Powered By Blogger

Kamis, 10 Maret 2011

NASEHAT KELUARGA

APAKAH ISTRI HARUS MENGETAHUI SEMUA PERSOALAN SUAMI?

Fail:Mars Hubble.jpg

Sebuah mahligai rumah tangga tidak pernah lepas dari berbagai macam problematika keluarga yang cenderung menumpuk dan mengkristal, baik datangnya dari pihak suami maupun istri. Penumpukan problem ini bisa menjadi bom waktu yang suatu saat meledak meluluhlantakkan rumah tangga.

Karena itu, usaha maksimal untuk menjinakkan bom permasalahan menjadi sebuah keniscayaan, agar kita tidak mendengar ucapan seseorang , “Aku lebih bahagia saat bujang, daripada keadaanku sekarang setelah menikah”.

Untuk mencairkan permasalahan dan menjinakkannya, diperlukan keterbukaan dan komunikasi intensif dari suami istri, jangan biarkan komunikasi dan keterbukaan suami istri membeku yang akan menyebabkan suami istri menutup diri, tidak terbuka menyampaikan masalahnya kepada pasangannya. Dengan adanya komunikasi suami istri, niscaya akan tercipta keluarga yang harmonis dan beralaskan cinta sejati. Cinta yang bersemi dalam hati, berkembang dalam kata, dan terurai dalam laku.

Komunikasi suami istri dan keterbukaan dalam hidup berumah tangga sangatlah penting, bagaimana tidak? Bukankah hakikat pernikahan adalah sebuah ikatan kerja sama, saling menerima dan memberi, dan saling memberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban? Bukankah ini semua tidak mungkin terlaksana kecuali dengan komunikasi dan keterbukaan suami istri?

Di antara bukti-bukti komunikasi suami istri yang telah dicontohkan oleh para salaf sangatlah banyak. Jika kita membaca sejarah, niscaya kita dapatkan bagaimana para istri mendukung suami dan berdiskusi dengannya.

Sejarah tidak pernah melupakan sikap Khadijah istri Rasulullah b ketika beliau mendapati Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – takut dan gemetar saat wahyu datang kepadanya kali pertama, dia tidak mengetahui bahwa yang datang kepadanya itu wahyu dari Allah, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – saat itu berkata, “Aku takut pada diriku sendiri”, kemudian Khadijah menenangkannya, menghiburnya seraya berkata, “Demi Allah, Dia tidak akan menyengsarakanmu, kamu selalu menyambung tali silaturahmi, menyantuni anak yatim, membantu fakir miskin, memuliakan tamu, membantu orang-orang yang tertimpa musibah” (Muttafaqun Alaih)

Jikalau Khadijah tidak membantu suaminya yaitu Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – untuk berbuat baik, niscaya Khadijah tidak berkata apa yang dia katakan, Khadijah membekali suaminya makanan dan minuman ketika menyendiri di gua Hira bermunajat kepada Allah.

Kemudian, Khadijah juga sebaik-baik pembantu bagi Rasulullah setelah diutus menjadi Nabi dalam menghadapi musuh-musuh beliau, sebaik-baik penolong, dan sebaik-baik orang yang membantu Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – untuk tegar dalam memegang kebenaran. Khadijah memberikan hartanya ketika beliau – shollallohu ‘alaihi wa sallam – diboikot orang-orang Quraisy, setia mendampingi beliau ketika orang-orang meninggalkannya, dan membenarkannya ketika orang-orang mendustakannya. Oleh karena itu, Allah memberi kabar gembira kepadanya dengan surga, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Berilah kabar gembira kepada Khadijah dengan sebuah rumah di surga dari permata, tidak ada keributan dan kelelahan”. (Riwayat Turmudzi, dishahihkan oleh al Albani)

Demikian pula sikap istri-istri Nabi lainnya, istri-istri para sahabat, dan istri-istri para salafus shalih, mereka mendampingi suami-suami mereka di parit kebenaran, ikut memikul beban suami, dan ikut berjerih payah untuk menolong agama Allah.

Betapa indah rumah tangga yang dibangun di atas pondasi ketaatan kepada Allah Rabb semesta alam, betapa indah ketika istri membantu suaminya dengan diskusi dan dialog dalam ketaatan dan tidak membantunya dalam kemaksiatan, betapa indah ketika istri menaati suaminya dalam agama Allah. Para istri sekarang ini, harus banyak bercermin kepada istri para salaf, ingatlah ketika salah seorang dari mereka berkata kepada suaminya ketika menghantarkan suaminya yang hendak pergi kerja, dia berkara kepada suaminya:

“Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga kami, jangan beri makan kami dari yang haram, kami bisa sabar karena lapar di dunia dan kami tidak bisa tahan panasnya api neraka di hari kiamat.” (Mafatih Sa’adah Zaujiyah)

Inilah sepenggal contoh bagaimana komunikasi suami istri yang telah dilakukan oleh para salaf. Akan tetapi, apakah keterbukaan suami istri dan komunikasi melazimkan sang istri harus mengetahui semua persoalan suami? Apakah sang istri harus mengkorek semua hal yang dilakukan suami saat pergi atau kerja di luar rumah atau di luar kota?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengenal persoalan-persoalan rumah tangga yang harus diketahui istri dan persoalan-persoalan rumah tangga yang tidak harus diketahui istri.

PERSOALAN RUMAH TANGGA, HARUS DIKETAHUI ISTRI

Perkara-perkara berkaitan langsung dengan rumah tangga seperti kebutuhan biologis, permasalahan yang sedang menghadang keluarga, perkembangan dan kondisi anak, dan perencanaan-perencanaan penting bagi keluarga untuk ke depannya seperti keuangan, pendidikan anak, dan lain-lain.

Perkara-perkara tersebut adalah perkara yang harus diketahui, saling dipahami, dan saling dimusyawarahkan oleh pasutri. Mereka berdua harus bisa memahami dan menghargai beratnya tanggung jawab yang dipikul di pundak mereka. Karena pernikahan itu, membutuhkan dua pasangan yang memiliki kecocokan dan yang telah matang pemikirannya. Bukan pasangan yang bermental anak kecil, karena hakikat pernikahan adalah membina keluarga dan penunaian tanggung jawab yang tidak ringan.

Betapa banyak pernikahan yang berakhir dengan kegagalan, karena kedua pasangan tidak memiliki tanggung jawab, masing-masing pasangan hanya ingin mencari ganti atas kekurangan yang selama ini dia rasakan sebelum menikah, mereka bermental anak kecil, tidak menghargai beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh pundak mereka.

Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Ketahuilah, setiap diri dari kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dia pimpin, seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia bertanggung jawab atas keluarganya, seorang istri bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas mereka.” (Muttafaqun ‘Alaih)

PERSOALAN-PERSOALAN YANG TIDAK WAJIB DIKETAHUI ISTRI

Persoalan-persoalan khusus suami yang tidak berkaitan dengan urusan rumah tangga, seperti perincian urusan kerja suami dan aktivitas seperti dakwah dan lainnya yang tidak mengganggu dan tidak mengusik ketenangan dan ketenteraman rumah tangga, dan tidak mengurangi kewajibannya dia dalam memenuhi hak-hak istri, sang istri tidak berkewajiban mengetahui dan mengorek atau mewancarai dengan seabrek pertanyaan kepada suami.

Tidak wajibnya bagi sang istri mengetahui persoalan-persoalan itu, bukan berarti istri tidak boleh mengetahuinya sama sekali. Akan tetapi, sang suami harus bisa melihat kondisi istrinya, apakah sang istri bisa membantunya mencari solusi atau tidak? Jika bisa, maka tidak ada halangan bagi suami untuk mengajak istri berdiskusi dalam persoalan-persoalan khususnya. Demikian pula sang istri, dia harus bisa memahami kondisi suami yang sedang terhimpit persoalan atau tidak, kemudian dia berusaha meringankan beban dan persoalan yang sedang menghimpit suami.

Coba diperhatikan, bagaimana Rasulullah mengajak diskusi istrinya Ummu Salamah – rodhiyallohu ‘anha – saat para sahabat tidak mengindahkan perintahnya ketika beliau – shollallohu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan mereka untuk menyembelih hewan dan mencukur rambut setelah perjanjian Hudaibiyah. Ummu Salamah pun berkata kepada Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – , “Wahai Nabi Allah, apakah engkau senang hal ini? Sekarang temui mereka dan jangan ajak bicara mereka meskipun sepatah kata hingga engkau menyembelih hewan sembelihanmu dan engkau memanggil orang yang mencukur rambutmu.” Lalu Rasulullah menemui para sahabat, tidak mengajak bicara mereka dan beliau menyembelih hewan sembelihannya dan mencukur rambutnya, akhirnya para sahabat pun mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam -. (Irwa’ul Ghalil)

Ibnu Hajar berkomentar, “Hadits ini menunjukkan keutamaan musyawarah, perkataan jika dibarengi perbuatan itu lebih berbekas daripada perkataan saja, dan bolehnya mengajak istri bermusyawarah”.

PANGKAL MALAPETAKA RUMAH TANGGA

Telah disebutkan bahwa istri tidak harus mengetahui semua persoalan suami, Karena itu, iika ada wanita yang selalu mengawasi gerak-gerik suaminya karena ketidakpercayaannya, maka pernikahan seseorang tidak akan berjalan mulus, bahkan yang muncul adalah kegelisahan, kecurigaan, tidak pernah merasa tenteram, dan sebagainya. Pada akhirnya, pasutri akan saling menyalahkan dan menuduh, semuanya terlahir dari sikap suka berprasangka buruk. Karenanya, salah satu unsur pokok dalam membina rumah tangga adalah rasa saling percaya dan tidak saling berprasangka buruk.

Seorang istri harus memahami keinginan pasangan, yaitu dengan memenuhi kecenderungan, keinginan, kesenangan pasangan tanpa celaan atau tindakan perlawanan terhadap keinginan pasangan, selama dalam koridor syariat. Karena suami terkadang membutuhkan waktu sejenak untuk menyendiri atau sekadar berkumpul dengan teman-temannya. Ini adalah kebutuhan alami setiap lelaki, tidak ada perbedaan antara satu lelaki dengan lainnya, para ahli psikolog menyatakan bahwa seorang suami terkadang lebih mengutamakan berada jauh sementara dari istri, hingga timbul rasa kangen kepada istrinya.

Oleh karena itu, wahai para istri, janganlah kamu menjadi batu penghalang jalan suamimu untuk memenuhi keinginannya dan kesenangannya selama dalam batasan syariat. Janganlah kamu belenggu kebebasan suamimu dengan banyak tanya dan wawancara rumit, agar suamimu tidak merasa terbelenggu sehingga benci hidup denganmu, karena seorang suami tidak suka sikap seperti itu, tidak suka merasa dirinya terbelenggu, tidak suka kalau istrinya selalu ingin bersamanya setiap saat, atau tidak suka kalau istrinya selalu curiga dengan pertanyaan-pertanyaan tiada habisnya.




MENGHIDUPKAN IBADAH DIRUMAH

Yang dimaksud ibadah sunah adalah ibadah yang Allah perintahkan, tetapi ibadah tersebut tidak bersifat keharusan. Misalnya shalat Dhuha, syukrul wudhu, dzikir, dan lain-lain.
Dengan demikian ibadah ini di bawah derajat wajib. Adapun faidah melaksanakan ibadah sunah adalah akan mendapat pahala -jika dilaksanakan dengan ikhlas- dan apabila tidak dilaksanakan maka tidak berdosa.

AGAR IBADAH SUNAH MEMBERIKAN BERKAH MELIMPAH

1.Sesuaikan dengan kondisi

Maksudnya kita harus mempelajari kondisi kita pribadi. Kapan kita sibuk, kapan kita semangat ibadah, dan kapan kita punya kesempatan untuk melakukan ibadah sunah. Intinya manajemen waktu dan manfaatkan kesempatan.
Misal ba’da subuh terdapat amalan sunah dzikir pagi. Tapi saat itu seorang ibu disibukkan mempersiapkan sarapan keluarganya, mengurus anak-anak yang mau berangkat sekolah dan lainnya. Dengan demikian jam tersebut waktu yang tidak tepat untuk ibadah sunah. Karena jika kita mengejar amalan tersebut maka tugas sebagai “Ummu” akan berantakan.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan dia mampu untuk melaksanakannya.”[al Baqarah: 286]

2.Istiqamah

Setelah kita bisa melaksanakan sebuah ibadah, maka kita harus bersyukur karena nikmat tersebut dan harus berusaha untuk istiqamah. Karena suatu amalan akan sangat berfaidah jika dilakukan secara rutin walaupun amalan itu kecil.
“Sebaik-baik amalan adalah yang istiqamah, meskipun sedikit”
Hal ini juga berlaku pada ibadah sunah. Perhatikan wasiat Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam — kepada Abdullah bin Amr bin Ash, “Wahai Abdullah, jangan seperti si fulan. Dulu dia biasa shalat malam, kemudian dia meninggalkannya.” [muttafaq ‘alaih]

3.Laksanakan karena ketaatan

Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — sering menyebutkan beberapa faidah duniawi karena pelaksanaan suatu ibadah tertentu. Misal tentang shadaqah:
”Tidak ada hari yang manusia hidup pada waktu itu kecuali ada dua malaikat yang turun, kemudian salah satunya berdoa, ‘Ya Allah berilah ganti bagi orang yang berinfak,’ dan yang lain berdoa, ‘Ya Allah berilah kebangkrutan bagi orang yang menahan hartanya untuk berinfak.’” [mutafaq ‘alaih]
Mungkin ada yang ber-shadaqah, tetapi sangat mengharapkan hartanya bertambah. Bahkan sebelum shadaqah, dia hitung dengan rumus matematika. Misalnya, dia ingin membeli rumah seharga Rp 700 juta. Karena Allah berfirman,
“Permisalan orang yang berinfak di jalan Allah seperti sebuah biji (yang ditanam). Kemudian menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada 100 biji.”[al Baqarah : 261]
Berarti Allah akan melipatgandakan satu rupiah menjadi Rp. 700,-. Sehingga, untuk bisa membeli rumah seharga 700 juta tadi, dia harus ber-shadaqah 700 juta/700= 1 juta.
Mengharapkan faidah duniawi boleh-boleh saja, apalagi ada nash yang menerangkannya. Akan tetapi, jika faidah duniawi itu yang mendorong untuk beramal, maka ini adalah sikap salah dan bisa menghapus keikhlasan.

APA YANG BISA DILAKUKAN UMMU

Sebenarnya banyak ibadah sunnah yang bisa dikerjakan seorang ibu, sekalipun banyak anak dan kerjaan. Terlaksananya ibadah sunnah bukan hanya dipengaruhi kelonggaran waktu, tetapi yang lebih utama dipengaruhi niat dan kesungguhan untuk beribadah. Ingatlah kaidah tercapainya suatu tujuan yang disebutkan Rasulullah,
“Sesungguhnya semua amal itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” [al Bukhari & Muslim]

Berikut ini beberapa contoh ibadah sunnah yang bisa diatur strategi pelaksanaanya:

1.Shalat malam

Dengan tekat kuat untuk shalat malam, insyaallah akan dimudahkan jalannya. Kalau tidak memungkinkan shalat yang panjang seperti kebiasaan shalat rasulullah, maka shalatlah pendek-pendek saja. Jika shalat yang pendek pun juga tidak memungkinkan karena sangat sempitnya waktu, maka berusahalah untuk tidak meninggalkan shalat Witir. Atau mungkin biasakan shalat Witir setelah shalat Isya’/sebelum tidur sebagaimana wasiat rasulullah kepada Abu Hurairah agar shalat witir sebelum tidur [Riwayat al Bukhari & Muslim].

2.Shalat Rawatib

Terkadang, seorang ibu untuk shalat fardhu saja sering tidak bisa tepat awal waktu, karena anak rewel atau pekerjaan rumah yang menuntut segera diselesaikan. Akan tetapi, bukan berarti sama sekali tidak bisa melaksanakan ibadah sunnah ini. Jika merasa kesulitan mengerjakan seluruh Rawatib, maka sempatkanlah shalat sunah fajar. Karena Rasulullah pun mengutamakan shalat sunah fajar dan tetap mengerjakannya sekalipun dalam perjalanan
Dari Aisyah, “Bahwasannya nabi tidaklah sangat berusaha menjaga shalat sunnah, melebihi kesungguhan beliau untuk menjaga pelaksanaan dua rakaat sebelum subuh.” [Muttafaq ‘alaih]
Adapun faidah shalat Rawatib, amalan ini sebagai penambal shalat fardu jika terdapat kekurangan. Selain itu, Allah menjanjikan balasan yang besar bagi orang yang mengamalkannya. Dari Ummu Habibah -ummul mukminin, “Aku mendengar Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Barang siapa shalat dua belas rakaat sehari semalam (shalat Rawatib), akan dibangunkan baginya sebuah rumah di surga.” [Riwayat Muslim]

3.Infak/shadaqah

Shadaqah adalah suatu amalan untuk menjalin hubungan kepada Allah dan juga hubungan dengan sesama. Ibadah ini pun bisa dilakukan di rumah atau lingkungan sekitar rumah. Misalnya seorang ibu yang membagi masakannya dengan tetangganya, atau memberi sepotong kue kepada anak tetangga yang main ke rumahnya, dan sebagainya.
Dari Abu Dzar, dia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, apabila engkau memasak masakan yang berkuah, maka perbanyaklah airnya, dan bagikanlah untuk tetanggamu.’”[Riwayat Muslim]

4.Doa dan Dzikir

Dzikir adalah amalan yang ringan, tapi sering dilalaikan. Jika tidak sempat secara sempurna, maka amalkanlah semampunya agar tetap memperoleh faidahnya.
Alangkah baiknya seorang ibu pun senantiasa membaca al Quran dan menghafalnya, sehingga rumahnya senantiasa dihiasi oleh bacaan al Quran untuk memperoleh rahmat dari Allah. Lebih indah lagi kalau dia membaca al Quran ketika shalat malam.
Kalau yang menjadi kendala sulit berdzikir atau sempitnya kesempatan berdzikir adalah karena segudang pekerjaan rumah, maka hal ini pernah dikeluhkan oleh Fathimah, putri Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam –, maka beliau menghadap ayahandanya untuk meminta seorang hamba sahaya yang bisa membantu meringankan pekerjaannya. dan beliau pun memberikan nasihat hendaknya sebelum tidur membaca: subhanallah (33x), Alhamdulillah (33x), Allahu akbar (33x) dan لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير akan meringankan beban pekerjaan rumah.
Selain dzikir tersebut, sebelum tidur juga disunnahkan membaca ayat Kursi, surat al Ikhlas, al Falaq, dan an Nas, kemudian ditiupkan ke telapak tangan dan diusapkan ke seluruh tubuh. Ini dilakukan 3 kali dan berfungsi membentengi diri kita dari sihir dan gangguan makhluk halus.

5.Wudhu bukan untuk shalat.

Maksudnya, wudhu yang dilakukan bukan karena akan melaksanakan shalat, tetapi sekadar menjaga kesucian dari hadats kecil, dan ini hukumnya sunah. Hal ini didasarkan pada hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — bersabda, “Umatku akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan berwajah cerah dan tangan dan kaki cerah sebagai pengaruh dari wudhu.” Kata Abu Hurairah, “Barang siapa mau memperlama cahaya ini, silahkan (berwudhu setiap batal)” [Umdatul Ahkam].
Yang dimaksud memperlama, menurut salah satu pendapat ulama adalah berwudhu setiap batal.
Jika dia shalat sunnah dua rakaat setelah berwudhu, maka pahalanya jauh lebih besar lagi, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, Rasulullah berkata kepada Bilal, “Aku mendengar bunyi sandalmu di surga.” Kata Bilal, “Tidaklah aku berwudhu, kecuali aku shalat dua rakaat setelahnya (shalat syukrul wudhu).”
Dan sangat dianjurkan untuk berwudhu sebelum tidur, seandainya dia meninggal ketika tidur, maka dia meninggal dalam keadaan suci.

PILIH-PILIH IBADAH?

Mungkin sekarang muncul di benak kita, bagaimana hukumnya memilih-milih ibadah sunnah yang ringan dan meninggalkan yang susah? Jawabannya sebagaimana tercantum dalam prolog tadi dan ditambah dengan sedikit rincian. Apabila kita melakukannya karena kesibukan, maka tidak mengapa, karena namanya amalan sunnah, tetaplah sunnah. Akan tetapi, jika memilihnya karena tidak suka dengan suatu ibadah tertentu, maka ini perbuatan tercela, bahkan bisa mengantarkan kepada kekafiran, karena mengingkari/membenci sebagian syariat. Wallahu a’lam

Maraji’:
1.Riyadhush Shalihin, Imam an Nawawi
2.Taudhihul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, Syaikh al-Bassam
3.Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakr al-Jazairi
4.Taisirul ‘Alam syarh Umdarul Ahkam, Syaikh al-Bassam
5.al Qur’an al Karim dan terjemahannya





PANDAI BERSYUKUR" KUNCI SYURGA"

Ketika seorang wanita ingin punya baju bagus, perhiasan indah, tampilan menarik, sungguh sebuah kewajaran. Secara fithrah, wanita memang senantiasa bertipe demikian. Wanita dengan tabiatnya sebagai pendamping pria, memang selalu suka berhias, berdandan dan mempercantik diri. Kesukaannya terhadap benda-benda duniawi juga cenderung lebih besar ketimbang kaum pria. Maka sungguh tidak bijak bila “fithrah” itu dihambat sedemikian rupa, atau bahkan dihentikan secara sepihak. Islam adalah agama fithrah, yang sudah pasti akan memiliki tatanan ajaran yang selaras dengan kebutuhan fihtrah.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Surga).” (Ali Imran : 14)

Antara Memanjakan Diri dan Mematikan Hati
Namun apa yang dikehendaki fithrah tidaklah sama dengan apa yang dimaui oleh hawa nafsu? Hal-hal yang berlebihan selalu saja berlawanan dengan fithrah itu sendiri. Sebagian istri tenggelam dalam khayalan. Mereka terlampau berlebih-lebihan dalam menuntut kesempurnaan. Dalam benaknya, pernikahan laksana surga Firdaus. Di dalamnya tak ada kepenatan, beban, ataupun kesusahan. Ia menginginkan pernikahan sesuai dengan gambaran dan fantasinya, tanpa bisa menoleransi adanya sedikit pun kesulitan.
Akhirnya, ketika sang istri berhadapan dengan kenyataan yang sarat tanggung jawab, saat ia dituntut untuk mengambil keputusan, melahirkan anak dan menghadapi berbagai macam kesulitan hidup, banyak di antara mereka yang tak sanggup menghadapinya. Tak jarang yang akhirnya berpikir bahwa ia telah keliru memilih pendamping hidup.
Betapa apa yang dialaminya, jauh di luar apa yang selama ini dibayangkannya. Di satu sisi, ia sadar bahwa ia adalah istri yang harus melayani suami. Tapi di sisi lain, nafsu dan syahwatnya berkubang ambisi dan fantasi yang entah kapan bisa terpuaskan. Kondisi itu pada sebagian wanita bisa memuncak menjadi depresi dan tekanan hidup yang hebat. Bahkan ia tak segan memohon cerai, hanya agar terlepas dari ikatan-ikatan yang terasa amat membelenggunya.
Salah satu faktor dominan yang menyebabkan terjadinya persepsi semacam itu, adalah kecenderungan sebagian masyarakat memetik inspirasi dari kisah-kisah roman picisan, novel-novel terjemahan, sinetron televisi atau berbagai tayangan film layar lebar.
Kisah, sinetron maupun film tersebut seringkali menggambarkan kehidupan pernikahan yang serba nyaman dan tak pernah dihinggapi masalah. Gaya hidup glamour sering digambarkan sebagai model-model kesuksesan yang patut diteladani.
Belum lagi tingkah polah selebritis yang saling berlomba mengambil simpati dengan tampilah wahnya. Ketika istri mengendarai bahtera pernikahan, pengalaman yang ia hadapi jauh bertentangan dengan berbagai gambaran itu. Dirinya dikagetkan dengan kenyataan-kenyataan yang sebelumnya tak pernah terlintas di benaknya.
Seorang istri yang bijaksana hendaknya bersikap adil dalam memandang, tidak larut dalam mimpi atau membiarkan jiwanya menerawang ke lembah khayalan dan fantasi buta. Tak usah berlebihan dalam menuntut kesempurnaan. Kehidupan rumah tangga bukanlah sebuah gambaran sesaat. Bukan pula cerita khayalan yang direkayasa.
Ia sesungguhnya realitas yang berbaur penderitaan, angan-angan, kesenangan dan kesedihan, layaknya semua kenyataan hidup lainnya. Semua ini dapat diatasi jika bahtera kehidupan dijalani dengan memperbaiki pola beradaptasi dengannya. Seni menikmati realitas harus dipelajari setahap demi setahap. Belajar menahan derita dan kesusahan adalah seni agar hati tak mudah mati.

Bila Hasrat Belum Jadi Terwujud…
Nah, jika Anda seorang istri yang gagal mendapatkan sebagian fantasi Anda sebelum menikah, haruskan Anda mengatakan, ‘Yang namanya susah, tetap saja susah.’ Lalu Anda membiarkan diri Anda tenggelam dalam kesusahan itu? Tentu tidak demikian! Anda harus belajar untuk menahan diri, menguatkan jiwa dan rohani untuk menghadapinya.
Kekuatan memikul tanggung jawab, beban dan berbagai kesulitan merupakan faktor terbesar bagi terciptanya kebahagiaan pernikahan. Orang yang paling bahagia adalah orang yang paling mampu bersusah payah. Meski dalam realitasnya, belum tentu ia akan mengalami segala kepayahan itu. Artinya, saat Anda siap disuntik untuk berobat, Anda akan menjadi pasien yang berbahagia. Meski ternyata Anda tak harus mengalaminya.
Ukhti muslimah, saat saudari mampu menjadi istri yang tak banyak menuntut –bukan tak punya keinginan dan permintaan sama sekali–, saudari telah membuka pintu kebahagiaan untuk kehidupan rumah tangga kalian berdua.
Bagi suami, tak ada yang lebih indah dari ungkapan seorang istri, ‘Tak apa mas, namanya belum rezeki. Sabar, aku juga tak terlalu butuh kok. Yang ada ini saja sudah jauh dari mencukupi.’
Wah, sungguh itu adalah kata-kata mujarab, untuk mengobati segala kepenatan jiwa, menghilangkan pikiran yang suntuk, bahkan membangun motivasi untuk lebih giat lagi bekerja dan berusaha.
Beratkah untuk melakukannya? Tidak juga. Sebenarnya, yang dibutuhkan cuma “sesekali” sadar aja. Saat saudari berkeinginan kuat memiliki sesuatu, dan saudari melihat suami sedang berkemampuan, sampaikan saja terus terang.
Kalau suami punya beberapa kebutuhan yang sangat mendesak, tahan dulu keinginan itu. Saat sudah lapang, tak apa minta lagi. Bila dibelikan, ucapkanlah terima kasih. Meski ia adalah suami saudari dan memang sudah kewajibannya memberikan apa yang menjadi kebutuhan saudari, terima kasih itu perlu dan sangat berpengaruh menciptakan kebahagiaan di hari saudari. Jangan lupa tersenyum dan memperlihatkan wajah gembira. Tak cukup hanya senang sendiri dalam hati. Karena berbagi itu perlu, apalagi berbagi kebahagiaan.
Sepanjang permintaan itu masih dalam batas kewajaran dan suami saudari mampu, boleh saja saudari meminta. Asal jangan terus-terusan meminta. Biarpun suami mampu, dan permintaan itu sederhana, “sesekali” menahan diri itu perlu.
Kalau “sesekali” itu bisa saudari lakukan lebih banyak, akan lebih baik lagi. semakin banyak, semakin baik pula. Syukur-syukur, suami saudari memiliki pengertian mendalam, sehingga tanpa minta pun saudari sering dibelikan apa yang saudari suka. Itu akan lebih baik, karena nilai ketulusannya lebih banyak.
Dan yang terpenting, hal itu akan lebih mengurangi beban pikiran suami, yang bisa jadi tak saudari ketahui secara pasti. Terkadang, bisa jadi suami saudari menahan diri untuk tidak memberitahukan kebutuhannya, demi kebahagiaan saudari.
Menahan diri sesekali itu, jelas banyak hikmahnya, apalagi bila terjadi berkali-kali. Cara itupun memiliki seni tersendiri, yang kalau saudari kuasai penuh, niscaya akan menjadi sumber kepuasan tersendiri. Puasa mengajarkan kita untuk itu. Bayangkan, makan dan minum yang sudah jadi kebiasaan sehari-hari, belum lagi hubungan seks yang menjadi “primadona” dalam kehidupan duniawi, harus “dihentikan” dalam beberapa jam!
Itulah sebabnya, puasa berpahala besar, dan Allah menjanjikan banyak hal bagi yang melakukannya demi mencari keridhaan Allah,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Setiap hamba yang berpuasa satu hari di jalan Allah, akan Allah pisahkan jarak antara dirinya dengan Neraka sejauh tujuh puluh musim gugur (70 Tahun).” [1]
Seorang istri, hendaklah tetap bersyukur meskipun musibah menimpanya, sebagai tanda terima kasihnya kepada Allah atas takdir yang ditentukan kepadanya. Apalagi bila kenyataannya, ia juga banyak menerima kesenangan, dan kesulitan itu justru dirasakan olehnya sesekali saja. Ia harus menjaga amarah, jangan banyak mengeluh dan memerhatikan adab-adab dalam menghadapi segala wujud musibah. [2]
Seorang istri hendaknya menyadari bahwa suami adalah penyebab lahirnya keturunan. Anak adalah nikmat yang sangat agung. Seandainya laki-laki tidak memiliki kelebihan kecuali hanya nikmat ini, maka cukuplah kelebihan itu untuk disebutkan.
Ar-Raafi’i menjelaskan, “Sekalipun istri sengsara karena suaminya, sungguh suami telah membahagiakannya karena ia menjadi penyebab lahirnya keturunan. Karenanya, kelebihan ini saja sudahlah cukup menjadi kelebihan dan kenikmatan.” [3]
Rasulullah shollallohu ‘alaih wa sallam bersabda, “Saya melihat kebanyakan penghuni neraka adalah kaum wanita.” Para sahabat bertanya, “Mengapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka mengingkari keluarga dan kebaikan-kebaikan suami. Jika sekiranya engkau berbuat baik kepadanya, lalu ia melihat sedikit kekurangan darimu, maka ia berkata: ‘Saya tidak melihat suatu kebaikan darimu sama sekali’.” [4]
Jadilah wanita yang pandai bersyukur. Jadilah Ahli Surga….






KETIKA RUMAH TANGGA TANPA CINTA

Fail:Saturn (planet) large.jpg

Urgennya Cinta Dalam Rumah Tangga

Rumah tangga laksana istana bagi sepasang kekasih. Istana yang akan melindungi mereka dari serangan problematika, istana yang akan menaungi mereka dari panasnya sengatan matahari cobaan, dan istana yang akan memberikan kehangatan saat dinginnya udara rintangan menghempasnya.

Sungguh besar peranan rumah tangga dalam melindungi sepasang kekasih dan gangguan-gangguan eksternal. Akan tetapi, peranan rumah tangga akan semakin maksimal ketika kedua kekasih memiliki ikatan kokoh yang berpondasikan cinta. Karena hakikat ikatan suami istri adalah kerjasama, saling mengasihi, dan saling mencinta. Ketika cinta pudar, maka ikatan mereka pun renggang dan tidak mampu menghadapi cobaan-cobaan yang menghadang.

Bahkan, ikatan suami istri yang tidak berpondasikan cinta akan menumbuhkan hubungan yang tidak dinamis dan melahirkan berbagai persoalan dari dalam rumah tangga mereka. Akhirnya, pertahanan mereka sudah lemah sebelum menghadapi serangan eksternal. Yang akhirnya, jurang perceraian pun tak bisa mereka hindari.

Ibnul Qayyim v berkata dalam menjelaskan urgennya cinta suami istri dalam rumah tangga, “ “Ketika cinta suami istri semakin kuat dan sempurna, maka tujuan dari menjalin ikatan pernikahan semakin sempurna pula.” Tujuan menikah adalah menjaga kesucian dan meraih sakinah.

Cinta dalam rumah tangga ibarat poros kehidupan dan makanan utamanya. Ketika rumah tangga kehilangan cinta, maka suami istri akan merasakan kehidupan yang gersang dari kasih sayang, kelembutan, ketenangan, dan ketentraman. Bahkan, dipenuhi dengan kekakuan dan mereka seperti minyak dan air yang berusaha diletakkan dalam satu bejana.

Perselisihan antara suami istri pasti terjadi. Dan perselisihan antara mereka berdua itu ibarat sepercik api dan akan terus membesar hingga membakar seisi rumah, jika tidak lekas dipadamkan dan cintalah yang akan memadamkannya.

Setelah mengetahui pentingnya cinta dalam rumah tangga, apa sebenarnya cinta dalam rumah tangga itu?

HAKIKAT CINTA DALAM RUMAH TANGGA

Cinta adalah cinta. Itulah definisi yang pas yang kita berikan kepada “cinta”. Tidak ada ungkapan lain yang bisa menjelaskan hakikat cinta kecuali kata “cinta” itu sendiri.

Adapun hakikat cinta dalam keluarga adalah kecenderungan hati kepada kekasih karena adanya kecocokan setelah melihat keindahannya atau kesempurnaan sifat-sifatnya, adanya kecocokan batin dengan kekasih, dan ketika sang kekasih berbuat baik kepadanya, kemudian kecenderungan tersebut melahirkan sesuatu yang luar biasa seperti penyerahan diri kepada kekasih, selalu mengingatnya, menunaikan hak-haknya, selalu mengharapkan pertemuan dengannya, hatinya dipenuhi dengan bayang-bayangnya, dan lain sebagainya, dan akan menuntun mereka menuju terminal akhir yaitu sakinah dalam firman Allah,

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya (yaitu sakinah.pen), dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” ( Ar Rum :21)

RUMAH TANGGA TAK BERPONDASIKAN CINTA?

Meskipun sepasang kekasih tinggal satu atap, satu rumah, dan satu keluarga, mereka berdua pasti memiliki titik-titik perbedaan, kekurangan-kekurangan, dan tabiat-tabiat yang tidak disukai oleh pasangannya. Terkadang, ada cara makan dan minum, berbicara, tidur, dan seabrek perilaku lainnya yang tidak disukai pasangan.

Oleh karena itu, terkadang ada suami atau istri yang tidak atau belum mencintai pasangannya. Mereka butuh waktu untuk menumbuhkan benih-benih cinta antara mereka berdua. Karena cinta adalah perkara hati yang seseorang tidak memiliki kekuasaan untuk seenaknya mengontrol hatinya. Rasulullah b berkata setelah berusaha adil dalam bermuamalah dengan istri-istrinya, “Ya Allah, inilah kemampuan saya dalam bermuamalah dengan istri, janganlah Engkau mencelaku atas sesuatu yang Engkau miliki dan tidak aku miliki.” Turmudzi berkata dalam menafsirkan hadits ini, “Maksudnya adalah cinta dan kasih sayang.”

JIKA RUMAH TANGGA TAK BERPONDASIKAN CINTA …

Jika rumah tangga anda belum dihiasai pohon-pohon cinta yang menebar kesejukan, maka jangan terburu-buru membuka pintu perceraian atau merasa pesimis dengan kebahagiaan keluarganya. Dia harus ingat, bahwa cinta itu terlahir ketika ada kecocokan setelah melihat keindahan kekasih dan keluhuran sifat-sifatnya, ada kecocokan batin, dan setelah mendapatkan kebaikan dari sang kekasih.

Untuk meraih 3 faktor tersebut, tentu membutuhkan waktu dan usaha-usaha yang harus ditempuh oleh suami istri. Di antara langkah-langkah yang harus ditempuh adalah:

- Seorang suami atau istri harus bisa memahami perbedaan antara mereka berdua yang terkadang saling berbenturan seraya diiringi dengan penunaian hak dan kewajiban kedua belah pihak.

- Seorang suami atau istri harus menjauhi dosa dan maksiat, karena dosa dan maksiat adalah sebab utama timbulnya kebencian dan matinya cinta. Salah seorang ulama salaf berkata, “Ketika aku berbuat maksiat kepada Allah l, aku mendapatkan pengaruh maksiat pada perubahan sifat istriku yang mulai membenciku”. Di antara dosa dan maksiat yang sering di lakukan adalah tidak menunaikan hak dan kewajiban suami istri.

- Suami harus pandai merengkuh hati sang istri dengan berlemah lembut, membuka pintu maaf untuk kesalahan-kesalahan istri khususnya masalah duniawi, menjaga penampilan dan kebersihan, menyempatkan diri untuk duduk mesra, memahami emosional wanita yang terkadang labil, menampakkan cintanya dengan perkataan dan perbuatan, saling membantu untuk beribadah kepada Allah, bercanda dengannya, meluangkan waktu untuk membantu pekerjaan istri, dan tidak mencela atau menyakitinya. Teladan dalam hal ini adalah Rasulullah b. Coba kita perhatikan, bagaimana usaha Rasulullah r dalam menumbuhkan cinta dalam rumah tangga.

Rasulullah b memanggil Aisyah dengan namanya yang paling bagus, beliau berkata kepada Aisyah, “Wahai ‘Aisy!”, dan terkadang memanggilnya dengan “Humaira’.

Imam Muslim v meriwayatkan dari hadits Aisyah ia berkata, “Rasulullah b mencium salah satu istrinya sedangkan beliau b sedang puasa, kemudian Aisyah tersenyum”, maksudnya Rasulullah b mencium dirinya.

Rasulullah mengungkapkan cintanya dengan lisan, Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, aku bagimu seperti Abu Zar’in kepada Ummu Za’in (yaitu dalam cinta).

Rasulullah b bercanda mesra dengan istri-istrinya, Imam An Nasa’i meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah x beliau berkata, “Pada suatu hari, Saudah mengunjungi kami dan Rasulullah b duduk di antara kami berdua dan meletakkan kaki beliau di atas pangkuanku dan pangkuannya, aku pun membuat makanan dan aku memerintahkan Saudah untuk memakannya, akan tetapi dia enggan, lalu aku berkata kepadanya, “Makanlah, atau aku akan melumurkannya ke mukamu”, maka aku lumurkan makanan tersebut ke mukanya, kemudian Rasulullah mengangkat kakinya dari pangkuan Saudah agar dia membalas perlakuanku tadi, maka dia pun mengambil makanan dan melumurkannya ke mukaku, dan Rasulullah b tertawa.”

- Sang istri pun harus berusaha merengkuh hati sang suami dengan menyambut kedatangan istri dengan kehangatan, berhias untuknya, bercanda dengannya, memuji dan mensyukuri kebaikannya, bersegera minta maaf kepadanya ketika berbuat salah, taat kepadanya, dan membantu meringankan pekerjaan suami. Di bawah ini beberapa wanita teladan dalam berusaha menumbuhkan benih-benih cinta dan menjaga kelestariannya.

Istri Abu Muslim Al Khaulani ketika suaminya datang, maka dia langsung menyambutnya, menanggalkan pakaiannya dan sandalnya, kemudian menghidangkan makanan kepadanya.

Coba perhatikan bagaimana Shafiyah dan ‘Aisyah bekerjasama untuk meraih kecintaan Rasulullah b. Suatu hari Rasulullah b marah kepada Shafiyah, lalu Shafiyah berkata kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, bersediakah kamu mengambil giliranku agar Rasulullah b meridhaiku?.

- Berdoa kepada Allah agar ditumbuhkan benih-benih cinta di rumah tangganya atau meminta kepada orang-orang shalih untuk mendoakannya. Seorang wanita mendatangi Rasulullah b dan mengeluhkan suaminya, maka Rasulullah b bertanya kepadanya, “Apakah kamu membencinya?”, Wanita tersebut, “Ya”. Lalu Rasulullah berdoa untuk mereka berdua, “Ya Allah satukan hati mereka, tanamkan kecintaan di antara mereka berdua.” Akhirnya mereka berdua pun saling mencintai.

Setelah langkah-langkah di atas di tempuh, dan belum membuahkan hasil, maka jangan langsung menempuh jalan perceraian, akan tetapi masing-masing pihak berusaha memberikan kasih sayang kepada pasangannya, dengan harapan akan tumbuh benih-benih cinta antara mereka berdua.

Hal ini berdasarkan sebuah hadits, seorang lelaki mendatangi Umar bin Khattab ingin bermusyawarah mengenai keinginannya untuk menceraikan istrinya, maka Umar berkata kepadanya, “Jangan kamu ceraikan dia!” Lelaki tersebut menjawab, “Aku tidak mencintainya.” Umar berkata, “Apakah setiap pernikahan itu didasari cinta? Manakah kasih sayangmu? Jika kamu tidak mencintainya maka kasihanilah dia, kecuali jika kamu tidak menginginkannya dan tidak mencintainya dan dia meminta cerai, maka ini adalah perkara lain.”

Jika tidak tumbuh benih-benih cinta juga, bahkan tidak mungkin mempertahankan keutuhan rumah tangganya, maka tidak mengapa menempuh jalan perceraian, dengan syarat setelah menempuh tiga langkah dalam menyelesaikan problematika yaitu nasihat, pisah ranjang, dan pukulan yang mendidik.

Ingatlah … , cinta dalam rumah tangga bisa berpahala jika dibangun di atas cinta karena Allah dan tidak mengalahkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Wallahu A’lam.





ADAKALANYA, ISTRI BOLEH TAK PATUH JUGA

“Jika seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, berpuasa di bulan Ramadhannya, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, maka dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau suka’.”[1]

Setiap pasangan suami isteri pasti mendambakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Rumah tangga akan harmonis dan bahagia jika masing-masing dari keduanya merasakan ketentraman, cinta, dan kasih sayang. Namun semuanya itu tidak akan pernah terwujud kecuali jika setiap pasangan mengerti dan memahami tugas masing-masing. Sebagaimana keduanya memiliki hak, keduanya juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan dengan penuh tanggung jawab.

Kewajiban utama seorang suami adalah menjadi kepala rumah tangga, pemimpin dalam komunitas keluarga, yang bertanggung jawab mengayomi, melindungi, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota keluarga. Sedangkan kewajiban utama seorang istri adalah menaati dan melayani suami.

Dalam konteks kewajiban taat seorang istri kepada suaminya, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – pernah bersabda,

“Sekiranya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya akan kuperintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya.”[2]

Melalui hadits mulia ini, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – ingin menyampaikan pesan kepada para istri, bahwa suami memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Suami layaknya nahkoda yang mengatur jalannya rumah tangga kala mengarungi lautan kehidupan. Maka semestinya ia ditaati, bukan didurhakai, seharusnya ia diikuti, bukan dikhianati. Dan seorang istri shalihah yang berimana kepada Allah dan RasulNya, tidak akan memandang kewajiban taat ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap wanita, kekerasan dalam rumah tangga, atau pelanggaran terhadap hak asasi manusia, sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang kafir dan para pengekor mereka. Akan tetapi, ia akan memandang bahwa kewajiban taat ini merupakan bentuk ketaatan kepada Allah yang telah menciptakanNya, menciptakan suaminya, dan menciptakan adanya hubungan suci nan mulia di antara keduanya. Ia akan mengatakan, “Kami dengar, dan kami taat”, kemudian ia akan menunaikannya dengan penuh ketulusan dari lubuk hati dan keikhlasan karena mengharap ridha Ilahi.

Namun yang perlu dipahami di sini adalah, sejauh manakah kewajiban taat seorang istri kepada suaminya? Apakah ia merupakan ketaatan mutlak tanpa batas? Ketaatan yang menjadikan istri layaknya budak kepada tuannya? Ataukah ada suatu kondisi di mana ketaatan itu boleh dilanggar, atau bahkan wajib didurhakai?

Dalam hal ini, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – telah menggariskan satu kaidah agung yang harus dipahami dengan penuh keimanan oleh masing-masing pasangan. Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah Azza wa Jalla.”[3]

Beliau – shollallohu ‘alaihi wa sallam – juga bersabda,

“Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf.”[4]

Ya, ketaatan istri kepada suami bukan hanya karena suami telah menafkahinya, melindunginya, dan memenuhi segala kebutuannya. Akan tetapi lebih dari itu, ketaatan istri kepada suami adalah merupakan bentuk ketaatan kepada Allah ta’ala. Karena Allah telah memerintahkan istri untuk taat kepada suami. Oleh karena itu, ketaatan seorang istri kepada suaminya harus disesuaikan dengan ketaatan kepada Allah ta’ala. Sebab, jika kewajiban taat dan patuh kepada suami sangatlah besar, maka kewajiban taat dan patuh kepada Allah, tentu lebih besar lagi, karena Allah-lah yang telah menciptakan ia dan suaminya, dan mengikatkan tali cinta suci di antara keduanya.

Artinya, kepatuhan istri kepada suami dibatasi pada hal-hal yang tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah ta’ala. Jika sang suami memerintahkannya melakukan suatu kemaksiatan –sekecil apa pun kemaksiatan itu-, maka sebesar apa pun kecintaannya kepada sang suami, ia tidak boleh mematuhinya.

Di antara contoh perintah suami yang tidak boleh ditaati oleh istri:

  1. Suami menyuruh istri berbuat syirik atau kufur

Jika suami memerintahkan istrinya untuk melakukan atau membantu suatu perbuatan syirik; menyuruhnya pergi ke dukun, mencari penglaris untuk dagangan, mengalungkan jimat pada anaknya, atau apa pun bentuk kesyirikan itu, maka istri tidak boleh patuh dan wajib membantah perintah suaminya, meski sang suami tidak senang, tidak ridha, murka, atau bahkan hendak menceraikannya. Bahkan dalam suatu kondisi, apabila sang suami tidak bisa dinasihati, tidak mau bertaubat dari kesyirikannya, sang istri boleh menggugat cerai dari suaminya yang musyrik. Karena keberadaannya di sisi suami, akan mengancam akidahnya. Suaminya yang musyrik itu akan dapat menjerumuskannya ke dalam kemurkaan Allah Azza wa Jalla. Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,

???? ????????? ????? ??????? ???????? ???????? ??????? ??????? ???????? ????????? ?????? ????????? ????? ???????? ???????? ??????? ???????? ??????? ????? ????????.

“Barangsiapa mencari keridhaan Allah dengan kemurkaan manusia, niscaya Allah akan mencukupinya dari tuntutan manusia, dan barangsiapa mencari keridhaan manusia dengan murka Allah, niscaya Allah akan menyerahkannya kepada manusia.”[5]

  1. Suami menyuruh berbuat bid’ah

Di samping kesyirikan, penyakit kronis yang sudah mendarah daging pada masyarakat kita adalah banyaknya perbuatan bid’ah yang sudah dianggap sebagai sunnah. Padahal, melakukan bid’ah merupakan bentuk kedurhakaan kepada Allah ta’ala dan RasulNya – shollallohu ‘alaihi wa sallam -. Oleh karena itu, jika suami memerintahkan istri untuk melakukan amalan bid’ah atau membantu suami merayakan ritual-ritual bid’ah, maka di sini pun istri tidak boleh patuh.

  1. Suami menyuruh membuka aurat

Mengenakan jilbab (busana syar’i wanita Muslimah) hukumnya wajib. Jika suami memerintahkan istri untuk melepas kerudungnya atau membuka aurat lainnya, dengan alasan untuk pekerjaan atau apa pun alasannya, maka istri tidak boleh mematuhinya. Jika istri mematuhinya, berarti ia telah durhaka kepada Allah ta’ala. Allah berfirman, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59).

  1. Suami menyuruh membeli rokok

Meski rokok belum ada di zaman Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam -, namun Islam telah datang dengan membawa nash-nash umum yang mengharamkan segala sesuatu yang mudarat, keji, menjijikan, mengganggu orang lain, menyia-nyiakan harta, tidak ada manfaatnya, serta membinasakan, dan rokok telah mengumpulkan segala keburukan ini, oleh karena itu semua ulama ahlus sunnah telah sepakat bahwa rokok hukumnya haram[6], sehingga istri tidak boleh patuh jika suami minta dibelikan atau dicarikan rokok, karena itu merupakan bentuk tolong menolong dalam kemaksiatan, dan jika istri patuh dalam hal ini, maka ia akan berdosa.

  1. Suami minta dilayani di ranjang, sedangkan istri dalam keadaan haidh, atau suami minta jimak melalui dubur

Istri tidak diperkenankan menolak ajakan suaminya untuk berhubungan intim, jika istri menolak (tanpa alasan syar’i), maka ia akan dilaknat hingga suaminya itu ridha.[7] Namun demi suatu hikmah dan kemaslahatan, Islam telah mengatur rambu-rambu bagi suami istri dalam berhubungan intim, dan jika rambu-rambu itu dilanggar, maka mereka akan terjatuh ke dalam dosa. Di antara rambu-rambu itu adalah tidak boleh berhubungan intim ketika istri sedang haidh, oleh karena itu istri harus menolak ajakan suami untuk berhubungan intim jika ia sedang haidh. Namun dalam kondisi seperti ini keduanya boleh melakukan apa saja selain jimak. Demikian juga apabila suami mengajak istri untuk berhubungan intim melalui dubur, maka ia juga harus menolaknya. Jika tidak, maka keduanya justru akan mendapatkan murka dari Allah ta’ala. [8]

Dan demikianlah seterusnya, segala bentuk perintah suami yang mengandung kemaksiatan serta kedurhakaan kepada Allah, maka istri tidak boleh mematuhinya. Namun yang perlu diperhatikan dan dipahami oleh istri adalah, bahwa ketika suami memerintahkannya melakukan satu kemaksiatan, bukan berarti itu menggugurkan ketaatan istri secara keseluruhan, akan tetapi kewajiban tidak taatnya itu hanya berkenaan dengan perintah yang mengandung kemaksiatan tersebut. Istri juga tidak diperkenankan untuk serta merta marah, benci, dan menghardik suami yang melakukan atau memerintahkan kemaksiatan. Akan tetapi harus tetap ada usaha untuk menasihati dan memberikan pengertian kepada suami. Dan istri yang shalihah adalah istri yang bisa bijak tatkala menghadapi kesalahan suaminya, bisa memberinya nasihat tanpa terkesan menggurui, bisa mengingatkannya tanpa membuatnya tersinggung. Semoga Allah ta’ala memberikan taufikNya kepada kita semua, amin.


[1] HR. Ahmad, no. 1664. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 660.

[2] HR. Ahmad, no. 18913; at-Tirmidzi, no. 1159; dll. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 3366.

[3] HR. Ahmad, no. 1098, dan lainnya. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 7520.

[4] HR. al-Bukhari, no. 7145 dan Muslim, no. 1840.

[5] HR. at-Tirmidzi, no. 2414. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 6097.

[6] Lihat kutaib, Hukmu at-Tadkhin fi Dhau` ath-Thib wa ad-Din, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.

[7] Lihat hadits riwayat al-Bukhari, no. 3237.

[8] Lihat hadits riwayat at-Tirmdzi, no. 135, dan lainnya.





AKU TAK PERCAYA DIRI

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
saya mau curhat, mohon tanggapan dari ustadz. Ceritanya saya dipertemukan dengan akhwat yang jamilah (cantik) sekali. Sayang, saya merasa kurang PD (percaya diri) dihadapannya. Bagaimana Ustadz? Terima kasih
08158431xxxx

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh.
Alhamdulillah. Kalau saudara berniat tulus hendak menikahinya, sementara saudara sudah melihat bahwa si akhwat memiliki kriteria sebagai wanita yang shalihah, berakhlak baik – tidak hanya jamilah saja – dan memiliki keturunan yang baik pula.

Di samping itu, ia tidak memiliki hal-hal yang sangat saudara benci dalam kepribadiannya, untuk itu, silakan saja saudara maju melamarnya,
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki “baa-ah” (kemampuan seksual), hendaknya ia menikah. Sesungguhnya yang demikian itu lebih dapat memelihara pandangan mata dan kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu adalah obat baginya.”

Rasa cinta dan suka itu fithrah. Allah ta’ala menegaskan,
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Jannah).” (Ali Imran : 14)

Saudara harus merasa percaya diri, karena masalah jodoh sulit diukur dengan standar pisik. Apalagi, ini berkaitan dengan niat yang luhur, menyelamatkan diri dari bahaya zina. Imam Nawawi menjelaskan, “Dalam sebuah riwayat disebutkan, ‘Sesungguhnya Allah tidak akan melihat tubuh kalian, tetapi melihat hati kalian.’ Karena, hal-hal yang bersifat lahir tidak akan bisa menghasilkan ketakwaan. Ketakwaan itu hanya bisa dicapai melalui bantuan amalan hati. Allah ta’ala hanya memberikan ganjaran dan pahala berdasarkan kondisi hati, bukan kondisi fisik.”

Asal Akhi (saudaraku-red) membekali diri dengan ketakwaan, mengisi hati dengan ketaatan, perbaiki niat dan lakukan amalan yang terbaik di hadapan Allah, Akhi pasti akan memiliki hati yang kuat dan teguh. Coba camkan apa yang diucapkan seorang ulama bernama Abdul Aziz kepada seorang pemuka bid’ah bernam Bisyr al-Marisi, saat si ahli bid’ah mengejeknya karena ulama itu bertampang buruk, “Sesungguhnya Allah menimpakan bala cobaan terhadap Nabi Yusuf, justru karena wajahnya yang ganteng.”

Kami tidak bilang kalau Akhi tidak ganteng lho… Tapi, mungkin Akhi agak minder, karena kayaknya si akhwat lebih “berkelas” dibandingkan Akhi. Itu tidak jadi soal. Tampil saja apa adanya. Bila Akhi sudah merasa mantap untuk melamarnya, bulatkan tekad, lamar saja. Tapi, untuk mengurangi risiko “keterlanjuran”, sebaiknya Akhi menjajaki terlebih dahulu perasaan si akhwat. Mungkin dengan perantaraan akhwat lain, adiknya atau saudaranya. Bila sudah mendapatkan lampu hijau atau setidaknya lampu kuning kehijau-hijauan, baru Akhi melangkah ke tahap selanjutnya.

Akhi, rasa suka memegang peranan sangat penting untuk kelanggengan sebuah rumah tangga. Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
“Kalau seorang lelaki berkesempatan untuk melihat pada diri wanita itu sesuatu yang mendorongmu untuk mau menikahinya, hendaknya ia melakukannya.”
Ibnu Hajar -rohimahulloh- menjelaskan, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang muslim dianjurkan melihat wanita yang hendak dipinangnya.”

Imam al-Mubarakfuri memberi penjelasan: “Arti ‘yang mendorongmu untuk mau menikahinya,’ yakni bahwa dengan melihatnya, akan lebih baik, lebih pantas dan memungkinkan terjadinya persesuaian antara keduanya.”

Nah, Akhi sudah memiliki yang pertama, yaitu rasa suka atau rasa cinta. Bila “kecantikan” si akhwat semakin disempurnakan dengan inner beauty (keindahan batinnya), kesalihan dan kebagusan akhlaknya, lengkaplah seperti disebutkan dalam hadits, “Dunia adalah kenikmatan, dan sebaik-baiknya kenikmatan dunia adalah wanita yang shalihah.”

Untuk itu, jangan membuang-buang kesempatan. Bila Akhi melamarnya, dan ternyata Allah menakdirkan kalian berdua tidak bisa bersatu dalam kehidupan berumah tangga sebagai suami istri, tidak menjadi masalah. Itu jauh lebih ringan, ketimbang Akhi membuang kesempatan mencoba melamarnya, akhirnya keburu dilamar orang lain. Lebih menyakitkan lagi, kalau ternyata ketahuan sesudahnya, bahwa si akhwat sebenarnya menunggu keberanian Akhi melamarnya. Untuk itu, sekali lagi, tampil saja apa adanya, namun lekaslah mengambil sikap bila segalanya dianggap sudah memungkinkan.

Masalahnya, kalau Akhi belum siap menikah, rasa cinta itu harus diperangi agar tidak mengakar dalam hati. Bukan karena haramnya cinta kasih, namun karena haramnya cinta itu dilampiaskan di luar aturan syariat.

Sebagai analogi, mungkin bisa kita cermati makanan dan minuman. Betapa lezatnya suatu makanan, dan betapa laparnya kita, meski makanan itu halal. Namun saat kita sedang berpuasa terutama puasa wajib di bulan Ramadhan, kita harus menahan diri dan gejolak nafsu dalam jiwa kita, hingga tiba saatnya berbuka. Ya, kalau khawatir kesegaran makanan tersebut berkurang, berikan saja kepada orang yang sedang tidak berpuasa.

Akhi, bila rasa cinta itu masih menggeliat di hati Akhi, sementara Akhi belum mampu menikahinya, maka rasa cinta itu tidak boleh dipupuk. Karena melampiaskan cinta kasih dengan mengobrol, berbual-bual, saling melihat dan bepergian bersama-sama adalah haram.

Dan sebenarnya cinta seperti itu lebih layak disebut nafsu asmara, bukan cinta sejati. Balutannya adalah nafsu, bukan iman. Karena orang yang ingin menyantap makanan yang bukan miliknya, atau yang haram hukumnya bila dimakan, atau menggauli wanita yang bukan istrinya, mencabut tanaman yang bukan kepunyaannya, berarti telah memiliki nafsu untuk berbuat kezhaliman, berbuat haram dan melakukan pelanggaran terhadap aturan Allah. Cobalah simak hadits Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam–,

“Jangan melihat lawan jenis lebih dari satu kali. Karena melihat yang pertama (tanpa sengaja) adalah mubah, tapi yang ke dua sudah haram.” Juga sabda beliau kepada Ali, “Palingkan pandanganmu dari wanita itu.”

Akhirnya si akhwat yang jelita itu, bisa menjadi anugerah bagi Akhi, bila Akhi bisa menikahinya menurut aturan syariat. Namun bisa juga menjadi bencana paling hebat dalam kehidupan Akhi, bila Akhi membiarkannya menjadi bibit kemaksiatan demi kemaksiatan, dalam kehidupan sehari-hari. Semoga Akhi mendapatkan yang terbaik. (***)



DIMUSUHI KELUARGA SUAMI

Assalaamu ‘alaikum warahmatullaah. Ustadz, bagaimana sikap seorang istri yang semua iparnya selalu berburuk sangka. Ini bukan sekadar persangkaan, tapi ini kenyataan, dan sangat mengganggu kehidupan istri tersebut. Dia tertekan. Mungkin karena dia sangat perasa dan baru mengarungi rumah tangga, seolah-olah di mata mereka (iparnya) istri itu selalu salah, selalu merepotkan suami (kakak mereka). Padahal suami rridho dengan istrinya. Istri itu limbung ustadz….. bingung dan kadang berfikir apakah sebaiknya mundur aja ….. mohon nasihatnya ustadz? Jazakumullah khairan.
0856xxxxxxxx

Jawaban:
Wa’alaikum salam warrahmatullah
Saya sering menegaskan, dalam pergaulan suami istri, seringkali muncul pihak luar yang merasa dengki terhadap keharmonisan hidup mereka berdua, sehingga ia berusaha menyebar fitnah dan mengadu domba pasangan suami istri tersebut. Hal itu tentu saja seringkali menimbulkan kebencian antara suami istri, sehingga terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan, seperti konflik suami istri, pertengkaran, meski suami istri itu sendiri tak pernah menghendakinya, bahkan tak jarang berujung pada perceraian. Maka Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
“ Bukanlah termasuk golongan kami orang yang membuat makar untuk memisahkan wanita dari suaminya.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab ath-Talaq, bab: Orang yang merusak hubungan wanita dengan suaminya, hadits No. 2175. sanadnya shahih. Lihat Jami’ul Ushul dengan hasil penelitian al-Arna-uth XI : 727]

Tapi, dalam persoalan ini, mari kita bersama-sama sepakat untuk tidak menyerdahanakan persoalan sedemikian rupa, karena kejadian-kejadian itu bisa jadi memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Kita bisa pilah satu persatu kemungkinannya, lalu kita kupas bersama.

Kondisi pertama, sikap buruk sangka itu bisa murni berasal dari diri mereka sendiri, bukan dari pihak lain. Bila itu muncul, ada dua kemungkinan yang terjadi: sikap buruk sangka mereka karena kebencian mereka terhadap istri saudara mereka atau ipar mereka tersebut. Kedua, karena sikap dan perilaku si ipar itu sendiri yang layak menyebabkan ia diburuksangkai.

Kalau kebencian mereka itu terhadap si istri bukan karena keburukan akhlak atau adanya hal-hal yang tidak beres pada wanita tersebut (istri saudaranya itu), maka itu juga bisa disebabkan banyak hal. Mungkin perbedaan pemahaman, perbedaan karakter, bahasa, daerah asal, tingkat pendidikan, dan banyak hal yang lainnya. Pada dasarnya mereka bukan tidak menyukai iparnya itu karena ia bandel, suka membangkang pada suaminya, punya akhlak yang buruk, atau banyak yang tidak beres pada dirinya. Tapi, adanya perbedaan pada beberapa hal yang mencolok, menyebabkan mereka tanpa sadar menjadi tidak menyukainya. Karena tidak menyukainya, maka mereka pun akan mudah berburuk sangka.

Kemungkinan kedua dari kondisi pertama adalah bahwa kebencian mereka justru didasari oleh kepribadian, akhlak dan perilaku ipar wanita tersebut yang memang tidak beres. Mereka melihat sendiri bagaimana iparnya itu selalu menyusahkan saudara mereka, suka membantah, sering berbicara kasar, atau punya gaya hidup yang tidak nyaman dalam pandangan mereka; seperti terlalu boros, suka berfoya-foya, atau sering keluyuran keluar rumah.

Kondisi kedua, kebencian itu bukan berasal dari mereka, tapi pengaruh dari luar. Misalnya, orang-orang di luar keluarga besar mereka yang menyebarkan kabar-kabar bohong atau kabar benar yang terkait dengan masa lalu yang telah dikubur oleh wanita tersebut, tapi membuat mereka tidak menyukainya meski ia telah bertaubat. Bisa jadi kabar benar itu mereka dapatkan dari orang luar, sementara saudara mereka sendiri tidak pernah memberitahukannya kepada mereka. Sehingga, seolah-olah mereka berusaha menyelamatkan saudara mereka, dengan bersikap buruk pada iparnya tersebut.

Harus dicatat, bahwa penyebab terbesar terjadinya perceraian itu ada dua: kecemburuan yang melampaui batas, atau pengaruh dari pihak luar. Perceraian yang terjadi murni karena perbedaan antara suami istri, justru jauh lebih sedikit.

Kondisi ketiga, pada hakikatnya para ipar itu memiliki sikap yang overprotectif terhadap adik atau kakak mereka. Itu sudah menjadi karakter dan kebiasaan mereka sejak si adik misalnya masih kecil. Saat si adik menikah, tanpa sadar mereka menjadi terus-menerus memantau kondisi si adik. Setiap ada sikap dari istri adik mereka itu yang mereka anggap bisa membahayakan si adik –meski itu hanya dugaan mereka saja– mereka akan cepat bereaksi. Karena sikap over atau berlebihan itu, akhirnya mereka terjebak pada sikap mudah berburuk sangka.

Hal yang sama juga sering terjadi pada mertua. Seorang ibu begitu menyayangi putranya. Ia putra kesayangannya. Saat si putra menikah, si ibu menjadi begitu sibuk memantau perilaku menantunya, apakah ada tindakan, sikap atau tindak-tanduknya yang akan menyakiti, menyinggung atau menyusahkan sang putra tersayang?

Kondisi lain, mereka memang tidak setuju dengan pernikahan adik mereka dengan wanita tersebut semenjak awal, entah karena alasan apa yang bisa juga berbeda-beda. Nah, rasa ketidaksetujuan itu mengendap lama dalam hati mereka, dan akhirnya dilampiaskan dengan terus mencari-cari alasan untuk membenarkan rasa tidak setuju mereka. “Nah, kan, apa kami bilang, dia itu memang perempuan gak beres!!”

Baiklah, jadi jelas, ada banyak kemungkinan yang melatarbelakangi sikap “buruk sangka” para ipar itu kepada ipar mereka. Sebagai wanita, saya rasa wajar bila ia merasa tertekan atas sikap yang tidak ramah dari mereka yang dari hari ke hari tentu semakin menindih jiwanya. Tapi, mari kita berdialog dengan realita tersebut. Bahwa manusia itu, hidup dengan segala bebannya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah…” (al-Balad : 4)

Hanya di surga, kita bisa terbebas dari beban kehidupan.
لاَيَمَسُّهُمْ فِيهَا نَصَبٌ وَمَاهُم مِّنْهَا بِمُخْرَجِينَ
“Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan darinya..” (al-Hijr : 48)

Rumah tangga adalah kehidupan. Orang yang hidup berumah tangga akan hidup dengan segala beban yang ada di dalamnya. Masing-masing orang beroleh jenis beban yang berbeda-beda corak ragamnya. Dan sekarang, si istri sedang mendapatkan cobaan melalui orang-orang terdekat yang selalu melingkarinya, para ipar.

Mengingat banyak hal yang menjadi kemungkinan mereka bersikap seperti itu, si istri lebih baik bersikap santai saja (tidak perlu dipikir terlalu berat -red). Kadang kita memang harus belajar bersikap peka terhadap hal-hal yang memang sering kita abaikan, seperti berbuat baik pada tetangga, memerhatikan orang tua setelah kita menikah, dan lain sebagainya. Tapi, terkadang kita juga harus berlatih “bermuka tembok”, saat kita dihadapi sikap orang banyak yang menyebalkan. Kedua sikap itu harus kita miliki. Tak baik bersikap peka terhadap semua hal. Tapi, juga sangat buruk bersikap muka tembok menghadapi setiap persoalan. Untuk menghindari stress karena tekanan, sikap “muka tembok” itu harus dilatih.

“Bermukatembok” bukan berarti membiarkan persoalan mengalir tanpa diselesaikan. Lakukan saja hal yang memang lazim dilakukan ipar terhadap iparnya. Tetap bersikap baik kepada mereka, perbaiki sikap terhadap suami, kerjakan tugas dan pekerjaan rumah tangga secara lebih baik lagi. Intinya, lakukan terus perbaikan diri. Sikap menghadapi ketidakramahan mereka juga dibuat seapik mungkin. Hari ini kita bisa diam tanpa komentar, besok coba belajar tersenyum mendengar cacian. Besok lagi dibawa lebih rileks agar mereka bisa berbalik arah menjadi bersikap lebih baik lagi. Ingat, api akan berhenti menyala bila tak diberi sesuatu untuk dibakar di dalamnya. Berapa banyak musuh berbalik arah menjadi kawan karena kita bersikap baik kepadanya? Toh, ipar itu bukanlah musuh, jauh lebih baik daripada musuh. Maka, Nyantai aja lah!. Allaahu yu’inukum ajma’in. (***)


AKU BUKAN YG PERTAMA

Assalamualaikum ya ustadz….
Ana tertarik dengan tulisan tulisan antum sejak dulu, dan akhirnya Ana terpaksa pula harus mencurahkan semua hal yang menimpa Ana beberapa bulan terakhir ini.

Empat bulan lalu Ana menikahi seorang gadis perawan dan sebelum menikah Ana pernah mempertanyakan kesuciannya. Dia bersumpah masih perawan. Namun ternyata Ana mendapati dia tidak lagi perawan. Ana diam dan tidak menghiraukannya pada saat malam pertama, karena alasan ingin menguji kejujurannya. Dua bulan kemudian Ana mendapati sms di ponselnya yang berasal dari kiriman mantan pacarnya. Kesempatan itu Ana jadikan jalan untuk mempertanyakan lebih jauh tentang kejujurannya. Tanpa diduga, dia jujur mengakui semua perbuatannya tempo dulu. Ketika Ana bilang kenapa tidak jujur padahal pada saat bertanya Ana jelas-jelas bilang, “Kamu perawan atau tidak itu bukan masalah tapi aku ingin kejujuran kamu….” Dia cuma jawab, “Maaf, aku takut kamu ninggalin aku….”

Pertanyaan Ana: Apa yang harus Ana lakukan sekarang, sebab kebohongan yang dia lakukan telah menyebabkan Ana “sakit” secara psikis, kadang Ana jijik jika terbayang dia diperawani orang lain.

Lalu bagaimana menurut pandangan hukum Islam tentang istri yang telah membohongi suaminya tentang masalah keperawanan?
Penting bagi Ana ya ustadz.., mohon kiranya ustadz dapat segera menjawab masalah Ana.
Terima kasih, wassalamu’alaikum.
Hamba Allah-bumi Allah

Wa ‘alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh
Sekali lagi, kita menemukan sebuah hikmah dari sabda Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam–,
تُنْكًحُ اْلمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالهِاَ وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat, karena kecantikannya, karena keturunannya, karena kekayaannya dan karena agamanya. Menanglah dengan memilih agamanya, maka “taribat yadaaka” (dirimu akan selamat dari cela).” [Arti “Taribat Yadaak”, adalah bersentuhan dengan bumi. Itu merupakan bahasan kiasan yang artinya: membutuhkan. Ungkapan itu berwujud berita, tetapi artinya sebagai perintah. Lihat Fathul Bari IX : 38 - 39]

Agama menegur kita agar memilih wanita karena “agamanya”, hanya dengan itu kita selamat. Kejadian bahwa seorang perempuan berdusta dengan keperawanannya demi meraih cinta seorang pria adalah gambaran buruk dari kualitas agamanya. Karena buruk agamanya, maka wajar bila ujungnya adalah derita.

Akhi (saudaraku-red), mari kita renungi sama-sama persoalan yang Akhi hadapi dengan hati dingin, pikiran tenang dan pencermatan terhadap realitas ajaran Islam secara teduh. Gambaran kebenaran itu niscaya akan terpapar jelas di depan mata kita bersama.

Akhi, bila syarat dan rukun menikah telah terpenuhi, pernikahan sah secara hukum syariat. Maka, pernikahan seorang muslim dengan muslimah yang pernah berzina sekalipun, hukumnya sah secara syariat, di luar apakah secara kepantasan diperbolehkan atau tidak. Yang terpenting, secara hukum pernikahan kalian berdua sah sebagai pasutri. Tapi tersisa persoalan lain yang klasik dalam soal akad atau transaksi, yaitu kecurangan.

Akad pernikahan itu identik dengan transaksi. Dua orang yang bertransaksi secara sah, dan selesai melakukan transaksi, tidak lantas transaksi itu bisa berjalan mulus, bila terjadi kecurangan salah satu pihak. Bila kecurangan itu terbukti, seperti adanya cacat barang yang disembunyikan atau lazim disebut sebagai tadlis, maka pihak lain berhak melakukan pembatalan atas transaksi tersebut. Namun bila ia rela, transaksi bisa terus berlanjut, dan pihak yang bersalah harus bertaubat kepada Allah. Sederhana bukan?

Ya. Dalam ukuran hukum, memang sesederhana itu. Tapi menikah bukanlah berdagang. Menikah adalah upaya mempersatukan dua sosok berbeda jenis untuk membangun sebuah rumah tangga yang bahagia (samara).

Maka, saya sering menegaskan, jangan mengukur segala hukum hanya dengan sah atau tidak sah saja. Menikahi wanita ahli kitab, Nasrani atau Yahudi secara hukum juga sah, tapi siapa pula yang ingin menanggung akibatnya kalau juga bukan karena benar-benar terpaksa? Sedangkan menikahi wanita muslimah saja tetap harus dengan menimbang kualitas agamanya, apalagi dengan non muslimah.

Itu hanya sekadar contoh, hukum tak boleh dipandang hanya dari sudut sah atau tidak sah saja. Apalagi di balik pernikahan ada sisi-sisi lain sebagai konsekuensinya: kebahagiaan rumah tangga dan lain sebagainya. Dengan siapa kita menikah, akan sangat menentukan hasil yang kita capai di berbagai sisi interaktif tersebut.

Sekarang, akad itu sudah terikat, ini yang menjadi inti persoalannya. Maka yang wajib Akhi lakukan adalah meneliti secara cermat, apakah istri Akhi betul-betul telah bertaubat. Jangan tanyakan itu, karena yang dibutuhkan bukanlah jawaban lisan, cukup perhatikan kehidupan sehari-harinya. Bila belum terlihat, cobalah dekatkan dia dengan nilai-nilai agama, ajarkan dia untuk menjaga shalat, rajin membaca Al-Quran –bila sudah bisa–, ajarkan ibadah-ibadah sunnah.

Bila ia menyambut baik bimbingan tersebut, pejamkanlah mata, tekan rasa sakit dalam hati, karena taubat itu menghapus segala kekurangan di masa lampau. Bukankah sebagian para sahabat Nabi –shollallohu ‘alaih wa sallam– juga menikah beberapa wanita muslimah yang sebelum Islam pernah menjadi pelacur di kompleks pelacuran milik Abdullah bin Ubayy bin Salul yang tersohor itu? Bila mereka memikirkan bagaimana istri-istri mereka dahulu, tentu pahit. Tapi, apalah gunanya menyesali dan membayangkan masa lampau? Taubat sudah menghapuskan segalanya.

Bila rasa sesal dan kecewa itu masih mengendap dalam hati –dan itu sangatlah manusiawi–, maka pandanglah itu sebagai pelajaran dari Allah untuk menunjukkan keluhuran agama-Nya, bahwa perintah Allah agar kita mengutamakan bagusnya agama calon pasangan kita adalah kebenaran mutlak yang tak dapat kita sangkal. Maka, jangan buat penyesalan itu menjadi tak berguna. Jadikan itu sebagai batu loncatan menuju karunia Allah yang masih terbentang di depan mata. Kuncinya sangatlah sederhana.

Banyak orang berpikir, istri shalihah harus selamanya berupa anugerah paket wanita muslimah yang sudah siap guna. Artinya, ketika menikah sudah ia dapati calon istrinya sebagai wanita shalihah. Tapi persoalannya, tak selamanya kita memperoleh semua yang kita sukai, maka belajarlah untuk menyukai semua yang kita peroleh.

Bila tak mendapatkan barang siap guna, kenapa tak berusaha mencetak barang itu sendiri dengan kemampuan kita? Istri shalihah bisa ditempa dalam rumah kita sendiri. Betapa banyak wanita yang tampak biasa-biasa saja sebelum menikah, atau bahkan memiliki setumpuk masa lalu yang kelam soal hubungan antara dirinya dengan Allah, tapi setelah menikah ia mampu menempa diri menjadi wanita shalihah.

Maka, berbasis pada perintah Allah,
“Dan bertolong-tolonganlah atas dasar kebajikan dan ketakwaan, jangan bertolong-tolongan atas dasar dosa dan pelanggaran…”

Cobalah untuk membina diri dan bersamaan dengan itu membina istri menjadi wanita yang shalihah. Ciptakan nuansa taubat dalam diri kalian berdua. Basahi malam kalian dengan air mata taubat dan penyesalan di hadapan-Nya. Mulailah membuka jalan baru menuju kehidupan yang lebih tertata, terbina, dan lebih mampu mengangkat harkat kalian berdua menjadi insan-insan yang sungguh-sungguh bertakwa.

Itu bila Akhi memiliki cukup motivasi dan sokongan moral serta ketabahan untuk mencari jalan yang terbaik. Semua itu bergantung pada kalian sendiri. Bila tidak, Akhi tentu memiliki pilihan lain untuk berpisah, karena “kecurangan” itu sudah bisa menjadi alasan sah untuk membatalkan tali pernikahan kalian berdua. Tapi –bagi saya pribadi–, kalau kalian berdua masih bisa menempuh jalan untuk meraih kebahagiaan surga bersama-sama, kenapa tak dilakukan?

Akhi berhak untuk sakit hati, tapi kenapa tak memilih memaafkan? Bukankah Abu Bakar pernah merasa begitu sakit hati karena telah menolong seorang muslim, tapi si muslim malah ikut andil menfitnah putrinya? Bukan sembarang putri, tapi putri yang sudah menjadi salah seorang Ummahatul Mukminin, Aisyah –rodhiyallohu ‘anha–. Tapi, Al Quran mengajarkan beliau untuk memaafkannya, tak usah tindakan orang itu membuatnya memutuskan santunan yang selama ini ia berikan kepadanya.

Akhi, memaafkan itu sungguh berat, kita menyadari itu, tapi nilainya di sisi Allah sungguh besar. Ada sebuah riwayat menceritakan tentang kisah seorang pria, sebut saja A, yang meminjam uang kepada B. Keduanya wafat, dan si A belum membayar hutangnya. Tentu saja, secara hukum, hutang itu akan dipertanggungjawabkan di jembatan ash-Shirath kelak. Di jembatan itu, A akan dihukum karena hutangnya. Lalu Allah menawarkan kepada B sebuah keindahan lain di surga yang akan dia masuki. Sebuah rumah indah, jalan-jalan berbantalkan batu-batu mulia yang memesona. Ia bertanya, “Untuk siapakah ini, wahai Rabb?”
Allah berfirman, “Untuk muslim yang memaafkan saudaranya…”
“Ya Rabbi, kumaafkan kesalahan A, kuputihkan semua hutangnya…”
Dan, keduanya pun masuk ke dalam Surga. A masuk surga karena ia dimaafkan oleh B, sementara B masuk surga dan karena maaf yang ia berikan, ia diberi tambahan kenikmatan di surga nanti! Duhai, betapa indahnya bukan?

Akhi, saran saya, maafkanlah kesalahan istri Akhi itu, bimbing ia untuk bertaubat, dan raih surga bersama-sama. Kalau ia enggan bertaubat, barulah Akhi mengambil langkah terbaik…, berpisah dengannya. Allah sudah menyiapkan jodoh yang terbaik untuk Akhi… Baarakallaahu laka, wa baaraka ‘alaika, wa jama’a bainakumaa fi khair. (***)



PILIH GADIS ATAU JANDA

Assalamu’alaikum, ustadz, saya mohon penjelasan dari segi syariat, apakah memang dianjurkan menikahi seorang gadis yang masih perawan? Apakah ada keutamaannya? Lebih utama mana jika seorang perjaka berencana menikahi seorang janda karena niatnya ingin menolong? Demikian ustadz, mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Terimakasih sebelumnya.
Hamba Allah

Wa ‘alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh
Menikah itu kombinasi ajaib dari sisi-sisi yang saling melengkapi. Ia di satu sisi adalah karunia, di sisi lain adalah tanggung jawab, di sisi berbeda adalah kebajikan bagi sesama, dan di berbagai sisi lain ia bisa menjadi kebutuhan fitrah, sarana memuaskan hasrat birahi secara halal, media memuliakan cinta sesama jenis dengan cara yang dibenarkan syariat, menggapai obsesi dengan anak dan harta, dan, beragam sisi lainnya. Kesemuanya bisa saling melengkapi, saling mengisi dan saling memberi nuansa indah pada media agung yang disebut Pernikahan.

Berpangkal dari wujud nikah yang merangkum begitu banyak sisi tersebut, maka orang yang ingin menikah juga berhak membangun obsesi-obsesi halal seputar sisi-sisi yang melekat pada media pernikahan.

Ia berhak membangun obsesi untuk bersenang-senang secara halal, menikmati masa mudanya, bercengkerama dengan gadis perawan yang telah sah menjadi istrinya, demikian pula sebaliknya, si istri dengan pemuda idaman yang telah sah menjadi suaminya.

Itulah yang diungkapkan oleh Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — kepada salah seorang sahabat beliau yang baru saja menikahi seorang janda,

“Kenapa engkau tidak menikah seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercandaria?”…yang dapat saling menggigit bibir denganmu?” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)

Di dalam satu riwayat disebutkan, “Kalian bisa saling tertawa dan menggembirakan satu terhadap yang lain. ” (Shahih al-Bukhari: Kitab an-Nafaqat, Bab ‘Aunul Mar’ah Zaujaha fi L4aladihi, juz 11, hal. 441.)

Di dalam satu riwayat lagi, “Sehingga engkau juga memiliki yang dimiliki anak-anak gadis, berikut air liurnya. ” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Itu artinya, menikahi seorang gadis juga “memborong” berbagai maslahat dan kepentingan yang diabsahkan dalam Islam. Maka, orang yang memilih menikahi gadis yang masih perawan demi tujuan-tujuan halal yang bisa membantunya untuk semakin bertakwa kepada Allah, jelas telah berada di jalur yang tepat, dan itu amat diapresiasi dalam Islam, seperti yang diungkapkan oleh Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — di atas. Tapi, bagaimanapun, itu hanyalah satu alternatif dari sekian alternatif pilihan.

Orang juga berhak menikah dengan wanita yang terbukti subur dan penyayang terhadap anak, baik ia gadis –melalui penelitian medis, dan juga kebiasaannya sehari-hari– ataupun janda. Karena memiliki banyak keturunan juga tujuan absah dalam Islam, bahkan juga sangat dianjurkan.

Nabi bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكََاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ
“Nikahilah wanita yang subur dan sayang anak. Sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umatkudi hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan Menikahi wanita yang tidak dapat beranak, hadits No. 2050. Diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan menikahi wanita mandul, hadits No. 3227, dishahihkan oleh Ibnu Hibban No. 228)

Ibnu Hajar memberi penjelasan, “Hadits ini dan hadits-hadits yang senada yang banyak jumlahnya, meski sebagian di antaranya lemah, memberikan motivasi untuk menikah dengan wanita yang bisa memberikan keturunan.”

Di sini, ada sebuah rahasia penting tentang keragaman pilihan dalam menikah. Tentu, seorang janda yang sudah menikah secara kongkrit bisa memberi bukti bahwa ia wanita yang subur dan penyayang terhadap anak.

Maka, bila seorang pria lajang memilih menikah seorang janda beranak dua misalnya, karena ia melihat wanita itu terbukti subur –dari jarak kelahiran kedua anaknya– dan tampak begitu sangat menyayangi kedua anaknya, maka pria tersebut juga berada di garis syariat. Karena perintah atau anjuran Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dalam hadits di atas juga sangatlah lugas, siapapun yang melaksanakan substansi perintah tersebut, meski dengan menikah seorang janda, maka ia telah menjalankan Sunnah Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam –.

Begitu pula orang yang menikahi seorang janda karena alasan ingin menolong janda tersebut. ditinggal wafat istrinya, Khadijah, Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — mengalami kesedihan hebat. Saat itulah, seorang wanita, Khaulah bintu Hakim As Sulamiyah, mengetuk pintu hati Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dengan pertanyaannya,
“Tidakkah engkau ingin menikah lagi, wahai Rasulullah?”
Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan, Rasulullah balik bertanya,
“Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?”
Khaulah pun menjawab, “Kalau engkau menghendaki, ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada pula yang janda.”
“Siapa yang gadis?” Tanya beliau lagi.
“Putri orang yang paling engkau cintai, ‘Aisyah putri Abu Bakr,” jawab Khaulah.
Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — terdiam sesaat, kemudian bertanya lagi,
“Siapa yang janda?”
“Saudah bintu Zam’ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu.” Jawab Khaulah.

Tawaran Khaulah mengantarkan Saudah bintu Zam’ah memasuki gerbang rumah tangga Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam –. Hati beliau tersentuh dengan penderitaan wanita Muhajirah ini. Beliau ingin membawa Saudah ke sisinya dan meringankan kekerasan hidup yang dihadapinya. Lebih-lebih di saat itu, Saudah memasuki usia senja, tentu lebih layak mendapatkan perlindungan.

Riwayat ini menegaskan tentang adanya anjuran menikahi janda bila bertujuan meringankan beban hidupnya, dan itu termasuk dalam kategori “tolong-menolong atas dasar ketakwaaan dan kebajikan.” Juga termasuk yang mendapatkan kabar gembira, “Allah senantiasa menolong seorang hamba selama si hamba menolong sesamanya.”

Suatu saat, Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — pernah bersabda,
“Sesungguhnya orang-orang Bani Asy’ar itu bila terkena musibah kematian dalam peperangan sehingga istri-istri sebagian di antara mereka menjanda, atau keluarga sebagian mereka kekurangan makanan, mereka akan mengumpulkan makanan-makanan mereka dalam satu buntalan kain, baru mereka bagikan secara merata di antara mereka dalam satu nampan. Mereka bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari mereka..” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Demikian ungkapan rasa kasih beliau terhadap para janda. Menikahi janda karena kondisinya yang miskin dan butuh pertolongan termasuk dari bagian sunnah yang dapat dipahami dari hadits ini. Dengan demikian, kedua pilihan tersebut –menikahi gadis atau janda– sama-sama bisa berada di garis anjuran syariat, keduanya adalah alternatif, dan siapapun berhak memilih mana yang baginya lebih ia minati.

Nah, persoalannya, tengoklah kemampuan diri dan juga kapasitas yang ada dalam diri kita masing-masing. Teliti dan cermati kebutuhan yang berjalan selaras dengan kondisi jiwa kita, kebutuhan fisik kita, kecenderungan hati kita, dan segala wujud alat analisa yang tersebar dalam diri kita.

Praktisnya, bila seseorang berkeinginan menikahi seorang janda, jangan ia mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri yang ingin ia capai dengan menikah. Teliti dan cermati, bila ia menikahi janda tersebut, apakah segala keinginannya untuk bercengkerama, bersenang-senang secara halal, melampiaskan kebutuhan ragawinya yang secara fitrah butuh dilampiaskan, apakah semua itu dapat dicapai? Kalaupun tak sepenuhnya, minimal hingga batas ia tak perlu mengumbarnya dengan cara yang haram! Atau, misalnya dapat dipenuhi sisanya dengan berpoligami secara sehat, apakah istri pertama (wanita janda yang ia nikahi tersebut) rela berbagi?

Bila pilihannya adalah menikahi seorang gadis, dapatkan gadis itu memenuhi kebutuhannya soal anak misalnya. Kalau memang bisa, adakah kelebihan si janda dibandingkan si gadis yang dapat mendorongnya untuk lebih memilih janda tersebut?

Berbagai pilihan terbentang di depan kita, dan Islam memang agama yang maslahat. Maka ketika kita dihadapkan pada pilihan-pilihan mubah tersebut, gunakanlah kebijakan analisa kita untuk dapat mencapai sebesar-besarnya maslahat bagi diri kita, agama kita, dunia dan akhirat kita secara keseluruhan. Gadis atau janda bukanlah masalah, yang menjadi masalahnya: Dengan siapakah di antara keduanya Anda merasa bisa hidup berbahagia dan sejahtera? Pilihan ada di tangan Anda. Wallaahul muwaffiq.




MEMBATALKAN TUNANGAN

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustadz, ana udah bertunangan dengan seorang laki-laki, tapi tiba-tiba karena alasan tertentu, ana jadi kurang cocok dengan dia dan ana ingin berpisah dengan dia. Tapi ana takut. Apakah boleh membatalkan tunangan? Dan bagaimana cara yang baik untuk menyampaikannya kepada dia? Lalu apa hukum pertunangan dalam Islam?
(Fulanah)

Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh
Alhamdulillah, ‘alaa kulli haal. Ukhti yang saya hormati. Bolehkah membatalkan pertunangan? Ini pertanyaan menarik. Karena pertanyaan ini berpangkal dari simpul persoalan makna “pertunangan” yang membawahi beberapa telaah fikih yang tidak sederhana.

Bila kita mau jujur, makna pertunangan itu adalah budaya baru yang dikembangkan oleh masyarakat modern, sebagai penitisan ulang dari budaya mirip di masa Siti Nurbaya dulu yang disebut “perjodohan”. Bedanya, perjodohan bersifat lebih mengikat, dan lebih sering dilakukan tanpa sepengetahuan anak yang dijodohkan. Kedua calon mempelai itu dijodohkan semenjak kecil, bahkan kadang sebelum mereka dilahirkan –dengan perkiraan seandainya anaknya perempuan anak dijodohkan dengan anak si Fulan misalnya–, sehingga keduanya tak punya pilihan selain menerimanya mentah-mentah!

Pertunangan bersifat lebih fleksibel, karena dilakukan dengan melibatkan langsung pihak yang dijodohkan. Maka, mengacu pada kaidah fikih: “Asal dari adat kebiasaan itu mubah kecuali bila ada dalil yang menunjukkan keharamannya, maka pertunangan secara hukum asal adalah mubah.

Itu artinya, boleh saja terjadi kesepakatan antara pria muslim dengan wanita muslimah untuk saling menikah di waktu tertentu, karena pada saat itu keduanya masih ingin menyelesaikan studi misalnya, atau karena si calon suami ingin merawat kedua orang tuanya terlebih dahulu selama satu atau dua tahun. Itu akan dimasukkan dalam kategori “perjanjian”.

Tapi, yang harus dijelaskan di sini, karena ia hanya sebagai kebiasaan, maka pertunangan tidak memiliki dasar hukum khusus seperti halnya lamaran atau akad pernikahan. Karena tak memiliki dasar khusus, maka tidak boleh seseorang menjadikan pertunangan ini sebagai ikatan. Karena ikatan itu hanya berlaku dengan akad pernikahan, dan itu hukum baku yang tak dapat diubah. Maka bila seseorang melakukan pertunangan atau “menunangkan” putrinya dengan pria tertentu misalnya, sifatnya tidak boleh dijadikan perjanjian yang mengikat. Keduanya hanya boleh diibaratkan sebagai “janji keinginan” untuk saling menikahi. Seperti seorang pria yang mengatakan, “Saya berniat menikahkan putra saya dengan putrimu,” lalu yang diajak bicara menjawab, “Saya juga berniat demikian, kira-kira dua tahun lagi…”

Karena tidak mengikat, maka bila salah seorang di antara keduanya tiba-tiba menjadi kuat hasratnya untuk menikah, sementara pihak yang lain belum mau menikah, maka pihak yang ingin menikah itu bebas membatalkan perjanjian tersebut, untuk –misalnya– menikah dengan pria atau wanita lain.

Artinya, di awal pertunangan tersebut memang harus disepakati bahwa pertunangan itu hanyalah sebatas rencana, bukan sebuah perjanjian yang mengikat, di mana salah seorang tidak boleh membatalkannya secara sepihak, harus dengan kesepakatan kedua belah pihak. Karena bila demikian, maka itu sama saja mengganti syariat akad dengan pertunangan. Di level tersebut, maka pertunangan bisa menjadi bid’ah yang diharamkan. Kenapa bid’ah? Karena definisi bid’ah yaitu:
“Sebuah metode atau cara dalam urusan agama yang sengaja dibuat-buat, menyerupai bentuk syariat (ibadah) yang sudah ada, dengan tujuan pelaksanaan menambah ibadah, atau memiliki tujuan seperti tujuan syariat.”

Sementara perbuatan bid’ah itu haram dalam Islam:
“Hati-hatilah kalian terhadap ibadah yang dibuat-buat. Setiap ibadah yang dibuat-buat itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud IV L 201, dengan nomor 4607. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi V : 44, dengan nomor 2676, dan telah ditakhrij sebelumnya hal. 42.]

Coba cermati ungkapan, “Sebuah metode atau cara dalam urusan agama yang sengaja dibuat-buat, menyerupai bentuk syariat (ibadah) yang sudah ada….” Jelas terlihat bahwa pertunangan yang mengikat itu adalah cara dalam urusan agama yang menyerupai bentuk syariat yang ada, yaitu akad pernikahan. Bila sebatas pertunangan yang tak mengingat, maka ia tak menjadi seperti akad. Ia hanya terhitung kebiasaan saja, dan asal hukumnya adalah mubah. Ketika dibuat mengikat, ia menyerupai akad, padahal akad nikah sendiri adalah soal ibadah bukan kebiasaan, mengingat ada aturannya, adab, rukun dan syaratnya, seperti ibadah-ibadah lain.

Mengacu pada penjelasan tersebut, maka boleh-boleh saja ukhti membatalkan pertunangan tersebut, bila di tengah perjalanan ukhti menganggap tidak ada kecocokan di antara kalian berdua. Karena kalian berdua memang tidak berada dalam ikatan apa-apa, hanya ada dalam lingkaran “rencana”. Akan tetapi, bila rencana itu dahulu dibicarakan antara orang tua, maka saat membatalkan, demi hukum kemaslahatan, sebaiknya ukhti juga melibatkan orang tua untuk menyampaikan niat membatalkan tersebut. Tapi harus dicatat, soal ketidakcocokan itu memang sudah dipikirkan masak-masak, bukan karena faktor emosional sesaat saja. Karena bila tidak, dalam kehidupan rumah tangga pun konflik ala kadarnya biasa terjadi, tak boleh menjadi alasan untuk mudah meminta cerai. Itu harus dicermati.

Selanjutnya, pada kebiasaan pertunangan yang ada di masa modern ini –beda dengan perjodohan di masa lampau– banyak orang beranggapan bahwa pertunangan itu sudah menjadi “semi pernikahan”, di mana karena sudah bertunangan maka kedua calon pasangan itu boleh bepergian berdua ke mana-mana tanpa disertai oleh mahram-nya, berduaan, berpacaran, saling berpegangan, menjalin keakraban sedemikian rupa, dan lain sebagainya. Hal itu jelas berlawanan dengan aturan dalam Islam. Pria dan wanita yang bertunangan belumlah halal untuk saling bersentuhan, bepergian berduaan tanpa mahram atau berdua-duaan di satu tempat. Keduanya masih dihitung sebagai orang lain. Sama dengan orang yang mengatakan, “Saya punya keinginan untuk membeli mobil Anda,” maka itu bukanlah transaksi, meskipun si pemilik mobil juga punya keinginan menjual mobilnya. Sehingga mobil itu belum halal baginya. Soal hubungan pria wanita dalam Islam, jelas tak dapat diserupakan dengan mobil dan calon pembelinya.

Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
“Sesungguhnya salah seorang di antaramu ditikam di kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik daripada menyentuh seseorang yang bukan mahramnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir dan perawi lainnya, kemudian dinyatakan shahih oleh Syekh Nashiruddin al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah wa Syai-un min Fiqhiha wa Fawaa-iduhaa.

Kesimpulannya, saudari boleh saja memutuskan untuk membatalkan pertunangan. Namun, karena semua itu dilakukan secara musyawarah, lakukanlah pembatalan itu dengan musyawarah. Bicarakan apa yang menjadi keinginan saudari, tariklah pendapat dari masing-masing yang hadir, calon suami, calon mertua dan juga kedua orang tua atau bahkan juga saudara-saudara yang ada. Setelah itu, tetapkanlah yang saudari anggap lebih baik bagi masa depan saudari, calon suami, dan seluruh keluarga yang ada. Tapi, jangan lupa untuk ber-istikharah. Lakukan shalat dua rakaat, dan mohonlah bimbingan atas segala pilihan kepada Allah. Wallaahu A’lam.




SUAMIKU MEMBUAT HIDUPKU SENGSARA

Assalaamu ‘alaikum

Ustadz, afwan saya ada pertanyaan, bila berkenan mohon jawaban dimuat di majalah Sakinah agar yang bersangkutan juga membaca jawaban dari ustadz.

Pertanyaannya sebagai berikut:
Apa saran ustadz buat seorang istri yang dia merasa sulit atau tidak nyaman hidup berumah tangga dengan suaminya, dikarenakan suaminya itu sulit untuk diajak hidup bermasyarakat (bergaul dengan tetangga), kurang perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya, kepribadiannya yang keras (gampang marah-marah), teriak-teriak terhadap anak istrinya/kurang sabar?

Setahu saya, dalam kehidupan berumah tangga itu ‘kan harus seimbang antara memberi dan menerima. (Namun) ini tidak terjadi dalam rumah tangga ini, selalu istri yang mengalah, yang minta maaf, yang berusaha mengerti perasaan suami. Semua karena istri hanya mencari ridhanya dan tidak mau mendapat masalah darinya. Suami tidak mau mengerti atau tidak peduli perasaan si istri, bahkan seakan dia nggak butuh istrinya.

Ketika ada masalah, suami tidak mau diajak bicara baik-baik, hanya diam dan diam, kalaupun bicara marah-marah dan tidak berusaha selesaikan masalah, ujung-ujungnya ngajakin cerai.

Rasanya sulit buat si istri untuk menjalani rumah tangga seperti itu, tapi (istri) tidak mungkin bercerai karena melihat anak-anak. Mohon saran dan nasihatnya ustadz, agar si istri merasa lebih nyaman menjalani rumah tangganya. Jazakumullah khairan sebelumnya. Semoga ustadz berkenan menjawab.

Hamba Allah
Banyumas

Jawaban

Wa ‘alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh

Alhamdulillah. Dalam hidup berumah tangga, saling mendukung, keserasian, saling pengertian, dan kesiapan untuk saling memperbaiki diri adalah hal-hal yang mutlak harus dimiliki bila ingin rumah tangga berjalan sakinah. Modal utamanya adalah mawaddah dan rahmah, sementara sakinah adalah hasilnya.

Istri dengan suami dapat bersinergi secara baik, hanya apabila keduanya berusaha menekan kekurangan-kekurangan pada masing-masing pribadi ke level yang serendah mungkin. Maka, kesadaran pribadi adalah syarat mutlak. Artinya, itu hanya bisa dilakukan kalau masing-masing menyadari kekurangan-kekurangan dirinya, lalu seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit semua kekurangan itu ditekan ke level yang serendah mungkin. Sekali lagi, harus kedua-duanya, tak boleh hanya sepihak saja.

Contohnya, di satu sisi istri diminta untuk selalu menyenangkan suami,
“Yang selalu membuat suaminya bergembira bila dipandang…….” [1]

Tapi di sisi lain, seorang suami juga diperintah untuk memperlakukan istri tak ubahnya ratu dalam sebuah istana,
“Aku bagimu layaknya Abu Zar’in bagi Ummu Zar’in.” [2]

Coba cermati apa yang dituturkan Anas bin Malik tentang sikap Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – sebagai suami
“Kemudian kami pergi menuju Madinah (dari Khaibar). Aku lihat Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – menyediakan tempat duduk yang empuk dari kain di belakang beliau untuk Shafiyyah. Kemudian beliau duduk di samping untanya sambil menegakkan lutut beliau dan Shafiyyah meletakkan kakinya di atas lutut beliau sehingga dia bisa menaiki unta tersebut.”

Maka, upaya baik itu harus tumbuh pada masing-masing pihak. Bila tidak, maka rumah tangga akan berjalan timpang, ibarat dominasi unsur dingin dalam tubuh tanpa unsur panas atau sebaliknya, tubuh pasti tak akan sehat. Sehingga, upaya dasar bila terjadi hal-hal semacam itu, di mana salah satu pihak berada di posisi selalu menuntut hak tanpa memedulikan kewajibannya, tidak bisa tidak, harus dilakukan upaya “penyadaran” pada pihak tersebut; suami ataupun istri.

Dalam kasus ini, harus ada orang yang dimintai bantuan untuk bisa memberi nasihat, membimbing dan menyadarkan suami. Karena semata-mata upaya istri secara sepihak, tak akan menyelesaikan inti persoalan, dan hanya akan membangun kegersangan dalam rumah tangga.



NAFKAH ISTRI SETELAH TALAK RAJ'I

Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh
Apakah setelah talak raj’i, suami masih wajib memberi nafkah dan tempat tinggal kepada sang istri yang dicerainya?
Abdullah
0813277xxxxx

Jawab :

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,
Talak dalam Islam terbagi menjadi tiga dengan perincian; yang dua adalah talak raj’i (talak yang dapat dirujuk) dan yang satu talak ba’in (talak perpisahan). Hal ini dijelaskan dalam firman Allah ta’ala :

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكُُ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (al-Baqarah : 229)

Apabila telah terjadi dua kali talak ini, maka jadilah talak ketiga sebagai talak ba’in sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah ta’ala,

فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (al-Baqarah : 230)

Dalam talak raj’i, status suami-istri masih berlaku, kecuali hubungan suami-istri, karena Allah ta’ala masih memanggil si lelaki dengan lafazh “bu’ul” (suami) dalam firman-Nya,

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ وَلاَيَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَاخَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (al-Baqarah : 228)

Oleh karena itu, suami masih wajib memberikan nafkah dan tempat tinggal bagi istrinya yang ditalak raj’i selama belum selesai masa iddah. Sang suami dilarang mengusir istrinya tersebut dari rumah, kecuali istri tersebut melakukan perbuatan keji yang jelas, seperti dijelaskan dalam firman Allah ta’ala,

يَاأَيُّهَا النَّبِي إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللهَ رَبَّكُمْ لاَتُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلاَيَخْرُجْنَ إِلآَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لاَتَدْرِي لَعَلَّ اللهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.” (ath-Thalaq :1)

Demikianlah, para suami dilarang berbuat zhalim dengan tidak memberikan nafkah kepada istrinya yang ditalak dengan talak raj’i, baik talak satu ataupun dua. Sebaiknya segera rujuk apabila dirasa hal itu dapat membantu melaksanakan syariat islam di dalam keluarga, sebab suami lebih berhak untuk rujuk dan diterima rujuknya oleh istri tersebut sebelum berlalu masa iddah. Bila telah berlalu, maka wanita tersebut memiliki hak untuk menolak dan lelaki harus mengajukan pinangan baru dan pernikahan baru lagi.

Semoga bermanfaat.



DIHANTUI DOSA ZINA

Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Afwan ustadz, ana akhwat 23 th, ana punya masalah yang sampai sekarang belum ditemukan jawabannya. Sejujurnya ana pernah melakukan perbuatan dosa besar (zina), ana selalu dihantui rasa bersalah, lebih-lebih ana begitu takut akan azab Allah.
Alhamdulillah sekarang ana telah berusaha mengikuti manhaj ulama as-Salaf. Namun semakin sering ana mengikuti kajian, rasa takut ana semakin bertambah. Belum lama ini, ada ikhwan yang datang ber-ta’aruf. Kebetulan ikhwan tersebut sudah lama berislam dengan berusaha mengikuti manhaj ulama as-Salaf, tapi ana takut nantinya ikhwan tersebut kecewa pada ana karena ana punya aib. Bukankah laki-laki yang baik untuk wanita yang baik?
Apa yang harus ana lakukan? Sedangkan pernikahan sebulan lagi, mohon jawabannya ustadz? Syukran.

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh
Alhamdulillah. Saya sering menegaskan dalam jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mirip, yang kesimpulannya sebagai berikut:

1. Kewajiban utama bagi pelaku dosa besar, seperti zina misalnya, tak lain adalah bertaubat secara tulus. Tak ada kewajiban yang lebih besar dari itu.

2. Hukuman jild atau cambuk bagi pezina yang belum menikah, serta rajam bagi yang sudah menikah bukanlah WAJIB, tapi hanya dianjurkan saja. Itu terbukti dengan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melengos sebanyak tiga kali, baru di kali yang keempat menerima pengakuan seorang wanita pezina, yang meminta dirajam. Para ulama menjelaskan, bila itu wajib, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tak akan melengos hingga tiga kali, untuk menguji ketulusan wanita tersebut. Yakni, tidak WAJIB bagi yang berzina lalu bertaubat.

3. Besar kecilnya nilai dosa, juga dilihat dari kapan dan di mana dosa itu dilakukan. Dosa kecil di wilayah al-Haram, digolongkan dosa besar. Mencuri di masa paceklik, di zaman kemiskinan, di mana kaum kaya enggan berzakat, lebih ringan dari mencuri di masa kemakmuran. Itulah, kenapa Umar bin Khattab rodhiyallohu ‘anhu pernah tidak memberlakukan hukum potong tangan bagi pencuri, karena kebanyakan pencuri melakukan pencurian akibat kemiskinan hebat yang melanda mereka.

4. Dosa masa lalu pupus dengan taubat. Wanita pezina boleh menikah dengan pria muslim yang suci, kalau si wanita betul-betul bertaubat. Itu pendapat yang paling benar, seperti dijelaskan panjang lebar oleh al-Imam asy-Syaukani rohimahulloh dalam Nailul Authaar.

Ukhti yang saya hormati. Coba, kita lebih melihat persoalan pada sisi maslahatnya, dan kita akan melihat betapa Islam adalah agama maslahat, yang mengerti betul hal-hal yang maslahat bagi seorang hamba, di dunia dan di akhirat.

Pertama, mari pikirkan maslahat Ukhti yang harus menjalani kewajiban menikah. Kewajiban menikah itu pasti hukumnya. Maka, hal yang pasti ini jangan digagalkan hanya oleh bayangan, kekhawatiran, dan rasa bersalah yang mencekam jiwa. Karena, bila diteliti lebih seksama, setiap kita juga berlumur dosa. Mari, kita renungi bersama firman Allah,

“….dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf : 87)

Berzina dosa besar? Betul sekali. Tapi catatlah, bahwa dosa tidak shalat lima waktu itu jauh lebih besar dari dosa berzina. Itu mufakat di kalangan para ulama. Karena mereka hanya berbeda pendapat, apakah orang yang tidak shalat wajib sekali saja, bisa dikatakan kafir keluar dari Islam atau tidak? Selebihnya, mereka sepakat bahwa tidak shalat wajib dosanya lebih besar dari zina, menenggak minuman keras, mencuri, hingga memerkosa sekalipun. Itu mufakat, tak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Sekarang, kita tengok realitas. Bila ada seorang wanita muslimah pezina yang bertaubat, menikah dengan seorang pria muslim yang dulunya jarang shalat lalu bertaubat, bukankah kondisi si pria lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan wanita tersebut? Karena dosa tidak shalat, jauh lebih besar dari dosa berzina?
Hanya saja, bayangan maksiat berzina atau mencuri, kerap lebih membekas dalam memori. Itu sebenarnya karena kurangnya wawasan kita terhadap hukum-hukum Islam itu sendiri, sehingga orang tidak shalat dianggap lebih tidak membahayakan daripada pezina.

Ini bukan berarti kita mengecilkan arti dosa, termasuk berzina. Siapa pun yang melakukannya, wajib bertaubat. Ia harus menyesali perbuatan itu sedalam mungkin. Tapi, jangan sampai menimbulkan keputusasaan sedikit pun. Taubat menghapus segalanya. Tinggal, pikirkan bagaimana menjalani hidup sesudahnya, itu saja.

“Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman : 34)

Kemudian, tak ada kewajiban seorang istri atau suami menceritakan segala dosanya di masa lampau. Apapun itu. Soal bekas pada diri seseorang yang pernah melakukan dosa memang berbeda-beda. Berzina menimbulkan efek fisik yang bisa saja dirasakan. Tapi, bila perzinaan itu sudah ditutup dengan taubat kepada Allah, tak ada keharusan menceritakannya, bahkan bisa jadi menceritakannya dilarang karena bisa menimbulkan kericuhan.

Bolehkah menutupi bekas perzinaan tersebut? Sangat diperbolehkan, bahkan saya menganjurkan demikian. Minumlah –maaf– jamu sari rapet. Cucilah kemaluan dengan air sirih setiap hari, selama beberapa hari sebelum malam pertama. Niscaya kondisi keperawanan akan nyaris sama seperti semula.

Soal darah keperawanan juga tak usah dikhawatirkan, dan tak usah memulai obrolan untuk memperbincangkannya. Jujur, lebih banyak suami atau istri yang terkejut melihat darah keperawanan itu, ketimbang sebaliknya.

Mungkin masih ada yang mengganjal, bila suatu saat suami mempertanyakan, “Apakah Engkau masih perawan atau tidak?”

Bagi saya –wallaahu A’lamu bishshawaab– itu bisa dimasukkan dengan diperbolehkannya berbohong kepada suami atau istri, demi kemaslahatan perkawinan. Tapi, gunakanlah bahasa isyarat, itu lebih baik. Kalau ditanya, “Apa Engkau masih perawan?” Jawab saja misalnya, “Aku masih gadis…, Mas.”

Adanya pertanyaan itu adalah kemungkinan yang sangat kecil sekali. Tapi, bila itu terjadi, bagi saya boleh saja seseorang berbohong menutupi aibnya di masa lalu, demi kebahagiaan rumah tangga. Karena, Allah sudah membuka pintu ampunan bagi setiap yang bertaubat.

“Kebohongan” itu adalah untuk menghindari mudharat karena adanya seseorang yang tidak bisa memaafkan dosa yang Allah sendiri saja bisa mengampuninya. Itu merupakan “kebohongan” untuk menghindari sikap zhalim orang yang menghakimi pelaku dosa yang telah bertaubat, dengan emosi dan kemarahannya. Jadi, kebohongan itu sudah tepat pada tempatnya, bila tujuannya adalah menjaga keutuhan rumah tangga, dan menghindari kepanikan orang yang tak mengerti arti taubat sesungguhnya.

Namun bila kondisi suami terlihat memungkinkan Ukhti untuk berterus terang, karena ia begitu lapang menerima segala kekurangan istrinya, termasuk meskipun ia pernah berzina, apalagi kalau ia yang lebih dahulu bercerita tentang masa lalunya yang ternyata juga sama kelamnya, apalagi ia juga bercerita bahwa ia dahulu sering berzina, maka silakan menceritakannya.

Asal diyakini bahwa itu tak akan membuatnya marah, lalu menghancurkan mahligai rumah tangga yang sudah terbangun secara baik sebelumnya. Awali dengan pertanyaan misalnya, “Bagaimana kalau istri Mas, dahulu juga banyak melakukan dosa, seperti berzina misalnya?” Bila ia mengatakan, tak masalah, ceritakanlah kepadanya hal itu, dan tunjukkan penyesalan mendalam di hadapannya. Bila perlu, menangislah seiring pengungkapan penyesalan tersebut. Bila itu terjadi dan memungkinkan, alangkah baiknya.

Namun bila hal itu tak memungkinkan, apalagi gelagat bahwa suami adalah jenis orang yang tak mau mendengar aib istri di masa lalu, tutupilah semua itu sebisa mungkin. Bagaimana bila suatu saat ketahuan? Jangan khawatir. Allah tak akan menzhalimi hamba-Nya yang bertaubat. Allah menyukai para hamba-Nya yang bertaubat. Allah pasti melindungi Ukhti. Kalau karena itu dia menceraikan Ukhti, catat baik-baik Ukhti yang saya hormati: mungkin Allah telah menyiapkan calon suami yang jauh lebih baik, jauh lebih mengerti kondisi Ukhti, dan jauh lebih berguna buat Ukhti di dunia dan di akhirat. Allah tak akan menzhalimi para hamba-Nya. Ini realita. Doa kami, selalu menyerta.

Baarakallaahu laka, wa baaraka ‘alaika, wa jama’a baina kuma fii khair


Fail:Neptune.jpg

LEGALITAS KAWIN LARI

Pertanyaan :
Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Ana (saya) mau tanya, di kampung ana ada seorang wanita yang ingin menikah, tetapi orang tua wanita tersebut tidak menyukai calon anaknya itu. Dengan begitu, mereka lari meninggalkan rumah untuk menikah di tempat yang tidak diketahui orang tua wanita tersebut. Yang ana mau tanyakan, bagaimana hukumnya menikah dengan seperti itu?

Syukran, jazakallah khairan
08524xxxxxxxx

Jawaban :
Wa ’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh
Alhamdulillah. Kita semua tahu, bahwa Allah menjadikan menikah sebagai media menyalurkan syahwat secara halal. Di luar pernikahan yang sah, dan mempergauli budak –di masa di mana perbudakan masih ada, dan budak-budak masih ada–, hubungan intim yang dilakukan seseorang dengan lawan jenisnya adalah haram, dan kita tahu pula bahwa itu yang disebut zina.

Bila kita telah mengerti, tentu kita juga menyadari bahwa menikah itu seperti halnya amalan-amalan dalam Islam: bisa sah, bisa pula tidak. Bila pernikahan tidak sah, maka hukum wanita yang berhubungan intim dengan pria saat itu adalah tidak sah, alias haram, alias berzina.

Bagaimana pernikahan itu dianggap sah? Dalam Islam, dalam pendapat yang mufakat, minimal ada dua syarat bagi pernikahan yang dianggap sah.
Pertama, adanya wali.
Kedua, adanya akad nikah.

Sebagian ulama memasukkan mahar dalam syarat dan rukun menikah. Sebagian ulama juga memasukkan saksi ke dalam syarat nikah. Tapi pendapat yang benar –wallaahu a’lam―bahwa syarat yang pasti, ada dua: wali dan akad nikah. Ini yang disepakati oleh para ulama. Sementara mahar, hukumnya wajib. Sedangkan adanya saksi adalah sunnah, atau maksimal hukumnya wajib, seperti juga mahar.

Kalau dikatakan syarat, berarti tanpa wali dan akad nikah, atau tanpa salah satu dari keduanya, maka nikah dianggap tidak sah. Kalau tidak sah, berarti masing-masing belum halal bagi lainnya. Bila mereka melakukan hubungan badan, berarti tergolong perbuatan zina.

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

“Wanita mana pun yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya itu batil, batil, batil (tidak sah).” [1]

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

”Menikah itu tidak sah, kecuali dengan adanya wali.” [2]

Menilik penjelasan di atas, apabila seorang wanita meminta izin kepada orang tuanya, atau walinya seperti kakak kandungnya –bila kebetulan sudah tidak memiliki ayah–, kemudian ia berlari dan menikah diam-diam, maka hukum menikahnya itu batal, alias tidak sah. Pria yang menikahinya itu tidak sah menjadi suaminya, dan masih belum halal baginya.



KEPONAKAN BIKIN RUMAH TAK TENTRAM

Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Redaksi Sakinah yang saya hormati. Saya mau curhat. Keponakan suami saya anak yatim. Saya yang minta suami agar dia bekerja di Jakarta dan tinggal di rumah. Selama ini ia pernah bekerja di Saudi. Tapi sejak dia di sini kondisi rumah tangga selalu ribut.

Saya pikir dia itu dewasa dan tahu diri. Kenyataannya malah sebaliknya. Saya berusaha menahan diri, tapi gak bisa, karena rasa jengkel saya sudah ke ubun-ubun. Saya pengin memarahinya, tapi gak enak. Akhirnya uneg-uneg saya, saya tumpahin ke suami.

Saya tahu dia juga susah dan serba salah, tapi saya juga nggak tahan. Tiap hari anak itu pulang malam, telpon-telponan ama pacarnya sampai larut malam. Pergi nggak pamit, kalo kita telpon, nggak diangkat-angkat.

Hubungan suami istri pun otomatis terganggu, karena kami masih ngontrak dan tiap malam harus nunggu dia tidur dulu, baru bisa istirahat. Mesti gimana saya bersikap? Saya tahu nggak boleh jahat sama anak yatim. Tapi kalau niat saya nolong malah bikin rumah tangga saya kacau, saya jadi nyesel banget dah minta suami agar dia kerja di Jakarta. Gimana solusinya?

Jawab:

Wa ‘alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh

Alhamdulillah. Saya pribadi, sangat bisa memahami kondisi yang ibu dan bapak alami dalam rumah tangga; harus memelihara orang yang tidak disenangi seisi rumah, tapi sangat sungkan untuk bersikap kepadanya. Sementara, kalian berdua tentu juga ingin hidup nyaman, tenteram, dan menata kehidupan rumah tangga secara baik. Karena untuk itu pun, sudah dibutuhkan usaha berat. Artinya, tanpa pun ada orang lain dalam rumah tangga yang membuat “kericuhan”, menata rumah tangga secara baik, sesuai yang dikehendaki syariat Islam, butuh perjuangan, kesabaran, dan ketelatenan. Maka, persoalan yang kalian berdua hadapi ini boleh dikatakan sebagai “bonus” dari kerumitan-kerumitan yang sudah pasti ada dalam kehidupan rumah tangga.

Pertama, mari kita sama-sama lihat persoalannya secara lebih jernih, dengan mengesampingkan segala perasaan susah, sedih, dan emosi yang menindih otak kita. Semua itu diawali dengan niat baik ibu –yang sangat patut disyukuri– untuk memelihara keponakan di rumah. Artinya, membiarkan ia tinggal di rumah, dan bekerja di Jakarta. Lalu suami ibu menanggapi baik niatan tersebut. Dan, terjadilah apa yang terjadi.

Di sini, saya hanya ingin menegaskan hal mendasar, bahwa segala niat baik memang selalu mendapatkan ujian yang memberatkan hati. Bila jalan kebaikan itu gampang dan lempang-lempang saja, di dunia ini tak ada orang jahat. Logikanya, kalau berbuat baik itu selalu enak dan menguntungkan, selalu berakhir dengan hal-hal yang menggembirakan hati, untuk apa pula berbuat jahat. Karena orang berbuat jahat tujuannya tidak lain untuk mencari kesenangan. Kalau dalam bahasa hadits disebutkan,

“Surga itu ditopang dengan hal-hal yang dibenci manusia, sementara neraka ditopang dengan nafsu syahwat.” (Diriwayatkan oleh Muslim (2822))

Jadi, kalau menyantuni keponakan itu akhirnya berujung pada hal-hal yang sering tidak disenangi hati, itu wajar-wajar saja. Justru karena itu pahalanya besar. O ya, dulu di zaman Nabi – shallallohu ‘alaihi wa sallam – , Abu Bakar juga pernah memiliki anak asuh bernama Misthah. Suatu saat, Misthah terlibat kasus menfitnah Aisyah, putri Abu Bakar, bahwa wanita suci itu berzina! Setelah al Quran membuktikan bahwa Aisyah bersih dari tuduhan itu, Abu Bakar murka. Ia berniat menarik asuhannya dari anak tersebut. Ia tak sudi lagi mengasuh orang yang begitu tega memfitnah putrinya. Bukan tanggung-tanggung, putri Abu Bakar adalah istri Rasulullah – shallallohu ‘alaihi wa sallam – !

Coba bayangkan, orang yang berani terlibat dalam fitnah terhadap istri Rasulullah – shallallohu ‘alaihi wa sallam –, bukankah lebih baik tak usah lagi diasuh? Tapi, Nabi – shallallohu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan Abu Bakar untuk tidak menarik hak asuh anak tersebut. Perilaku buruk orang tersebut, kata Nabi – shallallohu ‘alaihi wa sallam –, tidak boleh menjadi alasan Abu Bakar surut dalam niat baiknya mengasuhnya. Luar biasa!

Jadi, dalam niat itu, memang apa yang ibu lakukan sudahlah tepat, yaitu berusaha menahan diri dari berbuat, berkata-kata dan bersikap tidak baik kepadanya. Meski ia telah melakukan banyak hal yang membuat kita kesal, dan amarah kita menguap di atas kepala.

Tapi, sekadar menahan diri memang tidak menyelesaikan persoalan. Kita berbuat baik kepada orang, kan bukan hanya dengan memberi, kadang justru tidak memberi. Bukan hanya dengan menghormati dan mengapresiasi, tapi kadang juga dengan menasihati, bahkan memarahi.

Nah, di sini konsep kasih sayang itu yang harus diperbaiki. Menegurnya, kalau dianggap berbuat kekeliruan, atau tampak tak memedulikan keadaan, semau gue dan seterusnya, justru merupakan bagian dari kasih sayang ibu dan bapak kepadanya. Toh, kepada anak sendiri pun kita melakukan hal yang sama. Dalam hal ini kita memang harus menyingkirkan budaya rasa yang tak baik, yang dalam bahasa Jawa disebut “perkewuh”, alias sungkan, alias tak sampai hati.

Dalam kebenaran, tak boleh ada istilah sungkan. Ini biang penyakit yang menyebabkan banyak persoalan dalam hidup kita menggantung di awang-awang. Yang membuat rasa kesal dan kemarahan justru menjadi “dinamit” yang akan meledak suatu saat. Artinya, sekarang mungkin bisa ditahan, tapi suatu saat justru meletus menjadi amukan hebat yang merusak segala-galanya.

Maka, lebih baik pahit di awal. Jangan sungkan menasihati atau mengingatkan. Kadang, anak muda itu cenderung muka tembok dan cuek. Karena dibiarkan, dia pikir segalanya boleh. Nah, ini yang harus dijelaskan. Berbeda halnya bila sudah sekian lama dan berkali-kali dinasihati, tapi tak juga mau berubah. Maka, perlu dicarikan solusi lain yang lebih tegas.

Sisi lain, bahwa saat keponakan tinggal di rumah, maka ia menjadi bagian dari tanggung jawab kita juga. Kita sudah berposisi seolah-olah menjadi orang tuanya. Jadi, kita harus bersikap sebagai orang tuanya. Jangan hanya bersikap seperti pelayan hotel yang terus menerus bersabar atas ulah pelanggannya. Keponakan itu menginap dan tinggal di rumah kita, bukan seperti tinggal di hotel atau penginapan. Ia tinggal untuk menjadi “anak” kita. Maka kita bertanggung jawab atas perilaku-perilakunya. Bila ia berbuat tidak beres, harus diingatkan dan diluruskan.

Namun ditilik dari usia anak tersebut –meski tak disebutkan di sini– dan bahwa ia bahkan pernah bekerja di Saudi, maka ia bukan lagi tergolong anak-anak. Di sini, nasihat dan peringatan bahkan bisa disampaikan dengan lebih “vulgar”. Dengan bahasa antara sesama orang dewasa. Akan lebih baik bila bapak yang berbicara, bukan ibu. Yakni agar bisa dilakukan dengan lebih akrab. Nasihat itu bisa dilakukan dengan cara elegan. Misalnya, ajak dia makan malam di warung, makan bakso dan sejenisnya. Sambil bersantap, sampaikan saja nasihat dan peringatan itu kepadanya. Cara ini terbukti manjur dan baik, saya sendiri sudah sering membuktikan dan mencobanya.

Nah, di bagian terakhir, saya ingin menanggapi soal istilah “yatim” tersebut. Meski ibu dan bapak harus berbuat baik kepada keponakan, dengan mengasuh dan membimbingnya, tapi dia bukanlah anak yatim. Artinya, bukan berarti karena bukan anak yatim maka boleh diperlakukan tidak baik. Tapi, anda berdua bisa memiliki kebebasan lebih dalam memberinya nasihat dan peringatan, tanpa harus ada kekhawatiran terjebak dalam fenomena: “menyakiti anak yatim”. Pada dasarnya, sekalipun ia anak yatim, boleh saja ia dimarahi asalkan dalam konteks mendidik dan memberi pelajaran.

Sebagian ulama mengatakan bahwa anak disebut yatim, bila belum berusia 10 tahun. Sebagian ulama lain menyebutkan, hingga usia 12 tahun. Ada juga pendapat yang mengatakan, hingga aqil baligh. Sebagian bahkan berpendapat, sampai si anak bekerja dan mandiri. Tapi pendapat yang benar adalah hingga aqil baligh. Artinya, setelah aqil baligh, seorang anak tak bisa disebut anak yatim lagi.

Dilihat dari semua pendapat ulama tersebut, keponakan Anda tidak lagi tergolong anak yatim. Ia tinggal di rumah kalian berdua sebagai keponakan yang kalian asuh dan rawat. Ini hal yang perlu dipahami secara baik, agar tidak salah mengartikan “anak yatim”. Karena kalau tanpa batasan, orang tua yang sudah berumah tangga sekalipun, bahkan sudah tua bangka, bila tidak lagi memiliki ayah, bisa juga disebut anak yatim. Wah, bisa rumit urusannya.

Intinya, sebaiknya semua urusan tersebut dibicarakan saja terus terang dengan suami, dan dengan si keponakan. Bila ternyata si keponakan ini tidak bisa menerima –meskipun dinasihati dengan cara yang baik–, maka itu adalah risiko yang harus ditanggung dalam menyampaikan kebenaran. Tak perlu takut dengan risiko hubungan baik dengan pihak keluarganya yang masih ada. Bahkan jelaskan saja persoalannya itu secara gamblang, agar semua pihak dapat mengerti. Akhirnya, memang dibutuhkan keberanian buat melakukannya. Tapi, kalau tidak berani sekarang… kapan lagi?



MASIH MUDA MAU NIKAH..

Assalamu’alaikum.., langsung saja ustadz, saya mau tanya:
1.Apakah menikah muda disyariatkan dalam islam?
2.Kalau jadi menikah, siapa yang harus di penuhi, kebutuhan orangtua atau istri? karena saya menjadi tulang punggung keluarga?
3.Bolehkah menikah sambil belajar ( sekolah ), karena kemauan calon istri yang mau sekolah? dan bagaimana agar terjaga dari fitnah?
IT, di Bumi Allah

Bismillahirrahmanirrahim, Wa ‘alaikumussalam warahmatullahi wa barakaatuh.

Alhamdulillah, Pertama-tama, saya ingin mendudukkan terlebih dahulu, sedikit kesalahpahaman sebagian kalangan kaum muslim, tentang makna dari kata syar’i atau disyariatkan.

Kata syar’i, atau yang lazim diterjemahkan dengan disyariatkan, punya dua kemungkinan makna:
1. Ditetapkan sebagai syariat.
2. Dibenarkan menurut syariat.

Mengacu pada pertanyaan di atas, mana yang dimaksud antara dua makna tersebut? Apakah maknanya ditetapkan sebagai syariat? Atau dibenarkan menurut syariat? Keduanya memiliki indikasi makna yang berbeda, oleh sebab itu akan berbeda pula jawaban dari pertanyaan tersebut.

Bila maksudnya ditetapkan sebagai syariat, maka artinya ada hukum tertentu yang berlaku pada “menikah di usia muda ini”, entah itu mubah –yang maknanya bisa dibenarkan dalam syariat–, sunnah, atau wajib.

Bila artinya dibenarkan dalam syariat, maka artinya secara hukum Islam memperbolehkannya, tapi tidaklah dianjurkan, apalagi diwajibkan. Dan, memang demikianlah adanya. Menikah di usia muda, secara hukum asal diperbolehkan. Namun juga tidak dianjurkan, apalagi diwajibkan. Tapi, bila dikaitkan dengan situasi dan kondisi pada orang yang akan menikah, hukumnya bisa bervariasi.

Hukum asal itu berasal dari sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang sangat populer,
“Wahai kawula muda. Barangsiapa diantara kalian yang sudah memiliki “baa-ah” (kemampuan seksual), hendaknya ia menikah. Sesungguhnya yang demikian itu lebih dapat memelihara pandangan mata dan kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu adalah obat baginya.” [1]

Yakni, menikah itu diperintahkan, saat seseorang sudah memiliki kemampuan seksual sesungguhnya. Artinya, mulai saat itu –saat seseorang sudah baligh–, ia sudah menerima perintah menikah.

Mulai dari remaja hingga dewasa, seorang muslim sudah menerima syariat untuk menikah. Hukum itu kian menguat, bila kemampuan, potensi, dan hasrat seksual semakin meningkat. Sehingga suatu saat bisa dianjurkan atau disunnahkan, dan bisa juga diwajibkan.

Saat ia sudah dianjurkan atau bahkan diwajibkan, maka ukuran apakah seseorang masih tergolong muda atau bahkan terlalu muda, atau sudah cukup umur untuk menikah –dalam kaca mata syariat Islam– tidaklah menjadi ukuran. Hukum tetap berlaku dengan alasan hukumnya. Muda dan tua bukanlah alasan hukum dalam menikah.

Namun, bila dalam “kemudaan”, seseorang punya kendala untuk menikah, seperti soal aturan kenegaraan –bila di negaranya menikah muda dilarang–, belum mengerti hukum-hukum dan adab pasutri, belum mampu mencari nafkah, atau hal-hal lain, maka itu termasuk kondisi di mana seseorang “belum bisa” segera menikah. Di saat itulah ia disyariatkan berpuasa, untuk menahan hasrat seksualnya.

Hal itu juga berlaku, bila ia sudah dewasa namun memiliki beberapa kendala yang menyebabkan ia sulit untuk menikah, atau sulit mendapatkan orang lain yang sudi menikahkan dia dengan putrinya –kalau ia seorang pria–, atau sulit mendapatkan orang yang mau menikahkan dirinya dengan putranya.

Jadi dalam usia apapun, bila seseorang masih terkendala menikah, atau ada mudharat besar bila ia segera menikah, maka hukum penundaan menikah demi maslahat itu tetap berlaku bagi dirinya.
“Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu adalah obat baginya…”

Kewajiban menolong orang tua, terlebih bagi anak lelaki, berlaku seumur hidupnya. Seorang anak wajib menolong dan membantu orang tuanya, untuk urusan dunia dan akhirat, sebagaimana orang tua berkewajiban mengurus, merawat, dan membesarkan anak-anaknya dahulu.

Sementara, kewajiban terhadap istri adalah kewajiban baru bagi seseorang, yang juga harus dipenuhi. Lalu, mana yang harus didahulukan?

Keduanya tidak boleh diadu/dibenturkan. Kalau seseorang belum mampu menghidupi istri karena harus menolong orang tuanya, dan ia masih mampu menahan hasrat menikahnya, maka ia harus menunda menikah. Karena bila dipaksakan, ia harus mengorbankan salah satu dari kewajiban tersebut.

Tapi, bila ia mau menikah dan merasa mampu untuk menanggung kedua kewajiban tersebut, ia boleh menikah segera. Apalagi, bila hasrat menikah begitu besar, dan bila tidak menikah dikhawatirkan ia terjerumus pada perbuatan haram, maka ia wajib segera menikah.

Bila orang tua bisa sekadar dibantu nafkahnya, maka seorang suami bisa lebih banyak menafkahi istri, dengan tetap membantu orang tuanya. Bila orang tuanya tidak berpenghasilan, maka anak-anaknya, termasuk dia, harus bersama-sama bekerja sama menanggung kewajiban memenuhi kebutuhan orang tua mereka. Bila seseorang hanya bisa melakukannya dengan mengajak orang tuanya hidup satu atap dengan dirinya dan juga istrinya, maka itu harus dilakukan.

Hanya saja, orang tua yang baik tentunya akan mengalah, tidak membebani anak dan juga menantunya. Tapi secara hukum, anak –terutama anak laki-laki yang memang bertugas mencari naskah– wajib memperhatikan kebutuhan orang tuanya, meskipun ia sudah menikah.

Adapun anak perempuan, bisa membantu sebatas yang dia mampu. Ia juga bisa mengajak suaminya, untuk membantu orang tuanya, bila orang tuanya memang membutuhkan bantuannya. Terutama sekali, bila orang tuanya hanya memiliki anak tunggal. Dan kebetulan, sang orang tua juga miskin dan tidak berkemampuan.

Menikah dengan tetap belajar, boleh-boleh saja, asalkan belajar di sekolah itu tidak mengganggu jalannya rumah tangga secara baik, aman, terkendali, tenteram, dan menyenangkan. Tujuan-tujuan berumah tangga, termasuk memiliki anak, juga jangan , hanya karena urusan belajar di sekolah.

Karena persoalannya, kewajiban membina rumah tangga yang diwadahidengan sakinah(ketentraman), untuk membuahkan mawaddah dan rahmah (cinta dan kasih sayang) adalah kewajiban yang pasti di depan mata. Sementara sekolah, hanya salah satu dari bentuk kewajiban umum yang biasanya berhukum fardhu kifayah, tidak boleh rumah tangga dikorbankan karena sekolah.

Kalau yang dijadikan tujuan sekolah adalah mencari ilmu semata, maka menuntut ilmu toh bisa dilakukan tanpa ruang sekolah. Bisa dengan membaca buku, makalah, dan artikel di internet, dengan dialog dan diskusi bersama teman, menghadiri seminar, pengajian, dan sejenisnya. Sehingga, sekolah tidak boleh “dipaksakan”.

Agar terhindar dari fitnah? Di sini, kata fitnah sengaja saya miringkan, karena yang dimaksud di sini adalah fitnah bahasa Arab, yang salah satu maknanya adalah godaan atau musibah. Bagaimana cara menghindari bencana, dan agar seorang wanita tidak menjadi godaan bagi kaum pria saat bersekolah, sementara ia sudah berumah tangga?

Kuncinya adalah pada upaya memilih sekolah yang paling aman –dalam pandangan syariat–, bila memang diputuskan si istri tetap bersekolah. Kalau di pesantren, pilihlah pesantren yang para pengajarnya adalah wanita saja. Yang pergaulannya baik. Yang dasar akidah dan metode memahami Islamnya bersih dari syubhat, kebid’ahan, dan kesesatan. Bila pendidikan umum, carilah yang interaksi dengan lawan jenis dapat dibatasi, sehingga tidak terjadi keharaman dalam proses belajar mengajar tersebut.

Sulit? Tentu saja. Bahkan, secara jujur saya nyatakan, sulit mencari balai pendidikan umum sekarang ini –terutama di negri kita– yang aman bagi kaum wanita untuk belajar di dalamnya, tanpa menjadi godaan bagi kaum pria, tanpa menjerumuskan dirinya pada hal-hal yang dilarang dalam Islam, dan dalam pergaulan pria dengan kaum wanita.

Meski demikian, balai-balai pendidikan yang relatif aman, kini juga mulai banyak bermunculan, seiring dengan kesadaran umat Islam terhadap ajaran Islam sesungguhnya. Namun, saya pribadi menganjurkan: bila sudah memutuskan berumah tangga, sebaiknya fokuskan perhatian pada pembinaan rumah tangga. Bila masih ingin sekolah, tunda saja pernikahannya.
Wallahu A’lamu Bishshawaab…..

Catatan Kaki:
[1] Diriwayatkan oleh al Bukhari dalam Shahih-nya, dalam kitab an Nikah, bab: Orang yang belum mampu menikah, hendaknya berpuasa, hadits No. 5066. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, kitab an Nikah, bab: Dianjurkannya menikah bagi orang yang bergolak nafsunya, hadits No. 1400.




BINGUNG MENGHADAPI COBAAN

Assalamu’alaikum warhmatullahi wabarakatuh,
Bismillah. Ustadz, kami telah menikah jalan 1 tahun. Saya menikah dengan-nya tanpa embel-embel pacaran atau comblang, sekadar PDKT/taa’aruf. Sebelum menikah saya sudah bekerja, walaupun masih “nebeng kerja” sama orang tua.
Yang sempat menjadikan saya kepikiran, sebelumnya saya sempat ketemu teman bahkan saudara yang sudah jauh-jauh hari dan sempat sharing. Begini kira-kira yang jadi masalah saya,
“Kenapa ya, orang yang berumah tangga dengan niat ibadah dan berharap keturunan dan sebagian dari kita mampu secara finansial malah justru susah diberi keturunan? Kalaupun diberi, ada saja hambatannya. Entah keguguran, mati dalam kandungan, penyakitan, cacat, idiot, dan proses kelahirannya susah.
Sementara mereka yang ingin berumah tangga juga,walaupun secara finansial SPP pun belum bisa tercukupi, tapi cepat diberi keturunan. Kalau yang hamil di luar nikah, saya gak heran/gak bikin iri. Mereka yang pada melakukan hal itu, sepengetahuan ana, anak turunan mereka sehat-sehat saja, mudah persalinannya dan anak-anaknya jarang sakit. Atau, gak ada yang aneh-aneh gitu. Kok gitu ya Tadz?
Tolong kasih saya empati/masukan, solusi, atau pendapat dari ustadz, karena saya menikah seperti dikejar deadline atau target. Itu yang jadi beban saya, dan mungkin dirasakan oleh teman-teman saya yang semukim. Mereka juga punya masalah sama.
Tolong kalau bisa balas pesan ini, karena saya mau curhat ke siapa lagi? Jadi media ini saya pilih, tolong bantu ya Tadz.

dari I dan E

Jawaban:
Wa‘alaikumussalam warahmatullahi wa barakaatuh

Alhamdulillah. Akhi, dan ukhti yang saya hormati. Saya senang, bila kami di sini dipercaya untuk menerima, mendengarkan, menyimak dan mempelajari bersama curhat kalian bersama.

Itu menunjukkan, jalan bagi kita untuk saling tolong menolong dalam membina ketakwaan dan kebajikan, terbentang luas di hadapan kita bersama. Semoga, kita termasuk orang-orang yang ikhlas menjalaninya.

Akhi yang saya hormati. Pertama kali, saya ingin mengingatkan kita bersama, bahwa Allah memiliki dua macam syariat. Pertama, syariat kitabiyyah yaitu ketentuan hukum yang Allah tetapkan dalam Kitab-Nya, atau melalui sunnah-sunnah Nabi-Nya. Syariat ini wajib dipelajari, dimengerti, diyakini, dan diamalkan sebatas kemampuan kita, demi kebahagiaan hidup kita di dunia dan di akhirat. Karena syariat inilah, Nabi diutus dan mengajarkannya pada umat, untuk digunakan sebagai ibadah kepada Allah ta’ala.

Syariat kedua, disebut syariat kauniyyah, atau ketentuan dan ketetapan Allah di alam semesta ini. Syariat ini juga harus dipelajari, dipahami, dan dijadikan sebagai pelajaran dalam hidup. Pengertian kita terhadap syariat kauniyyah atau yang lebih dikenal dengan istilah Sunnatullah atau hukum alam ini, membantu kita dalam melaksanakan syariat kitabiyyah atau hukum Allah.

Kalau syariat kitabiyyah dipelajari dari al Quran dan hadits-hadits Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka syariat kauniyyah ini dipelajari dari alam.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa naar.’” (Ali Imran : 130-131)

Selain wajib menjalankan syariat, kita juga harus mempelajari sunnatullah/hukum alam. Artinya, selain belajar tentang hukum-hukum fikih seputar dagang, seorang muslim yang ingin bergerak di bidang niaga juga harus belajar tentang tata cara dan pernak-pernik dunia bisnis dan jual beli.

Selain mempelajari tentang konsep makanan halal, apa saja yang dihalalkan dan diharamkan buat kita oleh Allah, kita juga harus belajar tentang makanan sehat, dengan gizi dan kandungan vitamin yang seimbang, yang bermanfaat terhadap tubuh kita.

Maaf, bila terkesan jauh dari jawaban pertanyaan Akhi, karena kita memang harus memulainya dari sini. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Muslim,
“Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian…”

Yakni, urusan dunia yang bukan terkait dengan hukum-hukum Allah di dalamnya, tetapi lebih pada pernak-pernik teknologi dan teori keduniaan. Nah, Allah menciptakan segala sesuatu dengan sebab. Ketika rumah Anda roboh tersambar petir, itu bukan semata-mata soal apakah rumah itu sering digunakan untuk beribadah kepada Allah atau tidak. Tapi, terkait juga hukum alam/sunnatullah bahwa petir itu mengincar medan listrik yang ada di rumah tersebut. Maka, selain banyak berdoa dan beribadah, rumah juga perlu dipasang penangkal petir!

Ketika Anda sakit perut, maka tidak cukup Anda beristighfar dan memohon ampun serta berdoa dan bertasbih, tapi juga berusaha berobat. Karena, orang kafir, orang fasik, orang beriman, semuanya bisa terkena penyakit perut dengan sebab-sebab yang sama.

Soal banyak orang yang menikah dengan cara yang baik (tanpa pacaran), ekonomi mapan, lalu tidak atau sulit punya keturunan, itu bukanlah soal yang saling terkait. Itu tidak ada kaitannya sama sekali, baik ditinjau dari syariat kitabiyyah, maupun syariat kauniyyah/hukum alam.

Terbukti, banyak orang yang kaya yang banyak anak. Banyak orang menikah tanpa pacaran dan mudah memiliki keturunan, bahkan sangat banyak. Banyak orang miskin tapi juga sulit atau bahkan tak punya keturunan sama sekali. Banyak juga orang yang menikah dengan lama berpacaran, juga akhirnya sulit atau bahkan tidak punya keturunan.

Anggapan seperti itu, termasuk bagian dari gkepanikanh, karena kurang berpulang kepada Allah dalam menyelesaikan segala urusan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, itu termasuk gejala paranoid. Karena salah satu ciri dari gejala paranoid, atau semacam gangguan kejiwaan yang menyebabkan ketakutan berlebihan adalah: mengaitkan dua hal yang tidak terkait, untuk menciptakan bayangan buruk dalam diri sendiri.

Contohnya, karena setiap kali berpakaian bagus keluar rumah, seseorang sering terpeleset di muka pintu rumahnya, muncullah dugaan: jangan-jangan, saya ini gak boleh keluar rumah memakai baju bagus? Memangnya, siapa yang melarang? Apa pula kaitannya antara pakaian bagus dengan jatuh terpeleset? Itu, salah satu gejala awal paranoid.

Maaf, ini bukan bermaksud menjustifikasi bahwa Anda mengidap gejala penyakit kejiwaan tersebut. Tidak, sama sekali tidak. Tapi saya ingin menegaskan, jauhilah prasangka seperti itu. Karena itu dilarang dalam ajaran agama kita.

Islam melarang sabbud dahr (mencela masa) dan sejenisnya. Yakni mencaci maki hujan atau angin misalnya. Karena itu sama saja kita mencaci-maki yang menciptakan hujan dan angin, yaitu Rabb kita, Allah ta’ala.

Jadi, bila seseorang mengalami keguguran dan sejenisnya, segeralah belajar dari realitas itu. Kejadian itu pasti ada sebabnya. Pelajari penyebab terjadinya keguguran tersebut, agar tidak kembali terulang lagi. Itu ikhtiar kita sebagai manusia. Islam mengajarkan itu kepada kita.

Kita harus membangun kepasrahan diri kepada Allah, bahwa dengan menjalankan syariat-Nya, niscaya kita akan selamat di dunia dan di akhirat. Tapi, harus dicatat, bahwa Islam juga memerintahkan kita mempelajari syariat kauniyyah, Sunnatullah.

Meski demikian, dengan segala keterbatasan kita sebagai manusia, suatu saat kita bisa saja terkena musibah atau cobaan yang tak dapat ditolak. Sebagian kita mengalami bencana kehilangan anak, mandul, kematian orang yang dicintai, bangkrut usahanya, terkena bencana alam dahsyat, atau hal-hal lain.

Saat itu, selain tetap memerhatikan sunnatullah yang ada, mempelajari berbagai kesalahan kita yang menyebabkan kita terkena bencana itu, kita juga harus memohon ampun kepada Allah, memperbanyak ibadah kepadanya. Kemudian yakin, bahwa setiap musibah yang menimpa kita, bila kita hadapi dengan ketabahan dan tawakal, niscaya akan berfungsi menghapus dosa-dosa kita atau mengangkat derajat kita di hadapan Allah kelak, di Hari Kiamat.

Seperti kata pujangga Arab,
“Hanya dengan ujian, seorang akan diberi predikat sebagai orang mulia atau orang yang hina.”

Allah berfirman,

وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“..dan bersikaplah tabah terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqmaan : 17)

“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (At-Taghaabun : 11)

“Kami tidaklah mengutus seseorang nabi pun kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dan merendahkan diri.” (Al-A’raaf : 94)

Wallaahu a’lamu bish shawaab. Baarakallahu li wa lakuma. Wallaahul musta’aan.




Assalam’muallaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ustadz, saya wanita 33 tahun, punya 3 orang anak (dari mantan suami kedua), yang selalu memahami kondisi hati mamanya. Saat ini saya menikah, merupakan pernikahan ke 3 bagi saya dan kedua bagi suami ( 3 anak dari suami).

Ustadz…. Pernikahan kami tidak di restui oleh orang tua saya, bahkan saat ini saya dan anak-anak sudah di buang dari keluarga besar. Kedua orang tua saya memberikan syarat agar saya bercerai dari suami jika masih ingin diakui sebagai anak. Subhanallah….. sungguh tidak dapat saya terima syarat tersebut.

Niat saya menikah lagi ketika itu agar dapat membentuk keluarga yang sakinah,warahmah dan mawaddah. Terlepas dari kesalahan & dosa kami di masa lalu, niat mempertahankan dan menjalankan pernikahan ini begitu kuat dan saya terus belajar agar menjadi umat–Nya yang dicintai & selalu bertaubat, menjadi istri & mama yang pantas bagi keluarga kecil kami.

Selain telah mengenakan jilbab, saya berusaha menjalankan ibadah wajib dan sunnah lebih baik, juga di tambah dengan berdzikir memohon ampunan, petunjuk, dan perlindungan dari-Nya. Sangat sering bibir ini berdoa dan air mata ini mengalir memohon Ridha Allah l agar pintu hati kedua orang tua saya terbuka dan dapat menerima kami. Dan tak henti saya memohon agar kami di berikan ketenangan, kekuatan, dan kesabaran dalam menghadapi kehidupan ini (amin) ( yang kadang ada saja pertengkaran suami istri yang tak dapat saya hindari, Nauzubillah…) mengingat suami sangat sensitif dan temperamental. Subhanallah….. Saya selalu berusaha bersabar dan memohon di berikan kekuatan ketika keluar kata-kata yang sering menyakitkan hati saya dari mulut suami.

Apakah ini karena orang tua tidak ridha? Ibu saya terus berdoa dan berharap agar rumah tangga saya hancur. Padahal Ibu saya adalah orang yang sangat baik ibadah dan amalnya. Apakah saya anak yang durhaka? Bagaimana dengan doa Ibu saya tadi? Dan bagaimana menyikapi suami yang kadang tak dapat saya kendalikan emosi dan amarahnya ? Suami sangat bertanggung jawab dalam menafkahi keluarga dan alhamdullillah hubungan saya dengan mertua baik. Mohon saran dan doanya ustadz. “syukran” ( Hamba Allah – Kota BM )

Jawaban:

Waalikumsalam warahmatullah wabarakatuh.

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah, Rabb alam semesta. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang senantiasa setia mengikuti ajarannya yang lurus hingga hari kiamat.

Saudariku yang dirahmati Allah, Islam adalah agama yang sempurna dan pembawa rahmat bagi alam semesta. Islam juga merupakan satu-satunya agama yang memberikan solusi tepat untuk menggapai kehidupan rumah tangga yang bahagia (sakinah, mawaddah, dan rahmah).

Saudariku, problema yang sedang engkau alami itu hanyalah sebagian dari sekian banyak ujian Allah l, maka sebagai seorang muslim, kita harus bersikap sabar dalam menghadapi ujian apapun agar kita sukses dengan meraih pahala yang besar dan keridhaan Allah. Apalagi niat awal Anda menikah sungguh mulia.

Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala berfirman,

“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan saja jika ia telah mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka sehingga terbukti bagi Allah orang-orang yang sungguh-sungguh dalam imannya dan terbukti juga orang-orang yang berdusta.” [ Al-Ankabut: 2-3]

Saudariku, bertakwalah kepada Allah dan istiqamahlah dalam berdoa kepada-Nya, agar Dia membukakan pintu hati kedua orang tuamu sehingga mereka mau merestui pernikahanmu dan menyambung kembali hubungan silaturahim denganmu yang telah terputus. Semoga dengan demikian, Allah mengubah keadaan keluargamu menjadi lebih baik. Berdasarkan janji Allah di dalam al Quran al Karim, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya”. [Ath-Thalaq: 2] dan firman-Nya pula, “Barangsiapa bertakwa kepada Alla niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” [ Ath-Thalaq: 4].

Selanjutnya, ada yang kami tanyakan, dengan sebab apakah kedua orang tuamu tidak merestui pernikahanmu dan bahkan tidak menganggapmu sebagai anggota keluarganya? Apakah alasannya dibenarkan syariat atau sebaliknya. kalau alasannya memang syar’i, maka hendaklah kamu berdua segera bertaubat kepada Allah dan berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahanmu, agar hati kedua orang tuamu terbuka dan mau merestui pernikahanmu.

Akan tetapi, jika alasan kedua orang tuamu itu tidak syar’i, maka kami nasihatkan kepada mereka, agar bertaubat kepada Allah atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya kepada anak kandungnya sendiri (tidak merestui pernikahannya, membuangnya dari anggota keluarganya, menyuruhnya bercerai dari suaminya dan bahkan mendoakan kehancuran bagi rumah tangga anaknya). Ketahuilah –wahai orang tua- akan bahaya memutus tali silaturahim, apalagi dengan anak kandungmu sendiri. Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda:

??? ???????? ?????????? ???????

“Tidak akan masuk surga orang yang mmemutuskan (silaturahim).” [Riwayat al Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556 dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu anhu]

Dan sabdanya pula, “Tidak ada dosa yang pantas untuk disegerakan hukumannya oleh Allah bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan (hukuman) yang disimpan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan pemutusan silaturahim.” [Riwayat Ahmad, 5/36, Abu Dawud no. 4901, At-Tirmidzi no.1513, dan beliau mengatakan hadits ini shahih, Ibnu Majah no. 4211]

Dan Rasulullah b juga melarang mendoakan keburukan bagi anak, karena ditakutkan doa tersebut bertepatan dengan waktu dikabulkannya doa, sehingga doa tersebut dikabulkan Allah, dan akhirnya orang tua menyesali akibat perbuatannya sendiri.

Sebagaimana hadits shahih yang panjang dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma: Sesungguhnya seseorang berkata kepada untanya, “Hai (unta)! Semoga Allah melaknatmu. “Lalu Rasulullah berkata, “Siapa yang melaknat untanya?” Dia berkata, “Aku wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Turunlah dari unta tersebut, janganlah engkau menyertakan kami dengan sesuatu yang terlaknat, janganlah kalian mendoakan keburukan untuk diri kalian sendiri, janganlah kalian mendoakan keburukan untuk anak-anak kalian, dan janganlah kalian mendoakan keburukan untuk harta kalian. Jangan sampai kalian berdoa, bertepatan dengan saat di mana permohonan kepada Allah dikabulkan, sehingga permohonan kalian pun dikabulkan”. [Riwayat Muslim no. 3009]

Adapun orang tuamu mensyaratkan agar kamu bercerai, maka janganlah engkau turuti perintahnya, karena syarat ini tidak dibenarkan oleh syariat, apalagi suamimu seorang muslim yang bertanggung jawab. Dan sikap ini pun (tidak memenuhi permintaan orang tua), tidak menjadikanmu sebagai anak durhaka, karena taat pada orang tua meskipun hukumnya fardhu ain bagi setiap anak, tetapi sebatas dalam hal yang ma’ruf saja, berdasarkan sabda Rasulullah b:

??? ??????? ??? ?????????? ??????? ???????? ?????????? ??? ????????????

“Tiada ketaatan (kepada siapapun) dalam kemaksiatan kepada Allah sang Pencipta. Sesungguhnya (wajibnya) taat itu hanya dalam kebaikan.” [Riwayat Bukhari no.7252 dan Muslim no.4871].

Kemudian, satu pertanyaan lagi, gerangan apakah yang membuat suamimu cepat marah? Apakah karena engkau tidak menunaikan hak-haknya atau memang karakter suamimu selalu marah dengan atau tanpa sebab. Jika memang sebabnya yang pertama, maka hendaknya engkau memperbaiki kekuranganmu dengan menunaikan hak-haknya dan selalu menaatinya dalam kebaikan. Tetapi, jika sebabnya yang kedua, maka kami nasihatkan kepada suamimu agar berusaha semaksimal mungkin menahan amarah, mengetahui keutamaan orang sabar dan tahan emosi, dan mengetahui bahaya yang ditimbulkan akibat sering marah. Apalagi jika marahnya tanpa sebab. Maka ini merupakan marah yang dibenci Allah, karena ia datangnya dari setan sebagaimana dikabarkan Nabi b.

Kami nasihatkan pula kepada suamimu dengan sabda Nabi b,

“Berwasiatlah kalian yang baik kepada kaum wanita, karena mereka tercipta dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas, maka kalau engkau meluruskannya berarti engkau mematahkannya, namun jika engkau membiarkannya maka dia akan selamanya bengkok, oleh karena itu berwasiatlah yang baik kepada wanita.” [Riwayat Bukhori 5168, Muslim : 1468 dari jalan Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu].

Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga bisa menyelesaikan berbagai problem rumah tanggamu dan kalian berdua bisa menggapai kehidupan yang bahagia sebagaimana diidamkan oleh setiap pasangan suami istri, amiin.




Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu

Ustadz yang ana hormati, saya seorang janda yang berumur 28 tahun, punya 1 anak. Saya sekarang bekerja di negeri seberang, 2 tahun yang lalu saya diperkenalkan dengan seorang ikhwan yang bekerja di negeri jiran. Yang memperkenalkan saya adalah adik ikhwan tersebut melalui ponsel.

Menurut adiknya, ikhwan tersebut seorang aktivis dia juga jebolan pondok pesantren modern (Gontor). Saya simpati sama dia karena dia orangnya baik. Dengan perkenalan itu, akhirnya saya juga semangat belajar tentang agama. Subhanallah, sedikit-dikit saya mengetahui sunnah-sunnah Nabi, Hadits, Fikih, karena sebelumnya saya berasal dari keluarga awam.

Lama kelamaan di antara kami ada rasa suka. Akhirnya ikhwan tersebut pulang ke kampung halaman, beberapa bulan kemudian ikhwan tersebut bersilaturahim ke rumah saya, keluarga saya tahu hubungan kami. Tapi, keluarga saya tidak menyetujui, alasannya perbedaan umur. Dia jauh lebih tua dari pada saya perbedaannya antara 10 tahun lebih. Bagi saya tak ada masalah.

Keluarga saya sangat takut, jika saya menikah dengan dia akan menimbulkan fitnah dunia, karena ejekan dari tetangganya.

Selain itu ada seorang ikhwan yang sedang menunggu saya di rumah. Karena sebentar lagi saya juga mau pulang kampung. Ustadz, apa yang harus saya lakukan setelah pulang nanti? Jika saya teruskan hubungan dengan ikhwan tersebut, saya takut akan menimbulkan fitnah dunia, dan keluargaku tak ada yang setuju. Dan jika saya mundur, berarti saya menzhalimi dia, karena dia mengharapkan saya jadi pedampingnya.

Dan apa yang harus saya katakan kepada ikhwan yang sedang menunggu saya di rumah, jika sementara ini saya masih ingin sendiri? Atas jawabannya saya ucapkan terimakasih.

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wabarakatuhu.

SDM Di Bumi Allah

Jawaban:

Waalikumsalam warahmatullah wabarokatuh.

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang senantiasa setia mengikuti ajarannya yang lurus hingga hari kiamat.

Saudariku yang dirahmati Allah, pernikahan adalah sebuah bentuk usaha berkeluarga dan berketurunan yang dihalalkan Allah dengan cara menyatukan dua keluarga dalam sebuah ikatan silaturahmi yang menentramkan satu sama lain dan membahagiakan semua pihak. Karenanya, untuk tegaknya sebuah pernikahan yang memberi sakinah, mawaddah warahmah, maka hendaklah ada beberapa pihak yang dimintai persetujuan dan diajak bermusyarawah. Dalam hal ini yang paling utama adalah kedua orang tua (ayah dan ibu), lalu jika tidak ada ayah karena telah meninggal, maka pihak wali nikah, yaitu pengganti ayah (yang jalur hukumnya sama kedudukannya dengan ayah).

Adapun keluarga anda tidak menyetujui hubungan dan keinginan anda untuk menikah dengan ikhwan yang anda pandang baik dengan alasan perbedaan umur yang cukup jauh maka ini tidak dibenarkan dalam syariat Islam. Karena dalam berumah tangga sebenarnya tidak ada patokan yang pasti untuk menilai jarak usia yang ideal bagi suami atau isteri, karena berapapun jarak usianya jika keduanya mampu menyeimbangkan perbedaan yang ada maka rumah tangga itu dapat langgeng jalannya.

Sebagaimana dahulu Rasulullah shallahu alaihi wasallam, beliau pernah menikah dengan wanita yang jauh lebih tua seperti Khodijah binti Khuwailid, dan beliau juga pernah menikah dengan wanita yang jauh lebih muda yaitu Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dan kehidupan rumah tangga mereka berjalan harmonis dan langgeng sampai akhir hayat. Hal tersebut karena Rasulullah dan isterinya mampu menyesuaikan diri sehingga dapat menjembatani perbedaan yang disebabkan oleh usia.

Oleh karena itu, hendaklah anda menjelaskan dengan cara yang baik kepada keluarga anda (khususnya kedua orang tua), bahwa perbedaan umur yang cukup jauh antara calon suami dan calon istri bukanlah suatu aib dan kendala untuk berlangsungnya hubungan pernikahan. Apalagi jika laki-laki yang anda hendak menjadikannya sebagai suami atau pemimpin keluarga adalah orang yang baik agama dan akhlaknya, dan anda juga telah mencintainya. Hanya saja ada beberapa hal yang belum dapat kami fahami dengan jelas dari apa yang anda ceritakan, diantaranya ialah:

Perkataan anda, ‘Keluarga saya sangat takut, jika saya menikah dengan dia akan menimbulkan fitnah dunia, karena ejekan dari tetangganya’. Apa yang anda maksud dengan fitnah dunia? Apakah maksudnya akan adanya ejekan dari tetangga kepada keluarga anda bila anda menikah dengan laki-laki yang usianya berbeda jauh lebih tua dari anda, atau bagaimana?

Adapun perasaan anda telah menzholimi ikhwan (laki-laki) yang telah mengharapkan anda menjadi pendamping hidupnya tersebut apabila mundur atau tidak jadi nikah dengannya, maka sesungguhnya –menurut pandangan kami- perasaan ini tidaklah benar, karena yang namanya kezholiman itu ialah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya atau mengambil dan mengurangi hak orang lain tanpa alasan yang benar menurut syariat atau meninggalkan kewajiban. Sedangkan mengambil sikap mundur atau tidak jadi menikah dengannya karena ada beberapa pertimbangan seperti diantaranya lebih memprioritaskan menjaga perasaan hati orang tua, memelihara kerukunan diantara keluarga anda dan lain sebagainya maka menurut kami bukan termasuk perbuatan zholim. Apalagi hubungan anda dengannya baru sebatas perkenalan dan adanya kecenderungan hati untuk menikah dengannya, belum ada ikatan atau janji apapun yang wajib ditepati.

Kemudian, kami juga ingin bertanya terlebih dahulu pada anda, apakah ikhwan (laki-laki) yang menanti anda di rumah telah memiliki hubungan atau keterikatan yang lebih jauh dari sebatas perkenalan? Ataukah mungkin ikhwan tersebut telah menjadi pilihan keluarga anda untuk dinikahkan dengan anda? Kalau memang demikian keadaannya, sementara anda sendiri tidak merasa cinta padanya, maka sampaikanlah perasaan anda yang sebenarnya kepada keluarga anda dengan cara yang baik agar mereka dapat memahami dan menerima alasan anda. Karena menikah dengan orang yang tidak anda cintai itu justru akan menimbulkan berbagai macam problema yang lebih besar dalam kehidupan rumah tangga. Sedangkan diantara syarat sahnya pernikahan ialah adanya keridhoan dari kedua belah pihak, calon suami dan calon istri, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)

Jadi, orang tua atau wali tidak sepantasnya memaksakan kehendaknya kepada anak gadisnya agar menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Jika ini dilakukan maka wali atau orang tua berdosa. Ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Seorang remaja putri datang menemui Aisyah lalu berkata: “Ayahku menikahkan aku dengan anak saudaranya agar kerendahan (martabat)nya dapat terangkat, padahal aku tidak suka”. Aisyah berkata: “Duduklah sampai Rasulullah datang”. Tidak berapa lama datanglah Rasulullah, remaja putri inipun menceritakan halnya kepada beliau. Maka beliau mengutus seseorang untuk memanggil ayahnya. Pada akhirnya beliau menyerahkan urusan pada remaja putri itu. Iapun berkata: “Wahai Rasulullah, saya dapat menerima apa yang diperbuat ayah saya, hanya saya ingin tahu apakah wanita mempunyai suatu kewenangan (dalam hal ini).” (Hadits Shahih riwayat An-Nasai (VI/87), Ibnu Majah no. 1874, Ahmad (VI/136), Ad-Daraquthni (III/232-233), Al-Baihaqi (VII/118) dari jalur Abdullah bin Buraidah dari Aisyah).

Kemudian kami agak bingung juga memahami apa yang anda ungkapkan, di satu sisi anda merasa berbuat zholim kepada ikhwan yang anda cintai dan telah mengenalnya di negeri Jiran apabila mengambil sikap mundur atau tidak jadi menikah dengannya. Namun di sisi lain anda merasa bingung mau mengatakan apa kepada ikhwan yang telah menunggu anda di rumah dengan alasan masih ingin sendiri (belum ingin menikah). Dua pernyataan ini Nampak kontradiksi. Tetapi kemungkinan kalau tidak keliru –wallahu a’lam- kami memahami bahwa hati anda lebih cenderung kepada ikhwan yang pernah mengajari anda ilmu agama daripada ikhwan yang menanti anda di rumah. Kalau memang demikian, maka sebaiknya anda mengungkapkan kepadanya (ikhwan yang menanti anda di rumah) baik secara langsung atau dengan perantara orang lain yang anda percaya bahwa anda untuk saat ini belum bersedia menikah dengannya. Ini kami pandang perlu dilakukan supaya ikhwan tersebut mendapat kepastian jawaban dari anda dan ia bisa segera mencari akhwat pilihan lain yang hendak dijadikan pendamping hidupnya.

Kemudian, di sini kami ingin nasehatkan kepada para orang tua atau wali perempuan agar mereka segera menikahkan anak-anak gadis mereka dengan laki-laki yang sholih dan bertakwa. Sebab lelaki seperti itu bila ternyata mencintai anak gadisnya tentu memuliakannya, dan jika membencinya tidaklah menghinakannya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

????? ????????? ???? ?????????? ??????? ?????????? ????????????? ?????? ?????????? ?????? ???????? ??? ???????? ?????????

“Jika datang melamar anak gadismu seorang laki-laki yang engkau ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak gadismu itu). Jika tidak, pasti akan terjadi fitnah (kekacauan) di muka bumi dan kerusakan yang besar.” [HR. At-Tirmidzi IV/364 no.1108 dan Ath-Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir XVI/164 no.18213]

Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-showab.




MUNGKINKAH SUMPAHKU MENGHALANGI NIKAHKU

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ustadz yang saya hormati,

Saya seorang gadis yang berusia 26 tahun, saat ini saya sedang bingung. Dan yang paling mengganjal dihati saya sekarang ini adalah dulu saya pernah bersumpah untuk tidak menikah karena pada saat itu saya sangat sedih melihat betapa susahnya kehidupan teman saya setelah menikah. Tapi setelah saya berkonsultasi dengan seorang ustadz yang tinggal sekampung. Atas saran ustadz tersebut, saya sudah membatalkan sumpah saya dengan melaksanakan puasa selama 3 hari dan memberi makan kepada 10 orang fakir miskin.

Pak ustadz, saya sangat menyesal sekali. Pada saat ini saya sangat berkeinginan sekali untuk menikah, tetapi sampai sekarang saya belum pernah dilamar oleh seorang lelaki. Saya sudah berusaha untuk berkenalan dengan teman laki-laki sahabat saya tapi setelah berkenalan mereka enggan untuk melanjutkan perkenalan, hal inilah yang membuat saya tidak percaya diri.

Yang ingin saya tanyakan:

  1. Apakah sumpah ini yang menjadi kendala saya untuk mendapatkan jodoh?
  2. Bagaimana cara membatalkan sumpah yang telah saya ucapkan?
  3. Apakah yang harus saya lakukan supaya saya cepat mendapatkan jodoh?
  4. Apakah ada doa-doa atau amalan-amalan khusus untuk mendapatkannya?

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jawab:

Wa’alaikumslam warahmatulloh wabarokatuh

Saudariku seislam, hal yang wajib anda ketahui dan mengimaninya adalah bahwasanya apa pun yang terjadi di alam semesta ini semuanya berdasarkan takdir Allah. Semenjak lima puluh ribu tahun yang lalu, Dia telah menetapkannya berdasarkan ilmu dan kehendaknya di Lauhul Mahfuzh. Termasuk di dalamnya adalah masalah jodoh.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

?????? ??????? ?????????? ???????????? ?????? ???? ???????? ???????????? ?????????? ??????????? ?????? ??????

Allah telah menulis takdir-takdir untuk ciptaanNya sejak lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” [HR. Muslim, dari Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash radhyallahu anhu]

Kemudian dalam hadist Ibnu Mas’ud radhyallahu anhu: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberitahukan bahwa ketika janin berada dalam perut berumur 120 (seratus dua puluh) hari atau 4 (empat) bulan kurang lebih:
“Maka malaikat meniupkan ruh kepada janin tersebut, dan diperintah untuk menulis empat perkara, rezekinya, ajalnya, amalannya, dia termasuk penduduk neraka yang celaka atau penduduk surga yang bahagia.” [HR. Muslim]

jadi apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah pasti terjadinya, dan tidak akan ada seorang manusiapun yang mampu mencegahnya atau merubahnya sedikitpun.

Adapun status anda sampai saat ini masih membujang atau belum mendapatkan jodoh maka ini bukanlah karena janji atau sumpah yang dahulu anda pernah mengucapkannya untuk tidak menikah, karena sumpah atau janji bukanlah suatu hal yang menjadi kendala atau penghalang bagi anda untuk mendapatkan jodoh, akan tetapi bisa jadi memang Allah mentakdirkan bagi anda hingga saat ini belum ketemu jodoh, atau disana ada suatu hikmah yang akan mendatangkan kebaikan bagi anda, dan supaya anda mau berfikir dan semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

??????? ????? ?????????? ?? ??????????????? ??????? ???? ???????????????

“Maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat pula memajukannya.” [QS. Al-A’raaf: 34]

????? ????????? ???? ????????? ???? ???????? ???? ???????? ???? ??? ???????

Dan sekali-kali tidak dapat dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh).” [QS. Fathir: 11]

Kemudian, kalau kami perhatikan dari sumpah yang pernah anda ucapkan, maka sumpahnya itu berisi keburukan, karena bersumpah untuk tidak menikah, dan ini bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang mana beliau menganjurkan umatnya agar menikah dan melarang dari membujang.

Berkaitan dengan sumpah yang berisi keburukan, para ulama menjelaskan bahwa hukumnya wajib merusakkan sumpah atau janjinya itu, atau dengan kata lain ia wajib tidak memenuhinya, dan wajib membayar kaffarat (denda) untuk sumpah atau janjinya tersebut. Dan denda sumpah itu sama dengan denda nadzar berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Kafarat nadzar ialah kafarat yamin (sumpah).” [HR Muslim no. 1645 dari sahabat Uqbah bin Amir].

Sedangkan denda sumpah telah dijelaskan dalam firman Allah:

?? ????????????? ??????? ??????????? ??? ????????????? ???????? ????????????? ????? ??????????? ?????????? ?????????????? ????????? ???????? ?????????? ???? ???????? ??? ??????????? ??????????? ???? ???????????? ???? ????????? ???????? ?????? ???? ?????? ????????? ???????? ???????? ?????? ?????????? ????????????? ????? ?????????? ??????????? ????????????? ???????? ????????? ??????? ?????? ???????? ??????????? ???????????

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).” [QS Al-Maidah: 89]

Dari ayat ini kita dapat mengetahui bahwa kaffarat (denda) sumpah itu dapat dilakukan dengan memilih salah satu dari hal-hal berikut ini secara berurutan:

  1. Memberi makan 10 fakir miskin,

Memberi pakaian 10 fakir miskin,

Memerdekakan hamba sahaya,

Berpuasa tiga hari.

Lalu agar anda mendapatkan jodoh, maka hendaklah anda memperbanyak doa kepada Allah dengan sungguh-sungguh agar dikaruniakan jodoh yang sholih bagi anda. Disamping itu juga, anda bisa meminta bantuan kepada orang lain yang dapat anda percaya akan agama dan kejujurannya agar mau mencarikan atau menghubungkan anda dengan laki-laki sholih yang siap menikah. Ini dilakukan dengan sabar dan tawakkal kepada Allah.

Adapun berkaitan dengan amalan dan doa khusus mendapat jodoh, maka kami belum mengetahui adanya dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan dalam hal ini. Maka dari itu, silakan anda memohon jodoh kepada kepada Allah dengan doa-doa dan amalan-amalan yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Semoga terkabul. Amin..

Wallahu a’lam bish-showab.



SIKAP PELAYAN ISTRI

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bismillah, Ustadz saya seorang ikhwan yang berusia 34 tahun, usia istri saya 32 tahun, alhamdulillah kami telah dikaruniai 4 orang anak. 2 orang di antaranya sedang menuntut ilmu di pondok pesantren. Dari segi materi alhamdulillah kami termasuk orang yang berkecukupan. Tapi sekarang ini timbul rasa kurang puas terhadap sikap dan pelayanan istri kepada saya selama ini. Yang saya tanyakan, bagaimana cara mengatasi rasa kurang puas tersebut? Apakah cukup hanya dengan bersabar dalam membimbingnya, sedangkan saya sudah bersabar selama 10 tahun ini. Sering muncul dipemikiran saya punya istri idaman lagi. Bagaimana hukumnya pemikiran yang demikian itu? Saya mohon penjelasannya.

Jazakumullahu khairan katsiran.

Fulan – Bumi Allah

08179526364

Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh

Saudaraku seislam, sesungguhnya Allah l telah menetapkan manusia sebagai suatu makhluk yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Apalagi seorang wanita, yang mana Allah telah menciptakannya dari sebuah tulang rusuk yang bengkok sebagaimana diterangkan oleh Nabi n di dalam sabdanya:

“Berwasiatlah dengan baik kepada para wanita (para istri), karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang teratas. Jika engkau memaksa untuk meluruskannya, engkau akan memecahkannya, dan jika engkau membiarkannya maka ia senantiasa bengkok, maka berwasiatlah dengan kebaikan kepada para istri.” (Muttafaqun Alaihi)

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk urusan Pembahasan Ilmiyah dan Fatwa, Kerajaan Saudi Arabia) yang saat itu diketuai oleh Samahatu Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz t menerangkan bahwa makna yang nampak pada hadits ini menunjukkan bahwa wanita –dan yang dimaksudkan di sini adalah Hawa– diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam p. Pengertian seperti ini tidaklah menyelisihi hadits lain yang menyebutkan penyerupaan wanita dengan tulang rusuk. Bahkan diperoleh faedah dari hadits yang ada bahwa wanita serupa dengan tulang rusuk. Ia bengkok seperti tulang rusuk karena memang ia berasal dari tulang rusuk. Maknanya, bahwa wanita itu diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk yang bengkok maka tidak bisa disangkal kebengkokannya. Apabila seorang suami ingin meluruskannya dengan selurus-lurusnya dan tidak ada kebengkokan padanya niscaya akan mengantarkan pada perselisihan dan perpisahan. Ini berarti mematahkannya. Namun bila si suami bersabar dengan keadaan si istri yang buruk, kelemahan akalnya dan semisalnya dari kebengkokan yang ada padanya niscaya akan langgenglah kebersamaan (rumah tangganya) dan terus berlanjut pergaulan antara keduanya. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh para pensyarah (yang menjelaskan) hadits ini. (Fatwa no. 20053, kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta`, 17/10)
Dan di dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah n bersabda:

“Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, ia tidak bisa lurus untukmu di atas satu jalan. Bila engkau ingin bernikmat-nikmat dengannya maka engkau bisa bernikmat-nikmat dengannya namun padanya ada kebengkokan. Jika engkau memaksa untuk meluruskannya, engkau akan memecahkannya. Dan pecahnya adalah talaknya.” (Riwayat Muslim)

Oleh karena itu, hendaknya Anda bersungguh-sungguh dalam memberikan bimbingan Islam kepada istrimu, menggaulinya dengan pergaulan yang baik, dan bersabar atas segala kekurangan dan kelemahan yang ada pada dirinya serta mengharap pahala dari Allah atas ujian yang Anda hadapi. Berupayalah meluruskan dan melengkapi kekurangan-kekurangannya dengan cara yang baik dan lemah lembut.

Bila Anda telah mengetahui dan memahami qodrat yang Allah tetapkan pada wanita, maka –insyaallah- ini akan mengobati atau mengurangi rasa kurang puas Anda dari pelayanan istri Anda. Apalagi bilamana istri Anda senantiasa berpegang teguh dengan ajaran Islam, setia dan mentaati perintah-perintahmu dalam kebaikan dan selalu memenuhi hajatmu, maka sepantasnya Anda bersyukur kepada Allah atas nikmat yang Allah anugerahkan kepadamu berupa istri shalihah.

Adapun bila Anda tidak mengetahui dan memahami kelemahan dan kekurangan yang telah Allah tetapkan pada kaum hawa, dan selalu mengharapkan wanita sempurna yang bebas dari segala kekurangan baik jasmani maupun rohani, maka sesering apa pun Anda menikah, bisa dipastikan Anda tidak akan pernah merasakan kepuasan dengan pelayanan istri-istri Anda.

Apa yang kami katakan tersebut di atas bukan berarti menghalangi Anda untuk menikah lagi dengan istri idaman lain. Karena Islam tidak melarang kaum pria untuk memiliki istri lebih dari satu. Akan tetapi yang harus dipikirkan terlebih dahulu oleh siapapun yang akan menambah istri, hendaknya ia mempertimbangkan sisi maslahat dan mafsadat yang akan timbul dari perbuatannya itu. Bila maslahatnya lebih besar dari mafsadatnya atau bahkan tidak akan menimbulkan mafsadat yang berarti maka Islam menganjurkannya karena diantara tujuan syariat Islam adalah mewujudkan maslahat dan menolak mafsadat bagi para hamba di dunia dan akhirat. Namun sebaliknya, bila mafsadat yang ditimbulkan oleh pernikahan Anda dengan istri idaman lain jauh lebih besar dari maslahatnya, seperti terjadinya perceraian dengan istri pertama Anda, terlantarnya anak-anak, tidak mampu memberikan kecukupan nafkah yang wajib kepada istri pertama dan kedua, dan lain sebagainya, maka syariat Islam tidak membolehkannya. Wallahu a’lam bish-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar