Powered By Blogger

Sabtu, 13 April 2013

JENDELA KELUARGA

BERBEDA HAK DAN KEWAJIBAN


MASALAH "kekerasan terhadap perempuan dan anak" menjadi topik hangat saat ini. Tuntutan untuk menghapus semua bentuk kekerasan terhadap perempuan yang masuk dalam agenda persidangan sesi ke-57 Komisi Kedudukan Perempuan yang berlangsung dari 4-15 Maret 2013 di Markas Besar PBB New York, sungguh membingungkan.
Apakah benar bahwa tugas sebagai ibu rumah tangga tanpa upah adalah bentuk kekerasan? Apakah benar bahwa perempuan menjadi miskin karena tugasnya sebagai ibu rumah tangga tidak diberikan imbal bayaran?
Jika setiap pekerjaan mengharuskan adanya upah yang seimbang, maka upah sebagai ibu dalam Islam adalah upah yang termahal. Upah yang tidak cukup dibayar dengan berapapun jumlah uang. Upah yang tak terbayar dengan setinggi apapun gumpalan emas.
Tugas sebagai ibu dalam Islam adalah tugas yang sangat mulia. Karena itu Allah Subhanahu Wata’ala mewasiatkan kepada manusia tentang kewajiban bersyukur dan berbuat baik kepada kedua orangtua.
ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن وفصاله في عامين أن اشكرلي ولوالديك إلي المصير.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS: Luqman [31]: 14]
Wasiat adalah suatu hal penting yang dipesankan seseorang agar dilaksanakan. Wasiat biasanya dipesankan oleh seorang kepada ahli waris ketika ajal mendekatinya. Dan, wasiat wajib dilaksanakan.

Begitu tinggi dan mulianya kedudukan ibu dalam Islam sehingga Allah Subhahahu Wata’ala merasa perlu memberikan wasiat kepada makhluk ciptaan-Nya berupa kewajiban agar anak berbakti kepada kedua orangtua, dengan memberikan penekanan kewajiban bersyukur dan berbuat baik kepada ibu, karena beratnya tugas yang harus dipikul ibu selama mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh.
ووصينا الإنسان بوالديه احسانا حملته أمه كرها ووضعته كرها وحمله وفصاله ثلاثون شهرا
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS: Al Ahqaaf [46]: 15]
Mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh balita adalah beban yang sangat berat bagi seorang ibu. Mengandung, membuat kondisi fisik ibu terasa tidak nyaman. Terutama pada bulan-bulan pertama kehamilan. Perubahan hormon dalam tubuh ibu menyebabkan rasa mual dan pusing. Nafsu makan hilang. Badan terasa tidak enak. Tenaga berkurang. Rasa nyeri dibagian rahim sering diiringi rasa sakit di kepala. Bahkan, bagi sebagian ibu, menjelang tiga bulan usia kehamilan, dunia seperti berhenti berputar. Sebagian yang lain mengalami hal ini sampai kehamilan berusia tujuh bulan. Berapa bayaran yang layak untuk tugas seberat ini

Bulan-bulan terakhir kehamilan adalah beban fisik lain yang harus dipikul seorang ibu. Ibu harus betul-betul menjaga kondisi fisiknya agar bayi lahir dalam keadaan sehat dan sempurna. Ibu tidak dapat tidur dengan nyaman. Miring ke keri susah, miring ke kanan terasa sulit, apalagi membujur menelentang. Semua serba salah. Semua serba tidak nyaman. Berapa upah yang layak untuk tugas seberat ini?

Detik-detik menjelang melahirkan adalah masa yang paling menegangkan. Rasa sakit luar biasa sudah dirasakan begitu kontraksi pertama dimulai. Sebagian ibu menanggung rasa sakit ini dalam hitungan jam. Sebagian yang lain sampai berhari-hari. Puncaknya terjadi ketika seorang ibu harus mengeluarkan seluruh tenaga, menguras semua daya dan kekuatan, bersimbah darah terluka-luka demi kehadiran sang bayi di tengah keluarga. Dalam banyak kasus, seorang ibu harus berjuang mempertaruhkan nyawa untuk sebuah kelahiran. Berapa upah yang layak untuk tugas seberat ini?

Menyusui, apalagi sampai dua tahun adalah beban lain yang harus dipikul ibu. Menyusui, kelihatannya seperti urusan sepele saja. Padahal ibu harus menanggung rasa sakit ketika pertama kali sang bayi menghisap makanan dari tubuh ibunya. Air susu yang memadati payudara tidak jarang membuat badan ibu terasa panas dingin. Disamping itu, ibu harus menjaga gizi makanan agar bayi tumbuh sehat dan sempurna. Tengah malam dalam keadaan tidur nyenyak, tidak jarang ibu harus bangun menyusui atau mengganti popok sang bayi. Siang malam selama dua tahun, semua kenyamanan hidup diberikan untuk si kecil. Bahkan, dalam kondisi sakit sekalipun. Berapa upah yang layak untuk tugas seberat ini?

Mengasuh balita sampai berusia lima tahun adalah beban berikutnya yang harus dipikul ibu. Dari menyiapkan makanan khusus bayi, yang harus serba steril dari kuman. Popok dan pakaian yang setiap kali harus diganti dan dicuci. Tempat tidur yang nyaman dari gangguan nyamuk dan suara yang mengganggu kenyamanan tidur sang bayi. Sampai pada pencegahan agar bayi tetap sehat dan tumbuh berkembang menjadi anak yang cerdas. Dalam keadaan bayi sakit, seluruh waktu dan perhatian ibu tertuju pada bayi. Siang malam ibu tidak bisa tidur ketika buah hatinya terserang demam panas. Berapa upah yang layak untuk tugas yang tidak kenal waktu dan tidak kenal lelah ini?
Karena itulah kenapa dalam berbakti kepada kedua orangtua ibu diutamakan tiga kali dari ayah.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.” (HR: Bukhari dan Muslim)
Karenanya, sungguh sangat layak jika dikatakan bahwa surga berada di telapak kaki ibu.



Tulisan sebelumnya; Mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh balita adalah beban yang sangat berat bagi seorang ibu. Mengandung, membuat kondisi fisik ibu terasa tidak nyaman. Terutama pada bulan-bulan pertama kehamilan. Perubahan hormon dalam tubuh ibu menyebabkan rasa mual dan pusing.....[baca tulisan Pertama: Berbeda Hak Berbeda Kewajiban (1) ]
Yang Kuat Harus Memikul beban
Tahukah mereka, para penggagas agenda sidang ke-57 Komisi Kedudukan Perempuan di PBB bahwa perempuan dalam Islam telah menerima upah materi terlebih dahulu berupa mahar dan kelengkapan tempat tinggal sebelum menjalankan tugasnya sebagai ibu?

Tahukah mereka bagaimana Islam menempatkan posisi seorang ibu? Tahukah mereka bahwa perempuan sebagai ibu dalam Islam dapat menikmati makanan yang lezat, tinggal di tempat yang layak, memakai pakaian terbuat dari sutera dan perhiasan emas berlian tanpa harus bersusah payah mencari uang?
Sementara, laki-laki sebagai pencari nafkah harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Namun demikian, dengan hasil jerih payahnya laki-laki tidak dibolehkan memakai sutera apalagi emas berlian.
Allah Subhanahu Wata’ala telah menciptakan manusia dari satu unsur yang sama menjadi dua jenis manusia dalam bentuk fisik dan biologis yang berbeda.

Yang satu diciptakan dalam bentuk fisik yang lebih besar dengan otot-otot yang penuh kekuatan. Yang lain lebih kecil dengan tenaga yang lebih kecil pula.
Yang lebih besar dan lebih kuat diberikan tanggung jawab memikul beban yang lebih besar dan lebih berat. Sementara yang lebih kecil diberikan tanggung jawab sesuai dengan kapasitasnya.
Kedua makhluk ini memiliki banyak persamaan karena diciptakan dari unsur yang sama. Mereka sama-sama membutuhkan oksigen untuk bernafas. Mereka sama-sama membutuhkan nutrisi untuk tumbuh berkembang. Mereka sama-sama membutuhkan pendidikan untuk menjadi pintar.
Tidak ada yang membedakan keduanya dari sisi kemanusiaan. Karena itu Allah Subhanahu Wata’ala memberikan ganjaran pahala yang sama, siapapun diantara kedua jenis makhluk ini yang berbuat kebaikan. Demikian pula dengan sangsi, mereka dikenakan sangsi yang sama atas kejahatan yang sama pula tanpa membedakan jenis kelamin.
من عمل صالحا فلنفسه ومن أساء فعليها
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.” (QS: Fushilat : 46]
Perbedaan hak dan kewajiban suami istri dalam Islam bukanlah bentuk kekerasan. Dan, tugas sebagai ibu bukanlah penyebab kemiskinan perempuan.
Islam telah mengatur manajemen keuangan dalam rumah tangga dalam bentuk yang sangat adil, seimbang dan harmonis. Dalam harta suami ada hak istri. Istri boleh menggunakan harta milik suaminya tanpa izin suami, sebaliknya suami tidak boleh menggunakan harta istri tanpa izin dari istrinya.

Membebani ibu dengan tugas mencari uang sama artinya dengan membebani bapak untuk hamil, melahirkan dan menyusui. Tugas berat ini mustahil dilakukan oleh bapak. Karena itu, mengharuskan ibu mencari nafkah adalah bentuk kekerasan yang harus ditolak!*







BERBAGI HARTA DENGAN KELUARGA MERTUA


 

SIAPAPUN tak menyangkal, bahwa uang adalah hal yang sensitif. Seringkali pertikaian dan percekcokan yang terjadi di ranah rumah tangga disebabkan oleh uang.  Bahkan banyak rumah tangga yang hancur akibat persoalan uang.
Salah satu contoh kasus adalah apa yang dialami rumah tangga Yusuf dan Asti. Asti sering menggerutu ketika sang suami, Yusuf, setiap bulan menyalurkan uang kepada keluarga orangtuanya. Yusuf memberikan uang untuk keperluan sehari-hari kedua orangtuanya dan membiayai sekolah adiknya yang paling kecil.
Di awal pernikahan, sampai memiliki satu anak pun sebetulnya Asti tahu persis bahwa Yusuf adalah tulang punggung keluarga orangtuanya. Asti pun berusaha memahami dan mengikhlaskannya. Namun, sejak kehadiran buah hati mereka yang kedua, Asti merasa kebutuhan rumah tangganya semakin menggelembung. Asti pun mulai mempersoalkan kebiasaan Yusuf. 

Kasus ini juga terjadi pada banyak pasangan rumah tangga lain.  Tidak hanya terjadi di pihak suami,  kadang istri pun melakukan hal yang sama.

Berasal dari Keluarga
Siapapun tak dapat menghapus jejak bahwa sebelum menikah dan membina kehidupan berumahtangga, setiap manusia lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga. Seorang lelaki atau perempuan dibina untuk menanggung beban tanggung jawab hidup, dalam keluarga.

Mengingat semua ini tentu kita juga tak dapat melupakan peran orangtua dalam merawat dan mendidik baik diri kita sendiri maupun pasangan. Dibalik peran tersebut, tentu banyak pengorbanan yang dilakukan oleh orangtua dan keluarga hingga kita dapat menjelma menjadi sosok yang sekarang.

Pengorbanan yang dilakukan oleh orangtua tentu tidak ada yang berpamrih. Namun, tentunya kita semua tahu bahwa semakin hari orangtua kita semakin berkurang tenaganya bahkan ada yang memasuki kondisi renta. Bila bukan kita yang menanggung atau meringankan beban tersebut, lalu siapa lagi?

Pemahaman tentang hal ini harus benar-benar dimiliki oleh siapapun yang akan menikah, bahwa apapun yang terjadi pada hari ini, tak dapat terlepas dari pengorbanan orangtuanya dan apa yang pernah dilewati oleh pasangan dalam keluarganya. Sehingga bila nanti hadir tuntutan untuk berbagi penghasilan dengan keluarga pasangan, tidak akan timbul rasa keberatan.

Komitmen untuk saling menerima apa adanya juga sangat penting untuk ditumbuhkan sedari awal pernikahan diniatkan. Ada beberapa pasangan yang mungkin berasal dari keluarga yang berkecukupan sehingga tak ada himbauan untuk meringankan beban ekonomi keluarga setelah menikah. Namun, tak jarang pasangan justru lahir dari keluarga yang kurang berada, sehingga dia yang kita pilih untuk mendampingi hidup, masih harus berbagi penghasilan untuk menghidupi keluarga.

Menyikapi keadaan perekonomian keluarga pasangan yang seperti inilah kesiapan kita untuk menerimanya apa adanya teruji. Dikala kondisi keuangan masih “aman-aman” saja, mungkin kita masih tersenyum lepas padanya saat berbagi. Namun, di kala keuangan tengah sulit, masihkah kita melapangkan dada untuk tidak menyesali pilihan yang jatuh padanya?

Selanjutnya, kita tentu menyadari sejak awal pernikahan dilangsungkan, kita tidak hanya menikah dengan seseorang yang kini ada di sisi. Namun, kita juga menikahi keluarganya dan segenap kondisi yang terjadi dalam keluarganya. Saat ijab kabul terucap, detik itu pula kita menjadi bagian dari kehidupan keluarganya. Nah, dengan demikian, detik itu pula beban yang menggelayuti pasangan dan keluarganya adalah beban yang mau tidak mau harus turut kita ditanggung.

Alokasi Pengeluaran
Lalu, apakah menikah berarti menambah beban hidup? Sejatinya tidak, karena kita telah menikah atau belum menikah, Rasulullah berpesan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abi Ad-Dunya bahwa amal kebajikan yang dicintai oleh Allah adalah membahagiakan sesama muslim dengan menghilangkan kesusahan hidupnya, membayar  hutangnya, dan menjauhkan dari kelaparan. Jadi, kewajiban untuk menghilangkan nestapa dari kehidupan muslim yang lain adalah kewajiban mendasar setiap muslim.

Khusus buat mereka yang telah mengikatkan diri dalam akad pernikahan, mari kita simak sabda Rasulullah yang mulia, “Al Aqrabun Aula bil Ma'ruif (kerabat lebih utama untuk diberi bantuan).” Memberi pada kerabat yang terdekat –termasuk  pada keluarga suami atau istri– adalah  lebih utama untuk kita lakukan.

Secara mikro, hal ini bermaksud untuk menjadikan keluarga sebagai pilar utama pendukung dakwah dan sebagai penopang utama kegiatan kita di jalan Allah. Secara makro, seandainya semua muslim berbagi dan memperhatikan keluarganya terlebih dahulu dengan segenap kemampuan yang dimiliki, maka akan semakin sedikit fakir miskin yang membutuhkan bantuan karena mereka telah lebih dahulu terlindungi oleh keluarga.
Allah SWT berfirman;

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيراً
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوراً
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu saudaranya setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhan-Nya.” (QS: Al Israa [17] : 26-27).

Lalu bagaimana bila keuangan yang kita miliki pun tak mencukupi kebutuhan? Di sinilah pentingnya untuk membicarakan hal yang sensitif ini dengan pasangan. Bicarakanlah dengan lapang dada untuk membuat perencanaan anggaran kebutuhan keluarga. Meski telah berumah tangga bertahun-tahun, bukan tak mungkin cara pandang tentang kebutuhan masih sangat berbeda.

Boleh jadi sesuatu yang dianggap tak terlalu penting bagi kita adalah sesuatu yang tak dapat ditawar lagi keberadaannya bagi pasangan. Misalnya bagi sang istri, naik angkutan umum ke berbagai tujuan bukan masalah. Namun, dari sudut pandang sang suami, keberadaan sepeda motor adalah hal yang mutlak diperlukan karena lebih efisien dalam waktu dan lebih irit pengeluaran karena bahan bakar lebih murah dibandingkan dengan terus menerus membayar angkot.

Nah, memperhitungkan efisiensi segala hal, faktor keamanan dan kenyamanan, serta besar mana pengeluaran yang harus disiapkan untuk membayar cicilan motor berikut pemeliharaan setiap bulan dengan ongkos membayar angkot, tentu perlu pembicaraan yang serius dan lapang dada.

Marilah bersama memperhitungkan setiap hal dengan detail, sehingga akan terlihat mana kebutuhan yang benar-benar harus dipenuhi dengan kebutuhan yang masih dapat dikompensasikan dengan yang lebih murah atau malah ditiadakan sama sekali. Bersama membicarakan alokasi keuangan keluarga ini sangat penting. Disamping akan mencapai kesepahaman akan kebutuhan keluarga, sikap untuk saling menghargai akan sesuatu yang dianggap penting oleh pasangan pun akan semakin terbangun.
Hal yang tak kalah penting dalam membuat alokasi anggaran ini adalah kesadaran untuk menyisihkan sebagian dari pendapatan untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Tak perlu merasa malu bila kita hanya dapat berbagi sedikit, sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Karena, Rasulllah pun mengingatkan untuk selalu berbagi pada saat lapang maupun sempit. Sekali lagi, bukan hanya saat kita memiliki kelebihan harta saja bukan?
Yang terakhir, dan ini yang terpenting adalah keyakinan bahwa Allah tidak akan memiskinkan hambaNya karena menolong orang lain. Mari kita resapi pesan RasulNya berikut ini:
“Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya, barangsiapa yang mengeluarkan seorang muslim dari kesusahan (di dunia) maka Allah akan mengeluarkannya dari kesusahan hari kiamat dan barang siapa menutupi aib seorang Muslim maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.” (HR Bukhori, Muslim dan Abu Dawud)
Satu hal lagi, Allah Yang Mahakaya menjamin bahwa orang-orang yang menikah karenaNya pasti akan menjadi kaya, “Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Mahaluas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” Jadi, tak perlu merasa kehilangan ketika harus memberi pada keluarga dan orang-orang yang membutuhkan lainnya.
Karena, kita adalah orang-orang kaya dan akan selalu dijamin kekayaannya oleh Allah.








MENDIDIK ANAK ALA NABI YA'KUB


 DEWASA ini, tantangan dan rintangan yang harus dihadapi oleh orangtua dalam mendidik putra-putrinya terasa berat. Beban ujian dan godaan datang bertubi-tubi dari segala penjuru. Jika tidak pandai mendidik anak, bisa saja mereka masuk dalam generasi gagal. Anak kita tidak dilahirkan selaras dengan zaman kita.
Belajar dari seorang Wali Allah, Luqman, kita bisa belajar tentang mendidik anak. Beliau membekali anaknya dengan iman, tauhid dan akidah yang kokoh. Luqman mengajarkan putranya agar menjadi insan beriman, memiliki kekokohan akidah, tidak menyekutukan Allah Subhanahu Wata’aladengan apapun juga.
Luqman mengenalkan kepada putranya siapa yang telah menciptakannya, menghidupkan, mematikan, dan memberi rezeki. Iman merupakan sumber inspirasi, pembuka wawasan, dan ide-ide cemerlang. Sebagai inspirasi, iman dapat membuat seseorang tergerak melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan. Dengan inspirasi iman, seseorang akan memilki motivasi dalam memenuhi seruan-seruan kebajikan.
Sejarah mengukir kisah orang-orang yang terdidik dengan pendekatan iman.
Dengan iman, Abu Bakar Ash-Shiddiq menyerahkan semua hartanya di jalan Allah. Dengan iman pula, Umar bin Khattab sebagai Kepala Negara siap sedia membawa gandum di pundaknya, ia serahkan kepada seorang wanita yang papa. Dengan inspirasi iman, Ali bin Abi Thalib rela tidur di pembaringan Sang Nabi di waktu rumahnya dikepung musuh.
Dengan inspirasi iman, seseorang akan mampu bangun di waktu malam, bermunajah kepada Allah, di musim dingin sekalipun. Dengan kekuatan iman juga, Sumayyah tetap berkomitmen menjaga tauhidnya meski harus merelakan nyawa satu-satunya. Semuanya karena iman kepada Allah.
Dengan iman yang kuat, seseorang akan berusaha menghiasi diri dengan akhlak yang mulia.
Akhlak sangat penting dihadirkan dalam segala situasi dan kondisi. Kemuliaan akhlak ada pada dorongan iman yang kuat. Kekuatan iman membuat seorang anak selalu beretika dalam tiap tindak tanduknya, menghindari perilaku-perilaku tercela. Dengan iman yang mantap, seorang anak yang didik dengan metode ini, akan memilki rasa malu. Malu dalam melakukan kejahatan.
Rasa malu nyaris lenyap dalam kehidupan kita. Ada seorang anak tidak malu-malu membuat malu keluarga dengan perbuatan nistanya. Tanpa rasa malu ia berbuat keji. Tanpa iman, seseorang akan ringan-ringan saja melangkahkan kaki dalam perbuatan yang dimurkai Allah Subhanahu Wata’ala.
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam  memprioritaskan pendidikan iman dalam dakwahnya. Beliau  mengajarkan cara beriman dan bertauhid kepada para sahabatnya yang kemudian ditularkan kepada anak-anak mereka. Sebagai salah satu contoh kesuksesan orang tua memberi asupan iman dan akidah yang kokoh kepada anaknya adalah Ali bin Abi Thalib.

Akkisah, dalam suatu kesempatan, Zainab duduk bersama ayahnya di dalam kamar.
Sambil membelai-belai putrinya, sang ayah, Imam Ali, bertanya, “Dapatkah engkau mengucapkan kata ‘satu’ ?”
“Dapat…”, jawab Zainab dengan gaya kekanak-kanakan.
“Cobalah,” lanjut Imam Ali.
“Sa-tu.”
“Coba ucapkan lagi dua…”
Zainab diam, tidak menjawab.
“Cobalah, ucapkan sayang…!”, ayahnya mengulang pertanyaannya.
“Ayah,” kata Zainab, “aku tidak sanggup mengucapkan ‘dua’ dengan lidah yang sudah terbiasa mengucapkan “satu.”
Dalam kesempatan yang lain, pada suatu hari Zainab bertanya kepada ayahnya, “Ayah, benarkah ayah mencintai diriku?”
“Bagaimana tidak, bukankah engkau kesayanganku?”
Mendengar jawaban ayahnya seperti itu Zainab menyahut, “Seharusnya cinta itu ditujukan kepada Allah, sedangkan diriku cukuplah kasih sayang.”
Lihatlah bagaimana seorang anak di bawah umur sudah memahami iman kepada Allah Subhanahu Wata’aladengan begitu dalam. Bandingkan dengan kenyataan yang dialami anak-anak kita hari ini. Mungkin anak-anak kita memiliki kecerdasan intelektual namun nihil kecerdasan spiritual. Pendidikan yang bersendikan iman dan tauhid kepada Allah, akan menjadikan anak-anak tahu mana yang baik dan buruk, mana yang diridhai oleh Allah Subhanahu Wata’ala dan dimurkai-Nya, dan berusaha untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik, di mana pun ia berada, ke mana pun ia melangkahkan kakinya.
Pada detik-detik kemangkatannya Nabi Ya`qub A`laihis Salaam tidak bertanya tentang materi yang akan diperoleh oleh anak-anaknya. Beliau menanyakan iman.
Allah Subhanahu Wata’ala merekam dengan sangat indah momen dialog Nabi Ya`qub dengan anak-anaknya.

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَـهَكَ وَإِلَـهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS: Al-Baqarah : 133).

Nabi Ya`qub tidak bertanya soal apa yang akan dimakan sepeninggalnya, beliau bertanya tentang iman. Iman tidak bisa diwariskan kepada anak-anak kita. Kita dapat mengajarkan iman kepada anak-anak itu sejak dini, sebagai bekal dalam menjalani kehidupan di dunia yang belakangan begitu menyedihkan.
Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh Mohammad Fauzil Adhim dalam bukunya “Positive Parenting” (Cara-cara Islami Mengembangkan Karakter Positif Pada Anak Anda) berikut ini, patut menjadi renungan bagi kita semua.
“Seberapa gelisah kita hari ini? Apakah kita sibuk memperbanyak tabungan agar mereka kelak tidak kebingungan cari makan sesudah kita tiada? Ataukah kita bekali jiwanya dengan tujuan hidup, visi besar, semangat yang menyala-nyala, budaya belajar yang tinggi, iman yang kuat dan kesediaan untuk berbagi karena Allah?”








AGAR PERNIKAHAN BERLIMPAH BARAKAH




TAK ada yang lebih berharga dalam rumah-tangga kecuali pernikahan yang penuh barakah. Tak ada yang lebih patut kita harapkan dalam pernikahan melebihi barakah. Inilah yang Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam tuntunkan kepada kita. Sesungguhnya, barakah adalah kebaikan yang sangat banyak, kebaikan yang berlimpah, kebaikan yang bertambah-tambah. Jika pernikahan kita berlimpah barakah, maka bahagia pasti akan menyertai. Sebaliknya, pernikahan yang bahagia, belum tentu ada barakah di dalamnya.

Jika Allah Ta'ala berikan barakah, maka apa yang tampaknya merupakan kesulitan, maka ia akan menjadi jalan kebaikan. Apa yang tampaknya berat, mendatangkan kebaikan. Sebaliknya, jika Allah Ta'ala mencabut barakah dari pernikahan, maka apa yang saat ini mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan akan menjadi jalan datangnya keburukan di kemudian hari. Itu sebabnya, kita harus senantiasa mengharap barakah Allah 'Azza wa Jalla dan berusaha untuk menempuh jalan yang penuh barakah.

Semoga Allah Ta'ala berikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Kita memohon petunjuk dan kekuatan kepada Allah subhanahu wa ta'ala untuk mampu melaksanakan apa yang telah ditunjukkan-Nya.

Sesungguhnya nilai setiap amal sangat tergantung kepada niatnya. Jika niat kita benar dan mulia, maka hal-hal mubah yang kita kerjakan dalam rangka meraih kemuliaan tersebut, akan terhitung sebagai kemuliaan juga. Sebaliknya, apa-apa yang diwajibkan maupun disunnahkan dalam agama ini, jika melakukannya bukan karena niat yang benar, maka kebaikan tersebut tak berharga di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala.

Nikah merupakan salah satu sunnah Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam. Yang dimaksud sunnah dalam hal ini adalah sesuatu yang dicontohkan dan sekaligus diperintahkan dengan perintah yang jelas dari Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam. Jika kita menikah karena ingin memuliakan sunnah, maka Allah Ta'ala akan limpahi barakah dalam pernikahan kita. Karena itu, kita perlu membenahi niat, terutama saat menjelang nikah agar niat kita lurus. Kita menikah karena ingin mengikuti sunnah Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam. Bukan sekedar karena sudah sangat ingin menikah.

Mari kita ingat sejenak sabda Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam:

اَلنِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي، وَتَزَوَّجُوْا، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ، وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ

“Menikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang enggan melaksanakan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku. Menikahlah kalian! Karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh ummat. Barangsiapa memiliki kemampuan (untuk menikah), maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu adalah perisai baginya (dari berbagai syahwat).” (HR. Ibnu Majah).

Maka, niat perlu ditata, tujuan perlu dibenahi. Selebihnya, kita perhatikan apa-apa yang dituntunkan oleh Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam terkait dengan nikah, utamanya pada masa pengantin baru. Saya hanya membahas apa-apa yang jarang dibahas, tetapi sangat penting bagi kebarakahan pernikahan. Artinya, ada banyak hal lain yang perlu dipelajari dan tidak saya sampaikan pada kesempatan kali ini mengingat sempitnya waktu serta mempertimbangkan apa yang paling penting berkait dengan barakahnya pernikahan.

Yang pertama, disunnahkan bagi kedua mempelai berdo'a memohon barakah bagi pernikahannya serta meminta do'a kebaikan dan kebarakahan kepada kaum muslimin. Sesungguhnya selain untuk mengumumkan kepada masyarakat dan berbagi kegembiraan, walimah juga merupakan sarana untuk meminta do'a kepada kaum muslimin. Dan tidak ada do'a yang lebih utama untuk orang yang baru menikah, melebihi do'a barakah sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam:

 بَارَكَ اللهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي الْخَيْرِ

"Semoga Allah memberkahimu, dan semoga memberkahi atasmu, serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan." (HR. At-Tirmidzi).

Inilah do'a yang dituntunkan oleh Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam: ringkas, padat dan mencakup semua yang terbaik dalam pernikahan. Sebagian orang menyusun do'a yang lebih panjang, tetapi kurang tepat dari segi kesiapan kita untuk menjalani andaikata dikabulkan sepenuhnya, disamping kurang mencakup segala kebaikan yang kita harapkan. Ini misalnya dapat kita temukan pada do'a yang mulai kerap diucapkan dalam beberapa perhelatan pernikahan belakangan ini. Sepanjang pemahaman saya, do'a yang dituntunkan Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam merupakan contoh terbaik. Bukan terlarang berdo'a dengan kalimat sendiri, tetapi hendaknya tidak sampai berlebihan dalam berdo'a.

Tentang berlebihan dalam berdo'a, berkenanlah untuk membaca catatan lain bertajuk Bahkan Ia Masuk Ke Jantung Kita di Facebook page ini juga.

Yang kedua, kita mendapati dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Ath-Thabrani dan Ibnu Majah bahwa ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu menikah dengan Fathimah radhiyallahu 'anha (putri Nabi), maka pada malam pengantin baru sebelum kedua mempelai dukhul (bermalam bersama), Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam meminta air wudhu (beliau berwudhu), menuangkannya pada 'Ali, lalu mendo'akan keduanya:

اَللَّهُمَّ بَـارِكْ فِيْهِمَا، وَبَارِكْ لَهُمَا فِيْ بِنَـائِهِمَا

Ya Allah, barakahilah keduanya dan berkahilah keduanya dalam percampuran keduanya.
Sekali lagi, ini memberi pelajaran berharga bagi kita betapa yang paling patut diharapkan, dimohonkan dengan penuh kesungguhan dan diupayakan oleh orangtua yang menikahkan anak pun adalah barakah bagi pernikahan tersebut serta percampuran yang terjadi di antara keduanya. Semoga tidaklah lahir dari pernikahan tersebut kecuali keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah.

Yang ketiga, sunnah bagi mempelai laki-laki sebelum bermalam pertama untuk berdo'a dengan memegang ubun-ubun istrinya dengan do'a:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِمَـا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّمَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan watak yang telah Engkau jadikan padanya, serta aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan watak yang telah Engkau jadikan padanya." (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah).

Merawat Cinta
Ada dua hal yang harus kita tumbuhkan dalam rumah-tangga, yakni qaulan ma'rufah (cara komunikasi yang penuh perhatian) da mu'asyarah bil ma'ruf (mempergauli dengan baik). Di luar dua hal yang sangat penting tersebut, ada hal lain yang perlu kita perhatikan. Saya memilih untuk lebih menjelaskan tentang dua hal berikut ini, karena pembahasan tentang qaulan ma'rufan dan mu'asyarah bil ma'ruf sudah banyak terdapat dalam berbagai buku.

Dua hal tersebut adalah tentang keselarasan ruhiyah kita dan kebarakahan rezeki.

Renungilah sejenak sabda Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam:

"الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ"

“Ruh-ruh adalah seperti tentara yang berbaris-baris, maka yang saling mengenal akan bersatu & yang saling mengingkari akan berselisih.” (HR. Bukhari & Muslim).

Ruh kita sangat dipengaruhi oleh niat kita, orientasi hidup kita, 'ibadah kita dan tujuan hidup kita. Boleh jadi kita sering bersama-sama melakukan amalan yang baik, tetapi jika niat masing-masing dari kita berbeda, maka akan berbeda pula ruhiyah kita. Maka, hendaknya kita saling mengingatkan, saling menasehati dan saling menjaga iman agar tak terjatuh pada kemaksiatan yang sangat besar.

Mari sejenak kita renungi ucapan Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa 'alaa `alihi wa shahbihi wa sallam:

"مَا تَوَادَّ اثْنَانِ فِي الله جل وعز أو في الإِسْلامِ , فَيُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا إِلا بِذَنْبٍ يُحْدِثُهُ أَحَدُهُمَا"
“Tak akan berpisah dua orang yang saling berkasih sayang karena Allah Jalla wa ‘Azza atau karena Islam, kecuali disebabkan oleh dosa yang dilakukan oleh salah seorang di antara keduanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad).

Ini bukanlah hadis tentang suami-istri. Ini adalah hadis tentang dua orang yang saling berkasih-sayang karena Allah Jalla wa 'Azza atau karena Islam, sehingga cakupannya lebih umum. Akan tetapi kita juga dapat mengambil pelajaran penting bahwa suami-istri yang menikah karena Allah Ta'ala demi menegakkan dakwah, dapat berpisah (bahkan dalam keadaan bermusuhan) tanpa terelakkan oleh keduanya manakala salah satu di antara mereka terjatuh pada dosa-dosa besar yang berlarut-larut. Maka, betapa perlu kita saling mengingatkan agar tak ada yang terjatuh pada keburukan yang besar, berbuat zalim atau --apalagi-- melakukan kesyirikan.

Ketika seseorang terjatuh pada dosa besar yang berlarut, boleh jadi rumah-tangga mereka tidak pecah dan keduanya tak saling berpisah. Mereka senantiasa bersama-sama karena keduanya sama-sama saling membantu dalam dosa besar tersebut. Na'udzubillahi min dzaalik. Semoga Allah Ta'ala selamatkan kita dari hal-hal yang demikian.

Adapun berkait dengan rezeki, maka yang senantiasa perlu kita minta dan usahakan adalah rezeki yang barakah. Jika rezeki barakah, sedikitnya membawa kebaikan, berlimpahnya juga melapangkan hati dan membawa kebaikan. Itu bukan berarti kita tidak boleh meminta rezeki yang berlimpah. Tetapi jangan pernah memisahkannya dengan memohon barakah.

Kita dapat berdo'a dengan ini, misalnya:

اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي

“Allahumma ak-tsir maalii wa waladii, wa baarik lii fiimaa a’thoitanii wa athil hayaatii ‘ala tho’atik wa ahsin ‘amalii wagh-fir lii"

"Ya Allah perbanyaklah harta dan anakku serta barakahilah karunia yang Engkau beri. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan pada-Mu dan baguskanlah amalku serta ampunilah dosa-dosaku."
Kita memohon rezeki yang berlimpah barakah dan anak banyak yang juga penuh barakah dengan bercermin pada do'a Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam kepada Anas radhiyallahu 'anhu tatkala Ummu Sulaim radhiyallahu 'anha (ibu dari Anas) mengantarkannya ke hadapan Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam untuk menjadi pelayan beliau. Maka Rasulullah shallaLahu 'alai wa sallam mendo'akan:

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ

“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta barakahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam mendo'akan dengan:

اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا، وَوَلَدًا، وَبَارِكْ لَهُ

"Ya Allah, tambahkanlah rezeki padanya berupa harta dan anak serta barakahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Semoga catatan ini bermanfaat. Kepada Allah Ta'ala saya memohon ampun. Dan kepada-Nya kita memohon perlindungan dan penjagaan dari keburukan kita sendiri, dari hidup yang tidak barakah, dari hilangnya barakah pernikahan dan dari terhapusnya barakah rezeki.*








BERLOMBA LOMBA MEMULIAKAN PASANGAN

JIKA ada yang bertanya, siapakah pasangan suami istri paling bahagia, maka jawabnya adalah Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam bersama Sayyidah Khadijah radhiyallahu anha.
Sekalipun Muhammad ketika itu lebih muda, mantan karyawannya, dan tidak memiliki kekayaan seperti dirinya, Khadijah tetap memuliakan, menghormati bahkan mentaati Muhammad sebagai suaminya dengan sepenuh hati.

Khadijah sering sekali meneguhkan pendirian Muhammad, menghibur dan memuliakannya. “Engkau adalah manusia yang paling jujur di bumi ini wahai suamiku, engkau tidak pernah membalas kecuali kebaikan, meskipun engkau menerima keburukan dan penderitaan. Bahkan, engkau tidak pernah memutus tali persaudaraan. Sungguh aku yakin, engkau adalah suamiku yang akan menerangi kehidupan ini,” demikianlah ungkap Khadijah dalam suatu kesempatan.
Demikian pula Muhammad, sekalipun istrinya jauh lebih tua dan janda dari beberapa suami, Muhammad sangat-sangat memuliakan Khadijah sebagai istrinya. Pernah suatu ketika, Aisyah cemburu tidak suka Nabi menyebut nama Khadijah, Nabi pun menjelaskan bahwa Khadijah adalah istri yang paling dimuliakannya.
“Dia menerimaku pada saat orang mendustakanku. Dia yang memuliakanku pada saat semua orang menghinakanku. Dia telah menyerahkan seluruh hartanya demi dakwah ini. Bahkan dia pula yang melahirkan anak-anakku,” demikian kenang Nabi sebagai bentuk hormat dan kasih yang mendalam beliau yang mulia kepada istri pertamanya Khadijah radhiyallahu anha.
Khadijah menemani hidup Nabi selama 25 tahun sampai dirinya berpulang 3 tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Meninggalnya Khadijah membuat Nabi berduka sehingga tahun wafatnyanya dinamai oleh Nabi dengan ‘Am Al-huzni' (tahun duka cita). Khadijah adalah istri yang paling di cintai Nabi sehingga sampai sekian lama setelah ketiadaannya Nabi senantiasa menyebut namanya, hal itu pernah membuat ‘Aisyah cemburu.
Akar Kebahagiaan
Sikap saling memuliakan adalah akar kebahagiaan. Sikap tersebut tidak akan muncul kecuali suami istri benar-benar mengamalkan ajaran Islam. Oleh karena itu, sudah seharusnya, seluruh rumah tangga Muslim bersegera untuk memperbaiki kondisi keluarganya dengan bersegera untuk saling memuliakan antara suami dan istri.
Ibn Abbas radhiyallahu anhu adalah sosok sahabat yang sangat mengerti bagaimana cara memuliakan istrinya. Dia berkata, “Aku sungguh senang berdandan untuk istriku, sebagaimana aku senang jika dia berdandan untukku, karena Allah Ta’ala berfirman;
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS: al Baqarah [2]: 228).
Sungguh tak elok, jika seorang suami hanya menuntut istrinya berdandan, sementara dirinya tidak memperhatikan dandanannya. Adalah suatu kebaikan suami istri saling bersikap ramah, lemah lembut, penuh kasih, melayaninya dengan sebaik-baik pelayanan dan saling memuji serta saling mendoakan.
Dengan cara seperti itu, Insya Allah istri akan bangga kepada suami begitu juga sebaliknya. Bahkan jika sang istri menemui ajal lebih dahulu dari suami, sementara suami ridha dengan sikap dan perilaku istrinya selama bersamanya, maka surga sudah siap menjemputnya.
Rasulullah bersabda, “Setiap istri yang meninggal, dan suaminya ridha, maka dia akan masuk surga.” (HR:Tirmidzi).
Dengan demikian, jika suami istri ingin langgeng pernikahannya, berhasil mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, bahkan bisa melahirkan generasi kebanggaan, maka sudah seharusnya setiap pasangan menanam dalam-dalam akar kebahagiaan ini, yaitu saling memuliakan antara istri dan suami.
Seperti itulah yang juga dicontohkan oleh Ashim bin Umar bin Khaththab ketika menikah dengan gadis miskin penjual susu. Ashim tidak melihat istrinya dari status sosialnya, tetapi dari ketakwaannya yang telah mempesona sang ayah, sehingga memerintahkan Ashim untuk menikah dengannya.
Ashim pun memuliakan istrinya dengan sebaik-baiknya hingga akhirnya lahirlah putri mereka yang diberi nama Laila yang kemudian dikenal sebagai Ummu Ashim. Ummu Ashim pun kemudian dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan, sampai akhirnya lahirlah seorang cucu yang ketika besarnya menjadi kebanggaan umat Islam, Umar bin Abdul Aziz.
Resep Kebahagiaan
Adalah idaman siapapun, pernikahannya menjadi pernikahan yang berkah dunia akhirat. Dan, saling memuliakan antara suami dan istri adalah akar dari terwujudnya dambaan tersebut.
Atas halitu Asma ibn Kharijah memberi nasehat yang sangat bagus kepada putrinya pada saat melangsungkan pernikahannya.
“Wahai anakku, sesungguhnya engkau telah keluar dari kehidupan yang engkau jalani menuju ke peraduan yang tidak engkau kenali sebelumnya dan hidup bersama dengan orang yang sebelumnya tidak engkau kenal.
Maka jadilah engkau sebagai bumi bagi suami niscaya dia akan menjadi langit bagimu, jadilah engkau sebagai tempat tidur baginya niscaya dia menjadi tiang penyanggamu. Jadilah engkau sebagai seorang hamba sahaya wanitanya, niscaya dia akan menjadi soerang hamba sahaya laki-lakimu.
Janganlah engkau menjauh darinya hingga ia akan melupakanmu, kalau ia memanggilmu, maka dekatilah ia, jagalah penciuman, pendengaran dan matanya. Ia tidak akan mencium apapun darimu kecuali yang indah.”
Jika demikian, tunggu apalagi, mari berlomba-lomba memuliakan pasangan kita. Insya Allah kebahagiaan akan menyertai kita, bahkan kehadiran generasi (anak-anak) penuh iman dan takwa akan mendampingi kehidupan kita hari ini dan kelak di akhirat. Semoga.*/



 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar