Powered By Blogger

Jumat, 25 Juni 2010

PENGANTAR ILMU TAFSIR DAN QUR'AN

Banyaknya Ayat Turun Dengan Satu Sebab

Terkadang banyak ayat yang turun , sedang sebabnya hanya satu. Hal seperti itu tidaklah mengapa, karena terkadang pada satu peristiwa turun banyak ayat pada surat-surat yang berbeda. Contohnya adalah apa yang diriwayatkan Said bin Mansur, Abdurrozzak, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabrani dan al-Hakim dan beliau menshahihkanya dari Ummu Salamah, beliau berkata :
“Wahai Rasulullah , Aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan :


فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لآَأُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ...

“Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman) : Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain…” (Ali Imran : 195)

Juga hadits yang diriwayatkan Ahmad, An-Nasai, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaih dari Ummu Salamah, katanya : “Aku telah bertanya : Wahai Rasulullah mengapa kami tidak disebutkan dalam Alqur'an seperti kaum laki-laki?. Maka pada suatu hari aku dikejutkan dengan seruan Rasulullah di atas mimbar. Beliau membacakan : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim..” sampai akhir ayat (Al-Ahzab : 35)”.

Al-Hakim meriwayatkan dari Ummu Salamah juga, beliau berkata : “Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak, disamping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian dibanding laki-laki. Maka Allah menurunkan ayat :


وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَافَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan…”(An-Nisa : 32)
dan ayat :


إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ..

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim..” (Al-Ahzab : 35)

Ketiga ayat di atas turun karena satu sebab.
Wallahu A'lam

(Diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur'an oleh : Syaikh Manna’ Al-qur'an-Qatthan (edisi indonesia) diposting oleh Abu Maryam Abdusshomad)



Beberapa Riwayat Tentang Asbab Nuzul (3)

5. Jika riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan jika mungkin, hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab itu berdekatan.
Misalnya ayat Li’an :
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina)..” (Annur : 6-9)

Bukhari, Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut turun mengenai Hilal bin Umayyah yang menuduh istrinya telah berbuat serong dengan Syuraik bin Sahma di hadapan Nabi seperti yang telah disebutkan dahulu.

Hadits yang diriwayatkan Bukhari, Muslim dan yang lain dari Sahl bin Sa’ad, dia berkata : “Uwaimir datang kepada Ashim bin Adi, lalu berkata : “Tanyalah kepada Rasulullah tentang seorang laki-laki yang mendapati istrinya yang bersama-sama dengan laki-laki lain, apakah ia harus membunuhnya sehingga diqishas atau apakah yang harus ia lakukan?”. Kedua riwayat ini dapat dipadukan, yaitu bahwa peristiwa Hilal terjadi lebih dahulu dan kebetulan pula Uwaimir mengalami kejadian serupa, maka turunlah ayat berkenaan dengan urusan kedua orang itu sesudah terjadi kedua peristiwa tadi. Ibnu Hajar berkata : “Banyaknya sebab nuzul itu tidak bermasalah”

Bila riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu diantara sebab-sebab tersebut berjauhan, maka dibawa kepada masalah banyak dan berulang nuzul. Misalnya apa yang diriwayatkan Bukhari-Muslim dari Al-Musayyib, ia berkata : “Ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat, Rasulullah menemuinya. Disebelah Abu Thalib ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah. Nabi berkata kepada Abu Thalib : “Paman, ucapkanlah Laa ilaaha illallah,dengannya bisa aku jadikan hujjah untukmu di sisi Allah!”. Abu Jahal dan Abdullah berkata : “Hai Abu Thalib, apakah engkau sudah tidak menyukai agama Abdul Muththalib?”. Kedua orang tersebut terus berbicara kepada Abu Thalib sehingga katanya dia tetap berada dalam agama Abdul Muththalib. Maka kata Nabi : “Aku akan terus memintakan ampunan bagimu selama aku tidak dilarang untuk itu”. Maka turunlah ayat :


مَاكَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ..

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik…” (Attaubah : 113)

Attirmidzi meriwayatkan dari Ali, kata beliau : “Aku mendengar seorang laki-laki meminta ampunan untuk kedua orang tuanya, sedang keduanya itu musyrik”. Lalu aku katakan padanya : “Apakah engkau memintakan ampunan untuk kedua orang tuamu, sedang mereka itu musyrik?”. Ia menjawab : “Ibrahim telah memintakan ampunan untuk ayahnya, padahal ayahnya juga orang musyrik”. Lalu aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah, maka turunlah ayat tadi.

Diriwayatkan juga oleh Al-Hakim dan yang lain dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan : “Pada suatu hari Rasulullah pergi ke kuburan, lalu duduk di dekat salah satu makam. Ia bermunajat cukup lama, lalu menangis. Katanya : “Makam di mana aku duduk di sisinya adalah makam ibuku. Aku telah meminta izin kepada Tuhanku untuk mendoakannya, tetapi Dia tidak mengizinkan, lalu diturunkan wahyu kepadaku :

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik…” (Attaubah : 113)

Riwayat-riwayat ini dapat dikompromikan dengan dinyatakan bahwa ayat itu berulang turunnya.

Contoh lain seperti yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi berdiri di sisi jenazah Hamzah yang mati syahid dan tubuhnya tekoyak-koyak. Maka kata Nabi : “Sungguh aku akan mencacah tujuh puluh orang dari mereka sebagai ganti darimu!”. Maka Jibril turun dengan membawa akhir surat An-Nahl kepada Nabi, sementara beliau dalam keadaan berdiri :

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَاعُوقِبْتُمْ بِهِ..

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu..”

Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa ayat-ayat di atas turun pada waktu perang Uhud.

Dalam riwayat lain disebutkan, ayat-ayat tersebut turun pada waktu penaklukan kota Mekkah. Surat tersebut juga Makkiyah. Maka pengompromian antara riwayat-riwayat itu adalah dengan menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut turun di Mekkah sebelum hijrah, lalu di Uhud dan kemudian turun lagi saat penaklukan Mekkah. Yang demikian tidak ada masalah, sebab dalam ayat-ayat tersebut terdapat peringatan akan nikmat Allah kepada hamba-hambaNya dengan adanya syariat.
Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan mengatakan : “Terkadang suatu ayat turun dua kali sebagai penghormatan kepada kebesaran dan peringatan akan peristiwa yang menyebabkannya khawatir terlupakan. Sebagaimana terjadi pada surat Alfatihah yang turun dua kali, sekali di Mekkah dan sekali lagi di Madinah”.

Demikianlah pendapat para Ulama mengenai ayat yang diturunkan beberapa kali. Tetapi menurut hemat saya pendapat tersebut tidak memiliki sisi yang bisa menguatkannya, dimana hikmah berulang kalinya turun suatu ayat itu tidak begitu tampak dengan jelas. Menurut saya bahwa riwayat yang bermacam-macam tentang Asbab Nuzul dan tidak mungkin dikompromikan itu sebenarnya dapat ditarjihkan salah satunya. Misalnya, riwayat-riwayat yang berkenaan dengan Asbab Nuzul ayat :

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik…” (Attaubah : 113).

Riwayat pertama dinilai lebih kuat dari kedua riwayat lainnya, sebab dia terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, sedang kedua riwayat lainnya tidak. Dan periwayatan kedua tokoh hadits ini cukup untuk dijadikan pegangan. Maka pendapat yang kuat ialah bahwa ayat itu turun berkenaan dengan Abu Thalib. Begitu juga dengan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan Asbab Nuzul akhir surat An-Nahl. Riwayat-riwayat ini tidak sama derajatnya. Maka mengambil riwayat paling kuat adalah lebih baik daripada menyatakan ayat itu diturunkan berulang kali.

Kesimpulannya, jika Asbab Nuzul suatu ayat itu banyak, maka terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas dan terkadang sebagiannya tidak tegas sedang sebagian lainnya tegas dalam menunjukkan sebab.

a. Apabila semuanya tidak tegas dalam menunjukkan sebab, maka tidak ada salahnya untuk dipandang sebagai tafsir dan kandungan ayat.
b. Jika sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas, maka yang menjadi pegangan adalah yang tegas.
c. Jika semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan salah satunya shahih atau semuanya shahih. Apabila salah satunya shahih sedang yang lain tidak, maka yang shahih itulah yang menjadi pegangan.
d. Jika semuanya shahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin.
e. Tetapi jika tidak mungkin dengan pilihan demikian, maka dipadukan bila mungkin.
f. Jika tetap tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu diturunkan beberpa kali dan berulang. Pada kategori terakhir ini ada perbincangan terdapat dan pada diri saya ada sedikit keraguan.
Wallahu A'lam

(Diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur'an oleh : Syaikh Manna’ Al-qur'an-Qatthan (edisi indonesia) diposting oleh Abu Maryam Abdusshomad)




Beberapa Riwayat Mengenai Asbab Nuzul (2)

4. Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih, namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan. Contohnya ialah hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud beliau berkata : “Aku berjalan dengan nabi di Madinah. Beliau berpegang pada tongkat dari pelepah pohon kurma. Ketika melewati serombongan orang-orang Yahudi, seseorang diantara mereka berkata : “Coba kamu tanyakan sesuatu kepadanya” Lalu mereka menanyakan : “Ceritakan kepada kami tentang ruh!”. Nabi berdiri sejenak dan mengangkat kepala. Aku tahu bahwa wahyu telah turun kepadanya. Wahyu itu turun hingga selesai. Kemudian beliau membaca :


قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَآأُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً

“Katakanlah Roh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”(Al-Israa : 85)

Diriwayatkan dan dishahihkan oleh Attirmidzi dari Ibnu Abbas : “Orang-orang Quraisy berkata kepada orang Yahudi : “Berilah kami suatu persoalan untuk kami tanyakan kepada Muhammad”. Mereka menjawab : “Tanyakan kepadanya tentang ruh”. Maka Allah menurunkan :


وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah Ruh itu termasuk urusan Rabb-ku..”. (Al-Israa : 85)

Riwayat ini mengesankan bahwa ayat itu turun di Makkah, tempat tinggal kaum Quraisy. Sedang riwayat pertama mengesankan turun di Madinah. Riwayat pertama dijadikan pegangan karena Ibnu Mas’ud hadir atau menyaksikan kisah tersebut. Di samping itu, umat juga telah terbiasa menerima hadits Shahih Bukhari dan memandangnya lebih kuat dari hadits shahih yang dinyatakan oleh yang lainnya.

Menurut Zarkasyi, contoh seperti ini masuk ke dalam bab : “Ayat yang banyak atau berulang-ulang turun”. Dengan demikian ayat di atas turun dua kali, sekali di Makkah dan sekali di Madinah. Dan yang menjadi sandaran untuk hal itu ialah bahwa surat “Subhana” adalah Makkiyah menurut kesepakatan ulama.

Menurut hemat saya, sungguhpun surat itu Makkiyah sifatnya, namun tidak bisa dinafikan jika didalamnya ada satu ayat atau lebih ada yang Madani. Apa yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud di atas menunjukkan bahwa ayat ini : “Katakanlah Roh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” adalah Madaniyyah. Karena itu pendapat yang kami pilih, yaitu menguatkan riwayat Ibnu Mas’ud atas riwayat Attirmidzi dari Ibnu Abbas lebih baik daripada mengklaim bahwa ayat tersebut berulang-ulang turunnya. Sekiranya benar bahwa ayat tersebut Makkiyah dan diturunkan sebagai jawaban atas suatu pertanyaan, maka adanya pertanyaan yang sama di Madinah tidak berarti menuntut sekali lagi penurunan wahyu yang sama dengan jawaban yang sama pula. Tetapi yang dituntut adalah agar Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam menjawabnya dengan jawaban yang telah turun sebelumnya.
Wallahu A'lam

(Diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur'an oleh : Syaikh Manna’ Al-qur'an-Qatthan (edisi indonesia) diposting oleh Abu Maryam Abdusshomad)



Beberapa Riwayat Mengenai Asbab Nuzul

Terkadang satu ayat memiliki beberapa riwayat tentang Asbab Nuzul. Sikap seorang mufassir pada kondisi seperti ini adalah sebagai berikut :

1. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti contohnya : “Ayat ini turun mengenai perkara ini” atau seperti : “Aku mengira ayat ini turun mengenai perkara ini” , maka tidak ada yang kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu. Sebab yang dimaksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat yang disimpulkan darinya dan bukan menyebabkan Asbab Nuzul. Terkecuali ada indikasi pada salah satu riwayat yang menunjukkan bahwa itu adalah Asbab Nuzul.

2. Jika salah satu redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya : “Ayat ini turun mengenai perkara ini” sedang riwayat lain menyebutkan Asbab Nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan Asbab Nuzul secara tegas itu. Dan riwayat yang tidak tegas dipandang termasuk ke dalam hukum ayat.

Contohnya ialah riwayat tentang Asbab Nuzul Firman Allah Subhanahu Wata'ala :


نِسَآؤُكُمْ حَرْثُ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” (Albaqarah 223)

Dari Nafi’ beliau berkata : “Pad suatu hari aku membaca ayat : “Isteri-isterimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam…” Ibnu Umar berkata : “Tahukah engkau mengenai apa ayat ini turun?” Aku menjawab : “Tidak” Ia berkata : “Ayat ini turun berkaitan dengan masalah menggauli istri pada dubur mereka”. Redaksi riwayat dari Ibnu Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan Asbab Nuzul. Malah terdapat riwayat yang secara tegas menyebutkan Asbab Nuzul yang bertentangan dengan riwayat tersebut, yaitu riwayat dari Jabir, kata beliau : “Orang yahudi mengatakan bahwa jika sorang lelaki menggauli istrinya (qubulnya) dari arah belakang maka anak yang akan dilahirkanya akan bermata juling” Maka turunlah ayat :

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”

Maka riwayat jabir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang Asbab Nuzul. Sedangkan ucapan Ibnu Umar, tidak demikian. Karena itu ia dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.

3. Jika riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan Asbab Nuzul, salah satu diantaranya itu shahih, maka yang dijadikan pegangan adalah riwayat yang shahih. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan ahli hadits yang lainnya dari Jundub al-Bajali :
“Nabi menderita sakit hingga dua atau tiga malam. Kemudian datang seorang perempuan kepadanya dan berkata : “Hai, Muhammad. Kurasa setanmu sudah meninggalkanmu, karena sudah dua tiga malam ini tidak mendekatimu lagi. Maka Allah menurunkan ayat : “Demi waktu dhuha, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tidaklah benci kepadamu…”

Di lain pihak, Ath-Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Hafs bin Maisarah dari ibunya yang dulu pernah menjadi pembantu Rasulullah. : “Bahwa seekor anak anjing telah masuk ke dalam rumah Nabi, lalu masuk ke kolong tempat tidur dan mati. Karenanya selama empat hari tidak turun wahyu kepadanya. Nabi berkata : “Hai Khaulah, apa yang telah terjadi di rumah Rasulullah sehingga Jibril tidak datang kepadaku”. Dalam hati aku berkata : “Alangkah baiknya andai aku membenahi rumah ini dan menyapunya”. Lalu aku menyapu kolong tempat tidurnya, maka ku dapati seekor anak anjing. Lalu Nabi datang dan janggutnya bergetar. Dan biasanya bila turun wahyu, beliau bergetar. Maka Allah menurunkan :

“Demi waktu dhuha…” sampai dengan “Lalu hatimu menjadi puas…”

Ibnu Hajar dalam Syarah Bukhari berkata : “Kisah terlambatnya Jibril karena adanya anak anjing ini cukup masyhur. Tetapi jika kisah itu dikatakan sebagai sebab turunnya ayat adalah gharib (aneh, asing). Juga dalam isnad hadits itu terdapat orang yang tidak dikenal. Maka yang menjadi pegangan adalah riwayat dalam Shahih Bukhari dan Muslim”. (Bersambung)
Wallahu A'lam

(Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur'an oleh : Syaikh Manna’ Al-qur'an-Qatthan (edisi indonesia)



Redaksi Asbab Nuzul

Bentuk redaksi yang menerangkan Asbab Nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas, jelas mengenai sebab dan terkadang berupa pernyataan yang mengandung kemungkinan. Bentuk pertama ialah jika perawi mengatakan : “Sebab nuzul ayat ini adalah begini” atau menggunakan fa ta’qibiyah (kira-kira seperti “maka” yang menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaikan dengan kata “turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya ia mengatakan : “Telah terjadi peristiwa begini” atau “Rasulullah ditanya tentang hal begini, maka turunlah ayat ini”. Dengan demikian kedua bentuk di atas merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab turunnya ayat. Contoh-contoh untuk kedua hal ini akan kami jelaskan lebih lanjut.
Dan redaksi yang bisa berkemungkinan menerangkan Asbab Nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah jika misalnya perawi menyatakan : “Ayat ini turun mengenai ini”. Yang dimaksud dengan ungkapan seperti ini, bisa jadi tentang Asbab Nuzul ayat dan mungkin juga tentang kandungan hukum ayat tersebut.

Demikian juga jika ia mengatakan : “Aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini” atau “Aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal begini”. Dengan bentuk redaksi demikian ini, perawi tidak memastikan Asbab Nuzul. Kedua bentuk redaksi tersebut mungkin menyebutkan sebab turunnya ayat dan mungkin pula menunjukkan hal lain.

Contoh pertama adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, katanya : “Ayat yang berbunyi : “Istri-istri kamu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam” (Albaqarah : 223) turun terkait dengan masalah menggauli istri pada dubur mereka”.

Contoh kedua ialah apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zubair, bahwa Zubair menggugat seorang laki-laki dari kalangan Anshar yang telah ikut perang Badr bersama Nabi tentang saluran air yang mengalir dari tempat yang tinggi, dimana keduanya mengairi kebun korma dari tempat yang sama. Orang Anshar berkata : “Biarkan airnya mengalir”. Tetapi Zubair menolak. Maka kata Rasulullah : “Airi kebunmu wahai Zubair lalu biarkan air itu mengalir ke kebun tetanggamu”. Orang Anshar itu marah, katanya : “Wahai Rasulullah, apakah karena dia anak bibimu?”. Wajah Rasulullah menjadi merah, kemudian beliau berkata : “Airi kebunmu wahai Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang, lalu biarkan ia mengalir ke kebun tetanggamu”. Rasulullah dengan keputusan ini telah memenuhi hak Zubair, padahal sebelum itu beliau mengisyaratkan keputusan yang memberikan kelonggaran kepadanya dan kepada orang Anshar itu. Ketika Rasulullah dibuat marah oleh orang Anshar, beliau memenuhi hak Zubair secara nyata. Maka Zubair berkata : “Aku tidak mengira ayat berikut ini turun kecuali mengenai urusan tersebut, yaitu : “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan..” (Annisa : 65)

Ibnu Taimiyah mengatakan : “Ucapan mereka bahwa ayat ini turun mengenai urusan ini, terkadang dimaksudkan sebagai penjelasan mengenai Asbab Nuzul dan terkadang dimaksudkan bahwa urusan itu termasuk ke dalam cakupan ayat walaupun tidak ada Asbab Nuzulnya”. Para Ulama berselisih pendapat mengenai ucapan seorang shahabat: “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, apakah ucapan seperti ini berlaku sebagai hadits musnad seperti kalau dia menyebutkan sesuatu sebab yang karenanya ayat diturunkan ataukah berlaku sebagai tafsir dari shahabat itu sendiri yang bukan musnad. Al-Bukhari memasukan ke dalam kategori hadits musnad, sedang yang lain tidak memasukkannya. Dan sebagian besar hadits musnad itu menurut istilah atau pengertian ini, seperti Musnad Ahmad dan lain-lain. Berbeda halnya bila shahabat menyebutkan sesuatu sebab yang sesudahnya diturunkan ayat. Bila demikian, maka mereka semua memasukkan pernyataan seperti ini ke dalam hadits musnad.

Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan menyebutkan : “Telah maklum dari kebiasaan para shahabat dan tabi’in bahwa apabila salah seorang dari mereka berkata : “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka yang dimaksud ialah ayat itu mengandung hukum urusan ini, bukan urusan ini yang menjadi sebab penurunan ayat. Pendapat shahabat ini termasuk ke dalam jenis penyimpulan hukum dengan ayat, bukan jenis pemberitaan (penukilan) mengenai sesuatu kenyataan yang terjadi.
Wallahu A'lam

(Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur'an oleh : Syaikh Manna’ Al-qur'an-Qatthan (edisi indonesia))





Al-‘ibratu Bi ‘Umumil Lafdzi La Bi Khushushi Assabab (Yang Menjadi Patokan Adalah Keumuman Lafadz dan Bukan Sebab Yang Khusus)

Apabila ayat yang diturunkan sesuai dengan sebab yang umum atau sesuai dengan sebab yang khusus, maka yang umum diterapkan pada keumumannya dan yang khusus pada kekhususannya.
Contoh yang pertama seperti :


وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَآءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَتَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:"Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Albaqarah : 222)

Kata Anas dalam suatu riwayat : “Jika istri orang-orang yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum dan di dalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam ditanya tentang hal itu, maka Alah Ta'ala menurunkan : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh…” Kemudian kata Rasulullah : “….dengan mereka di rumah dan berbuatlah apa saja kecuali jima” (HR. Muslim)

Contoh Kedua


وَسَيُجَنَّبُهَا اْلأَتْقَى . الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى . وَمَالأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَى. إِلاَّابْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ اْلأَعْلَى . وَلَسَوْفَ يَرْضَى

“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu. Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya.Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari karidhaan Rabbnya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan” (AL-Lail : 17-21)

Ayat-ayat di atas diturunkan mengenai Abu Bakar radiyallahu 'anhu. Kata الأتقى (orang yang paling takwa) menurut tashrif berbentuk af’al, untuk menunjukkan arti superlatif, yaitu tafdhil yang disertai “ أل” al’ahdiyah (kata yang dimasuki itu telah diketahui maksudnya), sehingga ia dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Kata “أل” menunjukan arti umum bila ia sebagai kata ganti penghubung (isim maushul) atau mu’arrifah (berfungsi mema’rifatkan) bagi kata jamak, menurut pendapat yang kuat. Sedangkan “ أل” dalam kata الأتقى bukan kata ganti penghubung, sebab kata ganti penghubung tidak dirangkaikan dengan bentuk superlatif. Lagipula الأتقى bukan kata jamak, melainkan kata tunggal. Al’ahdu atau apa yang diketahui itu sendiri itu sudah ada, disamping berbentuk superlatif af’al itu khusus menunjukkan yang membedakan. Dengan demikian, hal ini telah cukup membatasi makna ayat pada orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Oleh sebab itu kata Al-Wahidi rahimahullah : “الأتقى adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq menurut
pendapat para ahli tafsir”

Menurut Urwah, Abu Bakar telah memerdekakan tujuh orang budak yang disiksa karena membela agama Allah : Bilal, Amir bin Fuhairah, Nahdiyah dan anak perempuanya, ummu Isa dan budak perempuan Bani Mau’il. Untuk itu turunlah ayat : “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu..” sampai dengan akhir surat.
Juga diriwayatkan dari Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, ia menambahkan : “Maka berkenaan dengan Abu Bakar tersebut, turunlah ayat ini :
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa” sampai dengan “padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari karidhaan Rabbnya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan”(Al-Lail : 5-21)

Jika Asbab Nuzul itu bersifat khusus, sedang ayat itu turun berbentuk umum, maka para ahli ushul berselisih pendapat : yang dijadikan patokan itu apakah lafadz yang umum atau sebab yang khusus?

1. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi patokan adalah lafadz yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafadz yang umum itu melampaui sebab yang khusus. Misalnya ayat Li’an yang turun berkenaan dengan tuduhan Hilal bin Umayah kepada istrinya.

Dari Ibnu Abbas, Hilal bin Umayah menuduh istrinya telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma di hadapan Nabi. Nabi bersabda : “Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang akan didera (had)”. Hilal berkata : “Wahai Rasulullah, apabila salah seorang diantara kami melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya, apakah dia harus mencari bukti?” Rasulullah menjawab : “Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang akan didera” Maka Hilalpun bersumpah : “Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesunguhnyalah perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera”. Maka turunlah Jibril dan menurunkan kepada nabi :
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina).. sampai dengan .. jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar” (Annur : 6-9)
Maka hukum yang diambil dari lafadz yang umum ini : (“Dan orang-orang yang menuduh isterinya..”) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal, tetapi diterapkan pula pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain.

Inilah pendapat yang rajih (lebih kuat) dan lebih shahih. Pendapat ini selaras dengan keumuman hukum-hukum syariat, dan metode yang dipakai oleh para Shahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka memberlakukan hukum ayat-ayat yang memiliki sebab-sebab tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Seperti turunnya ayat dzihar dalam kasus Aus bin Shamit atau Salamah bin Sakhr (berdasarkan adanya perbedaan riwayat). Berdalil dengan keumuman ayat yang turun turun karena sebab-sebab khusus adalah hal yang lumrah dikalangan para ulama.
Ibnu Taimiyah berkata : “Hal yang seperti ini banyak disebutkan. Seperti penjelasan para ulama : ayat ini turun dalam masalah anu, apalagi apabila yang disebutkan itu nama orang tertentu, seperti penjelasan mereka : ayat Dzihar berkenaan dengan istri Aus bin Shamit, ayat Kalalah turun berkenaan dengan Jabir bin Abdullah, Firman allah : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka” (Al-Maidah : 49) turun berkenaan dengan Bani Quraidzah dan Bani Nadhir”. Begitulah mereka menyebutkan bahwa ayat ini turun mengenai kaum musyrikin Makkah atau kaum yahudi dan nashrani atau kaum yang beriman. Pernyataan seperti ini tidak dimaksudkan bahwa hukum ayat-ayat tersebut hanya berlaku khusus bagi orang-orang itu dan tidak berlaku pada orang lain. Pendapat seperti itu sama sekali tidak akan dikatakan oleh seorang muslim atau orang yang berakal.Karena walaupun para ulama berbeda pendapat tentang lafadz yang umum yang muncul karena sebab yang khusus, apakah hanya dikhususkan pada sebabnya, tidak ada seorangpun diantara mereka mengatakan bahwa keumuman Alqur'an dan Sunnah itu dikhususkan kepada orang-orang tertentu. Yang dikatakan adalah : ayat itu dikhususkan dalam hal “jenis” perkara orang tersebut, tetapi tetap berlaku umum bagi kasus khusus yang serupa dengannya. Keumuman ayat tidak hanya pada keumuman lafadznya saja, ayat yang mempunyai sebab turun tertentu, kalau dia adalah perintah atau larangan, maka dia mencakup orang yang menjadi sebab turunnya ayat itu juga mencakup orang lain yang memiliki kesamaan dengannya. Kalau ayat tersebut berisi pujian atau celaan, maka dia mencakup orang tersebut (penyebab turun) dan orang yang memiliki kesamaan dengannya.

2. Ada segolongan ulama berpendapat bahwa yang menjadi patokan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafadz. Karena lafadz yang umum itu menunjukkan sebab yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain yang menjadi sebab turunnya ayat, diperlukan dalil lainnya seperti Qiyas dan sebagainya. Hal ini agar penukilan tentang sebab turunnya ayat punya faidah (bukan hanya penukilan) dan kesesuaian antara sebab dan musabbab itu sama dengan sesuainya antara pertanyaan dengan jawaban.
Wallahu A'lam

(Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur'an oleh : Syaikh Manna’ Al-qur'an-Qatthan (edisi indonesia))





FAIDAH MENGETAHUI ASBAB NUZUL (II)

4. Mengetahui sebab turunnya ayat adalah cara terbaik untuk memahami Alqur'an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa pengetahuan sebab turunnya.
Al-Wahidi menjelaskan : “Tidak mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui sejarah dan penjelasan sebab turunnya”.
Ibnu Daqiq al-‘Ied berpendapat : “Keterangan tentang sebab turunnya ayat adalah cara yang tepat untuk memahami makna Alqur'an”. Ibnu Taimiyah juga berkata : “Mengetahui sebab turunnya ayat akan membantu dalam memahami ayat, karena mengetahui sebab akan menyebabkan diketahuinya musabbab (akibat yang terjadi)”

Diantara contohnya adalah kesulitan Marwan bin Hakam dalam memahami ayat :


لاتَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَآأَتَواْ وَيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا بِمَالَمْ يَفْعَلُوا فَلاَتَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ

“Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih” (Ali-Imran : 188)

sampai Ibnu Abbas menjelaskan kepadanya tentang asbab nuzulnya.

Contoh lain adalah ayat :


إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَأِنَّ اللهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syi'ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i di antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui” (Al-Baqarah : 158)

Lafadz ayat ini secara tekstual tidak menunjukkan bahwa sa’i itu wajib, sebab ketiadaan dosa untuk mengerjakannya itu menunjukkan “kebolehan” bukan “kewajiban”. Sebagian ulama juga berpendapat demikian, karena berpegang pada arti tekstual ayat itu. Aisyah menolak pemahaman Urwah bin Zubair seperti itu, dengan menggunakan sebab turunnya ayat tersebut, yaitu para Shahabat merasa keberatan bersa’i antara Shafa dan Marwa karena perbuatan itu berasal daripada perbuatan jahiliyah. Di Shafa terdapat patung bernama Asaf dan di Marwa terdapat patung bernama Nailah. Keduanya adalah berhala orang-orang jahiliyah. Adalah mereka apabila melakukan sa’i mengusap kedua berhala tersebut.

Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Urwah berkata padanya : “Bagaimana pendapatmu tentang firman Allah :
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syi'ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i di antara keduanya?”. Aku sendiri tidak berpendapat bahwa seorang itu berdosa bila tidak mengerjakan sa’i itu”. Aisyah menjawab : “Alangkah buruknya pendapatmu itu, wahai keponakanku. Sekiranya maksud ayat itu seperti ayat yang engkau takwilkan, niscaya ayat itu berbunyi : tidak ada dosa bagi orang yang tidak melakukan sa’i. Tetapi ayat itu turun karena orang-orang Anshar sebelum masuk Islam, biasa mendatangi berhala Manat yang dzalim itu dan menyembahnya. Orang-orang merasa keberatan bersa’i diantara Shafa dan Marwa. Maka Allah menurunkan : “Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syiar Allah…”. Aisyah berkata juga : “Selain itu Rasulullah juga telah menjelaskan sa’i diantara keduanya. Maka tak seorangpun dapat meninggalkan sa’i diantara keduanya”.

5. Sebab turunnya ayat dapat menerangkan tentang kepada siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan. Seperti yang disebutkan dalam ayat :


وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَّكُمَآ أَتَعِدَانِنِى أَنْ أُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُونُ مِن قَبْلِي وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللهَ وَيْلَكَ ءَامِنْ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقُّ فَيَقُولُ مَاهَذَآ إِلآ أَسَاطِيرُ اْلأَوَّلِينَ

“Dan orang ang berkata kepada dua orang ibu bapaknya:"Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku lalu kedua ibu bapaknya memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan:"Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar".Lalu dia berkata:"Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang yang dahulu belaka” (Al-Ahqaf : 17)

Muawiyah bermaksud menobatkan Yazid menjadi khalifah, ia mengirim surat kepada Marwan, gubernurnya di Madinah tentang hal itu. Karena itu Marwan lalu mengumpulkan rakyat kemudian berpidato mengajak mereka membaiat Yazid. Tetapi Abdurrahman bin Abu Bakar tidak mau membaiatnya. Maka hampir saja Marwan melakukan hal yang buruk kepada Abdurrahman bin Abu Bakar sekiranya ia tidak segera masuk ke rumah Aisyah. Marwan berkata : “Orang inilah yang dimaksud dalam firman Allah : “Dan orang ang berkata kepada dua orang ibu bapaknya : "Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku lalu kedua ibu bapaknya memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan:"Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar". Lalu dia berkata :"Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang yang dahulu belaka”. Aisyahpun segera mambantah perkataan Marwan tersebut dan menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut kepadanya.

Dikisahkan dari Yusuf bin Mahik, katanya : “Marwan memimpin Hijaz, dimana ia diangkat oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, maka berpidatolah ia. Dalam pidatonya ia menyebutkan nama Yazid bin Muawiyah agar dibaiat sesudah ayahnya. Ketika itu Abdurrahman bin Abu Bakar mengatakan sesuatu. Lalu kata Marwan : “Tangkap dia”. Kemudian Abdurrahman masuk rumah Aisyah sehingga mereka tidak bisa menangkapnya. Lalu kata Marwan : “Orang inilah yang diturunkan tentangnya ayat :
“Dan orang ang berkata kepada dua orang ibu bapaknya:"Cis bagi kamu keduanya…” Maka kata Aisyah : “Allah tidak pernah menurunkan sesuatu ayat Alqur'an diantara kami kecuali ayat yang membebaskan aku dari tuduhan berbuat keji”.
Pada sebagian riwayat disebutkan : “Ketika Marwan meminta agar Yazid dibaiat, ia berkata : “Ini adalah tradisi Abu Bakar dan Umar”. Abdurrahman menjawab : “Bukan, tetapi itu tradisi Heraklius dan Kaisar”, maka kata Marwan : “Orang inilah yang dimaksud dalam firman Allah : “Dan orang ang berkata kepada dua orang ibu bapaknya : "Cis bagi kamu keduanya...”. Kemudian perkataan Marwan itu sampai kepada Aisyah, lalu beliau mengomentari kata-kata Marwan : “Marwan telah berdusta. Demi Allah maksud ayat itu bukanlah demikian. Sekiranya aku mau menyebut nama mengenai ayat itu kepada siapa ia turun, tentulah aku sudah menyebutnya”
Wallahu A'lam

(Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur'an oleh : Syaikh Manna’ Al-qur'an-Qatthan (edisi indonesia))







MANFAAT MENGETAHUI ASBAB NUZUL (1)

Pengetahuan mengenai Asbab Nuzul mempunyai banyak sekali faedah, yang paling penting diantaranya adalah :

1. Sebagai penjelas hikmah diterapkannya suatu hukum dan untuk mengetahui perhatian syariat terhadap kemaslahatan umum dalam menghadapi segala peristiwa sebagai rahmat bagi umat.

2. Memberi batasan hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, jika hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang berpendapat Al-‘ibratu bi khushusi as-sabab la bi ‘umum al-lafdzi (yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafadz yang umum). Dan masalah ini sebenarnya merupakan perkara khilafiyah (masalah yang diperselisihkan) yang akan dijelaskan nanti. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini ayat :


لاتَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَآأَتَواْ وَيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا بِمَالَمْ يَفْعَلُوا فَلاَتَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ

“Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih”(Ali Imran : 188)

Diriwayatkan bahwa Marwan berkata kepada penjaga pintunya : “Pergilah Hai Rafi’ kepada Ibnu Abbas dan katakan kepadanya sekiranya setiap orang diantara kita bergembira dengan apa yang telah dikerjakan dan ingin dipuji dengan perbuatan yang belum dikerjakan itu akan disiksa, niscaya kita semua akan disiksa”.Ibnu Abbas menjawab : “Tidak ada hubungannya kalian dengan ayat ini, ayat ini turun tentang ahli kitab”. Kemudian Ibnu Abbas membaca ayat :
“Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji-janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab.. ” (Ali Imran : 187)

Ibnu Abbas radiyallahu 'anhu melanjutkan : “Rasulullah menanyakan kepada mereka sesuatu, namun mereka menyembunyikanya, dengan mengalihkan kepada persoalan lain. Itulah yang mereka tunjukkan kepada beliau. Kemudian mereka pergi, mereka menganggap bahwa mereka telah memberikan kepada Rasulullah apa yang ditanyakan kepada mereka. Dengan perbuatan itu mereka ingin dipuji oleh Rasulullah dan mereka gembira dengan apa yang mereka kerjakan, yaitu menyembunyikan apa yang ditanyakan kepada mereka itu”.

3. Apabila lafadz yang diturunkan itu bersifat umum dan ada dalil yang menunjukkan pengkhususannya, maka adanya Asbab Nuzul akan membatasi takhshis (pengkhususan) itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab. Dan tidak dibenarkan mengeluarkan (dari cakupan lafadz yang umum itu), karena masuknya bentuk sebab ke dalam lafadz yang umum itu bersifat qath’i (pasti, tidak bisa berubah). Maka ia tidak boleh dikeluarkan melalui ijtihad, karena ijtihad itu bersifat zhanni (dugaan). Pendapat ini dijadikan pegangan oleh ulama umumnya. Contoh yang demikian digambarkan dalam firman Allah :


إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ . يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ

“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. Pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah Yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya)” (An-Nur : 23-25)

Ayat ini turun berkenaan dengan Aisyah secara khusus, atau bahkan istri-istri Nabi lainnya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat : “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik” itu berkenaan dengan Aisyah secara khusus.
Juga dari Ibnu Abbas, masih tentang ayat tersebut : “Ayat itu berkenaan dengan Aisyah dan istri-istri Nabi. Allah tidak menerima taubat orang yang melakukan hal itu, tetapi menerima taubat orang yang menuduh seorang perempuan diantara perempuan-perempuan yang beriman selain istri-istri Nabi”. Kemudian Ibnu Abbas membacakan :
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik..” sampai dengan…kecuali orang-orang yang bertaubat” (An-Nur : 4-5)

Atas dasar ini, maka penerimaan taubat orang yang menuduh zina dalam surat (An-Nur : 4-5) ini, sekalipun merupakan pengkhususan dari keumuman ayat :
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman” tidak mencakup takhshis orang yang menuduh Aisyah atau istri-istri Nabi yang lain. Karena yang ini tidak ada taubatnya, sebab masuknya sebab (yakni orang yang menuduh Aisyah atau istri-istri Nabi) ke dalam cakupan makna lafadz yang umum itu bersifat qath’i (pasti). (Bersambung)

(Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur'an oleh : Syaikh Manna’ Al-qur'an-Qatthan)




ASBAB NUZUL ALQUR’AN (Sebab Turunnya Ayat Alqur'an)

Perhatian Ulama Terhadap Asbab Nuzul Alqur'an
Para pakar bidang ilmu Alqur'an sangat menaruh perhatian terhadap ilmu tentang sebab-sebab turunnya Alqur'an. Mereka juga merasakan sangat pentingnya ilmu ini dalam menafsirkan Alqur'an. Oleh sebab itu sebagian mereka mengarang kitab tersendiri untuk bidang ini. Yang paling masyhur adalah Ali bin Madini, guru dari Imam Bukhari, al-Wahidi dalam kitabnya Asbabun Nuzul, lalu al-Ja’bari yang telah meringkas kitab Al-Wahidi dengan menghilangkan sanad-sanadnya dan tidak ada tambahan darinya. Kemudian juga Syaikhul Islam Ibnu Hajar yang telah mengarang satu kitab tentang asbab Nuzul, namun Suyuthi hanya menemukan satu juz dari naskah kitab ini dan tidak menemukannya secara sempurna. Kemudian Suyuthi, yang berkata tentang dirinya sendiri : “Aku telah mengarang tentang hal ini satu kitab yang lengkap, ringkas lagi detail, yang belum pernah ditulis kitab yang menyamainya dalam pembahasan ini, yang aku beri nama Lubabun Nuqul Fii Asbabin Nuzul”.

Pedoman Mengetahui Asbab Nuzul
Dalam mengetahui asbab nuzul, para ulama berpedoman kepada riwayat yang shahih dari Rasulullah, atau dari para Shahabat, karena khabar dari seorang shahabat dalam masalah ini, apabila khabarnya jelas (tentang asbab nuzul) maka berarti itu bukan pendapatnya semata, tapi itu dihukumi dengan marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah)
Al-Wahidi berkata :
“Tidak boleh berpendapat tentang asbab nuzulnya ayat Alqur'an kecuali berdasar pada riwayat atau sama’ (mendengar) dari orang-orang yang menyaksikan turunnya Alqur'an, meneliti sebab turunnya ayat dan menelaah tentang ilmunya dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya ”

Inilah jalan yang ditempuh oleh para ulama salaf. Sungguh mereka sangat berhati-hati dalam berpendapat dalam masalah asbab nuzul ini bila tanpa memeriksa dahulu kebenarannya.
Ibnu Sirin rahimahullah berkata : “Saya berkata kepada Ubaidah tentang satu ayat dalam Alqur'an. Beliau menjawab : “Takutlah kepada Alah dan berkatalah yang benar. Orang-orang yang tahu tentang Alqur'an yang diturunkan Allah telah tiada”. Yang ia maksud adalah para Shahabat.

Ini menunjukkan harusnya berhati-hati dalam masalah Asbab Nuzul dari ayat Alqur'an.

Definisi Asbab Nuzul
Setelah dikaji dengan cermat, Asbab Nuzul ayat berkisar pada dua hal :

1. Terjadinya suatu peristiwa, lalu turun ayat Alqur'an tentang peristiwa tersebut. Hal ini seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallahu 'anhu, beliau berkata : “Ketika turun ayat :

“Dan peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat” (asy-Syuaro : 214)

Nabi keluar dan naik bukit shofa dan menyeru kaum beliau dan merekapun berkumpul. Lalu nabi berkata : “Apa pendapat kalian kalau aku khabarkan bahwa ada serombongan kuda di balik gunung ini (untuk menyerang kalian), apakah kalian mempercayaiku? Mereka menjawab : “Kami belum pernah mendapatkan kamu berbohong”. Maka Nabi berkata : “(Ketahuilah) bahwa saya adalah pemberi peringatan bagi kalian akan azab yang sangat pedih”. Maka Abu Lahab mengatakan : “Celaka kamu, kamu mengumpulkan kami hanya untuk ini?”. Lalu ia berdiri. Kemudian turunlah ayat :


تبت يدا أبي لهب

“Celakalah kedua tangan Abu Lahab” (HR. Bukhari)

2. Ditanyanya Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam tentang suatu hal, lalu turun ayat Alqur'an yang menerangkan hal tersebut. Seperti yang telah terjadi pada Khaulah binti Tsa’labah pada waktu didzihar oleh suaminya, Aus bin Shamit. Lalu ia datang kepada Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam untuk mengadukan hal tersebut.
Aisyah berkata : “Maha suci Allah yang pendengaranNya meliputi segala sesuatu. Sungguh aku mendengar kata-kata Khaulah dan tidak mendengar sebagiannya. Dia mengeluh kepada Rasulullah tentang suaminya, dia berkata : “Wahai Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan aku mengandung anaknya, sampai waktu aku tua dan tidak bisa melahirkan anak lagi dia menjatuhkan dzihar padaku? Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu padaMu” Aisyah berkata : “Tidak berapa lama kemudian turunlah Jibril dengan membawa ayat-ayat ini :


قد سمع الله قول التي تجادلك في زوجها
"

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya"

Suaminya adalah Aus bin Shamit (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Abi Hatim dan dishahihkan oleh Hakim)

Hal ini bukan berarti seseorang harus mencari sebab turunnya ayat pada setiap ayat Alqur'an, karena turunnya Alqur'an tidak terpaku pada peristiwa dan kejadian atau hanya terpaku pada pertanyaan saja. Namun Alqur'an turun secara ibtida (turun tanpa sebab) tentang aqidah iman, kewajiban-kewajiban Islam serta tentang syari’at-syari’at Allah untuk kehidupan pribadi dan sosial.
Al-Ja’bari mengatakan : “Alqur'an turun dengan dua bagian : sebagian turun dengan tanpa sebab (ibtida) dan sebagian lain turun karena ada kejadian atau pertanyaan”

Dengan ini Asbab Nuzul didefinisikan sebagai berikut :

“Sesuatu yang dikarenakannya Alqur'an turun pada waktu terjadinya sesuatu itu, seperti peristiwa atau pertanyaan”

Termasuk hal yang berlebih-lebihan dalam ilmu Asbab Nuzul adalah kita terlalu memperluasnya dan menjadikkan apa yang tergolong dari berita umat-umat dan peristiwa-peristiwa terdahulu ke dalam Asbab Nuzul.
Imam Suyuthi berkata : “Yang dijelaskan dalam masalah Asbab Nuzul adalah ayat yang turun pada waktu hari-hari kejadian, ini untuk mengeluarkan apa yang disebutkan oleh Al-Wahidi dalam penafsirannya pada surat Al-Fiil bahwa sebab turunnya adalah kisah datangnya pasukan Habasyah (pasukan bergajah), Itu sama sekali bukanlah termasuk dari Asbab Nuzul, tapi hanya pembahasan tentang berita tentang peristiwa terdahulu, seperti kisah kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud, kisah pembangunan Baitullah dan yang semacamnya..”
Waallahu A’lam

(Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur'an oleh : Syaikh Manna’ Al-qur'an-Qatthan, dengan sedikit ringkasan)




Faidah Mengetahui Ayat Yang Pertama dan Terakhir Turun

Mengetahui ayat-ayat yang pertama dan terakhir turun mempunyai banyak faidah, yang paling penting adalah :

1. Sebagai penjelas tentang perhatian Alqur'an al-Karim yang begitu besar guna menjaga dan mengatur ayat-ayatNya.
Para Shahabat telah faham benar Kitab ini ayat demi ayat, sehingga mereka mengerti kapan dan dimana ayat itu diturunkan. Dimana mereka dahulu telah mengambil dari Rasulullah ayat-ayat Alqur'an yang diturunkan kepadanya sebagaimana para mukmin mengambil pokok dasar agama mereka (ushuluddin), pembangkit iman mereka dan sumber kemuliaan dan ketinggian mereka. Dan dampak positif dari itu semua adalah terjaganya Alqur'an dari perubahan dan kerancuan.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr : 9)

2. Bisa memahami rahasia-rahasia tasyri’ (pensyariatan) Islam dari perjalanan sumbernya yang asli.
Karena sesungguhnya ayat-ayat Alqur'an al-Karim bisa mengatasi persoalan jiwa manusia melalui petunjuk dari langit (petunjuk Ilahi), menarik manusia dengan metode-metode yang penuh hikmah yang dengannya jiwa manusia naik menuju tangga kesempurnaan, ayat-ayat Alqur'an berjalan bertahap bersama manusia yang dengannya seimbanglah jalan hidup mereka diatas kebenaran dan juga mengatur kehidupan bermasyarakat mereka di atas jalan yang lurus.

3. Untuk memilih yang nasikh dari yang mansukh
Terkadang terdapat dua ayat atau lebih dalam satu permasalahan, dan hukum yang dikandung satu ayat beda dengan yang dikandung ayat lain. Jika telah diketahui ayat mana yang turun lebih dahulu dan yang turun belakangan, maka hukum yang turun belakangan adalah menjadi nasikh (penghapus) bagi hukum yang turun lebih dahulu.

(Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur'an oleh : Syaikh Manna’ Al -Qatthan)





Ayat-Ayat Yang Pertama Kali Turun Secara Tematik

Para ulama juga telah membahas tentang ayat-ayat yang mula-mula diturunkan berdasarkan pada sisi temanya, diantaranya :

1. Ayat yang pertama kali turun mengenai makanan
Ayat tentang makanan yang diturunkan di Makkah adalah satu ayat dalam surat al-An’am

قُل لآأَجِدُ فِي مَآأُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَعَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (al-An’am : 145)

Kemudian satu ayat dalam surat an-Nahl :


فَكُلُوا مِمَّأ رَزَقَكُمُ اللهُ حَلاَلاً طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ . إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَعَادٍ فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (an-Nahl : 115)

Kemudian ayat dalam surat al-Baqarah :


إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (al-Baqarah : 173)

Kemudian ayat dalam surat al-Maidah :


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَآأَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَاذَكَّيْتُمْ وَمَاذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِاْلأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ ِّلإِثْمٍ فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk ( mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (al-Maidah : 3)

2. Ayat yang pertama kali diturunkan dalam masalah minuman
Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai khamr adalah satu ayat dalam surat al-Baqarah :


يَسْئَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَآإِثْمُُ كَبِيرُُ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:"Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (al-Baqarah : 219)

Kemudian satu ayat dalam surat an-Nisaa :


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَقْرَبُوا الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَاتَقُولُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (an-Nisaa : 43)

Selanjutnya satu ayat dalam surat al-Maidah :


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءاَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسُُ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَآءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُون

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, ( berkorban untuk ) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. ( al-Maidah : 90-91)

3. Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai perang
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata : “Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai perang ialah ayat :


أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnaya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” (al-Hajj : 39)
Waallahu A’lam

(Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur'an oleh : Syaikh Manna’ Al-qur'an-Qatthan)





Ayat Alqur'an Yang Terakhir Kali Turun

Ada beberapa pendapat dari para ulama tentang ayat apakah yang paling terakhir turun. Diantara pendapat tersebut adalah :

1. Sebagian berpendapat bahwa ayat yang terakhir kali turun adalah ayat mengenai riba. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Abbas yang mengatakan : “Ayat terakhir yang diturunkan adalah ayat tentang riba”. Maksudnya adalah ayat :


يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. 2:278)

2. Ada yang berpendapat, ayat Alqur'an yang terakhir diturunkan ialah :


وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللهِ

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah…” (al-Baqarah : 281)

Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan an-Nasa’i dan lain-lain dari Ibnu Abbas dan Said bin Jubair : “Ayat Alqur'an yang terakhir turun ialah : “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah…” (Albaqarah : 281)

3. Pendapat lain mengatakan bahwa yang terakhir kali turun itu ayat tentang hutang. Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab bahwa telah sampai kepadanya bahwa ayat Alqur'an yang akhir turun ialah ayat mengenai hutang. Yang dimaksud adalah ayat :


يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” (al-Baqarah : 282)

Ketiga riwayat itu dapat dipadukan, yaitu bahwa ketiga ayat tersebut di atas diturunkan sekaligus seperti urutannya dalam di dalam mushaf, yaitu ayat riba, ayat “peliharalah dirimu..” dan ayat tentang hutang, karena ayat-ayat itu masih satu kisah. Tapi kemudian setiap rawi dia meriwayatkan sebagian yang turun itu adalah ayat yang terakhir. Itu tidaklah salah dan tidak bertentangan.

4. Ada pendapat lain bahwa ayat yang terakhir turun adalah ayat Kalalah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari al-Baro’ bin Azib beliau berkata : “Ayat yang terakhir kali turun adalah :


يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ

“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah:"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah..” (an-Nisaa : 176)

Namun ayat yang terakhir turun menurut hadits Baro’ ini adalah berhubungan dengan masalah warisan.

5. Ada pendapat lain bahwa ayat yang terakhir turun adalah ayat : “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri..” (at-Taubah : 128) sampai akhir surat.Dalam kitab al-Mustadrak disebutkan dari Ubay bin Ka’ab, beliau berkata :
“Ayat yang terakhir kali diturunkan yaitu : “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri ” sampai akhir ayat. Mungkin yang dimaksud adalah ayat terakhir yang diturunkan dari surat at-Taubah
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa hadits ini memberitahukan bahwa surat ini adalah surat yang diturunkan terakhir kali. Sebab ayat ini mengisyaratkan wafatnya Nabi Sallallahu 'Alahi Wasallam sebagaimana difahami oleh sebagian shahabat. Atau mungkin juga surat ini adalah surat yang terakhir kali diturunkan.

6. Ada juga pendapat lain bahwa yang terakhir turun adalah surat al-Maidah. Ini didasarkan pada riwayat at-Tirmidzi dan al-Hakim dari Aisyah radiyallahu 'anha. Tetapi menurut hemat kami, surat itu adalah surat yang terakhir kali turun dalam masalah halal dan haram, sehingga tidak satu hukumpun yang dihapus di dalamnya.

7. Ada juga yang mengatakan bahwa yang terakhir kali turun adalah ayat :


فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لآَأُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ

“Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman) : "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.”(ali-Imran : 195)

Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Ibnu Mardawaih melalui Mujahid dari Ummu Salamah, dia berkata : “Ayat yang terakhir kali turun adalah ayat :
“Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman) : "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu…” sampai akhir ayat.

8. Ada juga yang berpendapat, ayat yang terakhir turun ialah :


وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah jahannam, Kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” (an-Nisaa : 93)

Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan lainnya dari Ibnu Abbas, katanya : “Ayat ini (an-Nisaa : 93) adalah ayat yang terakhir diturunkan dan tidak dihapus oleh apapun”
Ungkapan “dan tidak dihapus oleh apapun” itu menunjukkan ayat itu adalah ayat yang terakhir turun dalam masalah hukum membunuh mukmin dengan sengaja.

9. Ada juga pendapat yang berdasar kepada riwayat Muslim dari Ibnu Abbas, yang menyebutkan bahwa surat terakhir yang diturunkan ialah :


إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ . وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فيِ دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا . فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا .
"

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat." (an-Nashr : 1-3)

Semua pendapat itu tidak disandarkan kepada Nabi. Masing-masing hanya ijtihad dan dugaan. Mungkin pula bahwa masing-masing mereka itu memberitahukan apa yang terakhir didengarnya dari Rasulullah. Atau mungkin juga masing-masing juga mengatakan hal itu berdasarkan apa yang terakhir diturunkan dalam hal perundang-undangan tertentu, atau dalam hal surat terakhir yang diturunkan secara lengkap seperti pendapat-pendapat yang telah kami kemukakan di atas. Adapun ayat :


الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” (al-Maidah : 3)

adalah diturunkan di Arafah pada haji Wada’.
Secara teks, menunjukkan penyempurnaan kewajiban dan hukum. Juga telah diisyaratkan di atas, riwayat mengenai turunnya ayat riba, ayat hutang-piutang, ayat kalalah dan yang lain itu setelah ayat ketiga dari surat al-Maidah. Oleh karena itu para ulama menyatakan kesempurnaan agama ini di dalam ayat ini. Allah telah mencukupkan nikmatNya kepada mereka dengan menempatkan mereka di negeri suci dan membersihkan orang-orang musyrik daripadanya serta menghajikan mereka di rumah suci tanpa disertai oleh seorang musyrikpun, padahal sebelumnya orang-orang musyrik juga haji dengan mereka. Yang demikian termasuk nikmat yang sempurna, “Dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku”

Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani dalam al-Intishar ketika mengomentari berbagai riwayat yang berkaitan dengan masalah ayat terakhir kali diturunkan, mengatakan bahwa pendapat-pendapat ini sama sekali tidak disandarkan kepada Nabi Sallallahu 'Alahi Wasallam.Boleh jadi pendapat itu diucapkan karena ijtihad atau dugaan saja. Mungkin masing-masing memberitahukan mengenai apa yang terakhir kali yang didengarnya dari Nabi pada saat beliau telah wafat atau tak seberapa lama sebelum beliau sakit. Sedangkan yang lain mungkin tidak secara langsung mendengar dari Nabi. Mungkin juga ayat itu yang dibaca terakhir kali oleh Rasulullah bersama-sama dengan ayat-ayat yang turun di waktu itu, kemudian disuruh untuk dituliskan. Lalu diduga ayat itulah yang terakhir diturunkan menurut tertib urutannya.
Waallahu A’lam

(Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur'an oleh : Syaikh Manna’ Al-qur'an-Qatthan (terj))






Ayat Alqur'an Yang Pertama Kali Turun

Para Ulama mempunyai banyak pendapat dalam masalah ayat apa yang pertama kali diturunkan dan apa yang yang terakhir.
Namun pendapat yang paling shahih mengenai yang pertama kali turun ialah firman Allah :


اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ . الَّذِي عَلَّمَ ابِالْقَلَمِ . عَلَّمَ اْلإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ .

”Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq : 1-5)

Dasar pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dan lainnya dari Aisyah yang mengatakan :
“Wahyu yang pertama kali dialami oleh Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Beliau melihat dalam mimpi itu datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian beliau suka menyendiri. Beliau pergi ke gua Hira untuk beribadah beberapa malam. Untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian beliau pulang kembali ke Khadijah radiyallahu 'anha, maka Khadijahpun membekali beliau seperti bekal terdahulu. Lalu di gua Hira datanglah kepada beliau satu kebenaran, yaitu seorang malaikat, yang berkata kepada Nabi : “Bacalah!” Rasulullah menceritakan : “maka akupun menjawab : Aku tidak bisa membaca”. Malaikat tersebut lalu memelukku sehingga aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan, dan dia berkata lagi : “Bacalah!” maka akupun menjawab : “Aku tidak bisa membaca”. Lalu dia merangkulku yang kedua kali sampai aku kepayahan. Kemudian dia lepaskan lagi dan berkata : “Bacalah!” Aku menjawab : “Aku tidak bisa membaca”. Maka dia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan.. sampai dengan …apa yang tidak diketahuinya”.

Pendapat lain
Ada juga pendapat lain bahwa yang pertama kali turun adalah ayat : “Yaa ayyuhal Muddatstsir” (Hai orang yang berselimut)
Ini didasarkan juga pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Salamah bin Abdurrahman. Dia berkata : “Aku bertanya kepada Jabir bin Abdullah : Yang manakah diantara Alqur'an itu yang turun pertama kali?” Dia menjawab : “Yaa Ayyuhal Muddatstsir” Aku bertanya lagi : “Bukannya Iqra’ bismi robbika?” Dia menjawab : “Aku katakan kepadamu apa yang dikatakan Rasulullah kepada kami. Beliau bersabda :
“Sesungguhnya aku berdiam diri di gua Hira. Maka ketika habis masa diamku, aku turun lalu aku telusuri lembah. Aku melihat ke muka, ke belakang, ke kanan dan ke kiri. Lalu aku lihat ke langit, tiba-tiba aku melihat Jibril yang amat menakutkan. Maka aku pulang ke Khadijah. Khadijah memerintahkan mereka menyelimuti aku. Merekapun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan: “Wahai orang yang berselimut!, bangkitlah dan berilah peringatan”

Namun hadits Jabir ini dapat dijelaskan bahwa pernyataan itu mengenai surat yang diturunkan secara penuh. Jabir menjelaskan bahwa surat al-Muddatstsir-lah yang turun secara penuh sebelum surat Iqra’ (al-‘Alaq) selesai diturunkan semuanya. Sebab yang turun pertama kali dari surat Iqra’ itu hanyalah permulaannya saja. Hal yang demikian ini juga diperkuat oleh hadits Abu Salamah dari Jabir yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim.
Jabir berkata :
“Aku mendengar Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam ketika beliau berbicara tentang masa diturunkannya wahyu. Beliau berkata : “Ketika aku berjalan, aku mendengar suara dari langit, lalu aku angkat kepalaku, tiba-tiba aku melihat malaikat yang mendatangiku di gua Hira itu duduk di atas kursi antara langit dan bumi. Akupun segera pulang dan aku berkata : Selimutilah aku! Maka merekapun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan : “Yaa Ayyuhal Muddatstsir”.

Hadits ini menunjukkan bahwa kisah tersebut terjadi setelah kisah gua Hira atau al-Muddatstsir itu adalah surat pertama yang diturunkan setelah terhentinya wahyu. Jabir meriwayatkan yang demikian itu dengan ijtihadnya, akan tetapi riwayat Aisyah lebih didahulukan. Dengan demikian maka ayat Alqur'an yang pertama sekali turun secara mutlak ialah Iqra’ dan yang pertama diturunkan secara lengkap dan pertama setelah turunnya wahyu ialah “Yaa Ayyuhal Muddatstsir” . Atau, bisa juga dikatakan bahwa surat al-Muddatstsir turun sebagai tanda kerasulannya sedangkan ayat Iqra’ turun sebagai tanda kenabiannya.

Az-Zarkasyi telah menyebutkan di dalam al-Burhan hadits Aisyah yang menegaskan bahwa yang pertama kali turun adalah Iqra’ bismi robbikal ladzii kholaq dan hadits Jabir ialah Yaa ayyuhal muddatstsir, qum fa andzir. Kemudian dia berkata :
“Sebagian besar ulama menyatukan keduanya, yaitu bahwa Jabir mendengar Nabi menyatukan kisah permulaan wahyu dan dia mendengar bagian akhirnya, sedangkan bagian pertamanya dia tidak mendengar. Maka dia (Jabir) menyangka bahwa surat yang didengarnya itu adalah yang pertama kali diturunkan,padahal bukan.Memang surat al-Muddatstsir adalah surat yang pertama yang diturunkan setelah Iqra’ dan setelah terhentinya wahyu. Hal itu juga termuat dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Jbir bahwa Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam dikala itu sedang membicarakan masalah terhentinya wahyu. Di dalam hadits disebutkan :
“Ketika aku berjalan aku mendengar suara dari langit lalu aku angkat kepalaku, tiba-tiba ada malaikat yang pernah mendatangiku di gua Hira duduk di atas kursi antara langit dan bumi, sehingga akupun merasa ketakutan sekali. Kemudian aku pulang dan aku berkata : Selimutilah aku! Selimutilah aku! Lalu Allah menurunkan : “Wahai orang berselimut, bangkitlah, lalu berilah peringatan”.

Dalam hadits ini beliau memberitahukan tentang malaikat yang datang kepadanya di gua Hira sebelum saat itu. Di dalam hadits Aisyah beliau memberitahukan bahwa turunnya Iqra’ itu di gua Hira dan bahwa Iqra’ itulah wahyu pertama yang turun. Kemudian setelah itu wahyu terhenti. Sedang dalam hadits Jabir, beliau memberitahukan bahwa wahyu berlangsung kembali setelah turunnya Ya ayyuhal muddatstsir.
Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa Iqra’ adalah wahyu yang pertama sekali diturunkan secara mutlak dan bahwa al-Muddatstsir diturunkan sesudah Iqra’.
Begitu juga Ibnu Hibban mengatakan dalamShahihnya :
“Diantara kedua hadits itu tidak ada pertentangan. Sebab yang pertama kali diturunkan adalah Iqra’ bismi robbik alladzi kholaq di gua Hira. Ketika kembali kepada Khadijah radiyallahu 'anha dan Khadijah menyiramkan air dingin kepadanya, Allah menurunkan “Yaa ayyuhal muddatstsir” di rumah Khadijah. Maka jelaslah bahwa ketika turun kepada beliau Iqra’ , ia pulang lalu berselimut. Kemudian Allah menurunkan “Yaa ayyuhal muddatstsir”

Disamping itu ada juga pendapat-pendapat lain tentang ayat apakah yang paling pertama turun. Tapi yang kita sebutkan tadi adalah pendapat yang dikuatkan oleh banyak para ulama.
Waallahu A’lam

(Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur'an oleh : Syaikh Manna’ Al-qur'an-Qatthan (terj))







Faidah Mengetahui Makkiyyah dan Madaniyyah

Pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyyah banyak faidahnya, diantaranya :



  • Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Al-qur’an, sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang mufassir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh bila diantara kedua ayat tersebut terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh atas yang terdahulu.
  • Meresapi gaya bahasa Al-qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai bahasanya tersendiri. Memperhatikan apa yang menjadi tuntunan kondisi, sangat penting dalam ilmu balaghah. Ciri khas gaya bahasa Makkiyyah dan Madaniyyah dalam Al-qur'an, juga memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebagai sebuah metode dalam dakwah ke jalan Allah, agar dapat menyesuaikan dengan psikologi lawan bicara, menguasai pikiran dan perasaannya serta dapat memberikan solusi terhadap apa yang ada dalam dirinya dengan penuh bijaksana. Setiap tahapan dakwah mempunyai topik dan pola penyampaian tersendiri. Pola penyampaian itu berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan manhaj, keyakinan dan kondisi lingkungan. Yang demikian tampak jelas dalam berbagai cara Al-qur'an menyeru berbagai golongan; orang yang beriman, yang musyrik, yang munafiq dan Ahli Kitab.
  • Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Al-qur'an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dan segala peristiwa yang menyetainya, baik pada periode makkah maupun periode Madinah, sejak turunnya Iqra’ hingga ayat yang terakhir yang diturunkan.

    Al-qur'an adalah sumber pokok bagi hidup Rasulullah. Pola hidup beliau harus sesuai dengan Al-qur'an, dan Al-qur'anpun memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.

    (Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur'an oleh : Syaikh Manna’ Al-qur'an-Qatthan (terj))






  • Ciri – Ciri Khusus Bagi Surat – Surat Madaniyyah

    Ketentuan – ketentuan tergolongnya suatu surat kedalam Madaniyyah diantaranya adalah :

    1. Setiap surat yang di dalamnya terdapat suatu kewajiban atau hukuman had maka termasuk Madaniyyah

    2. Setiap surat yang di dalamnya terdapat penyebutan orang munafiq maka termasuk Madaniyyah kecuali surat Al-Ankabut, karena surat itu adalah Makkiyah.

    3. Setiap surat yang di dalamnya terdapat debat untuk ahli kitab maka termasuk Madaniyyah

    Adapun di lihat dari ciri pembahasan dan gaya bahasa, secara umum bisa dilihat dari poin berikut :

    1. Penjelasan tentang macam-macam ibadah, muamalah, hukuman had, aturan kekeluargaan, hukum waris, keutamaan jihad, hubungan kemasyarakatan, hubungan kenegaraan baik dalam situasi damai ataupun perang,kaidah-kaidah dalam hukum dan masalah-masalah pensyariatan

    2. Dialog dengan ahli kitab yaitu yahudi dan nashrani, mendakwahkan mereka kepada Islam, penjelasan bahwa mereka merubah kitab-kitab Allah, kejahatan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan di antara mereka setelah datang ilmu kepada mereka karena keangkuhan mereka.

    3. Penyingkapan perangai-perangai orang munafiq, perincian jiwa buruk mereka, penyingkapan rahasia mereka dan penjelasan bahayanya mereka terhadap agama.

    4. Panjangnya potongan ayat – ayat dengan metode yang dimaksudkan untuk menguatkan syariat dan menjelaskan tujuan-tujuan syariat.
    Wallahu A’lam

    ( Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari kitab : Mabahits Fi Ulumil Qur’an oleh : Syaikh Manna’ al- Qhaththan )








    Ciri – Ciri Khusus Bagi Surat – Surat Makkiyah

    Para ulama telah menganalisa surat – surat Makkiyah dan surat – surat Madaniyyah dalam Alqur’an. Merekapun berkesimpulan bahwa masing mempunyai ciri – ciri khusus dalam gaya bahasa dan pembahasan. Para ulamapun mengeluarkan beberapa kaidah dan ketentuan dalam hal ini.

    Ketentuan – ketentuan tergolongnya suatu surat kedalam Makkiyah diantaranya adalah :

    1. Setiap surat yang di dalamnya terdapat ayat sajdah maka termasuk Makkiyah

    2. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kata “Kallaa”, maka termasuk Makkiyah

    3. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kata “يا أيها الناس” dan tidak terdapat “يا أيها الذين آمنوا”, maka termasuk Makkiyah. Kecuali dalam surat Al-hajj, karena di akhir – akhir surat terdapat ayat “يا أيها الذين آمنوا”. Tapi walaupun begitu, banyak para ulama menyatakan bahwa ayat tersebut termasuk Makkiyah juga.

    4. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kisah para Nabi dan umat terdahulu, maka termasuk Makkiyah kecuali surat Albaqarah.

    5. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kisah Adam dan Iblis, maka termasuk Makkiyah kecuali surat Albaqarah

    6. Setiap surat yang dibuka dengan huruf – huruf Hijaiyyah seperti “Alif Laam Miim”, “Alif Laam Raa” “Haa Miim” dan yang semisalnya, maka termasuk Makkiyah, kecuali Azzahrowain, yaitu Surat Albaqarah dan Ali Imran, dan para ulama berbeda pendapat pada surat Arra’d.

    Adapun di lihat dari ciri pembahasan dan gaya bahasa, secara umum bisa dilihat dari poin berikut :

    1. Mengajak kepada tauhid dan hanya beribadah kepada Allah, pengukuhan kerasulan, pengukuhan adanya kebangkitan dan pembalasan, penyebutan hari Kiamat dan kehebatannya, neraka dan adzabnya, syurga dan kelezatannya, Mendebat orang – orang musyrik dan bukti – bukti kauniyyah ( alam semesta )

    2. Peletakkan dasar – dasar umum untuk pensyariatan dan akhlaq – akhlaq terpuji yang dengannya dunia tetap eksis, pembeberan kejahatan – kejahatan kaum musyrikin tentang pembunuhan, memakan harta anak yatim, penguburan anak hidup – hidup, dan semua kebiasan buruk yang ada pada mereka .

    3. Penyebutan kisah – kisah para Nabi dan umat – umat terdahulu sebagai peringatan bagi kaum musyrikin agar mereka mengambil pelajaran dari perjalanan akhir para pembangkang sebelum mereka, dan juga sebagai hiburan untuk Nabi sallallahu ‘Alaihi Wasallam agar bersabar dari kejahatan mereka dan agar merasa tenang bahwa beliau akan mengalahkan mereka.

    4. Pendeknya potongan ayat – ayat beserta kuatnya kandungan lafadz – lafadznya, dan ungkapannya yang singkat, yang bisa memelingkan telinga, ketukan nadanya sangat keras terhadap pendengaran, menggetarkan hati, menguatkan kandungan ayat dengan banyaknya sumpah seperti di surat – surat yang pendek.

    Wallahu A’lam

    ( Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari kitab : Mabahits Fi Ulumil Qur’an oleh : Syaikh Manna’ al- Qhaththan )








    Hubungan Antara Tadabbur Alqur'an Dengan Puasa

    Dari Abdullah ibn Amr radiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam bersabda :


    الصيام والقرآن يشفعان للعبد يوم القيامة يقول الصيام أي رب منعته الطعام والشهوات بالنهار فشفعني فيه ويقول القرآن منعته النوم بالليل فشفعني فيه قال فيشفعان

    “Puasa dan Alqur'an memberi syafaat kepada hamba pada hari kiamat. Puasa berkata : “Yaa Rabbi, saya menahan dia dari makan dan syahwatnya di siang hari, maka berilah kepadaku syafa’at untuknya”. Alqur’an berkata : “Saya menahannya dari tidur di malam hari maka berilah kepadaku syafa’at untuknya”. Maka keduanyapun memberi syafaat. ( Shahih Targhib wat Tarhib : 1/483 (969) )

    Sungguh antara Alqur'an dan puasa mempunyai hubungan yang sangat erat, karena salah satu hikmah yang paling agung dan yang paling penting dari disyariatkannya puasa di siang hari Ramadhan adalah untuk menyiapkan hati agar bisa mentadabburi Alqur'an pada waktu membacanya di qiyamullail ( tarawih ). Tapi yang kita lihat, banyak manusia menyia – nyiakan kebaikan yang agung ini dimana mereka berlebih – lebihan dalam makan dan minum waktu buka dan makan malam.

    Ilmu kedokteran modern dan pengobatan alternatif telah menetapkan urgensinya puasa dalam rangka menjernihkan hati dan peranannya baik dalam bidang kerohanian atau juga dalam bidang jasmaniyah.

    Saya ( penyusun ) amat yakin akan hikmah disyariatkannya puasa, tanpa harus lelah merujuk dan meluangkan waktu untuk membaca buku – buku tentang hikmah puasa. Karena cukup bagi kita firman Allah Subhanahu Wata'ala :


    وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

    “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. ( al-Baqarah : 184)

    Itu adalah risalah dari Tuhan semesta alam, dimana dia membawa sangat banyak sekali arahan dan bimbingan. Allah telah menetapkan bagi kita kaidah yang sangat agung ini yaitu : “Bahwa puasa itu lebih baik bagi kita”. Sebagian kebaikan puasa telah terbukti dengan pembuktian melalui pengalaman dan juga melalui pembuktian para ulama yang telah mengukuhkan pentingnya hubungan antara puasa dengan fikiran, pemahaman dan tadabbur.
    Sungguh realita kebenaran tentang hal ini dan juga penjelasan – penjelasan dan pengalaman para peneliti, baik dari kalangan ulama Islam atau dari selain Islam tidak bisa dituangkan dalam satu buku saja. Penjelasan dan pengalaman mereka yang tidak dikutip jauh lebih banyak. Hanya sedikit dari mereka yang menemukan hal ini dan menceritakanya dan menyebutkan apa yang ia dapat. Adapun selain mereka, banyak yang menemukan hal ini tapi tidak menceritakan.

    Kalau anda benar – benar ingin mentadabburi Alqur'an dan Alqur'an berbekas pada diri anda, maka anda harus menggunakan kunci ajaib ini. Apalagi di bulan Ramadhan dimana bulan ini adalah bulan puasa, yaitu puasa yang benar. Dimana orang yang berpuasa dengan benar sangat ingin sekali mengamalkan kandungan hadits Miqdam Ibn Ma’di Karib dimana beliau mendengar bahwa Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam bersabda :


    ما ملأ أبن آدم وعاء شرا من بطن بحسب ابن آدم لقيمات يقمن صلبه . فإن كان لا محالة فثلث لطعامه وثلث لشرابه وثلث لنفسه

    “Tiada tempat yang paling buruk yang dipenuhi oleh manusia daripada perutnya. Cukup bagi manusia beberapa suap saja untuk menegakkan tulang belakangnya, dan jika tidak maka sepertiga ( dari perutnya ) untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk nafasnya” ( HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim. Imam Tirmidzi berkata : hadits hasan )

    Hadits ini adalah sumber dasar yang menghimpun seluruh dasar ilmu kedokteran.
    Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi Masawaih sang dokter, pada saat membaca hadits ini dalam kita Abi Khaitsamah rahimahullah beliau berkata : “Kalau orang – orang menggunakan hadits ini, niscaya mereka terbebas dari berbagai penyakit dan derita dan pasti tempat – tempat berobat dan apotek akan sepi”.

    Bukanlah arti puasa itu anda menahan diri dari makan dan minum beberapa saat, kemudian anda melampiaskannya dengan makan yang lebih banyak. Ini dengan tanpa ragu, bukanlah puasa yang bermanfaat. Puasa yang bermanfaat bagi pelakunya adalah yang dilalui tanpa rasa kenyang pada waktu berbuka.

    Sebagian pemuda berkata : “Saya sudah puasa, tapi saya tidak mendapatkan penwar ( dari syahwat ) sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam. Kita jelaskan : ya seperti itu kalau kamu pada waktu berbuka melampiaskan puasamu dan makan lebih banyak daripada sebelumnya. Ini bukanlah puasa yang benar tapi menyiksa dan menyakiti badan. Karena tujuan dari puasa secara umum adalah untuk menjaga tubuh dan secara khusus untuk menjaga hati dari racun – racun makanan dan minuman. Inilah kandungan sabda Nabi Sallallahu 'Alahi Wasallam :


    فإنه له وجاء

    “ Sesungguhnya pada puasa itu ada penawar”

    Itu dikarenakan jikalau hati istirahat dari berbagai racun makanan dan minuman maka akan jernih dan lembut.

    Al-Marwazi rahimahullah berkata : “Saya bertanya kepada Abu Abdillah ( Imam Ahmad ) Mungkinkah seseorang menemukan hatinya lembut waktu kenyang ?” Imam Ahmad rahimahullah menjawab : “Saya kira tidak”

    Ibnu Umar radiyallahu 'anhu berkata : “Saya belum pernah kenyang semenjak saya masuk Islam”

    Muhammad Ibn Wasi’rahimahullah berkata : “Barangsiapa sedikit makanannya dia akan faham dan akan lebih faham, jernih dan lembut. Sungguh banyak makan itu membuat malas untuk melakukan hal – hal yang perlukan”

    Sulaiman Ad-Darani rahimahullah berkata : “Jikalau kamu menginginkan keperluan dunia atau akhirat, maka janganlah makan kecuali kalau sudah selesai, karena makan mengubah akal”

    Al-Qotsam al-‘Abid rahimahullah berkata : “Telah tersebar bahwa : Tidaklah orang itu sedikit makannya kecuali pasti hatinya akan lembut dan matanya berlinang”

    Abu Imran al-Jauni rahimahullah berkata : “Telah tersebar bahwa barangsiapa yang ingin hatinya terang maka sedikitkanlah makan ”

    Sufyan ats-Tsauri rahimahullah menulis untuk Utsman Ibn Zaidah : “Kalau anda ingin badan anda sehat dan tidur sedikit, maka sedikitkanlah makan”

    Ibrahim Ibn Adham rahimahullah berkata : “Barangsiapa menguasai perutnya, maka dia telah menguasai agamanya. Barangsiapa bisa mengendalikan rasa laparnya maka dia memiliki akhlaq yang baik”

    Hasan Ibn Yahya al-Khusyani rahimahullah berkata : “Barangsiapa ingin bercucuran air matanya dan lembut hatinya, maka hendaklah dia makan dan minum untuk setengah perutnya”

    Syafi’i rahimahullah berkata : “Sungguh, kenyang itu membuatv badan malas, menghilangkan kecerdasan, mendatangkan kantuk dan melemahkan diri dari beribadah ”
    Wallahu A'lam.


    ( Abu Maryam, diambil dari kitab Mafatih Tadabbur Alqur'an karya Syaikh Khalid ibn Abdil Karim dengan sedikit perubahan )







    Cinta Alqur'an dan Cara Merealisasikannya

    Ramadhan adalah bulan cinta dan baca Alqur'an. Pada bulan ini terdapat sebaik – baiknya malam yaitu Lailatulqodr yang mana Alqur'an, sebaik – baiknya perkataan turun di malam ini. Malaikat Jibril sebaik – baik malaikat, memperdengarkan Alqur'an kepada sebaik – baiknya makhluq yaitu Nabi Muhammad Sallallahu 'Alahi Wasallam pada malam ini.

    Utsman ibn ‘Affan radiyallahu 'anhu mengkhatamkan Alqur'an setiap hari di bulan Ramadhan.Para ulama salaf dahulupun sangat mengagungkan bulan Ramadhan dan mengisinya dengan banyak membaca dan mentadabburi Alqur'an. Bahkan diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah dapat mengkhatamkan Alqur'an di bulan yang agung ini sebanyak enampuluh kali. Mereka adalah para manusia yang cinta Alqur'an. Hati mereka selalu melekat pada Alqur'an. Kemanapun mereka pergi dan kapanpun, Alqur'an selalu berada di hati mereka.

    Marilah kita berusaha untuk cinta Alqur'an sebagaimana para pendahulu kita cinta Alqur'an. Alqur'an adalah petunjuk jalan hidup kita. Hanya dengannyalah kita bisa berbahagia di dunia dan akhirat.

    Tanda – Tanda Cinta Alqur'an

    Hati yang sudah cinta terhadap Alqur'an mempunyai beberapa tanda di antaranya :

    • Gembira bila bersua dengannya
    • Duduk membacanya dalam waktu yang lama tanpa bosan dan jemu.
    • Merasa rindu bila terhalang membacanya beberapa waktu dan berusaha untuk selalu dekat dengannya.
    • Selalu merujuk kepada Alqur'an dan memgambil nasihat – nasihat yang ada di dalamnya bila menemukan kesulitan hidup, baik berat ataupun ringan
    • Mentaati hukum – hukum dalam Alqur'an baik perintah ataupun larangan.


    Inilah tanda – tanda terpenting dari cinta Alqur'an. Bilamana tanda – tanda ini ada, berarti cinta Alqur'an itu ada, bila tidak , berarti cinta telah pergi dan tiada. Bila sebagian tanda kurang, berarti kurang pula cinta itu sesuai kekurangan tadi.


    Sudah semestinya bagi setiap muslim untuk bertanya kepada dirinya sendiri : “apakah saya sudah cinta Alqur'an?”

    Pertanyaan yang sangat penting dan meresahkan hati. Jawabannya pun lebih meresahkan lagi, karena jawaban dari pertanyaan itu mengandung banyak sekali maksud dan penafsiran.

    Sebelum anda menjawab pertanyaan anda sendiri tadi, alangkah baiknya anda kembali melihat tanda – tanda di atas.
    Sebagian orang kalau ditanya : “Anda cinta Alqur'an ?”
    Dia menjawab :” Ya, tentu saya cinta Alqur'an. Bagaimana mungkin tidak…”
    Tapi apakah dia benar dengan jawabannya itu? Bagaimana mungkin dia cinta Alqur'an, sedangkan untuk duduk bersamanya selama beberapa menit saja tidak sanggup. Padahal kalau dia bersama dengan apa yang ia sukai, dia akan bersamanya berjam – jam.

    Abu Ubaid rahimahullah berkata : “ Seorang hamba bisa bertanya kepada dirinya hanya dengan Alqur'an. Bila cinta Alqur'an, maka sungguh dia cinta Allah dan RasulNya”

    Kalau tanda – tanda cinta Alqur'an di atas tidak ada pada kita, sungguh kita harus mengakui kelalaian dan kekurangperhatian kita terhadap Alqur'an. Setelah itu, kita berusah sekuat tenaga untuk merubahnya.


    Cara Merealisasikan Cinta Alqur'an

    Cara Pertama : Bertawakal dan Minta Pertolongan Kepada Allah Ta’ala

    Yaitu kita minta pertolongan Allah dan berdoa kepadaNya untuk dianugerahi cinta Alqur'an. Di antaranya berdoa dengan doa agung yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah bersabda :

    “Tidaklah seorang hamba apabila terkena musibah atau kesedihan, kemudian dia berdoa :


    اللهم إني عبدك وابن عبدك وابن أمتك ناصيتي بيدك ماض في حكمك عدل في قضاؤك أسألك بكل اسم هو لك سميت به نفسك أو علمته أحدا من خلقك أو أنزلته في كتابك أو استأثرت به في علم الغيب عندك أن تجعل القرآن ربيع قلبي ونور صدري وجلاء حزني وذهاب همي إلا أذهب الله همه وحزنه وأبدله مكانه فرجا

    Kecuali Allah akan menghilangkan lara dan sedihnya dan menggantinya dengan kebahagiaan”. Para Shahabat berkata : “Wahai Rasulullah sepantasnyalah kita belajar kalimat – kalimat doa ini” Rasulullah menjawab :” Benar. Sudah sepantasnya orang yang mendengar ini untuk mempelajarinya” (HR. Ahmad, Dishahihkan oleh Albani)

    Hendaklah setiap hari doa ini diulang berkali – kali sambil memilih waktu – waktu yang mustajab. Bersungguh – sungguh waktu memohon, merendahkan diri, terus mengulang doa dan sangat mengharap agar doanya diijabah dan dikabulkan. Karena sebagian orang mengulang – ulang doanya hanya pada perkara duniawi yang bersifat materil saja. Adapun kalau urusan agama, doanya kering dan tak ada kesungguhan. Itupun kalau dia berdoa…

    Cara Kedua : Menghadirkan Penyebab – Penyebab Cinta Alqur'an

    Penyebab cinta Alqur'an yang paling utama adalah ilmu dan caranya dengan membaca. Yaitu membaca tentang keagungan Alqur'an yang disebutkan di dalam Alqur'an,as-Sunnah dan perkataan para ulama salaf tentang cinta dan pengagungan mereka terhadap Alqur'an.

    Disarankan bagi setiap orang yang ingin mendapatkan cinta Alqur'an untuk membuat suatu program, dimana dia menulis beberapa teks dari Alqur'an, as-Sunnah dan perkataan ulama salaf yang menjelaskan tentang derajat dan keagungan Alqur'an. Kemudian dijadikan dua bagian, yaitu matan( naskah asli) dan syarh (Penjelas dari matan ). Matan untuk dihafal dan diulang – ulang, adapun syarh untuk dibaca dan difahami. Lalu dikorelasikan antara matan dan syarh.

    Diharapkan bagi yang menerapkan program ini agar di beri oleh Allah Subhanahu Wata'ala kecintaan dan pengagungan terhadap Alqur'an. Dimana cinta Alqur'an itu adalah kunci utama untuk memahami dan mentadabburi Alqur'an.

    Maka perbanyaklah membaca hal – hal tentang Alqur'an, bacalah dengan kontinyu kabar – kabar dan kisah – kisah dari ulama salaf tentang bagaimana mereka berinteraksi dengan Alqur'an.

    Karena mesti kita ketahui bahwa kekurangcintaan kita pada Alqur'an penyebabnya adalah ketidaktahuan kita terhadap nilai dan ketinggian Alqur'an. Seperti anak kecil yang yang menolak diberi uang 500 ribu dan minta seribu rupiah. Begitu juga orang yang tidak tahu ketinggian Alqur'an, dia tinggalkan Alqur'an, tidak butuh padanya dan lebih memilih apa – apa yang sebenarnya lebih rendah dari Alqur'an.

    Kalaulah diiklankan akan ada lomba telaah buku dan pemenangnya akan mendapatkan hadiah berpuluh – puluh juta, bagaimanakah respon dan antusiasme masyarakat? Dan bagaimana antusias mereka untuk berusaha mencari dan menelaah buku tersebut ? Padahal sesungguhnya Alqur'an adalah buku ( kitab ) dimana yang berhasil berinteraksi dengan kitab ini, dia akan mendapatkan hadiah kerajaan yang tak terbatas.

    Banyak sekali orang Islam yang cintanya terhadap Alqur'an adalah cinta yang umum dan tidak mendetail. Pengetahuan mereka hanya terbatas bahwa Alqur'an turun dari Allah Ta’ala, Membacanya dalam sholat adalah ibadah dan Alqur'an dibaca untuk penyembuh orang sakit. Adapun pengetahuan secara terperinci tentang keagungan ketinggian Alqur'an mereka tidak mengetahuinya.

    Hal ini kita contohkan dengan apabila kita mendengar seorang tokoh besar dalam sejarah dan kita mengaguminya, namun kita mengetahui cerita hidupnya secara umum saja tanpa mendetail. Ketika kita membaca buku setebal 600 halaman tentang kepahlawanannya, pengorbanannya, kemuliaan dan kebaikannya kepada manusia, keberhasilan yang telah diukirnya, dan kita membacanya dengan antusias huruf – perhuruf, maka sungguh pasti gambaran tentang tokoh ini semakin jelas dan pengetahuan tantangnya semakin dalam, bertambah pulalah cinta dan kekaguman kita padanya. Keterpengaruhan seperti ini adalah hal yang sudah terbukti dan tidak bisa diingkari.

    Lalu kenapa kita tidak melakukannya untuk menambah kecintaan dan pengagungan kita terhadap Alqur'an? Karena kalau kita melakukannya, maka sungguh kitab yang sangat agung ini akan menambah cinta dan pengagungan kita kepada Allah 'Azza Wajalla. Dan dengan ini kita bisa mencapai derajat dan kedudukan para wali – wali Allah yang bertaqwa,yaitu orang - orang tidak merasa takut dan tidak pula bersedih hati, orang – orang yang kalau satu di antara mereka bersumpah, Allah akan mengabulkan sumpahnya dan memberikan segala angan – angannya.

    Di bulan Ramadhan yang sebaik – baik bulan ini, adalah momen yang sangat tepat untuk merealisasikan harapan kita bersama ini, yang mungkin telah hilang atau bahkan belum pernah hadir dalam hati kita. Mari terus berusaha dan janganlah kita berputus asa.
    Wallahu A'lam.

    ( Abu Maryam, diambil dari kitab Mafatih Tadabbur Alqur'an karya Syaikh Khalid ibn Abdil Karim )







    Makna Kata 'Syari'ah' Dalam Al-Qur`an

    Di antara istilah-istilah yang penting di dalam al-Qur`an adalah istilah ‘syari’ah.’ Bahkan di antara nama lain dari surat al-Jatsiah adalah surat asy-Syari’ah.

    Perlu diketahui, istilah ‘syari’ah’ termasuk istilah-istilah yang sinonim dengan istilah ‘ad-Dien.’ Istilah asy-Syari’ah mengekor dengan istilah ‘ad-Dien’ tersebut.

    Kata ‘asy-Syari’ah’ secara etimologi (asal bahasa) adalah tempat meminum air. Kemudian penggunaannya ‘dipinjamkan’ kepada setiap cara yang dibuat oleh tangan ilahi yang kokoh. Kata ‘Syur’ah’ merupakan derivasi darinya. Dalam surat al-Ma`idah, ayat 48 terdapat kata ‘syur’ah’, yaitu firmanNya, “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (al-Ma`idah:48)

    Demikian juga pada surat al-Jatsiah, ayat 18 terdapat kata ‘syari’ah,’ yaitu firmanNya, “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu.” (al-Jatsiah:18)

    Dalam bahasa Arab sering diungkapkan, Syara’at al-Ibil, yakni bila ia (onta-onta itu) mendapatkan Syari’ah, yaitu tempat meminum air.

    Kata ‘Syari’ah’ dan ‘Syur’ah’ artinya ‘dien’ yang dikaruniakan oleh Allah dan diperintahkanNya, seperti puasa, shalat, haji, zakat dan seluruh perbuatan kebajikan. Di antaranya, firman Allah swt, “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu..” (al-Jatsiah:18)

    Dan firmanNya, “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang..” (al-Ma`idah:48). Diriwayatkan dari Ibn Abbas rma mengenai tafsir ayat ini mengatakan, “Kata ‘Syur’ah’ adalah yang terdapat di dalam al-Qur`an, sedangkan kata ‘Minhaj’ adalah yang terdapat di dalam as-Sunnah.” Dan diriwayatkan juga darinya mengenai makna ayat tersebut, ’Syur’ah’ dan ‘Minhaj’ artinya sebagai jalan dan sunnah.” Qatadah berkata, ’Syur’ah’ dan ‘Minhaj’ yakni agama ini satu sedangkan syari’at itu berbeda-beda.” Ada yang mengatakan, ‘Syur’ah’ yakni ad-Dien, dan ‘Minhaj’ yakni ath-Thariq (jalan). Ada juga yang mengatakan, ‘Syur’ah’ dan ‘Minhaj’ semua bermakna ath-Thariq (jalan). Dan jalan di sini adalah ‘ad-Dien.’ Sebagian ulama mengatakan, ‘Syur’ah’ artinya permulaan jalan sedangkan ‘Minhaj’ adalah jalan yang lurus lagi jelas.

    Dan firmanNya, (al-Jatsiah:18) Al-Farra` berkata, “Yaitu, di atas dien, minnah dan manhaj.” Sebagian ulama mengatakan, “’Ala Syari’ah, yakni di atas misal dan mazhab.” Karena itu dikatakan, “Syara’a fulanun kadza wa kadza, artinya Idza Akhadza fih.

    Dan kalimat, Syara’a ad-Diena, Yasyra’uhu Syar’an artinya Sannahu (membuat/merancangnya). Di dalam al-Qur`an dikatakan, “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh.” (asy-Syura:13) Ibn al-A’rabi berkata, “Syara’, yakni Azh-hara (menampakkan).” Ia berkata di dalam tafsirnya, “FirmanNya, ‘yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah.’ (Syura:21) Yakni menampakkan bagi mereka.

    Dan firmanNya dalam kisah Ash-hab as-Sabt, “Ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air.” (al-A’raf:163) Mengenai tafsirnya dikatakan, “Ia adalah yang mengangkat kepalanya.” Dari situ, dalam perkataan orang Arab diungkapkan, “Ramhun Syura’iy artinya tombak yang panjang.

    Hanya saja, di antara istilah-istilah Qur`an yang sinonim dengan istilah Syari’ah –berikut dengan adanya perbedaan-perbedaan yang dilihat dari Mazhann-nya- adalah istilah Millah, yang merupakan istilah al-Qur`an lainnya; terjadi keterputusan dengan istilah Syari’ah dalam banyak makna, dan berbeda dengannya dalam makna yang lain. Wallahu a’lam.







    APA ITU ILTIFAT?

    Iltifat artinya mengalihkan Uslub (gaya bicara) dari satu arah ke arah yang lain.

    Ada beberapa gambarannya, di antaranya:

    1. Iltifat dari Uslub ghaib kepada Uslub mengajak bicara, seperti firman-Nya,

    الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ{2} الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ{3} مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ{4} إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ{5}


    [Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (1) Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, (2) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (3) Yang menguasai hari pembalasan. (4) Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (5)]

    Dalam ayat ini, Allah SWT mengalihkan pembicaraan dari Uslub ghaib (pada firman-Nya; رب) kepada Uslub mengajak bicara (kata ganti orang pertama) pada firman-Nya إِيَّاكَ.

    2. Iltifat dari Uslub mengajak bicara kepada Uslub ghaib, seperti firman-Nya,

    حَتَّى إِذَا كُنتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِم . (يونس:22)


    [Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya]

    Dalam ayat ini, Allah SWT mengalihkan pembicaraan dari Uslub mengajak bicara (pada firman-Nya; كنتم) kepada Uslub ghaib pada firman-Nya, وَجَرَيْنَ بِهِم.

    3. Iltifat dari Uslub ghaib kepada Uslub berbicara, seperti firman-Nya,

    وَلَقَدْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيباً. (المائدة: 12)


    [Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin]

    Dalam ayat ini, Allah SWT mengalihkan pembicaraan dari Uslub ghaib (pada firman-Nya; أخذ الله) kepada Uslub berbicara pada firman-Nya, وَبَعَثْنَا .

    4. Iltifat dari Uslub berbicara kepada Uslub ghaib, seperti firman-Nya,

    إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1)فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) (الكوثر:1-2)


    [Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.(1) Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu (2)]
    Dalam ayat ini, Allah SWT mengalihkan pembicaraan dari Uslub berbicara (pada firman-Nya; أعطيناك) kepada Uslub ghaib pada firman-Nya, لِرَبِّكَ.

    Faedah Iltifat

    Di antaranya:

    1. Mengajak orang yang diajak bicara agar memperhatikan perubahan arah gaya bicara terhadapnya.

    2. Mengajaknya agar berfikir tentang makna, sebab perubahan arah gaya bicara menyebabkan berfikir terhadap sebabnya.

    3. Membuang rasa bosan dan jenuh darinya, sebab tetap dengan gaya bicara satu arah, biasanya menyebabkan rasa bosan.

    Demikianlah beberapa faedah Iltifat secara umum dalam seluruh gambarannya. Adapun faedah secara khusus, maka itu terjadi dalam seluruh gambarannya sesuai dengan tuntutan situasi atau kondisinya. Wallahu a’lam.

    (SUMBER: Ushul Fi at-Tafsir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al- ‘Utsaimin, Hal.61-62)








    Sinkronisasi Dugaan Kontradiksi Dalam al-Qur’an

    Yang dimaksud dengan at-Ta’aarudh (kontradiksi) adalah bertemunya dua ayat di mana indikasi salah satunya menolak indikasi pada ayat yang lainnya seperti, salah satu ayat berindikasi Itsbat (menetapkan) sesuatu sementara yang satunya lagi menafikan (meniadakan)-nya.

    Sesungguhnya, tidak mungkin terjadi kontradiksi antara dua ayat yang indikasinya bersifat Khabary (pemberitaan) sebab konsekuensinya bahwa salah satu darinya adalah dusta dan ini mustahil terjadi pada berita-berita yang diinformasikan Allah SWT. Dia berfirman, “Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah.” (QS.an-Nisa’:87) dan firman-Nya, “Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah.” (QS.an-Nisa’:122)

    Demikian pula tidak mungkin terjadi kontradiksi antara dua ayat yang indikasinya bersifat Hukmy (hukum) sebab pasti ayat yang terakhir darinya menjadi Nasikh (penghapus) ayat pertama. Allah SWT berfirman, “Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (QS.al-Baqarah:106) Bila sudah ditetapkan adanya Naskh (penghapusan), maka hukum yang terdapat pada ayat pertama tidak berlaku dan ia tidak bertentangan dengan ayat terakhir (yang kedua).

    Bila anda melihat ada suatu dugaan kontradiksi dari hal itu, maka berupayalah untuk menyinkronkan antara keduanya; bila belum dapat memastikannya, maka anda harus berhenti dan menyerahkan hal itu pada Yang Maha Mengetahuinya, yaitu Allah SWT.

    Para ulama menyinggung banyak contoh terkait dengan dugaan kontradiksi dan menjelaskan cara melakukan sinkronisasinya. Di antara buku yang paling padat isinya berbicara mengenai tema ini adalah buku “Daf’u iihaam al-Iththiraab ‘An Aayil Kitaab” karya Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi RAH.

    Di antara contoh tersebut adalah firman Allah SWT di dalam al-Qur’an, “Petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (QS.al-Baqarah:2) dan firman-Nya, “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia” (QS.al-Baqarah:185) Allah menjadikan hidayah al-Qur’an pada ayat pertama khusus buat orang-orang yang bertakwa sedangkan pada ayat kedua umum buat semua manusia. Sinkronisasi antara keduanya adalah dengan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hidayah pada ayat pertama itu adalah hidayah taufiq dan kemanfa’atan sedangkan maksud hidayah pada ayat kedua adalah hidayah penjelasan dan petunjuk.

    Sepadan dengan kedua ayat tersebut adalah firman Allah SWT lainnya yang berbicara mengenai diri Rasulullah SAW, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya” (QS.al-Qashash:56) dan firman-Nya, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS.asy-Syuura:52) Yang dimaksud dengan hidayah pada ayat pertama adalah hidayah taufiq sedangkan pada ayat kedua adalah hidayah penjelasan.

    Contoh lainnya, firman-firman Allah SWT,
    “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu…” (QS.Ali ‘Imran:18)
    “Dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah….” (QS.Shaad:65)
    “Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apa pun yang lain…” (QS.al-Qashash:88)
    “…karena itu tiadalah bermanfa’at sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kehinaan belaka.” (QS.Hudd:101)

    Pada dua ayat pertama mengindikasikan penafian Uluhiyyah (ketuhanan) selain Allah SWT sedangkan pada dua ayat terakhir mengindikasikan penetapan Uluhiyyah selain-Nya.

    Sinkronisasi antara keduanya adalah dengan menyatakan bahwa Uluhiyyah yang khusus bagi Allah-lah Uluhiyyah yang sebenar-benarnya sedangkan Uluhiyyah menetapkan bagi selain-Nya adalah Uluhiyyah yang batil. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS.al-Hajj:62)

    Di antara contoh lainnya, firman Allah SWT, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji’” (QS.al-A’raf:28) dan firman-Nya, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menta’ati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS.al-Isra’:16) Dalam ayat pertama, menafikan Allah memerintahkan berbuat keji sedangkan makna implisit ayat kedua adalah bahwa Allah SWT memerintahkan berbuat sesuatu yang fasiq.

    Sinkronisasi antara keduanya adalah dengan menyatakan bahwa pada ayat pertama tersebut berupa perintah secara syari’at di mana secara syari’at, Allah tidak pernah memerintahkan berbuat keji berdasarkan firman-Nya, “Sesungguhnya Allah (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (an-Nahl:90) Sedangkan dalam ayat kedua berupa perintah secara Kauny (alami) di mana secara Kauny, Allah memerintahkan dengan apa saja yang dikehendaki-Nya sesuai tuntutan hikmah-Nya berdasarkan firman-Nya, “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah’ maka jadilah ia.” (QS.Yaasiin:83)

    Untuk mendapatkan contoh yang lebih banyak lagi, silahkan merujuk buku karya Syaikh asy-Syinqithi yang telah kami sebutkan di atas.

    (SUMBER: Ushuul Fi at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal.45-46)










    Urgensi Kisah Dalam al-Qur’an

    Mukaddimah

    Membaca cerita atau kisah tentulah sangat mengasyikkan dan dapat menghilangkan rasa jenuh pembaca. Bilamana isinya otentik, valid, benar dan tidak direkayasa tentulah lebih mengasyikkan lagi. Al-Qur’an pun menggunakan metode ini dalam menggugah hati.
    Nah, apa sebenarnya urgensi dari pemuatan kisah tersebut? Apa hikmahnya? Silahkan baca ulasan lengkapnya!

    Definisi

    Secara bahasa kata al-Qashash dan al-Qushsh maknanya mengikuti atsar (jejak/bekas). Sedangkan secara istilah maknanya adalah informasi mengenai suatu kejadian/perkara yang berperiodik di mana satu sama lainnya saling sambung-menyambung (berangkai).

    Kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan kisah paling benar sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT, “Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya dari pada Allah.?” (QS.an-Nisa’/4:87). Hal ini, karena kesesuaiannya dengan realitas sangatlah sempurna.

    Kisah al-Qur’an juga merupakan sebaik-baik kisah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT, “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu.” (QS.Yusuf/12:3). Hal ini, karena ia mencakup tingkatan kesempurnaan paling tinggi dalam capaian balaghah dan keagungan maknanya.

    Kisah al-Qur’an juga merupakan kisah paling bermanfa’at sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS.Yusuf/12:111). Hal ini, karena pengaruhnya terhadap perbaikan hati, perbuatan dan akhlaq amat kuat.

    Jenis-Jenis Kisah

    Kisah al-Qur’an terbagi menjadi 3 jenis:

    1. Kisah mengenai para nabi dan Rasul serta hal-hal yang terjadi antara mereka dan orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir.

    2. Kisah mengenai individu-individu dan golongan-golongan tertentu yang mengandung pelajaran. Karenanya, Allah mengisahkan mereka seperti kisah Maryam, Luqman, orang yang melewati suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya (seperti tertera dalam surat al-Baqarah/2:259-red), Dzulqarnain, Qarun, Ash-habul Kahf, Ash-habul Fiil, Ash-habul Ukhdud dan lain sebagainya.

    3. Kisah mengenai kejadian-kejadian dan kaum-kaum pada masa Nabi Muhammad SAW seperti kisah perang Badar, Uhud, Ahzab (Khandaq), Bani Quraizhah, Bani an-Nadhir, Zaid bin Haritsah, Abu Lahab dan sebagainya.

    Beberapa Hikmah Penampilan Kisah

    Hikmah yang dapat dipetik banyak sekali, di antaranya:

    a. Penjelasan mengenai hikmah Allah SWT dalam kandungan kisah-kisah tersebut, sebagaimana firman-Nya, “Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran). Itulah suatu hikmat yang sempurna, maka peringatan-peringatan itu tiada berguna (bagi mereka).” (al-Qamar/54:4-5)

    b. Penjelasan keadilan Allah SWT melalui hukuman-Nya terhadap orang-orang yang mendustakan-Nya. Dalam hal ini, firman-Nya mengenai orang-orang yang mendustakan itu, “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfa’at sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan.” (QS. hud/11:101)

    c. Penjelasan mengenai karunia-Nya berupa diberikannya pahala kepada orang-orang beriman. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing.” (QS. Al-qamar/54:34)

    d. Hiburan bagi Nabi SAW atas sikap yang dilakukan orang-orang yang mendustakannya terhadapnya. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasulnya); kepada mereka telah datang rasul-rasulnya dengan membawa mukjizat yang nyata, zubur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku azab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaan-Kuu.” (QS.fathir/35:25-26)

    e. Sugesti bagi kaum Mukminin dalam hal keimanan di mana dituntut agar tegar di atasnya bahkan menambah frekuensinya sebab mereka mengetahui bagaimana kaum Mukminin terdahulu selamat dan bagaimana mereka menang saat diperintahkan berjihad. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Maka Kami telah memperkenankan doanya dari menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikian itulah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS.al-Anbiya’/21:88) Dan firman-Nya yang lain, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan Kami berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (QS.ar-Rum/30:47)

    f. Peringatan kepada orang-orang kafir akan akibat terus menerusnya mereka dalam kekufuran. Hal ini sebagaimana firman-Nyma, “Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereak dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (QS.muhammad/47:10)

    g. Menetapkan risalah Nabi Muhammad SAW, sebab berita-berita tentang umat-umat terdahulu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah SWT. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Itu adalah di antara berita-berita penting tentang ghaib yang Kmai wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini.” (QS.Hud/11:49) Dan firman-Nya, “”Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah.” (Ibrahim/14:9)

    Apa Faedah Pengulangan Kisah?

    Ada di antara kisah-kisah al-Qur’an yang hanya disebutkan satu kali saja seperti kisah Luqman dan Ash-habul Kahf. Ada pula yang disebutkan berulang kali sesuai dengan kebutuhan dan mashlahat. Pengulangan ini pun tidak dalam satu aspek, tetapi berbeda dari aspek panjang dan pendek, lembut dan keras serta penyebutan sebagian aspek lain dari kisah itu di satu tempat namun tidak disebutkan di tempat lainnya.

    Hikmah Pengulangan Kisah

    Di antara hikmah pengulangan kisah ini adalah:

    - Penjelasan betapa urgennya kisah sebab dengan pengulangannya menunjukkan adanya perhatian penuh terhadapnya.

    - Menguatkan kisah itu sehingga tertanam kokoh di hati semua manusia
    - Memperhatikan masa dan kondisi orang-orang yang diajak bicara. Karena itu, anda sering mendapatkan kisahnya begitu singkat dan biasanya keras bila berkenaan dengan kisah-kisah dalam surat-surat Makkiyyah, namun hal sebaliknya terjadi pada kisah-kisah dalam surat-surat Madaniyyah

    - Penjelasan sisi balaghah al-Qur’an dalam pemunculan kisah-kisah tersebut dari sisi yang satu atau dari sisi yang lainnya sesuai dengan tuntutan kondisi

    - Nampak terangnya kebenaran al-Qur’an dan bahwa ia berasal dari Allah SWT dimana sekali pun kisah-kisah tersebut dimuat dalam beragam jenis namun tidak satu pun terjadi kontradiksi.

    (SUMBER: Ushuul Fi at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal.48-51)









    Para Ahli Tafsir Terkenal Dari Kalangan Tabi’in

    Di kalangan Tabi’in terdapat beberapa ahli tafsir terkenal, di antaranya:
    A. Dari Ahli Mekkah: mereka adalah para pengikut Ibn ‘Abbas seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan ‘Atha` bin Rabah
    B. Dari Ahli Madinah: mereka adalah para pengikut Ubay bin Ka’b seperti Zaid bin Aslam, Abu al-‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’b al-Qurazhy
    C. Dari Ahli Kufah: mereka adalah para pengikut Ibn Mas’ud seperti Qatadah, ‘Alqamah dan asy-Sya’by

    Dalam hal ini, mari kita mengenal lebih lanjut riwayat hidup dua orang yang sangat terkenal dari mereka, yaitu Mujahid dan Qatadah.

    1. MUJAHID

    Dia adalah Mujahid bin Jabr al-Makky, Mawla as-Sa`ib bin Abi as-Sa`ib al-Makhzumy, lahir pada tahun 21 H. Beliau mentransfer tafsir al-Qur’an dari Ibn ‘Abbas RA.

    Ibn Ishaq meriwayatkan darinya, bahwa ia pernah berkata, “Aku telah menyodorkan Mushaf kepada Ibn ‘Abbas sebanyak tiga kali, dari permulaannya hingga penghujungnya. Aku minta ia berhenti pada setiap ayat dan menanyakan tentangnya kepadanya.”

    Sufyan at-Tsaury pernah berkata, “Bila tafsir itu datang kepadamu melalui Mujahid, maka itu sudah cukup bagimu.”

    Asy-Syafi’i dan al-Bukhary sangat mengandalkan tafsirnya. Al-Bukhary banyak sekali menukil darinya di dalam kitab Shahih-nya.

    Adz-Dzahaby berkata di akhir biografi tentangnya, “Umat bersepakat atas keimaman Mujahid dan berhujjah dengannya.”

    Beliau wafat pada tahunn 104 H di Mekkah saat sedang sujud dalam usia 83 tahun.

    2. QATADAH

    Beliau adalah Qatadah bin Di’amah as-Sadusy al-Bashary, terlahir dalam keadaan buta pada tahun 61 H. Beliau giat menuntut ilmu dan memiliki hafalan yang kuat. Karena itu, beliau pernah berkisah tentang dirinya, “Aku tidak pernah mengatakan kepada orang yang bicara kepadaku, ‘Ulangi lagi.!’ Dan tidaklah kedua telingaku ini mendengar sesuatu apa pun melainkan langsung ditangkap oleh hatiku (langsung dapat menangkap dan mencernanya dengan baik-red.,).”

    Imam Ahmad pernah menyinggung tentang dirinya lalu membicarakannya secara panjang lebar. Ia lalu menyiarkan mengenai keilmuan, kefiqihan dan pengetahuannya tentang berbagai perbedaan dan tafsir. Ia juga menyebutnya sebagai seorang yang kuat hafalan dan ahli fiqih. Imam Ahmad berkata, “Amat jarang anda temukan orang yang dapat mengunggulinya. Tapi kalau dikatakan ‘ada yang seperti dia’ maka ini bisa saja terjadi.”

    Ia juga mengatakan, “Beliau (Qatadah) adalah seorang yang paling hafal dari kalangan penduduk Bashrah, tidak lah ia mendengarkan sesuatu melainkan langsung hafal.”

    Beliau wafat di suatu tempat bernama Wasith, pada tahun 117 H dalam usia 56 tahun.

    (SUMBER: Ushuul Fii ‘Ilm at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal.37-38)









    Para Ahli Tafsir Terkenal Dari Kalangan Shahabat

    Beberapa shahabat dikenal sebagai ahli tafsir, di antaranya –sebagaimana yang disebutkan as-Suyuthy adalah empat khalifah Islam; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Aly.

    Hanya saja riwayat mengenai tiga orang pertama (selain ‘Aly) tidaklah terlalu banyak karena kesibukan mereka mengurusi pemerintahan (kekhalifahan), di samping masih belum diperlukan adanya riwayat mengenai hal itu karena begitu banyaknya kalangan para shahabat yang memahami tafsir.

    Di antara kalangan para shahabat yang dikenal sebagai ahli tafsir juga adalah ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Abdullah bin ‘Abbas.

    Berikut riwayat hidup singkat ‘Aly, ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Abdullah bin ‘Abbas.

    1. ‘ALY BIN ABI THALIB RA

    Beliau adalah anak paman Rasulullah SAW (sepupunya) dan suami dari anaknya, Fathimah, alias menantunya serta orang yang pertama-tama beriman dengannya dari kalangan keluarga dekatnya. Ia lebih dikenal dengan nama ini sedangkan Kun-yah (sapaan) nya adalah Abu al-Hasan dan Abu Turab.

    Dilahirkan sepuluh tahun sebelum diutusnya Nabi SAW sebagai Nabi, tergambleng di sisi Nabi SAW, mengikuti semua peperangan Rasulullah SAW dan pemegang panji di sebagian besarnya serta tidak pernah mangkir kecuali pada perang Tabuk karena diminta Nabi tinggal untuk menjaga keluarga beliau. Ketika itu, beliau SAW berkata kepadanya, “Tidakkah engkau rela kedudukanmu bagiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja, tidak ada Nabi setelahku.”

    Manaaqib (sisi positif dari kehidupan seseorang) dan keutamaannya banyak sekali diriwayatkan, tidak seperti para shahabat lainnya. Ditanganya-lah dua kelompok berhasil dihancurkan, yaitu: pertama kelompok an-Nawaashib yang menancapkan permusuhan terhadapnya dan berusaha meyembunyikan sama sekali sisi positif dari kehidupannya. Kedua, Kaum Rafidlah (Syiah Ekstrem) yang berlebih-lebihan –menurut klaim mereka- dalam mencintainya dan membikin-bikin saja sisi positif kehidupannya yang tidak semestinya bahkan bila direnungi, malah banyak cacatnya (tidak benar).

    Beliau RA terkenal sebagai seorang yang pemberani dan pintar, berilmu dan suci hatinya. Maka, tidak heran bilamana ‘Umar bin al-Khaththab RA berharap agar jangan sampai bila menghadapi suatu rintangan tanpa keberadaan Abu Hasan. Para Ahli Nahwu mengungkapkannya dengan istilah, “Masalah yang tanpa Abu Hasannya.” (alias menunjukkan betapa penting perannya-red.,)

    Diriwayatkan dari ‘Aly RA, bahwasanya dia pernah berkata, “Tanyakan kepadaku, tanyakan kepadaku, tanyakan kepadaku tentang Kitabullah. Demi Allah, tidak satu ayat pun kecuali aku mengetahui apakah diturunkan pada malam atau siang hari.”

    Ibn ‘Abbas RA berkata, “Bila ada riwayat dari periwayat Tsabat (yang dapat dipercaya) yang meriwayatkan dari ‘Aly, maka kami tidak akan mengambil yang lainnya.”

    Diriwayatkan juga darinya (Ibn ‘Abbas) bahwasanya dia berkata, “Apa yang aku ambil dari tafsir Qur’an, maka pastilah ia dari ‘Aly bin Abi Thalib. Ia salah seorang dari anggota dewan syuro yang dinominasikan ‘Umar guna menunjuk khalifah. ‘Abdurrahman menawarkan jabatan itu kepadanya namun ia menolaknya kecuali dengan syarat-syarat yang sebagiannya tidak dapat diterimanya, kemudian dia (‘Abdurrahman bin ‘Auf) membai’at ‘Utsman, kemudian ‘Ali dan orang-orang pun membai’atnya. Setelah ‘Utsman, ia dibai’at untuk menjabat sebagai khalifah hingga terbunuh sebagai syahid di Kufah pada malam 17 Ramadlan tahun 40 H.

    2. ‘ABDULLAH BIN MAS’UD RA

    Beliau adalah ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hadzaly sedangkan ibunya Ummu ‘Abd yang terkadang nasab beliau dinisbatkan kepadanya*.

    Ia merupakan salah seorang dari orang-orang yang masuk Islam terdahulu, berhijrah dua kali dan ikut serta dalam perang Badar dan peperangan setelahnya.

    Ia mengambil al-Qur’an dari Nabi SAW sebanyak tujuh puluh-an surat. Pada permulaan Islam, Nabi SAW pernah berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau adalah si anak yang (berpredikat) pengajar.” Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang ingin membaca al-Qur’an dalam kondisi masih segar sebagaimana diturunkan, maka bacalah sesuai bacaan Ibn Ummu ‘Abd.”

    Di dalam shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Ibn Mas’ud RA berkata, “Para shahabat Rasulullah SAW telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling mengetahui mengenai Kitabullah di kalangan mereka.” Dalam momen yang lain, ia berkata, “Demi Allah Yang Tiada Tuhan –yang berhak disembah- selain-Nya, tidaklah satu surat pun dari Kitabullah yang diturunkan melainkan aku mengetahui di mana ia diturunkan dan tidaklah satu ayat dari Kitabullah yang diturunkan melainkan aku mengetahui pada siapa ia turun. Andaikatan aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai Kitabullah di mana untuk mencapainya harus menggunakan onta (kendaraan), maka pasti aku akan berangkat ke sana.”

    Ia termasuk Orang yang mengabdi kepada Nabi SAW, yang memasangkan kedua sandalnya, mengambilkan air untuk wudlunya dan mengambilkan bantal untuk tidurnya. Sampai-sampai Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Saat aku datang bersama saudaraku dari Yaman, kami tinggal beberapa waktu. Dalam masa itu, kami hanya melihat ‘Abdullah sebagai seorang Ahli Bait Nabi SAW karena kami melihat betapa seringnya ia dan ibunya menemui Nabi SAW. Dan karena ‘nyantri’nya yang begitu lama dengan Nabi SAW, ia begitu terpengaruh dengannya dan dengan petunjuknya hingga Hudzaifah berkata mengenainya, “Aku tidak mengenal seorang pun yang lebih dekat petunjuk dan sifatnya dengan Nabi SAW selain Ibn Ummu ‘Abd (Ibn Mas’ud).”

    Ia pernah diutus ‘Umar bin al-Khaththab ke Kufah untuk mengajarkan urusan agama kepada penduduknya dan mengutus ‘Ammar bin Yasir sebagai Amirnya. ‘Umar mengomentari, “Sesungguhnya keduanya termasuk orang-orang cerdas di kalangan shahabat Nabi SAW, karena itu ikutilah mereka.”

    Kemudian ‘Utsman mengangkatnya jadi Amir di Kufah, lalu mencopotnya dan memeritahkannya agar kembali ke Madinah. Di Madinah lah beliau (‘Aly) wafat (dibunuh oleh Ibn Muljam, orang persia-red.,), tepatnya pada tahun 32 H dan dikuburkan di pekuburan Baqi’ dalam usia 70-an tahun.

    3. ‘ABDULLAH BIN ‘ABBAS

    Beliau adalah anak paman (sepupu) Rasulullah SAW, lahir tiga tahun sebelum hijrah. Beliau hidup bersama Rasulullah SAW dan ‘nyantri’ karena ia adalah anak pamannya (sepupunya), sedangkan bibinya Maimunah di tanggung oleh Nabi SAW. Rasulullah pernah merengkuhnya ke dada beliau seraya berdoa, “Ya Allah, ajarilah ia al-Hikmah.” Dalam suatu riwayat disebutkan, “(Ajarilah ia) al-Kitab (al-Qur’an).”

    Ketika mengajarinya berwudlu beliau SAW berdoa, “Ya Allah, anugerahilah pemahaman agama kepadanya.” Berkat doa yang diberkahi ini, ia kemudian benar-benar menjadi ‘tinta’ nya Umat (lautan ilmu) di dalam menyebarkan tafsir dan fiqih. Allah menganugerahinya taufiq di dalam bergiat mendapatkan ilmu dan bersungguh-sungguh di dalam menuntutnya serta bersabar di dalam menerimanya. Dengan begitu, ia meraih kedudukan yang tinggi sampai-sampai Amirul Mukminin, ‘Umar bin al-Khaththab RA mengundangnya ke majlis-majlisnya dan mengambil pendapatnya. Orang-orang Muhajirin berkata (kepada ‘Umar), “Tidakkah engkau undang anak-anak kami sebagaimana engkau undang Ibn ‘Abbas.?” Maka, ia menjawab, “Itulah pemuda yang menginjak dewasa, yang memiliki lisan yang banyak bertanya dan hati yang banyak akalnya.”

    Pada suatu hari, ‘Umar mengundang mereka, lalu tak berapa lama menghadirkan Ibn ‘Abbas bersama mereka untuk memperlihatkan kepada mereka kebenaran langkahnya tersebut. ‘Umar berkata, “Apa pendapat kalian mengenai firman Allah, “Bila telah datang pertolongan Allah dan Penaklukan.” (surat an-Nahsr hingga selesai). Maka, sebagian mereka berkata, “Kita diperintahkan agar memuji Allah dan meminta ampun kepada-Nya bila kita menang (dapat menaklukkan Mekkah).” Sebagian lagi hanya terdiam saja. Lalu, ‘Umar pun berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Apakah kamu juga mengatakan demikian.?” Ia menjawab, “Tidak.” Lalu ‘Umar bertanya, “Kalau begitu, apa yang akan kamu katakan.?” Ia menjawab, “Itu berkenaan dengan ajal Rasulullah SAW di mana Allah membeitahukan kepadanya bila telah datang pertolongan-Nya dan penaklukan kota Mekkah, maka itulah tanda ajalmu (Yakni Rasulullah-red.,), karena itu sucikanlah Dia dengan memuji Rabbmu dan minta ampunlah kepada-Nya karena Dia Maha Menerima taubat.” ‘Umar pun berkata, “Yang aku ketahui memang seperti yang engkau ketahui itu.” Ibn Mas’ud berkata, “Sebaik-baik Turjumaan al-Qur’an (penerjemah) adalah Ibn ‘Abbas. Andaikata ia seusia kami, niscaya tidak seorang pun dari kami yang menandinginya.” Padahal, Ibn ‘Abbas hidup setelahnya (Ibn Mas’ud) selama 36 tahun kemudian. Nah, bagaimana pendapat anda mengenai ilmu yang diraihnya setelah itu.?

    Ibn ‘Umar pernah berkata kepada salah seorang yang bertanya mengenai suatu ayat kepadanya, “Berangkatlah menuju Ibn ‘Abbas lalu tanyakanlah kepadanya sebab ia adalah sisa shahabat yang masih hidup yang paling mengetahui wahyu yang diturunkn kepada Nabi SAW.”

    ‘Atha` berkata, “Aku tidak pernah melihat sekali pun ada suatu majlis yang lebih mulia dari majlis Ibn ‘Abbas dari sisi fiqih, demikian juga yang paling agung dari sisi wibawanya. Sesungguhnya para ahli fiqih berada di sisinya, para ahli Qur’an berada di sisinya dan para ahli sya’ir juga berada di sisinya. Ia menimbakan untuk mereka semua dari lembah yang luas.” (alias mengajarkan ilmu yang banyak-red.,)

    Abu Wa`il berkata, “Saat Ibn ‘Abbas menjadi Amir haji atas perintah khalifah ‘Utsman, pernah ia berbicara kepada kami dengan membuka dengan surat an-Nur; membaca dan menafsirkannya. Selama ia begitu, aku pun bertutur pada diriku, ‘Aku tidak pernah melihat atau pun mendengar ucapan seseorang sepertinya. Andaikata didengar oleh orang-orang Persia, Romawi dan Turki (waktu sebelum Islam-red.,), pastilah mereka semua masuk Islam.”

    Saat ia diangkat jadi Amir haji tersebut oleh khalifah ‘Utsman itu adalah tahun 35 H, lalu diangkat jadi penguasa di Bashrah oleh khalifah ‘Aly bin Abi Thalib namun tatkala ia (‘Aly) meninggal karena terbunuh, ia pulang ke Hijaz, bermukim di Mekkah kemudian keluar dari sana menuju Tha`if dan wafat di sana pada tahun 68 H dalam usia 71 tahun.

    CATATAN:

    * Hal ini karena ayahnya mati dalam ‘agama’ jahiliyyah sedangkan ibunya hidup dalam masa Islam dan memeluk agama Islam

    (SUMBER: Ushuul Fi at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, h.33-37)








    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir -1

    ATH-THABARIY

    Nama Mufassir
    Abu Ja'far, Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabariy, al-Imâm al-'Allâmah, al-Hâfizh, seorang sejarawah.
    Beliau lahir tahun 224 H dan wafat 310 H.

    Nama Kitab
    Jâmi' al-Bayân Fî Ta`wîl Ayi al-Qur`ân

    Spesifikasi Umum
    Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikh Ibn Taimiyyah di dalam mukaddimah Ushûl at-Tafsîr, hal.90: " Ia termasuk kitab tafsir bercorak Ma`tsûr yang paling agung dan paling besar kedudukannya. Beliau telah mengoleksi berbagai ilmu-ilmu al-Qur'an seperti Qirâ`ât (aspek-aspek bacaan), makna-maknanya, hukum-hukum fiqih yang diintisarikan dari ayat-ayatnya, penjelasan makna-makna ayat yang diambil dari bahasa orang-orang Arab, sya'ir dan sebagainya."

    'Aqidahnya
    Beliau memiliki sebuah buku seputar 'Aqidah Ahlussunnah yang diberinya judul "Sharîh as-Sunnah" (sudah dicetak). Sementara 'aqidahnya di dalam penafsiran, beliau adalah seorang imam panutan, membela madzhab Salaf, berargumentasi dengannya dan membelanya akan tetapi di dalam menetapkan sifat Ghadlab (marah) dan Hayâ` (malu), beliau menyebutkan semua pendapat Ahli Tafsir namun tidak menguatkan satupun darinya.

    Sikapnya Terhadap Sanad
    Beliau komitmen menyebutkan semua riwayat dengan sanad-sanad (jalur-jalur transmisi)-nya. Kebanyaknya tidak ditanggapi beliau baik dengan menshahihkan ataupun melemahkannya.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
    Beliau menyebutkan hukum-hukum fiqih yang ada di dalam ayat, pendapat para ulama dan madzhab-madzhab mereka, memilih salah satu darinya dan menguatkannya dengan dalil-dalil ilmiah serta menyebutkan Ijma' umat di dalam pendapat yang telah dikuatkannya dari berbagai pendapat tersebut. Beliau adalah seorang Imam Mujtahid Muthlaq. Para Ahli Tafsir senantiasa merujuk pendapatnya dan mereka merasa berhutang budi padanya.

    Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
    Beliau termasuk ulama Qirâ`ât yang terkenal. Oleh karena itu, beliau amat memperhatikan sisi Qirâ`ât dan makna-maknanya, membantah aspek-aspek bacaan yang Syâdz (aneh/langka), termasuk cakupannya yang dapat menyebabkan perubahan dan penggantian terhadap Kitabullah Ta'ala.

    Sikapnya Terhadap Isrâ`iliyyât (Kisah-Kisah Tentang Bani Israil)
    Di dalam kitab tafsirnya, beliau mengetengahkan juga kabar-kabar dan kisah-kisah tentang Ka'b al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, Ibn Juraij, as-Suddiy, lalu menanggapinya secara kritis akan tetapi tidak konsisten mengkritisi semua yang diriwayatkannya.

    Sikapnya Terhadap Sya'ir, Nahwu Dan Bahasa
    Kitabnya banyak sekali mencakup berbagai untaian yang berisi solusi bahasa dan Nahwu. Kitabnya meraih ketenaran yang sangat besar. Kebanyakannya, dia merujuk kepada Bahasa orang-orang Arab dan terkadang menguatkan sebagian pendapat. Beliau juga memaparkan sya'ir-sya'ir Arab Kuno, berargumentasi dengannnya secara luas, banyak mengemukakan pendapat-pendapat Ahli Nahwu dan mengarahkan pendapat-pendapat mereka serta menguatkan sebagian pendapat atas pendapat yang lain.

    (SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn karya Abu 'Abdillah, Muhammad al-Hamûd an-Najdiy, Hal.9-11)






    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-2 (Al-Khazin)

    TAFSIR AL-KHAZIN

    Nama Mufassir

    Nama beliau adalah Abu al-Hasan, 'Aliy bin Muhammad bin Ibrahim asy-Syîhiy al-Baghdâdiy, asy-Syâfi'iy, seorang Sufi (ahli Tasawuf) yang lebih dikenal dengan nama al-Khâzin. Lahir tahun 678 H dan wafat tahun 741 H).

    Nama Kitab

    Namanya Lubâb at-Ta`wîl Fî Ma'âniy at-Tanzîl

    'Aqidahnya

    Beliau adalah seorang Mufassir yang banyak melakukan ta`wil (Mu`awwil), terutama terhadap kebanyakan ayat-ayat mengenai ash-Shifât (sifat-sifat Allah), dan terkadang menyebutkan pula madzhab Salaf dan Khalaf, tanpa menguatkan salah satu dari keduanya.

    Spesifikasi Umum

    Pengarang kitab ini meringkas kitabnya dari tafsir al-Baghawiy, mengoleksi semua tafsir-tafsir terdahulu dengan menukil atau meringkasnya. Dia tidak melakukan -sebagaimana dituturkannya sendiri- "Selain menukil dan meringkas, dengan cara menghindari pembahasan yang bertele-tele dan panjang membosankan" namun banyak sekali mengetengahkan wejangan-wejangan dan Raqâ`iq (penyucian diri/sentuhan-sentuhan kalbu).

    Sikapnya Terhadap Hadits dan Sanad

    Beliau mengetengahkan hadits-hadits nabawi ketika menafsirkan ayat-ayat atau menjelaskan hukum-hukumnya tanpa menyebutkan sanad-sanad (jalur trasmisi) -nya karena dia sudah membuangnya sebagaimana disebutkannya di dalam mukaddimah kitab, tetapi disertai penisbahan kepada Mukharrij (periwayat yang mengeluarkan hadits di dalam kitab yang dikarangnya), pensyarahan Gharîb al-Hadîts (ungkapan yang asing) dan hal yang berkenaan dengan faedah-faedah. Beliau juga interes terhadap penyebutan Ghazawât (peperangan) dan tarikhnya.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Beliau sangat interes terhadap aspek fiqih dan mengulasnya secara panjang lebar, khususnya di dalam menyebutkan madzhab-madzhab ulama dan dalil-dalil mereka namun begitu beliau juga banyak memasukkan di dalam tafsirnya hal-hal Furû' (cabang-cabang/sub-ordinat) yang terkadang tidak begitu terkait dengan keahlian seorang Mufassir.

    Sikapnya Terhadap Qirâ`ât

    Sama seperti Mufassir lainnya, Imam al-Baghawiy, yaitu menyinggung Qirâ`ât tanpa panjang lebar.

    Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât

    Beliau menyebutkan sebagian Isrâ`îliyyât tetapi tidak mengomentarinya.

    Sikapnya Terhadap Sya'ir, Kebahasaan Dan Nahwu

    Beliau menghindari perluasan pembahasan tentang I'rab (uraian posisi kata per-kata) dan Balaghah namun menyebutkan sesuatu yang penting saja guna menyingkap makna ayat.

    (SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn karya Abu 'Abdillah, Muhammad al-Hamûd an-Najdiy, Hal.28-29)








    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-3 (Ibn Katsir)

    Nama Mufassir

    'Imâd ad-Dien, Abu al-Fidâ`, Isma'il bin 'Umar bin Katsir ad-Dimasyqiy asy-Syafi'iy, seorang Imam, Hâfizh dan juga sejarawan.
    Wafat tahun 774 H.

    Nama Kitab

    Tafsir al-Qur`ân al-'Azhîm

    Spesifikasi Umum

    Tafsir Ibn Katsir merupakan tafsir kategori Ma`tsûr yang paling masyhur dan menduduki peringkat ke-dua setelah Tafsir ath-Thabariy.
    Tafsir ini juga interes terhadap segi periwayatan, yaitu menafsirkan Kitabullah dengan hadits-hadits dan atsar-atsar yang langsung disandarkan kepada para periwayatnya. Pengarangnya juga sangat memperhatikan sisi penyebutan ayat-ayat yang serupa dengan ayat yang ingin ditafsirkannya, yang dinamakan dengan Tafsir al-Qur`ân bi al-Qur`ân (penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an sendiri).

    'Aqidahnya

    Beliau ber'aqidah Salaf dan hal ini tidak perlu diherankan karena beliau adalah salah seorang murid Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah rahimahumallah.
    Beliau memiliki sebuah kita di dalam masalah 'aqidah berjudul "al-'Aqâ`id". Di dalam kitab ini, beliau menjelaskan 'aqidah Salaf berupa penetapan terhadap sifat-sifat Allah seperti mendengar, melihat, mata, wajah, ilmu, kalam (bicara), ridla, Sakhth (murka), cinta, benci, senang, tertawa dengan tanpa menyebutkan Takyîf (bagaimana caranya), Tasybîh (penyerupaan), Tahrîf (perubahan) dan Tabdîl (penggantian). Di dalam kitab tafsirnya, beliau menetapkan kebanyakan sifat-sifat tersebut secara global sementara sebagian orang menafsirkannya dengan Lâzim ash-Shifah (konsekuensi sifat itu) mengikuti cara Imam ath-Thabariy, seperti sifat malu dan mata.

    Sikapnya Terhadap Sanad

    Beliau mengetengahkan banyak hadits dan atsar dengan sanad-sanad (jalur-jalur transmisi)-nya dan interes terhadap penilaian riwayat-riwayat dari sisi keshahihan dan kelemahannya serta menyebutkan sisi al-Jarh wa at-Ta'dîl (metode kelaikan periwayatan) terhadap para periwayat, sebab beliau adalah seorang Hâfizh yang mengenal seni-seni hadits dan para periwayatnya, di samping beberapa karya-karya tulis lainnya.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Beliau mengetengahkan diskusi-diskusi fiqih, pendapat-pendapat para ulama dan dalil-dalil mereka ketika menafsirkan ayat-ayat tentang hukum akan tetapi tidak terlalu melebar dan mengarahkan siapa saja yang ingin menambah wawasannya kepada beberapa kitab fiqih.

    Sikapnya Terhadap Qirâ`ât

    Beliau menyinggung juga beberapa Qirâ`ât namun dengan sangat ringkas.

    Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât

    Beliau memiliki kelebihan dengan mengkritisi riwayat-riwayat yang bernuansa Isrâ`îliyyât dan secara umum memberikan peringatan akan hal itu serta biasanya mengkritisinya manaka menyinggung tentangnya.

    Sikapnya Terhadap Kebahasaan, Sya'ir Dan Nahwu

    Sangat sedikit sekali beliau mengetengahkan hal yang terkait dengan I'râb (penguraian kedudukan suatu kata di dalam kalimat) dan Nahwu, demikian pula halnya dengan masalah sya'ir.

    Catatan:

    Untuk mengetahui lebih banyak tentang biografi Ibn Katsir, silahkan merujuk kitab-kitab berikut:

    • ad-Durar al-Kâminah, karya Ibn Hajar (I:399)
    • al-Badr ath-Thâli' karya az-Zarkasyiy (I:153)
    • Syazarât adz-Dzahab karya Ibn 'Imâd (VI:231)
    • Thabaqât al-Mufassirîn karya ad-Dâwûdiy (I:111-113)
    • 'Umdah at-Tafsîr karya Syaikh Ahmad Syâkir
    (SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fi Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu 'Abdillah Muhammad al-Hamûd an-Najdiy, h.39-40)







    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-4 (al-Qurthubiy)

    Nama Mufassir

    Imam Abu 'Abdillâh, Muhammad bin Ahmad bin Farh al-Anshâriy al-Khazrajiy al-Andalusiy al-Qurthubiy.
    Wafat tahun 671 H.

    Nama Kitab

    Al-Jâmi' Li Ahkâm al-Qur`ân

    'Aqidahnya

    Dia seorang penganut aliran Asya'riyyah dan pena'wil (Cara seperti ini menyimpang dari manhaj Salaf-red.,). Hal ini dapat diketahui bila meneliti tafsirnya dan juga bukunya yang berjudul "al-Asnâ Fî Syarh Asmâ` al-Husnâ". Dalam bab Asmâ Wa ash-Shifât (Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allah) beliau menukilnya dari para imam-imam aliran Asy'ariyyah seperti al-Juwainiy, al-Bâqillâniy, ar-Râziy, Ibn 'Athiyyah dan sebagainya.
    Di dalamnya, beliau juga membantah terhadap Ahli Tasawwuf dan mengingkari prilaku-prilaku dan ucapan-ucapan mereka yang bertentangan dengan syari'at.

    Spesifikasi Umum

    Mengenai spesifikasi kitabnya, pengarangnya sendiri menyatakan, "Ia merupakan catatan ringkas yang berisi beberapa poin; tafsir, sisi bahasa, I'râb, Qirâ`ât, bantahan terhadap aliran yang menyimpang dan sesat dan hadits-hadits yang banyak sekali sebagai penegas terhadap hukum-hukum dan nuzul Ayat-ayat yang kami sebutkan, mengoleksi makna-maknanya dan menjelaskan ungkapan-ungkapan yang rumit dengan mengetengahkan ucapan-ucapan para ulama Salaf, demikian juga ulama Khalaf yang mengikuti mereka."

    Sikapnya Terhadap Hadits Dan Sanad

    Beliau banyak mengetengahkan hadits-hadits Nabawi dan telah berjanji pada dirinya untuk menisbahkannya kepada para pengarangnya dan terkadang mengemukakan hadits-hadits tersebut tanpa sanad (mata rantai/jalur transmisi periwayatan) juga.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Beliau memaparkan secara panjang lebar ayat-ayat hukum, menyinggung berbagai permasalahan yang diperselisihkan dan terkait dengan ayat-ayat, baik dalam dimensi dekat ataupun jauh dengan menyertakan penjelasan dalil-dalil pendapat-pendapat tentang hal itu.
    Beliau seorang yang Munshif (adil/moderat), tidak fanatik terhadap madzhabnya sendiri, yaitu madzhab Malikiy, tetapi tetap berjalan seiring dengan dalil.

    Sikapnya Terhadap Qirâ`ât

    Beliau menyinggung juga beberapa Qirâ`ât namun sedikit sekali.

    Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât

    Di dalam Mukaddimah kitabnya ini, beliau berkata, "Dan saya mengesampingkan banyak sekali kisah-kisah dan berita-berita yang ditulis oleh sejarawan, kecuali hal yang memang dianggap perlu."

    Sikapnya Terhadap Kebahasaan, Sya'ir Dan Nahwu

    Beliau menyinggung juga tentang I'râb, menjelaskan lafazh-lafazh al-Qur'an yang asing,. Banyak sekali memutuskan sesuatu berdasarkan aspek bahasa, demikian juga mengambil dalil penegas dari sya'ir-sya'ir Arab.

    Catatan:

    Untuk mengetahui lebih banyak tentang biografi Imam al-Qurthubiy, silahkan merujuk kitab-kitab berikut:

    1. Thabaqât al-Mufassirîn karya Imam as-Suyûthiy (88)
    2. Syazarât adz-Dzahab karya Ibn 'Imâd (V:335)
    3. Thabaqât al-Mufassirîn karya ad-Dâwûdiy (II:69-70)
    4. Mu'jam al-Mufassirîn karya 'Adil Nuwaihidl (II:479)
    (SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fi Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu 'Abdillah Muhammad al-Hamûd an-Najdiy, h.24-25)











    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-5 (Al-Baghawiy)

    Mukaddimah

    Inilah salah satu tafsir Salaf yang harus dimiliki oleh seorang Muslim dan penuntut ilmu sehingga di dalam menafsikan ayat-ayat, khususnya yang terkait dengan Asmâ` Allah dan Sifat-Nya terhindar dari takwil-takwil yang batil.

    Nama Mufassir

    Beliau adalah Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ud, yang lebih dikenal dengan al-Farrâ` al-Baghawiy, penghidup as-Sunnah, seorang Imam dan Hâfizh.

    Nama Kitab

    Ma'âlim at-Tanzîl.

    Spesifikasi Umum

    Beliau memaparkan ayat dengan sangat mudah dan ringkas. Buku ini aslinya adalah Mukhtashar (ringkasan) dari Tafsîr ats-Tsa'âlabiy akan tetapi beliau menjaga tafsir tersebut dari perkataan-perkataan bid'ah dan hadits-hadits Mawdlu'. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah di dalam bukunya Muqaddimah Fî Ushûl at-Tafsîr, halaman 76.
    Beliau juga menukil perkataan ulama Salaf mengenai perbedaan pendapat di dalam tafsir dan tidak menguatkan satu riwayat atas riwayat yang lain.

    'Aqidahnya

    Beliau seorang yang ber'aqidah Salaf; menetapkan Asmâ` dan Shifât yang ditetapkan sendiri oleh Allah Ta'ala atas diri-Nya. Dalam hal ini, beliau telah menetapkan hal itu pada mukaddimah kitabnya yang amat berharga Syarh as-Sunnah. Di dalam tafsirnya tersebut, yang dominan adalah beliau menetapkan Asmâ` dan Shifât tersebut namun beliau ternyata juga terjebak ke dalam penakwilan terhadap sebagian Shifât Allah (padahal ini menyalahi manhaj ulama Salaf-red.,), seperti ar-Rahmah, al-Hayâ` (malu), al-Ghadlab (murka/marah). Ar-Rahmah lbeliau takwilkan dengan Irâdah Alllah al-Khair Li Ahlihi (kehendak Allah untuk berbuat baik terhadap pelakunya, I:18). Beliau juga menakwilkan al-Hayâ` dengan at-Tark wa al-Man'u (Membiarkan dan mencegah, I:43) dan al-Ghadlab dengan Irâdah al-Intiqâm (keinginan untuk mendendam, I:23).

    Sikapnya Terhadap Sanad

    Beliau biasanya menukil semua yang berasal dari ulama Salaf mengenai tafsir suatu ayat tanpa menyebutkan Isnâd -nya. Akan tetapi beliau telah menyebutkan sanad-sanadnya hingga sampai kepada mereka itu pada mukaddimah Tafsirnya. Beliau biasanya amat selektif terhadap keshahihan hadits yang disandarkannya kepada Rasulullah. Sementara itu, beliau tidak peduli terhadap hadits-hadits Munkar dan Mawdlu' (palsu) namun terkadang meriwayatkan juga dari al-Kalbiy dan periwayat-periwayat lemah selainnya.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Belaiu memaparkan juga permasalahan-permasalahan fiqih dengan gaya bahasa yang mudah dan menukil perbedaan yang ada tanpa mengupasnya secara panjang lebar.

    Sikapnya Terhadap Qirâ`ât

    Beliau juga menyinggung tentang Qirâ`ât (jenis-jenis bacaan ayat) tanpa bertele-tele.

    Sikapnya Terhadap Isra`iliyyat

    Beliau menyinggung tentang sebagian Isra`iliyyat namun tidak memberikan tanggapan atasnya.

    Sikapnya Terhadap Masalah Sya'ir, Kebahasaan Dan Nahwu

    Beliau menghindari kupasan panjang lebar di dalam pembahasan I'râb (penguraian anak kalimat) dan hal-hal yang terkait dengan Balaghah namun menyinggung hal-hal yang memang urgen disebutkan untuk menyingkap makna suatu ayat.

    (SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn karya Abu 'Abdillah, Muhammad al-Hamud an-Najdiy, h.14-15)







    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-6 (Abu Hayyan)

    Nama Mufassir

    Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Yusuf bin ‘Ali bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusy al-Gharnathy, yang lebih dikenal dengan nama Abu Hayyan.
    Lahir tahun 654 H dan wafat tahun 745 H.

    Nama Kitab

    Nama kitab tafsirnya adalah al-Bahr al-Muhîth. (atau sering dikenal dengan Tafsir Abi Hayyan-red.,)

    ‘Aqidahnya

    Beliau adalah seorang penakwil dan beraqidah Asy’ariyyah (yang bertentangan dengan ‘aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah) dengan menjadikan referensi utamanya dalam hal ini pendapat Ibn ‘Athiyyah, az-Zamakhsyary, ar-Râzy dan al-Bâqillâny.

    Spesifikasi Umum

    Kitab tafsir ini merupakan rujukan yang penting bagi siapa saja yang ingin mencari aspek-aspek I’râb (penguraian kalimat) bagi lafazh-lafazh al-Qur’an sebab pengarang begitu mendalam di dalam mengkaji masalah-masalah Nahwu dan berbagai perbedaan pendapat di kalangan para ahli Nahwu. Beliau juga banyak menukil pendapat az-Zamakhsyary dan Ibn ‘Athiyyah dengan tidak lupa memberikan komentar terhadap keduanya, khususnya terhadap az-Zamakhsyary dari sisi pendapat-pendapat Mu’tazilah-nya.
    Kemudian di akhir tafsirnya, pengarang menutupnya dengan untaian prosa guna menjelaskan isi ayat-ayat tersebut berdasarkan makna-makna yang dipilihnya secara ringkas.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Tidak lupa, pengarang memaparkan juga hukum-hukum fiqih dan menukil pendapat-pendapat para ulama empat madzhab dan selain mereka dan mengarahkan rujukannya kepada kitab-kitab fiqih.

    Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir

    Pengarang begitu mendalam di dalam mengkaji masalah-masalah I’râb dan Nahwu sehingga kitabnya ini lebih dekat untuk disebut sebagai kitab Nahwu ketimbang kitab Tafsir.

    Di akhir tafsirnya terhadap ayat-ayat, beliau menyinggung tentang Ilmu Bayân dan Badi’. Maka, pantaslah beliau mendapatkan predikat sebagai Imam di dalam masalah Nahwu dan Bahasa Arab.

    Sikapnya Terhadap Qirâ`ât

    Beliau mengumpulkan Qirâ`ât- Qirâ`ât (jenis-jenis bacaan) yang mutawatir dan juga yang Syâzz (langka, kurang masyhur), dan menyebutkan pengarahannya (alias maksud dan tujuannya) di dalam ilmu bahasa Arab. Beliau juga menukil perkataan ulama Salaf dan Khalaf di dalam memahami makna-maknanya, tidak membiarkan satu katapun terlewati meski sudah masyhur melainkan tetap mengomentarinya dan menyingkap sisi-sisi kerumitan di dalam hal I’râb, ilmu Badî’ dan Bayân-nya.

    (SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.37-38)







    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-7 (Tafsir AL-MANAR)

    Nama Mufassir

    Muhammad Rasyîd bin ‘Aly Ridla bin Muhammad Syams ad-Dîn bin Minla ‘Aly Khalîfah al-Qalmûny al-Baghdâdy al-Hasany (dinisbahkan kepada al-Hasan bin ‘Aly), pemilik majalah al-Manâr dan termasuk seorang Da’i yang Mushlih (reformis) dan Mujaddid.
    Lahir tahun 1283 H dan wafat tahun 1353 H.

    Nama Kitab

    Nama kitab tafsirnya adalah Tafsir al-Qur`ân al-Hakîm dan lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Manâr. Namun sayang tafsir ini tidak rampung dan hanya sampai pada surat Yûsuf, ayat 101.

    ‘Aqidahnya

    Untuk menjelaskan ‘aqidahnya dan siapa Syaikh Muhammad ‘Abduh ini kiranya di sini kami (redaksi) cukup menukil ucapan Syaikh al-Albany sebagai yang dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim asy-Syaibany di dalam bukunya Hayâh al-Albâny (I:24),
    “Sayyid Muhammad Rasyid Ridla rahimahullah memiliki andil besar terhadap Dunia Islam secara umum dan secara khusus terhadap kaum Salafiyyin. Hal ini kembali kepada sosok beliau yang merupakan salah seorang da’i yang langka di dalam menyuarakan manhaj Salaf di seluruh jagad raya melalui majalahnya “al-Manar” . Di dalam hal tersebut, beliau sungguh telah berjuang yang patut disyukuri atasnya. Dan, semoga beliau mendapatkan pahala yang tersimpan di sisi Rabbnya atas hal itu. Di samping dikenal sebagai da’i yang mengajak kepada manhaj Salaf Shalih dari sisi aqidah dan pemikiran serta tingkah laku, beliau juga memiliki upaya yang patut disyukuri di dalam takhrij hadits shahih dan dla’if. Tidak dapat disembunyikan oleh setiap muslim yang memiliki sedikit wawasan keislaman, bahwa hadits-hadits shahih inilah satu-satunya jalan untuk memahami Kitabullah secara benar sebab banyak sekali ayat-ayat yang tidak dapat dipahami kecuali melalui penjelasan as-Sunnah an-Nabawiyyah. Allah telah menekankan hal ini di dalam firman-Nya, “Dan telah Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Qur’an) untuk menjelaskan kepada manusia wahyu yang diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl:44). Ayat ini dan nash-nash lainnya menguatkan kepada seorang Muslimi bahwa tidak ada jalan dalam memahami al-Qur’an selain melalui jalan Sunnah Rasulullah SAW. Dan, Sayyid Muhammad Rasyid Ridla memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ilmu hadits, sampai kepada upayanya meletakkannya dalam lingkup ilmiah, sosial dan politik. Banyak sekali beliau mengingatkan kelemahan sebagian hadits dari sisi sanadnya melalui majalah al-Manar yang merupakan ujung tombak yang baik dan mampu mengalihkan perhatian kaum Muslimin untuk lebih fokus terhadap hadits-hadits Rasulullah…Bilamana adalah sepatutnya orang yang memiliki kelebihan mengakui kelebihan pemilikinya, maka saya mendapati diri saya pada kesempatan yang baik ini harus mencatatkan kalimat ini agar diketahui oleh siapa saja yang telah sampai kepadanya (membacanya) bahwa, pertama, saya atas karunia Allah memiliki orientasi kepada manhaj Salaf. Kedua, dapat membeda-bedakan mana hadits-hadits dla’if dan hadits shahih. Semua itu, keutamaan (andil besar) pertamanya kembali kepada sosok Sayyid Ridla rahimahullah melalui beberapa volume dari majalah al-Manar-nya yang merupakan hal pertama kali yang saya ketahui ketika mulai bergiat di dalam menuntut ilmu…”
    Dalam hal ini, memang ada beberapa kritikan pula yang diarahkan syaikh al-Albany terhadap Syaikh Muhammad Rasyid Ridla namun tidak mengurangi kapasitasnya sebagai seorang penyeru kepada dakwah salafiyyah.
    Sedangkan di dalam masalah Asmâ` dan Shifât, syaikh Rasyid Ridla menetapkan sebagian besarnya berdasarkan manhaj Salaf.

    Spesifikasi Umum

    Syaikh Rasyid Ridla banyak menukil dari gurunya, Syaikh Muhammad ‘Abduh. Tidak terdapat perbedaan antara keduanya di dalam masalah sumber, manhaj (metode) dan tujuan kecuali terhadap beberapa hal yang amat langka dan sedikit. Manhaj beliau di dalam tafsir adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), hadits-hadits shahih dari Rasulullah SAW, sesuai metode Salaf, menggunakan gaya bahasa Arab ditambah dengan nalarnya yang terbebas dari taqlid terhadap para mufassir kecuali terhadap pendapat mereka yang memuaskannya. Sebagian muridnya bercerita tentangnya, bahwa beliau tidak mengevaluasi apa yang ditulisnya di dalam tafsir kecuali setelah menulis pemahamannya terlebih dahulu terhadap suatu ayat karena khawatir ada pengaruh ucapan-ucapan para mufassir terhadap dirinya.
    Mengenai motivasinya menulis tafsir seperti itu, beliau menyinggung tentang ketidakberuntungan kaum Muslimin manakala kebanyakan karya tafsir menyibukkan pembacanya dari tujuan-tujuan yang agung dan hidayah yang mulia di mana ada yang menyibukkannya dari al-Qur’an lantaran banyaknya bahasan-bahasan tentang I’rab, kaidah-kaidah nahwu, makna-makna dan istilah-istilah bayan. Di antaranya pula, mengalihkannya dengan debat kusir Ahli kalam, interpretasi-interpretasi ulama Ushul, kesimpulan-kesimpulan para ahli fiqih yang fanatik, takwil kaum Sufi dan fanatisme masing-masing terhadap aliran dan madzhabnya. Ada lagi di antaranya yang mengalihkannya dengan begitu banyaknya riwayat-riwayat yang tercampur dengan khurafat Israiliyyat. Sementara mufassir seperti al-Fakhrur Rozy, menurut beliau, menambah lagi hal baru dengan memasukkan ilmu-ilmu matematika, ilmu alam (eksakta) dan ilmu-ilmu lainnya terkait dengan beberapa aliran/faham yang ada pada masanya, seperti falak yunani, dsb. Cara seperti ini diikuti pula oleh ulama kontemporer (masanya syaikh Rasyid) dengan memasukkan beragam ilmu yang ada pada masa ini dan seni-seninya, seperti menulis beberapa pasal yang panjang dalam menafsirkan ayat, ketika membahas kata “as-Samâ`” (langit) dan “al-Ardl” (bumi). Yaitu dari sisi ilmu falak (astronomi), tumbuh-tumbuhan (anatomi) dan ilmu hewan (biologi) sehingga menghalangi pembacanya dari wahyu sebenarnya yang karenanya Allah menurunkan kitab-Nya.
    Beliau menyebutkan, “Maka, adalah menjadi kebutuhan yang mendesak terhadap penafsiran yang mengarahkan perhatian pertamanya kepada petunjuk al-Qur’an dalam kapasitas yang sesuai dengan ayat-ayat yang diturunkan ketika mengulasnya. Demikian juga, yang sesuai dengan tujuan diturunkannya al-Qur’an seperti dengan peringatan, berita gembira, hidayah dan perbaikan. Hal inilah yang anda dapatkan di dalam rincian pembahasan pada mukaddimah yang diambil dari kajian yang diberikan oleh syaikh kami, Ustadz Imam Muhammad ‘Abduh rahimahullah. Kemudian, terhadap titik perhatian pada tuntutan zaman ini dengan ungkapan yang mudah, memperhatikan tingkat pemahaman para pembaca, menyingkap syubuhat para pegiat dalam bidang filsafat, ilmu eksakta dan selainnya seperti yang akan anda lihat nanti. Dan hal inilah yang kiranya Allah mudahkan atas karunia-Nya kepada si lemah ini (maksudnya diri beliau dan ini pada pembukaan kitabnya tersebut-red.,).”

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Beliau memberikan kemerdekaan sepenuhnya pada dirinya untuk menggali hukum-hukum syari’at dari al-Qur’an. Hal inilah yang menyebabkan beliau berbeda pendapat dengan Jumhur ulama dalam beberapa masalah, di mana beliau memberikan bantahan terhadap mereka dengan jawaban yang sedikit keras, seperti pendapat beliau yang membolehkan orang musafir untuk bertayammum sekalipun dia mendapatkan air. Beliau juga lebih memperluas penjelasan hukum-hukum fiqih sosial dan pembicaraan atas kondisi kontemporer umat baik di belahan timur maupun barat.

    Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir

    Beliau tidak mengulas tentang seni-seni bahasa dan Nahwu kecuali sedikit sekali. Dia menjelaskan ayat-ayat dengan gaya bahasanya yang indah, menyingkap beberapa makna dengan ungkapan yang mudah dan dapat diterima oleh kalangan awam, disertai penjelasan mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang dirasa rumit.

    Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât

    Sangat sedikit menyinggung tentang Isrâ`îliyyât bahkan beliau mengingkari sikap para mufassir yang banyak mengetengahkannya. Akan tetapi beliau malah berbicara tentang hal yang serupa dengan itu, yaitu banyak menukil dari al-Kitab berita-berita dan atsar-atsar di dalam menafsirkan nama-nama yang tidak dikenal di dalam al-Qur’an atau melalui hal itu, beliau membantah pendapat sebagian para mufassir.

    SUMBER:
    - al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.59-65
    - Muhammad Rasyîd Ridla, Thawdun Wa Ishlâhun, Da’watun Wa Dâ’iyah karya Khalid bin Fawzy bin ‘Abdul Hamîd Alu Hamzah









    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-8 (Tafsir AL-MARAGHY)

    Nama Mufassir

    Ahmad bin Mushtafa al-Marâghy, wafat tahun 1371 H (1952 M). [Untuk mengetahui lebih lanjut tentang biografi beliau, silahkan lihat: al-A’lâm karya Khairuddin az-Zirakly (I/258) dan Mu’jam al-Mufassirîn (I/80)]

    Nama Kitab

    Tafsir al-Marâghy.

    ‘Aqidahnya

    Beliau seorang Mufassir yang menganut faham takwil (faham yang menyimpang dari manhaj ulama Salaf-red.,), yaitu menakwil semua ayat-ayat tentang sifat-sfat Allah. Sifat rahmat, malu dan istiwa` (meninggi di atas ‘arasy) termasuk yang ditakwilnya. Anehnya, setelah menakwilkan kata Istiwâ`, beliau kemudian berdalil dengan madzhab Salaf dengan menyebut ucapan Imam Mâlik dan Ibn Katsîr (padahal ulama-ulama tersebut tidak membolehkan takwil seperti itu-red.,). Beliau juga menakwil sifat wajah, datang (Majî`), mendatangkan (It-yân) dan mencintai (Mahabbah). Pernah beliau mengatakan, “Dan cinta dan bencinya Allah merupakan salah satu urusan-Nya yang tidak boleh kita mencari wujud (eksistensi) dan (mempersoalkan) bagaimana caranya.” Di antara sifat lainnya yang ditakwilnya adalah sifat ridla, ‘Indiyyah (di sisi Allah), Fawqiyyah (di atas), tangan (Yad) dan mata (‘Ain) sekalipun beliau menetapkan bahwa orang-orang Mukmin kelak di hari Kiamat akan melihat Rabb mereka.

    Al-Marâghy adalah salah seorang pentolan Madrasah Ishlâhiyyah (perguruan reformis) yang lebih mengagungkan akal (logika) dan seorang yang terpengaruh oleh pandangan Muhammad ‘Abduh. Perguruan dan imamnya memiliki banyak pandangan yang bertentangan dengan madzhab dan ‘Aqidah Salaf. Di samping itu, perguruan ini juga memiliki beberapa kerancuan yang diakibatkan oleh sikap yang berlebih-lebihan di dalam mengagungkan akal dalam setiap urusan agama sehingga melenceng dari kebenaran. Dalam hal ini, mereka lebih sependapat dengan kaum Mu’tazilah, golongan Asyâ’irah (pengikut faham Asy’ariyyah) dan orang-orang semisal mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang Naql (nash al-Qur’an dan hadits).

    Al-Marâghy telah menyebarkan pandangan-pandangan perguruan ini di dalam tafsirnya, di antaranya:

    • Ketika beliau menakwil atau membolehkan penakwilan terhadap mukjizat-mukjizat para Nabi AS. Seperti tanggapan beliau terhadap orang yang mengatakan, “Sesungguhnya ketika Nabi Musa menyeberang, kondisi laut sedang tidak bergelombang sehingga airnya tertarik ke tengah laut sedangkan ketika Fir’aun yang menyeberang, kondisi laut sedang bergelombang sehingga airnya menepi hingga ke pantai…” Beliau menanggapinya dengan mengatakan, “Takwil seperti ini tidak berbahaya (tidak apa-apa) bilamana si penafsirnya masih menetapkan terjadinya kejadian-kejadian luar biasa tersebut pada diri para Nabi.” (I/117)

    • Memilih pendapat yang menyatakan bahwa kejadian Maskh (pengrubahan muka menjadi rupa monyet) terhadap Bani Israil itu hanyalah secara maknawy saja (bukan kejadian sungguhan-red.,). (I/139)

    • Pendapatnya mengenai Kalam Allah bersama para malaikat-Nya mengenai penciptaan Adam bahwa ia merupakan ayat mutasyâbih (samar-samar) yang tidak memungkinkan untuk mengartikannya menurut makna zhahirnya. Untuk mengetahuinya, harus diserahkan kepada Allah sendiri, lalu menisbahkan pendapat semacam ini kepada ulama Salaf (padahal tidak benar demikian-red.,). (I/78)

    • Beliau mengatakan bahwa Adam bukanlah bapak manusia (I/77) dan Hawwa` tidak diciptakan dari tulang rusuknya (I/93). Hal ini jelas hendak menolak mentah-mentah firman Allah, “…Yang menciptakan kamu dari satu jiwa dan menciptakan darinya pasangannya (Hawwa`)…” (Q.s.,an-Nisâ`: )
      Juga, hadits Rasulullah SAW., yang diriwayatkan Abu Hurairah dalam ash-Shahîhain, “Berwasiatlah dengan baik terhadap wanita, karena sesungguhnya mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok..” Sangat disayangkan, beliau menakwil kedua nash ini secara keliru.

    • Menukil pendapat Muhammad ‘Abduh yang mengindikasikan pengingkaran terhadap alam malaikat dan jin dengan tanpa memberikan komentar atasnya sedikitpun. (I/87)

    • Pernyataannya mengenai turunnya Nabi ‘Isa di akhir zaman bahwa ia adalah hadits Ahad yang terkait dengan masalah ‘aqidah sedangkan hal-hal yang berkenaan dengan ‘aqidah tidak dapat diambil kecuali melalui dalil yang pasti (qath’iy), baik dari al-Qur’an maupun hadits yang mutawatir sedangkan disini, tidak terdapat salah satu dari kedua hal ini. Kemudian dia meneruskan, “Atau maksud dari turunnya ‘Isa dan akan berkuasanya dia di muka bumi kelak adalah dari dominasi ruh (spirit) nya dan rahasia risalahnya atas manusia.” (III/169)
      Ini adalah benar-benar ucapan Muhammad ‘Abduh sendiri.

    • Ketika mengomentari firman-Nya, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekana) penyakit gila.” (Q.s.,al-Baqarah:275), Beliau mengatakan, “Terjadinya kemasukan syaithan pada manusia merupakan klaim orang-orang Arab sebab mereka mengklaim bahwa ia merasuk manusia sehingga ia pingsan (tidak sadarkan diri karena kemasukan). Karena itu, al-Qur’an datang sesuai dengan keyakinan mereka itu. Demikian juga keyakinan mereka bahwa jin bisa menyentuh manusia sehingga akalnya kacau. Dalam ungkapan bahasa mereka dinyatakan, ‘Rajulun Mamsûs (seorang laki-laki disentuh)’ artinya ia disentuh oleh jin (kemasukan) dan ungkapan ‘Rajulun Majnûn (seorang laki-laki gila)’ bilamana ia dipukul oleh jin…” Kemudian beliau mengatakan lagi, “Maka ayat ini datang sesuai dengan apa yang mereka yakini itu, jadi bukan dalam rangka membenarkan ini ataupun menafikannya.!!! Tidak mempercayai adanya manusia yang kerasukan jin dan masuknya ia ke dalam raga manusia merpakan madzhab Mu’tazilah karena menurut mereka hal itu adalah mustahil..!!”
    Demikianlah beberapa fakta yang terdapat di dalam kitab tafsirnya berkenaan dengan pendapat Madrasah ‘Aqliyyah (perguruan yang mengagungkan akal) namun untuk melacak itu lebih lanjut, kiranya terlalu panjang untuk dikupas di sini, kepada Allah lah kita memohon pertolongan.

    Spesifikasi Umum

    Mengenai hal ini, beliau mengungkapkannya sendiri di dalam kitabnya, “Kami kemukakan pada setiap pembahasan satu, dua atau beberapa ayat al-Qur’an yang diketengahkan untuk satu tujuan, lalu kami ikuti dengan penafsiran kosa katanya secara bahasa, jika di dalamnya terdapat sebagian hal yang sulit dipahami oleh para pembaca, lalu kami susulkan dengan menyebut makna per-kalimat dari ayat yang ini atau beberapa ayat sehingga nampak bagi pembaca gambaran globalnya sehingga bila ditafsirkan, akan lebih memperjelas keglobalannya. Kemudian hal itu kami ikuti dengan beberapa hadits terkait dengan sebab turunnya ayat-ayat tersebut jika ada yang dinilai shahih oleh para mufassir bil Ma’tsur. Namun begitu, kami mengelak untuk menyebutkan istilah-istilah dalam ilmu Nahwu, sharaf, balaghah dan semisalnya sebagaimana yang sering dimuat oleh para mufassir di dalam kitab-kitab tafsir mereka. Karena, itulah yang termasuk kendala sehingga menghalangi kebanyakan orang untuk membaca kitab-kitab tafsir.”

    Beliau melanjutkan, “Manakala setiap masa itu memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan yang lain, baik dalam etika, akhlaq, tradisi dan cara berpikir orang-orangnya, maka kiranya wajib bagi para pengkaji di abad modern ini untuk bersinergi dengan orang-orang semasanya dalam semua hal yang disebutkan tadi. Karena itu, sudah semestinya kita mencari corak tafsir al-Qur’an dengan gaya bahasa modern yang sesuai dengan tabiat orang-orang zaman ini. Prinsip berbicara yang berlaku adalah bahwa setiap tempat itu ada momennya (untuk diucapkan) dan manusia diajak bicara sesuai dengan kemampuan akalnya. Karena itu pula, kami melihat perlunya kita memperkokoh hal itu dengan upaya-upaya para pendahulu kita sebagai bentuk pengakuan atas jasa mereka dengan cara berpedoman kepada pendapat-pendapat mereka.”

    Al-Marâghy berusaha untuk menjadikan kitab tafsirnya sebagai kitab tafsir modern yang relevan dengan realitas kaum Muslimin kontemporer akan tetapi beliau justeru terjebak/terjerumus karena mengikuti sebagian teori-teori barat dan mengagungkan ilmu materi dengan meninggalkan zhahir al-Qur’an terhadap hal itu. Di antara indikatornya adalah ucapannya, “Sesungguhnya kajian ilmiah dan historis tidak dapat menguatkan bahwa Adam adalah Abu al-Basyar (bapak manusia).” (IV/177;I/95) Demikian juga dengan perkataannya tentang sihir, “…Apakah ia memiliki pengaruh secara alami, karena sebab yang tersembunyi, karena sesuatu yang luar biasa ataukah tidak memiliki pengaruh.? Faktor apa saja dari hal itu yang dapat dibuktikan oleh ilmu, maka ia adalah rincian terhadap hal-hal yang global di dalam al-Qur’an dan kita tidak boleh memberikan putusan dengan mengarahkannya kepada salah satu dari jenis-jenis itu.” (I/182)

    Sikapnya Terhadap Sanad

    Beliau mengetengahkan beberapa hadits dan atsar tanpa menyebutkan sanad-sanad (jalur-jalur transmisi/rentetan para periwayat)-nya. Terkadang, menyebutkan beberapa hadits Dla’îf (lemah) namun tidak menyebutkan sumbernya. Terlebih lagi, beliau sedikit sekali menyebutkan tafsir yang ma`tsûr (diriwayatkan) dari Salaf kecuali pada hal yang berkenaan dengan sebab-sebab turunnya ayat.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Beliau menyinggung juga beberapa hukum fiqih yang dibahas oleh ayat dengan ulasan yang ringkas dan mudah serta tidak banyak memperlebar hal-hal yang bersifat khilafiyyah di kalangan para ulama madzhab, bahkan bila ada khilaf, beliau hanya menyebutnya secara ringkas.

    b]Sikapnya Terhadap Qirâ`ât

    Sangat jarang mengupas masalah Qirâ`ât.

    Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât

    Beliau sengaja mengelak dari menyinggung masalah Isrâ`îliyyât. Mengenai Ahli Kitab, beliau mengatakan, “Sesungguhnya mereka itu membawa kepada kaum Muslimin pendapat-pendapat di dalam kitab mereka berupa tafsiran yang tidak diterima akal, dinafikan oleh agama dan tidak dibenarkan oleh realita serta sangat jauh dari hal yang dapat dibuktikan oleh ilmu pada abad-abad setelahnya.

    Kemudian beliau berkata pula, “Oleh karena itu, kami berpendapat tidak perlu menyinggung riwayat yang ma`tsûr kecuali bila diterima oleh ilmu. Kami tidak melihat ada hal yang bertolak belakang dengan masalah-masalah agama yang tidak terdapat perbedaan padanya di kalangan penganutnya. Kami telah mendapatkan bahwa hal itu (pendapat seperti itu) lebih selamat bagi pembenar ma’rifat dan lebih mulia bagi penafsiran Kitabullah serta lebih menarik bagi hati para cendikiawan sebagai wawasan ilmiah di mana tidak ada hal yang bisa membuat puas hati kecuali dalil, bukti dan nur ma’rifat yang tulus.”

    Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir

    Pengarang termasuk salah seorang yang mumpuni dalam hal Bahasa Arab dan ilmunya (linguistik). Mengenai hal ini, beliau berkata, “Aku sangat berbahagia sekali karena dapat mengabdikan diri dalam belajar, mengajarkan dan mengarang Bahasa Arab selama setengah abad di mana aku ikuti gaya bahasanya pada ayat al-Qur’an, hadits Rasulullah, sya’ir dan prosa (natsr) sehingga aku mendapati diriku sendiri merasa terbebani (terpanggil) untuk menobatkan pengabdianku terhadap bahasa ini dengan menafsirkan ayat al-Qur’an al-Hakîm.”

    Karena itulah, beliau sering menjelaskan kosa-kata ayat yang ingin ditafsirkannya dalam sub judul “Tafsir Mufradât” . Di sini, beliau menjelaskan sebagian kata yang sulit dipahami kebanyakan para pembaca.

    Beliau juga berargumentasi dengan bait-bait sya’ir untuk menjelaskan makna yang ditunjukkan oleh suatu kata dan bagaimana penggunaanya oleh orang-orang Arab di dalam sya’ir-sya’ir mereka.

    Sementara pembahasan mengenai ilmu Nahwu, beliau telah mengelak untuk menyinggungnya karena merupakan salah satu kendala yang menghalangi kebanyakan orang dari membaca kitab-kitab tafsir dan karena ia merupakan sesuatu yang hanya dikhususkan untuk sebagian orang saja tanpa perlu melibatkan orang lain.

    SUMBER:
    - al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.66-71.









    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-8 (Tafsir AS-SA’DY)

    Nama Mufassir

    Beliau adalah Abu ‘Abdillah, ‘Abdurrahman bin Nashir bin ‘Abdullah bin Nashir as-Sa’dy at-Tamimy al-Qashimy, al-‘Allamah, seorang Mufassir dan ahli fiqih, pengarang banyak buku. (Untuk melihat biografinya, silahkan baca: Masyaahiir ‘Ulamaa` Najd, h.392; Mu’jam al-Mufassiriin, Jld.I, h.279)

    Nama Kitab

    Tafysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fii Tafsiir Kalaam al-Mannaan.

    Spesifikasi Umum

    Sebuah kitab tafsir berukuran sedang di mana pengarangnya memfokuskan pada penjelasan makna-makna al-Qur’an di dalam menuangkan inspirasinya dan berjalan sesuai dengan manhajnya tanpa sibuk dengan penguraian lafazh-lafazh dan seni-seni Nahwu dan sya’ir. Di dalam mukaddimah kitabnya, beliau menyebutkan bahwa al-Qur’an dapat menunjukkan kepada kampung yang damai (surga), menyingkap jalan yang menuju ke kampung berbagai kepedihan (neraka), bahwa Allah Ta’ala telah menjelaskan ayat-ayat-Nya dengan sesempurna penjelasan, Dia tidak memerintahkan di dalamnya selain kepada keadilan, berbuat baik dan kebajikan, Dia telah menurunkannya dengan lisan ini (arab) agar kita memahaminya dan kita diperintahkan untuk mentadabbur (merenungi)-nya. Hal itu semua, karena mentadabburinya merupakan kunci segala kebaikan.

    Setelah mukaddimahnya, beliau mengatakan, “Bila hal ini telah diketahui, maka diketahuilah pula betapa hajat setiap mukallaf untuk mengetahui makna-maknanya dan mendapatkan petunjuknya. Seharusnyalah seorang hamba memporsir tenaganya dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempelajari dan memahaminya dengan cara-cara yang paling dekat, yang dapat menyampaikan kepada hal tersebut.”

    Selanjutnya beliau menyebutkan latar belakang penulisan kitabnya tersebut, “Banyak sekali tafsir-tafsir para ulama terhadap Kitabullah; ada yang panjang sekali sehingga pada kebanyakan bahasannya keluar dari tujuan, ada yang terlalu ringkas sebatas mengurai sebagian lafazh-lafazh bernuansa bahasa untuk memutus pandangan terhadap maksudnya padahal yang seharusnya adalah menjadikan makna sebagai tujuan sebab lafazh hanyalah sarana menuju makna tersebut, sehingga dengan begitu dapat melihat redaksi pembicaraan dan kenapa ia diketengahkan, membandingkannya dengan padanannya di tempat yang lain, mengetahui bahwa ia diketengahkan semata untuk memberikan hidayah kepada semua makhluk baik yang berilmu maupun yang jahil, baik yang hidup di perkotaan ataupun di pedalaman. Jadi, melihat redaksi ayat-ayat disertai pengetahuan terhadap semua kondisi Rasulullah SAW., sirahnya bersama para shahabatnya dan musuh-musuhnya saat ia turun; termasuk hal yang paling membantu di dalam mengetahui dan memahami maksudnya, khususnya lagi bila ditambah dengan pengetahuan akan ilmu-ilmu linguistik Arab yang beragam. Siapa saja yang mendapat taufiq dalam hal itu, maka yang perlu dilakukannya hanyalah agar antusias dalam mentadabburinya, memahaminya dan banyak tafakur terhadap lafazh-lafazh, makna-makna, konsekuensi-konsekuensinya dan kandungan serta arahannya baik secara Manthuuq (implisit) maupun Mafhuum (eksplisit). Bila benar-benar mengerahkan segenap kemampuan dalam hal itu, maka Rabb Maha mulia daripada hamba-Nya, Dia pasti membukakan baginya dari ilmu-ilmu mengenainya hal-hal yang sebelumnya belum dijangkaunya.”

    Setelah itu, beliau menjelaskan metode penulisannya, “Manakala Allah Yang Maha Pemberi menganugerahkan kepada saya dan saudara-saudaraku untuk menggeluti kitab-Nya sesuai dengan kondisi yang pantas bagi kami, maka ingin sekali saya untuk menggariskan sebagian dari tafsir Kitabullah apa yang telah dimudahkan dan dianugerahkan-Nya kepada kami sehingga bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mencari ilmu, alat bagi orang yang mau mengamati dan ma’rifah bagi orang-orang yang berjalan (di jalan-Nya). Juga agar saya bisa mencatatnya karena khawatir hilang dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka, semoga Allah membalas untuk mereka dari kaum Muslimin dengan kebaikan. Kepada Allah aku memohon dan bergantung agar memudahkan tujuanku dan mempermudah apa yang kuinginkan, sebab bila Dia tidak memudahkannya, maka pasti tidak ada jalan untuk dapat mencapainya, dan bila Dia tidak membantu, maka pasti tidak akan ada jalan seorang hamba mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Aku memohon kepada Allah agar menjadikannya ikhlas semata karena-Na dan menjadikan manfa’atnya menyeluruh, sesungguhnya Dia Maha Kaya dan Mulia, Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad.”

    Beliau juga mengingatkan, “Perhatian: ketahuilah bahwa caraku di dalam tafsir ini adalah menyebutkan makna-makna yang dapat aku pahami pada setiap ayat dan aku tidak cukup hanya menyebutkan hal-hal yang terkait dengan letak-letak sebelumnya tanpa menyebutkan juga hal-hal yang terkait dengan letak-letaknya setelah itu sebab Allah menyebut Kitab ini sebagai Matsaani, yakni mengulang-ulang di dalamnya berita-berita, hukum-hukum dan semua tema-tema yang bemanfa’at lainnya karena beberapa hikmah yang agung. Dia memerintahkan agar mentadabbur seluruhnya karena hal itu akan menambah ilmu dan pengetahuan, kesalihan secara lahir dan batin serta perbaikan seluruh hal.”

    ’Aqidahnya

    Beliau seorang yang beraqidah Salaf, membela aqidah Salaf di dalam kitabnya ini serta menetapkan Asma-Asma dan Sifat-Sifat Ilahi. Beliau menolak takwil-takwil yang dilakukan oleh aliran Jahmiyyah, Mu’tazilah serta Asya’riyyah dan membantah mereka.

    Dalam tafsir firman-Nya, ar-Rahmaan ar-Rahiim; beliau berkata, “Dua nama yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala pemilik rahmat yang luas dan agung, yang meliput segala sesuatu, mencakup setiap dzat yang hidup. Dia mencatatkannya bagi orang-orang yang bertakwa, yang mengikuti para Nabi dan Rasul-Nya. Mereka itu mendapatkan rahmat yang mutlak sedangkan orang selain mereka mendapatkan bagian darinya.”

    Selanjutnya beliau berkata, “Ketahuilah, bahwa di antara kaidah yang disepakati oleh para imam terdahulu dan para tokohnya adalah beriman kepada Asma Allah, Sifat-sifat-Nya serta hukum-hukum yang berkenaan dengan sifat itu. Mereka, misalnya, mengimani bahwa Rahmaan Rahiim adalah Pemilik rahmat (kasih sayang) yang Dia bersifat dengannya, yang terkait dengan yang dikasihi. Jadi semua nikmat merupakan jejak dari jejak-jejak rahmat-Nya, demikian pula terhadap seluruh Asma yang lain. Dikatakan pada nama-Nya, al-‘Aliim; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui, pemilik ilmu, mengetahui dengannya segala sesuatu, Maha Kuasa Yang Kuasa atas segala sesuatu.”

    Setelah menafsirkan firman-Nya, “Tiada yang mereka nanti-natikan melainkan datangnya Allah dan melaikat (pada hari Kiamat) dalam naungan awan…” (Q.s.,al-Baqarah:210), beliau berkata, “Ayat ini dan semisalnya merupakan dalil bagi madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menetapkan sifat-sifat Ikhtiyaariyyah seperti Istiwa`, nuzul (turun), maji` (datang) dan sifat-sifat lainnya yang telah diberitakan Allah mengenai diri-Nya dan juga diberitakan oleh Rasul-Nya. Mereka menetapkan hal itu semua sesuai dengan kondisi yang layak bagi kemuliaan dan keagungan Allah, tanpa melakukan Tasybiih (penyerupaan) atau pun Tahriif (pengubahan) berbeda dengan yang dilakukan oleh kelompok al-Mu’aththilah (yang mendisfungsikan sifat-sifat Allah) dengan beragam orientasi mereka seperti Jahmiyyah, Asy’ariyyah dan semisal mereka yang menafikan sifat-sifat tersebut dan yang karenanya menakwil ayat-ayat dengan takwil-tawil yang tidak pernah disyari’atkan Allah bahkan sebaliknya, pada hakikatnya justeru merupakan pelecehan terhadap penjelasan Allah dan penjelasan Rasul-Nya. Sedangkan klaim bahwa melalui ucapan merekalah akan dicapai hidayah dalam masalah ini, maka mereka tidak memiliki dalil naqly yang mendukung mereka bahkan dalil ‘aqly (secara logika) pun tidak.

    Dari sisi Naqly, mereka mengakui bahwa nash-nash yang terdapat di dalam Kitabullah dan as-Sunnah secara zhahirnya bahkan secara gamblangnya (sharih) mendukung madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah dan bahwa dari aspek pendalilannya atas madzhab mereka yang batil perlu dikeluarkan dari zhahirnya, ditambahi ataupun dikurangi. Sebagaimana yang anda lihat, ini (perkataan) tentu tidak akan memuaskan bagi siapa saja yang di dalam hatinya terdapat seberat Dzarrah iman.

    Sedangkan dari sisi logika, tidak ada yang menunjukkan penafian sifat-sifat tersebut bahkan akal menunjukkan bahwa orang yang memperbuat adalah lebih sempurna dari pada orang yang tidak mampu melakukan suatu perbuatan dan bahwa perbuatan-Nya yang terkait dengan diri-Nya dan juga terkait dengan makhluk-Nya adalah kesempurnaan. Jika mereka mengklaim bahwa penetapannya menunjukkan adanya tasybih (penyerupaan) dengan makhluk-Nya, perlu dijawab terhadap mereka dengan mengatakan, “Pembicaraan mengenai sifat-sifat mengikuti (menjadi sub-ordinasi dari) pembicaraan mengenai Dzat; sebagaimana Allah memiliki Dzat yang tidak dapat diserupai dzat-dzat manapun, maka Allah juga memiliki sifat-sifat yang tidak dapat diserupai oleh sifat-sifat lainnya. Jadi, sifat-sifat-Nya mengikuti Dzat-Nya dan sifat-sifat makhluk-Nya mengikuti dzat-dzat mereka namun di dalam menetapkannya tidak terdapat indikasi penyerupaan dari aspek apapun.

    Dapat dikatakan juga kepada orang yang menetapkan sebagian sifat tetapi menafikan sebagian yang lain, atau menetapkan Asma tanpa sifat; “Hanya ada dua alternatif bagi anda; anda tetapkan semua sebagaimana Allah menetapkannya terhadap diri-Nya dan ditetapkan pula oleh Rasul-Nya atau anda nafikan semuanya sehingga anda menjadi pengingkar Rabb semesta alam. Sedangkan bila anda tetapkan sebagiannya dan menafikan sebagian yang lain, maka ini kontradiktif; coba bedakan antara yang engkau tetapkan dan yang engkau nafikan tersebut, pasti kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk membedakannya. Jika anda berkata, ‘Apa yang aku tetapkan tidak mengindikasikan penyerupaan,’ maka Ahlussunnah akan berkata kepada anda, ‘bahkan menetapkan terhadap apa yang anda nafikan tersebut juga tidak mengindikasikan penyerupaan.!!’ Jika anda mengatakan, ‘Yang aku sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu hanyalah bentuk penyerupaan.’ Maka an-Nufaah (orang-orang yang menafikan sifat) akan berkata kepada anda, ‘Dan yang kami sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu pun hanyalah bentuk dari penyerupaan juga.!!’ Maka, jawabanmu terhadap an-Nufaah tersebut adalah jawaban yang nantinya akan diberikan oleh Ahlussunnah terhadap apa yang engkau nafikan.

    Alhasil, bahwa siapa saja yang menafikan sesuatu dan menetapkan sesuatu terhadap hal yang sudah didukung oleh al-Qur’an maupun as-Sunnah di dalam menetapkannya; maka ia akan menjadi orang yang kontradiktif; tidak berdasarkan dalil syari’at yang valid ataupun dalil akal bahkan bertentangan dengan dalil akal dan naql.”

    Syaikh as-Sa’dy telah menulis pasal tersendiri di dalam mensyarah Asma Allah al-Husna di dalam bukunya Ushuul Fi at-Tafsiir, yang dicetak pada akhir juz ke-lima.

    Sikapnya Terhadap Sanad Dan Hadits

    Beliau tidak banyak menyinggung hadits-hadits Nabawi akan tetapi menyebutkan maknanya ketika mengetengahkan penafsirannya terhadap ayat-ayat. Ketika menyinggung hal tersebut, biasanya tidak merujukkan kepada sumbernya karena beliau hanya berkonsentrasi pada penjelasan makna dengan cara yang paling mudah.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Beliau menjelaskan hukum-hukum fiqih yang terdapat di dalam ayat dengan ungkapan yang mudah seraya menyebutkan pendapat para ulama fiqih yang menurutnya lebih kuat dan tidak menyinggung masalah-masalah khilafiyyah yang terjadi di antara para ulama. Terkadang beliau menyebutkan bahwa pendapat ini adalah pendapat Jumhur ulama, pendapat para shahabat atau salah seorang dari mereka.

    Dalam hal ini, Syaikh as-Sa’dy adalah seorang faqih yang mumpuni dan seorang mujtahid. Siapa saja yang membaca buku al-Fataawa as-Sa’diyyah dan Manhaj as-Saalikiin serta kitab-kitabnya yang lain tentu akan mengetahui hal itu.

    Sikapnya Terhadap Qiraa`aat

    Tidak menyinggung sama sekali masalah Qiraa`aat karena menilai pembahasan yang dilakukan para mufassirin sudah lebih dari cukup.

    Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat

    Beliau tidak mau menyinggung masalah Israa`iliyyaat di dalam kitabnya tetapi membantah sebagiannya sebagaimana terdapat pada surat an-Nahl (Jld.V,h.275) ketika membantah pendapat yang mengklaim bahwa burung Hud-Hud bisa melihat air yang ada di dasar bumi, dan bahwa Nabi Sulaiman AS., memintanya agar menyingkap lokasi air kepadanya. Beliau berkata, “…Sesungguhnya perkataan seperti ini tidak ada dalilnya sama sekali, bahkan dalil akal dan secara lafazh menunjukkan kebatilannya. Adapun dalil akal; sesungguhnya telah diketahui melalui adat, pengalaman dan kesaksian bahwa semua binatang ini tidak memiliki satu indera pun yang dapat melihat dengan penglihatan yang di luar kebiasaan tersebut apalagi melihat air yang berada di dalam perut bumi yang berlapis tebal. Bila hal demikian memang benar, pasti Allah telah menyebutkannya sebab hal itu termasuk salah satu tanda kekuasaan-Nya yang paling besar. Sedangkan dalil secara lafazh; bila memang makna seperti ini yang dimaksud, pasti redaksinya berbunyi (artinya), ‘Dan dia (Sulaiman) meminta Hud-Hud agar menampakkan air tersebut kepadanya, maka tatkala dia kehilangannya (Hud-Hud)…,’ berkatalah ia kepadanya seperti yang dikatakannya…atau dia mencari burung Hud-Hud …atau lafazh-lafazh (arab) sepertinya. Padahal sebenarnya, burung Hud-Hud berkeliling untuk tujuan melihat siapa yang hadir dan tidak hadir serta agar ia tetap konsisten berada di tempat-tempat yang sudah ditentukan Sulaiman.”

    Selanjutnya, as-Sa’dy menambahkan, “Penafsiran-penafsiran yang ada dan masyhur seperti ini merupakan perkataan-perkataan yang tidak dikenal selainnya, dinukil dari Bani Israil tanpa sensor (apa adanya) dan penukilnya tidak menggubris bahwa ia bertentangan dengan makna-makna (nilai-nilai) yang shahih dan diterapkan pada perkataan-perkataan yang lain, kemudian ia (perkataan-perkataan tersebut) terus dipindah-tangankan dan diriwayatkan oleh orang yang datang belakangan dengan menyerahkannya secara penuh kepada orang terdahulu sehingga dikira ia adalah kebenaran, maka terjadilah perkataan-perkataan murahan di dalam semua penafsiran yang seperti itu…” [hingga akhir perkataan syaikh as-Sa’dy]

    Demikian pula, beliau menyanggah tafsiran terhadap firman-Nya, “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya.” (Q.s.,al-Baqarah:259) bahwa (orang tersebut) adalah ‘Uzair AS. Beliau berkata, “Sesungguhnya lafazh ini sama sekali tidak menunjukkan ke arah itu bahkan menafikannya dan maknanya pun tidak menunjukkan hal itu pula.,” (Lihat tafsir beliau, Jld.I, h.156)

    Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir

    Beliau menjelaskan makna-makna kalimat dengan bahasa yang mudah, tanpa banyak berbicara tentang linguistik Arab. Demikian inilah yang beliau maksudkan sebagaimana perkataannya pada mukaddimah kitabnya, “Dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka.”

    Semoga Allah memberikan balasan kepada Syaikh dari kaum Muslimin dengan kebaikan.


    SUMBER:
    - al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.77-83.









    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-8 (Tafsir AN-NASAFY)

    Nama Mufassir

    Abu al-Barakat, ‘Abdullah bin Ahmad bin Mahmud an-Nasafy al-Hanafy. (Lihat biografinya pada: ad-Durar al-Kaaminah Fii A’yaan al-Mi`ah ats-Tsaaminah karya Ibn Hajar, Jld.II, 247; Mu’jam al-Mufassiriin, Jld.I, h.3040305)

    Nama Kitab

    Madaarik at-Tanziil Wa Haqaa`iq at-Ta’wiil.

    ’Aqidahnya

    Ia termasuk penganut aqidah Asya’riyyah yang berlebihan di dalam menakwil. Dalam bukunya ini, ia menakwil semua sifat tanpa kecuali. (Dan ini bertentangan dengan madzhab Salaf-red.,)

    Spesifikasi Umum

    Beliau meringkasnya dari tafsir al-Baidlaawy dan kitab al-Kasysyaaf (karya az-Zamakhsyary, penganut Mu’tazilah) tetapi ia tidak mengambil paham Mu’tazilah yang ada di al-Kasysyaaf ini.

    Di dalam buku tafsirnya ini, ia hanya mengetengahkan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang diketengahkan az-Zamakhsyary.
    Dari sisi ukurannya, ia merupakan kitab tafsir berukuran sedang, tidak terlalu panjang dan juga tidak terlalu pendek.


    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
    Beliau memaparkan madzhab-madzhab fiqih ketika menafsirkan ayat-ayat tentang hukum (Aayaatul Ahkaam) dan mengarahkan perkataan-perkataan yang ada di dalamnya namun tidak secara melebar. Beliau begitu antusias membela madzhab Hanafy-nya dan sering kali membantah pendapat yang menentangnya.

    Sikapnya Terhadap Qiraa`aat

    Beliau komitmen terhadap al-Qiraa`aat as-Sab’ (tujuh ragam bacaan) yang mutawatir dan menisbatkan kepada masing-masing Qaari`-nya.

    Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat

    Sedikit sekali menyinggung masalah Israa`iliyyaat, yang disinggungnya terkadang ia komentari dan terkadang tidak.

    SUMBER:
    - al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.26-27.










    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-11 (Tafsir ABI AS-SU’UD)

    Nama Mufassir

    Abu as-Su’ud, Muhammad bin Muhammad Mushthafa al-‘Imady, al-Faqih al-Hanafy, al-Mufassir, al-Ushuly, asy-Sya’ir.

    Nama Kitab

    Irsyaad al-‘Aql as-Saliim Ilaa Mazaaya al-Kitaab al-Kariim.

    ’Aqidahnya

    Ia termasuk penganut aqidah Asya’riyyah yang mengikuti madzhab ar-Razy di dalam membicarakan tentang sifat-sifat Allah dan menukil hal-hal yang dikuatkannya serta menyetujuinya.

    Spesifikasi Umum

    Ada yang mengatakan, bahwa ia adalah tafsir yang bagus, tidak terlalu panjang sehingga membuat jenuh dan tidak pula terlalu pendek sehingga mengurangi maknanya. Ia banyak membahas tentang sisi-sisi sentuhan dan sesuatu yang unik, mengandung banyak faidah dan petunjuk. Pengarangnya fokus pada perhatian menyingkap rahasia-rahasia balaghah al-Qur’an dengan mengacu pada pada kitab tafsir al-Kasysyaaf (karya az-Zamakhsyari-red.,) dan kitab “al-Baidlawi” di dalam menafsirkannya.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
    Beliau memaparkan madzhab-madzhab fiqih secara ringkas dan hampir tidak pernah terlibat dalam diskus-diskusi fiqih.

    Sikapnya Terhadap Bahasa, Nahwu dan Qiraa`aat

    Beliau menyinggung masalah Qiraa`aat untuk sekedar dapat menjelaskan suatu makna dan memperhatikan penyebutan aspek-aspek sikronisasi antar ayat yang satu dengan yang lain.

    Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat

    Sedikit sekali menyinggung masalah Israa`iliyyaat, dan sekali pun terkadang menyinggungnya juga, maka ia terlebih dahulu membubuhkan kata, “Diriwayatkan” atau “Katanya” di depannya (yang mengesankan hadits megenainya lemah-red.,), ia malah mengetengahkan hadits-hadits Mawdlu’ (Palsu) di dalam masalah keutamaan surat pada akhir penafsiran setiap surat.!

    Keterangan:

    Mengenai biografi Abu as-Su’ud, lihat: al-Badr ath-Thaali’ (I:261), Syadzaraat adz-Dzahab (VIII:398) dan Mu’jam al-Mufassiriin (II:625-626)

    SUMBER:
    al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.48-49.








    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-12 (Tafsir FATHUL QADIR, IMAM ASY-SYAWKANI)

    Nama Mufassir

    Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah asy-Syawkani, ash-Shan’ani, al-Qadhi.

    Nama Kitab

    Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir.

    ’Aqidahnya

    Ia memiliki sebuah risalah berjudul, at-Tuhaf Fi Madzaahib as-Salaf. Di dalam kitabnya ini, ia mencela habis-habisan ahli kalam (kaum teolog) dan cara mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang nash-nash al-Qur’an dan Hadits serta memuji madzhab Salaf. Pujiannya terhadap madzhab Salaf tampak dari penafsirannya terhadap firman Allah, Laysa Kamitslihi Syai-un. Di antara yang ia katakan, bahwa ayat ini menafikan Mumatsalah (memisalkan segala sesuatu sehingga menjadi mirip, dalam hal ini terkait dengan dzat Allah) dan menolak tajsiim (menyebut fisik Allah sama dengan fisik manusia) ketika Allah menyifati diri-Nya dengan mendengar, melihat dan ketika menyebut sifat mendengar, melihat, tangan, istiwa’ dan lain-lain yang tercakup di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Bahkan sebaliknya, harus menetapkan sifat-sifat tersebut tetapi tidak dengan cara Mumaatsalah atau pun Musyabahah (menyerupai) dengan makhluk. Dengan begitu akan dapat menolak dua sikap negatif; yang berlebihan dan terlalu berlebihan, yaitu berlebihan dalam menetapkan sifat tersebut sehingga menyebabkan timbulnya ‘tajsiim’ dan yang sangat berlebihan dalam menafikannya sehingga menyebabkan timbulnya ‘ta’thil’ (tidak memfungsikan sifat tersebut, membatalkannya). Dari kedua sisi negatif ini, muncullah madzhab Salaf Shalih, yaitu pendapat mereka; menetapkan sifat-sifat yang ditetapkan Allah atas diri-Nya dengan cara yang hanya Allah yang Maha Tahu sebab Dia lah yang berfirman, “Laisa Kamitslihi Syai-un, Wa Huwas Samii’ul Bashiir”

    Imam asy-Syawkani juga telah menetapkan sifat istiwa’ berdasarkan madzhab Salaf.

    Akan tetapi ada juga ayat yang beliau takwilkan tetapi ini lebih disebabkan faktor lain, yaitu mengikuti al-Qurthubi dan ulama lainnya.

    Di tempat-tempat yang lain dari kitabnya, ia membantah pendapat az-Zamakhsyari, tokoh mu’tazilah karena bertentangan dengan ahlussunnah wal jama’ah.

    Spesifikasi Umum

    Dalam permulaan tafsirnya, pengarang (asy-Syawkani) menyebutkan bahwa biasanya para mufassir terpecah menjadi dua kelompok; kelompok pertama hanya memfokuskan penafsiran mereka pada masalah riwayat saja. Sedangkan kelompok kedua, momfokuskan pada sisi bahasa Arab dan ilmu alat. Beliau ingin menggabungkan antara dua hal tersebut sehingga bisa lebih sempurna lagi, ia mengatakan, “Dengan demikian anda mengetahui bahwa harus dilakukan penggabungan antara kedua hal tersebut dan tidak hanya terbatas pada dua cara yang kami sebutkan itu saja. Inilah tujuan saya menulis kitab ini dan cara yang insya Allah, ingin saya tempuh, di samping saya juga akan melakukan tarjih (menguatkan salah satu pendapat) antara beberapa penafsiran yang saling bertentangan sedapat mungkin dan menurut saya tampak jelas kekuatannya. Saya juga akan menjelaskan makna dari sisi bahasa Arab, I’rab (penguraian anak kalimat), balaghah dengan sedikit banyak. Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang…”

    Ia mengatakan, “Tafsir ini sekali pun ukurannya besar tetapi memuat ilmu yang banyak, terpenuhi bagian tahqiq (analisis)-nya serta mengena tujuan mencari kebenaran di dalamnya serta mencakup pula faedah-faedah, kaidah-kaidah, dan sebagainya yang disarikan dari kitab-kitab tafsir…”

    Kitab tafsir asy-Syawkani memiliki keunggulan lainnya, yaitu mengingatkan akan bid’ah-bid’ah sesat, aqidah menyimpang dan taqlid buta.

    Karena sikapnya ini, beliau pernah disakiti dan difitnah dengan beragam tuduhan, semoga Allah merahmati beliau.

    Sikapnya Terhadap Sanad

    Beliau telah menyinggung hal itu dalam langkah penulisan di dalam kitab tafsirnya tersebut, “Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang. Terkadang saya menyebutkan hadits yang lemah sanadnya dan ini karena dua hal; bisa jadi karena ada hadits lain yang bisa menguatkannya atau karena ia sesuai dengan makna secara bahasa. Terkadang pula saya menyebutkan hadits yang dinisbatkan kepada periwayatnya tetapi tanpa menjelaskan kondisi sanadnya sebab saya mendapatkannya seperti itu dari teks asli yang saya nukil seperti halnya yang terjadi pada tafsir Ibn Jarir, al-Qurthubi, Ibn Katsir, as-Suyuthi dan ulama tafsir lainnya. Rasanya sangat jauh (tidak mungkin) mereka mengetahui ada kelemahan pada hadits lalu tidak menjelaskannya.! Dan tidak mesti pula dikatakan terhadap apa yang mereka nukil itu, bahwa mereka telah mengetahui kevalidannya sebab bisa jadi mereka menukil dengan tanpa mengungkapkan kondisi sanadnya juga. Inilah yang menurut perkiraan lebih mungkin terjadi sebab andai kata mereka mengungkapkan hal itu lalu keshahihannya valid menurut mereka, maka tidak mungkin mereka membiarkannya tanpa penjelasan sebagaimana banyak terjadi pada mereka; menjelaskan keshahihan atau ke-hasan-annya. Siapa saja yang mendapatkan teks asal dari apa yang mereka riwayatkan dan nisbatkan dalam tafsir mereka, maka hendaknya ia melihat (merujuk) kepada sanad-sanadnya tersebut agar mendapatkan taufiq atas hal itu, insya Allah….”

    Terkadang pula beliau mengomentari riwayat-riwayat yang disinggungnya dan menjelaskan kondisinya.

    Tetapi terlepas dari itu, terdapat juga beberapa catatan atas sikap beliau, di antaranya beliau menyebutkan banyak hadits Dha’if (lemah) dan Mawdhu’ (palsu) di dalam beberapa tempat namun tidak mengingatkannya. Hal ini, karena ia banyak sekali menukil dari kitab ad-Durr al-Mantsuur karya Imam as-Suyuthi.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Beliau menyinggung madzhab ulama fiqih, baik empat imam madzhab atau pun ulama selain mereka, perbedaan pendapat serta dalil-dalil mereka. Beliau menguatkan salah satunya dan mengambil kesimpulan hukum darinya.

    Pantaslah beliau sebagai seorang imam yang mumpuni ilmunya, mujtahid dalam fiqih. Banyak karya-karya tulis yang beliau telorkan, seperti kitab yang sangat terkenal lainnya, Naylul Awthaar Syarhu Muntaqal Akhyaar; as-Saylul Jiraar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaa’iqil Azhaar; ad-Durar al-Bahiyyah berikut syarahnya, dan kitab-kitab lainnya.

    Sikapnya Terhadap Qiraa`aat

    Beliau menyinggung masalah Qiraa`aat Sab’ (tujuh bacaan) dan mengarahkan yang bertentangan darinya. Tafsir yang beliau karang didasarkan pada riwayat Nafi’ al-Madani. Beliau juga menyebutkan qiraa’aat yang janggal.

    Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat

    Sedikit sekali menyinggung masalah Israa`iliyyaat, tetapi terkadang menukil sebagian isinya dalam menafsirkan beberapa ayat.

    Sikapnya Terhadap Masalah Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir

    Beliau sangat interes sekali terhadap masalah bahasa dan mengambil keputusannya dari ahli-ahli bahasa terkemuka seperti al-Mubarrad, Abu ‘Ubaidah, al-Farra’, Ibn Faris dan ulama bahasa lainnya.

    Beliau juga menyinggung sisi-sisi I’rab (penguraian anak kalimat) dari sisi Nahwu (Gramatikal), serta banyak sekali berargumentasi dengan mengetengahkan sya’ir-sya’ir.

    CATATAN

    Mengenai biografi Imam asy-Syawkani, lihat: al-Badr ath-Thaali’ (II:214), al-Imam asy-Syawkani Mufassiran karya Dr.Muhammad Hasan al-Ghumari.

    SUMBER:
    al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.50-53.









    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-13 (AZ-ZAMAKHSYARI)

    Nama Mufassir

    Beliau adalah Abu al-Qasim, Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad al-Khawarizmi, al-Hanafi, penganut aliran Muktazilah, yang dijuluki Jaarullah.

    Nama Kitab

    Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil.

    Aqidahnya

    Beliau termasuk tokoh aliran Muktazilah yang membela mati-matian madzhabnya. Ia memperkuatnya dengan kekuatan hujjah yang dimilikinya.

    Dalam hal ini, imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya “al-Miizaan” (IV:78) berkata, “Ia seorang yang layak (diambil) haditsnya, tetapi ia seorang penyeru kepada aliran muktazilah, semoga Allah melindungi kita. Karena itu, berhati-hatilah terhadap kitab Kasysyaaf karyanya.”

    Beliau demikian getol berdalil dengan ayat-ayat dalam rangka memperkuat madzhabnya yang batil. Sebaliknya, ia selalu menakwil ayat-ayat yang dianggapnya bertentangan dengan pendapatnya. Bahkan, ia merubah arah ayat-ayat yang semestinya diarahkan kepada orang-orang kafir kepada Ahlussunnah yang ia sebut sebagai ‘Hasyawiyyah’ ‘mujbirah’ dan ‘musyabbihah.’

    Spesifikasi Umum Kitab Tafsirnya

    Kitab tafsir karangannya memiliki keunggulan dari sisi keindahan al-Qur’an dan balaghahnya yang mampu menyihir hati manusia, mengingat kemumpunian beliau dalam bahasa Arab dan pengetahuannya yang mendalam mengenai sya’ir-sya’irnya. Tetapi ia membawakan hujjah-hujjah itu untuk mendukung madzhab muktazilahnya yang batil di mana ia memaparkannya dalam ayat-ayat al-Qur’an melalui pintu balaghah. Karena itu, harus berhati-hati dengannya, khususnya bagi pemula dalam bidang ini.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Ia menyinggung juga tentang permasalahan fiqih namun tidak memperluasnya. Diakui bahwa ia dalam hal ini adalah seorang yang ‘moderat’, tidak fanatik dengan madzhab ‘Hanafi’-nya.

    Sikapnya Terhadap Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir

    Beliau memberikan perhatian penuh pada penjelasan kekayaan balaghah dalam hal ‘Ma’aani’ dan ‘Bayaan’ yang terdapat di dalam al-Qur’an. Tetapi, bila ia melewatkan saja suatu lafazh yang tidak sesuai dengan madzhabnya, ia berupaya dengan segenap kemampuannya untuk membatalkan makna zhahir lafazh itu dengan menetapkan makna lain untuknya dari apa yang ada di dalam bahasa Arab atau mengarahkannya seakan ia adalah ‘Majaz’, ‘Isti’arah’ atau ‘Tamtsil’.

    Sikapnya Terhadap Isra’iliyyat

    Amat sedikit beliau menyinggung masalah Isra’iliyyat. Kalau pun ada, maka ia dahului dengan lafazh, “Diriwayatkan” atau dengan mengatakan di akhirnya, “Wallahu a’lam.”

    Namun anehnya, ia malah menyebutkan beberapa hadits Mawdhu’ (palsu) mengenai keutamaan-keutamaan surat-surat di akhir setiap surat.

    (SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin karya Abu Abdillah, Muhammad al-Mahmud an-Najdi, hal.16-17)









    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-14 (TAFSIR IBNU AL-JAUZI)

    Nama Mufassir

    Beliau adalah imam Abu al-Faraj, Jamaluddin ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Jauzi, al-Qurasyi, at-Tymi, al-Bakri, al-Baghdadi. Lahir tahun 508 H dan wafat tahun 597 H.*

    Nama Kitab

    Ia menamakan kitab tafsirnya‘Zaad al-Masiir Fii ‘Ilm at-Tafsiir’

    Aqidahnya

    Beliau seorang yang inkonsisten, terkadang menetapkan sebagian sifat-sifat Allah dan terkadang menakwil sebagiannya.

    Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah RAH di dalam Majmu’ al-Fataawa (IV:169) berkata, “Pandangan Abu al-Faraj sendiri dalam bab ini (sifat-sifat Allah-red) masih kontradiktif, tidak mantap sebagai orang yang menafikan dan juga tidak mantap sebagai orang yang menetapkan. Bahkan ia memiliki lebih banyak pendapat yang dirangkainya dalam puisi dan prosa dalam hal penetapan sifat-sifat daripada yang diingkarinya dalam kitab ini (tafsir). Dalam masalah ini, ia sama saja dengan kebanyakan orang yang membicarakannya; terkadang menetapkan namun di banyak tempat menafikannya. Sama seperti yang dilakukan Abu al-Wafa’ bin ‘Uqail dan Abu Hamid al-Ghazali.”

    Dalam kitabnya, ‘Dzail Thabaqaat al-Hanaabilah (I:415), Ibn Qudamah berkata, “Ibn al-Jauzi adalah imam pada masanya, hanya saja kami kurang berkenan dengan karangan-karangannya tentang as-Sunnah dan metodenya dalam hal itu.”

    Dalam tafsirnya, beliau menyebutkan madzhab al-Mu’awwilah (kelompok penakwil sifat) dan madzhab al-Mufawwidhah (kelompok yang menyerahkan masalah sifat itu pada Allah semata). Seperti contoh, dalam masalah Istiwa’, ia menyebutkan, “Para ulama Salaf bersepakat untuk tidak menambah bacaan ayat.!” Ini adalah madzhab al-Mufawwidhah. Beliau juga menakwil sifat al-Hayaa’ (malu) dengan Khasy-yah (rasa takut), Wajh dengan Dzaat, al-Majii’ (datang) dengan datangnya perintah Allah dan kekuasaan-Nya. Beliau membatalkan sifat an-Nafs (diri), al-Yadd (tangan). Menakwil al-Fawqiyyah (penggunaan kata Fawqa/ di atas) dengan al-Qahr (kekuatan, kekuasaan) dan al-Ghalabah (mengalahkan). Sedangkan kata al-‘Ain (mata) ditakwil dengan al-Hifzh (menjaga). Namun begitu, beliau menetapkan, kaum Mukminin dapat melihat Rabb mereka kelak di hari Kiamat.

    Spesifikasi Umum

    Dalam sistematika penulisannya di kitab tafsirnya tersebut, Ibnu al-Jauzi berkata, “Tatkala saya melihat kebanyakan buku-buku para Mufassir hampir tidak ada yang pengungkapannya memenuhi maksud sehingga satu ayat dapat dilihat dalam banyak kitab. Ada banyak tafsir yang kurang optimal dalam menyajikan masalah ilmu an-Nasikh Wa al-Mansukh atau sebagiannya. Kalau pun didapati hal itu, pasti tidak didapati penyebutan sebab-sebab turun ayatnya (Asbaabunnuzuul) atau kebanyakannya; jika pun didapati, pasti tidak didapati penjelasan mana ayat Makkiyyah dan mana ayat Madaniyyah; kalau pun didapati, pasti tidak didapati isyarat mengenai hukum ayat tersebut; kalau pun didapati, pasti tidak didapati jawaban atas kemuykilan yang terjadi pada ayat tersebut dan banyak lagi hal-hal lain yang dituntut untuk dijelaskan.

    Dalam kitab tafsir ini, saya memaparkan hal-hal yang disebutkan tadi. Saya berharap apa yang ada dalam tafsir ini sudah cukup sehingga tidak diperlukan lagi buku-buku tafsir sejenisnya. Saya sudah pernah mengingatkan untuk tidak mengulang tafsir suatu kata yang sudah dikemukakan sebelumnya kecuali dengan mengisyaratkannya saja. Saya tidak meninggalkan perkataan-perkataan yang saya kuasai kecuali yang memang jauh dari benar. Saya memperhatikan sekali penyajian secara ringkas. Bila anda lihat ada ayat yang belum disebutkan tafsirnya, maka hal itu bisa jadi karena dua kemungkinan; bisa jadi karena sudah pernah disebutkan sebelumnya atau karena ia memang sudah jelas sehingga tidak perlu ditafsirkan lagi.

    Kitab kami ini telah diseleksi dari tafsir-tafsir yang paling terseleksi, caranya dengan mengambil tafsir-tafsir yang paling shahih, paling bagus dan terpelihara darinya. Susunannya pun demikian ringkas.”

    Sikapnya Terhadap Sanad

    Beliau menukil semua pendapat ulama Salaf mengenai suatu ayat tetapi tidak menyebutkan sanadnya. Beliau menyusunnya dengan susunan yang baik; pendapat pertama, kedua, ketiga, dst.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Beliau menyebutkan pendapat-pendapat para ulama mengenai ayat-ayat fiqih (para empat imam madzhab dan ulama lainnya) tanpa berpanjang lebar.

    Beliau jarang menguatkan suatu pendapat dan hanya cukup dengan menyinkronkan antara pendapat-pendapat tersebut.

    Sikapnya Terhadap Qiraa’aat

    Beliau menyebutkan Qiraa’aat yang mutawatir dan juga yang Syaadz (janggal) dengan sangat antusias.

    Sikapnya Terhadap Israiliyyat

    Belau menyebutkan riwayat dari as-Suddy dan periwayat lainnya dalam masalah ini.

    Sikapnya Terhadap Sya’ir, Nahwu Dan Bahasa

    Beliau sangat memperhatikan sisi ini dan menukilnya dari karangan-karangan yang berbicara tentang hal itu seperti buku Gharib al-Qur’an dan Musykil al-Qur’an (kedua-duanya karya Ibn Qutaibah). Beliau juga menukil dari kitab-kitab mengenai makna-makna al-Qur’an terutama buku karangan al-Farra’ dan az-Zajjaj, buku ‘al-Hujjah’ karya Abu Ali al-Farisi, ‘Majaaz al-Qur’an’ karya Abu ‘Ubaidah, buku-buku karangan Ibn al-Anbari, buku Sya’nud Du’aa’ karya al-Khaththabi. Beliau juga menampilkan beberapa Syawaahid sya’ir.

    * Untuk memperdalam lagi wawasan tentang biografi Ibnu al-Jauzi, silahkan baca:
    - Dzail Thabaqaat al-Hanaabilah karya Ibn Rajab (I:399-433)
    - Tadzkirah al-Huffaazh karya adz-Dzahabi (1342)
    - Al-Bidaayah Wa an-Nihaayah (XIII:28-30)
    - Thabaqaat al-Mufassiriin karya as-Suyuthi (50)

    (SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manahij al-Mufassiriin karya Abu Abdillah, Muhammad al-Hamud an-Najdi, hal.21-23)









    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-15 (TAFSIR ATS-TSA’ALABI)

    Nama Mufassir

    Beliau adalah Abu Zaid, Abdurrahman bin Muhammad bin Makhluf ats-Tsa’alabi, al-Maliki, al-Jaza’iri.*

    Nama Kitab

    Ia menamakan kitab tafsirnya‘al-Jawaahir al-Hisaan Fii Tafsiir al-Qur’an’

    Aqidahnya

    Beliau seorang Mu’awwil (suka menakwil) dan penganut faham Asy’ariah. Beliau selalu menukil ucapan-ucapan Ibn ‘Athiyyah dan menyetujuinya (akan disinggung nanti pada kajian tersendiri tentang tafsir Ibn ‘Athiyyah, insya Allah)

    Spesifikasi Umum

    Pengarangnya mengatakan, ia meringkasnya dari tafsir Ibn ‘Athiyyah lalu menambahkan beberapa ‘faedah’ yang diambilnya dari hampir seratus buku para imam terkemuka (sebagiannya, ada yang tidak dapat dicetak sekarang). Ia tidak berani menukilnya secara makna karena takut salah. Ia menyebutkan apa yang dinukilnya dari ath-Thabari adalah berasal dari ringkasan Syaikh Abu Abdillah, Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Lakhmi, an-Nahwi. Ia juga menyebutkan, bahwa setiap teks yang diakhiri dengan perkataan ‘intaha’ (selesai), maka itu bukan berasal dari ucapan Ibn ‘Athiyyah tetapi merupakan nukilannya sendiri dari orang lain. Ia membuat tanda ‘ت’ sebagai ganti dari ucapan ‘قلت’ (aku berkata) dan tanda ‘ع’ sebagai isyarat kepada Ibn ‘Athiyyah serta tanda ‘ص’ sebagai isyarat kepada buku ‘Mukhtashar ash-Shafaqisi Li Tafsir Abi Hayyan.’ Sedangkan tambahan yang diberikan ash-Shafaqisi sendiri ia bubuhkan tanda ‘م.’

    Pada dasarnya, kitabnya tersebut merupakan buku yang mengoleksi ringkasan-ringkasan buku-buku yang bermanfa’at, tidak terdapat hal yang sia-sia atau pun membosankan.

    Sikapnya Terhadap Hadits Dan Sanad

    Beliau menukil dari al-Kutub as-Sittah (enam buku induk hadits), al-Adzkaar karya Imam an-Nawawi, at-Targhiib Wa at-Tarhiib karya al-Mundziri, at-Tadzkirah karya al-Qurthubi, al-‘Aqibah karya Abdul Haq al-Asybili, Mashaabiih as-Sunnah karya al-Baghawi dan kitab-kitab lainnya di mana kebanyakannya tanpa sanad. Sedangkan sebagiannya tanpa disebutkan rujukannya bahkan dengan beliau mengawalinya dengan ucapannya, ‘Diriwayatkan dari ‘Aisyah, begini dan begitu…” atau ‘Rasulullah SAW bersabda…’

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Beliau menyebutkan pendapat-pendapat para ulama fiqih dari kalangan Salaf dalam masalah-masalah fiqih, khususnya madzhab Imam Malik. Tetapi itu dengan ringkas saja dan terkadang menguatkan suatu pendapat.

    Sikapnya Terhadap Sya’ir, Nahwu Dan Bahasa

    Beliau sangat memperhatikan sisi ini dan banyak sekali meng-I’rab beberapa tempat di dalam al-Qur’an dengan menukil dari Ibn ‘Athiyyah dan Mukhtashar ash-Shanaqisi karya Abu Hayyan. Beliau juga menyebutkan Syawaahid Syi’riyyah untuk lafazh-lafazh al-Qur’an.


    Sikapnya Terhadap Qiraa’aat

    Beliau menyebutkan al-Qiraa’aat as-Sab’u (Tujuh Bacaan Induk al-Qur’an) di dalam kitabnya dan terkadang bacaan yang janggal (Syaadz).

    Sikapnya Terhadap Israiliyyat

    Belau menyebutkan sebagian riwayat-riwayat Israiliyyat, lalu menanggapinya dengan tanggapan yang intinya menyebutkan ketidakshahihannya atau tidak memastikan keshahihannya.

    * Untuk memperdalam lagi wawasan tentang biografi at-Tsa’alabi, silahkan baca:
    - adh-Dhaw’u al-Laami’ Li Ahl al-Qarn at-Taasi’ karya as-Sakhawi (I:399-433)
    - Tadzkirah al-Huffaazh karya adz-Dzahabi (1342)
    - Al-Bidaayah Wa an-Nihaayah (XIII:28-30)
    - Thabaqaat al-Mufassiriin karya as-Suyuthi (50)

    (SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manahij al-Mufassiriin karya Abu Abdillah, Muhammad al-Hamud an-Najdi, hal.21-23)









    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-15 (TAFSIR AL-MAWARDI)

    Nama Mufassir

    Beliau adalah Abu al-Hasan, ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, al-Bashari, asy-Syafi’i.*

    Nama Kitab

    Ia menamakan kitab tafsirnya‘an-Nukat Wa al-‘Uyun’.’

    Aqidahnya

    Beliau seorang Mu’awwil (suka menakwil) yang memuat banyak sekali Ta’wil di dalam kitabnya. Di dalam sebagian tema, ia memiliih pendapat kaum Mu’tazilah, prinsip-prinsip akidah mereka yang rusak serta sepakat dengan mereka dalam masalah takdir. Karena itu, Imam adz-Dzahabi berkata di dalam kitabnya al-Mizan (Mizan al-I’tidal-red), “Shaduq pada dirinya sendiri, tetapi ia seorang penganut Mu’tazilah.”

    Sikapnya Terhadap Hadits Dan Sanad

    Beliau tidak menyebutkan sanad-sanad dan tidak merujuk riwayat-riwayat yang ada kepada para Mukharrij (pengarang kitab hadits), baik itu para pengarang enam kitab-kitab hadits induk atau pun selain mereka. Kebanyakan hadits, sababun nuzul, perkataan shahabat dan tabi’in yang dinukilnya berasal dari tafsir ath-Thabari.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Al-Mawardi seorang pengikut madzhab asy-Syafi’i yang mumpuni dalam madzhabnya. Ia adalah imam madzhab asy-Syafi’i pada masanya. Dalam madzhab ini, ia mengarang kitabnya al-Hawi yang terdiri dari lebih dari 20 jilid (sudah diterbitkan-red). Kefaqihannya tersebut sangat mempengaruhi tafsirnya. Beliau interes menyebutkan perkataan-perkataan imam asy-Syafi’i dalam masalah-masalah fiqih dan menguatkannya. Ia juga menyinggung perkataan-perkataan para imam madzhab lain seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan Daud azh-Zhahiri kecuali imam Ahmad. Hal ini barangkali, karena ia menilai imam Ahmad lebih kepada seorang ahli hadits (Muhaddits) ketimbang seorang ulama fiqih (faqih).

    Sikapnya Terhadap Qira’at

    Beliau menyebutkan al-Qira’at as-Sab’u (Tujuh Bacaan Induk al-Qur’an) di dalam kitabnya dan juga Qira’at Syadzah (bacaan yang janggal) pada sebagian ayat dengan menjelaskan maknanya dan mengarahkannya akan tetapi tidak menyebut sumber-sumber yang dinukilnya.

    Sikapnya Terhadap Israiliyyat

    Beliau menyebutkan riwayat-riwayat Israiliyyat tetapi tidak memperbanyak, terkadang mengeritiknya.

    Sikapnya Terhadap Sya’ir, Nahwu Dan Bahasa

    Beliau sangat banyak menukil dari buku-buku yang membahas tentang makna-makna al-Qur’an, gharib dan I’rabnya. Karena itu, anda mendapati di dalam kitab tafsirnya tersebut terdapat beberapa nukilan dari ulama-ulama bahasa seperti imam al-Kisa’iy, al-Farra’, al-Akhfasy, Tsa’lab, al-Mubrid, al-Mufadhdhal bin Salamah, az-Zajjaj, Mu’rij bin Umar, Quthrub, Ma’mar bin al-Mutsanna, Ibn Qutaibah dan lain-lain.

    * Untuk memperdalam lagi wawasan tentang biografi at-Mawardi, silahkan baca:
    - Tarikh Baghdad , (XII:102)
    - al-Muntazhim , (VIII:199)
    - Mizan al-I’tidal, (III:155)
    - Lisan al-Mizan, (IV:260)
    - Al-Bidaayah Wa an-Nihaayah (XII:80)
    - Syazarat adz-Dzahab karya Ibn ‘Imad (III:285)

    (SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manahij al-Mufassiriin karya Abu Abdillah, Muhammad al-Hamud an-Najdi, hal.12-13)









    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-15 (TAFSIR AL-WAJIZ)

    Nama Mufassir

    Pengarangnya adalah Abu Muhammad, Abdul Haq bin Ghalib bin ‘Athiyyah al-Andalusi, al-Hafizh, al-Qadhi, al-‘Allamah.*

    Nama Kitab

    Ia menamakan kitab tafsirnya‘al-Wajiz Fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz’.’

    Spesifikasi Umum Kitab

    Pengarang meringkasnya dari semua kitab-kitab tafsir (yakni Tafsir al-Manqul) dan selalu mencari yang lebih dekat kepada keshahihan dari kitab-kitab tersebut, menafsirkan ayat dengan gaya bahasa yang manis dan mudah serta banyak sekali menukil dari Ibn Jarir (ath-Thabari-red).

    Aqidahnya

    Beliau seorang Mu’awwil Asy’ari (suka menakwil ayat, berpaham Asyariah), membela takwil yang dilakukan Imam al-Asy’ari dan berargumentasi dengannya.

    Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah mengomentari mengenainya, “Tafsir Ibn ‘Athiyyah dan semisalnya lebih mengikuti as-Sunnah dan al-Jamaah serta lebih selamat dari bid’ah ketimbang tafsir az-Zamakhsyari. Andaikata ia menyebutkan ucapan para ulama Salaf yang terdapat di dalam tafsir-tafsir bil Ma’tsur dengan semestinya tentu lebih baik dan bagus, sebab banyak sekali ia menukil dari tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari -yang merupakan kitab tafsir bil Ma’tsur paling agung dan paling berkualitas-. Hanya saja, kemudian ia meninggalkan nukilan Ibn Jarir dari ulama Salaf, tidak meriwayatkannya sama sekali! Lalu menyebutkan apa yang diklaimnya sebagai ucapan Muhaqqiqin (ulama peneliti). Yang dimaksudnya mengenai mereka itu adalah kelompok Ahli Kalam yang menetapkan pokok-pokok pemikiran mereka dengan cara yang sejenis dengan penetapan ala kaum Mu’tazilah terhadap pokok-pokok pemikiran mereka.! Sekali pun, mereka lebih dekat kepada as-Sunnah ketimbang Mu’tazilah.!!??” (Muqaddimah Fi Ushul at-Tafsir, hal.90)

    Sikapnya Terhadap Hadits Dan Sanad

    Beliau mengetengahkan perkataan-perkatan yang Ma’tsur tanpa menyebutkan sanad-sanadnya, dan memilih darinya dengan tanpa memperbanyaknya, terkadang melemahkan sebagiannya.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Beliau menyebutkan pendapat-pendapat ulama fiqih dari kalangan Salaf dalam masalah fiqih, mengarahkannya dan memilih darinya apa yang menurut pandangannya benar, menguatkannya dengan tanpa memperpanjang lebar atau mengurangi. Beliau juga menyebut ijma’ ulama dalam hal itu, bila ada.

    Sikapnya Terhadap Qira’at

    Beliau banyak sekali membahas mengenai Qira’at dan berdasarkannya, ia menurunkan makna-makna yang beragam.

    Sikapnya Terhadap Israiliyyat

    Beliau menukil sebagian Isra’iliyyat dari Wahb bin Munabbih dan as-Suddi, lalu menanggapi sebagiannya dengan melemahkannya.!

    Sikapnya Terhadap Sya’ir, Nahwu Dan Bahasa

    Beliau termasuk ahli Nahwu yang amat kompeten, selalu merujuk kepada bahasa Arab ketika mengarahkan sebagian makna. Beliau sangat memperhatikan produk-produk Nahwu, penyebutan Syawahid Adabiyyah (pendukung-pendukung yang diambil dari bait-bait syair/sastra) untuk ungkapan-ungkapan tertentu.

    * Untuk memperdalam lagi wawasan tentang biografi Ibn ‘Athiyyah, silahkan baca:
    - Bughyatul Multamis, hal.376
    - Siyar A’lam an-Nubala’, karya Imam adz-Dzahabi, XIX:587-588
    - ad-Dibaj al-Madzhab Fi Ma’rifati A’yan ‘Ulama’ al-Madzhab karya Ibn Farhun, hal.174-175
    - Thabaqat al-Mufassirin karya Imam as-Suyuthi, hal. 49
    Sebagian rujukan menyebutkan tanggal lahirnya pada tahun 481 H dan wafatnya tahun 546 H. Pendapat yang ditetapkan ini sesuai dengan Siyar A’lam an-Nubala’ karya Imam adz-Dzahabi dan ulama selainnya.
    (SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubin Fii Manahij al-Mufassirin karya Abu Abdillah, Muhammad al-Hamud an-Najdi, hal.18-19)









    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-18 (TAFSIR AL-ALUSI)

    Nama Mufassir

    Pengarangnya adalah Syihabuddin as-Sayyid, Mahmud bin Abdullah bin Mahmud bin Darwisy al-Husaini, al-Alusi, Abu ats-Tsana`, seorang Mufassir, Muhaddits, Faqih dan sastrawan.*

    Nama Kitab

    Ia menamakan kitab tafsirnya‘Ruh al-Ma’ani Fi Tafsir al-Qur`an al-‘Azhim Wa as-Sab’i al-Matsani’.’

    Aqidahnya

    Bagi siapa saja yang membaca tafsirnya, maka jelaslah baginya bahwa pengarang tafsir ini lebih condong kepada Tasawuf. Seringkali beliau menafsirkan ayat-ayat dengan tafsiran simbolik dan isyarat (at-Tafsir al-Isyari) sesuai dengan metode kaum Sufi, disamping tanggapan terhadap sebagian hal-hal ‘ngawur’ dan berlebihan dari mereka. Beliau juga, mencomot julukan-julukan besar mereka, seperti perkataan, “Para tokoh terkemuka Sufi -semoga Allah menyucikan rahasia-rahasia mereka- berkata….; Para tokoh terkemuka kita, kalangan Sufi berkata….” di banyak tempat dalam tafsirnya ini. Terkadang, beliau justeru menyebut langsung nama-nama mereka (tanpa julukan-julukan besar-red) seperti Ibn al-Faridh dan lainnya.

    Di antara contoh tafsir isyarat, misalnya, seperti yang disebutkannya ketika menafsirkan awal surat Ali Imran (10/91) tentang ‘Alif Laam Miim.’

    Demikian pula, beliau menafsirkan sejumlah ayat lainnya dengan tafsir isyarat sesuai dengan hawa nafsu kaum Sufi.

    Dan di antara perkataan-perkataan menyimpang dan ‘ngawur’ yang dimuat dalam kitab tafsirnya itu adalah seperti perkataannya, “Sesungguhnya Nur Muhamad SAW merupakan makhluk pertama yang diciptakan.!!” (17/105) “Dan ia merupakan penjelmaan dari Nur Ilahi.!!” (Lihat, 13/77)

    Beliau menukil ucapan asy-Sya’rani dalam risalahnya, ‘al-Fath Fi Ta`wil Ma Shudira ‘An al-Kumal Min asy-Syathi’….setelah menukil perkataannya mengenai para wali yang terkadang sebagian dari mereka karena ketinggian derajatnya menjuluki mereka sebagai ‘Anbiya` al-Auliya` (Para Nabinya Para Wali)’, ia menyebutkan, “…Orang seperti ini boleh mengamalkan hadits-hadits sekehendak hatinya, tanpa harus melihat apakah ada yang menshahihkannya atau melemahkannya.! Bisa jadi, apa yang dikatakan para ulama hadits shahih, tidak pernah dikatakan oleh Nabi SAW.!!...” Dan seterusnya, berupa ucapan-ucapan yang meremehkan derajat para ahli hadits dan tidak menganggap mereka.

    Anehnya, al-Alusi tidak mengomentari sedikiitpun perkataan-perkataan yang tidak berguna seperti ini.!!

    Di samping itu, beliau juga terjebak dalam sikap yang membolehkan tawassul dengan kehormatan Nabi SAW. (13/179, 23/160). Tentunya, hal itu merupakan tawassul bid’ah yang tidak ada dasarnya.!!

    Di dalam tafsirnya, ia mengambil hampir semua kajian ar-Razi, serta menyetujui mazhab Asy’ariah bahkan membelanya dan mencela para ulama tokoh Salaf. Terkadang, beliau juga membantah pendapat penganut Asy’ariah dan menetapkan mazhab Salaf.

    Ini adalah sikap inkonsistensi alias plin-plan dari beliau antara mazhab Salaf dan Khalaf. Hal itu, tampak dalam tafsir beliau terhadap beberapa masalah aqidah yang sependapat dengan mazhab Salaf. Ini dapat dilihat, misalnya, pada 7/114-117, 8/136, 23/225-226.

    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

    Beliau menyebutkan secara merata mazhab-mazhab ulama fiqih dan dalil-dalil mereka dengan tidak fanatik terhadap mazhab tertentu.

    Sikapnya Terhadap Sya’ir, Nahwu Dan Bahasa

    Beliau memperluas dalam pembahasan tentang ilmu Nahwu, sampai-sampai hampir keluar dari ‘ranah’ tafsir. Beliau banyak mempertegas dengan sya’ir-sya’ir bangsa Arab dan Matsal (pribahasa) mereka.

    Sikapnya Terhadap Qira’at

    Beliau membahas mengenai Qira’at namun tidak mensyaratkan harus yang mutawatir. Beliau juga memberikan perhatian pada perlunya menampilkan sisi Munasabah (korelasi) antara surat-surat dan ayat-ayat.

    Sikapnya Terhadap Israiliyyat

    Beliau sangat mengeritik keras Isra’iliyyat dan berita-berita bohong.!!


    * Untuk memperdalam lagi wawasan tentang biografi Ibn ‘Athiyyah, silahkan baca:
    - al-A’lam karya az-Zirakli, VII:176-177, Cet. Ke-6
    Mu’jam al-Mufassirin, II:665
    (SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubin Fii Manahij al-Mufassirin karya Abu Abdillah, Muhammad al-Hamud an-Najdi, hal.54-58, dengan sedikit perubahan)










    Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-19 (Tafsir Adhwa’ul Bayan Syaikh Syinqithi)

    Nama Mufassir
    Muhammad al-Amin ibn Muhammad al-Mukhtar al-Jakani Asysyinqithi ( Wafat tahun 1393 H )

    Nama Kitab
    Nama kitab tafsir beliau adalah Adhwa’ul Bayan Fi Idhohi Alqur’an Bilqur’an

    Aqidah Penulis Kitab
    Beliau adalah termasuk ulama Salafiyun yang terkenal yang selalu memperjuangkan aqidah salaf baik dengan lisan ataupun dengan tulisan. Contoh tulisan beliau dalam memperjuangkan aqidah salaf adalah risalah beliau dalam pembahasan Asma dan Shifat ( nama – nama dan sifat – sifat Allah ) yang beliau beliau beri nama : “Ayatus Shifat”

    Spesifikasi Umum Tentang Kitab
    Hal yang paling penting dari kitab ini adalah dua perkara sebagaimana yang dijelaskan oleh pengarang sendiri pada muqoddimahnya, yaitu :
    1. Penjelasan Alqur’an dengan Alqur’an, dimana telah terjadi kesepakatan di antara para ulama bahwa tafsir yang paling tinggi dan paling mulia adalah tafsir Alqur’an dengan Alqur’an, karena tidak ada yang lebih tahu terhadap makna Kalamullah dari Allah.
    2. Pemaparan hukum – hukum fiqih di semua ayat yang dibahas dalam kitab, beserta dengan dalil –dalilnya, perkataan ulama dan penjelasan pendapat yang kuat berdasarkan dalil. Ini semua dibahas oleh pengarang dengan tanpa ada fanatisme madzhab.
    Dan apabila penjelasan ayat dengan ayat dirasa kurang, maka pengarang menyempurnakannya dengan penjelasan dari hadits – hadits Nabi.

    Sikap Pengarang Terhadap Sanad
    Pengarang menyebutkan hadits - hadits dan atsar – atsar beserta sumbernya dan seringnya tanpa menyebutkan sanad. Ini setelah penjelasan beliau tentang ayat dengan ayat untuk menyempurnakan penjelasan makna ayat, sebagaimana yang beliau jelaskan di muqoddimah beliau.
    Pengarang bicara panjang lebar tentang banyak riwayat beserta penjelasan shahih dan dhaifnya. Beliau adalah orang yang mumpuni dan berpengetahuan luas tentang penjelasan para ulama dalam hal ini. Terkadang beliau menilai lemah sebagian pendapat madzhab dalam masalah fiqih karena dinilai dalil dari hadits mereka lemah.


    Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
    Pengarang kitab, yaitu Syaikh Asysyinqithi rahimahullah, walaupun beliau tumbuh besar dam memulai belajarnya di lingkungan yang kebanyakan penduduknya bermadzhab maliki, tapi beliau tidak fanatik terhadap Imam Malik rahimahullah dan tidak juga kepada yang lain.
    Dalam muqoddimah, beliau berkata :
    “Kami merojihkan ( menguatkan suatu pendapat ) apa yang menurut kami itulah yang rajih tanpa ada rasa fanatik terhadap madzhab tertentu atau pendapat orang tertentu, karena kita melihat kepada pendapatnya dan bukan kepada orang yang berpendapat. Karena seluruh perkataan bisa diterima dan bisa ditolak kecuali perkataan Nabi. Dan sudah jelas bahwa kebenaran tetap kebenaran, walaupun yang yang berpendapat adalah orang yang rendah…”
    Terkadang pengarang membahas sebagian masalah fiqih yang terkandung dalam ayat dengan panjang lebar hingga beberapa halaman dan beliau bahas dengan metode yang sangat menyenangkan dan berbobot. Seperti penjelasan beliau tentang wajibnya mengangkat pemimpin kaum muslimin beserta kriteria pemimpin dari surat Al-baqarah ayat 30, thalaq dan hukumnya pada surat Al-Baqarah, dan beliau menafsirkan surat al-hajj dengan menyuguhkan pembahasan – pembahasannya beserta ikhtilaf ulama di dalamnya dalam 752 halaman.
    Dalam pembahasan itu, beliau selingi dengan menitik beratkan kepada pembahasan ushul fiqh. Tidaklah mengherankan, karena beliau adalah orang yang mumpuni dan ahli di bidang ushul fiqh, dimana beliau mempunyai kitab dalam bidang ini yaitu kitab : Almudzakkiroh Fi Ushul Fiqh.

    Sikap pengarang Terhadap Qirâ`ât
    Pengarang menjelaskan bahwa beliau menafsirkan Alqur’an hanya dengan Qira’ah Sab’ah dan tidak bersandar kepada Qira’ah Syadzah ( qira’ah yang tidak masyhur ) Terkadang mungkin menyebutkannya, tetapi hanya sebagai penguat untuk Qira’ah Sab’ah

    Sikap Pengarang Terhadap Israiliyat
    Pengarang menjauhkan diri dari penyebutan israiliyat dalam kitabnya. Hal seperti ini patut dipuji

    Sikap Pengarang Terhadap Bahasa, Nahwu dan Sya’ir
    Pengarang memberi perhatian dalam bidang ini dan terkadang membahasnya dengan berbicara panjang lebar. Pengarang mempunyai ilmu yang luas tentang bahasa arab dan sya’ir, dan beliau bila membahasnya, maka beliau menjelaskan dan menguatkan yang benar dari yang salah dengan membawakan dalil.
    Semoga rahmat Allah yang luas tercurahkan kepadanya.

    (SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.87-92)











    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar