Jangan Marah, Jika tak Mampu Kendalikan Emosi
Bukan orang yang tidak bisa dikalahkan dalam pergulatan yang
disebut orang yang kuat. Tapi yang dapat menahan hatinya di waktu marah
RASULULLAH Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memiliki hutang
pada seorang Badui (masyarakat Arab udik/pedalaman). Saat jatuh tempo,
Badui yang belum berislam itu menemui beliau dan menagihnya dengan
paksa. Melihat sikap Badui yang kasar itu, para sahabat marah, “Celaka
engkau. Apakah engkau tahu dengan siapa engkau berhadapan?”
Namun orang Badui itu bersikeras, “Aku hanya menuntut hakku!” Rasulullah meredam emosi para sahabat dan berkata kepada mereka, “Kalian seharusnya berada di pihak yang benar.”
Rasulullah kemudian memohon kepada Khaulah binti Qais agar meminjamkan beliau beberapa butir kurma. Khaulah memberikannya dan Rasulullah melunasi hutangnya kepada orang Badui itu setelah terlebih dahulu beliau mengajaknya makan.
Orang Badui itu berkata, “Engkau telah melunasi hutangmu. Semoga Tuhan memenuhi hakmu!”
Rasulullah berkomentar, “Orang yang memenuhi hak (orang lain) adalah manusia terbaik. Celakalah suatu kaum yang individu-individunya tidak memenuhi hak-hak orang lemah.”
Orang Badui itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku belum pernah menyaksikan pribadi yang demikian jujur (seperti pribadimu)!” Dikisahkan, setelah menyaksikan keagungan akhlak Rasulullah, orang Badui itu memeluk Islam. Demikian kisah dari Abu Said Al-Khudri.
Jangan Marah, Jika tak Mampu Kendalikan Emosi
Sikap marah yang tak terkendali menandakan ego yang masih dominan. Kalau tidak waspada, ego yang meluap bisa membuat orang gelap mata. Tak peduli lagi posisi hak orang lain, yang dilihat hanya kepentingan diri sendiri. Kemarahan membuat seseorang tak bisa lagi berpikir jernih.
Kemarahan juga bisa mengemuka dalam bentuk yang lain, yaitu tersulutnya fanatisme golongan. Pada kasus di atas, bila saja sikap Badui itu disikapi tidak bijak, bisa saja para sahabat terpancing marah membabi buta membela pemimpinnya. Tak lagi peduli benar atau salah. Keadaan semakin runyam, jika beliau tidak segera menjernihkan.
Kadang seseorang atas nama kepentingan rakyat, kemarahan massa dikobarkan. Padahal sebenarnya urusan pribadi dirinya saja yang terancam. Berbagai bentrok antar pendukung di Pilkada misalnya, seringkali karena kepentingan ego yang sudah tak terkendali. Pada saat suasana mudah panas begini, ada baiknya kita merenungkan pentingnya pesan Rasulullah berikut ini.
Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah , kemudian berkata: “Ya Rasulullah, berilah saya perintah untuk mengerjakan suatu amalan yang baik, tetapi saya harap yang sedikit saja.” Rasulullah lalu bersabda: “Jangan marah!”
Orang ini meminta supaya diulangi, barangkali ada lanjutannya. Tetapi beliau tetap menyuruh satu macam itu saja yaitu: “Jangan marah!”(Riwayat Bukhari)
Apakah kita tidak boleh marah sama sekali? Sebenarnya jika masalahnya prinsip, marah boleh dilakukan, asalkan dapat mengendalikan emosi. Rasulullah juga marah bila masalah prinsip ajaran Islam dilecehkan. Tetapi beliau tetap terkendali emosinya, sehingga dapat menyampaikan pesan dengan efektif. Namun jika sulit mengendalikan emosi, maka yang terbaik adalah jangan marah.
Pada kasus di atas benarkah Badui tak lagi marah-marah setelah Rasulullah bersikap bijak? Saat sikap kasar itu direspon dengan cara baik, maka keadaan yang sempit jadi lapang. Hati yang semula sempit pada akhirnya tercerahkan. Dari dirinya muncul pengakuan jujur. Bahkan kesadarannya terbuka sehingga ia berislam. Dengan akhlakul karimah, seringkali orang-orang yang memusuhi Rasulullah justru berubah tercerahkan menjadi para sahabatnya yang setia.
Program Pengendalian Emosi
Meski pada kenyataannya mengendalikan emosi itu sangat penting, belum banyak orang yang mau bersungguh-sungguh melatihnya. Kebanyakan orang lebih mementingkan melatih fisik bagaimana lebih bugar dan kuat, lebih lentur dan lincah.
Aspek fisik maupun intelektual memang harus diasah karena keduanya sangat penting. Tapi aspek emosi juga harus mendapat perhatian. Bahkan menurut para ahli, kesuksesan hidup seseorang 88% ditentukan aspek emosi. Jauh lebih menentukan daripada aspek intelektual yang menyumbangkan 12% saja. Sekali pun jenius, ketidakmampuan seseorang mengendalikan emosi, mengakibatkan kemampuan intelektualnya tak berfungsi optimal.
“Siapakah yang kamu anggap sebagai orang yang kuat bergulat?” tanya Rasululah . Kita (para sahabat) menjawab: “Yaitu orang yang tidak dikalahkan oleh orang lain dalam pergulatannya.” Beliau kemudian bersabda lagi: “Bukan itu, yang disebut orang yang kuat ialah yang dapat menahan hatinya di waktu marah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Kita dapat meningkatkan ketrampilan pengendalian emosi dengan menanamkan program ke bawah sadar kita. Caranya dengan mengimajinasikan secara mental suasana yang memancing kemarahan. Bayangkan sambil memejamkan mata bagaimana seorang berlaku kasar kepada Anda. Lihat wajahnya dan dengarkan kata-kata kerasnya.
Rasakan reaksi emosi Anda naik. Saat demikian tata dan format hati dengan berpasrah diri kepada Allah. Sadari bahwa tidak ada kejadian yang kebetulan, semua sudah dikehendaki Allah. Dan apa pun sikap serta tindakan kita dinilai oleh-Nya. Bisikkan dari hati. “Ya Allah, saya pasrah pada-Mu. Tolonglah hamba Ya Allah. Jangan serahkan diri ini pada hawa nafsu. Tuntun hamba Ya Allah. Tunjuki jalan-Mu yang lurus.”
Ulang-ulanglah dengan khusyu sampai tensi emosi mereda. Saat emosi menurun, bayangkan Anda melakukan sikap yang bijak seperti Rasulullah . Gambarkan dalam benak hati bagaimana Anda ditolong Allah mampu bersikap terkendali dan bahkan merespon kekasaran itu dengan kebaikan. Akhirilah latihan mental di atas dengan rasa syukur, Alhamdulillah.
Kalau ini dilakukan dengan sepenuh hati, insya Allah latihan mental ini terserap menjadi program baru di bawah sadar kita. Saat menghadapi suasana yang memancing emosi, secara mental akan lebih siap bersikap tenang. Jika emosi masih bergolak, ambil napas dalam-dalam dan istighfarlah, Astaghfirullah al-‘Azhim (aku mohon ampoun kepada Allah Yang Maha Agung). Ambillah air wudhu. Emosi yang panas tentu akan mendingin. Saat demikian pikiran akan melihat persoalan lebih jernih. Hati juga bisa merasakan bisikan nurani lebih baik. Dengan keadaan yang seperti itu sampaikan pesan Anda. Kata-kata kita tentu akan lebih terarah dan mengandung hikmah. Tindakan kita juga bisa lebih tepat dan bijak.
Sungguh tak ada ruginya menahan emosi marah. Di samping berbagai hikmah dan keutamaan di atas, Allah juga memberikan janji yang lebih besar di akhirat kelak. “Barangsiapa menahan kemarahannya, maka Allah akan menahan siksa-Nya kepada orang itu.” (Riwayat Thabrabi dan Baihaqi). Wallahu ‘alam bish shawab.*/Hanif Hanan, dari al Qalam
ADA banyak sekali akhlak mulia yang dianjurkan oleh Islam.
Sedemikian kental warna akhlak mulia ini dalam Islam sampai-sampai
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan
akhlak-akhlak yang baik – dalam riwayat lain: yang mulia.” (Hadits
shahih, riwayat Ahmad dan al-Hakim, dari Abu Hurairah).
Karena macam akhlak mulia yang sangat banyak, maka simpul dan pengikat pun menjadi sangat penting, agar tidak lepas dan tercecer. Salah satu simpul pengikatnya disebut dengan Muru’ah. Apakah itu?
Menurut Mausu’ah Fiqh al-Qulub, Muru’ah adalah: “Mengerjakan segenap akhlak baik dan menjauhi segenap akhlak buruk; menerapkan semua hal yang akan menghiasi dan memperindah kepribadian, serta meninggalkan semua yang akan mengotori dan menodainya.”
Definisi ini mengisyaratkan bahwa semua akhlak mulia bisa tertampung di dalamnya, sehingga cakupan Muru’ah pun menjadi sangat luas. Sebagai ilustrasi, Imam Abu Bakr al-Khara’ithiy (w. 327 H) telah menyusun karya berjudul Makarimul Akhlaq (akhlak-akhlak mulia), yang terdiri dari 3 juz dan memuat 1.041 riwayat. Untuk tema sebaliknya, beliau menyusun kitab berjudul Masawi’ul Akhlaq (akhlak-akhlak buruk) setebal 5 juz kecil dan mengandung 872 riwayat.
Sebenarnya, ada beragam pandangan dalam masalah muru’ah ini. Para pakar hadits, fikih, bahasa, dan sastrawan memiliki uraian tersendiri menurut sudut pandang masing-masing. Meskipun demikian, umumnya mereka bersepakat bahwa inti Muru’ah adalah akhlak mulia.
Hanya saja, karena luasnya cakupan, sebagian ulama’ kemudian meneliti akhlak mana saja yang menjadi pilar tegaknya muru’ah ini. Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata: saya mendengar Imam asy-Syafi’i berkata, “muru’ah itu mempunyai empat pilar, yaitu berakhlak baik, dermawan, rendah hati, dan tekun beribadah.” (Sunan al-Baihaqi, no. 21333).
Bila kita renungkan, ternyata keempat pilar tersebut menopang banyak sekali akhlak-akhlak mulia yang lain, sekaligus menyingkirkan akhlak-akhlak buruk.
Pertama-tama, jelas kunci Muru’ah adalah memiliki tindak-tanduk dan kebiasaan yang baik. Tanpanya seseorang tidak pantas menyandang sifat muru’ah, sebab seluruh bagian yang lain akan kehilangan induk.
Sebab, kebaikan dan keburukan itu selalu menarik akhlak sejenisnya untuk datang, sebagaimana dikatakan ‘Urwah bin az-Zubair (ulama’ Tabi’in), “Bila engkau melihat seseorang melakukan kebaikan, ketahuilah bahwa kebaikan itu memiliki saudara-saudara pada diri orang tersebut. Bila engkau melihat seseorang melakukan keburukan, ketahuilah bahwa keburukan itu mempunyai saudara-saudara pada diri orang tersebut. Karena sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan saudaranya, dan demikian pula keburukan itu menunjukkan saudaranya." (Riwayat Abu Nu’aim dalam al-Hilyah).
Pilar kedua, yaitu kedermawanan, sesungguhnya merupakan refleksi dari itsar (mengutamakan orang lain), futuwwah (murah hati), tidak cinta dunia, saling menolong dalam kebajikan dan takwa, mendatangkan kegembiraan kepada sesama, dsb. Menurut al-Qur’an, manusia sebenarnya cenderung enggan melepaskan haknya kepada orang lain, pelit, dan lebih senang jika diberi. Allah berfirman, “Dan manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir.” (QS. An-Nisa': 128).
Maka, kedermawanan adalah tindakan melawan nafsu-nafsu serakah, egois, cinta dunia, dsb. Allah menyanjung orang-orang yang bisa melawan kecenderungan negatif tersebut dalam QS. Al-Hasyr: 9, ketika mengisahkan kedermawanan kaum Anshar kepada kaum Muhajirin. Senada dengan ini Allah berfirman pula dalam QS. at-Taghabun: 16.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْراً لِّأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk (kemanfaatan) dirimu (di dunia dan akhirat). Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Untuk pilar muru’ah yang ketiga, yaitu rendah hati (tawadhu’), kita bisa memahami betapa hebatnya akhlak ini dengan merenungkan kisah Adam, Malaikat, dan Iblis sebagaimana disitir al-Qur’an.
Sungguh, kesombonganlah yang membuat Iblis menolak bersujud kepada Adam. Ia merasa lebih baik dan lebih mulia, sehingga tidak mau menghormati Adam. Allah pun murka kepada Iblis, melaknatnya, dan mengusirnya dari surga. Sebaliknya, dengan rendah hati para malaikat serta-merta bersujud. Qatadah berkata, “Iblis iri kepada Adam atas kemuliaan yang Allah berikan kepada Adam. Dia berkata: ‘Aku tercipta dari api, sedangkan dia ini dari tanah.’ Maka, awal mula dosa-dosa adalah kesombongan. Musuh Allah itu merasa dirinya lebih hebat sehingga tidak mau bersujud kepada Adam.” (Riwayat as-Suyuthi dalam Tafsir ad-Durrul Mantsur, pada QS. al-Baqarah: 34).
Dengan kata lain, ketawadhu’an akan menyemai amal-amal shalih, sebagaimana kesombongan pasti membuahkan aneka dosa dan maksiat. Di balik ketawadhu’an seseorang, ketika sikapnya ini benar-benar tulus dan bukan topeng palsu, sebenarnya bersemayam banyak akhlak dan adab yang lain, seperti muhasabah (introspeksi diri), gemar berlomba dalam kebaikan, tidak mencari-cari aib orang lain, menghormati orang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dsb.
Pilar terakhir Muru’ah adalah tekun beribadah. Bagian ini menyiratkan dua hal sekaligus.
Pertama, tidak ada keshalihan hakiki yang tidak disertai dengan kedekatan kepada Allah, apalagi yang tanpa iman. Walaupun seseorang telah menyempurnakan 3 pilar muru’ah yang lain, jika dia malas beribadah, maka kebaikan-kebaikannya rawan tercemari oleh motif-motif yang salah, sehingga sia-sia. Dengan ibadahlah maka hati seseorang akan lebih terjaga.
Kedua, ibadah akan mewariskan keteguhan hati dan kesabaran, sehingga mendatangkan istiqamah. Dengan istiqamah diatas kebaikan, maka kehormatan seseorang terjaga, dan inilah puncak muru’ah. Wallahu a’lam.
Namun orang Badui itu bersikeras, “Aku hanya menuntut hakku!” Rasulullah meredam emosi para sahabat dan berkata kepada mereka, “Kalian seharusnya berada di pihak yang benar.”
Rasulullah kemudian memohon kepada Khaulah binti Qais agar meminjamkan beliau beberapa butir kurma. Khaulah memberikannya dan Rasulullah melunasi hutangnya kepada orang Badui itu setelah terlebih dahulu beliau mengajaknya makan.
Orang Badui itu berkata, “Engkau telah melunasi hutangmu. Semoga Tuhan memenuhi hakmu!”
Rasulullah berkomentar, “Orang yang memenuhi hak (orang lain) adalah manusia terbaik. Celakalah suatu kaum yang individu-individunya tidak memenuhi hak-hak orang lemah.”
Orang Badui itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku belum pernah menyaksikan pribadi yang demikian jujur (seperti pribadimu)!” Dikisahkan, setelah menyaksikan keagungan akhlak Rasulullah, orang Badui itu memeluk Islam. Demikian kisah dari Abu Said Al-Khudri.
Jangan Marah, Jika tak Mampu Kendalikan Emosi
Sikap marah yang tak terkendali menandakan ego yang masih dominan. Kalau tidak waspada, ego yang meluap bisa membuat orang gelap mata. Tak peduli lagi posisi hak orang lain, yang dilihat hanya kepentingan diri sendiri. Kemarahan membuat seseorang tak bisa lagi berpikir jernih.
Kemarahan juga bisa mengemuka dalam bentuk yang lain, yaitu tersulutnya fanatisme golongan. Pada kasus di atas, bila saja sikap Badui itu disikapi tidak bijak, bisa saja para sahabat terpancing marah membabi buta membela pemimpinnya. Tak lagi peduli benar atau salah. Keadaan semakin runyam, jika beliau tidak segera menjernihkan.
Kadang seseorang atas nama kepentingan rakyat, kemarahan massa dikobarkan. Padahal sebenarnya urusan pribadi dirinya saja yang terancam. Berbagai bentrok antar pendukung di Pilkada misalnya, seringkali karena kepentingan ego yang sudah tak terkendali. Pada saat suasana mudah panas begini, ada baiknya kita merenungkan pentingnya pesan Rasulullah berikut ini.
Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah , kemudian berkata: “Ya Rasulullah, berilah saya perintah untuk mengerjakan suatu amalan yang baik, tetapi saya harap yang sedikit saja.” Rasulullah lalu bersabda: “Jangan marah!”
Orang ini meminta supaya diulangi, barangkali ada lanjutannya. Tetapi beliau tetap menyuruh satu macam itu saja yaitu: “Jangan marah!”(Riwayat Bukhari)
Apakah kita tidak boleh marah sama sekali? Sebenarnya jika masalahnya prinsip, marah boleh dilakukan, asalkan dapat mengendalikan emosi. Rasulullah juga marah bila masalah prinsip ajaran Islam dilecehkan. Tetapi beliau tetap terkendali emosinya, sehingga dapat menyampaikan pesan dengan efektif. Namun jika sulit mengendalikan emosi, maka yang terbaik adalah jangan marah.
Pada kasus di atas benarkah Badui tak lagi marah-marah setelah Rasulullah bersikap bijak? Saat sikap kasar itu direspon dengan cara baik, maka keadaan yang sempit jadi lapang. Hati yang semula sempit pada akhirnya tercerahkan. Dari dirinya muncul pengakuan jujur. Bahkan kesadarannya terbuka sehingga ia berislam. Dengan akhlakul karimah, seringkali orang-orang yang memusuhi Rasulullah justru berubah tercerahkan menjadi para sahabatnya yang setia.
Program Pengendalian Emosi
Meski pada kenyataannya mengendalikan emosi itu sangat penting, belum banyak orang yang mau bersungguh-sungguh melatihnya. Kebanyakan orang lebih mementingkan melatih fisik bagaimana lebih bugar dan kuat, lebih lentur dan lincah.
Aspek fisik maupun intelektual memang harus diasah karena keduanya sangat penting. Tapi aspek emosi juga harus mendapat perhatian. Bahkan menurut para ahli, kesuksesan hidup seseorang 88% ditentukan aspek emosi. Jauh lebih menentukan daripada aspek intelektual yang menyumbangkan 12% saja. Sekali pun jenius, ketidakmampuan seseorang mengendalikan emosi, mengakibatkan kemampuan intelektualnya tak berfungsi optimal.
“Siapakah yang kamu anggap sebagai orang yang kuat bergulat?” tanya Rasululah . Kita (para sahabat) menjawab: “Yaitu orang yang tidak dikalahkan oleh orang lain dalam pergulatannya.” Beliau kemudian bersabda lagi: “Bukan itu, yang disebut orang yang kuat ialah yang dapat menahan hatinya di waktu marah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Kita dapat meningkatkan ketrampilan pengendalian emosi dengan menanamkan program ke bawah sadar kita. Caranya dengan mengimajinasikan secara mental suasana yang memancing kemarahan. Bayangkan sambil memejamkan mata bagaimana seorang berlaku kasar kepada Anda. Lihat wajahnya dan dengarkan kata-kata kerasnya.
Rasakan reaksi emosi Anda naik. Saat demikian tata dan format hati dengan berpasrah diri kepada Allah. Sadari bahwa tidak ada kejadian yang kebetulan, semua sudah dikehendaki Allah. Dan apa pun sikap serta tindakan kita dinilai oleh-Nya. Bisikkan dari hati. “Ya Allah, saya pasrah pada-Mu. Tolonglah hamba Ya Allah. Jangan serahkan diri ini pada hawa nafsu. Tuntun hamba Ya Allah. Tunjuki jalan-Mu yang lurus.”
Ulang-ulanglah dengan khusyu sampai tensi emosi mereda. Saat emosi menurun, bayangkan Anda melakukan sikap yang bijak seperti Rasulullah . Gambarkan dalam benak hati bagaimana Anda ditolong Allah mampu bersikap terkendali dan bahkan merespon kekasaran itu dengan kebaikan. Akhirilah latihan mental di atas dengan rasa syukur, Alhamdulillah.
Kalau ini dilakukan dengan sepenuh hati, insya Allah latihan mental ini terserap menjadi program baru di bawah sadar kita. Saat menghadapi suasana yang memancing emosi, secara mental akan lebih siap bersikap tenang. Jika emosi masih bergolak, ambil napas dalam-dalam dan istighfarlah, Astaghfirullah al-‘Azhim (aku mohon ampoun kepada Allah Yang Maha Agung). Ambillah air wudhu. Emosi yang panas tentu akan mendingin. Saat demikian pikiran akan melihat persoalan lebih jernih. Hati juga bisa merasakan bisikan nurani lebih baik. Dengan keadaan yang seperti itu sampaikan pesan Anda. Kata-kata kita tentu akan lebih terarah dan mengandung hikmah. Tindakan kita juga bisa lebih tepat dan bijak.
Sungguh tak ada ruginya menahan emosi marah. Di samping berbagai hikmah dan keutamaan di atas, Allah juga memberikan janji yang lebih besar di akhirat kelak. “Barangsiapa menahan kemarahannya, maka Allah akan menahan siksa-Nya kepada orang itu.” (Riwayat Thabrabi dan Baihaqi). Wallahu ‘alam bish shawab.*/Hanif Hanan, dari al Qalam
Kenalilah Muru’ah dan Pilar-pilarnya
Ibadah akan mewariskan keteguhan hati dan kesabaran, sehingga
mendatangkan istiqamah. Dengan istiqamah diatas kebaikan, maka
kehormatan seseorang terjaga
Karena macam akhlak mulia yang sangat banyak, maka simpul dan pengikat pun menjadi sangat penting, agar tidak lepas dan tercecer. Salah satu simpul pengikatnya disebut dengan Muru’ah. Apakah itu?
Menurut Mausu’ah Fiqh al-Qulub, Muru’ah adalah: “Mengerjakan segenap akhlak baik dan menjauhi segenap akhlak buruk; menerapkan semua hal yang akan menghiasi dan memperindah kepribadian, serta meninggalkan semua yang akan mengotori dan menodainya.”
Definisi ini mengisyaratkan bahwa semua akhlak mulia bisa tertampung di dalamnya, sehingga cakupan Muru’ah pun menjadi sangat luas. Sebagai ilustrasi, Imam Abu Bakr al-Khara’ithiy (w. 327 H) telah menyusun karya berjudul Makarimul Akhlaq (akhlak-akhlak mulia), yang terdiri dari 3 juz dan memuat 1.041 riwayat. Untuk tema sebaliknya, beliau menyusun kitab berjudul Masawi’ul Akhlaq (akhlak-akhlak buruk) setebal 5 juz kecil dan mengandung 872 riwayat.
Sebenarnya, ada beragam pandangan dalam masalah muru’ah ini. Para pakar hadits, fikih, bahasa, dan sastrawan memiliki uraian tersendiri menurut sudut pandang masing-masing. Meskipun demikian, umumnya mereka bersepakat bahwa inti Muru’ah adalah akhlak mulia.
Hanya saja, karena luasnya cakupan, sebagian ulama’ kemudian meneliti akhlak mana saja yang menjadi pilar tegaknya muru’ah ini. Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata: saya mendengar Imam asy-Syafi’i berkata, “muru’ah itu mempunyai empat pilar, yaitu berakhlak baik, dermawan, rendah hati, dan tekun beribadah.” (Sunan al-Baihaqi, no. 21333).
Bila kita renungkan, ternyata keempat pilar tersebut menopang banyak sekali akhlak-akhlak mulia yang lain, sekaligus menyingkirkan akhlak-akhlak buruk.
Pertama-tama, jelas kunci Muru’ah adalah memiliki tindak-tanduk dan kebiasaan yang baik. Tanpanya seseorang tidak pantas menyandang sifat muru’ah, sebab seluruh bagian yang lain akan kehilangan induk.
Sebab, kebaikan dan keburukan itu selalu menarik akhlak sejenisnya untuk datang, sebagaimana dikatakan ‘Urwah bin az-Zubair (ulama’ Tabi’in), “Bila engkau melihat seseorang melakukan kebaikan, ketahuilah bahwa kebaikan itu memiliki saudara-saudara pada diri orang tersebut. Bila engkau melihat seseorang melakukan keburukan, ketahuilah bahwa keburukan itu mempunyai saudara-saudara pada diri orang tersebut. Karena sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan saudaranya, dan demikian pula keburukan itu menunjukkan saudaranya." (Riwayat Abu Nu’aim dalam al-Hilyah).
Pilar kedua, yaitu kedermawanan, sesungguhnya merupakan refleksi dari itsar (mengutamakan orang lain), futuwwah (murah hati), tidak cinta dunia, saling menolong dalam kebajikan dan takwa, mendatangkan kegembiraan kepada sesama, dsb. Menurut al-Qur’an, manusia sebenarnya cenderung enggan melepaskan haknya kepada orang lain, pelit, dan lebih senang jika diberi. Allah berfirman, “Dan manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir.” (QS. An-Nisa': 128).
Maka, kedermawanan adalah tindakan melawan nafsu-nafsu serakah, egois, cinta dunia, dsb. Allah menyanjung orang-orang yang bisa melawan kecenderungan negatif tersebut dalam QS. Al-Hasyr: 9, ketika mengisahkan kedermawanan kaum Anshar kepada kaum Muhajirin. Senada dengan ini Allah berfirman pula dalam QS. at-Taghabun: 16.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْراً لِّأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk (kemanfaatan) dirimu (di dunia dan akhirat). Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Untuk pilar muru’ah yang ketiga, yaitu rendah hati (tawadhu’), kita bisa memahami betapa hebatnya akhlak ini dengan merenungkan kisah Adam, Malaikat, dan Iblis sebagaimana disitir al-Qur’an.
Sungguh, kesombonganlah yang membuat Iblis menolak bersujud kepada Adam. Ia merasa lebih baik dan lebih mulia, sehingga tidak mau menghormati Adam. Allah pun murka kepada Iblis, melaknatnya, dan mengusirnya dari surga. Sebaliknya, dengan rendah hati para malaikat serta-merta bersujud. Qatadah berkata, “Iblis iri kepada Adam atas kemuliaan yang Allah berikan kepada Adam. Dia berkata: ‘Aku tercipta dari api, sedangkan dia ini dari tanah.’ Maka, awal mula dosa-dosa adalah kesombongan. Musuh Allah itu merasa dirinya lebih hebat sehingga tidak mau bersujud kepada Adam.” (Riwayat as-Suyuthi dalam Tafsir ad-Durrul Mantsur, pada QS. al-Baqarah: 34).
Dengan kata lain, ketawadhu’an akan menyemai amal-amal shalih, sebagaimana kesombongan pasti membuahkan aneka dosa dan maksiat. Di balik ketawadhu’an seseorang, ketika sikapnya ini benar-benar tulus dan bukan topeng palsu, sebenarnya bersemayam banyak akhlak dan adab yang lain, seperti muhasabah (introspeksi diri), gemar berlomba dalam kebaikan, tidak mencari-cari aib orang lain, menghormati orang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dsb.
Pilar terakhir Muru’ah adalah tekun beribadah. Bagian ini menyiratkan dua hal sekaligus.
Pertama, tidak ada keshalihan hakiki yang tidak disertai dengan kedekatan kepada Allah, apalagi yang tanpa iman. Walaupun seseorang telah menyempurnakan 3 pilar muru’ah yang lain, jika dia malas beribadah, maka kebaikan-kebaikannya rawan tercemari oleh motif-motif yang salah, sehingga sia-sia. Dengan ibadahlah maka hati seseorang akan lebih terjaga.
Kedua, ibadah akan mewariskan keteguhan hati dan kesabaran, sehingga mendatangkan istiqamah. Dengan istiqamah diatas kebaikan, maka kehormatan seseorang terjaga, dan inilah puncak muru’ah. Wallahu a’lam.
Jika Nafas Masih Ada, Tanda Masih Terbuka Kesempatan Bertaubat
15 efek buruk dari maksiat, di antaranya: murka Allah, kebencian
orang mukmin, penghalang datangnya rezeki, penghalang memperoleh ilmu,
cobaan yang berat
وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً
“Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.”
[QS: Al-Furqan, 25: 71]
SESUNGGUHNYA tidak ada yang setengah-setengah dalam agama, semua yang haq dan bathil telah dijelaskan secara rinci dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Karena itu, jika manusia ingin melaksanakan syari’at agama hendaknya bersikap total, sepenuhnya diamalkan.
Masalahnya, ajakan dan perintah yang cukup jelas itu kadang menjadikan makhluk yang bernama manusia tidak sempat untuk menangkap hikmah dan manfaat kini. Orang menjadi serius dengan kesibukan tertentu, dan lalai dalam melaksanakan ajakan dan perintah itu.
Di sisi lain, agama ini memberikan ‘rambu-rambu’ kehidupan yang jelas, dan larangan adalah garis yang tidak dapat diterjang oleh siapapun. Tanpa terkecuali. Betapa Islam tidak memberikan perlakuan yang bersifat ‘pilih kasih’ dalam soal tatanan dan aturan hidup.
Sering kali ungkapan yang diajukan adalah karena saya manusia, tempat lupa dan salah. Ada lagi yang menganggap mumpung masih muda, dipuas-puaskan. Yang lain lagi mengatakan bahwa saya ini sudah terlanjur banyak berbuat maksiat. Mungkin masih banyak yang ingin menunjukkan mengapa tidak segera keluar untuk menemukan jalan baru, taubat. Semakin dicari alasan semakin tidak akan pernah terjadi pertaubatan. Dan menuruti hawa nafsu tidak akan pernah ada ujungnya.
Salah dan Dosa
Menurut pandangan Islam, dosa dibagi dua; dosa besar dan dosa kecil. Allah berfirman:
إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه نكفّر عنكم سيّئاتكم وندخلكم مدخلا كريما
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS:An-Nisa’, 4: 31)
Dalam ayat lain disebutkan:
الذين يجتنبون كبائر الإثم والفواحش إلا اللّمم إنّ ربّك واسع المغفرة
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha luas ampunanNya.” (QS: An-Najm, 53: 32)
Perbuatan dosa, baik besar maupun kecil, merupakan sebab utama kesengsaraan manusia. Dosa itu berdampak negatif pada diri pelakunya; keresahan, keterpurukan, bahaya kesehatan, akal, dan pekerjaan. Dampak lain berupa menghilangnya rasa persatuan, keguncangan maupun keributan pada masyarakat.
Hanya para Nabi dan Rasul saja yang terjaga (ma’shum). Tidak ada satu dosapun yang dilakukan oleh mereka alaihissalam. Allah Ta’ala memberikan perlakuan khusus kepada hamba-hamba-Nya itu. Jika terdapat di antara kita yang mengaku bebas dari kesalahan, sok suci, bebas dari setitik salah, tentu bukanlah pengakuan, mungkin lebih dekat kepada canda atau mengingatkan kita dengan logika terbalik. Artinya, sadar atau tidak, ya kita pernah berbuah salah.
Terdapat sebuah analogi bahwa salah itu seperti kotoran. Tergantung pada kecerdasan orang untuk dapat mengelolanya. Jika orang mampu menjadikan kesalahan untuk mendekat kepada Allah Ta’ala, untuk bertaubat kepada-Nya, maka kesalahan itu sebenarnya bukan kesalahan melainkan itu bentuk saluran rahmat dari Allah.
Rasulullah Muhammad pernah bersabda “Setiap anak manusia pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang mau bertaubat.” Hadits inilah yang dijadikan landasan untuk menyadari adanya kebaikan dari setiap keburukan, sehingga orang yang berbuat salah tidak berlama-lama menikmati kemaksiatan yang membawa kehancuran.
Argumen Itu
Selalu orang bertanya tentang alasan dalam mengerjakan sesuatu, atau paling tidak orang berpikir tentang maksud ataupun tujuan melakukan hal yang diperintahkan. Tidak ada suatu perintah yang tidak dapat dilakukan oleh makhluk. Semua perintah yang Allah Ta’ala tetapkan merupakan indikator adanya kemampuan makhluk untuk mengerjakannya. Pun bila terdapat larangan-Nya, sebenarnya tidak seorangpun yang tidak dapat meninggalkannya. Betapa larangan itu lebih dekat kepada hawa nafsu yang mendominasi pribadi seseorang, sehingga larangan pun diterjang.
Panggilan bertaubat sering dikumandangkan, hanya soal indera pendengaran saja yang bermasalah. Mendengar tetapi tidak fokus pada inti yang disampaikan. Mungkin bisa saja mendengar, tetapi menerima panggilan tersebut adalah soal lain.
Jika nafas masih ada, itu tandanya masih terbuka kesempatan untuk bertaubat. Jika ada yang merasa kotor, terlanjur banyak maksiat dan dosa, itu tandanya diperintahkan untuk membersihkan diri, bertaubat. Jika orang sudah tahu dirinya kotor, berlumur lumpur, lantas ‘mandi’, lalu menceburkan diri dalam kubangan lumpur, itu berarti “nekad”. Orang yang berbuat dosa dan maksiat, sudah bertaubat, lalu menjerumuskan diri lagi, ini berarti belum menyadari dan sadar diri yang sesungguhnya.
Pertanyaanya, “mengapa harus bertaubat?”.
Adalah awal yang baik bagi orang yang sadar akan maksiat dan bahayanya. Kesadaran untuk menjawab pertanyaan tersebut menjadi tonggak penting dalam perubahan seseorang yang ‘biasa’ berlaku maksiat untuk berubah dan menjadi ‘diri’ yang baru.
Amru Khalid, dalam Hatta Yughayyiru ma bi Anfusihim, menyebutkan 15 efek buruk dari maksiat, di antaranya: murka Allah, kebencian orang mukmin, penghalang datangnya rezeki, penghalang memperoleh ilmu, cobaan yang berat, merasa terasing dari Allah, merasa terasing dari lingkungan, hati yang gelap dan raut muka yang suram, terhalang melakukan ketaatan, hasrat untuk mengerjakan kemaksiatan lain, kehinaan di sisi Allah, kehinaan di dalam hati, melemahkan akal, petaka akibat maksiat, dan mulut pelaku maksiat akan berkhianat pada dirinya.
Argumen yang sahih ditemukan oleh para pelaku maksiat adalah dalam firman Allah:
إنّما التوبة على الله للّذين يعملون السّوء بجهالة ثم يتوبون من قريب فأولئك يتوب الله عليهم وكان الله عليما حكيما
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’, 4: 17).
Pada ayat di atas, yang dimaksud mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan adalah: 1. orang yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu; 2. orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak; 3. orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau Karena dorongan hawa nafsu.
Saatnya Kembali
Dalam Al-Khathaya fi Nadzril Islam disebutkan bahwa taubat mencakup tiga syarat: (a) meninggalkan perbuatan dosa; (b) menyesali perbuatannya; (c) bertekad tidak akan melakukannya kembali. Salah satu unsur penting dalam taubat adalah adanya rasa penyesalan. Rasa penyesalan ini mempunyai pengaruh besar dalam merubah sikap seseorang dari keadaan jelek menjadi baik.
Manusia lahir dalam keadaan suci, fitrah. Jika manusia mengotori fitrahnya itu lantaran hawa nafsu yang menguasai dirinya, hingga orang lalai, salah, berbuat dosa atau maksiat, maka kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka dan selalu dibuka untuk siapa saja yang mau kembali, kembali ke jalan yang benar. Selama hayat masih dikandung badan, bertaubat masih diterima. Namun bila orang menunda-nunda, mengulur waktu, tidak mau bersegera untuk bertaubat, maka suatu saat nyawa akan meregang dari raga tanpa warning, dan datangnyapun tiba-tiba.
Jika panggilan taubat tidak lagi dihiraukan, waspadalah bahwa Malaikat Izrail bisa kapan saja dan dimana saja mencabut nyawa, tentunya Izrail bertindak setelah adanya instruksi Sang Khaliq. Maka waspadalah terhadap mati su’ul khatimah (akhir yang buruk).
Upaya untuk kembali ke jalan yang lurus hendaknya diupayakan semaksimal mungkin. Perjuangan untuk taubat ini mengandung nilai yang positif bagi perbaikan pribadi dan bukti penghambaan kepada Yang Maha Pengampun. Jika orang yang bertaubat sudah kembali ke dalam naungan cahaya ilahi, ia pantang kembali kepada kemaksiatan. Maka diperlukan cara jitu untuk menepis keinginan untuk bermaksiat, yaitu (i) bergaul dengan orang saleh; (ii) membiasakan diri beramal saleh. Di sinilah pentingnya lingkungan yang baik, yang mendukung berseminya kemaslahatan dan perbaikan serta kebermaknaan hidup di bawah ridha Allah Ta’ala.*/Moh. In’ami, peneliti pada Lembaga Kajian Agama Sosial Budaya & Filsafat "eLKASYF" Kudus
“Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.”
[QS: Al-Furqan, 25: 71]
SESUNGGUHNYA tidak ada yang setengah-setengah dalam agama, semua yang haq dan bathil telah dijelaskan secara rinci dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Karena itu, jika manusia ingin melaksanakan syari’at agama hendaknya bersikap total, sepenuhnya diamalkan.
Masalahnya, ajakan dan perintah yang cukup jelas itu kadang menjadikan makhluk yang bernama manusia tidak sempat untuk menangkap hikmah dan manfaat kini. Orang menjadi serius dengan kesibukan tertentu, dan lalai dalam melaksanakan ajakan dan perintah itu.
Di sisi lain, agama ini memberikan ‘rambu-rambu’ kehidupan yang jelas, dan larangan adalah garis yang tidak dapat diterjang oleh siapapun. Tanpa terkecuali. Betapa Islam tidak memberikan perlakuan yang bersifat ‘pilih kasih’ dalam soal tatanan dan aturan hidup.
Sering kali ungkapan yang diajukan adalah karena saya manusia, tempat lupa dan salah. Ada lagi yang menganggap mumpung masih muda, dipuas-puaskan. Yang lain lagi mengatakan bahwa saya ini sudah terlanjur banyak berbuat maksiat. Mungkin masih banyak yang ingin menunjukkan mengapa tidak segera keluar untuk menemukan jalan baru, taubat. Semakin dicari alasan semakin tidak akan pernah terjadi pertaubatan. Dan menuruti hawa nafsu tidak akan pernah ada ujungnya.
Salah dan Dosa
Menurut pandangan Islam, dosa dibagi dua; dosa besar dan dosa kecil. Allah berfirman:
إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه نكفّر عنكم سيّئاتكم وندخلكم مدخلا كريما
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS:An-Nisa’, 4: 31)
Dalam ayat lain disebutkan:
الذين يجتنبون كبائر الإثم والفواحش إلا اللّمم إنّ ربّك واسع المغفرة
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha luas ampunanNya.” (QS: An-Najm, 53: 32)
Perbuatan dosa, baik besar maupun kecil, merupakan sebab utama kesengsaraan manusia. Dosa itu berdampak negatif pada diri pelakunya; keresahan, keterpurukan, bahaya kesehatan, akal, dan pekerjaan. Dampak lain berupa menghilangnya rasa persatuan, keguncangan maupun keributan pada masyarakat.
Hanya para Nabi dan Rasul saja yang terjaga (ma’shum). Tidak ada satu dosapun yang dilakukan oleh mereka alaihissalam. Allah Ta’ala memberikan perlakuan khusus kepada hamba-hamba-Nya itu. Jika terdapat di antara kita yang mengaku bebas dari kesalahan, sok suci, bebas dari setitik salah, tentu bukanlah pengakuan, mungkin lebih dekat kepada canda atau mengingatkan kita dengan logika terbalik. Artinya, sadar atau tidak, ya kita pernah berbuah salah.
Terdapat sebuah analogi bahwa salah itu seperti kotoran. Tergantung pada kecerdasan orang untuk dapat mengelolanya. Jika orang mampu menjadikan kesalahan untuk mendekat kepada Allah Ta’ala, untuk bertaubat kepada-Nya, maka kesalahan itu sebenarnya bukan kesalahan melainkan itu bentuk saluran rahmat dari Allah.
Rasulullah Muhammad pernah bersabda “Setiap anak manusia pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang mau bertaubat.” Hadits inilah yang dijadikan landasan untuk menyadari adanya kebaikan dari setiap keburukan, sehingga orang yang berbuat salah tidak berlama-lama menikmati kemaksiatan yang membawa kehancuran.
Argumen Itu
Selalu orang bertanya tentang alasan dalam mengerjakan sesuatu, atau paling tidak orang berpikir tentang maksud ataupun tujuan melakukan hal yang diperintahkan. Tidak ada suatu perintah yang tidak dapat dilakukan oleh makhluk. Semua perintah yang Allah Ta’ala tetapkan merupakan indikator adanya kemampuan makhluk untuk mengerjakannya. Pun bila terdapat larangan-Nya, sebenarnya tidak seorangpun yang tidak dapat meninggalkannya. Betapa larangan itu lebih dekat kepada hawa nafsu yang mendominasi pribadi seseorang, sehingga larangan pun diterjang.
Panggilan bertaubat sering dikumandangkan, hanya soal indera pendengaran saja yang bermasalah. Mendengar tetapi tidak fokus pada inti yang disampaikan. Mungkin bisa saja mendengar, tetapi menerima panggilan tersebut adalah soal lain.
Jika nafas masih ada, itu tandanya masih terbuka kesempatan untuk bertaubat. Jika ada yang merasa kotor, terlanjur banyak maksiat dan dosa, itu tandanya diperintahkan untuk membersihkan diri, bertaubat. Jika orang sudah tahu dirinya kotor, berlumur lumpur, lantas ‘mandi’, lalu menceburkan diri dalam kubangan lumpur, itu berarti “nekad”. Orang yang berbuat dosa dan maksiat, sudah bertaubat, lalu menjerumuskan diri lagi, ini berarti belum menyadari dan sadar diri yang sesungguhnya.
Pertanyaanya, “mengapa harus bertaubat?”.
Adalah awal yang baik bagi orang yang sadar akan maksiat dan bahayanya. Kesadaran untuk menjawab pertanyaan tersebut menjadi tonggak penting dalam perubahan seseorang yang ‘biasa’ berlaku maksiat untuk berubah dan menjadi ‘diri’ yang baru.
Amru Khalid, dalam Hatta Yughayyiru ma bi Anfusihim, menyebutkan 15 efek buruk dari maksiat, di antaranya: murka Allah, kebencian orang mukmin, penghalang datangnya rezeki, penghalang memperoleh ilmu, cobaan yang berat, merasa terasing dari Allah, merasa terasing dari lingkungan, hati yang gelap dan raut muka yang suram, terhalang melakukan ketaatan, hasrat untuk mengerjakan kemaksiatan lain, kehinaan di sisi Allah, kehinaan di dalam hati, melemahkan akal, petaka akibat maksiat, dan mulut pelaku maksiat akan berkhianat pada dirinya.
Argumen yang sahih ditemukan oleh para pelaku maksiat adalah dalam firman Allah:
إنّما التوبة على الله للّذين يعملون السّوء بجهالة ثم يتوبون من قريب فأولئك يتوب الله عليهم وكان الله عليما حكيما
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’, 4: 17).
Pada ayat di atas, yang dimaksud mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan adalah: 1. orang yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu; 2. orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak; 3. orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau Karena dorongan hawa nafsu.
Saatnya Kembali
Dalam Al-Khathaya fi Nadzril Islam disebutkan bahwa taubat mencakup tiga syarat: (a) meninggalkan perbuatan dosa; (b) menyesali perbuatannya; (c) bertekad tidak akan melakukannya kembali. Salah satu unsur penting dalam taubat adalah adanya rasa penyesalan. Rasa penyesalan ini mempunyai pengaruh besar dalam merubah sikap seseorang dari keadaan jelek menjadi baik.
Manusia lahir dalam keadaan suci, fitrah. Jika manusia mengotori fitrahnya itu lantaran hawa nafsu yang menguasai dirinya, hingga orang lalai, salah, berbuat dosa atau maksiat, maka kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka dan selalu dibuka untuk siapa saja yang mau kembali, kembali ke jalan yang benar. Selama hayat masih dikandung badan, bertaubat masih diterima. Namun bila orang menunda-nunda, mengulur waktu, tidak mau bersegera untuk bertaubat, maka suatu saat nyawa akan meregang dari raga tanpa warning, dan datangnyapun tiba-tiba.
Jika panggilan taubat tidak lagi dihiraukan, waspadalah bahwa Malaikat Izrail bisa kapan saja dan dimana saja mencabut nyawa, tentunya Izrail bertindak setelah adanya instruksi Sang Khaliq. Maka waspadalah terhadap mati su’ul khatimah (akhir yang buruk).
Upaya untuk kembali ke jalan yang lurus hendaknya diupayakan semaksimal mungkin. Perjuangan untuk taubat ini mengandung nilai yang positif bagi perbaikan pribadi dan bukti penghambaan kepada Yang Maha Pengampun. Jika orang yang bertaubat sudah kembali ke dalam naungan cahaya ilahi, ia pantang kembali kepada kemaksiatan. Maka diperlukan cara jitu untuk menepis keinginan untuk bermaksiat, yaitu (i) bergaul dengan orang saleh; (ii) membiasakan diri beramal saleh. Di sinilah pentingnya lingkungan yang baik, yang mendukung berseminya kemaslahatan dan perbaikan serta kebermaknaan hidup di bawah ridha Allah Ta’ala.*/Moh. In’ami, peneliti pada Lembaga Kajian Agama Sosial Budaya & Filsafat "eLKASYF" Kudus
Teladani Ulama dalam Menuntut Ilmu
Senin, 13 Mei 2013 - 14:08 WIB
Berapa menit waktuku terbuang hanya untuk mengunyah makanan
berlama-lama? Pdahal masih banyak hal dari agama ini yang belum aku
ketahui
Tekun
Di kalangan mufassir, siapa yang tidak kenal Abdullah bin ‘Abbas? Semasa hidupnya, ia dikenal sangat gigih menimba ilmu dari para sahabat Rasulullah Sallallahu ‘alaihi Wa Sallam, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhiallahu Anhu. Tak heran anak paman Nabi ini mendapat gelar Turjumanul Qur’an (ahli tafsir Qur’an). Bahkan karena kecerdasannya dalam masalah agama, ia diikutkan dalam majelis syuro bersama sahabat-sahabat Badar.
Salah seorang murid istimewanya, Mujahid ibnu Jabr (Imam Mujahid), seorang ulama dari generasi tabi’in berkata, sebagaimana di riwayatkan oleh Fudhail bin Maimun, ”Aku belajar kepada Ibnu ‘Abbas sebanyak tiga kali pengulangan. Ketika berhenti dalam setiap ayat, aku bertanya kepadanya tentang ayat itu, dimana, kapan dan bagaimana diturunkan. Kami menggali hikmah dalam setiap ayat, hukum-hukumnya, pemahaman dan rahasia pengetahuannya.”
Ketekunan lain ditunjukkan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud. Ia hampir tidak pernah tertinggal dari kegiatan Rasulullah SAW dalam berbagai keadaan. Dialah salah satu sahabat yang selalu mempersiapkan sandal Nabi, membantu keperluan dan menyediakan air wudhunya. Sampai ia berkata, ”Tidaklah ada satu surat dan ayat Al Qur’an diturunkan, kecuali aku mengetahui dimana dan kapan diturunkan serta mengenai masalah apa ayat tersebut berkaitan. Sungguh, seandainya ada orang yang lebih alim tentang Al Qur’an, niscaya aku akan belajar kepadanya walau dengan menunggang unta yang jauh jaraknya.” Karena kecemerlangannya dalam ilmu agama, ia dijuluki sebagai ulamanya para sahabat.
Umar bin Khathtab yang disibukkan dengan perdagangan tidaklah lepas kesungguhannya untuk terus mempelajari ilmu dari Rasulullah. Ia bergantian dengan sahabat Anshor Bani Umayyah bin Zaid mendatangi majelisnya Nabi. Demikian juga yang lainnya, jika salah seorang berhalangan, maka akan bertanya kepada yang hadir.
Seseorang yang telah lanjut usia titip pertanyaan kepada murid Imam Ahmad bin Hanbal untuk diteruskan kepada sang guru, apakah masih perlu ia menuntut ilmu? Imam Ahmad menjawab, ”Kalau ia masih pantas untuk hidup, maka pantas pula ia menuntut ilmu.” Dalam kesempatan lain Imam Ahmad ditanya, “Sampai kapankah seseorang belajar?” Beliau menjawab, ”Sampai kamu masuk kubur!” Untuk keperluan menuntut ilmu, Imam Ahmad pernah berangkat dari Madinah ke Baghdad belajar kepada Imam As-Shon’aniy dengan perjalanan berhari-hari.
Abdul Qadir Jailani pernah ditimpa kelaparan dan hampir mati karena kehabisan bekal dalam menuntut ilmu. Dia pun pernah pergi ke padang rumput dan mencari pucuk-puuk daun tumbuhan untuk dimakan demi menyembuhkan rasa laparnya.
Siapa yang tidak kenal Imam Bukhari? Dalam mempelajari hadits, ia memiliki guru lebih dari 1000 syeikh. Ia melakukan perjalanan yang panjang. Buah dari ketekunannya, ia berhasil mengumpulkan lebih dari 10.000 hadits.
Waktu-waktu malam hari, biasanya ia habiskan untuk mengulang dan menelaah ilmu yang ia dapatkan hingga pernah menyalakan lampu lebih dari 20 kali dalam semalam untuk menghafal hadits dan sanadnya. Jarak yang jauh dari sumber ilmu, tidak membuatnya patah arang. Ia tidak segan menjelajah gurun pasir yang panas, menembus badai dan kota-kota untuk mendapatkan hadits dari kota Bukhooro (Uzbekistan, Asia Tengah) hinga ke Makkah dan Madinah.
Menghargi Waktu
Penghargaan dan perhatian ulama dalam menggunakan waktu memang luar biasa. Imam Ibnu Abi Hatim ketika mau makan kue, ia menunggu sampai kering, setelah kering dicelupkan dalam air.
Ketika kebiasaan itu ditanyakan oleh muridnya, ia menjawab, ”Berapa menit waktuku terbuang hanya untuk mengunyah makanan berlama-lama. Masih banyak hal dari agama ini yang belum aku ketahui. Kalau roti tersebut kering lantas aku celup dengan air, bukankah hal ini mempercepat waktu makan dan hasilnyapun sama.”
Imam Syafi’I berkata, ”Bermalam-malam untuk menelaah ilmu lebih aku sukai dari pada tidur bersama wanita cantik dan kaya.” Beliau juga berkata, ”Wahai saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara yang mesti dipenuhi. Yaitu semangat, kesungguhan, kecerdasan, perbekalan yang cukup, petunjuk guru dan panjangnya waktu.” Kamar beliau penuh dengan kitab-kitab, hingga hanya sekadar untuk selonjorpun sulit.
Semangat Menyala
Imam Jauzi mengatakan, “Semangat para ulama mutaqaddimin sangat luar biasa dalam menuntut ilmu.” Di antara ulama ada yang masih sempat bertanya kepada ulama lain menjelang wafatnya. Ketika ditanya mengapa masih sempat melakukan hal demikian, iapun menjawab, ”Aku meninggal dalam keadaan mengetahui satu bab lebih baik daripada tidak mengetahuinya.”
Di antara mereka juga ada yang belajar di bawah cahaya rembulan seperti Jarir bin Hasyim. “Aku belajar kepada Al-Hasan selama tujuh tahun, dan selama kurun itu, aku tidak pernah absen,” katanya.
Selain secuil kutipan di atas, masih banyak lagi kegigihan yang dicontohkan ulama-ulama besar yang sungguh di luar nalar manusia awam dalam menekuni ilmu. Sebutlah misalnya, Imam Ibnu Qayyim Al-Juziyah, murid dari Ibnu Taimiyah yang mampu mengarang kitab Zaadul Ma’aad dalam perjalanan hajinya. Kitab tersebut terdiri 6 jilid, masing-masing jilid rata-rata 400 sampai 500 halaman.
Ada lagi Ibnu Hajar Al-Asqalani yang belajar Sunan Ibnu Majah dalam empat majelis, Shahih Muslim dalam empat majelis, Sunan Nasai dalam dua majelis, yang semua dilakukan dalam waktu yang sangat padat. Beliau juga menelorkan karya istimewa, yaitu kitab Fathul Bari syarah Shahih Bukhari yang digambarkan sebagai penutup hijrah pencerahan, yang artinya tidak ada yang mampu menandingi kitab syarah karya beliau yang lebih lengkap sesudahnya. Subhanallah!
Akhirul Kalam
Umat yang hidup hari ini layak bersyukur atas buah dari mujahadah mereka yang tak kenal lelah. Terbuktilah bahwa keterpaduan kecerdasan, kekuatan hafalan, kefasihan dan keindahan tutur kata, keluhuran akhlak, ketekunan ibadah yang luar biasa, ditambah dengan kemauan yang kuat, telah melahirkan karya yang tak lekang oleh zaman.
Manusia pun berbondong-bondong ingin menghilangkan dahaga rohaninya dengan mereguk karya-karyanya. Merekalah orang-orang pilihan Allah. Semoga kita dapat memetik sekuntum hikmah dari kisah di atas.
Persiapkan Sebelum Melewati Shirath Hari Esok!
Menurut Ibn Katsir, hari esok itu hanya tepat jika kita dipersiapkan dengan banyak beramal sholeh
Sekiranya, cara mendapatkannya halal, tentu tidak mengapa. Persoalannya adalah ketika pengumpulan harta itu dilakukan dengan cara-cara curang dan haram. Tentu ini suatu kecelakaan besar. Jangankan di akhirat, di masa tua di dunia pun pasti akan sengsara. Lihatlah nasib Fir’aun, Haman, Qarun, Namrudz dan yang lainnya.
Seperti jamak diketahui, sekarang ini demi sebuah posisi atau jabatan, sebagian orang sangat mudah berjanji dan sering tidak menepatinya tanpa sedikitpun ada penyesalan. Lain di bibir lain di hati.
Di depan orang bertindak seperti orang baik, di belakang sering mengabaikan perintah agama. Gemar sekali bermaksiat, menipu, menggunjing, dan menebar berita yang tidak jelas kebenarannya. Termasuk tidak segan-segan memfitnah saudara sendiri jika dianggap menghambat perjalanan karir atau mengancam posisinya. Sementara itu, tradisi yang dibangun setiap hari dan malamnya hanyalah ke kafe, hotel, dugem, dan pesta-pesta tiada henti. “Semua itu demi masa depan,” dalihnya.
Padahal, mengacu pada sumber hadits Nabi, di akhirat nanti, setiap manusia harus melintasi yang namanya shirath (jembatan) yang menjadi penentu nasib setiap jiwa bisa masuk surga atau terjun ke neraka. Oleh karena itu, Ibn Athaillah sangat heran kepada tingkah laku kebanyakan manusia yang heboh mengejar dunia dan tertawa-tawa seolah telah peroleh kebahagiaan akhirat. Di depan manusia bertingkah laku baik, di belakang sering melupakan aturan Allah.
Melintasi Shirath
Dalam kitabnya Tajul Arus, Ibn Athaillah berkata, “Kau tertawa terbahak-bahak seakan-akan telah melewati jembatan (shirath) dan menyeberangi neraka. Jika kau tidak menjaga sikap wara’ kepada Allah yang bisa mencegah dari maksiat ketika sendiri, taburkan tanah ke atas kepala sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Barangsiapa tidak memiliki sikap wara’ yang bisa mencegahnya dari maksiat ketika sendiri, Allah sama sekali tidak akan memedulikan amalnya.” (HR. Al-Daylami).
Shirath sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi adalah jembatan di atas Jahannam. Dalam shahih Bukhari Muslim disebutkan, “Jembatan Jahannam dibentangkan dan aku yang pertama kali melewatinya. Doa para rasul ketika itu adalah: ‘Ya Allah, selamatkan!’
Pada jembatan itu terdapat jangkar-jangkar seperti duri sa’dan. Tahukah kalian, apakah duri sa’dan itu? Para sahabat menjawab, ya.
Beliau melanjutkan, “Ia bagaikan duri sa’dan, hanya saja tidak ada yang mengetahui besarnya kecuali Allah. Ia akan menarik manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka. ada yang selamat ada pula yang merangkak kemudian selamat.” (HR. Bukhari).
Jadi, satu hal yang mestinya menjadi perhatian setiap orang beriman adalah bagaimana kira-kira nasibnya di akhirat nanti, terutama ketika harus melewati shirath. Karena shirath ini adalah media penentu dari Allah seseorang masuk surga atau terjungkal ke dalam neraka.
Sungguh, kita tidak pernah bisa mengetahui, apalagi memastikan, apakah amal yang kita lakukan termasuk amal yang diterima, jiwa kita adalah jiwa yang takwa, atau justru masuk kelompok manusia yang celaka.
Oleh karena itu, kita patut bertanya dalam diri, sebagaimana Hasan bin Ali radhiyallahu anhu berkata, “Aku takut ketika sebagian dosaku terlihat kemudian Allah berkata, ‘Dosamu tidak diampuni.”
Masa depan manusia yang harus menyeberangi shirath itulah yang kemudian mendorong Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui, tentu kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis,” (HR. Bukhari).
Artinya, kita harus benar-benar mengimani hari akhir, dengan bersegera melakukan segala amal sholeh dan menjauhi perbuatan yang merusak. Berlomba-lomba menyiapkan bekal takwa menuju Allah agar kelak mendapat rahmat dari-Nya dan bisa menyeberang di atas shirath dengan selamat hingga ke surga.
Firman-Nya tentang Hari Esok
لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr [59]: 20).
Ibn Katsir dalam tafsir ayat tersebut menyebutkan riwayat yang disampaikan oleh Imam Ahmad dari Al-Mundzir bin Jabir, yang secara inti memaparkan pengalaman Rasulullah melihat suku Mudhar yang sangat miskin, hingga tak beralas kaki dan tidak berpakaian.
Melihat hal tersebut, kemudian Rasulullah berkhutbah, “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu (sampai akhir ayat). Lau beliau membaca ayat tersebut hingga tuntas, kemudian menambahkan, ‘…meskipun hanya dengan satu belah kurma.”
Mendengar khutbah itu, seorang sahabat Anshar datang membawa satu kantong, hampir saja telapak tangannya tidak mampu mengangkatnya, bahkan memang tidak mampu. Lalu orang-orang pun mengikuti sehingga aku melihat dua tumpukan dari makanan dan pakaian, sehingga aku melihat wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam berseri-seri bagaikan disepuh emas.
Maka, menurut Ibn Katsir hari esok itu atau masa depan itu hanya tepat jika kita persiapkan dengan banyak beramal sholeh, bersegera membantu saudara yang lain yang sangat berhajat terhadap kebutuhan hidup, walau hanya dengan separuh biji kurma. Kemudian menjauhi seluruh bentuk larangan-Nya.
Dengan demikian perbanyaklah intropeksi diri (muhasabah). Lihatlah apa yang telah kita tabung untuk akhirat kita sendiri utamanya ketika bertemu dengan Rabb kita semua. Jangan sampai kita lupakan hal yang sebenarnya tidak lama lagi akan kita jumpai dalam perjalanan panjang kehidupan akhirat.
Mulai sekarang, berhentilah bergantung pada harta, jabatan, dan kekuasaan. Semua itu tidak akan berarti apa-apa tanpa iman, takwa dan amal sholeh. Justru siapapun kita, pada dasarnya sangat berpotensi mendapatkan masa depan yang baik bahkan sangat-sangat baik, asalkan, senantiasa menjaga dan meningkatkan kualitas takwa kepada-Nya dan banyak melakukan amal sholeh untuk kemaslahatan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar