Powered By Blogger

Sabtu, 13 April 2013

JENDELA KELUARGA

MENJADI WANITA KAFIR TANPA SADAR



DALAM sebuah redaksi hadits disebutkan ada sosok wanita yang memiliki sifat, “yakfurnal ‘asyir” (kafir kepada suami, maksudnya mengingkari kebaikan suami). Tentu saja bagi sebagian wanita, tentu tidak akan terima bila judul di atas disematkan pada dirinya.
Di saat hatinya senang dan ‘nyaman’ kepada suaminya, seorang istri akan memandang suaminya sebagai sosok yang baik dan ‘sempurna’. Tanpa cacat dan kekurangan. Di saat laju rumah tangga stabil tanpa alang rintangan yang berarti, seorang istri biasanya akan terngiang terus akan kebaikan-kebaikan sang suami.

Berbeda kondisinya manakala perasaan dan hati sang istri tertutupi oleh kekurangnyamanan dan tidakketidaksukaan kepada suami, maka segala bentuk kekurangan dan kekhilafan sang suami nampak nyata di depan mata. Dalam pandangannya, sang suami tak pernah melakukan kebaikan sama sekali pada dirinya. Seakan-akan sang suami selama ini hanya sebatas ‘produsen’ keburukan tanpa henti. Bisa dibayangkan bukan, bagaimana hari-hari berjalan tanpa ada senyum dan sapa di antara keduanya.
Kisah Khaizuran berikut ini mungkin dapat dijadikan pelajaran bagi setiap wanita agar tidak terjerumus kepada kufur nikmat terhadap suami. Khaizuran adalah seorang budak wanita yang dibeli oleh Khalifah Al-Mahdi dari An-Nukhas. Beliau memerdekakannya lalu menikahinya. Beliau juga memenuhi segala kebutuhannya. Namun, setiap kali Khaizuran marah kepada beliau, ia selalu saja berucap di hadapannya, “Aku tidak pernah melihatmu berbuat baik sama sekali!”
Kisah senada juga dilakukan oleh Al-Barmakiyah, seorang budak wanita. Ia dibeli oleh Al-Mu’atamid bin ‘Ubad, seorang raja Maroko, dan menjadikan seorang permaisuri. Ketika Al-Barmakiyah menyaksikan anak-anak perempuan bermain pasir, maka ia teringat masa kecil.
Lalu, ia tertarik untuk bermain pasir seperti mereka. Maka, sang raja pun memerintahkan untuk mendatangkan minyak wangi yang tak terkira jumlahnya yang serupa dengan pasir. Ia pun senang dan bermain dengannya. Namun, ketika ia merasa marah kepada sang raja, serta merta ia berujar, “Sungguh, aku belum pernah melihat kabaikanmu secuil pun!” Sang raja pun tersenyum dan menyela, “Apakah juga pada saat engkau bermain pasir (maksudnya saat ia bermain minyak wangi sebagaimana ia bermain pasir)?” Maka, ia pun merasa malu mendengar ucapan tersebut.
Tabiat mayoritas wanita adalah melupakan kebaikan di saat pasangannya melakukan kekhilafan atau terdapat kekurangan padanya. Seakan-akan kebaikan suami yang sedemikian banyak dan besar tertutupi oleh kekurangan dan kekhilafan yang tak seberapa yang dilakukan oleh suami. Kemesraan saat bulan madu bisa jadi sirna oleh kekhilafan suami yang mungkin dapat dihutung dengan jari. Jerih payah suami seakan-akan menguap bigutu saja tanpa membekas sedikit pun di saat suami melakukan kesalahan yang tak seberapa.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam telah mewanti-wanti kaum wanita dari perilaku seperti ini. Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Diperlihatkan neraka kepadaku, dan ternyata mayoritas penghuninya adalah kaum wanita lantaran mereka berbuat kufur.” Ditanyakan kepada beliau, “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau bersabda:
يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Mereka kufur kepada suami dan mengingkari kebaikan. Sekiranya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka selama satu tahun, lalu ia melihat suatu keburukan padamu, tentu ia akan berkata, ‘Aku belum pernah melihat satu kebaikan pun pada dirimu.” (HR. Bukhari).
Bila engkau menyaksikan istrimu memiliki tabiat seperti itu, maka tak perlu cemas dan bersedih hati. Yakinlah, bahwa kebaikan-kabaikan yang sedemikian banyak tak kan pernah sia-sia, manakala engkau lakukan ikhlas karena mengharap ridha Allah. Sekiranya istrimu memungkiri kebaikanmu, yakinlah bahwa Allah Yang Maha Kuasa mengetahui dan mencatatatnya.
Kepada para wanita yang masih memendam karakter seperti di atas, penilaianmu terhadap suaminya seperti itu tak akan membuahkan apa-apa selain bertambah kuatnya rasa bencimu kepada pasanganmu dan itu tak dapat memberikan solusi untuk memperbaiki kesalahan dan kekhilafan suamimu. Berpikir dan berilah penilaian secara obyektif. Tak ada manusia yang sempurna. Semoga nasihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam di atas mampu memberikan suntikan motifasi bagimu untuk senantiasa menjadi istri yang bersyukur dan pandai mengelola perasaannya. Wallahu a’lam.*








JANGAN BUANG BAYIMU


 
BELUM
lama ini munculnya sebuah iklan penjualan bayi di situs tokobagus.com yang menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan. Dalam iklan bayi berusia 18 bulan yang tertera dalam iklan tersebut seharga Rp.10 juta. Pemasang iklan juga melengkapi dengan foto bayi yang sedang dipasarkan.Aparat kepolisian pun menilai bahwa situs tersebut telah lalai.

Bukan hanya kasus penjualan bayi, akan tetapi kasus-kasus seperti ibu kandung yang tega membunuh, membuang, menganiaya. Kasus-kasus seperti ini sering kita lihat di media cetak dan media elektronik.

Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Arist Merdeka Sirait di Jakarta Jumat (21/12/2012) dikutip Jaringnews.com mengatakan, "Pada tahun 2011 kekerasan terhadap anak hanya naik 11 persen dengan jumlah kekerasan sebanyak 1.800 korban, akan tetapi pada 2012 terjadi lonjakan sekitar 38 persen dengan jumlah korban kekerasan sekitar 2.637 orang. KPAI mencatat sepanjang 2012, terjadi sebanyak 162 pembuangan bayi. 87 bayi berjenis kelamin laki-laki, dan 75 orang berjenis kelamin perempuan. Sebanyak 130 kasus pembuangan bayi dilakukan karena persoalan ekonomi, dan 82 kasus bayi itu meninggal dunia.”

Kenapa Bayi Itu Dibuang?
Fakta di atas sangatlah menyedihkan padahal sang bayi itu tidak berdosa, mereka korban dari kesalahan orang tuanya yang membuangnya. Sering kita mendengar berita bayi di kebun yang dibuang oleh orang tuanya. Bukankah bayi itu karunia? Bukankan bayi itu rezeki? Lalu kenapa dibuang?

Biasanya mereka membuangnya karena tidak menghendaki keberadaannya, biasanya yang dibuang adalah barang yang sudah tidak berguna lagi, atau barang yang jika disimpan hanya akan memenuhi ruangan, atau juga mungkin jika disimpan lama ia akan mencemarkan lingkungan seperti sampah. Lalu kenapa ada bayi yang dibuang? Apakah bayi ini tidak ada guna? Apakah bayi ini jika dipelihara berbahaya? Paling tidak dalam pikiran orang yang melahirkannya mungkin demikian, yang jelas orang yang membuangnya tidak menghendaki kelahiran bayi tersebut.

Banyak faktor penyebab mengapa mereka tega membuang anaknya sendiri:

Pertama, masyarakat semakin kering iman, dan jauh dari nilai-nilai spiritual/ketuhanan, tidak takut lagi kepada Sang Pencipta dan semakin mengabaikan nilai-nilai moral kemanusiaan.

Kedua, tidak ada lagi perasaan malu atau takut melanggar norma-norma sosial, termasuk norma agama. Ditambah lagi kondisi masyarakat semakin individualis, cuek dengan lingkungan sekitarnya, sehingga perbuatan maksiat merajalela di mana-mana tanpa ada rem. Tak jarang semua ini terjadi karena orang tua yang frustasi karena belum siap untuk menikah dan mempunyai anak. Anak dari hasil hubungan di luar nikah, pergaulan bebas dari anak-anak, remaja yang belum menghendaki untuk menikah, sehingga dari pada menanggung malu mereka tega membuang bahkan membunuh darah daging sendiri.

Ketiga, faktor kemiskinan, karena ekonomi yang sulit mereka tidak sanggup untuk membiayai anaknya nanti. Namun apapun alasan dan penyebabnya tersebut tidak dapat dibenarkan. Pengawasan dan penyelenggaraan perlindungan terhadap anak khususnya masalah pembuangan bayi semakin harus diperketat, baik oleh negara dalam hal ini Komisi Perlindungan Anak maupun warganegara yakni masyarakat dan keluarga yang terkait.

Keempat, longgarnya sanksi hukum yang diberikan kepada  pelaku, sehingga tidak memberikan efek jera pada si pelaku dan mengakibatkan kasus-kasus ini terulang. Hukum sangat lemah mengganjar pelaku sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku. Hal ini membuktikan bahwa ide-ide kebebasan yang ditawarkan sekluler-kapitalis tidak membawa kebaikan, kebahagiaan, dan kesejahteraan, tapi justru membawa kerusakan dan kesengsaraan di semua aspek kehidupan.

Kelima, kurangnya pengawasan dari negara sebagai pengontrol, sangat juga diperlukan peran serta aktif lembaga sosial masyarakat, agama  dan terlebih keluarga. Keluarga memegang peranan penting dalam upaya meniadakan kasus-kasus bayi yang dibuang. Hubungan keluarga yang harmonis dan akrab serta saling mengasihi, didukung dengan pendidikan moral maupun agama, ketaatan di dalam beribadah kepada Sang Pencipta dapat menjadi fondasi yang kuat untuk membentengi diri dari perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai tatasusila, moral dan agama, seperti hubungan di luar nikah yang menyebabkan kehamilan yang tidak dikehendaki, dan berujung dengan kasus aborsi dan bayi-bayi yang dibuang.

Penyebab-penyebab di atas adalah hasil dari sistem yang diterapkan yang menjauhkan agama dari kehidupan. Setelah melihat fakta-fakta di atas, ternyata ide-ide kebebasan yang diusung oleh kapitalisme, kedudukannya tidak bertambah mulia tapi justru bertambah rusak moralnya. Sementara sistem yang ada juga gagal memberikan perlindungan atas masyarakat. Lantas, apakah kita masih percaya pada sistem seperti ini?

Anak adalah Anugerah
Dalam al-Qur’an, anak disebutkan sebagai karunia dari Allah Subhanahu Wa Ta’aala. Ia adalah rezeki dan dambaan orang tua, ia adalah tabungan dan investasi orang tua, ia adalah tumpuan masa depan orang tua. Berapa banyak orang yang pontang-panting berobat ke sana sini, baik secara medis untuk mendapat anak, berapa banyak orang yang menghabiskan puluhan juta atau bahkan ratusan juta rupiah demi mendapatkan anak, dan juga tidak sedikit orang yang mengeluarkan ongkos yang tidak sedikit untuk mengadopsi anak.

Anak semestinya dilahirkan demi menjadi penerus generasi orangtuanya, sebagai amanah yang harus dijaga dan dilindungi. Sehingga, anak harus dilahirkan penuh perencanaan/ kesadaran kedua orangtuanya, dengan cara halal yaitu melalui pernikahan, disambut suka cita dan dijamin hak-haknya. Semua itu bisa terwujud jika secara individu, anak dilahirkan dari orangtua yang sadar sepenuhnya akan tanggungjawabnya sebagai orangtua.

Rasulullah saw bersabda:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Ibn umar r.a berkata; saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari- Muslim)

Masyarakat, harus memiliki kepedulian agar tindak maksiat, seperti perzinaan tidak terjadi. Negara, wajib menerapkan sistem yang mencegah lahirnya bayi-bayi tanpa dosa dengan cara yang tidak halal. Artinya wajib memberantas perzinaan dan berbagai sarana yang mengarahkan ke sana, kerena perbuatan zina mengakibatkan lahirnya anak yang tidak jelas nasabnya, perbuatan zina mengakibatkan lahirnya anak yang tidak dikehendaki, yang pada akhirnya para bayi yang tidak berdosa ditelantarkan, dibuang, bahkan tidak sedikit yang dimusnahkan.

Allah berfirman :

وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar.
”(QS: al-Isra` [17]: 31).

Saatnya kita kembali pada Islam, kebenaran nilai-nilai Islam adalah sesuatu yang pasti yang harus ditunaikan oleh seluruh ummat manusia. Sudah saatnya kaum muslim memerangi hal-hal yang tidak beradab yang hanya membawa dampak keburukan pada manusia. Wallahu A’lam Bis-Shawaab!








MENEGUHKAN PERNIKAHAN HINGGA AJAL



BELUM lama ini, sebuah laman berita online memberitakan bahwa jumlah perceraian di Ibu Kota Jawa Tengah, Semarang, mencatatkan angka yang sangat mengejutkan. Tidak kurang dari 1.358 pasangan suami istri bercerai selama tahun 2012.
Diduga, penyebab tingginya angka perceraian tersebut karena faktor ekonomi. Selain itu juga karena faktor jarak, dimana banyak keluarga yang pasangannya bekerja di tempat yang jauh, hingga luar negeri, sehingga kedekatan dan komunikasi mengalami hambatan serius.
Secara umum, perceraian dapat terjadi karena beberapa sebab. Di antaranya adalah karena ketidakharmonisan pasangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang boleh jadi karena ketidakdewasaan salah satu pasangan, sehingga tidak ada saling pengertian, sehingga selalu terjadi pertengkaran.
Selain itu, perceraian juga bisa disebabkan oleh buruknya akhlak salah seorang pasangan, entah suami atau istri, sehingga rumah tangga berjalan tanpa ketenangan dan kebahagiaan. Lebih-lebih jika ternyata salah satu pasangan sampai terbukti melakukan selingkuh atau tindakan yang terkategori dosa besar (berzina). Makan, biasanya,  rumah tangga seperti ini, tidak bisa dipertahankan.
Yang lebih ironisnya, beberapa kasus perceraian –khususnya kasus perselingkuhan hingga menyebabkan perzinahan-- seringkali justru menjadi komoditi infotaintmen. Akibatnya, masyarakat melihat perceraian sebagai hal biasa, bahkan ujungnya dianggap boleh-boleh saja.
Memahami Tujuan Pernikahan
Menikah dalam Islam adalah ibadah, bahkan penyempurnaan dari keimanan seorang Muslim. Dengan kata lain, pernikahan adalah sarana yang baik untuk menempa diri menjadi Muslim sejati. Karena di dalam pernikahan setiap jiwa akan diuji komitmennya, ketakwaannya, termasuk kesabarannya.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Anas bahwa Rasulullah  bersabda, ”Apabila seorang hamba menikah maka sungguh orang itu telah menyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya.”
Jadi, salah satu tujuan menikah adalah untuk beribadah dengan cara menegakkan syari’at Islam secara kaffah dalam sebuah perjanjian yang sangat kokoh (mitsaqon gholidha).(QS. An-Nisa’[4] : 21). Dan, segala sesuatu kebaikan dan kenikmatan yang ada dalam pernikahan itu tergolong perbuatan yang terpuji.  Maka, tidak heran jika Allah mengkategorikan hubungan suami istri sebagai sedekah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah.”
Mendengar sabda Rasulullah itu para shahabat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?”
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa? “Jawab para shahabat: “Ya, benar”.

Beliau bersabda lagi: “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!” (HR. Muslim, Ahmad dan Nasa’i).
Dengan demikian, maka akhlak manusia akan terjaga. Pandangan bisa ditundukkan, syahwat bisa dikendalikan. Dan, lahirnya generasi-generasi mulia pun bisa kita harapkan. Dengan demikian, maka tujuan pernikahan dalam Islam sungguh-sungguh sangat mulia. Lebih dari itu, pernikahan dalam Islam adalah bentuk komitmen yang sangat kuat. Oleh karena itu, Islam sangat membenci perceraian, meski tetap membolehkannya.
Dari Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesuatu yang halal tapi dibenci Allah adalah perceraian.” (HR: Abu Daud dan Hakim).
Lebih jelas lagi dalam al-Qur’an Allah tegaskan bahwa tujuan pernikahan itu adalah agar setiap jiwa meraskan ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS: Ar Ruum [30]: 21).
Prioritaskan Iman Demi Masa Depan Keturunan
Memperhatikan tujuan pernikahan tersebut, maka jelas perceraian adalah perkara yang sebisa mungkin harus dihindari. Sejauh pasangan kita memiliki komitmen iman dan takwa yang kuat, sekalipun keluarga masih berada dalam kondisi ekonomi yang belum baik, bertahan di dalamnya adalah sangat mulia.
Sebagai seorang Muslim, kita tidak boleh hanya menatap situasi zaman sekarang, yang menjadikan materi sebagai tujuan dan standar kemuliaan.
Sayyidina Ali dan Sayyidah Fathimah adalah contoh pasangan yang ideal secara iman dan takwa, meskipun suami istri harus membanting tulang menghidupi kebutuhan keluarga. Akhirny, dari pernikahan itu, lahir Hasan dan Husein yang berakhlak mulia.
Begitu pula yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dengan Siti Hajar. Usai mengantarkan istri dan bayinya, Isma’il di lembah tandus, Nabi Ibrahim seketika meninggalkan dua manusia yang dikasihinya itu. Dan, Nabi Ibrahim dengan Siti Hajar tetap dalam pernikahan, meskipun keduanya lama tak bertemu.
Kedua pasangan hebat itu, menyerahkan sepenuhnya apa yang terjadi kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Demi iman, keduanya tetap bertahan. Bahkan, seorang Hajar mampu membesarkan Ismail menjadi sosok pemuda yang sangat luar biasa. Dan, Allah anugerahkan kemuliaan kepada Nabi Isma’il dengan mengambil satu dari keturunannya sebagai Nabi akhir zaman, yakni Nabi Muhammad.
Artinya, dalam pandangan seorang Muslim, iman lebih utama dari apapun, terutama dalam upaya untuk mempertahankan ikatan pernikahan dan masa depan keturunannya. Kita bisa bayangkan, bagaimana nasib anak-anak yang menjadi korban perceraian dari sebuah pernikahan?
Padahal, sekalipun pasangan suami istri telah bercerai, kewajiban terhadap anak tetap menjadi tanggung jawab keduanya. Oleh karena itu, prioritaskanlah iman dalam mengambil keputusan. Jangan sampai, karena keegoisan, akhirnya lebih memilih perceraian.
Padahal, perceraian hanyalah sebuah jalan pintas terlepas dari masalah, tetapi sebenarnya justru semakin menumpuk-numpuk masalah, baik masalah pribadi, keluarga, lebih-lebih juga masalah sosial. Jadi, mari kita kuatkan terus ikatan pernikahan yang telah kita miliki. Genggam sekuat tenaga dan jangan lepas, kecuali ajal telah tiba.








 MULIAKAN ORANGTUAMU MESKI SUDAH MENINGGAL



SUATU Suatu saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam  lagi duduk-duduk bersama para sahabatnya. Datanglah seorang lelaki dari Bani Salamah lalu berkata,  “Ya Rasulullah, apakah masih ada kesempatan lagi untuk berbuat baik kepada kedua orangtuaku, setelah keduanya meninggal?”
Nabi menjawab, “Mendoa’kan keduanya, memintakan ampun untuk keduanya, menyambung tali silahturahim kerabat-kerabatnya, dan memuliakan teman-temannya.” (Riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Do’akan dan Mohonkan Ampunan
Salah satu kewajiban utama anak kepada kedua orangtuanya adalah mendo’akan mereka. Allah Subhanahu Wataa’ala memerintahkan:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil,” (QS: Surat Al Isra’ : 24).
Imam Bukhari meriwayatkan, “Setelah mati, mayit itu aku diangkat derajatnya, kemudian berkata, ‘Wahai Tuhanku, ada apa ini?” Tuhan berfirman kepadanya, “Anakmu memohonkan ampun untukmu.
Namun demikian, do’a dan ampunan akan terkabul manakala yang dido’akan adalah sesama muslim, dan bukan termasuk orang-orang musyrik. Sebagaimana pernah dilakukan Nabi Muhammad   saat mendo’akan ibunya. Sekalipun Nabi telah menghiba sedemikian rupa di hadapan Allah,  tetapi Allah tetap menolak do’a beliau untuk mengampuni ibunya.
Imam Muslim meriwayatkan, “Suatu saat Rasulullah berziarah ke kubur ibunya, lalu menangis dan menjadikan orang-orang yang disekelilingnya ibu menangis. Beliau bersabda, "Saya mohon izin kepada Rabbku untuk memintakan ampun buat ibuku, maka Dia tidak mengabulkan (tidak mengizinkan). Lalu saya mohon izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya. Kemudian Dia mengizinkannya. Maka dari itu berziarahlah ke kubur, karena dapat mengingatkan kepada kematian.
Nabi Nuh juga pernah mendo’akan anaknya, agar Allah berkenan mengampuni anaknya. Akan tetapi Dia menolaknya. Sama pula pada Nabi Ibrahim, hasilnya nihil saat beliau mendo’akan orangtuanya. Allah  menolak doa’nya.

Menyambung Tali Silahturahim
Teladan dalam bidang silahturahim ini salah satunya adalah Ibnu Umar RA. Biasanya, Ibnu Umar ke Mekkah membawa himar dan unta. Bila merasa jemu mengendarai unta, maka ia mengendarai himar. Dan pada suatu hari ketika ia sedang mengendai himarnya, mendadak bertemu dengan seorang Badui. Maka Ibnu Umar bertanya, “Bukanlah kau si Fulan bin Fulan.” Jawabnya, “Benar.” Selanjutnya, diberikanlah himar dan sorbannya kepada Badui itu.
Kawan-kawannya tertegun, lalu bertanya kepada Ibnu Umar. “Semoga Allah melimpahkan ampunan kepadamu, mengapa kau berikan himar dan sorban kepada si Badui itu?”
Ibnu Umar menjawab, “Saya telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik bakti (kepada orangtua) adalah menghubungi bekas kawan-kawan ayah sepeninggalnya. Dan ayah orang ini dahulu teman (ayahku) Umar.” (Riwayat Muslim)
Menulasi Hutang-hutang Nadzarnya

Misalnya orangtua memiliki nadzar (janji)  untuk melakukan amal shaleh, namun belum sempat ditunaikan karena Allah berkenan memanggil menghadap keharibaannya.
Inilah tanggung jawab mulia anak shaleh, yaitu berupaya menunaikan “amanah” yang dipikul ayahnya.
“Seorang perempuan dari suku Khas’an datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahi alaihi Wassalam; ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya datangnya perintah Allah kepada hamba-Nya untuk pergi haji pada saat ayahku telah lanjut usia, tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan. Karena itu bolehkah saya berhaji atas namanya?” Sabdanya, “Boleh.” (Riwayat Bukhari Muslim)
Menjaga Nama Baik Kedua Orangtua
Barangkali tanpa disadari atau bahkan disengaja, seseorang seringkali melakukan perbuatan yang menjatuhkan harga diri dan kredibilitas kedua orangtua. Akibatnya, meski orangtua sudah meninggal tetapi sang anak juga masih bisa durhaka kepada orangtua.
Dalam menjaga nama baik orangtua itu, kita juga dilarang memaki atau melecehkan orangtua lain. Mamaki orangtua lain itu sama dengan kita memaki orangtua sendiri.
“Di antara dosa-dosa besar ialah seseorang memaki ayah bundanya. Sahabatnya bertanya, ‘Ya Rasulullah, adakah seseorang yang memaki ayah bundanya? Rasulullah bersabda, “Benar. Dia memaki ayah orang lain sehingga dimakilah ayahnya dan dia memaki ibu orang lain dan dimakilah ibunya,” (Riwayat Muslim)
Membayarkan Hutang
Ketika seseorang meninggal sementara masih memiliki tanggungan hutang, maka hutang tersebut bakal menghalangi seseorang menuju surga.
“Jiwa seseorang mukmin tergantung kepada hutangnya, sampai dilunasi,” (Riwayat Ahmad)
Bahkan seorang mujahid yang mati syahid sekalipun akan tertahan masuk surga manakala masih memiliki tanggungan hutang. Ada seorang bertanya kepada Rasulullah,  “Bagaimana pendapatmu jika saya terbunuih dalam jihad fi sabilillah, apakah akan terputus semua dosa-dosaku?
Nabi menjawab, “Ya, apabila engkau terbunuh sedangkan engkau tabah, sabar dan ikhlas mengharap ridha Allah, maju dan tidak lari, kecuali (memiliki) hutang. Demikian keterangan Jibril kepadaku,” (Riwayat Muslim).
Yang bertanggung jawab melunasi hutang itu adalah anak-anaknya. Imam Bukhari meriwayatkan, seorang perempuan suku Juhinah datang mengadu kepada Nabi, “Ibuku telah bernadzar pergi haji, tetapi beliau belum sempat melakukannya keburu mati. Bolehkan saya menghajikan atas namanya?”
Rasulullah menjawab, “Boleh. Hajikanlah atas namanya, sebab bagaimana pendapatmu jika ibumu mempunyai hutang, bukankah kamu yang melunasinya. Karena itu lunasilah hutang kepada Allah sebab Allah lebih patut dilunasi hutangnya.”
Melanjutkan Amal Shalihnya
Adapun  pelanjutan amal shaleh orangtua adalah dengan menjaga hal-hal yang diwariskan orangtua setelah meninggalnya.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di antara amal dan kebaikan yang menyusul seorang mukmin setelah kematiannya ialah ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak shaleh yang ditinggalkannya, mushaf yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk Ibnu Sabil yang dibangunnya, sungai yang dialirkannya, atau sodaqoh yang dikeluarkan dari hartanya pada masa sehatnya dan masa hidupnya akan menyusulnya setelah kematiannya.” (Riwayat Ibnu Majah, hadits Hasan).”






BAHAGIA DAN MULIA DENGAN  KEMBALI KERUMAH



 
GERAKAN feminisme di Barat telah dianggap sukses dengan lahirnya para wanita yang seolah-olah sejajar dengan pria (baca: di luar rumah). Karena itulah, PBB pada tahun 1975, merakayakan  apa yang disebut dengan ‘peringatan seluruh perempuan di dunia dalam keberhasilan di bidang ekonomi, sosial, dan politik’.
Virus materialisme ini semakin mengganas menyerang kaum Muslimin dan menggerogoti keluarga-keluarga Islam. Ditambah lagi dengan semakin maraknya propaganda ide keadilan dan kesetaraan gender yang dimotori kaum feminis dengan dukungan media massa.
Di Indonesia, misalnya, lahir Undang-Undang No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Meski coraknya berbeda, cita-citanya sama, yaitu kesetaraan peran wanita dengan pria di rumah, kantor, pemerintahan dan lain-lain. Kesetaraan yang dimaksud di sini adalah pembagian peran 50 : 50.
Itulah yang dimaksud kesetaraan gender. Feminis meyakini bahwa wanita sama seperti pria, wanita memiliki kebebasan mutlak atas tubuh, diri, dan hidupnya. Wanita bebas memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.
Susan J. Douglas dan Meredith W. Michaels, penulis buku The Myth Mommy, merujuk pada "momism baru." Mereka menggambarkan bagaimana media telah menciptakan ideal seolah-olah seorang ibu bisa "melakukan semuanya". Dari kesejahteraan, pendanaan, pendidikan prasekolah hingga perawatan anak dll). Melalui media, kaum feminis bentukan Barat  mengesankan ibu yang bekerja di luar rumah sangatlah penting dan dibutuhkan.  Namun jika  karena tuntutan pekerjaan yang dibayar membuat pekerjaan rumah tangga, sebagai istri dan ibu mereka gagal, ujungnya,  hanya dianggap kegagalan pribadi mereka sendiri.
Lebih dari 30 tahun lamanya gerakan pembebasan perempuan oleh kaum feminism mengangkat harapan dan harapan dari generasi perempuan. Gerakan ini ‘menantang’ gagasan yang seharusnya berlaku, di mana para perempuan seharusnya menghabiskan seluruh hidup mereka untuk berada dan dekat dengan keluarga rumah serta membesarkan anak-anaknya.
Lihatlah hasil yang telah mereka kampanyekan;
•    Empat dari sepuluh wanita Amerika yang bekerja malam  dan akhir pekan secara teratur.
•    61 persen untuk wanita Amerika Afrika dan 53 persen untuk wanita Latin.
•    1/3 perempuan ini bekerja shift yang berbeda dari mitra mereka.
•    63 persen dari wanita bekerja lebih dari empat puluh jam per minggu
•    Tak mengherankan jika  82 persen orang tua (baik perempuan dan laki-laki) melaporkan merasa waktunya "habis pada akhir hari" yang membuat sering stres luar biasa karena terbagi antara keluarga dan bekerja, hal itu juga menunjukkan krisis besar yang mempengaruhi wanita dan anak-anak mereka.
•    Selain itu, paham kebebasan yang digaungkan kaum feminisme Barat melahirkan tatanan keluarga yang kacau balau.  Misalnya kerusakan tatanan yang dengan bangganya disebut sebagai ‘kecenderungan menuju keragaman keluarga’. Hari,  kita saksikan di mana keluarga dapat dipimpin oleh pasangan rusak seperti; gay (seorang homo) atau lesbian. Atau pasangan yang belum menikah atau kombinasi biologis dan orangtua tiri.
Melihat kondisi ini wajar jika muncul kesimpulan, feminisme telah gagal untuk merespon secara efektif terhadap serangan meningkat pada perempuan. Kegagalan ini juga sering ‘diralat’ orang-orang Barat sendiri. Sebuah polling yang dilakukan Public Agenda Pool berjudul "Child Care: Red Flags" tahun 2000 menunjukkan 70 persen masyarakat mengatakan bahwa mereka merasa salah satu orang tua di rumah adalah pengaturan perawatan anak.
Sebuah majalah wanita, Genius Beauty memberitakan, psikolog dan sosiolog Inggris mengemukakan sebagian besar wanita Inggris abad ini berharap bisa hidup dengan orang yang dicintainya. Hal ini berdasarkan penelitian gabungan terhadap wanita pekerja di Inggris.
Hasilnya, 70 % wanita menginginkan membangun sebuah keluarga yang bahagia bersama pasangan mereka.  Sedangkan 64% dari lainnya ingin mendapatkan keduanya, yaitu keluarga dan karier berjalan seiring.

Tanggapan ini mencerminkan sejauh mana orang telah menerima ide bahwa anak-anak perlu ibu mereka di rumah.
Yang terbalik justru di Indonesia, bahkan –sekali lagi dengan dukungan media massa--  selain bangga berada di luar rumah, para kaum feminis juga menuntut 30 persen quota keterwakilan di parlemen. Memang juga quota terpenuhi mau apa? [Baca juga: Kemuliaan Wanita; Antara Pandangan Feminisme dan Islam]
Tugas Utama seorang Istri
Memang tidak semua wanita yang memilih berkarir semata-mata karena malu menjadi ibu rumah tangga atau dengan alasan semata-mata ingin dianggap setara dengan pria. Sebagian karena situasi dan kondisi yang mengharuskan ikut turun ke medan kerja, untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang boleh jadi belum bisa diatasi seorang diri oleh suami.
Namun jika betul alasa yang terakhir itu, maka, jika pada saat yang tepat, di mana berada di luar rumah sudah tidak memungkinkan –bahkan telah banyak melahirkan fitnah-- kaum wanita sebaiknya ingat tugas utama sebagaimana Islam telah menegaskan dalam banyak surat dalam al-Quran dan al hadits. Tugas atau peran utama yang harus dijalankan oleh seorang Muslimah adalah sebagai istri dan ibu adalah mengurus rumah tangga, mendidik anak, menjaga harta suami, menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah yang tak kalah beratnya dari pekerjaan suami untuk memenuhi nafkah.
Bahkan jika memiliki bayi, maka tugas utama seorang ibu adalah menyusui anaknya. Dalam Islam, paling minim selama dua tahun dianggap sempurna penyusuannya.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…..” (QS: al-Baqarah [2]: 233).
Adapun kewajiban mencari nafkah, Islam tidak memberikan beban tersebut kepada istri, tetapi dibebankan kepada suami.
وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf…” (QS. Al-Baqarah [2]: 233)
Suami berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak seperti yang diperintahkan dalam ayat diatas. Dan kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak berlaku meski suami miskin atau istri dalam keadaan kaya atau berkecukupan.
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah ‎ berikan kepadanya. ‎Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS: ath Thalaq [65]: 7).
Keuntungan Menjadi Ibu Rumah Tangga
Ada banyak keuntungan menjadi ibu rumah tangga yang lingkupnya tidak saja di dunia, tetapi juga di akhirat.

Pertama, sehat
Seorang ibu yang mengasuh buah hatinya sendiri cenderung akan lebih sehat. Karena seorang ibu apalagi yang masih menyusui akan dihadapkan dengan kondisi-kondisi tertentu yang seringkali memaksanya untuk jalan cepat, berlari, atau bergerak sigap.
Misalnya bayi sedang menangis, maka secara spontan seorang ibu akan pergi berlari menuju bayi mungilnya. Kejadian seperti itu boleh jadi berlangsung sepanjang hari. Kesigapan seorang ibu saat bangkit dari kursi dan berlari menghampirinya bisa melatih daya tahan ibu (endurance).
Lebih dari itu ketika bayi sudah berumur enam bulan ke atas, biasanya seorang ibu akan tertarik untuk bermain dengan bayinya. Seorang ibu akan dibuat gemas oleh bayinya ketika tersenyum atau mungkin tertawa, sehingga merangsang ibu untuk mengabil bayinya kemudian mengayunnya seperti pesawat, bermain kuda-kudaan, atau mengelitikinya. Aktivitas semacam itu akan terjadi dalam keseharian seorang ibu,  dan itu berarti seorang ibu telah melakuakan latihan fleksibilitas.
Kedua, lebih mulia
Dalam Islam, seorang ibu adalah manusia pertama dan utama yang harus ditaati, dipatuhi dan dihormati oleh seorang anak. Jadi, Islam menempatkan kaum ibu sebagai manusia paling mulia di muka bumi ini.
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau” (HR. Bukhari).
Sementara itu di dalam al-Qur’an Allah berfirman;
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS: Luqman [31]: 14).
‘Atha` bin Yasar berkata, “Aku pergi lalu bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Kenama engkau menanyakan tentang kehidupan ibunya (masih hidup atau tidak)?’
“Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab, “Sungguh aku tidak mengetahui adanya suatu amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla daripada berbakti kepada ibu.”
(HR. Bukhari).
Kegita, lebih bahagia
Menjadi ibu rumah tangga sangat berpotensi menjadi bahagia dunia-akhirat, terkhusus jika anak-anak yang dididiknya tumbuh menjadi orang yang sholeh dan sholehah. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh ibunda dari Imam Syafi’i dan Imam Bukhari.
Kedua ulama itu besar dengan bimbingan seorang ibu yang tekun dan sabar dalam mendidik putranya, sehingga keduanya tumbuh dewasa menjadi manusia ‘penyelamat’ ajaran Islam. Dari kedua tangan ulama besar itu, lahirlah berbagai macam kitab yang sangat dibutuhkan umat manusia hingga akhir zaman.
Rasulullah bersabda, "Apabila seorang anak Adam mati putuslah amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah atau ilmu yang memberi manfaat kepada orang lain atau anak yang sholeh/sholihah yang berdoa untuknya (kedua orangtua).” (HR: Muslim). [baca juga: Menjadi Ibu Rumah Tangga Ternyata Membahagiakan]
Masalahnya, bagaimana mungkin kita bisa melahirkan anak-anak impian itu jika kedua orangtuanya sama-sama sibuk di luar rumah, sementara anak bagaikan kendaraan yang hanya sekedar dititipkan di tempat penitipan?
Ada pesan menarik dari  Prof Dr KH Didin Hafiduddin, mewakili juru bicara Komisi Tausyiah saat memaparkan salah satu rekomendasi bidang sosial budaya dan pendidi-kan dari Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung 13 Desember  2004.
Begini katanya, “Sebagai ibu, jangan merasa bangga banyak di luar rumah, tetapi merasa gengsi mendidik anak di rumah.''
Inilah salah satu rekomendasi MUI kepada seluruh masyarakat –khususnya kepada para ibu-- untuk melakukan “Gerakan Kembali ke Rumah” atau yang disebut MUI dengan istilah al ruju' ila al usroh (kembali ke rumah),  sebagai wahana pendidikan pertama dan utama untuk membentengi anak dari serbuan budaya yang merusak akhlak.
Sebab  mendidik anak hingga mereka menjadi orang yang shalih dan shalihah adalah satu-satunya investasi terbesar dalam hidup sebagai bekal kita menuju hidup baru di akherat. Maka, adakah alasan lain yang akan dikemukakan?*/Imam Nawawi
Jangan lupa Baca juga sebuah pengalaman inspiratif: "Lega Bisa Menjadi Ibu Rumah Tangga"








MERAMU POLA ASUH REMAJA DINEGERI MODE



 
HARI  itu di Centre Culturel Avicenne (Pusat Kebudayaan Ibnu Sina), Rennes Prancis, diadakan sebuah diskusi dengan tema Pendidikan untuk Anak dengan subtema  Bagaimana Berkomunikasi dengan Anak Remaja. Pembicaranya  Bendjafer, seorang psikolog spesialis anak dan remaja dari Klinik Therapeutik Ibnu Sina di Paris.

Tema ini menarik bagi sebagian besar keluarga Muslim di Prancis. Maklum, negeri ini menganut konsep Laicité atau negara sekuler, dimana urusan agama dipisahkan dengan urusan negara.

Perbedaan budaya antara sebagian besar orangtua yang dibesarkan dalam suasana keagamaan dengan anak-anak mereka yang lahir dan berkembang  dalam sistem sekuler tentu akan membuat suasana komunikasi sering tidak lancar. Tidak sepahamnya antara orangtua dan anak, akan menyulut ketidakharmonisan dalam sebuah keluarga.

Sebelum membahas cara berkomunikasi dengan anak remaja, pembicara memulainya dengan menjelaskan pendidikan kepribadian dan moral kepada anak. Tahapan ini penting dilakukan sebelum anak memasuki dunia remaja. Sebab, keberhasilan pendidikan kepribadian dan moral anak berpengaruh besar saat anak memasuki fase remaja.

Komunikasi

Usia 10 tahun merupakan masa transisi bagi kehidupan seorang anak menuju remaja. Ketika anak tersebut memasuki masa remaja, yang dimulai sekitar umur 12 atau 13 tahun, mereka lebih banyak mengambil referensi ke teman-temannya dibanding ke orangtua mereka. Pada masa ini, remaja akan mencoba melihat sampai batas mana ia boleh melakukan sesuatu. Bisa saja ia mulai mencoba sesuatu ke arah yang tidak benar. Dalam hal ini orangtua  harus siap menjadi referensi bila si remaja mempunyai masalah. Dengan cara tersebut, diharapkan terjadi keterbukaan antara orangtua dan anak remaja.

Jika terjadi masalah karena si anak remaja mengambil langkah yang salah, orangtua bisa mengajaknya berdiskusi menyelesaikan masalah tersebut. Bukan menyalahkan si remaja yang berujung dengan pertengkaran.

Ada hal menarik yang diungkapkan oleh pembicara agar remaja mempunyai keteraturan hidup, yaitu membuat perjanjian tertulis antara orangtua dan anak remajanya. Misalnya, yang berkaitan dengan hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Dengan adanya perjanjian tertulis tersebut, remaja bisa membaca hal-hal yang telah disepakati dengan orangtuanya sehingga tidak mudah melakukan pelanggaran. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah membuat jadual keseharian yang tetap bagi remaja. Tujuannya membuat remaja mulai belajar hidup teratur.

Namun, orangtua harus tetap berperan dalam pendidikan anak remajanya. Hanya saja keduanya harus memperlakukan remaja berbeda dengan ketika mereka masih anak-anak. Sebagai contoh, jika terjadi perbedaan pendapat antara suami dan istri, sebaiknya tidak ditunjukkan kepada anak-anak. Namun hal ini tidak boleh disembunyikan dari anak remaja karena mereka perlu penjelasan sehingga mengerti permasalahan tersebut.

Hal yang tak kalah penting dilakukan orangtua adalah memberi nasehat dan contoh. Misalkan, jika ingin mengajak anaknya remaja berjilbab, orangtua bisa mengajaknya ketika hari besar-besar Islam. Demikian pula menceritakan kisah wanita-wanita saleh yang mendapat tempat spesial di dalam Islam karena ketakwaan mereka.

Hal penting yang juga perlu dilakukan oleh orangtua di antaranya membuat peraturan di dalam rumah yang harus ditaati oleh semua pihak, termasuk remaja. Peraturan itu penting diterapkan agar remaja memahami arti sebuah peraturan. Namun jika anaknya melanggar, perlu ada penjelasan kenapa hukuman itu harus diberikan kepadanya.

Ketika orangtua memberikan hukuman kepada mereka, hukuman itu harus ditegakkan secara tuntas. Dalam arti tidak diberikan keringanan karena ada hal khusus pada remaja. Tetapi, pada saat itu juga langsung dikomunikasikan kalau hukuman tersebut merupakan ketidaksukaan orangtua pada perbuatannya, tetapi cinta mereka pada pribadi si anak tetaplah ada. Harapannya adalah si anak tidak akan mengulangi perbuatan yang melanggar aturan yang telah digariskan dan selalu berperasaan kalau orangtuanya masih mencintainya.
Dalam kehidupan remaja, tentu tidak selamanya berjalan lancar. Salah satu yang sering muncul adalah nilai pelajaran. Ketika seorang anak remaja mendapat nilai yang sedang-sedang saja padahal sebenarnya ia bisa mendapatkan lebih dari itu. Sebagai orangtua sebaiknya tidak menekan anaknya untuk bekerja lebih keras lagi. Yang perlu dilakukan adalah memberi motivasi seperti mengatakan kepadanya “Saya percaya kamu, saya yakin kamu bisa mendapatkan lebih dari itu”, dan dengan senyuman tentunya. Untuk itu, perlu diatur kalimat yang baik yang membuat anak remaja makin bertambah semangat.

Hindari Kekerasan Verbal dan Fisik
Dalam mendidik anak-anak dan remaja, pembicara sering menekankan untuk menghindari kekerasan secara verbal (kata-kata) maupun fisik. Maksud kekerasan secara verbal di sini yaitu tidak melakukan dengan kata-kata kasar, keras atau teriak-teriak. Tetapi menggunakan kata-kata yang bagus dan lemah-lembut. Kekerasan secara fisik seperti memukul juga agar tidak dilakukan.

Dalam memahami Hadits Rasulullah Shubahanu Wata'ala yang membolehkan memukul anak yang tidak mau shalat harus dipahami dengan baik. Saat anak berumur 7 tahun, orangtua harus memberi contoh terlebih dahulu. Namun, jika orangtua sudah memberi contoh yang baik dan anak tidak mau mengikuti, maka pada usia 10 tahun boleh dipukul. Tetapi yang perlu diperhatikan, antara usia 7 sampai 10 tahun, orangtua harus terus membimbing anak secara terus menerus. Bahkan perlu ada pengulangan-pengulangan sehingga anak benar-benar terbiasa dengan aktivitas itu. Dan harapannya adalah pada umur 10 tahun bisa terhindar dari tindakan memukul di anak.

Orangtua juga harus bersikap adil dengan cara tidak membandingkan satu anak remaja dengan  remaja lainnya. Ini karena setiap remaja mempunyai kemampuan berbeda. Dalam hal ini orangtua harus mengarahkan anaknya bahwa orang yang pintar bukan karena ketinggian intelektualnya, namun mereka yang bisa mengendalikan emosinya atau bisa mengendalikan marahnya. Ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh baginda Rasulullah pada 15 abad yang lalu dalam Haditsnya yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Orang yang kuat, kata Rasulullah, adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika dia marah.

Demikianlah beberapa tahapan mendidik anak remaja yang dibahas dalam seminar tersebut, terkait dengan pendidikan remaja Muslim di Prancis. Semoga tulisan ini bermanfaat.*
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar