agar menyerahkan jabatannya kepada Abu Ubaidah Amir bin Jarrah ra. Padahal saat itu bendera sedang berada di tangan Khalid dan kaum Muslimin tengah memasuki kancah pertempuran yang terdahsyat dalam potongan sejarah Islam.
Pasukan Islam tidak lebih dari 40.000 personil itu harus melawan pasukan kuat  dari Persia dan Romawi yang jumlahnya tidak kurang dari 200.000 personil. Akan tetapi bendera tidak bergeser sedikit pun di tangannya. Dan perang tidak terhenti gara-gara masalah besar yang berkecamuk dalam jiwanya, ia melanjutkan peperangan hingga kemenangan berada di pihak pasukan Allah Subhanahu Wata’ala.
Setelah itu, sebelum ia masuk ke dalam kemahnya, ia memanggil anak buahnya Abu Ubaidah di hadapan seluruh pasukan, lalu ia menyerahkan bendera, memakaikan sorban kepemimpinan dengan tangannya sendiri, lalu membacakan SK khalifah. Kemudian ia berkata kepada Abu Ubaidah, “Saya adalah prajuritmu yang siap mendengar dan taat, wahai Abu Ubaidah.”
Ketika prajuritnya bertanya kepada Khalid tentang kebijakan Khalifah, “Apakah Anda tidak kecewa dan tersinggung dengan kebijakan Amirul Mukminin yang terkesan  mendadak itu? Khalid menjawab, “Aku berperang karena Allah Subhanahu wata’ala. Bukan karena pemimpin saya, Umar bin Khathab.
Maka, peristiwa itu menjadi teladan  di sepanjang sejarah Islam.
Sungguh, indah gambaran yang diungkapkan oleh seorang penyair Mesir, Hafizh Ibrahim tentang peristiwa tersebut.
Tanyakan penakluk Persia dan Romawi, apakah dia puas
Pada penaklukan, cukupkah baginya kemenangan beruntun (70 kali pertempuran)
Ia berperang, dan kuda Allah itu telah mengukir
Kemenangan gemilang di ubun-ubunnya
Tiada suatu negara pun kecuali mendengarnya
Allahu Akbar, menggema di setiap penjurunya
Khalid di jalan Allah, tengah menunggangnya
Dan Khalid di jalan Allah, tengah mengendalikannya
Tiba-Tiba datang kepadanya perintah khalifah, maka ia terima dengan legowo
Dan kebanggaan terhadap jiwa, tidak membuatnya terluka.

Tagha Versus Ikhlas
Orang beriman itu lahir dan batinnya sama. Karena iman itu perpaduan dari amalan hati, lisan dan anggota tubuh. Jika iman sudah merasuk ke lubuk hati yang paling dalam, ketulusan dan kesejukan hati akan muncul. Maka bahaya laten virus ruhani “takatsur” (saling berebut pengaruh, jabatan, lahan pekerjaan, massa, memperbanyak produksi) yang menjadi pintu masuknya tiga penyakit pemicu dan pemacu awal pelanggaran anak Adam dalam sejarah kehidupannya, yaitu  thoma’ yang diwariskan oleh Adam, sombong yang diwariskan oleh setan dan hasud yang diwariskan oleh Qabil akan lenyap.
إِيَّاكُمْ وَالْكِبْرَ فَإِنَّ إِبْلِيْسَ حَمَلَهُ الْكِبْرُ أَلاَّ يَسْجُدَ ِلآدَمَ وَإِيَّاكُمْ وَالْحِرْصَ فَإِنَّ آدَمَ حَمَلَهُ الْحِرْصُ عَلَى أَنْ آكَلَ الشَجَرَةَ وَإِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ ابْنَيَ آدَمَ قَتَلَ أَحَدُهُمَا اْلآخَرَ حَسَدًا هُنَّ أَصْلُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ (رواه ابن عساكر عن ابن مسعود رضي الله عنه)
“Waspada dan jauhi al-kibr (sombong), karena sesungguhnya Iblis terbawa sifat al-kibr sehingga menolak perintah Allah subhanahu wa ta’ala agar bersujud (menghormati) kepada Adam ‘alaihis salam. Waspada dan jauhi al-hirsh (serakah), karena sesungguhnya Adam ‘alaihis salam terbawa sifat al-hirsh sehingga makan dari pohon yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Waspada serta jauhi al-hasad (dengki), karena sesungguhnya kedua putra Adam ‘alaihis salam salah seorang dari keduanya membunuh saudaranya hanya karena al-hasad. Ketiga sifat tercela itulah asal segala kesalahan (di dunia ini).” (HR Ibnu Asakir dari Ibnu Masud, dalam Mukhtaru al-Ahadits).
Jadi, Iman dan thagha (melampui batas dalam bersikap) dan derivasinya (serakah, sombong dan dengki) tidak akan dapat dikompromikan dan dipersandingkan hingga hari kiamat.  Iman dan thagha bagaikan air dan minyak tanah. Benturan peradaban yang dibangun dengan hawa nafsu dan peradaban yang dibangun di atas nilai-nilai keikhlasan akan terus berlangsung secara permanen.
Imam Syafii mengatakan, ”Jika jiwamu tidak sibuk dalam ketaatan, maka akan menyibukkanmu dalam kemaksiatan.”
Sekalipun penyakit thagha itu abstrak, kita tidak dapat mendeteksinya, tetapi efek yang ditimbulkannya dapat dirasakan dan sangat mempengaruhi lingkungan sosial. Tagha disamping memberikan dampak negatif kepada pelakunya, pula berdampak sosial. Kelemahan apapun tidak dapat menghalangi seseorang untuk membangun sinergi kepada yang lain, kecuali kelemahan thagha.
8 Indikator Keikhlasan
Ada beberapa indikator perilaku tagha itu nampak pada pelakunya dan bagaimana ia menyikapi dan menempatkan dirinya dan pandangannya ia dalam menyikapi dan menempatkan orang lain. Diantara beberapa indikator yang dijadikan standarisasi bahwa seseorang itu terbebas dari penyakit thagha.
Pertama : Khawatir terhadap popularitas dan keharuman nama pada dirinya dan agamanya, terutama jika ia termasuk orang yang berpotensi. Ia meyakini sepenuh hati bahwa Allah Subhanahu Wata’ala menerima amal berdasarkan niat (motivasi intrinstik)  yang tersimpan di dalam batin,  tidak dengan penampilan dan asesoris lahiriyah. Ia juga meyakini sekalipun ketenaran namanya telah tersebar ke seluruh penjuru, namun tidak seorangpun yang bisa dijamin dapat membebaskan dan menebusnya serta menyelamatkannya dari siksa neraka.
Fenomena inilah yang menyebabkan ulama salaf dan orang-orang shalih sebelum kita takut terhadap fitnah ketenaran, tipuan pangkat, keharuman nama, dan mereka juga memperingatkan kepada murid-muridnya dari hal-hal tersebut. Imam Al-Ghazali telah meriwayatkan beberapa kisah tentang hal ini.
Ibrahim bin Adham (seorang putra mahkota yang lebih memilih tinggal di pondok pesantren), berkata, “Tidak akan jujur kepada Allah Subhanahu Wata’ala orang yang mencintai ketenaran.”
Sulaim bin Hanzhalah berkata, “Saat kami berjalan di belakang Ubai bin Kaab ra tiba-tiba Umar ra melihatnya, lantas Umar mengangkat cemeti yang diarahkan kepadanya. Maka Umar berkata, Wahai Amirul Mukminin, apa yang hendak kamu lakukan? Umar ra menjawab: Ini merupakan kehinaan bagi yang mengikuti dan yang diikuti.”
Kisah tersebut menggambarkan ketajaman pandangan Umar bin Khathab tentang suatu fenomena yang awalnya terlihat sederhana, namun dapat mengakibatkan terjadinya hal serius dan berdampak krusial dalam diri orang-orang yang mengikuti dan dalam diri para pemimpin yang diikuti.


Al Hasan meriwayatkan bahwa pada suatu hari Ibnu Masud keluar dari rumahnya, lantas beberapa orang berjalan di belakangnya (mengikutinya). Maka ia menoleh kepada mereka seraya berkata: Kenapa kalian mengikutiku? Demi Allah, andai kalian mengetahui apa yang kurahasiakan, tentu tiada dua orang pun dari kaian yang mau mengikutiku.
Al Hasan berkata, “Sesungguhnya suara sandal di sekitar orang dapat menggoyahkan hati orang yang bodoh.” Pada suatu hari Al Hasan keluar dari rumah, lantas diikuti oleh banyak orang. Maka ia berkata kepada mereka,”Apakah kalian mempunyai suatu keperluan? Bila tidak ada keperluan maka bukankah hal ini dapat menjadikan hati orang beriman berbelok dari arah yang lurus?”
Abu Ayyub As-Sikhtiyani keluar untuk melakukan sebuah perjalanan, lalu beberapa orang mengikuti dari belakangnya. Maka ia berkata, ”Andai aku tidak mengetahui bahwa Allah mengetahui hatiku membenci hal ini, tentu aku takut kemurkaan Allah Subhanahu Wata’ala.”
Ibnu Masud berkata, ”Jadilah kalian sebagai sumber mata air ilmu, lampu-lampu (cahaya) petunjuk, yang menetap di rumah-rumah, pelita di waktu malam yang hatinya selalu baru, dan yang kusut pakaiannya. (Jadilah kalian) orang yang dikenal oleh penduduk langit, tetapi tersembunyi dari penduduk bumi.”
Fudhail bin ‘Iyadh pernah berkata, ”Bila kamu mampu menjadi orang yang tidak di kenal, maka lakukanlah. Sebab apa kerugianmu bila kamu tidak dikenal? Apa kerugianmu bila tidak dipuji? Dan apa kerugianmu bila kamu menjadi orang yang tercela di hadapan manusia, tetapi terpuji di hadapan Allah?”
Riwayat-riwayat di atas jangan dipahami secara sempit dan sepotong-sepotong. Bukan dipahami sebagai seruan untuk ‘uzlah (mengisolir diri), sebab orang-orang yang meriwayatkan kisah-kisah di atas adalah tokoh-tokoh dai yang  terjun di lapangan kehidupan, bergaul dengan masyarakat, para pemandu kebaikan yang memiliki pengaruh yang signifikan dalam memberikan arahan dan bimbingan di tengah-tengah masyarakat.
Akan tetapi secara keseluruhan harus dipahami sebagai kewaspadaan, terhadap syahwat jiwa yang tersembunyi, dan kehati-hatian terhadap pntu-pintu dan jendela-jendela yang dapat dilalui setan menembus hati nurani.
Pada prinsipnya popularitas itu bukan suatu hal yang tercela, sebab tiada yang lebih terkenal melebihi dari para Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Karena itu, ketenaran yang tidak dipaksakan (tidak disengaja) dan bukan didasari oleh ambisi, tidak dipandang sebagai suatu cacat.
Imam Al Ghazali pernah mengatakan, ”(Ketenaran itu) fitnah bagi orang-orang yang lemah (keimanan), dan tidak demikian bagi orang-orang yang kuat (keyakinannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala).
Kedua : Orang yang ikhlas selalu menuduh dirinya teledor dalam menunaikan hak-hak Allah Subhanahu Wata’ala dan teledor dalam melakukan berbagai kewajiban. Hatinya tidak dirasuki oleh perasaan ghurur (terpedaya) dan kekaguman terhadap diri sendiri, bahkan ia selalu takut jika kesalahan-kesalahannya tidak diampuni, dan amal shalihnya tidak diterima oleh Allah.
Dahulu, sebagian orang shalih menangis pilu saat sedang sakit, lalu sebagian orang menjenguknya dan bertanya, “Mengapa engkau menangis? Padahal engkau ahli puasa dan shalat malam, engkau telah berjihad, bersedekah, berhaji, mengajarkan ilmu, dan berdzikir. Ia menjawab: Siapa yang dapat menjamin bahwa itu semua memperberat timbangan amal baikku, dan siapa yang menjamin bahwa amalku di terima di sisi Tuhanku ?. Sedangkan Allah SWT berfirman :
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ مِن أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil : "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa." (QS. Al Maidah (5) : 27).
At Tirmidzi meriwayatkan bahwa Aisyah ra berkata; “Saya bertanya kepada Rasulullah tentang ayat :
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Mukminun (23) : 60)
Maksudnya : karena tahu bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan untuk dihisab, maka mereka khawatir kalau-kalau pemberian-pemberian (sedekah-sedekah) yang mereka berikan, dan amal ibadah yang mereka kerjakan itu tidak diterima tuhan.
Aisyah berkata : Apakah mereka itu orang yang meminum khamar dan mencuri ?. Rasulullah SAW menjawab : Tidak, wahai putri Abu Bakar Ash Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah. Tetapi, mereka takut kalau amal mereka tidak diterima (oleh Allah SWT). Mereka inilah orang-orang yang bersegera menuju kepada berbagai kebajikan.
Ketiga : Orang yang tulus lebih mencintai amal yang tersembunyi daripada amal yang diliputi oleh hiruk-pikuk publikasi dan gaung ketenaran.
Ia lebih mengutamakan menjadi seperti akar pohon dalam suatu jamaah, akar itulah yang menjadikan pohon tegak dan hidup, akan tetapi ia tersembunyi di dalam tanah, tidak terlihat oleh mata manusia. Ia ingin seperti binatang penyu. Jika ia bertelur di tempat yang sepi, dapat menghasilkan 500-3000 buah.
Dari Umar bin Khathab ra pada suatu hari ia keluar menuju masjid Rasulullah tiba-tiba ia menjumpai Mu’adz bin Jabal ra yang sedang duduk dan menangis di dekat makam Nabi. Maka Umar bertanya kepadanya; “Apa yang menyebabkanmu menangis? Mu’adz menjawab: Saya menangis karena (ingat) sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah. Saya mendengar Rasulullah bersabda: Sesungguhnya riya’ (beramal karena mencari pujian manusia) yang sangat kecil itu termasuk  kemusyrikan. Dan sesungguhnya barangsiapa yang memusuhi wali Allah, maka berarti menantang perang dengan Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang baik, yang bertakwa, dan tersembunyi.  Yaitu orang-orang yang bila tidak ada, tidak dicari, dan bila sedang hadir tidak dipanggil dan tidak dikenal. Hati mereka adalah lampu-lampu (cahaya) penerang. Mereka keluar dari malam yang gelap gulita.” (HR. Ibnu Majah).
Keempat: Amalnya ketika memimpin dan saat menjadi anggota  tidak berbeda, selama keduanya masih dalam rangka memberikan pelayanan pada gerakan dakwah. Hatinya tidak dirasuki suka tampil, selalu ingin di depan, selalu ingin number one, dan ambisi kepemimpinan, bahkan orang yang hatinya bersih lebih mengutamakan menjadi anggota biasa, karena khawatir tidak dapat menunaikan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab kepemimpinannya. Dengan kata lain, orang ikhlas tidak ambisius terhadap jabatan untuk dirinya, tetapi jika diberi amanah, ia menerimanya dengan penuh tanggung jawab dan memohon pertolongan kepada Allah.
Kelima: Tidak menggubris keridhaan manusia, bila dibalik itu terdapat kemurkaan Allah. Sebab tabiat manusia berbeda-beda. Demikian pula cara berpikirnya, kecenderungannya, dan tujuan-tujuannya.Upaya mencari keridhaan mereka adalah batas yang mustahil dapat dicapai. Orang yang ikhlas tidak disibukkan oleh hal-hal yang sepele itu. Ia tenang, kontak batin dengan Allah. Seperti ahli syair yang mengungkapkan kecintaannya kepada Allah.
Dengan-MU ada kelezatan meski hidup terasa pahit
Kuharapkan ridha-MU meski seluruh manusia marah
Kuharapkan hubunganku dengan-MU tetap harmonis
Meski hubunganku dengan seluruh alam berantakan
Bila cinta-MU kudapatkan, semua akan terasa ringan
Sebab, semua yang diatas tanah adalah tanah belaka.
Keenam: Kemurkaan dan keridhaannya, keengganan dan kesukaannya untuk memberi didasari karena Allah dan dalam timbangan agama. Bukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Orang ikhlas tidak seperti orang munafik yang hanya meraih kepentingan pribadi.
Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (QS. At Taubah (9) : 58).
Kita dapat melihat orang yang berguguran di medan perjuangan karena memknai berjuang (mencari baju dan uang), atau dicela oleh saudaranya, teman dekatnya dan kerabatnya. Atau mendengarkan kata-kata yang melukai dan menyakiti perasaannya.
Keikhlasan niat menjadikan seseorang tetap teguh, konsisten, komitmen di jalan perjuangan, sekalipun parah kerusakan yang ada di dalam barisan dakwah,   karena ia beramal hanya untuk Allah SWT. Bukan untuk kepentingan dirinya dan orang-orang terdekatnya. Dakwah adalah milik Allah SWT bukan milik seseorang. Maka orang yang ikhlas tidak meninggalkan perjuangan hanya karena sikap seseorang.
Ketujuh : Orang yang ikhlas tidak stagnan, jenuh, malas, berputus asa, karena panjangnya jalan yang akan dilalui, lamanya waktu memanen buah amal, tertundanya keberhasilan, banyaknya cita rasa dan kecenderungan. Sebab, ia beramal bukan semata-mata mencari kesuksesan, atau kemenangan. Akan tetapi ia beramal untuk mencari ridha Allah. Dan menjalankan perintah-Nya.
Pada suatu hari nanti, Allah tidak akan menanyakan kepada manusia, Mengapa kalian tidak memperoleh kemenangan ? Akan tetapi Allah akan bertanya, Mengapa kalian tidak berjihad? Allah SWT tidak menanyakan, Mengapa kalian tidak sukses? Tetapi, Ia bertanya, Mengapa kalian tidak beramal?
Kedelapan : Bergembira dengan munculnya orang-orang yang berprestasi di dalam barisan dakwah, yang dapat mengibarkan bendera jihad serta berpartisipasi di dalamnya. Ia memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap orang yang berbakat untuk menggantikan posisinya, tanpa sedikitpun menghalang-halangi, tanpa ada rasa keberatan, kedengkian. Bahkan orang yang ikhlas akan legowo (ridha) meninggalkan posisinya, bila ada orang lain yang lebih baik dan lebih kompeten untuk kedudukannya itu. Ia mempersilahkan orang tersebut maju, dan ia akan mundur dengan senang hati.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar