MEMAHAMI STRATEGI DEBAT PARA NABI
Sebagai agama rahmatan lil alamiin, Islam senantiasa menganjurkan
pemeluknya untuk bisa belajar Alquran, berpikir dan mendalami karakter
manusia di sekelilingnya.
Selain itu, manusia juga bertindak
dengan menggunakan ilmu dan strategi yang layak. Strategi tersebut harus
dipikirkan secara matang agar penerima pesan (komunikan) tidak salah
dalam menangkap dan menstimulasi pesan yang kita hantarkan.
Strategi
juga harus diramu sedemikian rupa karena kita menghadapi komunikan yang
tidak terhingga batasnya untuk mendukung ataupun menolak gagasan yang
kita utarakan.
Berbicara perihal ‘debat’, aktivitas ini sudah
banyak dilakukan oleh para Nabi terdahulu untuk melawan musuh-musuh
Allah yang jelas-jelas menentang dan menolak Allah. Namun demikian,
seburuk apa pun komunikan yang kita hadapi, di situlah ada sebuah cara
khusus untuk membuat komunikan mau menerima apa yang kita ungkapkan.
Mari
kita simak Surah Al-Baqarah ayat 61. “Dan (ingatlah), ketika kamu
berkata: ‘Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam
makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia
mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu
sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang
merahnya’.”
“Musa berkata, ‘Maukah kamu mengambil yang rendah
sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti
kamu memperoleh apa yang kamu minta…’ (QS. Al-Baqarah: 61).
Bani
Israil ialah salah satu kaum yang Allah abadikan nama dan sejarahnya.
Terkenal dengan sifatnya yang gemar membantah perintah para nabi. Bani
Israil pun terus berusaha menyulitkan Musa AS, memberinya tantangan,
serta terus bertahan dalam ketidakyakinannya terhadap Allah dan kenabian
Musa AS.
Menurut Surah Al-Baqarah ayat 61 di atas, Bani israil
terus mendesak Musa agar ia mau memberikan makanan lain selain manna dan
salwa. Lalu apa komentar Musa di atas? Adakah Musa geram lalu memarahi
kaumnya? Sama sekali tidak. Musa justru berkata, “Maukah kamu mengambil
yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu
kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta.”
Secara jelas,
Musa menganggap apa yang kaumnya minta adalah tindakan bodoh. Dan hanya
orang-orang bodoh saja yang mau menukar sesuatu yang baik dengan sesuatu
yang lebih rendah.
Contoh perdebatan lain ialah tentang kisah
Namrud dan Nabi Ibrahim. Kisah ini tertera dalam Surah Al-Baqarah ayat
258. Ibrahim berkata, "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan."
Orang itu berkata, "Aku dapat menghidupkan dan mematikan."
Ibrahim
berkata, "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka
terbitkanlah dia dari barat." Lalu terdiamlah orang kafir itu.
Pada
perdebatan contoh kedua, ada nilai etika Nabi Ibrahim AS yang harus
kita petik. Pertama, Ibrahim hanya memuji Tuhannya (Allah), seperti apa
yang terdapat di awal surah tersebut. Merasa tersaingi bercampur
ketidakpercayaan akan kenabian Ibrahim, Namrud tak mau kalah. Ia juga
menjawab bahwa ia mampu menghidupkan lagi. Raja Babilon yang bengis ini
akhirnya bingung, ia tentu tidak dapat menerbitkan matahari dari arah
yang berlawanan tempat biasa Allah menerbitkannya.
Dari dua
contoh di atas, sedikit banyak memberikan kita motivasi bahwa setiap
orang dapat menerima argument kita jika kita sudah mengantongi strategi
apa yang akan dikeluarkan agar meeka luluh. Dan yang lebih penting,
menjauhi pertikaian dan kekerasan baik secara verbal maupun non verbal.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS. An-Nahl:
30). Wallahu a’lam.
MALULAH PADA ALLAH
“Dan milik Allah timur dan barat. Ke manapun kalian menghadap di sanalah
wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS [2]: 115).
Jika
Anda sedang mandi dan tiba-tiba muncul wajah seseorang di hadapan Anda,
bagaimana rasanya? Tidak malukah Anda? Tidakkah segera Anda berusaha
menutupi aurat Anda?
Setiap saat wajah Pencipta hadir dalam
seluruh episode kehidupan kita. Dalam ketelanjangan kita menjalankan
perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai perintah-Nya, bahkan melawan
larangan-Nya.
Tidak malukah kita? Ataukah kita berpikir Allah
sedang mengantuk dan tertidur? Padahal, Allah menegaskan, “Allah, tidak
ada ilah selain Dia. Yang Mahahidup, yang terus-menerus mengurus
(makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS [2]: 255).
Atau,
kita berpikir Allah tidak melihat? Padahal, “Bagi Allah, tidak ada
sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit.” (QS [3]: 5).
Jangan-jangan kita berpikir Allah tidak menyadari apa yang sedang
terjadi?
Padahal, Allah menantang manusia, “Dan rahasiakanlah
perkataan kalian atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Mahamengetahui segala
isi hati. Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui?
Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui.” (QS [67]: 13-14).
“Dan kunci
semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia
mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada selembar daun
pun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun
dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering,
yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS
[6]:59).
Naudzubillaahi min dzaalik. Tanpa sadar kita telah
mengecilkan Dia Yang Mahabesar. Tanpa sadar kita telah menyunat dan
mengerdilkan iman kita sendiri.
Dia Yang Mahatahu apa yang
dilahirkan maupun yang disembunyikan. Kita dapat menutupi aurat dari
pandang an manusia, tetapi kita tak mungkin menutupi cela kita dari Dia
yang Maha Melihat dan Mendengar.
Dari Dia yang selalu menghisab
hamba-hamba-Nya. “Milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi. Jika kalian menyatakan apa yang ada di hati kalian atau kalian
sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu)
bagi kalian. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa
yang Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS [2]: 284).
Karenanya,
janganlah malu pada dunia, malulah pada Pemilik dunia. Jika malu pada
dunia, Anda takkan malu jika tak ada wajah yang hadir. Jika malu kepada
Pemilik dunia, Anda akan menjaga perbuatan di mana pun dan kapan pun.
Ada maupun tak ada orang lain. Itulah yang disebut muraqabah, yakni
selalu merasa diawasi oleh Allah.
Nabi SAW bersabda,
“Beribadahlah engkau kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.
Kalaupun engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat
engkau.” Jadi, malulah kepada Allah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar