Powered By Blogger

Selasa, 06 Agustus 2013

GAYA HIDUP

Bekal Diri agar Tak Jadi Pemimpin Dzalim 

Ya Allah, barangsiapa memegang urusan umatku (memimpin rakyat) lalu ia bersikap kejam, maka kejamilah dirinya.”

SETIAP manusia adalah pemimpin, baik itu pemimpin bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Presiden adalah pemimpin bagi seluruh rakyat di negerinya. Suami adalah pemimpin bagi istri dan anak-anaknya. Istri adalah pemimpin rumah tangga jika suaminya telah tiada. Pembantu adalah pemimpin yang mengatur dan menyediakan kebutuhan tuannya, demikian seterusnya. Pada intinya, masing-masing kita adalah pemimpin yang memiliki hak dan kewajiban yang dengannya kelak akan diminta pertanggungjawaban.
Kewajiban sebagai pemimpin adalah mengayomi orang-orang yang mengikutinya, berbuat adil kepada semua yang dipimpinnya, serta mencegah terjadinya kemunkaran di muka bumi ini. Dan setiap kewajiban harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta kehidupan ini. Sebenarnya, amanah yang kita emban sebagai khalifah di muka bumi cukup berat. Sampai-sampai langit, gunung, lautan dan lainnya tiada yang sanggup menerima amanah tersebut. Hanya manusia yang berani dan siap ditunjuk menjadi pengelola bumi ini demi kemaslahatan umat-Nya.
Sayangnya, banyak manusia di sekitar kita yang ingkar atas amanah yang telah ia dapatkan. Banyak pemimpin yang mengabaikan hak-hak rakyatnya, tidak jarang suami yang menganiaya istri dan anaknya, serta tak terhitung jumlah istri yang telah menghianati suaminya. Inilah sebagian fakta yang tidak dapat kita pungkiri, karena sering terjadi di depan ‘batang hidung’ kita. Akibatnya, sejumlah ketidak-adilan dan kezaliman menjadi tradisi yang turun-temurun di setiap generasi umat manusia.
Maraknya kekerasan, pembantaian, pertikaian dan perilaku kriminal lainnya menjadi indikasi jika umat manusia hingga detik ini belum memiliki jiwa kepemimpinan yang adil lagi bijaksana. Karena pemimpin yang adil selalu menerapkan aturan kepada siapa saja tanpa ‘pandang bulu’, sementara pemimpin yang bijak akan memanfaatkan kekayaan alam untuk kesejahteraan umat manusia.
Logikanya, jika umat sudah hidup adil dan sejahtera, buat apa mereka melakukan tindak kejahatan? Toh, semua yang dibutuhkan sudah mereka dapatkan sesuai porsinya.
Fenomena yang ada, teramat banyak manusia yang hanya mementingkan diri atau kelompoknya sendiri. Sehingga mereka dengan rakusnya menilap hak-hak orang lain demi memenuhi ambisinya. Tak terhitung jumlah pemimpin-pemimpin yang berbuat kejam terhadap para bawahan atau pengikutnya. Dan yang sedang marak beberapa dekade belakangan ini, banyaknya oknum penguasa pemerintahan yang telah menelantarkan rakyatnya selama ia menduduki kursi jabatannya. Krisis kepemimpinan yang berkepanjangan tersebut telah melanda banyak negeri, termasuk negeri kita tercinta Indonesia.
Carut-marutnya sistem pendidikan nasional, tingginya harga bahan-bahan pokok, mahalnya biaya kesehatan, centang-perenangnya roda pemerintahan penyebab lemahnya hukum dan meningkatnya tindak kriminal. Serta ketidak-adilan lainnya menjadi bukti bahwa sebagian besar pemimpin bangsa ini telah melalaikan kewajibannya. Alhasil, mayoritas kehidupan rakyat di tanah air ini masih berkutat dengan kemiskinan dan keterbelakangan.
Lalu, dimanakah akar permasalahannya? Inilah yang harus segera kita uraikan agar kezaliman di muka bumi, khususnya di Indonesia dapat segera berakhir. Kita semua tentu sudah bosan mendengar kasus pencabulan, perkosaan, kerusuhan, tawuran pelajar, pertikaian berkepanjangan, peperangan dan pembantaian. Saatnya kini, semua itu segera dihapuskan dan digantikan menjadi kehidupan yang adil, sejahtera, aman dan sentosa.
Peringatan bagi yang Zalim
Sebagai makhluk yang telah dipercaya mengelola bumi beserta isinya, jiwa kepemimpinan dalam diri setiap kita harus ditumbuh-kembangkan. Kepedulian terhadap hak-hak orang lain merupakan salah satu landasan dalam memimpin, baik itu memimpin diri sendiri maupun memimpin orang lain. Jika setiap individu mampu tampil sebagai pemimpin yang adil lagi peduli, tidak mustahil kehidupan umat manusia mencapai titik kedamaian.
Anjuran bagi setiap pemimpin khususnya para pemimpin rakyat, agar melaksanakan kewajibannya dan menunaikan hak-hak rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin harus bersungguh-sungguh dalam membimbing pengikutnya untuk meraih ridha Allah semata. Sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an,
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS an-Nahl [16]: 90).
Sebaliknya, peringatan tegas kepada para pemimpin yang zalim berupa kesulitan-kesulitan dan ancaman siksaan baik di dunia maupun di akhirat. Tidak hanya pemimpin rakyat, siapaun yang berbuat kezaliman kepada orang lain, dirinya dilarang Allah memasuki surga-Nya.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, artinya, “Apabila ada hamba atau pemimpin yang diamanahi mengurusi umat lalu ia tidak berusaha keras untuk membantu dan tidak pula menasehati umatnya, maka Allah mengharamkan surga baginya.” (Riwayat Muslim).
Perintah kepada para pemimpin agar tidak berbuat kejam dan zalim kepada rakyatnya merupakan pilar membangun suatu bangsa. Kezaliman yang dimaksud diantaranya penindasan dan perampasan hak-hak rakyat. Pemimpin juga diperintahkan untuk menyeru dan mencegah terjadinya perbuatan munkar. Bukan hanya diam melihat keterpasungan rakyatnya dalam penderitaan, sementara dirinya hidup dalam kemewahan.
Bahkan, Rasulullah pernah berdoa, yang artinya, “Ya Allah, barangsiapa yang memegang urusan umatku (memimpin rakyat) lalu ia bersikap kejam, maka kejamilah dirinya. Dan barang siapa memegang urusan umatku dan ia bersikap sayang, maka sayangilah dirinya.” (Riwayat Muslim).
Pelajaran dari hadis tersebut diantaranya; Rasulullah meminta kepada Allah untuk memberi balasan yang setimpal kepada apa yang telah dilakukan para pemimpin. Selain itu, bentuk perhatian Rasulullah kepada urusan umat menjadi teladan bagi kita semua dalam melaksanakan tugas sebagai seorang pemimpin. Jangankan kepada rakyat, hidup bertetangga saja kita diperintahkan untuk saling peduli dan saling memperhatikan.
Menjadi seorang pemimpin tidak semestinya meninggalkan kesederhanaan dan kepedulian terhadap orang lain. Pemimpin yang bijak tentu akan berlaku santun kepada siapa saja, terlebih-lebih kepada orang yang mengikutinya. Dalam hal ini, Allah telah memerintahkan kepada setiap pemimpin untuk merendahkan diri di hadapan rakyat atau orang yang dipimpinnya, terutama orang-orang yang beriman. (QS. Asy-Syuara: 215).
Rakyat Wajib Mengingatkan
Manusia adalah makhluk yang bergelimang dosa. Wajar jika kemudian ada orang, baik itu pemimpin atau bukan pemimpin yang pernah berbuat kesalahan. Namun, tidak dibenarkan jika kesalahan itu menjadi suatu kebiasaan dan menyengsarakan orang banyak. Lumrah ada pemimpin yang khilaf sehingga menyakiti hati rakyatnya, asalkan pemimpin itu segera sadar gdiri dan memperbaiki kesalahannya itu.
Apabila ada pemimpin yang tetap melakukan kesalahan, wajib bagi rakyat memperingatkannya. Dalam hal kebaikan, semua manusia memiliki kewajiban yang sama untuk saling mengingatkan, tanpa harus membedakan usia maupun jabatan. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Ashr ayat ke-3, yang artinya, “…dan saling menasehati agar kalian mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Di dalam hadisnya, Rasulullah juga menjelaskan ketika ada pemimpin yang buruk dan zalim, maka kita dilarang menjadi bagian dari kezaliman itu. Jika ada pemimpin yang mengajak dan memerintahkan perbuatan maksiat, kita harus menolaknya dengan santun dan semampunya mengingatkan pemimpin tersebut untuk kembali pada kebaikan. Sebagaimana pesan Rasulullah kepada Ubaidillah bin Ziyad yang kemudian diteruskan kepada anaknya, Aidz bin Amr RA.
Sungguh, sebaiknya-baiknya umat yang saling mencintai. Pemimpin mencintai rakyatnya dan rakyat mencinta pemimpinnya. Pemimpin selalu mendoakan kesejahteraan untuk rakyatnya dan rakyatnya mendoakan kebaikan untuk pemimpinnya. Maka, sikap saling peduli inilah yang akan menumbuhkan rasa cinta, kasih sayang, keamanan dan ketentraman. Pertanyaannya, bolehkah rakyat memberontak kepada pemimpinnya? Jawabnya, Rasulullah melarang pemberontakan kepada pemimpin yang masih melaksanakan shalat sesuai syari’at-Nya.
Kesimpulannya
Menjadi pemimpin merupakan fitrah manusia yang telah dibawanya sejak manusia itu lahir ke dunia fana ini. Hanya saja, perkembangannya tergantung pada potensi masing-masing individu. Apakah dirinya mampu menjadi pemimpin umat, atau hanya menjadi pemimpin bagi orang disekitarnya, bahkan hanya mampu memimpin dirinya sendiri, itu semua terletak dalam bakat setiap manusia. Bersyukurlah mereka yang telah mampu dan diberi amanah mengurusi kepentingan umat, serta memiliki kekuasaan untuk mengatur dan membuat kebijakan publik.
Orang yang diamanahi menjadi pemimpin rakyat akan mendapat peluang besar meraih surga, apabila dirinya mampu menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.
“Sesungguhnya, orang-orang yang berbuat adil kelak di sisi Allah berada di atas mimbar-mimbar cahaya. Orang-orang yang berbuat adil dalam keputusannya, adil terhadap keluarga dan dalam kepemimpinannya.” (Riwayat Muslim).
Rasulullah juga telah menjelaskan, diantara penghuni surga adalah terdapat orang-orang yang memiliki kekuasaan lalu berbuat adil, orang yang memiliki sifat penyayang kepada keluarga dan setiap orang disekitarnya, serta orang yang menanggung beban keluarga dan banyak orang lainnya namun dirinya tidak mau hidup meminta-minta. Termasuk meminta atau menerima gratifikasi dan sejenisnya.
Pada akhirnya, apabila masing-masing orang dalam kepemimpinannya secara sadar dan ikhlas memberikan apa yang menjadi hak orang lain, maka tidak akan terjadi yang namanya korupsi.
Karena perilaku korup hanya dipraktekan oleh pemimpin-pemimpin yang tidak mempedulikan hak orang banyak, mereka hanya mementingkan diri atau golongannya sendiri. Marilah kita tumbuhkan jiwa kepemimpinan yang dapat mengayomi diri sendiri dan orang-orang disekitar, terlebih-lebih seluruh umat manusia. Insya Allah.





Kuatkan Iman dan “Ceraikanlah” Nafsumu!

 

Imam Ghazali berpendapat bahwa umat Islam tidak akan pernah meraih kemenangan dan kejayaan selama hawa nafsu masih bercokol dalam hati
“Nafsu ini selalu memerintahkan kepada keburukan kecuali yang Tuhan beri rahmat. Tuhanku Maha Pengampun lagi Penyayang,” demikianlah ungkap Nabi Yusuf yang Allah abadikan dalam firman-Nya dalam QS Yusuf ayat 53.
Lain cerita dengan Qabil. Jika Nabi Yusuf berhasil menundukkan hawa nafsunya dari melakukan dosa, karena keinginan yang begitu kuat Qabil tidak mampu berpikir panjang, sehingga dengan sangat ringan melakukan tindak kejahatan.
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya. Maka, saudaranya itu pun dibunuh sehingga ia termasuk orang yang merugi.” (QS. Al Maidah [5]: 30).
Dua ayat di atas memberikan gambaran sekaligus peringatan penting, bahwa betapa besarnya dampak negatif yang ditimbulkan karena mengikuti hawa nafsu. Seperti kita saksikan dalam beberapa pemberitaan media belakangan ini, berita kriminal begitu mengerikan, ada gadis diperkosa kemudian di bakar, ada istri membunuh suami dan sebaliknya, dan berbagai tindak kriminal lainnya.
Semua itu terjadi tidak lain karena begitu berkuasanya hawa nafsu dalam hati seseorang. Hawa nafsu menjadikan akal sehat tidak bisa bekerja, mata hati buta, dan emosi merajalela. Hal ini tidak lain karena sifat dasar hawa nafsu adalah selalu berkhianat.
Ibn Ahaillah dalam kitabnya Taju al-Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus mengatakan, “Siapa yang mengangkat wakil lalu ternyata ia berkhianat, pasti ia akan memecatnya. Begitu pula keadaan nafsumu. Ia sungguh telah berkhianat. Maka pecat dan persempitlah jalannya.
“Apabila engkau melihat istrimu berkhianat, tentu kau akan marah kepadanya. Seharussnya, seperti itu pulalah sikapmu terhadap nafsumu. Sesungguhnya ia telah berkhianat kepadamu sepanjang hidupmu.
Orang yang berakal sepakat bahwa jika istri berkhianat, ia tidak boleh dilindungi oleh sang suami. Alih-alih melindunginya, sang suami harus menceraikannya. Karena itu, ceraikanlah nafsumu!”
Artinya, persempitlah peluang hawa nafsu menguasai hati. Jika ia mengajakmu untuk merasakan nikmatnya maksiat, lawanlah dengan menetapi nikmatnya ketaatan. Apabila ia mengajakmu kepada teman yang jahat, pilihlah teman yang membangkitkan keadaanmu dan mengajakmu kepada Allah. Jika ia mengajakmu kepada ghibah, sibukkan lisanmu dengan dzikir kepada Allah dan dengan mengurangi makan sesuai dengan kemampuanmu.
Dalam tradisi Jawa ada yang namanya tombo ati (obat hati), yang harus diperhatikan seluruh umat Islam agar terhindar dari cengkeraman hawa nafsu. Yakni dengan membaca al-Qur’an yang disertai pemahaman, sholat malam, bersahabat dengan orang yang sholeh, perbanyak berpuasa dan perbanyak dzikir di tengah malam.
Obat hati itu harus senantiasa kita ‘konsumsi’ dalam kehidupan sehari-hari jika benar-benar ingin mendapat ridha Allah Subhanahu Wata’ala. Jika tidak, maka hawa nafsu akan menguasai hati dan jika itu terjadi maka seorang Muslim bisa jadi akan terperosok pada jalan kesesatan.
Seperti pesan Allah kepada Nabi Daud Alayhissalam, وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
“Jangan mengikuti nafsu, karena hal itu akan membuatmu tersesat dari jalan Allah.” (QS. Saad [38]: 26). Jadi, nafsu harus dilawan dan dikalahkan.
“Maka jauhilah hawa nafsu dari syahwatnya, karena ia sangatlah kuat dan dapat memerosokkanmu pada kahir yang buruk,” demikian pesan Umar bin Khathab yang terangkum dalam catatan-catatan kitab Mahfuzhat.
Menarik sekali ilustrasi yang diberikan oleh Ibn Athaillah terhadap besarnya kerusakan yang ditimbulkan hawa nafsu. Beliau berkata, “Jika engkau mengikuti seluruh keinginan nafsu serta terus memenuhi syahwat, maka keadaanmu seperti orang yang dirumahnya terdapat ular, tetapi justru setiap hari ia memberinya makan hingga akhirnya ular itu membunuhnya”.
Perjuangan Besar
Ketika para sahabat bersama Rasulullah kembali dari kemenangan Perang Badar tiba-tiba Nabi berkata, “Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar”. Para sahabat pun kaget, “Kita menuju jihad yang lebih besar ya Rasulullah?” “Ya, jihad melawan hawa nafsu”.
Artinya, perjuangan melawan nafsu membutuhkan niat yang jujur, tekad yang kuat dan mujahadah tanpa henti untuk meraih ridha Allah Ta’ala. Jika berhasil, maka orang yang melawan hawa nafsu tidak akan dikalahkan oleh rasa lelah. Pada saat yang sama akan mengabaikan banyaknya tenaga serta pengorbanan yang telah dicurahkan alias tidak pamrih.
Oleh karena itu, Ibn Athaillah berkata, “Bukanlah lelaki sejati yang menyeru manusia di suatu majelis. Lelaki sejati adalah yang menyeru dan mengembalikan nafsunya kepada Allah”.
Atas dasar itulah kemudian Syeikh Hasan Al-Bashri berkata, “Afdholul Jihad, Jihadul Hawa,” artinya, “Jihad yang paling utama adalah jihad (melawan) hawa nafsu”.
Dengan demikian, perkara terbesar yang harus diupayakan oleh setiap Muslim adalah mengendalikan hawa nafsu. Imam Ghazali berpendapat bahwa umat Islam tidak akan pernah meraih kemenangan dan kejayaan selama hawa nafsu masih bercokol dalam hati.
Contoh sederhana, orang yang menuruti hawa nafsu akan banyak alasan untuk meninggalkan sholat, menunda berhijab bagi yang Muslimah, atau menunda menikah, sementara setiap saat selalu bersenang-senang (maksiat) dengan pacarnya.
Di sisi lain, orang yang menuruti hawa nafsu akan sulit bangun malam, enggan membaca al-Qur’an dan gemar sekali dengan segala macam bentuk makanan dan perhiasan kehidupan. Apabila, hal ini berkumpul dalam mayoritas diri umat Islam, maka umat Islam akan terseret pada kebodohan dan kekalahan.
Situasi seperti itu pernah dialami oleh Imam Ghazali dimasanya. Dan, Umat Islam selalu gagal dalam memenangkan pertarungan melawan tentara Salib. Setelah melalui penelitian panjang, akhirnya sampailah Hujjatul Islam pada satu kesimpulan bahwa, untuk menang Umat Islam harus mengendalikan hawa nafsunya.
Atas dasar itulah, kemudian Imam Ghazali mengarang kitab Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama) yang kemudian menjadi inspirator besar kemenangan Umat Islam atas pembebasan Palestina dibawah kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Jadi, hal utama yang harus diupayakan oleh setiap Muslim untuk memelihara kekuatan iman hanyalah dengan mengendalikan hawa nafsu. Sejauh hawa nafsu masih dominan, maka sejauh itu pula bertambahnya usia tak bermanfaat apa-apa untuk keimanan seseorang.
Untuk itu, Ibn Athaillah masih dalam kitab yang sama mengatakan, “Siapa yang berteman denganmu selama sehari atau dua hari, namun tidak mendapatkan manfaat darimu, pasti ia akan meninggalkanmu dan berteman dengan orang lain.
Nah, engkau berteman dengan nafsumu selama empat puluh tahun tanpa ada manfaat yang kau dapat. Karena itu, katakan padanya, kembalilah hai nafsu kepada ridha Tuhanmu! Sudah lama aku menurutimu dalam urusan syahwat. Gantilah masa menganggur dengan sibuk kepada Allah, ucapan dengan diam, teman-teman buruk dengan teman-teman baik dan sholeh”.
Dengan seperti itu, maka kita akan merasakan nikmatnya iman, sehingga kemudian kita akan melihat dengan iman, berpikir dengan iman, berkata dengan iman dan berperilaku dengan iman. Bukan hawa nafsu.

 

 

Bulan Berkah, Saat Terbaik ‘Menajamkan’ Doa

 

Belenggu masa lalu, hendaknya tidak menghalangi diri untuk bersegera memohon ampun kepada Allah
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu...” (QS al Mu’min [40]: 60)
SEBAGAI bulan penuh berkah, Ramadhan menyimpan banyak sekali keutamaan. Satu di antaranya adalah ditebarkannya waktu-waktu mustajab untuk berdoa. Di waktu sahur misalnya, Allah turun ke langit dunia dan membentangkan tangan untuk memberikan apa yang dimohonkan oleh para hamba-Nya yang bangun di tengah malam.
Rasulullah bersabda, “Tuhan kita yang Maha Suci lagi Maha Tinggi setiap malam turun ke langit dunia saat waktu malam tinggal sepertiga yang terakhir. Dia berfirman, “Siapa yang menyeru kepada-Ku niscaya akan Aku beri. Dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku pasti akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari).
Berarti, peluang untuk menjadi hamba yang takwa sebagaimana tujuan utama dari puasa itu sendiri sangat besar, terutama di bulan suci Ramadhan. Jadi, sangat sayang, jika Ramadhan berlalu sementara tidak pernah melalui malam dengan bangun (shalat) dan doa. Sebab, selain mustajab, bulan Ramadhan sangat memungkinkan siapa pun untuk berlatih bangun di tengah malam.
Di dalam al-Qur’an, Allah menjelaskan satu di antara lima ciri seorang hamba Allah, yakni melalui malam dengan sholat.
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّداً وَقِيَاماً
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka,” (QS. Al-Furqon [25]: 64).
Bahkan, di dalam ayat yang lain, hamba Allah itu memiliki ciri sedikit tidur di malam hari. “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam, mereka memohon ampun” (QS. 56: 17-18).
Dengan demikian maka, malam hari, utamanya di Bulan Ramadhan adalah momentum yang baik bagi setiap Muslim untuk mengadukan masalahnya kepada Allah seraya memohon petunjuk untuk menemukan solusinya.
Jadi, kita tidak perlu mengeluh kepada yang lain, apalagi di dinding wall facebook. Karena selain mengadu kepada Allah, pasti kita tidak akan menemukan solusi. Oleh karena itu, di bulan suci ini mari kita tajamkan doa-doa kita kepada-Nya dengan bersimpuh pasrah mengadu dan menyerahkan segala macam permasalahan yang kita hadapi agar segera mendapat pertolongan dari-Nya yang Maha Kuasa.
Bagaimana mungkin di bulan ini kita tidak tertarik, sementara segala upaya kebaikan akan dibantu oleh Allah agar mudah dilakukan. Bahkan Allah akan bantu kita terhindar dari kejahatan, jika kita benar-benar menghendakinya.
Dalam haditsnya Rasulullah shalllahu alayhi wasallam tegaskan, “Ketika datang bulan Ramadhan, pintu-pintu langit dibuka, pintu-pintu jahannam ditutup, dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Bukhari).
Dengan demikian, seiring dengan pemahaman kita tentang keutamaan Ramadhan yang diiringi dengan niat yang kuat untuk menjadi insan takwa dengan memperbanyak doa di tengah atau akhir malam seperti yang Rasulullah lakukan, maka target takwa yang kita inginkan, insya Allah akan menjadi kenyataan.
Kemudian, di Bulan Ramadhan juga ada waktu yang sangat spesial yang Allah hadiahkan kepada umat Nabi Muhammad, yakni Lailatul Qadar.
Lailatul Qadar adalah malam yang lebih baik daripada seribu bulan.
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS: al Qadr [97]: 3).
Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitabnya Asbabun Nuzul menjelaskan perihal sebab turunnya ayat tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Jarir.
“Ibn Jarir meriwayatkan dari Mujahid yang berkata, “Dahulu, di antara Bani Israel hidup seorang laki-laki yang senantiasa melakukan shalat malam hingga shubuh tiba, sementara di pagi harinya berjihad menumpas musuh hingga sore. Ia terus-menerus melakukan hal tersebut selama seribu bulan. Allah lalu menurunkan ayat, ‘Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.’ Artinya, melaksanakan sholat di malam itu lebih baik dari amalan yang dilakukan laki-laki Bani Israel tadi.
Lantas, bagaimana kita bisa mengetahui kapan tepatnya Malam Lailatul Qadar itu berlangsung? Dalam haditsnya Rasulullah menjelaskan, “Semalam aku bermimpi melihat Lailatul Qadar, tetapi kemudian aku dilupakan atau aku lupa. Maka carilah ia pada sepuluh hari yang terakhir di hitungan pada hari yang gasal.” (HR. Bukhari).
Di sinilah, komitmen kita untuk dapat menggondol keutamaan Ramadhan, khususnya Lailatul Qadar benar-benar diuji. Pasalnya, di sepuluh hari terakhir Ramadhan, orang umumnya sibuk belanja ini dan itu. Pasar semakin ramai, sementara masjid, tempat dimana keutamaan dibentangkan, justru semakin sepi. Padahal, di sepuluh hari terakhir, Nabi tidak pernah meninggalkan masjid (i’tikaf).
Di tahun ini, kalau pun mungkin tidak sempat i’tikaf secara penuh, setidaknya kita berusaha untuk tetap bisa mendapatkan malam yang sangat mulia itu, Lailatul Qadar. Sebab, jika kita berhasil, insya Allah ampunan dan keridhoan Allah akan menyertai kehidupan kita semua.
Setidaknya, itulah dua momentum besar yang terdapat di Bulan Ramadhan yang sangat memungkinkan kita mendapat jawaban atas doa yang kita mohonkan kepada Allah Ta’ala. Selain, waktu-waktu mustajab lain yang juga berlaku di bulan lainnya, seperti doa antara adzan dan iqamah, doa di antara duduk dua khotbah dan lain sebagainya.
Allah Maha Mengabulkan Doa
Mungkin dari sebagaian kaum Muslimin masih ada yang agak minder dengan dirinya yang mungkin merasa dirinya kurang sholeh, banyak melakukan maksiat dan lain sebagainya. Tetapi, apa pun masalah yang pernah terjadi di masa lalu, hendaknya tidak menghalangi diri untuk bersegera memohon ampun kepada Allah. Sebab, Allah sangat senang kepada siapa saja yang mau taubat dan memperbanyak doa kepada-Nya.
Bahkan Allah berjanji akan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-KU, agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al Baqarah [2]: 186).
Dalam kitabnya Asbabun Nuzul Jalaluddin As-Suyuthi menjelaskan perihal sebab turunnya ayat tersebut. “Pada suatu hari seorang Arab Badui mendatangi Nabi, lalu berkata, “Apakah Tuhan kita dekat sehingga kita cukup berbisik saat memohon kepada-Nya, atau kah Dia jauh, sehingga kita perlu berteriak memanggilnya?’ Rasulullah pun terdiam, lalu turun firman-Nya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat...”
Kemudian janji ini Allah tegaskan dalam ayat-Nya yang lain
 ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu...” (QS al Mu’min [40]: 60).
Dalam tafsirnya, Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan karunia dan karamah Allah Ta’ala yang mengajurkan hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, serta jaminan bagi mereka bahwa Allah pasti mengabulkannya. Bahkan Allah mengategorikan do’a sebagai ibadah. Rasul bersabda, “Sesungguhnya do’a itu adalah ibadah.” (HR. Ahmad).
Sebaliknya, barangsiapa yang tidak mau berdoa maka baginya kemurkaan-Nya. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang tidak berdo’a kepada Allah, Dia akan murka kepadanya.” (HR. Ahmad).
Dengan demikian, mari kita pertajam doa kita dengan mengikuti semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Sungguh Allah senang dan pasti akan mengabulkan setiap doa yang dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya. Apalagi, di bulan suci seperti ini, kita berupaya sungguh-sungguh untuk menjadi insan takwa, pasti Allah akan berikan kemudahan. Yakinlah!

 

 

 

Seorang Muslim Pantang Sia-siakan Waktu

 

“Aku tidak pernah menyesali sesuatu seperti aku menyesali hari yang mataharinya sudah terbenam, sedang umurku berkurang dan amalku tidak bertambah”
DALAM tradisi masyarakat Barat waktu adalah uang. Sementara bagi bangsa Arab, waktu adalah pedang. Semua itu menunjukkan secara pasti bahwa waktu sangat berharga. Siapa kehilangan waktu maka sungguh ia tak kan pernah mampu mendapatkannya kembali.
Maka sungguh aneh jika kemudian masih banyak di antara kita yang menyia-nyiakan waktu. Kalau kita melihat, misalnya seseorang yang setiap harinya membakar uang – meski sedikit -, tentu kita akan menganggapnya orang bodoh dan tidak layak memiliki harta.
Lantas, bagaimana tanggapan kita terhadap orang yang suka menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, tentu lebih bodoh dari orang yang membakar uangnya sendiri. Sebab, harta dapat diganti, sedangkan umur bila sudah berlalu, tak mungkin kembali lagi. Pepatah berkata, “Hari kemarin yang baru saja berlalu, tak ada orang yang dapat mengembalikannya”.
Oleh karena itu, kita mestinya segera sadar bahwa hidup ini selalu berpacu dengan waktu. Amat sayang jika ada waktu kita lalui tanpa bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Dalam hal ini kita patut merenungi ungkapan yang disampaikan oleh seorang sahabat Nabi, Ibn Mas’ud Radhiyallahu anhu.  “Aku tidak pernah menyesali sesuatu seperti aku menyesali hari yang mataharinya sudah terbenam, sedang umurku berkurang dan amalku tidak bertambah.
Terkait dengan pemanfaatan waktu Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam bersabda, “Ketika suatu kaum duduk dalam suatu majlis dan tidak ingat Allah, kelak mereka akan menyesal. Dan ketika seseorang berjalan pada suatu perjalanan tidak juga ingat kepada Allah, mereka pun kelak akan menyesal (merugi). Dan, ketika seseorang berbaring di kasurnya dan tidak berdzikir kepada Allah, ia pasti akan menyesal.” (HR. Ahmad).
Pemanfaatan Waktu Para Ulama
Kepada siapa kita akan mencontoh pemanfaatan waktu terbaik? Kepada siapa lagi jika tidak kepada para Nabi, sahabat, dan tentunya para ulama.
Mari sedikit luangkan waktu untuk melihat secara lebih dekat beberapa hasil karya tulis ulama terdahulu. Mereka mampu menulis kitab sedemikian banyak dengan bahasan yang sangat lengkap.
Jika diukur menggunakan rasio, jelas umur mereka tidak cukup untuk menulis buku sebanyak itu. Tetapi fakta telah berbicara bahwa pendeknya umur tak membuat mereka gagal melahirkan karya besar yang sebenarnya sangat membutuhkan umur panjang.
Imam Bukhari 16 tahun berjalan mengumpulkan hadits Nabi dengan tidak melewatkan penulisan satu haditspun kecuali diawali dengan sholat dua raka’at. Fakhruddin Al-Razi menulis tidak kurang dari 120 judul buku dalam berbagai macam bidang kajian ilmu. Demikian pula dengan Imam Ghazali, Ibn Khaldun dan ulama-ulama lainnya.
Sungguh benar-benar sangat mengagumkan. Padahal zaman itu belum ada alat percetakan dan komputer seperti sekarang. Lantas, mengapa mereka mampu? Tidak lain karena dorangan iman mereka yang selalu mendorong segenap daya dan upaya untuk memanfaatkan umur mereka detik demi detik dengan amal, karya dan bakti.
Bahkan beberapa sangat cermat dalam memilih makanan hanya karena persoalan waktu. Seperti diceritakan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya misalnya, Dawud Ath-Thusi lebih suka minum “fatit” (sop roti) daripada makan roti.
Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab, “Perbedaan waktu untuk mengunyah roti dan minum sop roti itu cukup untuk membaca lima puluh ayat suci al-Qur’an”.
Subhanallah, betapa sangat luar biasanya para ulama terdahulu dalam memanfaatkan waktu. Dengan demikian, sudah sepatutnya, kita umat Islam akhir zaman mencontoh apa yang telah ditauladankan para ulama. Jadi, jangan banyak buang waktu dengan urusan sia-sia apalagi mengundang murka Allah Ta’ala.
Bagaimana dengan kita?
Kita sungguh sudah dikelilingi oleh berbagai macam fasilitas teknologi yang sangat mungkin bisa menambah berkah dan pahala dalam keseharian kita. Misalnya, ketika di dalam mobil, sangat baik jika kita mendengarkan murottal, ceramah atau paling tidak mendengarkan nasyd Islami. Atau terus berdzikir dalam hati.
Seandainya saja itu berhasil kita lakukan itu secara konsisten, misalnya mendengarkan ceramah satu jam setiap dalam perjalanan dengan mobil. Maka dalam setahun kita telah mendengar 200 ceramah. Artinya, kita telah berhasil memanfaatkan 200 jam dari umur kita untuk kebaikan.
Dengan begitu, iman dan ilmu kita akan terus bertambah pada waktu dan tempat dimana kebanyakan orang lain lalai memanfaatkannya.
Bahkan ketika kita sedang berinternet sekalipun, katakanlah membuka facebook, maka buatlah status yang bisa memotivasi diri dan orang lain lebih bersemangat dalam belajar, beribadah, berdakwah dan beramal. Jangan gunakan facebook hanya sekedar alat hiburan yang kadang kala justru merenggut waktu kita.
Tetapi, kita kan juga butuh hiburan? Ya, silakan berhibur, tetapi tetap yang tidak melalaikan. Syukur-syukur mengambil hiburan yang bisa menambah wawawan, kecerdasan dan keimanan. Taruhlah seperti berhibur ke masjid bersejarah, pondok pesantren, atau pun museum dan perpustakaan.
Prinsipnya sangat sederhana, silakan manfaatkan waktu kita untuk apa saja yang penting jangan sampai sia-sia apalagi mengundang murka Allah Ta’ala. Di dalam al-Qur’an Allah telah memberikan panduan agar waktu kita digunakan untuk menguatkan iman, memperbanyak amal sholeh, dan saling memotivasi dalam kebenaran dan kesabaran. Jika itu tidak kita lakukan, maka kerugian akan datang menimpa.






Segera Tinggalkan Mall, Mari Kembali ke Masjid!

 

Banyak kaum Muslim sering lalai dan tak memiliki management waktu. Seharusnya belanja dilakukan sebelum masuknya hari-hari istimewa di penghujung Ramadhan
Tinggalkan mall-mall, dan segera kembali ke masjid
MENJELANG akhir Ramadhan, umat Islam umumnya berbondong-bondong menuju pusat perbelanjaan (mall). Bahkan, jauh-jauh hari, rencana belanja itu sudah ditetapkan sedemikian rupa, sehingga suasana belanja pun terasa sangat antusias dan meriah.
Seolah tidak ada waktu belanja lagi, mall-mall tampak penuh sesak. Pengunjung dan pembeli pun harus rela berjalan dengan suasana yang sangat sumpek dan berdesak-desakan. Tetapi, semua itu tidak mengurangi semangat berbelanja. Ditambah dengan iming-iming diskon dan lain sebagainya, mall pun menjadi tempat favorit mengisi akhir-akhir Ramadhan.
Sementara itu, kian menuju akhir Ramadhan, masjid yang semestinya dimakmurkan dengan i’tikaf dan berbagai kegiatan ibadah lainnya, justru semakin lengang, sepi. Semangat awal Ramadhan seolah lenyap tanpa jejak.
Inilah yang ironis. Justru di 10 malam terakhir di banyak para malaikan Allah turun dari langit mendoakan hamba-hambanya yang sujud, yang menangis dengan linangan air matanya, yang keningnya merapat ke lantai dan tangan-tangan mereka menengada ke langit guna meminta ampunan, justru  waktu paling mulia ini banyak ditinggalkan karena banyak hati-hati manusia masih tertambat di mall.
Padahal Rasulullah Muhammad berkali-kali meminta kita menghindari pasar dan mall.  “Negeri yang paling dicintai Alalh adalah masjid-masjidnya.” (HR. Muslim).
Banyak kaum Muslim sering lalai dan tak memiliki management waktu. Seharusnya belanja dilakukan sebelum masuknya hari-hari istimewa di penghujung Ramadhan, justru di saat hari-hari penuh berkah mereka sibuk menghadiri mall-mall dan meninggalkan tempat-tempat yang paling disukai Allah dan para malaikatnya, yakni masjid.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS: An Nuur [24]: 37).
Kemuliaan Hanya ada di Masjid
Suasana tersebut tentu berbanding terbalik dengan masa umat Islam di zaman Rasulullah. Di masa itu, umat Islam sangat antusias memakmurkan masjid, lebih-lebih di sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Dorongan keyakinan akan janji Allah begitu kuat, sehingga para sahabat tidak pernah meninggalkan masjid, kecuali memang jika ada udzur syar’i. Umat Islam kala itu benar-benar ingin meraih keutamaan-keutamaan yang Allah berikan hanya apabila umat Islam memakmurkan masjid.
Sebuah hadits memberikan penjelasan tentang keutamaan berangkat ke masjid. “Ada tiga (kelompok) manusia yang berada di dalam jaminan Allah Ta’ala; (pertama) orang yang berangkat ke salah satu masjid Allah; (kedua) orang yang keluar berperang di jalan Allah; dan (ketiga) orang yang berangkat menunaikan ibadah haji.” (HR. Imam Abu Nu’aim).
Selain itu, Allah akan memberikan ampunan kepada orang yang shalat berjama’ah di masjid. “Barangsiapa berwudhu untuk shalat, lalu ia menyempurnakan wudhunya, kemudian berangkat melaksanakan shalat wajib, lalu ia mengerjakannya bersama orang-orang atau jama’ah atau di masjid, niscaya Allah akan mengampuni baginya dosa-dosanya.” (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i).
Tidak saja itu, Allah bahkan akan memberikan balasan jannah. “Barangsiapa berangkat ke masjid dan pulang (darinya), niscaya Allah akan menyediakan baginya tempat tinggal di jannah (surge) setiap kali pergi dan kembali (darinya).” (HR. Baihaqi).
Dengan demikian, dapat dipahami dengan jelas, mengapa Rasulullah dan sahabat serta umat Islam kala itu, sangat ‘lengket’ dengan masjid. Bahkan, karena begitu lengketnya, tidak ada seorang sahabat pun yang absen dalam shalat jama’ah, kecuali Rasulullah bisa mengetahui ketidakhadirannya.
Termasuk jika ada sahabat yang tidak bisa mengikuti dzikir usai shalat, Rasulullah pun bisa mengetahui. Itulah kasus yang pernah dialami oleh Tsa’labah, sahabat Nabi yang karena tidak memiliki baju kecuali di badan yang dipakai secara bergantian dengan istrinya, sehingga setiap usai shalat Tsa’labah harus segera pulang, karena istrinya di rumah sedang menanti pakaian yang dikenakannya untuk mendirikan shalat.
Sungguh luar biasa tradisi umat Islam memakmurkan masjid di zaman Nabi. Jadi, seorang Muslim tidak semestinya meninggalkan masjid apalagi jika tanpa alasan syar’i. Karena hanya masjid-lah satu-satunya tempat yang Allah limpahkan keberkahan dan kemuliaan.
Oleh karena itu, siapapun, sejauh masih bisa melangkah ke masjid, maka wajib hukumnya shalat di masjid. Pernah suatu ketika, ada seorang sahabat buta bertanya kepada Nabi apakah dirinya diperbolehkan shalat di rumah karena kondisinya yang buta. Nabi menjawab, selama mendengar suara adzan berkumandang, maka wajib hukumnya datang ke masjid untuk shalat berjama’ah.
Apalagi, bagi kaum Muslimin yang rumahnya dekat dengan masjid, jelas tidak ada tawaran lagi, kecuali harus shalat di masjid. Rasulullah bersabda, “Tidak ada shalat bagi tetangga masjid, selain (shalat) di dalam masjid (HR. Addarqathani).
Bukti Keimanan
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah [9]: 18).
Ayat tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa, hanya orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, artinya orang yang benar-benar beriman secara haq yang tergerak hatinya untuk memakmurkan masjid-masjid Allah. Dengan kata lain, memakmurkan masjid adalah bukti keimanan seorang Muslim.
Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Apabila kamu melihat orang yang terbiasa masuk masjid maka saksikanlah bahwa dia beriman karena sesungguhnya Allah telah berfirman dalam surat Al-Taubah ayat 18: ““Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Nah, masihkah kita masih ingin berlama-lama dan bersibuk-sibuk di mall-mall yang sesungguhnya tempat paling kurang disukai Rasulullah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar