BERTEKAD MENGAKSES NASEHAT DAN KISAH PARA ULAMA
DALAM bahasa Arab, hati disebut “al-qalbu”, artinya
berbolak-balik, tidak menetap pada satu keadaan. Demikianlah kenyataan
hati manusia. Ia bisa menjadi sangat lembut dan mudah diarahkan, tetapi
bisa juga menjadi lebih keras dari batu. Sejenak trenyuh dan berduka,
kemudian melonjak kegirangan. Pada dua keadaan ini, sebenarnya hati
punya kebutuhan yang sama, yaitu nasihat. Dengannya maka
berbolak-baliknya hati senantiasa terarah kepada kebaikan, tidak liar
dan menyeretnya ke jurang kebinasaan.
Oleh karenanya, di dalam
khazanah literatur Islam berkembang satu jenis kitab yang disebut
raqa’iq atau riqaq. Istilah ini dapat dimaknai sebagai cerita ringan,
atau kisah pelembut hati. Karya seperti ini umumnya pendek, dan di
dalamnya banyak disitir kisah-kisah singkat yang menarik, juga
nasihat-nasihat ringkas yang penuh makna. Wejangan dan wasiat para ulama
besar dapat kita jumpai dengan mudah dalam karya-karya seperti ini,
apalagi dalam karya-karya yang lebih detil dan panjang.
Mengapa nasihat ulama itu penting?
Sebab – menurut Syeikh ‘Abdul Qadir al-Jilani – ia merupakan saripati
pengalaman dan interaksi mereka dengan al-Qur’an dan Sunnah. Selain
itu, sepanjang hidupnya mereka hanya mengabdikan diri kepada Allah,
bukan kepada materi dan kenikmatan duniawi.
Tentu saja, mata air hikmah akan mengalir deras dari hati dan lisan
mereka. Adapun kata-kata orang yang tidak beriman kepada Allah, apalagi
yang memusuhi-Nya, jelas tidak akan steril dari polusi keyakinan mereka.
Bukankah keyakinan yang mewarnai setiap hati pasti terefleksikan
melalui kata-kata dan tindakan pemiliknya? Maka, kita harus hati-hati
memilih nasihat, sebelum teracuni tanpa sadar.
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Sesungguhnya
para ulama adalah pewaris Nabi-nabi. Sesungguhnya para Nabi itu tidak
mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu.
Maka, barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang
banyak.” (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Abu Darda’).
Pertanyaannya adalah: jika kita ingin mendengar nasihat ulama, maka
siapakah mereka? Sebab, di zaman ini, kita sering dibuat kecewa oleh
perilaku tokoh-tokoh yang dikenal sebagai ulama. Di media massa sebagian
dari mereka tampil sangat menawan dan sempurna. Namun, tiba-tiba hati
kita menjadi miris manakala mengetahui fakta sebagian dari mereka yang
sesungguhnya. Maka, ada baiknya kita mendahulukan untuk merujuk pada
ulama generasi awal kaum Muslimin, yakni Salafus Shalih, sebelum ulama
dari generasi lebih akhir. Mereka adalah generasi yang telah
menyelesaikan misi serta perannya di dunia ini, dan kita pun telah
melihat prestasi mereka. Sampainya dakwah dan ajaran Islam ke negeri dan
zaman kita secara utuh merupakan salah satu bukti amal mereka. Selain
itu, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam sendiri telah
menyatakan mereka sebagai generasi terbaik (khairun qurun).
‘Imran bin Hushain bercerita: bahwa Nabi bersabda, “Yang terbaik
Di antara kalian adalah generasiku, kemudian yang datang setelah mereka,
kemudian yang datang setelah mereka.” – ‘Imran berkata, “Aku tidak
tahu, apakah Nabi menyebut setelah generasi beliau dua generasi lagi
ataukah tiga.” – Nabi bersabda, “Sesungguhnya setelah kalian akan ada
kaum yang suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, suka memberikan
persaksian padahal tidak diminta bersaksi, suka bernadzar namun tidak
dipenuhi, dan kegemukan merajalela di tengah-tengah mereka.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menyatakan tiga lapisan generasi terbaik tersebut, yaitu
Sahabat, Tabi’in, dan Atba’ Tabi’in. Kepada merekalah semestinya kita
merujuk dan mencari nasihat, supaya hati kita senantiasa terbimbing.
Masalah pilihan sumber ini penting. Sebab, di zaman sekarang, ketika
media massa dan buku-buku beredar sangat bebas di masyarakat, tentu
tidak sulit untuk mengakses nasihat dari sumber mana pun. Apalagi bagi
pengguna piranti-piranti telekomunikasi yang telah dimuati fitur-fitur
untuk sharing (berbagi), semisal SMS, MMS, chatting, email, BBM, twitter, Facebook, Skype, Youtube, Wikipedia, dsb.
Di saat bersamaan, buku-buku digital juga semakin lazim dipergunakan,
termasuk audiobook (buku bersuara). Maka, yang sangat dibutuhkan adalah
filter diri yang mantap, juga kecerdasan untuk memilih.
Sayangnya, kita menyaksikan banyak orang rela merogoh koceknya
dalam-dalam hanya untuk membeli novel dan komik, bahkan mengoleksi
serial lengkapnya dari awal sampai akhir.
Padahal isinya belum tentu penting dan hanya khayalan. Tidak sedikit
pula orang yang berulangkali menonton film tertentu, padahal seluruhnya
hanya ilusi. Sebagian orang juga sangat sibuk menghibur diri dari waktu
ke waktu, bersenang-senang, dan berusaha melupakan masalah-masalah.
Padahal, di depan kita semua ada masalah sangat besar yang pasti datang,
tanpa seorang pun bisa menghindar, yakni kehidupan akhirat. Sebenarnya,
kita lebih perlu memikirkan masalah akhirat ini, dan justru jangan
sampai melupakannya; bukannya menghabiskan waktu untuk mengikuti
imajinasi orang lain yang tidak jelas keterkaitannya dengan akhirat,
bahkan justru memalingkan kita darinya.
Mengapa kita tidak mengalokasikan sebagian dana untuk mengakses
nasihat dan kisah para ulama yang nyata, pasti bermanfaat, dan dijiwai
nilai-nilai Islam?
Maka, mari bertekad dan menata amal, dengan mendengarkan kisah dan
nasihat para ulama. Semoga dengan meneladani mereka, kita terpacu untuk
beramal seperti amal mereka, dan akhirnya dikumpulkan oleh Allah
Subhanahu Wata’alabersama mereka di akhirat kelak. Amin.
B eginilah Seharusnya Seorang Muslim yang Kaya dan Berkuasa dalam Melihat Harta
KALAU ada
orang berperkara karena rebutan harta itu biasa. Tetapi kisah ini
sangat luar biasa. Ada dua orang berperkara soal harta tapi bukan untuk
saling rebut, tetapi saling memberikan, karena merasa bukan haknya.
Kisah ini disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu dan termaktub
dalam Kitab Shahih Imam Muslim.
“Ada seseorang membeli ladang dari orang lain. Kemudian orang itu
menemukan sebuah pundi-pundi berisi emas dari ladang tersebut. Pembeli
itu mengembalikan pundi-pundi itu ke si penjual. Sedang si penjual
menolak karena merasa bukan miliknya. Katanya: “Ambillah! Tapi pembeli
itupun menolak dengan berkata: ‘Aku hanya membeli ladang. Bukan membeli
emas itu.”
Keduanya tetap tak mau menerima harta itu. Karena si penjual pun
menyatakan bahwa dia menjual ladang dengan segala isinya. Akhirnya
mereka pergi kepada seorang yang sholeh untuk membantu memecahkan
persoalan ini.
Hakim yang ditunjuk mereka itu kemudian bertanya pada masing-masing,
apakah mereka mempunyai anak. Ternyata ada. Yang satu mempunyai anak
laki-laki, sedang yang lain mempunyai anak perempuan. Hakim kemudian
berkata: “Kawinkan keduanya. Pakailah pundi itu sebagai biaya untuk
menyelenggarakan pernikahan itu.”
Kisah tersebut benar-benar luar biasa. Keduanya tidak mau menerima
harta yang bukan haknya, bukan hasil jerih payah mereka. Keduanya justru
takut jika itu malah menggoyahkan, mengancam akhlak dan moral, serta
mengganggu ketentraman jiwanya, yang merupakan inti dan hakikat
kebahagiaan hidup.
Demikianlah seharusnya seorang Muslim melihat harta. Tiak asal dapat,
tapi diperhatikan dulu, apakah harta itu hak atau tidak. Sebab jika
bukan hak, harta itu malah akan merusak kekayaan sejati kita berupa iman
dan ketentraman jiwa. Lihatlah para koruptor, sekalipun uang mereka
banyak, tapi mereka tak tenang bahkan kelak akan disiksa karena makan
harta yang bukan haknya.
Tauladan Sahabat Nabi yang Kaya
Ada dua sahabat Nabi yang kaya raya, yakni Utsman bin Affan dan
Abdurrahman bin Auf. Keduanya tidak menjadi sombong karena harta,
apalagi serakah untuk terus menambah koleksi hartanya. Malah gelisah,
jika harta yang berlebihan itu yang sejatinya amanah Allah tidak dapat
dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, keduanya selalu memanfaatkan harta yang dimiliki
untuk kepentingan Islam dan kebahagiaan umatnya. Menjadi sesama Muslim
agar menjadi orang-orang yang mandiri dan terhormat, sehingga umat Islam
menjadi unggul di atas umat-umat yang lain.
Utsman bin Affan radhiyallahu anhu pernah meringankan kesulitan
penduduk Madinah. Saat itu musim kemarau melanda. Kebutuhan air
meningkat sementara tidak ada persediaan air lagi. Satu-satunya cara
untuk bisa mendapat air adalah dengan membeli sumur dari seorang Yahudi
yang kejam.
Melihat situasi tersebut Rasulullah bersabda, “Siapa kiranya yang sudi membantu meringankan beban kaum Muslimin ini?”
Mendengar demikian, spontan Utsman bin Affan membeli sumur itu dari
tangan si Yahudi dengan harga yang sangat mahal. Utsman tidak pernah
merasa rugi dengan keputusan tersebut. Karena dalam pemahamannya, harta
bukan untuk disimpan tetapi dimanfaatkan untuk kepentingan umat.
Demikian pula halnya dengan Abdurrahman bin Auf. Ia tidak pernah
tanggung dalam memberikan harta untuk kemaslahatan umat. Pernah ia
memberikan 700 ekor unta yang dimilikinya beserta segala muatannya untuk
kepentingan umat Islam. Setiap hari Abdurrahman bin Auf memikirkan
hartanya jangan sampai ada yang tidak termanfaatkan di jalan Allah.
Jadi, seorang hartawan tidak seharusnya jatuh dalam kenistaan karena
menganggap harta yang disimpan lebih membahagiakan daripada dibelanjakan
di jalan Allah. Sungguh tercela seorang hartawan yang dalam hidupnya
memilih meribakan uang, memonopoli perdagangan, dan mempermainkan harga
serta tenaga kaum lemah yang menimbulkan keresahan masyarakat. Apalagi
memeras tenaga buruh, hingga mereka tidak dapat menunaikan kewajiban
agamanya.
Keteladanan Umar bin Abdul Aziz
Selain orang kaya, penguasa termasuk orang yang memiliki kelapangan
harta. Tetapi lain halnya dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ia tak
pernah memanfaatkan harta yang bukan haknya untuk kepentingan diri dan
keluarganya.
Suatu hari khalifah meminta pelayannya untuk memanaskan air untuknya,
supaya ia bisa berwudhu di hari yang sangat dingin, dengan cepat si
pelayan kembali setelah memanaskan airnya, lalu khalifah bertanya, “Di
mana kamu panaskan air secepat itu?
Pelayannya pun menjawab, “Aku memanaskannya di dapur umum”. Dapur
umum didirikan Umar untuk memenuhi hajat kaum Muslimin yang dibiayai
dari Baitul Mal. Khalifah Umar pun memarahi pelayannya atas perbuatannya
itu.
Khalifah pun tak menyentuh sedikitpun air panas itu sampai pelayan
itu pergi untuk membayar harga dari sekedar menumpang memanaskan air.
Jadi, tidak seharusnya seorang penguasa memanfaatkan jabatannya
sebagai alat memperkaya diri dan keluarga. Bergaya hidup mewah, boros
dan kikir. Karena bagaimanapun, kewenangan yang dimiliki untuk
memanfaatkan harta rakyat sekalipun tidak diperiksa oleh pengadilan,
kelak pasti akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Subhanahu Wa
ta’ala.
Oleh karena itu dalam kitabnya Ihya Ulumuddin Imam Ghazali berpesan
agar seorang penguasa atau pejabat negara harus berhati-hati dengan
harta yang bersumber dari kas negara yang dikumpulkan dari pajak dan
hasil ekspor. Karena hakikatnya harta itu adalah untuk kepentingan
rakyat bukan penguasa.
Keutamaan Dermawan dan Tercelanya Kekikiran
Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin berkata, “Ketahuilah bahwa jika
kamu tidak memiliki harta, maka sikapilah dengna qana’ah. Sedangkan jika
kamu memilikinya, maka sikapilah dengan mendahulukan orang lain,
dermawan dan tidak pelit.
Kemudian Imam Ghazali mengutip hadits Nabi, “Sifat dermawan adalah
salah satu pohon dari pepohonan surga yang dahannya terjuntai hingga ke
tanah. Barangsiapa yang mengambil sehelai dahannya, maka dahan itu akan
menuntunnya ke surga”.
Artinya, Muslim yang mendapat anugerah harta berlebih semestinya
membagikan hartanya untuk kepentingan umat Islam. Bukan malah menyimpan
dan terus menerus berusaha menambahnya tanpa peduli terhadap sesama
alias kikir atau bakhil.
Siapa yang kikir tentu keberuntungan akan menjauh darinya.
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS: Al Hasyr [59]: 9).
Dan, siapa yang tetap bakhil, kelak akan merasakan siksa yang memberatkan.
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن
فَضْلِهِ هُوَ خَيْراً لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا
بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ
وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang
Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan
itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi
mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat.” (QS: Ali Imron [3]: 180).
Sifat kikir orang kaya dan penguasa akan berakibat pada kekacauan atau kerusuhan sosial. Rasulullah bersabda,
“Waspadalah dari sifat kikir. Sesungguhnya orang-orang sebelummu binasa
karenanya. Sifat kikir membuat mereka saling membunuh dan menghalalkan
apa yang diharamkan bagi mereka.” (HR. Ahmad).*
MEMBANGUN PERCAYA DIRI DAN PENCITRAAN YANG HAKIKI
DALAM buku Ma’alim Fith-Thoriq (Petunjuk
Jalan) Sayyid Qutb (Ideolog Kedua Ikhwanul Muslimin Mesir) menulis bab
khusus dengan judul Kebanggaan Iman. Bab ini menegaskan bahwa orang
beriman adalah manusia yang senantiasa menjalin hubungan keimanan yang
kuat dengan Rabb-nya. Allah Subhanahu Wata”ala . Dan jalinan hubungan
imannya yang kuat dengan-Nya menyebabkan dirinya bermental kokoh.
Bagaikan batu karang di tengah samudera. Ia tidak pernah merasa hina
atau bersedih hati. Justru, ia selalu merasakan ketinggian dan kemuliaan
di dalam hidupnya karena dirinya tersambung dengan Allah Subhanahu
Wata”ala Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Inilah yang dimaksud oleh
Sayyid Qutb dengan Kebanggaan Iman.
Betapa penting persoalan ini diangkat ke permukaan. Hal itu amat
relevan jika dikaitkan dengan gejala/fenomena/realitas dunia modern yang
penuh fitnah. Suatu kehidupan yang sekuler (memisahkan makhluk dari
Al-Kholiq). Dan sebuah kehidupan yang mengikuti sistem ekonomi
materialis, hedonis. Dua tsunami (skuler dan materialis) itulah yang
menggerogoti iman dari dalam, dan menawarkan berbagai kebanggaan palsu.
Ada kebanggaan harta, kebanggaan tahta dan jabatan, kebanggaan
teknologi, kebanggaan intelektual-formal, kebanggaan popularitas dan
kebanggaan-kebanggaan duniawi lainnya.
Semua bentuk kebanggaan palsu tersebut tidak ada kaitan dengan iman
kepada Allah Subhanahu Wata”ala . Sehingga menurut kajian Kebanggaan
Iman bentuk-bentuk kebanggaan duniawi itu hakikatnya sangat lemah dan
rapuh. Bahkan bersifat hina, semua dan tidak berarti di mata Allah
Subhanahu Wata”ala .
Orang yang merasakan kemuliaan dan ketinggian hanya karena berbagai
kebanggaan duniawi adalah orang-orang yang tertipu. Boleh jadi ia tampil
dengan self-confidence (percaya-diri) yang tinggi sewaktu
masih di dunia. Tetapi di akhirat kelak ia akan menyadari bahwa ia telah
terpedaya. Sehingga ia akan menyesal telah membanggakan diri dengan
kebanggaan-kebanggaan palsu. Ia tidak memperoleh nikmat spiritual,
tetapi hanya mata’ud dunya (kenikmatan yang dekat dan sesaat). Itulah
penyesalan yang sangat terlambat dan tentunya tiada berguna.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَالْبَنِينَ
وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, Yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak
dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah
Subhanahu Wata”ala-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran (3) : 14).
Janganlah kita silau/terpedaya memandang kekuasaan/jabatan, dunia dan
seisinya ini dengan kaca mata Fir’aun. Keduanya dipersepsikan sebagai
ghoyah (tujuan akhir), bukan wasilatud dakwah (media dakwah). Ketika
kekuasaan diraih, ia lupa diri dan lupa daratan. Ia mabuk kekuasaan dan
gila harta dan pengaruh. Dia sadar dengan keimanan, ketika kondisi
sedang terjepit. Sadar karena tekanan eksternal. Yaitu, ketika tubuhnya
dipermainkan oleh gelombang bagaikan bola pimpong. Bukan bersumber dari
lubuk hati yang dalam. Jangan berfikir aji mumpung, jangan bangga,
jangan kaget dengan kekuasaan.
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ
وَجُنُودُهُ بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ
آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ
وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka
diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan
menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam
berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang
dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah Subhanahu Wata”ala)". Apakah sekarang (baru
kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan
kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini
Kami selamatkan badanmu [*] supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari
manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.” (QS: Yunus (10) : 90-92)
Yang diselamatkan Allah Subhanahu Wata”ala ialah tubuh kasarnya.
Menurut sejarah, setelah Fir'aun itu tenggelam mayatnya terdampar di
pantai diketemukan oleh orang-orang Mesir lalu dibalsem, sehingga utuh
sampai sekarang dan dapat dilihat di musium Mesir.
Syetan sangat cerdik menipu manusia dengan berbagai kebanggaan
duniawi. Menggelincirkan penguasa, ilmuan, hartawan dari jalan yang
lurus. Kekuasaan, harta dan ilmu tidak semakin mendekatkan pemiliknya
kepada Allah Subhanahu Wata”ala.
Syetan menyuruh manusia agar jangan peduli dengan kebanggaan iman
sebab itu adalah perkara yang terlalu abstrak dan tidak dapat dilihat
secara kasat mata. Sementara itu kebanggaan duniawi bersifat kongkrit
dan mudah terukur. Sehingga muncullah gelombang manusia yang masuk ke
dalam perangkap syetan. Sehingga jabatan, ilmu dan harta tidak ditemani
dan dikontrol secara langsung oleh spirit Iman.
ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ
أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang
mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan
mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS: Al Araf (7) : 17).
Kalau yang terperangkap adalah manusia awam yang jahil akan agamanya
kita tentu prihatin, tetapi masih dapat memahaminya. Ironisnya, dewasa
ini kita menyaksikan mereka yang terjerat tipuan syetan adalah
orang-orang yang dikenal khalayak ramai sebagai orang-orang yang biasa
ikut pengajian, bahkan para ustadz dan ahli ilmu syar’iyyah Islamiyyah.
Mereka adalah orang-orang yang semestinya tampil mengarahkan masyarakat
luas agar mensyukuri dan mempertahankan Kebanggaan Iman.
Alih-alih melaksanakan kewajibannya sebagai mercusuar di tengah arus
zaman penuh fitnah, mereka malah menjadi fihak yang mempromosikan
pentingnya kebanggaan duniawi seperti kebanggaan akan tahta dan jabatan.
Mereka robah tolok-ukur keberhasilan da’wah. Keberhasilan da’wah
Islam tidak lagi dinilai berdasarkan berapa banyak orang yang semakin
beriman dan istiqomah. Tetapi dinilai berdasarkan berapa banyak dan
berapa tinggi jabatan politik dan pos struktural kekuasaan yang berhasil
direbut.
Kebanggaan tahta dan jabatan menjadi pembicaraan utama. Semua enersi
dikerahkan untuk mencapai kebanggaan yang satu ini. Enersi waktu, fisik,
batin, fikiran, dana dan doa semuanya dipusatkan demi kesuksesan
merebut kekuasaan formal.
Kebanggaan iman semakin jarang dibicarakan dan malah semakin dirasa
aneh dan tidak penting. Kerugian adalah saat seorang aktifis da’wah
tidak berhasil merebut atau mempertahankan jabatan dan kekuasaannya
untuk kebaikan. Keterlibatan dalam suatu kegiatan maksiat tidak dinilai
sebagai sebuah kerugian, melainkan sebuah perilaku manusiawi yang wajar
dan perlu dimaklumi. Mengejar ridho Allah Subhanahu Wata”ala menjadi
kalah penting dibandingkan upaya image-building (pencitraan) dalam
rangka mendapatkan dukungan rakyat luas.
Sayyid Qutb menjelaskan Kebanggaan Iman berpedoman kepada sebuah ayat Al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut:
وَلاَ تَهِنُوا وَلاَ تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu
bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi
(derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran 139)
Selanjutnya Sayyid Qutb mengomentari ayat di atas dengan uraian
sebagai berikut: “Dia melukiskan suatu keadaan yang tertinggi yang harus
mendasari dalam kalbu seorang mukmin dalam menghadapi apa pun. Suatu
kebanggaan karena iman dan sendi-sendinya yang mengatasi seluruh sendi
yang bukan bersumber dari iman. Suatu ketinggian yang mengatasi seluruh
kekuatan di bumi yang jauh dari dasar iman; dan mengatasi seluruh sendi
yang hidup di bumi ini yang tidak ber¬sumber dari iman. Mengatasi
seluruh tradisi di bumi ini yang tidak dicetak oleh iman. Mengatasi
seluruh undang-undang di bumi ini yang tidak disyariatkan oleh iman, dan
mengatasi seluruh posisi di bumi ini yang tidak ditumbuhkan oleh iman.
Suatu ketinggian yang walaupun tenaga lemah, jumlah ummat yang
sedikit dan kemiskinan harta, sama dengan ketinggian di waktu kuat,
jumlah yang banyak dan harta yang melimpah.
Suatu ketinggian yang tidak merasa terhina di hadapan kekuatan yang
zalim, tidak merasa rendah di hadapan kebiasaan sosial dan hukum yang bathil, dan
tidak merasa rendah di hadapan posisi yang diterima oleh manusia tetapi
tanpa sandaran iman.” (Petunjuk Jalan – Penerbit Media Dakwah – halaman
272)
Masalahnya bukan pada memiliki atau tidak memiliki jabatan dan
kekuasaan politik. Tetapi yang menjadi masalah apakah sesudah seseorang
memiliki kekuasaan politik masihkah ia menjadikan Kebanggaan Iman
sebagai tolok ukur kemuliaan dan ketinggian di dalam hidupnya? Dan
jawabannya bukan sekedar berupa sebuah pernyataan atau claim (za’mun).
Jawabannya haruslah berupa bukti dalam perilaku dan kebijakan. Bukti
terbaik adalah berupa langkah-langkah bersyukur kepada Allah Subhanahu
Wata”ala. Dan sebaik-baik bentuk bersyukur kepada Allah Subhanahu
Wata”ala ialah berupa pemanfaatan kekuasaan demi memastikan tegak dan
berlakunya dienullah serta hukum Allah Subhanahu Wata”ala di bawah
wilayah otoritas kekuasaannya. Itulah salah satu janji Allah Subhanahu
Wata”ala kepada orang beriman di dunia ini.
وَعَدَ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم
فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah Subhanahu Wata”ala telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa
Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa,
dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka
tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan
aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka
Itulah orang-orang yang fasik." (QS. An Nur (24) : 55).*
BILAMANA seseorang
yang memperoleh jabatan politik kemudian terlihat nyata memberlakukan
aturan dan hukum Allah Subhanahu Wata”ala dalam ruang-lingkup otoritas
kepemimpinannya, berarti ia telah berlaku jujur di dalam mempertahankan
kebanggaan imannya. Tetapi bilamana seseorang menjabat lalu sesudahnya
tidak terlihat nyata adanya perubahan aturan dan hukum jahiliyah diganti
dengan hukum Allah Subhanahu Wata”ala , maka itu berarti ia telah
melupakan Kebanggaan Iman dan terjebak syetan ke dalam perangkap
kebanggaan tahta dan jabatan.
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallAllah Subhanahu Wata”alau ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Kalian akan rakus terhadap jabatan, padahal jabatan itu akan menjadi
penyesalan di hari kiamat, ia adalah seenak-enak penyusuan dan
segetir-getir penyapihan.” (HR Bukhari – Shahih)
Orang yang
memiliki jabatan akan merasakan “seenak-enak penyusuan” selama masa ia
menjabat. Ia menikmati berbagai fasilitas dan gaji yang mencukupi hidup
diri dan keluarganya. Dan ia pasti mengalami “segetir-getir penyapihan”
saat jabatannya mesti berakhir. Itulah rahasia mengapa setiap orang
yang menjabat pasti akan berusaha keras melestarikan masa kekuasaannya
(mempertahankan status quo).
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ
إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ
الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُوْلَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
“..tetapi
Allah Subhanahu Wata”ala menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan
menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu
benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka itulah
orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus." (QS. Al Hujurat (49) : 7)
“Ya
Allah Subhanahu Wata”ala, tanamkanlah kecintaan kami kepada iman dan
hiasilah hati kami dengan iman. Dan jadikanlah kami benci kepada
kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan. Dan jadikanlah kami golongan
orang-orang yang terbimbing.”
Orang yang memiliki kebanggaan iman
menjadikan ilmunya untuk mencerahkan yang bodoh. Menjadikan hartanya
untuk membebaskan kaum dhu’afa dan mustadh’afin. Dan kekuasaan yang
digenggam sebagai media merubah konstitusi menjadi undang-undang yang
merujuk kitab suci. Menjadi diri dan keluarganya sebagai alat peraga
Al-Quran dan As Sunnah. Jika semua potensi yang dimilikinya tidak
dioptimalkan untuk mengharumkan dan mengagungkan nama Allah Subhanahu
Wata”ala dan syi’ar-syi’ar-Nya, maka bukan saja potensi yang
dimilikinya akan menggali lubang kehancurannya (istidraj), pula tidak
menambah kebaikan diri dan keluarganya (tidak barakah). Jadi Percaya
Diri dan Pencintraan (Self-Confidence And Image-Building) yang hakiki
adalah bersumber dari Yang Maha Kekal, Allah Subhanahu Wata”ala .
Yang
menjadi muhasabah kita, benarkah ilmu yang kita miliki, jabatan yang
kita duduki, harta kekayaan, pengaruh dan popularitas yang kita punyai,
mendatangkan pertolongan dari Allah Subhanahu Wata”ala (nshrullah),
atau bahkan tidak menambah kebaikan kita, atau bahkan menjerumuskan
kehidupan kita secara total (istidraj) ?. Benarkah apa yang kita peroleh
berupa nikmat atau hanya sekedar mata’ (nikmat sesaat), nikmat duniawi
yang kerdil dan rendah ?.
إِنَّ اللَّهَ يُدْخِلُ الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا
تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ
“Sesungguhnya
Allah Subhanahu Wata”ala memasukkan orang-orang mukmin dan beramal
saleh ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. dan
orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti
makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad (47) : 12)
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS: Muhammad (47).*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar