Powered By Blogger

Sabtu, 13 April 2013

JENDELA KELUARGA

 FATIMAH,WANITA MUSLIM IDAMAN


MENJADI isteri seorang penguasa merupakan kebanggan dan impian mayoritas wanita. Selain memiliki prestise yang luar biasa, status sosial yang terhormat, menjadi isteri seorang pemimpin juga akan mendapatkan fasilitas yang serba lux dan kemudahan dalam administrasi.
Tak jarang ada sosok wanita yang haus akan kehormatan, gila akan gelimang materi dunia, memanfaatkan jabatan dan kekuasaan suaminya sebagai ajang menumpuk materi dengan menghalalkan segala cara. Inilah potret sebagian wanita dewasa ini, di republik negeri tercinta ini.
Sebagai renungan dan tolak ukur kezuhudan kita akan gemerlap dunia marilah sekilas kita melihat salah satu profil wanita yang bersahaja, melihat kemewahan dunia dengan apa adanya.
Wanita tersebut merupakan salah satu sosok penting dalam sejarah peradaban islam, wanita yang turut andil mengibarkan panji-panji kebesaran islam, wanita yang sangat mulia status sosialnya yang tidak terpengaruh dengan materi, kekuasaan sejenak.  Wanita tersebut dikenal dengan nama Fatimah binti Abdul Malik.

***
Fatimah merupakan satu-satunya anak  perempuan dari lima bersaudara dari khalifah Daulah Abbasyiah yang bernama Abdul Malik bin Marwan. Empat saudaranya yang laki-laki adalah Yazid, Hisyam, Maslamah dan Sulaiman.
Layaknya putri raja dan kepala Negara Islam, Fatimah pun mendapatkan kehormatan dan segala fasilitas yang mewah, hidup dengan penuh kasih sayang dan dimanja oleh kedua orangtuanya dan saudara-saudaranya.
Kebahagiannya menjadi sempurna dengan dipersunting oleh seorang lelaki yang terbaik pada zamannya, dari keluarga yang terhormat yang bernama Umar bin Abdul Aziz, beliau merupakan sosok yang hidup penuh dengan keglamoran dan kemewahan meskipun demikian ia merupakan sosok yang relegius dan sangat amanah. Mereka merupakan pasangan sejoli yang ideal dan romantis.
Puncak dari kebahagian mereka berdua adalah diangkatanya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik ia dilantik pada hari jumat, bulan Shafar 99 H di kota Damaskus.
Ditunjuknya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah karena Sulaiman bin Abd Malik memiliki putra yang masih kecil-kecil sehingga kekuasaan tersebut diberikannya kepada Umar bin Abdul Aziz yang telah dikenal akan perangainya.
Proses dan pelantikannya sebagai khalifah inilah yang merubah pola pikir dan pandangan hidup seorang Umar bin Abdul Aziz dari seorang yang hidup penuh keglamoran menjadi sosok yang sederhana, zuhud dan tampil sebagai salah satu pemimpin umat Islam yang terbaik.
Selama tiga hari masa pelantikan Umar bin Abdul Aziz menuju dan memperoleh pencerahan, ia dengan tegas menolak seluruh fasilitas istana yang diperuntukkan bagi seorang sultan .

Fatimah, sangat terkejut ketika mendengar berita bahwa khalifah baru yakni suaminya menolak segala fasilitas istana, ia hanya memilih menunggang keledai untuk kendaraan sehari-hari, membatalkan acara pelantikan dirinya sebagai khalifah yang akan diadakan besar-besaran dan penuh kemewahan.
Sungguh Fatimah heran dan tidak percaya mendengar berita tersebut karena ia sangat mengenal siapa suaminya, sosok yang sangat identik dengan kemewahan hidup mengapa secara tiba-tiba ia hendak berpaling dari kemewahan padahal tampuk kekuasaan kaum Muslimin baru saja di anugerahkan kepadanya.
Keterkejutannya semakin bertambah tatkala melihat suaminya pulang dari dari kota Damaskus, tempat ia dilantik sebagai khalifah umat Islam. Suaminya terlihat lebih tua tiga tahun dibandingkan tiga hari yang lalu tatkala ia berangkat ke kota Damaskus.
Wajahnya terlihat sangat letih, tubuhnya gemetaran dan layu karena menanggung beban yang teramat berat.
Dengan suara lirih Umar bin Abdul Aziz berkata dengan lembut dan penuh kasih-sayang kepada sang isteri tercinta, “Fatimah, isteriku...! bukankah engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat dipikulkan kepundakku, menjadi nakhoda bahtera yang dipenuhi, ditumpangi oleh umat Muhammad Shallallahu ‘alahi Wassalam. Tugas ini benar-benar menyita waktuku hingga hakku  terhadapmu akan terabaikan, aku khawatir kelak engkau akan meninggalkanku apabila aku akan menjalani hidupku yang baru, padahal aku tidak ingin berpisah denganmu hingga ajal menjemputku.”

“Lalu, apa yang akan engkau lakukan sekarang?,” tanya Fatimah.
“Fatimah...! engkau tahu bukan, bahwa semua harta, fasilitas yang ada di tangan kita berasal dari umat Islam, aku ingin mengembalikan harta tersebut ke Baitul Maal, tanpa tersisa sedikitpun kecuali sebidang tanah yang kubeli dari hasil gajiku sebagai pegawai. Di sebidang tanah itu kelak akan kita bangun tempat berteduh kita dan aku hidup dari sebidang tanah tersebut, maka jika engkau tidak sanggup dan tidak sabar terhadap rencana perjalanan hidupku yang akan penuh kekurangan dan penderitaan maka berterus-teranglah, dan sebaiknya engkau kembali keorangtuamu!,” jawab Umar bin Abdul Aziz.
Lalu Fatimah kembali bertanya, “Wahai suamiku, apa yang sebenarnya membuat engkau berubah sedemikian rupa?”
“Aku memiliki jiwa yang tidak pernah puas, setiap yang kuinginkan selalu dapat kucapai, tetapi aku menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi yang tidak ternilai dengan apapun juga yakni surga. Surga adalah impian terakhirku, “jawab Umar bin Abdul Aziz lagi .

Fatimah yang notabene merupakan wanita yang terbiasa hidup mewah, dengan fasilitas yang disediakan dan pelayanan yang super maksimal ketika mendengar keputusan suaminya ia tidak kecewa, tidak menunjukan kekesalan dan keputus asaan. Dengan suara yang tegar dan mantap ia menegaskan, “Suamiku...!  Lakukanlah yang menjadi keinginanmu dan aku akan setia di sisimu baik di kala susah atau senang hinga maut memisahkan kita.”

Fatimah yang agung menjadi pendukung pertama gerakan perubahan yang akan dilakukan oleh suaminya yakni gerakan kesederhanan para pemimpin dalam kehidupan. Demi bakti dan keridhaan sang suami yang tercinta, ia rela meninggalkan kemewahan hidup yang selama ini dinikmatinya. Semuanya dilakukan dengan penuh kesadaran, keikhlasan atas pondasi keimanan yang kuat.
Di rumahnya yang baru, Fatimah hidup dengan penuh kesederhanaan, pakaian yang dikenakan, makanan yang disantap tanpa ada kemewahan dan kelezatan semuanya tidak jauh dengan rakyat biasa. Padahal status yang mereka sandang adalah raja dan ratu seluruh umat Islam masa itu.
Begitu sederhananya konsep kehidupan yang mereka terapkan, banyak orang yang belum mengenalnya tidak menyangka bahwa mereka adalah pasangan penguasa umat Islam kala itu.
Diceritakan, suatu hari datanglah wanita Mesir untuk menemui khalifah di rumahnya, sesampai dirumah yang ditunjukkan ia melihat seorang wanita yang cantik dengan pakaian yang sederhana sedang memperhatikan seseorang yang sedang memperbaiki pagar rumah yang  dalam kondisi rusak.
Setelah perkenalan si wanita Mesir baru sadar bahwa wanita tersebut adalah Fatimah, isteri sang Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Ia pun menanyakan sesuatu hal,’’Ya Sayyidati, mengapa engkau tidak menutup auratmu dari orang yang sedang memperbaiki pagar rumah engkau?”
Seraya tersenyum Fatimah menjawab, “Dia adalah Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz yang sedang engkau cari.”

Istiqamah dalam Kesederhanaan
Dengan hidup yang penuh kesederhanaan bahkan sering kali kekurangan, Fatimah tetap sabar dan setia mendampingi Umar bin Abdul Aziz. Suaminya. Ketika suaminya meninggal dunia, Fatimah kerap mencucurkan air mata, bukan karena khawatir kehidupannya akan bertambah sulit sepeninggalan suaminya yang hanya mewariskan sebidang tanah. Namun ia menangis karena ia cemas tanpa kehadiran suami di sisinya. Sanggupkah ia mempertahankan prinsip dan konsep hidup sederhana yang selama ini dibinanya dengan sang suami tercinta?
Bahkan Yazid, saudaranya sendiri yang diangkat menjadi khalifah menggantikan Umar bin Abdul Aziz pernah mengunjungi Fatimah dan hendak menyerahkan kembali seluruh perhiasan dan fasilitas yang telah mereka serahkan ke Baitul Maal tatkala Umar bin Abdul Aziz dilantik menjadi khalifah. Namun dengan tegas dan penuh keikhlasan hal tersebut ditolaknya seraya berkata, "Tidak, demi Allah, hal itu tidak akan aku terima, aku bukanlah jenis orang yang taat kepada suami tatkala ia hidup dan meningkarinya tatkala ia telah tiada. Aku melakukannya ikhlas karena Allah sebagai bentuk ketaatan kepada suamiku yang tercinta,” ujarnya.

Sungguh luar biasa. Inilah sosok wanita yang sempurna, wanita yang shalihah mampu memalingkan, memejamkan mata terhadap gemilau keindahan materi tatkala kemewahan tersebut ada didepan mata dan wanita idaman para Muslimah.
Kita berharap semoga sosok-sosok ini menjadi suri tauladan bagi para wanita, khususnya wanita yang berposisi sebagai isteri penguasa agar tampil menjadi fatiamah-Fatimah baru di era kontemporer ini








BUATLAH IBUMU TERTAWA


KALAU hari ini kita dapat meneggakkan kepala, ada kasih-sayang ibu yang tak akan pernah dapat engkau hapuskan jasanya. Kalau hari ini engkau dapat berbicara dengan jelas, itu karena kesabaran ibumu mengasuh dan mengajarimu mengucap kata demi kata. Kalau hari ini engkau merasai manisnya kehidupan, itu karena ibumu berkenan mengasuhmu penuh ketulusan.
Alangkah banyak wajah tampan yang susah menemukan kebahagiaan bersebab mereka tak pernah memperoleh usapan sayang dari ibunya. Alangkah banyak perempuan cantik yang tak dapat merasakan ketulusan meski sedetik, bersebab mereka tak memperoleh kasih-sayang di masa kecil.
Maka, sudahkah engkau bahagiakan ibumu? Perempuan yang wajahnya mulai berukir ketuaan itu, adakah ia semakin cepat tua karena amat seringnya menangis sedih karenamu? Ataukah ia menangis bahagia bersebab kebaikanmu padanya?
Teringatlah saya pada sebuah hadits:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : جئْتُ أبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ، وَتَرَكْتُ أَبَوَيَّ يَبْكِيَانِ، فَقَالَ: اِرْخِعْ عَلَيْهِمَا؛ فَأَضْحِكْهُمَا كَمَا أَبْكَيْتَهُمَا
“Seseorang datang kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Aku akan berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan aku tinggalkan kedua orangtuaku dalam keadaan menangis.”
Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kembalilah kepada kedua orangtuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Al-Baihaqi dan Al-Hakim, shahih).
Buatlah ibumu tertawa. Jangan buat ia menangis kecewa. Buatlah kedua orangtuamu tertawa. Bukan mentertawakan mereka.
Khusus tentang ibu, ada sebuah hadits yang amat perlu kita renungkan. Inilah hadis yang menunjukkan betapa tinggi kedudukan seorang ibu. Maka, berbahagialah engkau wahai para ibu jika engkau penuhi kewajibanmu sebagai ibu dengan penuh kesungguhan, ikhlas karena Ta'ala, mengharap ridha Allah 'Azza wa Jalla.
Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam bersabda:
    إن الله حرم عليكم عقوق الأمهات ووأد البنات ومنع وهات . وكره لكم قيل وقال وكثرة السؤال وإضاعة المال

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada ibu-ibu kalian, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menolak kewajiban dan menuntut sesuatu yang bukan menjadi haknya. Allah juga membenci jika kalian menyerbarkan kabar burung (desas-desus), banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadist ini, ada penekanan yang amat kuat tentang haramnya mendurhakai ibu. Nah, apakah yang telah engkau lakukan agar panjang umurnya ibumu dapat memudahkanmu masuk ke dalam surga-Nya?*










KEJAHATAN ONLINE, DAN PENTINGNYA ORANGTUA MELEK INTERNET



 TANGGAL  30 Oktoober 2012 diselenggarakan “Konferensi Kejahatan Seksual Terhadap Anak Secara Online” (Conference on Sexual Crime Against Children Online) diselenggarakan di Hotel Mercure Ancol (29/10/2012), merupakan wujud kerja sama dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) bersama Kedutaan Besar Prancis, Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional (LSM) End Child Prositution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia, dan juga Terre des Hommes.
Konferensi ini membahas tentang tren terbaru dari kejahatan seksual terhadap anak secara online, jenis penyalahgunaan Information and Communication Technologies (ICT), legislasi nasional dari negara-negara yang mengkriminalisasi kejahatan seksual terhadap anak-anak secara online dan bagaimana memerangi eksploitasi seksual anak secara online.
Konferensi ini menjadi penting dan strategis dalam rangka meningkatkan komitmen, kerjasama dan “sharing best practices” antar peserta di dalam memerangi kejahatan seksual melalui online, termasuk trafiking secara online maupun tidak, terutama terhadap anak. Indonesia merupakan salah satu pengguna internet terbesar di dunia, sesudah Amerika, dan China dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 240 juta orang, sebanyak 49,9 % adalah perempuan dan 30 % anak.
Anak dan Dunia Maya
Perkembangan internet membuka akses seluas-luasnya bagi semua pihak untuk dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi tersebut dengan mudah, murah dan cepat, tak terkecuali anak-anak dan remaja. Canggihnya dunia digital sekarang, setiap alat teknologi yang dibuat akan memiliki dua akibat yaitu buruk dan baik.
Di sisi lain, tidak semua pengguna internet mempunyai niat yang baik dan ini sudah terbukti dari data yang ada yang menggambarkan internet dipakai untuk menipu, mengiming-imingi dan akhirnya digunakan untuk  me-trafik anak maupun remaja putri untuk tujuan eksploitasi seksual dan prostitusi.
Ironinya, banyak orangtua yang tidak melek internet. Kurangnya pengawasan dan kepekaaan dari orangtua menjadi salah satu faktor penyebab perilaku anak di dunia maya tidak terbendung. Biasanya anak-anak yang lebih banyak terjerumus itu justru yang kesepian. Mereka juga tidak terlalu banyak punya teman, karena biasanya punya kesulitan dalam berhubungan sosial. Kesalahan yang sering dilakukan orangtua, yaitu memberi kebebasan dalam mengakses jejaring sosial tapi tidak dibekali arahan dan pemahaman manfaat dan madharat-nya. Seharusnya orangtua harus cerdas menuntun dan masuk dalam dunia mereka.
Data Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) “Gerakan Jangan Bugil Depan Kamera” (GJBDK) yang melakukan wawancara pada ribuan orangtua di 28 provinsi menunjukkan, hanya 10% orangtua yang paham pemakaian internet.
Survey yang dilakukan pada 2007 ini menunjukkan juga bahwa rata-rata pengakses materi pornografi di internet berusia 11 tahun. Sedangkan menurut Survei Indonesia pada tahun 2008, tercatat 66% dari 1.625 siswa SD kelas 4-6 di wilayah Jabodetabek telah menyaksikan konten pornografi melalui jaringan online, dengan rincian 24% melalui komik, 18% melalui games online, 16% melalui situs porno, dan 14% melalui film serta telepon selular.
Survei ini menunjukkan adanya peningkatan bentuk baru dari kejahatan dunia maya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, seperti penemuan pada jejaring sosial atau perangkat mobile (handphone).
Peran Orangtua Memerangi Kejahatan Online
Dari data tersebut di atas, anak-anak adalah sasaran utama dari bentuk-bentuk kejahatan online tanpa pengawasan dari orangtua yang cenderung “gaptek”. Di sinilah peran orangtua yang ikut mengawasi dan memberikan batasan-batasan penggunaan media online, seperti handphone, tablet, komputer, dan sebagainya.
Untuk mengurasi risiko anak menjadi korban suatu kejahatan akibat aktifitasnya di internet, maka peran orangtua dapat menerapkan beberapa hal berikut :
Pertama, setiap orangtua harus memberikan pemahaman kepada anak-anaknya tentang hal-hal yang  dihalalkan dan yang diharamkan Syara’.
Kedua, gunakan sarana internet secara bersama-sama dengan anggota keluarga lain yang lebih dewasa. Tempatkan komputer di ruang keluarga atau di tempat yang mudah diawasi. Jika diperlukan, berilah penjadwalan/pembatasan waktu untuk anak dalam menggunakan internet.
Ketiga, pelajari sarana komunikasi dan kandungan informasi yang ditawarkan oleh internet (yang diakses oleh anak). Ajukanlah pertanyaan kepada anak mengenai hal tersebut. Dengan banyak bertanya kepada anak, kita dapat menggali sejauh mana mereka memahami internet, sekaligus dapat mengetahui apabila anak-anak mendapatkan suatu informasi yang bersifat negatif.
Keempat, berikan pengertian kepada anak untuk tidak menanggapi e-mail ataupun private chat dari orang yang tidak dikenal, termasuk membuka file kiriman  dari orang yang tidak dikenal, dalam bentuk apapun. Tegaskan kepada anak untuk tidak gegabah merencanakan pertemuan langsung dengan seseorang yang baru mereka kenal di internet.
Kelima, beritahu anak untuk tidak membuka situs yang tidak pantas (situs porno dan sejenisnya) atau yang membuat mereka tidak nyaman. Tanamkan sikap pada anak agar terbiasa bercerita kepada orangtua tentang segala sesuatu yang mereka temui di internet
Saatnya Perangi Kejahatan Online
Untuk memerangi seluruh kejahatan seksual online yang mampu membahayakan tumbuh kembang anak, pemerintah memang tidak tinggal diam dan berupaya menyelesaikannya dari beragam aspek diantaranya aspek legislasi.
Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang cukup lengkap dan komprehensif, termasuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang Terutama Perempuan dan Anak-Anak, dan terakhir adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak. Namun tampaknya semua regulasi itu belum efektif mencegah kejahatan online.
Sebagai salah satu negara pengguna jejaring sosial terbesar di Asia Tenggara, Indonesia semakin sukar untuk lepas dari ketergantungan berkehidupan sosial melalui dunia maya. Fenomena internet ini pun mengancam keselamatan masyarakat, siapa pun mereka, apakah anak-anak di bawah umur maupun orang dewasa.
Untuk itu diperlukan solusinya yang komprehensif dan membutuhkan mekanisme sistem yang integral. Dalam hal ini tidak bisa hanya diserahkan pada peran orangtua, sekolah/guru dan lingkungan. Semua pangkalnya adalah sistem kebijakan negara. Selama ini Kementrian Pemberdayaan Perempuan berusaha memerangi kejahatan anak melalui aturan pesanan asing.
Unsur negara harus menjadi garda terdepan dalam memerangi kejahatan online seperti pariwisata, kebudayaan, media massa, dan lain-lain, jangan malah justru mensponsori terjadinya kejahatan tersebut. Ini yang seharusnya dibentengi.
Hanya dengan kebijakan Negara-lah akses internet yang berbau pornografi bisa dihapuskan. Selanjutnya, sudah adakah kemauan dari Penguasa negeri ini untuk itu? Wallahul Musta’aan ilaa Aqwaam at-Thariiq.*










MENDURHAKAI ANAK


 SEORANG laki-laki datang menghadap Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu. Ia bermaksud mengadukan anaknya yang telah berbuat durhaka kepadanya dan melupakan hak-hak orangtua. Kemudian Umar mendatangkan anak tersebut dan memberitahukan pengaduan bapaknya. Anak itu bertanya kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak pun mempunyai hak-hak dari bapaknya?” . “Ya, tentu,” jawab Umar tegas. Anak itu bertanya lagi, “Apakah hak-hak anak itu, wahai Amirul Mukminin?”. “Memilihkan ibunya, memberikan nama yang baik, dan mengajarkan al-Qur’an kepadanya,” jawab Umar menunjukkan. Anak itu berkata mantap, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku belum pernah melakukan satu pun di antara semua hak itu. Ibuku adalah seorang bangsa Ethiopia dari keturunan yang beragama Majusi. Mereka menamakan aku Ju’al (kumbang kelapa), dan ayahku belum pernah mengajarkan satu huruf pun dari al-Kitab (al-Qur’an). “Umar menoleh kepada laki-laki itu, dan berkata tegas, “Engkau telah datang kepadaku mengadukan kedurhakaan anakmu. Padahal, engkau telah mendurhakainya sebelum dia mendurhakaimu. Engkau pun tidak berbuat baik kepadanya sebelum dia berbuat buruk kepadamu.”

Kata-kata Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu ini mengingatkan kepada kita -para bapak- untuk banyak bercermin. Sebelum kita mengeluhkan anak-anak kita, selayaknya kita bertanya apakah telah memenuhi hak-hak mereka. Jangan-jangan kita marah kepada mereka, padahal kitalah yang sesungguhnya berbuat durhaka kepada anak kita. Jangan-jangan kita mengeluhkan kenakalan mereka, padahal kitalah yang kurang memiliki kelapangan jiwa dalam mendidik dan membesarkan mereka.

Kita sering berbicara kenakalan anak, tapi lupa memeriksa apakah sebagai orangtua kita tidak melakukan kenakalan yang lebih besar. Kita sering bertanya bagaimana menghadapi anak, mendiamkan mereka saat berisik dan membuat mereka menuruti apa pun yang kita inginkan, meskipun kita menyebutnya dengan kata taat. Tetapi sebagai orangtua, kita sering lupa bertanya apakah kita telah memiliki cukup kelayakan untuk ditaati. Kita ingin mereka mengerti keinginan orangtua, tapi tanpa mau berusaha memahami pikiran anak, kehendak anak dan jiwa anak.

Pendidikan yang kita jalankan pada mereka hanyalah untuk memuaskan diri kita, atau sekedar membebaskan kita dari kesumpekan lantaran dari awal sudah merasa repot dengan kehadiran mereka. Bahkan, ada orangtua yang telah merasa demikian repotnya menghadapi anak, ketika anak itu sendiri belum lahir.

Teringatlah saya ketika suatu hari pergi bersama istri dan anak saya. Muhammad Nashiruddin An-Nadwi, anak saya yang keempat, masih bayi waktu itu dan sedang lucu-lucunya (sekarang pun dia masih sangat lucu dan menggemaskan) . Sembari menunggu bagasi, seorang ibu yang modis bertanya kepada istri saya, “Anak pertama, Bu?”. “Bukan,” jawab istri saya, “Ada kakaknya, cuma nggak ikut.” “Ou. Memangnya, berapa anaknya, Bu?” tanya ibu itu segera. “Baru empat. Ini anak yang keempat,” jawab saya ikut menimpali. “Empat???” tanya ibu itu dengan mata terbelalak. Tampaknya ia kaget sekaligus heran. Kemudian dia segera mengajukan pertanyaan berikutnya, “Yang paling besar sudah kelas berapa?”. “TK A. Nol kecil,” jawab istri saya.

Ibu itu tampak sangat kaget. Begitu kagetnya, sehingga nyaris berteriak, “Ya, ampun.. Empat! Apa nggak repot itu? Saya punya anak satu saja rasanya sudah repot sekali. Ribut. Nggak mau diatur. Apalagi kalau empat. Nggak terbayang, deh. Bisa-bisa mati berdiri saya.”.

Ungkapan spontan ibu ini adalah cermin kita, cermin yang menggambarkan betapa banyak orang yang menjadi orangtua semata-mata karena dia punya anak.Bukan gambaran tentang kematangan jiwa atau kualitas kasih sayang. Anak hadir dalam kehidupan mereka semata-mata sebagai resiko menikah, sehingga sinar mata anak-anak yang masih jernih tanpa dosa tak mampu membuat orangtuanya terhibur.

Terkadang orangtua sudah lama merindukan anak. Tetapi ia memiliki gambaran sendiri tentang anak seperti apa yang harus lahir melalui rahimnya, sehingga ia kehilangan perasaan yang tulus saat Allah benar-benar mengaruniakan anak.Terlebih ketika yang lahir, tidak sesuai harapan. Orangtua yang sudah terlalu panjang angan-angannya, bisa melakukan penolakan psikis terhadap anak kandungnya sendiri. Atau memperlakukan anak itu agar sesuai dengan harapannya. Inginnya anak perempuan, yang lahir laki-laki. Maka anak itupun diperlakukan seperti perempuan, sehingga ia berkembang sebagai bencong. Atau sebaliknya, anak itu menjadi bulan-bulanan kekesalan orangtua, bahkan ketika anaknya sudah memiliki anak. Ketika anaknya sudah menjadi orangtua.

Kejadian semacam ini tidak hanya sekali terjadi di dunia. Karena yang lahir tidak sesuai harapan, kadang anak akhirnya menjadi tempat menimpakan kesalahan. Apapun yang terjadi, anak inilah yang menjadi kambing hitam. Setiap ada yang salah, anak inilah yang harus ikut menanggung kesalahan. Atau bahkan dia yang harus memikul seluruh kesalahan, meskipun bukan dia penyebabnya. Terkadang bentuknya tidak sampai seburuk itu, tetapi akibatnya tetap saja buruk. Anak merasa tertolak. Ia tidak kerasan di rumah, meskipun rumahnya menawarkan kemegahan dan kesempurnaan fasilitas. Ia merasa seperti tamu asing di rumahnya sendiri.

Saya teringat dengan cerita seorang kawan yang mengurusi anak-anak jalanan. Suatu ketika ia menemukan seorang anak yang babak belur mukanya dihajar sesama anak jalanan karena berebut lahan di sebuah stasiun. Wajahnya sudah nyaris tak berbentuk. Anak ini kemudian ia selamatkan. Ia rawat dengan baik dan penuh kasih-sayang. Setelah kondisi fisiknya pulih dan emosinya pun sudah cukup baik, ia tawarkan kepada anak itu dua pilihan; dipulangkan ke rumah orangtua atau dikirim ke sebuah lembaga pendidikan. Seperti anak-anak lain di muka bumi, selalu ada perasaan rindu pada orangtua. Maka ia mengajukan pilihan dipulangkan ke rumah orangtua.

Staf dari kawan saya ini kemudian berangkat mengantarkan pulang ke sebuah kota di Jawa Tengah. Nyaris tak percaya, orangtua anak itu ternyata memiliki kedudukan yang cukup terhormat. Bapaknya seorang jaksa dan ibunya seorang kepala sekolah sebuah SMP. Rumahnya? Jangan tanya. Mereka sangat kaya. Cuma satu yang mereka tidak punya: perasaan. Melihat anaknya yang sudah dua tahun meninggalkan rumah, tak ada airmata haru yang menyambutnya. Justru perkataan yang sangat tidak bersahabat, “Ngapain kamu pulang?”. Melihat sambutan yang sangat tidak bersahabat ini, staf teman saya segera mengajak anak itu kembali ke Jogja.

Tak ada airmata yang melepas. Tak ada rasa kehilangan dari orangtua saat anak itu kembali meninggalkan rumah.Yang ada hanyalah perasaan yang remuk pada diri anak. Di saat ia ingin dididik oleh orangtua yang menjadi pendidik di SMP, yang ia dapatkan justru sikap sangat kasar. Benar-benar perlakuan yang sangat kasar, menyakitkan dan menghancurkan perasaan. Jangankan anak yang masih usia SD itu, pengantarnya yang sudah dewasa pun merasakannya sebagai penghinaan luar biasa. Penghinaan tanpa perasaan, tanpa nurani dan tanpa kekhawatiran akan beratnya tanggung-jawab di yaumil-akhir. Karena itu, tak ada pilihan yang lebih baik kecuali menyingkirkan si anak dari orangtuanya yang durhaka.

Kisah anak jalanan ini hanyalah satu di antara sekian banyak kedurhakaan orangtua pada anak. Tak sedikit anak jalanan yang lari dari rumah dan lebih memilih kolong jembatan sebagai tempat tinggal, padahal orangtuanya memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan kekayaan yang besar. Seorang anak jalanan yang sudah direhabilitasi, orangtuanya ternyata anggota dewan sebuah daerah.

Apa yang terjadi sesungguhnya? Banyak hal, tetapi semuanya bermuara pada hilangnya kesadaran bahwa anak-anak itu tidak hanya perlu dibesarkan, tetapi harus kita pertanggungjawabkan ke hadapan Allah Ta’ala. Hilangnya kesabaran menghadapi anak, kadang karena kita lupa bahwa di antara keutamaan menikah adalah menjadikannya sebagai sebab untuk memperoleh keturunan (tasabbub). Kita membatasi berapa anak yang harus kita lahirkan demi alasan kesejahteraan dan kemakmuran, sembari tanpa sadar kita melemahkan kesabaran dan kegembiraan kita menghadapi anak-anak.

Dulu, sebagian orangtua kita bekerja sambil memikirkan nasib anak-anak kelak setelah ia mati: masih samakah imannya? Sekarang banyak orangtua mendekap anaknya, tetapi pikirannya diliputi kecemasan jangan-jangan satu peluang karier terlepas akibat kesibukan mengurusi anak.

Dulu orangtua meratakan keningnya untuk mendo’akan anak. Sekarang banyak orangtua meminta anak berdo’a untuk kesuksesan karier orangtuanya.*







BERJAYA KARENA TAK BERDAYA



DUA puluh kali! Jika setiap hari kita mendengarkan azan dengan sempurna, setidaknya 20 kali kita dituntunkan menjawab seruan dengan mengucapkan hauqalah (laa haula wa laa quwwata illa biLlah). Setiap kali muazin berseru “hayya ‘alash shalaah” (mari kita shalat), kita menjawabnya dengan pernyataan betapa tak berdayanya kita. Kita berkata, “Laa haula wa laa quwwata illa biLlah. Tiada daya dan upaya selain semata karena Allah.” Dan bukannya berkata, “InsyaAllah.” Atau “Bismillah, pasti bisa.”
Begitu pula tatkala muazin berseru, “Hayya ‘alal falaah. Mari meraih kemenangan.” Kita menjawab seruan tersebut dengan hauqalah pula, “Laa haula wa laa quwwata illa biLlah.” Kita menyatakan diri di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla seraya mengakui sepenuhnya betapa tak berdaya diri kita. Tak ada yang dapat kita lakukan, meski untuk perkara yang sangat kecil, kecuali semata atas perkenan dan daya yang Allah Ta’ala limpahkan kepada kita.
MasyaAllah.... Betapa berbeda. Dulu para salafush-shalih menggemarkan diri mengucapkan hauqalah seraya menghayati betul tak berdayanya diri. Mereka senantiasa mengharap pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla seraya bersungguh-sungguh menetapi apa-apa yang dapat menjadi asbab kebaikan. Mereka merasa lemah di hadapan Allah Ta’ala, senantiasa menghimpun rasa takut dan sekaligus harap yang amat kuat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka menajamkan tawakkalnya kepada Allah Ta’ala. Betul-betul bersandar kepada Allah Ta’ala dalam segala urusan. Bukan bersandar pada cara-cara berdo’a sehingga terjatuh pada zhan (persangkaan, keyakinan) yang buruk bahwa terkabulnya do’a dan terwujudnya keinginan bergantung pada cara. Sepintas mungkin tampak sama, tapi amat jauh bedanya. Yang pertama menjadikan kita semakin berharap hanya kepada Allah Ta’ala dan menambah rasa takut kita kepada-Nya, mengkhawatiri banyaknya salah kepada-Nya. Sedangkan yang kedua, kerapkali justru menjatuhkan kita pada ghurur (terkelabuhi). Salah satunya merasa amal sangat baik sehingga layak bagi Allah Ta’ala untuk mengabulkan do’a kita. Kita terjatuh pada persangkaan bahwa baiknya amal kita itulah penyebab Allah Ta’ala perkenan do’a kita. Sementara generasi salafush-shalih justru sering dihimpit rasa khawatir kalau-kalau do’a mereka tertolak oleh rusaknya niat, kurangnya kesungguhan dan berbagai kekhawatiran lain; kekhawatiran yang menjadikan mereka lebih bersungguh-sungguh berbenah dan menyandarkan diri hanya kepada Allah Ta’ala semata.
Berkenaan dengan keutamaan hauqalah, mari kita renungi sejenak hadis riwayat Al-Bukhari. Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada ‘Abdullah bin Qais radhiyallahu ‘anhu:
   يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ . فَإِنَّهَا كَنْزٌ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ
“Wahai ‘Abdullah bin Qais, katakanlah ‘laa haula wa laa quwwata illa biLlah’, karena ia merupakan simpanan pahala berharga di surga.” (HR. Bukhari).
Inilah ucapan yang amat tinggi nilainya. Ia menjadi simpanan pahala berharga di surga. Inilah ucapan yang menjadikan generasi salafush-shalih senantiasa bersungguh-sungguh menguatkan keyakinan kepada Allah Ta’ala, pengharapan hanya kepada-Nya serta percaya bahwa tak ada madharat sekecil apa pun yang akan menimpa mereka jika Allah ‘Azza wa Jalla tak mengizinkan. Pun, tak ada kebaikan sekecil apa pun yang sanggup mereka raih, tidak pula amal shalih dapat dikerjakan secara ikhlas, kecuali semata karena perkenan Allah subhanahu wa ta’ala.
Mereka bersibuk membangun percaya Allah Ta’ala dan mengikis percaya diri. Mereka menjauhkan diri dari memastikan suatu perkara akan terjadi, kecuali apa yang Allah Ta’ala telah pastikan dalam nash yang shahih bahwa itu pasti akan terjadi. Mereka inilah yang melazimkan diri mengucapkan “insyaAllah” ketika mereka sangat bersungguh-sungguh untuk memenuhi janji. Ucapan “insyaAllah” menjadi janji yang mereka justru amat besar rasa takutnya untuk meremehkan, sebab pada kata “insyaAllah” ada janji kepada manusia sekaligus janji kepada Allah Ta’ala. Sungguh, amat berbeda dengan yang kita dengar pada banyak manusia di sekeliling kita belakangan ini yang menjadikan kata “insyaAllah” sebagai pengganti kata mungkin, bahkan untuk menunjukkan kemungkinan besar kita tak penuhi janji.
Astaghfirullahal ‘adzim.
Bersebab menyadari betapa tak berdayanya diri di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, maka mereka senantiasa berdo’a memohon petunjuk dan kekuatan. Tidaklah kita mampu bertauhid dengan benar, kecuali semata karena pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak pula kita dapat menjauhkan dari keburukan, kecuali karena pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada daya untuk menghindarkan diri dari maksiat selain dengan perlindungan dari Allah. Tidak ada kekuatan untuk melaksanakan ketaatan selain dengan pertolongan Allah.”
Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita sedang menuju kemuliaan yang sama? Ataukah kita sedang belajar menepuk dada dan mengajarkan hal yang sama kepada anak-anak kita? Jika Imam Nawawi rahimahullah menolak digelari “muhyiddin (penghidup agama)”, maka hari ini kita saksikan betapa banyak manusia yang memberi gelar luar biasa untuk diri sendiri. Di antara mereka, sebagiannya bahkan mengaku ustadz.
Pelajaran apakah yang kita ambil? Hari ini, di negeri ini, kita menjadi mayoritas tak berdaya.
Berjaya karena Tak Berdaya
Jika kita merenungi kalimat hauqalah (laa haula wa laa quwwata illa biLlah), maka sepatutnya kita menyadari betapa lemah diri ini. Kita tak punya kuasa, bahkan untuk melaksanakan kebaikan yang paling sederhana. Tetapi kita tidak merasa lemah, sebab kita yakin Allah Ta’ala Yang Maha Perkasa amat dekat pertolongan-Nya.
Sepintas sama, tapi sangat berbeda kedua. Menyadari lemahnya diri menjadikan kita tak jumawah; tidak pongah karena merasa lebih hebat dibanding sesama. Tetapi kita pun tak gemetar melihat orang yang menampakkan kebesarannya karena sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Lebih Besar. Kita tidak takut bukan karena yakin diri kita kuat, tapi justru karena yakin sebesar apa pun kekuatan yang menghadang kita, Allah Ta’ala Maha Lebih Kuat. Adapun merasa diri lemah menjadi kita minder, tak punya keberanian mengatasi masalah hanya karena menghadapi kesulitan yang tak seberapa. Lidah kita keluh, kepala tak bisa tegak hanya karena berhadapan dengan orang yang berpenampilan sedikit wah.
Sungguh, tak akan pernah lagi kita jumpai generasi yang berani menghadap para kaisar yang namanya menggetarkan tanpa tunduk wajahnya, meski kusut rambutnya. Tak akan pernah lagi kita jumpai generasi yang berdebu pakaiannya, tetapi tegap langkahnya menghadapi para penguasa. Tak gemetar kakinya, tak tumpul pikirannya, tak keluh lidahnya. Tak akan pernah lagi kita jumpai generasi seperti itu kecuali jika kita tumbuhkan dalam diri mereka pengakuan dan kesadaran betapa tak berdayanya diri di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Laa haula wal laa quwwata illa biLlah. Tak akan pernah lahir generasi yang mantap langkahnya meski tak mengenakan jas beserta dasi yang melilit leher, kecuali jika anak-anak itu kuat imannya dan lurus aqidahnya.
Semoga Allah Ta’ala perkenankan anak-anak kita sebagai generasi yang meninggikan kalimat Allah Ta’ala di muka bumi. Mereka mengagungkan apa pun yang Allah Ta’ala titahkan, sehingga senantiasa bersungguh-sungguh melakukan apa pun yang dapat mengantarkan mereka pada kebaikan. Semoga Allah Ta’ala menjadikan mereka sebagai generasi yang senantiasa menetapi perintah Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
    احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلا تَعْجِزَنَّ , وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلا تَقُلْ : لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا لَكَانَ كَذَا وَ كَذَا , وَلَكِنْ قُلْ : قَدَرُ اللهِ وَ مَا شَاءَ فَعَلَ , فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan”. (HR. Muslim).
Telah berlalu berbagai generasi sebelum kita. Ada pelajaran besar yang harus kita renungkan. Telah berlalu masa-masa kejayaan Islam. Telah berlalu pula zaman yang disebut keemasan, tetapi sesungguhnya ini merupakan titik balik yang mengantarkan kita pada keruntuhan demi keruntuhan. Generasi terbaik itu adalah para salafush-shalih yang lebih ringan berkata “saya tidak tahu” daripada bersibuk mengesankan diri tahu. Generasi terbaik itu adalah mereka yang bersibuk membangun kepercayaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla seraya berserah diri kepada-Nya. Bukan generasi yang bersibuk menepuk dada dan membangun percaya diri karena merasa hebat luar biasa. Generasi terbaik itu berjaya karena merasa tak berdaya.
Bagaimana dengan kita? Bagaimana pula kita menyiapkan anak-anak kita?
Astaghfirullah.... Semoga Allah Ta’ala mengampuni kita dan membaguskan kita beserta anak-anak kita.

 
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar