Powered By Blogger

Jumat, 22 Maret 2013

GAYA HIDUP

YUK KITA BELAJAR JADI PRIBADI YANG PEMAAF

Gambar Gambar Islami


ABU Bakar as-Shiddiq Radhiallahu ‘anhu dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sering memberikan sedekah kepada fakir miskin, terutama yang masih ada hubungan kekerabatan dengannya. Satu di antara orang yang biasa dia santuni adalah Misthah bin Utsatsah, anak bibinya yang tergolong miskin.
Sayangnya Misthah kurang berhati-hati menjaga lidahnya. Pada saat beredar fitnah bahwa ‘Aisyah binti Abu Bakr Radhiallahu ‘anhuma  telah berselingkuh, Misthah ikut serta menyebarkan fitnah tersebut. Sehingga ketika turun ayat yang menjelaskan bahwa tuduhan itu merupakan berita bohong, Abu Bakar marah kepada Misthah serta bersumpah tidak akan berbuat baik dan memberi bantuan nafkah lagi kepadanya.
Namun rupanya Allah tidak menyukai sikap Abu Bakr tersebut. Dia kemudian memberikan teguran kepada Abu Bakr dan siapa saja yang bersumpah bahwa dia tidak akan berbuat baik kepada orang lain. Teguran itu disampaikan melalui firman-Nya yang disampaikan kepada Rasulullah:
وَلَا يَأْتَلِ أُوْلُوا الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُوْلِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: an-Nuur [24]:  22).
Melalui ayat tersebut di atas Allah juga memerintahkan kepada hamba-Nya  agar memberikan maaf dan kelonggaran serta tetap memberikan nafkah kepada orang yang biasa dia bantu untuk melanggengkan kebaikan dan silaturahim.
Setelah Abu Bakr mendengar ayat tersebut beliau berkata, “Benar, demi Allah aku senang bila Allah mengampuni dosa-dosaku dan aku akan memberi nafkah kepada Misthah lagi.” Beliau melanjutkan, “Demi Allah, aku tidak akan membiarkannya terlantar sama sekali.” (lihat Al-Qurthubi, Al-Jami’ Al-Ahkam, XII,207 dan Mukhtashar Ibnu Katsir, II, 593).
Tanda Kemuliaan Diri
Apa yang terbersit di hati kita ketika ada orang yang menzalimi diri kita? Secara naluri kita akan marah dan akan berusaha untuk membalas kezaliman itu. Bahkan ada yang suka membalas kezaliman itu dengan berlebihan.
Tentu sikap ini apabila tidak segera dipangkas akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia itu sendiri, baik bagi kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat. Bagi kehidupan pribadi, seseorang yang memiliki sikap ini akan gelisah hatinya dan terkuras energinya karena memikirkan bagaimana ambisi untuk balas dendam itu terpuaskan. Adapun bagi kehidupan bermasyarakat, sikap ini akan menyebabkan terjadinya konflik yang berkepanjangan hingga memakan korban baik harta maupun jiwa.
Agar kehidupan ini tenang dan tentram, maka sikap yang hanya ingin memperturutkan nafsu dendam harus diganti dengan sikap mulia yang diajarkan Islam yaitu sikap memaafkan. Jika masing-masing pihak atau salah satunya memiliki sikap ini, maka konflik yang terjadi akan reda hingga berakhir tanpa ada benih-benih dendam lagi.
Untuk menjadi pribadi yang pemaaf memang tidak mudah. Apalagi jika luka di hati telah terlanjur menganga. Dalam kondisi seperti ini kadang yang muncul justru perasaan dendam dan berharap kejelekan terhadap orang yang telah melukai fisik dan hati. Sehingga jangankan mendoakan kebaikan, memaafkan kesalahannya saja masih sangat berat.
Keengganan untuk memberi maaf akan menguat manakala kesempatan untuk menuntut balas terhampar luas di hadapan. Ditambah lagi jika status sosial orang yang berbuat salah itu berada jauh di bawah kita. Jika hati tidak ada benteng iman, bisa-bisa ambisi nafsu untuk balas dendam akan menjelma menjadi tindakan nyata.
Untuk bisa memaafkan orang yang telah berbuat zalim kepada kita butuh kebesaran jiwa dan kelapangan hati. Jika seseorang mampu memberi maaf meski dia berada pada pihak yang benar dan memiliki status sosial yang lebih tinggi dari pada orang yang telah berbuat jahat kepadanya, maka itulah tanda kemuliaan dan ketakwaan dirinya. Satu di antara tanda orang bertakwa adalah tidak berat untuk memaafkan kesalahan orang lain.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“…dan memaafkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS: Ali-Imran [3]: 134).
Memang dalam syariat Islam diperbolehkan untuk menuntut balas terhadap kejahatan yang ditimpakan kepada kita dengan balasan yang serupa. Namun memaafkan merupakan sikap yang jauh lebih baik dan lebih mulia daripada membalas kejahatannya meski dengan balasan yang serupa.
وَجَزَاء سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka Barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.  Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang lalim.” (QS: asy-Syura [42]:40)

وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
"Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia." (QS: asy-Syura [42]: 43).
Sikap mulia inilah yang dicontohkan oleh Abu Bakar As-Shiddiq. Atas petunjuk dari Allah, dia lebih memilih memaafkan anak bibinya dengan tulus daripada membalas kejahatannya meski dia berada pada pihak yang benar dan juga  mampu untuk melakukan pembalasan karena status sosial jauh lebih tinggi daripada anak bibinya itu. Akhlaq mulia yang dimiliki Abu Bakr ini patut kita teladani dan kita tumbuhsuburkan dalam pribadi kita.
Memaafkan Manusia, Dimaafkan Allah
Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala Sang Pencipta alam semesta ini memiliki sifat-sifat mulia yang patut kita teladani. Dan pemaaf merupakan salah satu sifat mulia yang dimiliki Allah Subhanahu Wata’ala.
Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa. (an-Nisa [4]:149).
Allah Subhanahu Wata’ala yang memiliki segala kesempurnaan saja bersifat pemaaf. Sehingga tak pantaslah jika manusia yang banyak khilaf dan lupa tak mau menjadi orang pemaaf.
Rasulullah bersabda; “Sedekah tidak mengurangi harta (orang yang bersedekah). Allah tidak menambah kepada seorang hamba karena maaf melainkan kemuliaan dan seorang tidak bertawadhu kepada Allah, melainkan Allah meninggikannya.
Pada hadits yang lain Nabi menjelaskan bahwa mereka yang suka menyambung persaudaraan yang sebelumnya terputus, memberi kepada orang yang tak suka memberi, serta berjiwa pemaaf merupakan akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama.
Dari Uqbah bin Amir, dia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Wahai Uqbah, bagaimana jika aku beritahuhkan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah engkau menyambung persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi kepada orang yang tidak memberimu, dan maafkanlah orang yang telah menzalimimu.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baghawi).
Semoga Allah mengaruniai kita sifat pemaaf, suka memberi dan suka menyambung persaudaraan. Wallahu a’lamu bish-shawab.






TULUS BERSAHABAT DENGAN SESAMA MUSLIM


SAAT ini banyak dipertontonkan kepada kita bersahabat dengan tidak tulus. Lisan mengaku bersahabat bahkan tak sedikit sering diucapkan kata 'ukhuwah islamiah' meski sesungguhnya hatinya tidak.
Mari kita cermati bersama. Demi jabatan, kemenangan atau tarjet--tarjet kekuasaan, sekelompok orang rela meninggalkan sahabat-sahabat sejatinya sesama Muslim. Sebagian bahkan rela menyerang, memusuhi agar ada kesan dia orang moderat dan pembela kaum minoritas.
Tapi apa yang terjadi? Ibarat kata, niat hati ingin mendapat simpati dan meraih banyak, yang terjadi justru sebaliknya, mereka justru ditinggalkan perlahan-lahan dari saudara-saudara nya sendiri, sesama Muslim.
Dalam kitab Ihya' Ulumuddin Imam Ghazali mengatakan bahwa saling mencintai karena Allah Ta’ala dan persaudaraan dalam agama-Nya termasuk ibadah yang paling utama. Karena persahabatan sesama Muslim yang tulus karena Allah merupakan buah dari akhlak yang mulia dan kedua-duanya terpuji.
Kemudian Al-Ghazali mengutip hadits Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam, “Orang mukmin itu mencintai sesamanya dan dicintai, tiada kebaikan pada siapa yang tidak mencintai dan tidak dicintai”.
Pantas jika kemudian Allah Ta’ala dalam firman-Nya menegaskan bahwa Dia sangat mencintai orang-orang Mukmin yang berjuang di jalan-Nya laksana sebuah bangunan yang kokoh.

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفّاً كَأَنَّهُم بُنيَانٌ مَّرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS: As Shaaf [61]: 4).

Sebagaimana termaktub di dalam tafsir Ibn Katsir, Ibn Abbas berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh “yakni teguh, tidak akan tumbang, masing-masing bagian merekat erat dengan yang lain”.

Artinya, setiap Muslim harus benar-benar tulus ikhlas dalam persahabatannya semata-mata karena Allah, sehingga syi’ar Islam ini dapat kokoh tegak menyinari bumi. Tanpa persahabatan yang tulus karena Allah demi umat, niscaya umat Islam akan tercerai berai dalam berbagai bentuk kepentingan yang justru akan mengundang kerugian, kekalahan, bahkan kesengsaraan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya, setiap jiwa benar-benar ikhlas karena Allah Ta’ala dalam persahabatannya, terutama jika benar-benar ingin mendapat kemenangan dan kebahagiaan di akhirat.
Hadits Nabi yang dikutip Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin-nya mengatakan,
“Barangsiapa bersaudara dengan seseorang karena Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala mengangkatnya satu derajat di surga yang tidak didapatnya dengan sesuatu amalnya”.

Maka sangat beruntung kata Al-Ghazali orang yang Allah anugerahi seorang teman yang sholeh, yakni teman yang jika ia lupa diingatkannya, dan jika ia ingat dibantunya.

Dan, tentu sebaliknya, betapa sangat meruginya bila seorang Muslim memiliki teman yang dholim, yang apabila ia lupa dijerumuskannya, dan jika ia ingat dibohonginya. Teman seperti itu tidak ada gunanya, dan setia dengannya adalah sumber malapetaka.

Dalam mahfuzhat atau bunga rampai pribahasa Arab disebutkan, “Di antara pilihan yang baik adalah bersahabat dengan orang-orang baik. dan di antara pilihan yang buruk adalah mencintai orang-orang jahat”
Memilih Sahabat
Tidak setiap orang patut dijadikan teman. Demikianlah ungkap Al-Ghazali dengan mengambil pesan Nabi dalam haditsnya yang berbunyi, “Manusia itu mengikuti kebiasaan temannya, maka hendaklah seseorang dari kamu melihat siapa yang akan dijadikan temannya”.

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan bersahabat dengan orang lain, yakni berakal, berakhlak baik, tidak fasik, tidak melakukan bid’ah dan tidak berambisi atas keduniaan. Dengan kriteria tersebut maka seorang Muslim akan selamat agama, dunia dan kehidupannya. Itulah orang-orang yang rugi.

Di dalam Al-Qur’an secara eksplisit Allah menegaskan,

إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS: Al 'Ashr [103]: 1-3).

Oleh karena itu, kata Imam Ghazali, memutus hubungan dengan orang dungu adalah pendekatan kepada Allah Ta’ala. Begitu pula orang fasik, tidak ada manfaatnya bila berteman dengannya, karena siapa yang takut kepada Allah, ia tidak akan terus menerus mealkukan dosa besar, dan siapa yang tidak takut kepada Allah, maka ia tidak aman dari gangguannya.

Terhadap orang yang telah lalai hatinya dari mengingat Allah, sangat wajib bagi kita menjauhi dan meninggalkannya.

وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS: Al Kahfi [18]: 28).

Teman Sejati

Berdasarkan uraian di atas, maka kriteria teman yang baik yang harus kita jadikan sebagai teman sejati itu sebenarnya sudah jelas, yakni yang beriman, beramal sholeh dan saling menguatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Bukan teman yang membuat akal kita semakin jauh dari Allah hingga lalai hati kita dari mengingat Allah Subhanahu Wata’ala.
Sahabat Ali radhiallahu anhu, berkata, “Sesungguhnya saudaramu yang sebenarnya ialah yang senantiasa bersamamu dan merugikan dirinya untuk memberimu manfaat. Dan, apabila terjadi musibah ia mendatangimu dan ia korbankan dirinya untuk lebih memilih bersamamu.”
Jadi, teman sejati itu bukanlah teman yang datang di saat kita senang dan bahagia saja kemudian mencampakkan diri kita kala membutuhkan bantuan atau pertolongan, utamanya dalam urusan-urusan dakwah dan keumatan. Apalagi, teman yang ternyata justru merusak citra dakwah dan umat Islam hanya karena kepentingan pribadi. Jelas, itu bukan teman sejati.
Memahami hal tersebut merupakan satu keniscayaan. Jika tidak, bukan tidak mungkin, kita sendiri yang malah meninggalkan teman-teman sejati yang telah banyak membantu syi’ar Islam, menyokong dakwah dan bahu-membahu menegakkan syari’at-Nya. Sementara, di sisi lain, kita malah terjerembab dalam persahabatan semu yang hanya berpikir tentang harta, tahta dan wanita, na’udzubillahi min dzalik.
Patut bagi kita semua mencermati apa yang disampaikan sahabat Alqamah ketika menasehati putranya, menjelang wafatnya.
“Hai anakku, jika engkau perlu berteman dengan seseorang, maka bertemanlah dengan orang yang apabila engkau melayaninya, ia pun melindungimu, dan jika berteman dengannya ia menghiasimu.
Jika engkau tidak mampu menggunakan hartamu, bertemanlah dengan orang yang apabila engkau berbuat baik kepadanya, ia pun membalasmu, jika melihat kebaikan, ia menyebutnya dan jika engkau berbuat dosa, ia pun mencegahnya.

Bertemanlah dengan seseorang yang apabila engkau meminta sesuatu darinya, ia pun memberimu, dan jika engkau diam, ia pun menyapamu. Dan jika engkau megnalami musibah, ia menolongmu.


Bertemanlah dengan orang yang apabila engkau berkata, ia benarkan perkataanmu, dan apabila engkau hendak melakukan sesuatu, ia pun menasihatimu, dan jika kalian bertengkar, ia lebih mengutamakanmu.”

Setia dan Ikhlas
Jika kita bersahabat dengan sesama, hendaklah kita lakukan dengan penuh kesetiaan dan keikhlasan, yakni dengan selalu mencintai saudaranya sampai mati, juga mencintai anak-anak serta teman-temannya sesudah matinya.

Demikianlah tauladan dari Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam. Beliau menghormati seorang wanita tua yang datang keadanya. Ketika dikatakan kepada beliau tentang hal itu, beliau bersabda, “Sesungguhnya ia dulu datang kepada kami di masa hidup Khadijah”.
Ketahuilah bahwa kesetiaan yang baik itu termasuk iman dan pengamalan agama. Engkau sepatutnya selalu melihat keutamaan saudaramu, bukan dirimu, kata Imam al Ghazali.
Jadi, tidak dibenarkan seorang Muslim memutus tali pershabatan, sebatas pada sahabatnya sendiri, tetapi juga harus berlanjut kepada anak dan teman-temannya. Karena memuliakan anak dan teman-teman sahabat kita, termasuk perkara yang sangat dicintai oleh sahabat kita.

Kata Nabi, “Tidak sempurna iman seorang Muslim, hingga ia mencintai saudara Muslim lainnya seperti ia mencintai diri sendiri.” (HR. Bukhari Muslim).
Perumpamaan dua orang yang bersahabat, Islam menganggambarkan tali persahabatan sesama iman bagaikan dua tangan yang saling membersihkan satu dengan lainnya. Seorang Muslim tidak akan jaya dan bahagia kecuali dengan tulus bersahabat dengan Muslim lainnya.
Karenanya tak akan ada 'kemenangan bersama' sehingga kita dipertemukan dengan hati yang saling mencintai dan menyayangi dengan tulus. Baik dari lisan, hati dan perbuatan kita.
Bagaimana jika ada sahabat kita telah jauh keliru dan salah?
Pendapat Abddullah bin Mas’ud layak untuk kita perhatikan. Ia pernah mengatakan, “Jika kau lihat temanmu melakukan dosa, jangan engkau malah menjadi teman setan mengalahkan dirinya. Maksudnya kau katakan, ya Allah hinakanlah dia, laknatilah dia, namun mintalah kepada Allah agar dia mendapatkan ampunan.”

Ibnul Mubarak berkata, “Seorang Mukmin mencari-cari alasan (untuk memaafkan saudaranya), sebaliknya orang munafik selalu mencari-cari kesalahan.”
Tak ada salahnya kita memeriksa batin kita. Sebenarnya, dengan siapa kita saat ini bersahabat? Apalah lebih sayang saudara seiman sendiri dibanding orang lain? Setelah itu mari kita lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya;  dan seberapa tulus kita dengannya saling mencintai







BERTANYALAH DALAM HATI, APAKAH ALLAH RIDLO DENGAN PEKERJAANKU SAAT INI



SYU”AIB bin Harb berkata: “Jangan menyepelekan uang receh (fulus) yang engkau dapatkan dengan cara menaati Allah di dalamnya. Bukan uang receh itu yang akan digiring (menuju Allah), akan tetapi ketaatanmu. Bisa jadi dengan uang receh itu engkau membeli sayur-mayur, dan tidaklah ia berdiam di dalam rongga tubuhmu hingga akhirnya dosa-dosamu diampuni.” (al-Hatstsu ‘ala at-Tijarah wa ash-Shina’ah, karya Abu Bakr al-Khallal).
Dari pesan di atas bisa diambil benang merah jika baik buruknya suatu perkerjaan di mata Allah bukanlah dinilai dari besar kecilnya gaji yang diperoleh, akan tetapi dari cara kita melakukannya. Pertanyaan mendasar yang harus dicamkan adalah, “Apakah Allah ridha dengan pekerjaan saya ini?” Inilah cara berpikir seorang Muslim, sebagaimana diajarkan Nabinya; bukan menuruti logika materialis ateis yang hanya mengedepankan pragmatisme.

Cara berpikir pragmatis tak bertuhan inilah yang membuat sebagian orang dengan berani menyebut perzinaan sebagai “pekerjaan”, seolah-olah hendak menyamakannya dengan profesi guru, petani, pedagang, advokat atau birokrat. Bukankah sebagian besar kita telah terbiasa menyebut PSK (Pekerja Seks Komersial), dibanding menyebut pelacur atau pezina? Astaghfirullah!
Bekerja mendapatkan rezeki yang halal adalah kebajikan, apapun bentuk dan derajatnya di mata manusia. Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikannya sebagai salah satu kewajiban bagi umatnya. Beliau bersabda, “Mencari yang halal adalah kewajiban setiap Muslim.” (Riwayat Thabrani dalam al-Awsath, dari Anas bin Malik. Menurut al-Haitsami: isnad-nya hasan).

Dengan demikian, pekerjaan yang halal sama dengan beribadah. Setiap tetes keringat akan dihargai dengan pahala berlipat ganda. Apapun yang dihasilkannya menjadi berkah, dan semakin menguatkan tali perhubungan dengan Sang Pencipta. Rasulullah bersabda,
“Sungguh, tidaklah engkau memberikan nafkah yang dengan itu engkau mengharapkan wajah Allah, melainkan engkau pasti diberi pahala, bahkan terhadap (sesuap makanan) yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Sa’ad bin Abi Waqqash).

Pekerjaan kasar yang mengandalkan otot sama mulianya dengan pekerjaan intelektual, asalkan halal. Dan, tentu saja bekerja jauh lebih baik dibanding mengemis, bagaimana pun caranya.

Anas bin Malik bercerita, bahwa seseorang dari kaum Anshar datang kepada Nabi untuk meminta-minta. Beliau pun bertanya, "Tidak adakah sesuatu apa pun di rumahmu?" Ia menjawab, “Ya, ada. Kain alas pelana yang sebagian kami buat pakaian dan sebagian lagi kami hamparkan (untuk tikar), serta gelas besar yang kami gunakan untuk minum.” Beliau bersabda, "Bawalah keduanya kepadaku." Ia kemudian membawanya. Beliau mengambilnya dengan tangan beliau dan berkata, "Siapa yang mau membeli kedua barang ini?" Seorang laki-laki berkata, “Saya membelinya dengan satu dirham.” Beliau berkata, "Siapa yang menambah lebih dari satu dirham?" Beliau mengatakannya dua atau tiga kali. Seorang laki-laki berkata, “Saya membelinya dengan dua dirham.” Kemudian beliau memberikannya kepada orang tersebut, dan mengambil uang dua dirham. Beliau memberikan uangnya kepada orang Anshar itu dan bersabda, "Belilah makanan dengan satu dirham kemudian berikan kepada keluargamu, dan belilah (mata) kapak lalu bawalah kepadaku." Orang itu membawa (mata) kapaknya kepada Nabi, lalu mengikatkan sebatang kayu padanya dengan tangan beliau sendiri. Beliau bersabda, "Pergilah, kemudian carilah kayu dan juallah. Jangan sampai aku melihatmu selama lima belas hari." Orang itu pun pergi mencari kayu serta menjualnya, lalu datang lagi dan telah memperoleh uang sepuluh dirham. Sebagian ia belikan pakaian, sebagian lagi makanan. Kemudian Rasulullah bersabda, "Ini lebih baik bagimu daripada sikap meminta-minta itu kelak berubah menjadi noktah di wajahmu pada Hari Kiamat. Sungguh, meminta-minta itu tidak layak kecuali bagi tiga (jenis) orang, yaitu: orang fakir yang sangat melarat, atau orang yang terbebani hutang sangat berat, atau orang yang menanggung diyat (biaya tebusan atas pembunuhan) sementara ia tidak mampu membayarnya." (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Sebaliknya, pekerjaan yang terkesan mentereng dan bergaji besar, sangat boleh jadi hanya akan menjadi beban dosa dan kehinaan jika tidak diridhai Allah. Dari waktu ke waktu hanya akan memicu kegersangan, kekacauan, dan berakhir sebagai siksa tak terperikan. Semakin digeluti semakin menggelisahkan, sebab dosa-dosanya semakin menumpuk. Dalam tafsir Zaadul Masir dikatakan bahwa pekerjaan yang haram adalah bagian dari siksa Allah, yaitu “kehidupan yang sempit” sebagai akibat dari kelalaian, keberpalingan, dan meninggalkan tuntunan Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً
قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya bisa melihat?" Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan." (QS: Thaha [20]: 124-126).
Dengan kata lain, menurut Islam, kehidupan yang lapang, pertama-tama bukan diukur dari lapangnya materi, namun dari aspek keselarasan kehidupan itu dengan tuntunan Allah. Baru setelahnya, aspek-aspek lain mengikuti. Entah melarat atau kaya-raya, jika kehidupan seseorang tidak sejalan syari’at, maka layak disebut sebagai “kehidupan yang sempit”. Sama juga, apakah fakir atau serba berkecukupan, kehidupan yang mengikuti aturan Allah adalah “kehidupan yang lapang”. Wallahu a’lam.






SEMOGA KITA TIDAK DIGOLONGKAN SEBAGAI BINATANG TERNAK


FULAN, bukan nama sebenarnya. Dua bulan sudah menyelenggarakan tahun ke 46. Bertepatan itu, rezeqi dari Allah Subhaahu Wata’ala datang padanya, berupa amanah jabatan dan kedudukan yang terhormat. Menjadi salah satu orang terpenting di sebuah perusahaa BUMN ternama di negeri ini. Ia mengaku, lebih 22 tahun, semenjak lulus kuliah ia selalu diberi kelancaran rezeki dan kemudahan. Karirnya meroket hingga kini. Namun  Allah mengingatkannya dalam sebuah musibah kecil. Penyumbatan darah yang menyebabkan stroke ringan. Dua minggu istirahat di rumah sakit dia mengaku banyak mendapatkan hikmah.
”Puluhan tahun saya sibuk jungkir balik mengejar dunia, hingga saya lupa asal dan kedudukan saya, “ ujarnya pendek.

Fulan mengaku dibesarkan dari keluarga santri, ayah dan ibunya tokoh agama terkemuka. Namun semenjak memasuki dunia kerja, kedekatan dengan agama seolah makin jauh. Ia mengaku, selalu diberi kemudahan Allah Subhanahu Wata’ala dalam rizki, namun selalu dicoba dengan anak-anak yang susah diatur. Setiap ada teman-teman lamanya datang mengajak untuk meluangkan waktu memikirkan Islam, selalu yang dijawabnya sama. “Kapan-kapan saja deh, kalo saya pensiun. Sekarang masih sibuk.”

Banyak teman-teman lamanya mengaku kecewa. Mereka kecewa, mengapa ia selalu mengelak jika diajak memikirkan masalah-masalah keumatan, bahkan seolah-olah urusan agama hanya menunggu waktu sisa, waktu pensiun.

Ia mengaku bersyukur, baginya dua minggu diistirahatkan Allah untuk merenang kembali tentang kesehatan, jabatan, kedudukan dan semua rezki yang kini diberikan oleh Allah kepadanya. Ia berharap,  jika Allah masih mengizinkan, sisa hidupnya digunakan untuk kebaikan dan kemuliaan Islam.

Setiap amanah akan dipertanggungjawabkan

Siapapun dia, sesungguhnya ia tengah mengemban amanah sangat agung. Amanah yang ditolak oleh langit, bumi dan gunung, tetapi manusia bersanggup menerimanya (QS: Al Ahzab: 72). Karena itulah Allah memberikan kepada kita fasilitas nomor wahid, yang tiada diberikan pada makhluk lainnya. Yakni pendengaran, penglihatan dan hati.

Namun apa jadinya, jika ternyata berlimpahnya fasilitas tiada meningkatkan kinerja. Justru sebaliknya, ia lalai, bernikmat-nikmat di atas fasilitas, menggunakan bukan untuk tujuan pelimpahannya. Atau lebih celaka, ia memakai fasilitas untuk melawan kehendak tuannya. Ia telah berkhianat atas amanah yang diembankan kepadanya.

Dan jika analogi di atas kita pakai untuk mengaudit hubungan kita dengan Yang Maha Kuasa, layak kiranya jika kita melempar sebuah tanya. Adakah hamba yang berani mengkhianati Tuhannya? Tiada perlu mendebat, kita menjawab dengan sepakat, tentu saja ada. Bahkan banyak jumlahnya.

Betapa banyak manusia yang menggunakan fasilitas pendengaran, penglihatan, dan kalbunya untuk melawan kehendak Tuhan. Alih-alih bertindak sebagai khalifah dan ‘abdullah, justru ia mendongak berpongah, berlalu lalim lagi serakah.

Sungguh Allah telah mengingatkan kita dalam QS: Al A’raf: 179:

 وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai.” [QS: Al A’raf: 179]

Allah menyebut golongan tak tahu diri ini dengan sebutan binatang ternak, bahkan lebih hina lagi. Mengapa demikian? Mari kita renungkan.

Pernahkah pembaca sekalian memelihara hewan, sebutlah ayam misalnya. Jika setiap pagi kita memberi makan ayam tersebut dan memanggilnya dengan panggilan tertentu (siulan contohnya), maka setelah lewat sebulan dua bulan, ayam akan mendatangi kita, ketika bersiul, meskipun bukan jam makan, meskipun bukan di pagi hari. Perilaku ini berlaku hampir pada seluruh hewan seperti anjing, kuda, kerbau, kucing dan lain sebagainya.

Lalu bagaimanakah dengan manusia? Allah bukan saja memberikan makan kepada kita sekali dalam sehari. Karunianya tiada terbilang dengan alat cacah dan alat ukur apapun. Karunianya seutuh bumi dan seluas semesta. Tapi apakah yang kita lakukan ketika Ia memanggil…”Hayya ‘alash sholaaah… Hayya ‘alash sholaaah.” Adakah kita bersegera seperti ayam mendatangi siulan tuannya. Jika tidak, benarlah bahwa kita bahwa sesungguhnya sindiran al-Quran, bahwa selama ini kita (maaf) tidak jauh, bahkan lebih sesat dari binatang ternak.

Hanya kadang kadangkala manusia bersilat lidah membela dirinya. Ia berdalih, menalar untuk membungkan nurani, bahwa yang ia lakukan baik adanya. Membawa mashlahat besar bagi sesama. Padahal Allah Yang Maha Tahu sudah membaca alibinya, sehingga ia mengancam para pelakunya dengan seburuk-buruk siksa,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً
 الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً
 أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْناً
“Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al Kahfi: 103-105).

Semoga kita bukan masuk bagian golongan yang disindir Allah lebih buruk dari binatang ternak akibat menyia-nyiakan kesempatan, waktu untuk beramal dan mengabdi kepada Allah Subhanahu Wata’ala sehingga hanya ujungnya masuk  neraka tanpa sedikitpun amal-amal yang akan mengangkat kita








INILAH KARAKTER YANG HARUS DIMILIKI OLEH PARA PENDIDIK




PROBLEM karakter dan moral di zaman ini tidak saja melanda mereka yang masih berstatus sebagai pelajar, tetapi juga orang tua, termasuk para guru yang dikenal sebagai pendidik. Kasus terbaru tentang pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru kepada murid di Jakarta, menambah statistic tercorengnya dunia pendidikan kita.
Tentu, kita semua prihatin terhadap masalah seperti itu. Belum lagi kalau melihat para guru turun ke jalan menuntut hak-hak mereka, sedih rasanya. Mengapa nasib para guru di negeri ini sungguh sangat memprihatinkan, sampai-sampai mereka yang terhormat harus sama seperti buruh pabrik.
Terlepas dari apapun problem yang melanda dunia pendidikan saat ini. Kewajiban setiap guru adalah melahirkan generasi Qur’ani, generasi Rabbani. Jadi, sudah semestinya setiap guru memperhatikan apa saja yang perlu diupayakan agar profesinya sebagai guru benar-benar dapat mendatangkan berkah dan ridha Allah Subhanahu Wata’ala.
Niat Tulus Lillahi Ta’ala
Kendala apapun Terlepas dari apapun yang kini menjadi kekurangan dunia pendidikan, termasuk perhatian pemerintah terhadap guru, serta banyaknya kualitas guru yang belum sesuai harapan, tidak mengharuskan para guru salah pilih dalam mengambil keputusan. Para guru harus tetap optimis.
Sebab hakikat kehidupan ini sesungguhnya bukan ada di dunia, tetapi di akhirat. Maka dari itu mari kembali melihat niat kita menjadi guru. Apakah niat menjadi guru memang untuk hidup mewah atau ingin melahirkan generasi rabbani? Jika kita ingin mendapat ridha Allah dengan menjadi guru, sungguh pilihan itu adalah pilihan yang sangat mulia.
Menurut Abu Dawud niat dalam Islam adalah separuh dari agama Islam. Artinya, niat adalah perkara penting. Dan, siapa saja yang ingin mendapat kebahagiaan yang hakiki hendaknya setiap amal perbuatannya diniatkan karena Allah Subhanahu Wata’ala. Karena setiap pekerjaan tergantung pada niat.
Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari Muslim).

Membangun Karakter Dasar
Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad dikatakan bahwa seorang guru hendaknya memiliki lima karakter dasar.
Pertama, IKHLAS. Para guru hendaknya mencanangkan niatnya semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan ataupun hukuman.
Ikhlas itu   “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah Subhanahu Wata’ala” sebagaimana sabda Nabi;  “Engkau beribadah kepada Allah seakan akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu.”
Dalam konteks ikhlas ini Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang dikerjakan secara tulus (ikhlas), semata-mata untuk-Nya, dan mengharapkan keridhaan-Nya.” (HR. Abu Dawud).
Kedua, TAKWA. Setelah ikhlas, seorang guru harus takwa sebagaimana telah didefinisikan oleh para ulama, yaitu: menjaga agar Allah tidak melihatmu di tempat larangan-Nya, dan jangan sampai Anda tidak didapatkan di tempat perintah-Nya. Mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan larangan-Nya.

وَأَنْ أَقِيمُواْ الصَّلاةَ وَاتَّقُوهُ وَهُوَ الَّذِيَ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dirikannya shalat serta bertakwa kepadaNya." [QS: al an’am: 72]
Dalam bahasan takwa ini, Umar bin Khaththab pernah berdialog dengan Ubay bi Ka’ab. Sayyidina Umar bertanya, “Apa yang dimaksud takwa itu?” Ubay pun menjawab, “Apakah kamu pernah berjalan pada jalan yang berduri?”
Umar menjawab, “Ya, pernah”. Ubay pun bertanya lagi, “Apa yang kamu lakukan?” “Aku singkirkan duri itu,” jawab Umar. Ubay pun berkata, “Itulah takwa”.
Begitu pentingnya takwa ini, Allah Ta’ala pun mengulang-ulangnya dalam banyak ayat. Sekedar untuk menyebut di antaranya teradapat pada QS. 3: 102, QS. 33: 70, QS. 59 : 18, dan QS 22 : 1.
Oleh karena itu kriteria manusia yang paling mulia dalam Islam bukanlah mereka yang memegang kekuasaan atau pun menguasai harta kekayaan, tetapi siapa yang paling takwa.
Rasulullah bersabda, “Ditanyakan, wahai Rasululah: siapakah manusia yang paling mulia?” Rasulullah bersabda, “Yang paling takwa di antara mereka”.
Lebih spesifik Rasulullah juga berpesan takwa kepada para guru. “Takwalah kepada Allah, berlaku adillah kepada anak-anakmu, sebagaimana kamu menginginkan mereka semuanya berbakti kepadamu.” (HR. Thabrani).
Jadi, sangat penting setiap guru memiliki mental takwa ini. Jika tidak, maka anak akan tumbuh menyimpang, terombang-ambing dalam kerusakan, kesesatan dan kebodohan. Logikanya sederhana, bagaimana anak murid akan takwa jika gurunya justru tidak memberi keteladanan.
Ketiga, ILMU. Hal ini sudah barang tentu tidak perlu dibahas panjang lebar. Karena guru adalah penyampai ilmu maka sudah selayaknya guru gemar menuntut ilmu. Sebab menuntut ilmu dalam Islam adalah kewajiban.
Keutamaan lain yang bisa diperoleh seorang pendidik adalah pahala yang tidak terputus, selama ilmu yang ia ajarkan terus diamalkan dan diajarkan kepada orang lain. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya akan terputus, kecuali tiga hal: Shadaqah Jariyyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, SABAR. Termasuk sifat mendasar yang dapat menolong keberhasilan guru dalam tugas mendidik adalah sifat sabar, yang dengan sifat itu anak akan tertarik kepada gurunya. Dengan kesabaran, anak murid akan berhias dengan akhlak yang terpuji, dan terjauh dari perangai tercela. Apalagi, mengajar anak di zaman sekarang, yang nota bene lebih banyak menguras energi dan perasaan.
Oleh karena itu, Allah memberikan peringatan berulang kali kepada kita agar tetap sabar dalam upaya apapun, lebih-lebih dalam mendidik generasi masa depan. Jadi, apapun tantangan dan hambatan seorang guru dalam mendidik hendaknya sabar menjadi pilihan utama.

“Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. 11 : 11).
Kelima, BERTANGGUNG JAWAB. Tanggung jawab ini menurut Nashih Ulwan meliputi aspek keimanan, tingkah laku keseharian, kesehatan jasmani-ruhani, maupun aspek sosialnya. Jadi, bukan semata-mata tanggung jawab guru konseling jika ada anak tidak disiplin. Semua guru, termasuk kepala sekolah turut bertanggung jawab. Karena setiap guru adalah pemimpin bagi anak muridnya.
Dalam hal ini Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang kepemimpinannya, apakah dipelihara atau disia-siakan-nya, sehingga bertanya kepada laki-laki tentang keluarganya.” (HR:  Ibn Hibban).
Ketika seorang guru memiliki lima karakter mendasar sebagai pendidik, insya Allah kerusakan, kelemahan atau kekurangan di dunia pendidikan dapat dieliminir secara menyeluruh. Karena sebagus apapun sistim pendidikan, jika gurunya tidak memiliki karakter dasar itu, maka terseok-seoklah pendidikan kita. Wallahu a’lam








SEKALI L;AGI PERHATIKANLAH TEMAN DISEKELILINGMU



 
SIAPAKAH teman-teman kita? Apakah mereka mendatangkan ketentraman, kebahagiaan, dan semakin mendekatkan kita kepada Allah? Atau justru sebaliknya, mereka menjadi sumber kegelisahan, kesedihan, kelalaian dan menjauhkan kita dari Allah Subhanahu Wata’ala dan  akhirat?
Mari sejenak merenungkan diri kita sendiri, juga orang-orang di sekitar kita, selagi Allah masih memberi kesempatan. Sebab, hidup ini hanya sekali. Tidak ada peluang kedua.

Sebagai Muslim, kita telah diajari bagaimana menilai teman-teman kita. Tersedia sebuah kriteria sederhana dan praktis.

Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para Sahabat, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang-orang terbaik di antara kalian?” Mereka menjawab, “Mau, ya Rasulullah.” Beliau melanjutkan, “Yaitu, orang-orang yang jika mereka terlihat (oleh kalian), maka mengingatkan kepada Allah.” Beliau kemudian bersabda lagi, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang-orang terburuk di antara kalian? Yaitu, orang yang kesana-kemari menebar fitnah, yang suka merusak kesetiaan di antara orang-orang yang saling mencintai, dan yang mengusahakan timbulnya kerusakan serta dosa di tengah-tengah orang-orang yang bersih (kehidupannya).” (Hadits riwayat Ahmad, sanad-nya hasan li ghairihi).

Jadi, menurut beliau, ciri khas orang yang baik adalah jika kita melihat mereka maka kita akan teringat kepada Allah.
Berapa banyak orang seperti ini di sekitar kita; yang kepribadian serta tindakannya menyejukkan hati dan meningkatkan keimanan, menambah rasa syukur dan menenangkan jiwa? Berapa banyak orang yang membuat kita segan bermaksiat di dekatnya, membuat kita lebih berhati-hati, dan menyemangati ibadah? Atau, justru sebaliknya, justru lebih banyak orang yang semakin menjauhkan kita dari Allah, menambah kegilaan kepada dunia, merongrong jiwa dan mengotori hati, mengobarkan syahwat dan mengerdilkan taqwa? Dan, jika kriteria ini diterapkan kepada diri kita sendiri, sebenarnya termasuk kelompok manakah kita?

Maka, sangat baik bagi kita untuk selalu mawas diri. Sebab, hati manusia sebenarnya sangat lemah dan mudah berubah. Oleh karenanya, hati disebut al-qalbu dalam bahasa Arab, artinya berbolak-balik. Dan, itulah gambaran dari hati manusia yang sesungguhnya.
Cobalah hal paling sederhana. Bukalah surat kabar hari ini, dan bacalah. Mungkin, awalnya Anda geregetan oleh tingkah para koruptor; setelah itu iba menyaksikan para korban bencana alam; selanjutnya terkagum-kagum oleh berita sains-teknologi; lalu dibuat heran oleh isu-isu dunia selebritis; dan kemudian disuguhi ulasan-ulasan olahraga yang beraneka ragam. Dalam sekali duduk, sudah berapa kali hati kita berubah? Bagaimana jika sehari?

Oleh karenanya, kita perlu memperhatikan baik-baik pengaruh macam apa yang akan memasuki hati kita. Ahmad bin Harb berkata, “Tidak ada yang bermanfaat bagi hati seorang hamba selain bergaul dengan orang-orang shalih dan menyaksikan amal mereka. Sebaliknya, tidak ada yang berbahaya bagi hati seorang hamba selain bergaul dengan orang-orang fasiq (ahli maksiat) dan melihat amal mereka.”
Itu bermakna pula, bahwa kita bisa memutuskan sejak masih di dunia ini siapa saja yang kelak menjadi teman-teman kita di akhirat. Dengan izin Allah, kita pasti akan bersama-sama dengan mereka disana. Sebagai misal, jika di dunia ini kita selalu bersama orang-orang yang tidak memperdulikan shalat, hidup penuh kesia-siaan, dan tidak mengenal halal-haram, sementara kita sendiri tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan justru larut, maka apakah yang bisa diharapkan pada Hari Perhitungan kelak? Jelasnya, pengaruh teman memang tidak bisa diabaikan.
Ibnu Abi Dunia meriwayatkan dalam kitab al-Ikhwan, bahwa Washil maula Abu 'Uyainah berkata: aku pernah bersama Muhammad bin Wasi' di Marw. Lalu, 'Atha' bin Abu Muslim al-Khurasani mendatangi beliau bersama anaknya, 'Utsman. 'Atha' kemudian berkata kepada Muhammad, "Amal apakah yang paling utama di dunia ini?" Beliau menjawab, "Menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara, apabila mereka saling bersahabat di atas kebajikan dan takwa." Beliau melanjutkan, "Pada saat itu, Allah akan menghadirkan kemanisan di antara mereka, sehingga mereka terhubung dan saling menyambungkan hubungan. Tidak ada kebaikan dalam menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara jika mereka adalah budak dari perutnya masing-masing, sebab jika mereka seperti ini maka satu sama lain akan saling menghalangi dari akhirat."
Dengan kata lain, segenap persahabatan, pernikahan, organisasi, parpol, juga kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya akan melahirkan kebahagiaan jika masing-masing orang di dalamnya diikat oleh nilai-nilai kebajikan dan ketakwaan.
Sebaliknya, jika mereka hanya terikat oleh “kepentingan perutnya”, maka hasilnya pasti runyam. Setiap orang akan dengan mudah saling mengintai dan menjegal demi keuntungan pribadinya. Jangankan saling menolong, saling perduli pun tidak. Yang ada hanyalah jiwa-jiwa oportunis. Tentu saja, semua orang akan merasa terancam dan tidak tenang, sehingga kebahagiaan hakiki sukar didapatkan.
Oleh karenanya, Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk mengedepankan kriteria “ketaatan beragama” dalam memilih pasangan (suami/istri). Logika di baliknya cukup jelas, sebab ketaatan beragama merupakan benih tanaman kebajikan, ketakwaan, dan akhlak mulia; yang seterusnya akan membuahkan kebahagiaan. Jika sebuah pernikahan tidak memperdulikan aspek ini, maka ia hanya merupakan “kontrak” yang menjemukan dan memenjara. Tidak lama lagi keduanya akan bosan, dan justru sangat bersyukur jika bisa bercerai secepat mungkin. Subhanallah!
Maka, perhatikanlah siapa orang-orang di sekitar kita. Sebab, kebahagiaan kita – baik di dunia maupun akhirat – turut ditentukan oleh mereka. Wallahu a’lam

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar