Powered By Blogger

Selasa, 06 Agustus 2013

JENDELA KELUARGA

UCAPKAN SALAM,DAN ISTRIMU AKAN TAMBAH CINTA


Kacer

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam  bersabda:
أَفَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَمْرٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Maukah kalian aku beritahukan satu hal yang apabila kalian praktikkan, maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Abu Dawud)

RASULULLAH Shallallahu ‘alaihi Wassalam  melarang para suami membuat kaget dengan kedatangannya secara mendadak, tanpa memberitahu lebih dahulu. Dan, bila seorang suami dating dari bepergian jauh, hendaknya memberitahu lebih dahulu kapan ia akan pulang. Jangan sampai, niat kita ingin member kejutan, malah menimbulkan kesalahpahaman, seperti yang terjadi pada sahabat Abdullah bin Rawahah berikut ini :

Dari Abu Salamah bahwasanya Abdullah bin Rawahah datang dari bepergian jauh di malam hari. Ia pun bergegas menemui istrinya. Ternyata di dalam rumah lampu masih menyala, dan ia melihat bersama istrinya ada sosok yang tengah tertidur. Ia pun segera menghunus pedangnya, namun tiba-tiba istrinya berkata, “Menjauhlah dariku. Ini adalah wanita yang biasa menyisir rambutku.” Abdullah bin Rawahah pun mendatangi Nabi  dan menceritakan kejadian tersebut. Maka, Nabi  melarang seorang suami mendatangi istrinya dari bepergian jauh di waktu malam.” (HR. Ahmad).
Kalau pun ia datang di malam hari, hendaklah seorang suami memberitahu terlebih dahulu kepada istrinya perihal waktu kedatangannya. Dan, setelah sampai di rumah, hendaklah ia mengucapkan sal;am kepadanya, sebagai bentuk berita bahwa ia telah datang. Insya Allah, resep ini akan membuahkan keharmonisan rumah tangga. Sejenak, mari kita simak kisah kehidupan keluarga Abu Muslim berikut, yang mengambarkan betapa nuasa relegi di tengah-tengah keluarga sangat membantu dalam mewujudkan kebahagiaan rumah tangga.
Dari Utsman bin Atha’, dari ayahnya, ia berkata, “Abu Muslim mempunyai sebuah kebiasaan, apabila pulan dari masjid ke rumah, setiba di depan pintu gerbangnya, ia bertakbir, lantas istrinya pun bertakbir. Bila ia berada di halaman rumahnya, ia bertakbir, Maka istrinya pun menyahut takbirnya dengan takbir pula. Dan, bila telah sampai didepan pintu rumah, ia pun bertakbir dan dIjawab dengan takbir pula oleh istrinya.
Pada suatu malam, ia pulang dari masjid dan bertakbir di depan pintu gerbangnya, akan tetapi tidak ada seorang pun yang menyahut takbirnya. Ketika berada di halaman rumah, ia kembali bertakbir, tapi juga tidak ada yang menyahut takbirnya. Setiba di pintu rumahnya, ia kembali bertakbir, akan tetapi tidak ada seorang pun yang menyahut takbirnya. Biasanya, ketika memasuk rumah, istrinya segera mengambil selendang dan alas kakinya, kemudian menghidangkan makanan kepadanya. Saat itu, ia memasuki rumahnya, ternyata di rumah tidak ada lampu yang menyala, sedangkan istrinya duduk teertunduk sambil menyandarkan dirinya pada sebatang tongkat yang dibawanya.
Abu Muslim pun bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi padamu?”
Istrinya menjawab, “Engkau seorang yang mempunyai kedudukan di mata Mu’awiyah, sedangkan kita tidak mempunyai pembantu. Alangkah baiknya bila engkau meminta Mu’awiyah memberi kita seorang pembantu, pasti ia mau memberikan.”
Abu Muslim pun berucap, “Ya Allah, siapa saja yang telah merusak istriku, maka butakanlah matanya.”
Sebelum itu, istri Abu Muslim memang didatangi oleh seorang wanita yang berkata kepadanya, “Suamimu adalah orang yang memiliki kedudukan di mata Mu’awiyah, maka sebaiknya engkau memintanya agar ia meminta Mu’awiyah memberinya seorang pembantu, pasti Mu’awiyah mau memberinya dan kalian pun bisa hidup dengan senang.”
Ketika wanita itu sedang duduk di rumahnya, tiba-tiba matanya gelap. Wanita itu berkata, “Mengapa lampu kalian padam?” Keluarganya menjawab, “Tidak, lampu kita tidak ada yang padam.”
Wanita itu segera datang kepada Abu Muslim, menangis sambil memintanya mendoakannya kepada Allah supaya mengembalikan penglihatannya. Abu Muslim pun iba kepadanya, lalu berdoa kepada Allah, maka Allah pun memulihkan penglihatannya. (Al-Atqiya’ Al-Akhiffa’).
Perlu disadari bersama, bahwa untuk menghadirkan keharmonisan rumah tangga dapat diwujudkan  menghadirkan nuasa ibadah di dalamnya. Sisi inilah yang jarang disadari oleh kalangan pasangan suami istri. Bahkan, kadang kita dapati rumah tangga yang kering dari nuasa relegi. Sehingga, jangan heran bila ada potret rumah tangga yang tak ubahnya seperti kuburan, saking keringnya dari nuansa religi.
Cabalah untuk mencoba untuk menghidupkan kembali semangat keagamaan yang dulu pernah berkobar-kobar, saat sebelum membangun rumah tangga. Dulu, ucapan salam saat bertemu merupakan kebiasaan yang tak lepas dari diri kita. Jabat tanggan saat bertemu dengan saudara, teman, dan kerabat merupakan perkara yang selalu menghiasi akhlak kita.
Namun, setelah berumah tangga, kebiasaan-kebiasaan positif seperti itu seolah lenyap dan sirna dari pribadi kita. Keluar masuk rumah tanpa mengucap salam. Saat hendak pergi kerja, tak ada tutur sapa dan jabat tangan dengan istri dan anak-anak. Kering, dan terlihat muram.
Kisah Abu Muslim di atas sangat cocok dijadikan potret dan cermin untuk keluarga kita. Tidak hanya salam, saling menyahut takbir serasa memberikan kehangatan dan keharmonisan antar suami istri. Menakjubkan sekaligus patut dicontoh. Semoga kehermonisan senantiasa menyapa keluarga kita. Wallahul musta’an.*








 Wanted: A Psychology of the Powerless in Tarbiyyatul ‘A


 We know you better than you do... Kami tahu tentang Anda lebih  banyak daripada yang Anda ketahui tentang diri Anda.” Kalimat jumawa ini keluar dari mulut seorang psikolog di Jakarta saat menceramahi mahasiswa baru tentang “keunggulan” disiplin ilmu yang diserap Indonesia dari para pemikir antituhan di Barat itu.

“Kita bisa memperbaiki atau merusak orang, dengan ilmu ini. Kita bisa kaya dengan ilmu ini. Kalian mau kaya? Gampang. Ambil saja salah satu anak tetangga, lalu ajari bahwa ini adalah ‘kipung’, terus menerus,” ujar si psikolog sambil memegang telinganya. “Sebentar lagi ibu bapaknya akan datang kepada kalian, minta terapi untuk anaknya!”

‘Psychology of the Powerful’

Omong-kosong di atas itu mungkin hanya sekedar gurauan, tetapi sentimen betapa digdayanya, betapa powerful-nya mereka yang ‘mengerti’ psikologi ini menyebar luas ke seantero masyarakat.

Para psikolog muda sekedar memberikan tes IQ – yang termasuk di dalamnya ada pula yang disebut ‘tes kepribadian’ – dalam beberapa jam saja untuk menetapkan si Fulan atau si Fulanah tidak layak diangkat sebagai pegawai, diterima berkuliah, dijadikan mitra dagang dan sebagainya. Berapa juta pemuda dan pemudi Indonesia yang terpukul jiwa raganya karena divonis “IQ jongkok” lewat berbagai pemeriksaan psikometri seperti ini?

Perasaan sangat tahu dan sangat berdaya ini menjadi akar menjamurnya berbagai pendekatan psikologi pop, psikologi instant dan behavioral quick fix yang dipakai berbagai pihak, mulai dari para guru sampai para ahli dan praktisi parenting.

Majalah dan buku yang menawarkan tips and tricks untuk berbagai keperluan – mulai dari melatih anak toilet training sampai menangani kenakalan remaja – tersebar di mana-mana. “101 Cara Mengenalkan Anak Disiplin Belajar.” “Pelaksanaan Reward and Punishment System untuk Peserta PAUD.” “Menghadapi Anak Membangkang.” “Teknik agar si Kecil Bicara di Usia Setahun.” “Tips Menangani Gangguan Belajar.” Repotnya, pendekatan “aku tahu kamu” seperti ini juga diserap oleh para Muslim yang kemudian “mengIslamkan” psikologi dengan sekedar menempelkan beberapa ayat al-Quran atau hadits belaka.  Contohnya, tentang pendidikan anak, para psikolog Barat bicara tentang teori tabula rasa John Locke di abad 17 (sebuah konsep yang sebenarnya berujung lebih jauh lagi ke Aristoteles, lalu diadaptasi St Thomas Aquinas di abad 13, sebelum kemudian ditekak-tekuk oleh Sigmund Freud di abad 20 menjadi teori psikoanalisis).

Eeeeh...  para “ahli jiwa” dan pendidikan Muslim ini mengutip hadits Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam tentang fitrah sebagai “bukti” bahwa memang orangtualah yang dengan penuh kekuasan mengisi dan menulis di atas scrapped tablet atau tabula rasa bernama anak.

“Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ayah dan ibunya-lah yang akan menjadikannya sebagai orang Yahudi, Nashrani ataupun Majusi.” (Al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Malik)

Tidak banyak ahli pendidikan, ahli jiwa dan parenting Muslim ini yang lalu berbicara tentang mitsaqan ghaliza antara ruh dengan Allah Rabbul ‘alamin yang merupakan stempel Allah bahwa kita semua dilahirkan cenderung kepada tauhid, namun bisa dirusak oleh syaitan. Tidak banyak yang lalu berbicara tentang Allah yang membolak-balikkan hati (Al-muqallibal quluub) dan memegang prerogatif atas hidayah. 

Tidak. Kata fitrah dan hadits di atas mereka maknai sebagai pembenaran untuk pendekatan dan pemikiran bahwa orangtua dan para pendidiklah yang memiliki kekuatan dan kemampuan membentuk anak.

Yang jauh lebih parah sebenarnya para instant fixers yang mencampurbaurkan segala macam pemikiran dan pendekatan untuk “menterapi” sesama manusia. Di Barat, banyak sekali orang  - tidak harus pemegang ijazah dari fakultas pikologi – yang berprofesi sebagai life coaches. “Pelatih kehidupan.” Duileeeh... Tidak perduli bahwa mereka orang yang mengumbar syahwat dan berzina, minum khamr sampai muntah-muntah, atau kawin-cerai sampai cerai-berai, mereka bisa bekerja sebagai konselor dan “pelatih kehidupan.”

Di Indonesia pun ada yang mirip dengan life coaches seperti itu. Hanya berbekal bacaan psikologi pop, mereka lalu mengadakan berbagai spiritual trainings untuk para penganut ‘galauisme’ dan menyebut diri mereka sebagai – misalnya – the soul healer.  Sang penyembuh jiwa.

Ketika ditanya apa yang mereka kerjakan sebenarnya dalam training itu, salah satu menjawab bahwa mereka menghadapi orang yang bermasalah dalam kehidupan karena berbagai ‘penyakit hati’ seperti galau, minder, pesimis, anak malas belajar, berkelahi terus, atau pemuda jauh jodoh dan susah mencari pekerjaan.

Gubrakk!! Apakah para ‘penyembuh jiwa’ dan ‘ahli jiwa’ populer ini tahu betul apa yang disebut dengan jiwa? Apa bedanya jiwa dengan ruh? Apa bedanya dengan nafs? Apa hubungan antara jiwa dengan hati? Dengan qalb atau quluub? Dengan fu’aad? Bagaimana mereka menyembuhkan orang yang susah dapat jodoh atau pekerjaan?

Alangkah membingungkan, bukan? Tapi nyatanya banyak sekali orang di antara kita yang berprofesi sebagai vending machines nasihat, sebagai dispenser kebijaksanaan – meski di dalam Al-Quran Allah telah mengidentifikasi Diri-Nya saja Subhana wa Ta’ala sebagai pemilik hikmah.

* * *
“Dear Ibu Psikolog (Bapak Psikolog/Ustadz/Ustadzah)...

Saya punya masalah.

•    Anak remaja saya sudah empat hari tidak pulang. Kata kawan-kawannya kemungkinan menginap di warnet karena dia sudah kecanduan games. Entah di warnet mana karena di kota kami ini ada ribuan warnet. Di sekolah prestasinya buruk karena kata gurunya memang IQ-nya “jongkok” dan malas pula belajar.
•    Anak bungsu saya mogok sekolah, tidak mau shalat dan belajar. Kalau saya paksa, dia mengamuk membanting-banting barang.
•    Suami saya tidak bisa dimintai bantuan untuk mendidik anak karena sibuk bekerja. Dia juga sangat gampang marah. Mungkin karena terlalu lelah menghadapi kompetisi di tempat kerjanya. Kalau saya mengeluhkan soal anak, maka kalau bukan saya yang dimarahi karena cerewet, maka anak kami yang remaja yang ditempeleng.
Mohon nasihat dari Ibu/Bapak Psikolog, Ustadz/Ustadzah..

Ummu Problema
di Jakarta.”

* * *
Bagaimanakah memberi nasihat untuk masalah seperti ini? Teori siapa yang hendak dipakai? Teori behavioris, psikoanalisis atau kognitif? Orang ‘pintar’ mana yang hendak digugu dan ditiru? Apakah yang menganggap bahwa orang dari ras tertentu cenderung lebih “kurang cerdas” dibandingkan orang kulit putih? Atau teori  anti-nature dan menganggap bahwa manusia sepenuhnya at the mercy of external forces alias bertekuk-lutut di bawah pengaruh luar?

Psikolog yang tidak terlalu berpikir mungkin akan memberikan quick fixes seperti “Ummu Problema, Anda harus memperbaiki cara komunikasi dengan anak-anak dan suami. Kunci masalah Anda adalah komunikasi. Cobalah melakukan active listening bla bla bla...” Mungkin sang Ummu akan menjawab, “Bagaimana mau berkomunikasi kalau anak tidak ada di rumah dan tidak bisa dikontak?”

Berapa banyak psikolog dan guru yang mengatakan bahwa kunci keluar dari masalah ini tidak lain dan tidak bukan adalah Allah dan pertolonganNya? Yang lebih penting lagi bagi para pendidik, psikolog, ahli parenting: Bagaimanakah memberi nasihat yang akan menyelamatkan diri si pemberi nasihat dan si penerima nasihat di akhirat nanti?

‘Psychology of the Powerless’
Mungkin sudah waktunya sekarang para orangtua, pendidik, psikolog dan para ahli parenting untuk sedikit menurunkan perasaan digdaya kita dan banting setir – dengan menyadari sesungguhnya tiada daya dan upaya kita membentuk dan mendidik anak-anak yang Allah Subhnahahu wa Ta’ala amanahkan kepada kita ini. Bukan kita, guru di sekolah, terapis di klinik dan ahli parenting di berbagai yayasan yang mendidik anak-anak kita.

Lalu siapa? Sang Murabi. Dialah, Subhana wa Ta’ala, yang menjadikan mereka ada, yang menyiapkan dan memberlakukan kurikulum pendidikan anak-anak kita. Kita semua dipersilakan mengambil posisi sebagai khadam pelaksana pendidikan itu.

Allah tidak butuh angka Intelligence Quotient alias IQ bikinan manusia untuk mendidik seseorang. Kalau tidak percaya, coba cek di YouTube dan saksikan beberapa video dari acara musabaqah tilawatil Quran di Dubai pada Juli 2012 untuk berkenalan dengan beberapa bintang tamu seperti Muhammad Hamdi al-Biblawi dan Ahmad Musallam al-Ubaid dari Mesir.

Kedua pria muda ini digolongkan mentally-challenged alias mengalami keterbelakangan mental. Al-Biblawi, misalnya, sudah berusia 33 tahun tapi disebut memiliki ‘kecerdasan’ setara anak usia 4 tahun. Dia tidak bisa menulis atau membaca. Tidak bisa memakai baju sendiri atau menolong dirinya di kamar mandi. Kalau keluar rumah sendiri, bisa dipastikan dia tidak bisa menemukan jalannya pulang. Tetapi al-Biblawi hafal seluruh al-Quran dengan berbagai qira’ah. Dia bisa menemukan gaya bacaan berbagai syeikh quraa’ terkenal di dunia.

Al-Ubaid demikian pula. Dari melihat caranya bicara atau dari air wajahnya, orang seperti kita akan dengan mudah mengatakan ‘idiot’. Tapi al-Ubaid hafal al-Quran dengan sempurna. Sebut saja salah satu ayat al-Quran, maka bukan saja dia hafal ayatnya tapi juga asal surah, nomor ayat dan di mana posisi ayat itu pada lembaran-lembaran mushaf – apakah di kanan, di kiri, tengah atau atas.

Berapa banyak orang ber-IQ tinggi di antara kita yang bisa menghafal Quran seperti ini? Kalau dipikir-pikir, sebenarnya, apa hubungannya daya ingat super duper hebat seperti ini dengan yang disebut IQ atau bahkan ‘kecerdasan’? Di posisi otak yang sebelah manakah Allah berkenan letakkan al-Quran? Belum lama ini, majalah Suara Hidayatullah menurunkan laporan perjalanan para relawan Sahabat al-Aqsha ke Suriah yang menggambarkan perjumpaan mereka dengan seorang pemuda korban keganasan perang yang dilancarkan rezim Bashar al-Assad. Karena cedera otak yang disebabkan peluru, pemuda itu amnesia total – dia tidak ingat siapa namanya, siapa ayah ibunya, dari mana asalnya, apa yang terjadi dengan dirinya sampai dia berada dalam perawatan. Tapi dia ingat Surah al-Fatihah! Subhanallah... Kita tidak tahu – di sebelah mana dari otaknya yang cedera itu Allah simpankan al-Quran..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar