Powered By Blogger

Selasa, 06 Agustus 2013

JENDELA KELUARGA

Keshalihan Ortu Berpengaruh pada Anak-cucu di Dunia dan Akherat 

 

 

Seorang anak yang diajari shalat dan agama, tidak sama dengan anak yang dibiasakan nonton film, musik, sepak bola dan gemerlap dunia
Beda dengan seorang anak perempuan yang selalu melihat ibunya bersolek di depan para lelaki bukan mahram
Oleh: Shalih Hasyim
WAHAI bapak dan ibu, ketika kita dapati anak kita tidak sesuai dengan harapan, maka terlebih dahulu hendaknya kita melihat diri kita. Barangkali pada diri kita masih ada kesalahan atau dosa-dosa yang masih sering kita lakukan. Karena sesungguhnya amalan-amalan yang dilakukan orangtua akan memberi pengaruh terhadap keshalihan anak. Seorang anak yang melihat ayahnya selalu berdzikir, mengucapkan tahlil, tahmid, tasbih, dan takbir niscaya akan menirunya mengucapkan kalimat-kalimat tersebut.
Demikian juga seorang anak yang diutus orangtuanya untuk memberi sedekah kepada orang-orang miskin dirumah-rumah berbeda dengan seorang anak yang disuruh orangtuanya membeli rokok dan barang-barang memabukkan. Seorang anak melihat ayahnya berpuasa senin kamis dan melaksanakan shalat jumat dan jama’ah tidak sama dengan anak yang melihat kebiasaan ayahnya nongkrong di kafe, diskotik, dan bioskop.
Kita bisa membedakan antara seorang anak yang sering mendengar adzan dengan seorang anak yang sering mendengar ayahnya bernyanyi. Anak-anak itu pasti akan meniru apa yang sering mereka dengar.
Bila seorang ayah selalu berbuat baik kepada orangtuanya, mendoakan dan memohonkan ampunan untuk mereka, selalu berusaha tahu kabar mereka, menenangkan mereka, memenuhi kebutuhan mereka, memperbanyak berdoa, “rabbighfirli wa li wali dayya..”, berziarah ke kuburan mereka bila telah meninggal, dan bersedekah untuk mereka, serta tetap menyambung hubungan dengan teman-teman mereka dan member hadiah dengan orang-orang yang biasa diberi hadiah oleh mereka dahulu. Maka anak yang melihat akhlak ayahnya seperti ini dengan seizin Allah Subhanahu Wata’ala akan menontohnya dan juga akan memohonkan ampunan untuk orangtuanya.
Seorang anak yang diajari shalat dan agama, tidak sama dengan anak yang dibiasakan nonton film, musik, sepak bola atau gemerlapnya dunia.
Seorang anak yang melihat ayahnya shalat di malam hari, menangis karena takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala, membaca al-Qur’an, pasti akan berfikir, “Mengapa ayah menangis, mengapa ayah shalat, untuk apa ayah tidur meninggalkan ranjangnya yang enak lalu berwudhu dengan air dingin di tengah malam seperti ini? Untuk apakah ayah sedikit tidur dan berdoa dengan penuh pengharapan dan diliputi kecemasan?”
Semua pertanyaan ini akan berputar dibenaknya dan akan selalu hadir dalam pikirannya. Selanjutnya dia akan mencontoh apa yang dilakukan ayahnya.
Demikian juga dengan seorang anak perempuan yang melihat ibunya berhijab dari laki-laki yang bukan mahramnya, menutup aurat di hadapan mereka, berhias dengan akhlak malu, ketenangan, dan menjaga kesucian diri. Dia akan mempelajari dari ibunya akhlak tersebut.
Beda dengan seorang anak perempuan yang selalu melihat ibunya bersolek di depan para lelaki bukan mahram, bersalaman, berikhtilat, duduk bersama mereka, tertawa, tersenyum, bahkan berdansa dengan lelaki bukan mahram. Dia akan mempelajari semua itu dari ibunya.
Karena itu takutlah kepada Allah Subhanahu Wata’ala wahai Ayah Ibu, dalam membina anak-anak kalian! Jadilah Anda berdua teladan yang baik, berhiaslah dengan akhlak yang baik, tabiat yang mulia, dan sebelum itu semua berpegang teguh dengan agama ini dan cintailah Allah Subhanahu Wata’ala dan rasul-Nya.
Penjagaan Allah pada Keturunan Orangtua yang Shalih
Keshalihan dan amal baik orangtua memiliki dampak yang besar bagi keshalihan anak-anaknya, dan memberikan manfaat bagi mereka di dunia dan akhirat. Sebaliknya amal-amal jelek dan dosa-dosa besar yang dilakukan orangtua akan berpengaruh jelek terhadap pendidikan anak-anaknya.
Pengaruh-pengaruh tersebut diatas datang dengan berbagai bentuk. Diantaranya berupa keberkahan amal-amal shalih dan pahala yang Allah Subhanahu Wata’ala sediakan untuknya. Atau sebaliknya berupa kesialan amal-amal jelek dan kemurkaan Allah Subhanahu Wata’ala serta akibat jelek akan diterimanya.
Jika orangtua shalih dan gemar melaksanakan amalan baik maka akan mendapatkan ganjaran dan pahala yang dapat dirasakan anak. Ganjaran tersebut dapat berupa penjagaan, rizki yang luas, dan pembelaan dari murka Allah Subhanahu Wata’ala. Adapun amal jelek orangtua, akan berdampak jelek terhadap anak. Dampak tersebut dapat berupa musibah, penyakit, dan kesulitan-kesulitan lain.
Oleh karena itu, orangtua hendaknya memperbanyak amal shaleh karena pengaruhnya akan terlihat pada anak. Bukti pengaruh ini dapat dilihat dari kisah nabi Khidhir yang menegakkan tembok dengan suka rela tanpa meminta upah, sehingga Musa menanyakan alasan mengapa ia tidak mau mengambil upah. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman memberitakan perkataan nabi Khidhir,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (٨٢)
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS. Al Kahfi: 82)
Dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu Wata’ala, “dan kedua orangtuanya adalah orang shalih” Ibnu Katsir berkata: “Ayat diatas menjadi dalil bahwa keshalihan seseorang berpengaruh kepada anak cucunya di dunia dan akhirat, berkat ketaatannya dan syafaatnya kepada mereka maka mereka terangkat derajatnya di surga agar kedua orangtuanya senang dan berbahagia sebagaimana yang yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an dan as sunnah.”
Allah Subhanahu Wata’ala telah memerintahkan kepada kedua orangtua yang khawatir terhadap masa depan anak–anaknya agar selalu bertakwa, beramal shalih, beramar ma’ruf nahi mungkar, dan berbagai macam amal ketaatan lainnya. Sehingga dengan amalan-amalan itu, Allah Subhanahu Wata’ala akan menjaga anak cucunya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (٩)
“Dan hendaklah takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An Nisa: 9)
Dari said bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas berkata: “Allah Subhanahu Wata’ala mengangkat derajat anak cucu seorang mukmin setara dengannya, meskipun amal perbuatan anak cucunya di bawahnya, agar kedua orangtuanya tenang dan bahagia. Kemudian beliau membaca firman Allah Subhanahu Wata’ala yang artinya, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS: Ath Thuur : 21).
Lafal hadits tersebut berbunyi,                     
إِنَّ اللهَ لَيَرْفعُ ذُرِّيَّةَ المُؤمِنِ إِلَيْهِ فِي دَرَجَتِهِ وَ إِنْ كَانُوا دُونَهُ فِي العَمَل ، لِتُقرَّ
بِهِم عَينُهُ ، ثُمَّ قَرَأَ : وَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَ اتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيْمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bazzar (Hal. 221), Ibnu Adi (I/270) dan Al-Baghawi dalam At-Tafsir (8/82) dari Qais bin Rabi’ dari Amr bin Murrah dari Said bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas dan diangkat sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Albani berkata,“Hadits ini mauquf namun dihukumi marfu’’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi Wassalam -red) dan hadits ini memiliki sanad yang baik.”(As-Silsilah Ash-Shahihah no.2490, Al-Maktabah As-Syamilah).
Karena itu bertakwalah dan beramal shalihlah agar doa untuk kebaikan anak Anda diterima!
Diceritakan bahwa sebagian orang-orang salaf dahulu pernah berkata kepada anaknya,“Wahai anakku, aku akan membaguskan shalatku agar engkau mendapat kebaikan.”Sebagian ulama salaf menyatakan bahwa makna ucapan itu adalah aku akan memperbanyak shalatku dan beroda kepada Allah Subhanahu Wata’ala untuk kebaikanmu.
Kedua orangtua bila membaca al-Qur’an, surat al-Baqarah dan surat-surat Al Mu’awwidzat (Al-Ikhlash, Al Falaq, An Naas), maka para malaikat akan turun mendengarnya dan setan-setan akan lari. Tidak diragukan bahwa turunnya malaikat membawa ketenangan dan rahmat. Dan jelas ini member pengaruh baik terhadap anak dan keselamatan mereka.
Tetapi bila al-Qur’an ditinggalkan, dan orangtua lalai dari dzikir, ketika itu setan-setan akan turun dan memerangi rumah yang tidak ada bacaan al-Qur’an, penuh dengan musik, alat-alat musik, dan gambar-gambar haram. Kondisi seperti ini jelas akan berpengaruh jelek terhadap anak-anak dan mendorong mereka berbuat maksiat dan kerusakan.
Sehingga dari itu semua, cara yang paling tepat untuk meluruskan anak-anak harus dimulai dengan melakukan perubahan sikap dan perilaku dari kedua orangtua. Kita harus menanamkan komitmen dan berpegang teguh terhadap syariat Allah Subhanahu Wata’ala pada diri kita dan anak-anak. Serta kita harus senantiasa berbuat baik kepada orangtua kita serta menjauhi sikap durhaka kepadanya, agar anak-anak kita nantinya menjadi anak yang berbakti, selamat dari dosa durhaka kepada kedua orangtua dan murka Allah Subhanahu Wata’ala. Karena anak-anak saat ini adalah orangtua di mana yang akan datang dan suatu ketika ia akan merasakan hal yang sama ketika menginjak masa tua.
Selanjutnya, hal yang tidak boleh kita lupakan adalah senantiasa berdoa, mengharap pertolongan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dalam mendidik anak-anak kita, janganlah kita sombong terhadap kemampuan yang kita miliki. Karena hidayah itu berada di tangan Allah dan hanya Allah Subhanahu Wata’alalah yang membolak balikkan hati hamba-hambaNya.*





Yuk! Ajak Anak Kita “Menyerap” Langsung Energi Ramadhan

 

BULAN Suci Ramadhan adalah bulan kebahagiaan, tidak terkecuali bagi mereka yang masih berstatus sebagai anak-anak. Sayangnya, sebagian besar anak-anak belum mendapat pemahaman yang benar tentang bagaimana semestinya mengisi waktu selama Bulan suci Ramadhan.
Kebanyakan anak-anak hari ini bangun di waktu sahur sekedar untuk berkumpul bersama dengan teman sebayanya, membakar kembang api atau sekedar jalan kesana-kemari menanti Shubuh tiba. Sebagian yang lain, malah ada yang menghabiskan waktu sekedar hanya untuk bermain. Pagi harinya, rata-rata mengisi puasanya dengan tidur pulas sampai terang mentari terasa menyengat.
Bahkan, sebagian lagi, khususnya yang sudah remaja, menjelang buka puasa, tepatnya usai sholat Ashar, kebanyakan menghabiskan waktunya untuk nongkrong di pinggir jalan, mutar-mutar kompleks, atau sekedar ngabuburit. Bahkan yang lebih parah, sebagian remaja kita memanfaatkan hal yang justru bersama jauh dari alaman Ramadhan, nongkrong bersama lawan jenis atau balap motor.
Semua aktivitas anak-anak tersebut mungkin dianggap wajar, toh masih anak-anak. “Yang penting sudah mau puasa, ya Alhamdulillah,” mungkin begitu argumen sebagian orangtua melihat fenomena tersebut.
Tetapi, kalau kita perhatikan secara seksama, sebenarnya di Bulan suci Ramadhan inilah kesempatan besar terbentang luas dalam kehidupan keluarga kita untuk menanamkan kebiasaan positif pada mereka.
Bagaimana tidak, anak-anak bisa bangun malam untuk sahur, kemudian mau ikut sholat Shubuh dan tentunya ikut tarawih juga di masjid.
Semestinya, orangtua tidak membiarkan momentum Ramadhan ini berlalu begitu saja, khususnya dalam kontek pendidikan anak. Ajak mereka untuk memahami apa hakikat puasa ini, sehingga mereka bisa berpikir bahwa di bulan ini mereka mesti bersemangat menempa diri menjadi insan takwa. Jadikan Ramadhan ini justru sebagai madrasah bagi mereka dengan cara langsung menyerap energi “langit” untuk menempa banyak pelajaran langsung dari Allah Subhanahu Wata’ala
Inti puasa, seperti ditegaskan di dalam al-Qur’an adalah menjadi pribadi muttaqin (QS. 2: 183). Dengan demikian sudah kewajiban para orangtua untuk mengajak anak-anaknya memahami hakikat puasa itu sendiri.
Ketakwaan itu sendiri hanya bisa diraih dengan cara menahan hawa nafsu. Hawa nafsu bagi anak-anak adalah keinginan menghabiskan waktu dengan banyak bermain, bersantai ria dan bersenang-senang. Di sini orangtua perlu mengajak anak-anak untuk dialog tentang apa sebenarnya yang mereka pahami tentang puasa ini.
Metodenya?
Ada banyak metode untuk mengajak anak-anak memahami hakikat puasa. Pertama, bisa melalui dialog. Seperti Nabi Ibrahim berdialog dengan Nabi Ismail untuk mengetahui pendapat Ismail terhadap suatu perintah sekaligus mengetahui kematangan berpikir dan kualitas keimanannya, kepatuhannya dan ketaatannya kepada orangtua.
Dialog ini perlu sering dilakukan, utamanya di Bulan Ramadhan untuk memastikan apakah anak-anak kita sudah mengerti, atau belum mengerti tentang hakikat puasa. Sebab, tujuan puasa agar setiap Muslim menjadi pribadi takwa juga perlu dicapai oleh anak-anak kita semua.
Tanpa dialog, maka puasa mungkin hanya akan memberikan kesan mendalam kepada orangtua tetapi tidak pada anak-anak. Sebab, anak-anak dibiarkan dengan dunianya yang kita anggap sebagai wajar.
Wajar tidak wajarnya perilaku anak bukan terletak pada apa yang umum terjadi pada masa anak-anak saat ini. Tetapi apa yang terjadi pada masa anak-anak di zaman Rasulullah, sahabat, dan tabi’in. Mungkin berat, tetapi masak iya, kita tidak mau sama sekali berupaya. Siapa tahu Allah berikan kemudahan di bulan penuh berkah ini untuk membantu anak-anak kita mengerti hakikat puasa.
Dengan dialog yang intens, seputar puasa, maka insya Allah, anak akan merasa dihargai dan karena itu mereka akan berpikir. “Iya, ya, puasa itu kan menahan hawa nafsu untuk jadi orang bertakwa. Tapi saya kok banyakan mainnya daripada ngajinya.”
Jika itu terjadi, maka orangtua tidak perlu menghabiskan tenaga dan waktu untuk melarang anak melakukan ini dan itu selama Ramadhan.
Kedua, bisa dengan memberikan anak-anak bahan bacaan (buku, majalah, atau pun situs di internet) yang menjelaskan tentang keutamaan Ramadhan di zaman Nabi. Tentu tidak cukup hanya memberikan, temani mereka dalam membaca atau bila perlu dibaca bersama-sama. Setelah itu, minta anak-anak berpendapat dan bagaimana rencana mereka setelah membaca informasi penting tersebut.
Ketiga, ajak anak untuk mengikuti aktivitas ibadah yang kita lakukan. Misalnya, orangtua sudah memiliki kebiasaan qiyamul lail, maka mengajak anak-anak, meski baru usia SD tidak mengapa. Hal itu hanya untuk melatih saja, sekaligus memberi pemahaman kepada anak bahwa ada yang namanya sholat tahajjud.
Demikian juga dengan aktivitas ibadah lainnya, seperti sholat tarawih, mendengarkan taushiyah Shubuh di masjid, termasuk membaca al-Qur’an di rumah.
Keempat, beri anak-anak target yang sama dengan orangtua khusus selama Ramadhan. Misalnya, hatam al-Qur’an bersama terjemahannya.. Yang dalam pencapaian target itu, orangtua dan anak melakukannya secara bersamaan. Dengan demikian, maka anak-anak tidak akan merasa diperintah, tetapi merasa dihargai dan diajak, Insya Allah dengan pertolongan Allah, upaya ini akan diberikan kemudahan.
Ketekunan dan Keteladanan
Nasib Islam ini sungguh tidak dapat dipungkiri lagi ada di pundak anak-anak kita sekarang. Jika mereka sejak dini telah memahami hakikat puasa, insya Allah puasa yang akan datang mereka akan menata diri dengan lebih baik. Dan, itu sungguh akan sangat menentramkan hati kita sebagai orangtua.
Mengapa, anak-anak di zaman Nabi, sahabat dan tabi’in begitu bersemangat dalam ilmu dan ibadah? Jawaban yang paling tepat adalah karena para orangtua kala itu memiliki ketekunan dan keteladanan dalam amal ibadah dan tidak pernah jemu mengajak anak-anaknya untuk memahami apa hakikat dari segala sesuatu yang mereka amalkan.
Alkisah satu siang, hari Asyura, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pengumuman kepada penduduk Anshar.  “Barangsiapa yang hari ini berpuasa, hendaknya lanjutkan (sempurnakan) puasanya. Barangsiapa yang tidak berpuasa, hendaknya berpuasa (dengan) sisa hari yang ada. Setelah (mendengar itu) kami berpuasa dan menyuruh anak-anak kecil kami berpuasa pula. Kami pergi ke masjid. Di sana kami membuat mainan dari kain wol bagi mereka (anak-anak). Apabila ada di antara mereka menangis lantaran merasa lapar, kami berikan mainan itu padanya. Ini berlangsung hingga berbuka puasa tiba. (Hadits Al-Bukhari dan Muslim).
Begitulah para orangtua zaman Nabi memperkenalkan anak-anak mereka menyambut Ramadhan. Oleh karena itu, sungguh langkah bijak dan tepat jika kita sebagai orangtua, sejak dini berusaha mengajak anak-anaknya untuk memahami hakikat puasa dengan berbagai amalan sholeh yang sudah semestinya dilakukan selama Ramadhan dan dipertahankan selama sebelas bulan berikutnya.





Pendidikan yang Melembutkan Hati Anak-anak Kita! 

 

Pendidikan modern kata Mohammad Iqbal, tidak mengajarkan air mata pada mata dan kesejukan di hati, inilah prahara dunia pendidikan kontemporer, kata Iqbal
ILUSTRASI
Bisakah kita melahirkan generasi Umar bin Khatab yang setan lari terbirit-birit ketika beliau lewat?
Oleh: Sholih Hasyim
ADA pesan orang bijak, "pandai-pandailah melihat masa lalu." Menengok masa lalu kita perlukan untuk mencermati timbul dan tenggelamnya pendahulu kita. Dengan cara demikian, kita mengambil referensi (rujukan) kehidupan untuk meraih keberhasilan masa sekarang dan masa depan. Dan kita bisa menyikapi diri kita dan memandang jasa pendahulu kita. Sesungguhnya kehidupan manusia hanya dibingkai oleh masa lalu, kini dan hari esok.
Jika kita tidak berhasil mengambil ibrah pada masa silam, kita kehilangan rujukan kehidupan dan kita akan memulai kehidupan ini dari nol. Alangkah sulitnya jika kita memulai kehidupan dari awal. Demikian pula kita tidak tepat dalam menempatkan diri dan menyikapi orang lain. Sedangkan ilmu, pengalaman, umur seseorang memiliki masa ajal. Setiap person dan umat diliputi oleh berbagai keterbatasan.
Ada ungkapan Arab berbunyi: Al Afdhalu lil mubtadi walau ahsanal muqtadi (keutamaan itu bagi perintis, sekalipun pelanjut itu lebih baik). Pun dalam ungkapan lain disebutkan: Al Bidayatu ahsanu min kulli syaiin (perintis itu lebih baik dari setiap aspek, karena telah memulai separo perjalanan lebih).
Karena itu Rasulullah bersabda, ”Tidak termasuk golongan kami yang tidak menghormati generasi tua dan tidak menyayangi yang kecil.”
Di lembaga pendidikan informal India ada kejadian menarik, seorang guru menegur dengan menjewer muridnya dan kabur pulang, namun yang menarik, bapak-ibunya bersikeras mengantarkan putranya untuk kembali ke lembaga pendidikan tersebut. Ia tidak memilih untuk memprotes gurunya. Ia tunjukkan hubungan yang akrab, dekat dan erat dengan guru anaknya. Terkadang, anak usia 10 tahun tidak shalat, boleh dipukul dengan pukulan yang mendidik. Ia menyadari pendidikan bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya tidak berjalan tanpa pendidikan.
Selain India, ada kisah dari Singapura, negara kecil tapi paling maju di Asia. SIngapura sangat konsern dengan bidang pendidikan. Sekalipun seorang perdana mentri dan pejabat tinggi Negara,  tetap antri di ATM. Bahkan jika mereka bersamaan dengan seorang guru ia mendahulukan guru. Dan public telah memaklumiknya. Ia sadar, sekiranya guru terlambat masuk sekolah, bagaimanakah nasib anak-anaknya.
Kontak Batin Orangtua Dan Guru
Bercermin dari kisah diatas, betapa penting  mengambil ‘ibrah, hikmah di balik keberhasilan santri tadi dalam meniti karir kehidupannya setelah dewasa. Dan betapa besar pengaruh pendidikan yang diserap dari pola transaksi spiritual  (mu’asyarah bil ma'ruf) yang menyejukkan, yang pernah dibangun antara orangtuanya dengan  gurunya serta pengasuh anak-anaknya. Tidak sekedar transaksi administratif, formal, yang kering dari makna kehidupan.  Pola hubungan al Mawaddah fil Qurab (kedekatan kekeluargaan) ini dibangun karena tugas kita dalam mendidik anak tidak sekedar menttransfer ilmu tetapi mentransformasikan nilai.
Alangkah ironisnya, karena merasa bisa membayar mukafaah/bisyarah  kepada guru, kemudian mengecilkan pola interaksi yang baik, dengan cara bersikap tidak patut kepada pahlawan tanpa tanda jasa itu.
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf [menolak dengan cara yang baik dan memaafkan perilaku yang kurang sopan dari penerima] lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS: Al Baqarah (2) : 262-263)
Hubungan kedua orangtua dengan anak, juga santri/murid dengan guru, sesungguhnya berpijak/bertumpu pada nilai-nilai adab islami yang saling memuliakan.  Sayangnya, itu kurang terjadi di zaman seperti ini.
Banyak kita temukan seorang santri yang cerdas di pondok, setelah lulus menjadi orang biasa. Kiprah yang diperankan di tengah-tengah masyarakat tidak menonjol. Sedangkan banyak pula santri yang belajarnya tidak teratur, bahkan sering remidi, dia hanya mengabdikan diri secara all out (mati-matian) berkhidmat untuk kebutuhan pondok, patuh dan hormat kepada para guru, memelihara nilai-nilai keikhlasan, berorientasi pada amal shalih, bukan jabatan, setelah pulang ke kampungnya hidup di tengah-tengah masyarakat berhasil mendirikan pondok sendiri dan memiliki ilmunya begitu bermanfaat. Salah satu di antara rahasia keberkahan rizki dan kehidupnya adalah ikatan batin orangtua dengan para gurunya.
Pentingnya Ilmu
Adalah Khalifah Islam ke-4, Ali bin Abi Thalib Radhiallahu anhu yang menyadari betapa pentingnya ilmu. Begitu pentingnya menjaga dan menghormati para pendahulu kita yang mengajarkan ilmu, hingga Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan:  “Ana ‘abdun liman ‘allamani harfan.” (saya siap menjadi budak kepada orang yang mengajariku satu huruf).
Jika  tidak mengerti huruf, maka tidak mengerti kata, jika tidak mengerti kata, maka tidak mengerti kalimat. Jika ketiganya tidak dimengerti secara baik, berarti tidak mendapatkan ilmu sedikitpun. Padahal ilmu memiliki arti sesuatu yang jelas dan terang.
Jika kehidupan ini tanpa disinari oleh ilmu, maka akan tetap dalam keadaan gelap. Penghuninya gelap mata dan gelap pikiran dan hatinya. Bukankah perilaku yang buruk berawal dari pikiran yang buruk pula. Karena tidak trampil memililah-milah, memetakan, mengurai masalah dan memutuskan. Orang bodoh biasanya menyelesaikan problem dengan adu otot, bukan adu otak. Orang bodoh suka mengamuk dan mengkambinghitamkan orang lain. Maka kehadiran orang bodoh bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi.
Banyak santri selalu mendoakan guru-gurunya dalam sujud terakhirnya untuk kebaikan para gurunya setelah meninggal.
Adalah Imam Ahmad Bin Hambal (164-241 H), salah satu ulama madzhab 4, berasal dari Bagdad, ulama yang dikenal amat tegas terhadap hukum ini  sangat tawadhu’ dan hormat dengan gurunya, Imam Syafi’i. Meski banyak berbeda pendapat, beliau terus mendoakan gurunya sampai 40 tahun lama di setiap doanya. Subhanallah.
Untuk mempunyai keturunan yang shalih, kita harus menjadi anak yang shalih terhadap orangtua kita. Mustahil kita dikaruniai anak shalih jika kita tidak berhasil menjadi anak shalih untuk bapak ibu kita. Dan Bapak dan Ibu mertua kita. Jadi, keberhasilan dan keberkahan kehidupan kita berbanding lurus dengan hubungan yang baik dengan sesepuh kita.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: “ Jadilah kamu orang ‘alim, atau pelajar, atau senang mendengarkan kajian keilmuan, atau mencintai orang berilmu dan pelajar, janganlah kamu menjadi orang nomer lima, maka kamu kelak akan hancur.”  (al Hadits).
Ada ungkapan pendidikan yang menarik, ”Qaddimil khidmah qablal ‘ilmi (dahulukan pengabdian sebelum berilmu). Ada proses spiritual yang dijalankan sebelum otaknya diisi dengan ilmu pengetahuan.
Itulah sebabnya para ulama dan kiai punya cara untuk ‘menjinakkan’ hatinya santri-santrinya dengan riyadhoh, mujahadah (latihan batin), dengan menunjukkan pengabdian tanpa pamrih. Sehingga ketia mereka siap diterjunkan di tengah umat, ia sudah siap bekerja tanpa pamrih apapun, kecuali ridho Allah Subhanahu wata’ala.
Banyak santri di pondok pesantren  mendapatkan tambahan “Ta’limul Muta’allim” (Kode Etik Pelajaran), dan kitab-kitab akhlak karya ulama mashur.  Bacaan mereka adalah Safinatun Najah (perahu keselamatan),  Sullamut Taufiq (tangga menuju taufiq),  Tafsirul Jalalain (Tafsir Kebahasaan Disusun Dua Imam Jalaluddin), ‘Uqudul Lajin (Ikatan Suami Istri), Tanbigul Ghafilin (peringatan bagi yang lalai), Ta’limul Muta’allim dan masih banyak lagi yang isi sebenarnya adalah untuk ‘melembut’ kan hati mereka.
Pelajaran seperti ini selalu  diulang-ulang dengan niat mengamalkan agar setelah lulus ilmu mereka bisa lebih barakah (menambah kebaikan).
Agak berbeda dengan pendidikan di sekolah-sekolah jaman sekarang. Bergantu menteri dan berganti kurikulum, tetap tidak bisa melahirkan generasi yang memeliki hati yang “lembut”. Banyak sekolah dengan gedung-gedung bagus, namun hasilnya ternyata menyimpan prahara (tsunami) agama. Yakni, miskinnya adab, akhlaq dan krisis moralitas.
Bedakan dengan referensi yang diterima murid-murid zaman sekarang, kemungkinan niat mencari ilmu supaya nanti dapat kerjaan yang layak dan dapat ijazah, ilmu hanya sebagai kekayaan kognitif. Boleh jadi karena ini kehidupan mereka kurang barakah.
Pendidikan modern, kata Mohammad Iqbal tidak mengajarkan air mata pada mata dan kesejukan di hati. Inilah prahara dunia pendidikan kontemporer.
Murid-murid yang lahir oleh pendidikan modern, tidak berdaya meluluskan pelajar yang salimul aqidah (aqidahnya steril dari syirik), shahihul ibadah (ibadahnya benar dan lurus), karimul akhlak (mulia akhlaknya), mujahid lidinihi (pejuang bagi agamanya), multazimun bil Imamah wal Jama’ah (memiliki keterikatan yang kuat dengan pola kepemimpinan imamah dan jama’ah), shalihun linafsihi wa nafi’un lighoirihi (sholih untuk dirinya dan memberikan manfaat untuk orang lain).
 
 
 
Pendidikan modern kata Mohammad Iqbal, tidak mengajarkan air mata pada mata dan kesejukan di hati, inilah prahara dunia pendidikan kontemporer, kata Iqbal
Anak-anak yang lahir dari pendidikan ber-adab akan melahirkan generasi-generasi tauhid
Oleh: Sholih Hasyim
Ummat Terbaik
Sesungguhnya kata “adil” dan “adab” banyak kita temukan dalam Undang-undang kita. Bahkan dalam rumusan Pancasila yang merupakan indikator yang jelas kuatnya pengaruh pandangan Islam. Itu pula ditandai dengan terdapatnya sejumlah istilah kunci lain yang muatannya khas Islam – seperti “hikmah”, “musyawarah”, “perwakilan’, - dll.
Dua kata adil dan beradab berasal dari kosa kata yang memiliki makna khusus (istidlalan), maka hanya dapat dipahami dengan tepat jika dirunut pada pandangan-alam Islam.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS:  An Nahl (16) : 90).
Prof. Dr. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa makna adil dalam ayat ini “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembaliukan hak kepada pemiliknya dan jangan berlaku zhalim, aniaya.”
Lawan dari adil adalah zhalim, yaitu mengingkari kebenaran karena ingin mencari keuntungan duniawi, mempertahankan perbuatan yang salah, karena ada kedekatan hubungan. Maka, selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka selama itu pula akan aman sentosa, timbul amanat dan saling mempercayai. Jadi adil tidak identik sama rata-sama rasa.
Banyak ulama telah banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Anas ra. Meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:  “Akrimu auladakum wa-ahsinu adabahum.” (Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka (HR. Ibnu Majah).
Adalah KH. Asy’ari membuka karya tulisnya “Adabul ‘Alim Wal Muta’allim” , dengan mengutip sabda Rasulullah SAW : Haqqul waladi ‘alaa waalidaihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhi’ahu wa yuhsina adabahu (Hak seorang anak atas orangtuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik).
Habib bin as-Syahid suatu ketika menasihati putranya, ”Ishhabil fuqohaa-a wa ta’allam minhum adabahum, fainna dzalika ahabbu ilayya min katsirin minal haditsi.”  (Bergaullah engkau dengan para fuqaha serta pelajarilah adab mereka. Sesungguhnya yang demikian itu lebih aku senangi daripada banyak hadits).
Ibnul Mubarak pernah mengatakan ; “Nahnu ilaa qalilin minal adabi ahwaja minna ilaa katsirin minal ‘ilmi.” (Mempunyai adab sedikit lebih kami butuhkan daripada banyak ilmu pengetahuan).
Rasulullah SAW bersabda : Tiada suatu pemberian yang paling baik dari orangtuanya kepada anaknya melebihi dari adab yang baik.”  (al Hadits).
Tiada sesuatu yang paling berat pada timbangan  seorang hamba pada hari kiamat melebihi dari akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi).
Bertolak dari al-Quran dan Hadits serta perkataan para ulama di atas dapat dipahami bahwa adab sesungguhnya derivasi dari kualitas keimanan dan mutu ketaatan dalam menjalankan hukum-hukum Allah Subhanahu Wata’ala. Adab bukan sekedar sopan-santun dan unggah-ungguh (Jawa). Tetapi adab menggabungkan amal hati, amal lisan, dan amal anggota tubuh.
Bahkan, individu manusia yang terbaik adalah yang beriman dan beramal shalih (khoirul bariyyah) dan komunitas yang paling baik  (khairu ummah) adalah yang selalu mengajak kepada al-ma’ruf (kebaikan yang dikenali hati) dan mencegah dari al-nunkar (kejelekan yang diingkari hati).
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk.” (QS. Al Bayyinah (98) : 7)
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS:Ali Imran (3) : 110).
Demikianlah dampak dari pendidikan yang mendahulukan adab. Anak-anak yang lahir dari pendidikan ber-adab akan melahirkan generasi-generasi tauhid yang hanya takut pada Allah semata.  Generasi bertauhid, sudah pasti sikap dan tindak-tanduknya menggetarkan dunia dan alam sekitarnya.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah رضي الله عنها bahwa Rasulullah pernah bersabda,  “Sesungguhnya setan lari ketakutan jika bertemu Umar.”
Pertanyaannya, adakah pendidikan dan sekolah kita mampu melahirkan orang sekaliber Umar bin Khattab ini?
Sebaliknya, jika kita gagal menanamkan adab dan akhlak kepada anak-anak kita, yang lahir adalah generasi-generasi yang sesungguhnya tidak bermutu yang ujungnya justru meruntuhkan kekuatan bangsa kita yang katanya besar ini.
Sebagai penutup, ada pepatah Arab mengatakan, “Bangsa akan eksis jika akhlak penduduknya bermutu, jika akhlaknya hilang, maka ucapkanlah takziyah (ucapan selamat tinggal untuk orang yang meninggal) kepada bangsa tersebut.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar