Powered By Blogger

Jumat, 22 Maret 2013

GAYA HIDUP

SIAPA MEMBERI MANFAAT, AKAN MENUAI BAHAGIA
Gambar Gambar Islami

KEHIDUPAN  ini didesain Sang Maha Pencipta secara harmonis. Makhluk yang satu dengan makhluk yang lain saling memberi dan menerima manfaat. Demikian pula halnya dengan benda yang satu dengan benda yang lain.
Mari kita perhatikan! Manusia memerlukan oksigen dan membuang karbondioksida, sementara tanaman membutuhkan karbondioksida untuk proses fotosintesa dan mengeluarkan oksigen. Lebah membutuhkan zat-zat makanan dari bunga, sedang tanaman membutuhkan lebah untuk proses penyerbukan.

Manusia juga mengambil manfaat dari hewan dan tanaman berupa bahan makanan dan berbagai kebutuhan lainnya, sementara tanaman serta hewan memerlukan pemeliharaan, perawatan, pelestarian dan penjagaan keseimbangannya oleh manusia. Demikian pula hubungan antar manusia sendiri, tidak bisa terlepas dari dinamika untuk saling memberi dan menerima manfaat.

Sayangnya, manusia sendiri kerap merusak harmoni tersebut. Manusia malah saling memberi mudharat dan saling menzhalimi. Inilah sebabnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan risalah-Nya dan menghadirkan orang-orang Mukmin sebagai pengusung risalah tersebut. Tujuannya untuk menyuburkan harmoni dengan banyak berbuat kebaikan dan memberi manfaat, baik kepada sesama manusia maupun kepada alam semesta.

Membahagiakan

Jiwa-jiwa yang fitrahnya hidup akan merasa bahagia apabila mampu memberi manfaat untuk orang lain. Sebaliknya, jiwa yang fitrahnya mati dan tertutup justru merasa bahagia jika melihat kesusahan dan penderitaan orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bersabda:

(رواه أحمد) إذا سرّتك حسنتك وساءتك سيئتك فأنت مؤمن

“Jika kebaikanmu menyenangkanmu dan kejahatanmu menyusahkanmu, maka kamu adalah seorang mukmin.” (Riwayat Ahmad)

Para sahabat yang pernah hidup bersama Rasulullah SAW merupakan orang-orang yang sangat suka memberi manfaat kepada orang lain. Sebagai contoh, Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu (RA) dan beberapa sahabat lainnya yang ketika mendapatkan harta langsung didistribusikan lagi kepada orang lain.

Diriwayatkan bahwa ketika mendapat kiriman harta tersebut, Umar langsung memanggil salah seorang pembantunya dan memerintahkan agar harta tersebut dikirimkan kepada Abu Ubaidah bin Jarrah RA. Umar juga meminta pembantunya agar menunggu sejenak di rumah Abu Ubaidah untuk memperhatikan apa yang akan ia lakukan dengan harta tersebut. Tampaknya, Umar ingin melihat bagaimana Abu Ubaidah menggunakan hartanya.

Ketika pembantu itu sampai di rumah Abu Ubaidah, ia menyampaikan, “Amirul Mukminin mengirimkan harta ini kepada Anda untuk dipergunakan sesuai kebutuhan yang Anda kehendaki.”

Kemudian Abu Ubaidah memanggil pembantunya. Lalu mereka mulai membagi-bagikan harta pemberian Umar itu kepada para fakir miskin hingga seluruh harta tersebut habis.

Pembantu Umar pulang dan menyampaikan apa yang telah ia lihat. Umar kemudian kembali memberi pembantu itu uang sebesar 400 dirham untuk diserahkan kepada Muadz bin Jabal RA. Sama seperti sebelumnya, Umar meminta pembantunya untuk memperhatikan Muadz.

Ternyata Muadz pun memanggil hamba sahayanya untuk membagi-bagikan harta tersebut kepada fakir miskin hingga habis. Bahkan, ketika istri Muadz melihat dari dalam rumah dan berkata kepada suaminya, “Demi Allah, aku juga termasuk orang miskin,” Muadz hanya menjawab, “Ambillah dua dirham saja.”
Umar kemudian menyuruh lagi mengirimkan harta kepada Saad bin Abi Waqqas RA. Ternyata, Saad pun melakukan hal yang sama. Pembantu Umar itu kembali pulang dan melaporkan semua yang ia lihat.

Mendengar sikap mereka, Umar menangis dan berkata, “Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah.”
Begitulah sikap dan perilaku para sahabat Rasulullah SAW dalam mendayagunakan karunia yang diberikan oleh Allah SWT. Hidup mereka selalu ingin digunakan untuk memberi manfaat bagi manusia yang lain walaupun sebenarnya diri mereka sendiri sangat membutuhkan.

Dicintai Manusia

Orang yang mampu memberi manfaat kepada orang lain akan dicintai oleh orang yang mendapatkan manfaat darinya. Bahkan, orang lain yang tidak mendapatkan manfaat pun akan mengagumi dan menghormatinya.

Contohnya, para pahlawan Islam. Walaupun jasad mereka telah lama hancur, tetapi penghormatan kepada mereka tetap abadi. Lihatlah Syaikh Yusuf al-Makkassari. Ia seorang ulama pejuang abad 17 yang berjasa menyebarkan Islam dan menanamkan semangat perjuangan melawan penjajah Belanda.

Sikapnya yang tegas menentang bangsa penjajah menjadikan Yusuf harus dijauhkan dari pengikutnya. Tahun 1683, Yusuf ditahan selama satu tahun di Cirebon, Jawa Barat, kemudian di Batavia (Jakarta), dan akhirnya dibuang ke Thailand.

Namun, berada di tanah buangan tak meyurutkan semangat Yusuf untuk berdakwah dan menulis kitab. Di Thailand, Yusuf dalam waktu singkat berhasil meraih simpati masyarakat. Inilah yang menyebabkan Belanda, pada tahun 1693, membuang Yusuf ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan.

Di negeri yang baru itu, Yusuf kembali menyampaikan dakwahnya, sehingga berkembanglah Islam di negeri tersebut.

Syaikh Yusuf wafat pada tahun 1699 di usia 72 tahun dan jenazahnya dimakamkan di Cape Town. Rakyat Afrika Selatan menjadikan beliau sebagai guru, pemimpin, dan pahlawan mereka. Ini tidak lain karena kiprah kebajikan yang beliau tanam, sehingga dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.
Sungguh benar apa yang disampaikan oleh Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri …” (Al-Isra’ [17]: 7)

Mendapat Balasan

Dalam kehidupan sosial, kita selalu mendapati fakta bahwa setiap orang yang berbuat kebaikan akan mendapatkan imbalan dari kebaikannya. Imbalan itu bisa dalam bentuk uang, penghargaan, apresiasi, dukungan, dan sebagainya.

Sebaliknya orang-orang yang membuat kerusakan serta merugikan orang lain akan mendapatkan balasan yang setimpal. Balasan itu bisa dalam bentuk hukuman, kecaman, kutukan, kebencian, dijauhi, dan sebagainya.

Begitu pula bila perbuatan itu dikembalikan kepada Allah SWT, ia akan mendapatkan balasan. Firman Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala :

(٧) فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ
(٨) وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” (al-Zalzalah [99]: 7-8)

Belakangan, berbagai penelitian menunjukkan bahwa memberi manfaat kepada orang lain merupakan sebuah kekuatan yang mampu mengantarkan seseorang meraih kesuksesan. Deepak Chopra dalam 7 Spiritual Law of Success sampai mencantumkan “Law of Giving” sebagai hukum kedua agar seseorang meraih kesuksesan.
Bagi kita hal itu tidaklah mengejutkan. Sebab, Rasulullah SAW sendiri telah jauh-jauh hari mengungkapkan hukum tersebut, di mana ia merupakan fitrah dan sunnah Allah SWT di muka bumi. Sabda beliau:

فَطُوْبَى لِمَنْ جَعَلَ اللهُ مَفَاتِيْحَ الْخَيْرِ بِيَدَيْهِ وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللهُ مَفَاتِيْحَ الشَّرِّ بِيَدَيْهِ

“Maka beruntunglah bagi orang yang Allah SWT menjadikan kunci-kunci kebaikan lewat kedua tangannya, dan celaka bagi orang yang Allah SWT menjadikan kunci-kunci kejahatan lewat dua tangannya,” (Riwayat Sunan Ibnu Majah)

Maka jika kita mampu memberi manfaat, kita pasti akan memperoleh manfaat, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, perbanyaklah memberi manfaat. Memberi salam dan doa, memberi senyum, memberi pertolongan, memberi harta, dan sebagainya. Berbuat baiklah sebanyak-banyaknya karena Allah SWT berfirman:

(٧٧) وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al-Qashas [28]: 77)*







LEMBUT DAN PEKA, ITULAH FITRAH ORANG MUKMIN




RENDAH hati adalah fitrah iman. Sebaliknya, kesombongan pasti menyertai kekafiran. Iman dan kesombongan adalah dua hal yang mustahil bersatu, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits: “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat sebutir biji sawi.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, sungguh ada seseorang yang ingin berbaju bagus dan bersandal bagus.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah itu indah. Dia menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (Riwayat Muslim).

Tidak aneh jika Al-Qur’an pun sangat sering menggambarkan sikap kedua golongan ini (mukmin dan kafir) secara bertentangan. Tabiat mereka tampak sangat berbeda terutama ketika berhadapan dengan petunjuk-petunjuk Allah. Golongan pertama akan tunduk, khusyu’, dan memohon agar diberi taufik untuk mengikutinya, sementara golongan kedua justru angkuh, ingkar, dan menantang agar didatangkan azab. Mari kita telusuri penggambaran Al-Qur’an ini, agar menjadi nasehat bagi kita bersama.

Ketika sebagian Ahli Kitab (yang mukmin) mendengar bacaan Al-Qur’an pada masa-masa awal dakwah Islam di Makkah, beginilah sikap mereka:
إِنَّ الَّذِينَ أُوتُواْ الْعِلْمَ مِن قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّداً
وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِن كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولاً
وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعاً
“…Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi". Mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'.” (QS. Al-Isra' [17]: 107-109).
Begitulah seorang mukmin. Hatinya sangat lembut dan peka terhadap tanda-tanda kebenaran yang diisyaratkan Tuhannya. Cermin nuraninya yang bening spontan dapat mengenali cahaya Allah, dan segera memantulkannya. Maka, seketika jiwanya menjadi terang dan lapang, sebagaimana ruangan gelap yang terasa lega dan nyaman begitu lampu dinyalakan di dalamnya. Dalam menapaki kehidupan ini, mereka senantiasa memanjatkan doa dengan penuh ketawadhu’an;
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu; karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang Maha Pemberi.” (QS. Ali 'Imran [3]: 8).
Sebaliknya adalah tabiat kaum kafir. Ketika menghadapi kebenaran, serta-merta hatinya tertutup. Bahkan, secara sengaja mereka menutupnya sendiri. Permusuhan mereka terhadap kebenaran adalah kebencian sejati yang sangat mengerikan. Dengarkanlah apa kata Al-Qur’an tentangnya:
وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِّمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ وَفِي آذَانِنَا وَقْرٌ وَمِن بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ إِنَّنَا عَامِلُونَ
“Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi kami dari) apa yang kamu serukan, dan pada telinga kami ada sumbatan. Antara kami dan kamu ada dinding. Maka, bekerjalah kamu, sesungguhnya kami bekerja (pula)." (QS: Fusshilat [41]: 5).
Apakah iman bisa masuk ke dalam hati seperti ini? Sungguh mustahil, karena pemiliknya telah menguncinya dari dalam. Ibaratnya: jauh lebih mudah membangunkan orang tidur sungguhan dibanding menyadarkan orang yang pura-pura tidur. Membimbing orang bodoh yang mau belajar pasti lebih gampang dibanding mengajari seseorang yang keras kepala dan sok tahu. Ini sangat menjengkelkan.
Tidak hanya sampai disitu, Al-Qur’an bahkan menceritakan tabiat kekafiran yang jauh lebih parah. Dalam surah al-Anfal: 32, Allah berfirman: “Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: "Ya Allah, jika betul (Al-Qur’an) ini adalah yang benar dari sisi-Mu, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.”
Sungguh ganjil permohonan mereka ini, dan betapa mendalamnya kebencian mereka terhadap kebenaran. Bukankah seharusnya mereka memohon agar dibimbing mengikuti Al-Qur’an jika ia terbukti sebagai kebenaran dari Allah? Akan tetapi, mengapa mereka justru minta dihujani batu dari langit atau ditimpa siksa yang sangat pedih? Tidak ada istilah yang lebih tepat untuk sikap-sikap aneh ini selain “gila kuadrat”!
Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyimpulkan fitrah keimanan dan tabiat kekafiran dalam sabdanya: “Maukah kalian aku beritahu siapa penghuni surga itu? Dialah setiap orang yang lemah, lembut, dan rendah hati; seandainya ia bersumpah memohon kemurahan Allah, pasti akan dipenuhi-Nya. Maukah kalian aku beritahu siapa penghuni neraka itu? Dialah setiap orang yang keras lagi kasar, suka meneriakkan kata-kata kotor, angkuh gaya berjalannya, lagi sombong (sok hebat).” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Segenap ayat dan hadits diatas sebenarnya merupakan diagnosa atas gejala-gejala keimanan dan kekafiran dalam hati manusia. Sebagaimana dimaklumi, iman dan kufur adalah hakikat ruhiyah yang tidak bisa ditangkap panca indra, dan hanya bisa dikenali dari tanda-tandanya. Setelah mendiagnosa, Allah kemudian memberikan terapi, yaitu syariat-Nya yang terangkum dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi. Allah sendiri telah menyifati Al-Qur’an sebagai obat dari segala penyakit hati, petunjuk, dan rahmat bagi kaum beriman (Qs. Yunus: 57 dan al-Isra’: 82).
Dengan kata lain, kita diajari untuk melakukan self-diagnostic, memeriksa sendiri tanda-tanda mana yang bersemayam dalam jiwa kita. Jika didominasi gejala iman, mari berdoa agar senantiasa diteguhkan. Iringi pula dengan amal shalih. Jika didapati gejala kufur, Allah pun telah menuliskan resep-resep manjur untuk mengatasinya. Langkah diagnosa ini dapat pula dipergunakan untuk kepentingan lain, misalnya memilih guru, calon pasangan hidup, teman bergaul, rekan berbisnis, karyawan, atau pembantu rumah tangga. Semoga saja kita selalu diberkahi dan terselamatkan. Amin. Wallahu a’lam.







BEGINILAH SIKAP MUKMIN DALAM MELIHAT PERSOALAN HIDUP




 
BERBAGAI tindak kriminal, kini kian marak terjadi di negeri ini. Perampokan, pemerkosaan, bahkan perdagangan manusia pun sudah bukan rahasia lagi. Di penghujung tahun 2012 sebuah situs niaga di Indonesia dilaporkan telah mengiklankan perdagangan manusia berupa penjualan bayi berumur 18 bulan dengan harga Rp. 10 juta.
Pada sisi lain, penemuan bayi di negeri ini kian sering terjadi. Diduga kuat, motif pelaku membuang bayinya itu karena alasan zina, sehingga malu. Tetapi tidak sedikit yang membuang (menggugurkan atau menjual) bayinya karena alasan ekonomi. Bahkan ada di antaranya yang nekad menenggak racun bersama anak-anaknya, karena takut miskin.
Memang benar, di zaman ini, tekanan hidup dan kesulitan mencari nafkah demi penghidupan keluarga terjadi dimana-mana. Tidak saja di Indonesia, tetapi juga di Spanyol, Belanda, Portugis, Yunani bahkan Amerika. Artinya, masalah kesulitan hidup adalah masalah seluruh manusia di dunia.
Akan tetapi, bagaimanapun, Islam tidak mengajarkan umatnya bertindak bodoh. Sesulit apapun situasi yang dialami, harus dihadapi dengan penuh optimisme dan usaha nyata. Tidak boleh berputus asa. Karena putus asa terhadap rahmat Allah itu merupakan sifat tercela. Dan, tidak dimiliki kecuali oleh orang-orang yang kafir. Sebagaimana peringatan Allah kepada Nabi Yusus Alaihissalam.
يَا بَنِيَّ اذْهَبُواْ فَتَحَسَّسُواْ مِن يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلاَ تَيْأَسُواْ مِن رَّوْحِ اللّهِ إِنَّهُ لاَ يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (QS:  Yusuf [12]: 87).
Setiap Jiwa Ada Rizkinya
Di zaman jahiliyah membunuh anak adalah hal lumrah. Sebab utamanya karena para orang tua di zaman itu, merasa tidak mampu memberi nafkah untuk anak-anaknya. Islam, sangat melarang tindakan biadab ini.
Suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud menemui Rasulullah, lalu bertanya. “Ya Rasulullah, apakah dosa yang paling besar? Beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia yang telah menciptakanmu.”
“Kemudian apa lagi?” “Engkau membunuh anakmu karena takut ia akan makan bersamamu”. “Lalu apa lagi?” “Engkau berzina dengan istri tetanggamu” (HR. Bukhari Muslim).
Kemudian Allah Subhanahu Wata’ala telah menjabarkan secara gamblang di dalam al-Qur’an.
 وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka.” (QS: al-An’am [6]: 151).
Dalam ayat yang lain Allah juga tegaskan;
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم إنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْءاً كَبِيراً
”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS: al-Israa' [17]: 31).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah sangat sayang kepada hamba-hamba-Nya, lebih dari kasih sayang orang tua kepada anaknya, karena Allah melarang umat manusia membunuh anak-anak mereka, demikian penjelasan Ibn Katsir dalam tafsirnya.
Jadi, seorang Muslim tidak boleh takut miskin, meski sesulit apapun beban ekonomi yang sedang dihadapinya. Malahan, situasi buruk itu harus disikapi secara tepat, sehingga dapat menjadikan iman dan takwa kita meningkat, kemudian kita mampu terus bersabar dan ikhtiar. Karena pada hakikatnya, setiap jiwa telah Allah jamin rizkinya secara utuh dan menyeluruh.

Makna Rizki
Anggapan bahwa rizki semata harta dan benda tidak lain hanyalah pandangan orang-orang kafir yang hidup bergelimang dalam kejahiliyahan, kekafiran, dan kebiadaban.
Rizki dalam Islam, bukan semata harta dan benda. Apalagi, yang semata-mata karena hasil usaha (kerja) manusia. Rizki dalam Islam melingkupi semua apa yang ada dalam kehidupan manusia. Berupa waktu, kesehatan, kesempatan, kecerdasan, istri, anak, orang tua, tetangga, teman, lingkungan, hujan, tanaman, hewan piaraan dan masih banyak sekali yang lainnya.
Itulah mengapa Allah mengingatkan manusia bahwa nikmat (rizki) Allah terhadap manusia sungguh tidak akan pernah bisa dihitung. Sebab, Allah telah menyediakan untuk umat manusia apa saja yang manusia perlukan pada segala situasi dan kondisi.
وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS: Ibrahim [14]: 34).
Allah memang memberikan rizki kepada semua makhluk-Nya, tetapi tidak semua mendapatkan rizki yang mulia dari-Nya. Lantas, siapa sajakah mereka itu?
“Maka orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia” (QS. 22 : 50).
Terhadap ayat tersebut, Ibn Katsir mengutip pernyataan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi. “Apabila engkau mendengar firman Allah Ta’ala (wa rizqun karim) ‘Dan rizki yang mulia,’ maka rizki yang mulia itu adalah surga.
Dengan demikian, maka sebaik-baik rizki adalah surga. Jadi, dalam kehidupan dunia ini kita harus mengutamakan dua perkara penting, yakni iman dan amal sholeh. Karena hanya keduanyalah yang dapat mengantarkan setiap jiwa mendapatkan rizki yang mulia.
Sangat tidak patut bahkan sangat tercela bila ada seorang Muslim merasa terhina hanya karena kurang harta. Apalagi kalau sampai berani mengambil keputusan tidak benar dalam hidupnya karena alasan kemiskinan. Sebab, rizki yang paling mulia adalah surga, bukan harta atau benda.
Itulah mengapa, para Nabi dan Rasul tidak pernah berbangga dengan harta dan benda. Bahkan para Nabi dan Rasul itu lebih memilih hidup susah demi rizki yang mulia di sisi-Nya. Namun demikian, Islam tidak mengharamkan umatnya kaya raya. Karena kekayaan yang disertai iman juga bisa mengantarkan seseorang pada derajat yang mulia di sisi-Nya.

Tawakkal
Jika demikian, maka mengapa dalam kehidupan masih ada kaya dan miskin? Itu tidak lain adalah ketetapan-Nya yang harus kita terima dengan lapang dada.
وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُواْ بِرَآدِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاء أَفَبِنِعْمَةِ اللّهِ يَجْحَدُونَ
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rizki” (QS. An-Nahl [16]: 71).
Terkait hal ini Imam Ghazali dalam kitab terakhirnya ‘Minhajul Abidin’ menegaskan bahwa setiap Muslim hendaknya memahami dengan baik bahwa rizki manusia itu telah dibagikan oleh Allah sebelum kita dilahirkan.
Dan, apa yang dibagikan-Nya itu tidak dapat diganti dan tidak pula berubah. Apabila seorang Muslim menolak pembagian tersebut dan berharap agar diubah, maka berarti ia telah mendekati kekufuran.
Lebih lanjut, Imam Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya apa yang ditakdirkan sebagai makanan yang engkau kunyah, maka tidak akan dikunyah oleh orang lain. Maka, makanlah bagian rizkimu itu dengan mulia, jangan engkau memakannya dengan hina”.
Artinya, Allah telah menetapkan rizki kita. Selanjutnya kita menjalankan tugas kita sebagai hamba yaitu berikhtiar, berusaha menjemput rizki tersebut. Soal sedikit atau banyak, terima saja dengan lapang dada. Sebab itu adalah bagian dari ketetapan-Nya.
Dengan demikian, maka sudah seharusnya kita semua bertawakkal kepada Allah SWT. Bekerja secara jujur, disiplin, penuh dedikasi sebagai wujud ketawakkalan kita kepada Allah. Karena tawakkal itu adalah indikasi keimanan paling nyata. “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS. 5 : 23).
Berarti, sangat tidak pantas seorang Muslim hidup dalam kebimbangan, kebingungan, apalagi kegelisahan dan keputusasaan dalam soal rizki. Karena setiap makhluk Allah pasti ada rizkinya. Maka, jangan bertindak curang atau berlaku menyimpang, karena kecurangan atau penyimpangan itu adalah bentuk kekufuran yang berakibat pada kesengsaraan dan kebinasaan










UTAMAKAN RIDLO ALLAH SAJA, PASTI KEBAHAGIAAN AKAN KITA  RENGKUH



 
APA yang sebenarnya kita cari dalam kehidupan ini? Semua orang, termasuk kita pasti akan menjawab sama,  kebahagiaan. Semua aktivitas yang dilakukan oleh umat manusia, dari Nabi Adam hingga manusia akhir zaman kelak, semuanya hanya ingin mendapat kebahagiaan.
Namun demikian, hanya sedikit atau bahkan mungkin sangat langka manusia yang benar-benar memahami makna dari kebahagiaan itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat dalam panggung kehidupan manusia di zaman ini, di mana dunia dipenuhi dengan berbagai macam persoalan besar, yang sebenarnya bersumber dari masalah kecil yang tidak segera diatasi.
Sebagai contoh, manusia hari ini lebih suka dengan hal-hal yang bersifat instan. Padahal, alam ini memiliki hukum proses di dalamnya. Seperti itu pula dalam kehidupan manusia. Tidak ada keberhasilan melainkan mensaratkan usaha, ikhtiar dan do’a bahkan pengorbanan di dalamnya. Sayang,  manusia selalu ingin serba cepat.
Mengapa kasus penipuan sangat marak di era modern ini? Sampai urusan-urusan ibadah saja masih sempat-sempatnya disusui penipuan. Semua tidak lain karena telah terjadi kerusakan cara berpikir. Umumnya orang ingin kaya secepat kilat. Ibaratnya, kalau bisa tanpa usaha (bahkan kalau perlu tanpa pengorbanan) kenapa tidak dilakukan?
Perilaku hidup seperti itu pula yang mendorong praktik korupsi dan kolusi di negeri ini sulit dibereskan. Akhirnya, prinsip persaudaraan, saling mengasihi, saling menolong (ta’awun), sudah sulit lagi kita temukan. Semua diukur dengan dunia (uang).
JIka ada orang mengalami musibah kecelakaan, kemudian diantar ke tempat berobat, pertanyaan pertama dari pihak pengelola tempat berobat adalah; Apakah yang bersangkutan  memiliki jaminan uang atau tidak? Jarang sekali yang langsung sigap memberi pertolongan, kecuali secara kasat mata terlihat sebagai manusia berduit. Jika tidak,maka pelayanan pun akan diberikan asal-asalan.
Beberapa kasus kita saksikan,  orang berebut menjarah truk atau mobil yang sedang ditimpa musibah kecelakaan. Bukan menolong penumpangnya agar selamat dari musibah, justru masyarakat ‘menari-nari’ di atas penderitaan yang terkena musibah.
Di sisi lain, masyarakat saat ii mulai banyak terseret pada pola hidup mubadzir dan sia-sia. Betapa banyak, masyarakat disibukkan dengan jadwal orang lain, ibaratnya, hidupnya digerakkan dan didekte oleh industri?
Anak remaja dan para pamuda sibuk  dengan smart phone-nya, hingga lupa jadwal kehidupan nya yang jauh lebih penting. Mereka asyik berkomunikasi via on-line, seolah lupa hal-hal penting lain.  Ibu putri mereka sibuk jadwal sinotron, sementara ayahnya  sibuk mengikuti jadwal pertandingan bola, hingga lupa shalat dan duduk bersimpuh di hadalan Allah Subhanahu wata’ala.
Pertanyaannya, mengapa manusia modern sekarang berpola pikir dan berpola hidup seperti itu? Tiada lain karena orientasi hidupnya yang sangat dekat (dunia dan segala kesenangan di dalamnya), sehingga tidak mampu melihat perkara-perkara penting yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan asasinya. Inilah akar dari materialisme, cinta dunia lupa akhirat.
Utamakan Akhirat
Jika cara-cara hidup mayoritas manusia modern sebagaimana terpapar di atas ternyata tidak mendatangkan kebahagiaan, lantas bagaiamana agar kebahagiaan itu bisa terwujud?
Tiada lain kecuali dengan mengikuti jejak Nabi Muhammad saw, yakni dengan mengutamakan akhirat dengan tidak melupakan dunia.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS: Al-Qashashash [28] : 77).
Jadi, kebahagiaan itu akan benar-benar kita rengkuh apabila kita mengutamakan akhirat (menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya) sembari terus berusaha memperbaiki kondisi ekonomi keluarga dengan cara yang halal, tekun dan penuh kesungguhan.
Pada saat yang sama, kita berusaha berbuat baik terhadap sesama dengan penuh kesungguhan hati, sehingga tercipta kehidupan yang rukun, damai dan indah. Petuah dari tanah Sunda mengatakan, dalam hidup ini kita harus saling asah, asih dan asuh. Jadi, tidak boleh kita saling benci, saling bermusuhan, dan saling menjelekkan.
Kesengsaraan
Siapa yang lebih suka membenci saudara seimannya daripada mencintai, menyayangi dan mengasihinya, maka kecelakaan besar akan menjumpainya. Apalagi, jika semua itu dilakukan semata-mata hanya karena urusan dunia, sungguh kebinasaan akan menghampirinya. Sebagaimana telah dialami oleh Fir’aun, Qarun, Haman, Abu Jahal, Abu Lahab, termasuk Tsa’labah.
Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang kehidupan akhirat menjadi tujuan utamanya, niscaya Allah akan meletakkan rasa cukup di dalam hatinya dan menghimpun semua urusan untuknya serta datanglah dunia kepadanya dengan hina. 
Barangsiapa yang kehidupan dunia menjadi tujuan utamanya, niscaya Allah meletakkan kefakiran di hadapan kedua matanya dan menceraiberaikan urusannya dan dunia tidak bakal datang kepadanya, kecuali sekedar yang telah ditetapkan untuknya.” (HR. Tirmidzi).
Berkenaan dengan hadits tersebut, Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani memberi uraian tentang orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya sebagai orang yang akan mengalami kerugian dan kesengsaraan.
Syeikh Al-Albani menjelaskan bahwa arti ‘menceraiberaikan urusannya’ yaitu urusan-urusannya yang sudah tersusun rapi justru menjadi berantakan.
Dengan demikian, kita harus berusaha membebaskan diri dari ancaman kesengsaraan tersebut dengan mencintai akhirat tanpa lupa dunia. Atau dengan bahasa lain; kuasai dunia jangan cintai, melainkan akhirat. Niscaya Allah akan memberikan kebahagiaan di dunia dan surga di akhirat.
Terhadap orang yang seperti itu, Allah memerintahkan kita untuk menjauhinya, karena orang yang hanya cinta dunia adalah orang yang pengetahuannya tidak menambah apapun, melainkan terus menambah kesesatan dan kesengsaraan (QS. Al-Najm [53] : 29 – 30).
Hakikat Dunia
Untuk mengutamakan akhirat atas dunia maka kita perlu merenungkan sabda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah ra.
Dunia ini adalah tempat tinggal orang yang tidak mempunyai rumah, harta bagi orang yang tidak mempunyai harta benda. Dan karenanya (dunia) orang-orang yang tidak berakal berlomba-lomba untuk mengumpulkannya.” (HR. Ahmad).
Disamping itu Rasulullah juga memberikan anjuran kita untuk berdoa seperti ini; “Allahumma latajaliddunya akbara hammina, wala mablaga ilmina” (Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia ini sebagai puncak cita-cita dan tujuan akhir pengetahuan kami).
Jadi, siapa yang hidup untuk harta, maka dia akan menjadi pewaris Qarun. Siapa yang hidup untuk tahta maka ia akan menjadi pewaris Fir’aun. Dan, siapa yang cinta hawa nafsu, dia akan menjadi bagian dari tentara setan.
Dan, tidaklah semua pewaris dunia itu kecuali berakhir di dalam neraka yang menyala-nyala. Na’udzubillahi min dzalik. Lantas, masihkah kita akan menyandarkan kebahagiaan hidup kita pada dunia dan mengorbankan akhirat yang sangat kita butuhkan? Padahal, ridha Allah yang merupakan sumber kebahagiaan terindah, hanya untuk hamba-Nya yang mengutamakan akhirat di atas dunia.










JAGA ASET BERHARGA,DAN SIBUKKAN DIRI TUNAIKAN IBADAH




BAGI seorang Muslim, iman adalah segalanya. Iman adalah aset paling berharga dan menjadi kriteria pertama diterima atau tidaknya amalan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya setiap aset berharga di dunia ini, ia selalu terancam bahaya. Banyak pihak yang mengintai dan ingin mencurinya. Maka tidak sedikit orang yang imannya lenyap, lalu mati dalam keadaan tidak memilikinya lagi. Tentu kita tidak ingin mengalaminya. Tetapi bagaimana menjaga iman supaya tidak hilang?

Dalam al-Qur`an, ketiadaan iman disebut juga dengan ketersesatan (dhalal). Dan, pada dasarnya tidak ada manusia yang disesatkan oleh Allah, kecuali orang-orang yang fasiq. Dengan kata lain, bila manusia telah menjadi fasiq, ia pasti akan tersesat.
Allah berfirman;

الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُولَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“…dan, tidak ada yang disesatkan dengannya kecuali orang-orang yang fasiq. (Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya, dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS: Al-Baqarah [2]: 27).

Menurut Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, ayat di atas menunjukkan bahwa tidak ada yang disesatkan kecuali orang-orang yang meninggalkan ketaatan kepada Allah, tidak mau menuruti perintah maupun larangan-Nya, dan melanggar perjanjian yang telah Allah buat dengan mereka. Dalam Tafsir Zadul Masir dinyatakan, di antara sifat orang fasiq adalah menyalahi isi al-Qur`an, memutuskan hubungan silaturrahim, dan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan.

Jelas bahwa kefasikan adalah kondisi ketika seseorang menelantarkan imannya, memperturutkan hawa nafsu, dan tidak mempedulikan hukum-hukum Allah. Ketika itulah imannya menjadi rapuh, lalu setan merampasnya. Maka, dalam al-Fiqh al-Akbar, Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak boleh kita katakan bahwa setan merampas iman dari hati seorang hamba yang mukmin secara paksa dan sewenang-wenang. Namun, kita katakan bahwa seorang hamba itu meninggalkan imannya sehingga pada saat itulah setan merampasnya.”

Dalam kitab Ihya’  'Ulumuddin Imam al-Ghazali menyatakan, keimanan sangat mudah goyah pada awal mula pertumbuhannya, apalagi di kalangan anak kecil dan kaum awam. Oleh karenanya iman harus selalu diperkokoh. Selanjutnya beliau berkata, “Jalan untuk menguatkan dan meneguhkan iman bukanlah dengan mempelajari kemahiran berdebat dan teologi (ilmu kalam), akan tetapi dengan (1) menyibukkan diri membaca al-Qur`an berikut tafsirnya, (2) membaca Hadits disertai maknanya, dan (3) menyibukkan diri dengan menunaikan berbagai tugas ibadah. Dengan demikian kepercayaannya senantiasa bertambah kokoh oleh dalil dan hujjah al-Qur`an yang mengetuk pendengarannya, juga oleh dukungan Hadits-hadits beserta faidahnya yang ia temukan, kemudian oleh pendar cahaya ibadah dan tugas-tugasnya. Hal itu juga diiringi dengan (4) menyaksikan kehidupan orang-orang shalih, bergaul dengan mereka, memperhatikan tindak-tanduk mereka, mendengar petuah-petuah mereka, juga melihat perilaku mereka dalam ketundukannya kepada Allah, rasa takut mereka kepada-Nya, serta kemantapan mereka kepada-Nya.”

Imam al-Ghazali kemudian mengibaratkan awal mula keimanan dengan menabur benih, sementara seluruh amal tersebut di atas merupakan upaya menyiram dan merawatnya. Sehingga akhirnya ia tumbuh berkembang, menjadi kuat dan meninggi sebagai pohon yang baik dan kokoh, akarnya teguh sedangkan cabang-cabangnya menjulang ke angkasa. Kelak buahnya pasti lebat dan menguntungkan, dengan seizin Allah.

Pernyataan diatas dapat kita pahami pula dari sisi sebaliknya. Bahwa, ketika seseorang mulai menjauh dari al-Qur`an, tidak mengenal Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kocar-kacir ibadahnya, dan memiliki lingkungan maupun teman bergaul yang rusak, berarti ia tengah menelantarkan imannya. Maka, boleh jadi, seperti kata Imam Abu Hanifah, setan pun akan merampasnya. Na’udzu billah!
Bila seseorang menjauhi al-Qur`an dan Hadits, maka akar-akar iman di hatinya pun mulai goyah. Rasulullah bersabda, “Sungguh telah aku tinggalkan di tengah-tengah kalian – selama kalian selalu berpegang teguh kepadanya – maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (Riwayat al-Hakim dari Ibnu ‘Abbas. Hadits shahih).

Bila tugas-tugas ibadahnya berantakan dan ia lalaikan, maka Allah pun akan mengacaukan hati dan kehidupannya, hingga terasa sempit dan menggelisahkan. Allah berfirman, “Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS: Thaha [20]: 124).

Bila hanya ada orang-orang jahat di sekitarnya, maka masing-masing hanya peduli pada urusan perut dan syahwat, lalu satu sama lain akan menghalangi dari akhirat.
Dikisahkan oleh al-Hafizh Ibnu Abi ad-Dunya dalam kitab al-Ikhwan, bahwa 'Atha' al-Khurasani pernah bertanya kepada Muhammad bin Wasi’, "Amal apakah yang paling utama di dunia ini?" Dijawab, "Menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara, apabila mereka saling bersahabat di atas kebajikan dan taqwa." Beliau melanjutkan, "Ketika itulah Allah akan menghadirkan kemanisan di antara mereka, sehingga mereka terhubung dan saling menyambungkan hubungan. Tiada kebaikan dalam menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara jika mereka menjadi budak dari perutnya masing-masing, sebab jika mereka seperti ini maka satu sama lain akan saling menghalangi dari akhirat.”

Oleh karenanya Allah mengajari kita sebuah doa agar iman dan hidayah senantiasa tertanam di hati dan tidak dilenyapkan-Nya.

رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu; Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (karunia).” (QS: Ali ‘Imran [3]: 8). 

Dari Anas Radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam  banyak mengucapkan doa:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

"Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu."
Anas Radhiallahu ‘anhu berkata, “Maka kami (para sahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan kepada wahyu yang engkau bawa, maka apakah engkau masih mengkhawatirkan kami?’

Beliau menjawab, ‘Ya, sesungguhnya hati itu berada di antara jari-jari Allah ‘Azza wa Jalla, Dialah yang membolak-balikkannya’.”









RAIH KEMULIAAAN DENGAN GEMAR MEMAAFKAN


DALAM berinteraksi dengan sesama, bukan tidak mungkin atau mungkin sering terjadi yang namanya salah paham, sehingga terjadi prasangka buruk, penilaian negatif, bahkan mungkin sampai terlontar ucapan yang tidak seharusnya.
Dalam kehidupan sosial, suasana atau peristiwa seperti itu sudah pasti pernah dialami oleh siapapun. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap Muslim untuk memahami bagaimana cara terbaik menghadapi situasi semacam itu. Apalagi, tatkala kesalahan tidak kita lakukan, tapi anggapan buruk atau mungkin hujatan menimpa diri dan keluarga kita.
Rasional manusia tentu akan mendorong untuk melakukan pembelaan atau bahkan mungkin perlawanan. Bagaimana tidak, sedangkan dirinya berada pada posisi yang benar, tetapi kemudian ada pihak yang memfitnah atau mungkin menyalahkan dan mencacinya.
Apabila hal itu terjadi, maka percekcokan, pertengkaran, bahkan mungkin pemusuhan dan perkelahian tak bisa terhindarkan.
Oleh karena itu, sebagai utusan Allah, manusia paripurna Rasulullah telah memberikan panduang praktis dan efektif untuk mengatasi problem perpecahan seperti itu, yakni dengan gemar memberikan maaf kepada siapapun yang telah merugikan atau bahkan sangat membencinya.
Kedholiman yang diterima Nabi
Alkisah, tidak lama setelah kerasulannya, Nabi Muhammad mengajak kaum Quraisy untuk memeluk agama tauhid (Islam). Anehnya, bukan disambut, beliau justru mendapat perlakuan buruk. Ada yang menuduhnya gila, tukang sihir, dan pemecah belah keluarga.
Karena begitu bencinya kepada Nabi, ada seorang kafir Quraisy yang setiap hari kerjanya hanya menanti Nabi di pinggir jalan. Ketika sosok manusia mulia itu lewat dihadapannya, seketika kafir Quraisy itu meludahi Nabi yang sangat dimuliakan Allah itu. Kejadian seperti itu bukan sekali dua kali, tetapi hampir setiap hari.
Tetapi, apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Beliau tidak bergeming dan tidak terjebak emosinya. Beliau tetap tenang dan tidak menyisakan secuil kebencian apalagi dendam di dalam hatinya.
Waktu pun bergulir, pada suatu waktu sang peludah tidak meludahi beliau. Setelah mendengar kabar bahwa tukang ludah itu sakit, seketika Nabi Muhammad menemui orang kafir itu. Sang peludah pun terkejut dengan kedatangan Nabi.
“Duhai betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap hari aku ludahi, justru dialah orang pertama yang menjenguk kemari.” Dengan menitikan air mata haru bahagia, tukang ludah itu bertanya, “Wahai Muhammad, kenapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?”
Nabi menjawab, “Aku yakin, engkau meludahiku karena engkau belum tahu tentang kebenaranku. Jika engkau mengetahuinya, aku yakin engkau tak akan lagi melakukannya”.
Mendengar ucapan bijak dari beliau, tukang ludah itu pun menangis dalam hati. Dadanya sesak, tenggorokannya serasa tersekat. Kemudian berujar, “Wahai Muhammad mulai saat ini aku bersaksi untuk mengikuti agamamu”. Tukang ludah itu pun mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Kemuliaan Memaafkan
Begitulah sosok Nabi Muhammad. Kedhaliman yang ditimpakan orang kepadanya, tak membuatnya gelap mata untuk membalas apalagi menyerang dengan kekuatan yang lebih besar. Beliau justru tenang dan tak sedikit pun enggan, apalagi keberatan untuk memberikan maaf.
Dan, seperti kita ketahui bersama, betapa sifat memaafkan itu sangat mulia dan efektif untuk mengajak orang lain merasakan keindahan ajaran Islam. bukti telah dicontohkan oleh Rasulullah.
Lantas, adakah pilihan terbaik selain meneladani kebijaksanaan Rasulullah dengan mudah memaafkan? Sedangkan pada sikap gemar memaafkan Allah tidak beri balasan melainkan kemuliaan di sisi-Nya.
إِن تُبْدُواْ خَيْراً أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُواْ عَن سُوَءٍ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ عَفُوّاً قَدِيراً
“Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Kuasa.” (QS:  an Nisa’ [4]: 149).
Terkait dengan ayat tersebut, Ibn Katsir dalam tafsirnya mengutip sebuah hadits. “Tidak berkurang harta disebabkan bershodaqoh dan tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba dengan pemaafannya kecuali kemuliaan. Dan barang siapa merendahkan diri kepada Allah, niscaya Allah mengangkatnya”.
Anjuran Untuk Memaafkan
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah  bersabda, “Barangsiapa yang didatangi  saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya, apakah ia berada dipihak yang benar ataukah yang salah, apabila tidak melakukan hal  tersebut (memaafkan), niscaya tidak akan mendatangi telagaku (di akhirat)." (HR Al-Hakim).
“Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan.” (HR Ath-Thabrani).
“Barangsiapa senang  melihat bangunannya  dimuliakan, derjatnya ditingkatkan, maka hendaklah dia mengampuni  orang yang bersalah kepadanya, dan menyambung (menghubungi) orang yang pernah  memutuskan hubungannya dengan dia.“ (HR: Al-Hakim).
“Jika hari kiamat tiba, terdengarlah suara panggilan, “Manakah  orang-orang yang suka mengampuni dosa  sesama manusianya?” Datanglah kamu kepada Tuhan-mu dan terimalah pahala-pahalamu .Dan menjadi hak setiap muslim  jika ia memaafkan kesalahan orang lain untuk masuk surga.” (HR:  Adh-Dhahak dari ibnu Abbas Ra)
Jadi, tidak ada pilihan mulia bagi setiap Muslim selain mau meminta atau memberi maaf. Sebab, sikap sombong dengan mengedepankan egoisme, tidak akan memberi dampak, melainkan kehinaan.
Padahal, Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Lantas, bagaimana kita mendambakan ampunan dan maaf dari-Nya, sementara kita sendiri enggan untuk mengamalkan perintah dan anjurannya.
وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nuur [24]: 22).
Pemaaf, Paling dicintai Allah
Memaafkan benar-benar mendatangkan kemuliaan tinggi di sisi Allah. Dalam sebuah hadits yang bersumber dari Ibn Umar, diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat di antara mereka.
Amalan yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan ke (dalam hati ) orang Muslim atau kamu menghilangkan satu kesedihan darinya atau engkau melunasi hutangnya atau megnhilangkan rasa lapar darinya.
Sejatinya aku berjalan bersama saudara sesama Muslim adalm satu kepentingan lebih kusukai daripada aku beri’tikaf sebulan di dalam masjid.
“Barangsiapa menahan amarahnya, niscaya Allah akan menutupi auratnya. Barangsiapa menahan emosinya, yang andaikata ia mau, ia bisa melampiaskannya, niscaya Allah memenuhi hatinya dengan ridha-Nya pada hari kiamat.
Dan siapa saja yang berjalan bersama saudaranya sesama Muslim dalam satu kepentingannya hingga Dia menetapkannya untuknya, niscaya Allah akan mengokohkan langkah kakinya pada hari turunnya segenap kaki, dan sejatinya perangai buruk benar-benar akan merusak amal sholeh bagaikan cuka merusak madu.” (HR. Tabhrani).
Jadi, tunggu apalagi, mari kita budayakan berani minta maaf dan ikhlas memberi maaf terhadap sesama, terhadap keluarga, istri, orang tua, anak, saudara, bahkan terhadap mereka yang sangat membenci kita sekalipun. Sebab tidak ada balasan dari sifat memaafkan selain kemuliaan di sisi Allah. Tidak kah kita hidup di dunia ini hanya untuk mendapat keridhoan-Nya?
  
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar