MENDIDIK DENGAN KELEMBUTAN
Suatu hari, Rasulullah SAW didatangi seorang perempuan yang bernama
Sa’idah binti Jazi. Ia membawa anaknya yang baru berumur satu setengah
tahun.
Rasul kemudian memangku anak tersebut. Tiba-tiba, si anak
kencing (mengompol) di pangkuan Rasulullah SAW. Spontan, sang ibu
menarik anaknya dengan kasar.
Seketika itu juga, Rasulullah SAW
menasihatinya. “Dengan satu gayung air, bajuku yang terkena najis karena
kencing anakmu bisa dibersihkan. Akan tetapi, luka hati anakmu karena
renggutanmu dari pangkuanku tidak bisa diobati dengan bergayung-gayung
air,” ujar Rasul.
Kisah tersebut memberikan pelajaran (ibrah)
berharga kepada kita, para orang tua, dan pendidik bahwa Rasulullah SAW
secara tegas melarang melakukan pendekatan dengan kekerasan dalam
mendidik anak.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda,
“Hendaknya kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang, dan hindarilah
sikap keras dan keji.” (HR Bukhari).
Rasulullah juga telah
mencontohkan sikap lemah lembut dalam memperlakukan (mendidik)
anak-anak. Sebab, bagi seorang anak, kelembutan dan kasih sayang orang
tua (dan guru) merupakan sumber kekuatan yang bisa menggugah
perasaannya. Kehangatan yang diberikan akan melahirkan ketenangan,
kepercayaan, juga hubungan batin yang kuat antara seorang anak dan orang
tuanya atau bahkan gurunya.
Dari As-Saib ibnu Zaid ketika dia
masih anak-anak, ia menuturkan, “Aku melihat Rasulullah SAW, aku dan
beberapa orang anak lainnya yang sebaya denganku masuk menemuinya.
Ternyata, kami jumpai beliau sedang makan buah kurma dari sebuah
keranjang bersama dengan beberapa orang sahabatnya. Melihat kedatangan
kami yang masih anak-anak, beliau bangkit, lalu memberikan kepada
masing-masing dari kami segenggam kurma dari keranjang itu sembari
mengusap kepala-kepala kami.” (HR Thabrani).
Yang pasti, Islam
tidak mengajarkan pola pendidikan dengan cara kekerasan. Sebaliknya,
Islam justru sangat menekankan pola pendidikan yang lemah lembut dan
penuh kasih sayang. Bahkan, dalam urusan dakwah pun, setiap dai
diperintahkan untuk menyeru umat manusia dengan cara yang lembut,
bijaksana, dan memberikan nasihat yang baik. (QS an-Nahl [16]: 125).
“Maka,
disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad,
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang
yang bertawakal kepada- Nya.” (QS Ali Imran [3]: 159).
Melalui
pendekatan lemah lembut ini, diharapkan dapat membentuk jiwa anak yang
siap untuk menerima, merespons, dan melaksanakan setiap panggilan
kebaikan dengan penuh ke sa daran, bukan keterpaksaan. Wallahu a’lam.
MEMBUKA PINTU SURGA
Tidak seperti biasanya, hari itu Ali bin Abi Thalib pulang lebih sore menjelang Ashar.
Fatimah
binti Rasulullah, istrinya menyambut kedatangan suaminya yang sehari
suntuk mencari rezeki dengan sukacita. Siapa tahu Ali membawa uang lebih
banyak karena kebutuhan di rumah makin besar.
Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah. "Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang sepeser pun."
Fatimah
menyahut sambil tersenyum, "Memang yang mengatur rezeki tidak duduk di
pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah Ta'ala."
"Terima
kasih," jawab Ali. Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakal.
Padahal, persediaan dapur sudah ludes sama sekali. Toh, Fatimah tidak
menunjukan sikap kecewa atau sedih.
Ali lalu berangkat ke masjid
untuk menjalankan shalat berjamaah. Sepulang dari masjid, di jalan ia
dihentikan oleh seorang bapak tua.
"Maaf anak muda, betulkah engkau Ali anaknya Abu Thalib?" tanya lelaki tua itu
Ali menjawab heran. "Ya, betul. Ada apa, Tuan?''
Orang
tua itu merogoh kantongnya seraya menjawab, "Dahulu ayahmu pernah
kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar ongkosnya, ayahmu
sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli
warisnya."
Dengan gembira Ali mengambil haknya dari orang itu sebanyak 30 dinar.
Tentu
saja Fatimah sangat gembira memperoleh rezeki yang tidak di
sangka-sangka ketika Ali menceritakan kejadian itu. Dan ia menyuruh
membelanjakannya semua agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan
keperluan sehari-hari.
Ali pun bergegas berangkat ke pasar.
Sebelum masuk ke dalam pasar, ia melihat seorang fakir menadahkan
tangan, "Siapakah yang mau mengutangkan hartanya untuk Allah,
bersedekahlah kepada saya, seorang musafir yang kehabisan bekal di
perjalanan."
Tanpa pikir panjang lebar, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu.
Pada
waktu ia pulang dan Fatimah keheranan melihat suaminya tidak membawa
apa-apa, Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya.
Fatimah,
masih dalam senyum, berkata, "Keputusan kanda adalah yang juga akan
saya lakukan seandainya saya yang mengalaminya. Lebih baik kita
mengutangkan harta kepada Allah daripada bersifat bakhil yang
dimurkai-Nya, dan menutup pintu surga buat kita."
CUKUP ALLAH SAJA BUKAN YANG LAIN
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang biasa kamu panggil, kecuali Dia…” (QS Al-Israa: 67).
Biasakan hanya mencari Allah. Biasakan hanya bersandar kepada Allah. Biasakan hanya perlu dan memohon kepada Allah SWT.
Menjelang
tahun 2000, saya mendatangi kawan yang tinggal di Bogor. Sekitar 14 jam
perjalanan bolak-balik dari Ketapang ke Bogor dan dari Bogor ke
Ketapang. Saat itu tidak ada kendaraan pribadi. Niat saya hanya satu,
mau pinjam uang dengan kawan saya ini sebesar Rp 30 juta.
Sesampainya
di sana, Allah mengajarkan saya melalui pemandangan yang sedang saya
lihat. Toko yang sekaligus jadi rumah kawan saya ini sedang dalam proses
sita. Saya yang datang ingin meminjam, menjadi tertegun.
Ternyata
dia mendapat masalah. Saya yang dalam keadaan serbasalah, sempat
ditanya olehnya. “Makasih ya Suf, mau datang. Yah, beginilah hidup.
Ngomong-ngomong, ada perlu apa nih?” ujarnya.
Saya jawab sambil
berusaha senyum. “He he, mau pinjam tadinya ...” kata saya. Spontan, dia
pun langsung bertanya, “Berapa?” kata dia. Dan saya pun langsung
menjawab ingin meminjam sebesar Rp 30 juta. Mendengar jawaban saya, dia
pun langsung tertawa seraya berkata, “Sama Suf. Saya juga butuh segitu,”
jawabnya.
Pelajaran yang berharga buat saya. Jika mendatangi
orang, ya kayak gitu deh. Bisa membantu pun belum tentu sesungguhnya
bisa membantu. Hanya Allah semata yang kalau kita datangi, Dia yang tak
punya masalah, Dia nggak punya beban, Dia nggak punya kesulitan, dan Dia
selalu menerima tanpa bosan, tanpa menggerutu, tanpa mengeluh ketika
seringnya kita datang.
Hanya Dia, yang jika Dia menyapa kita
dengan ujian dari-Nya, lalu Dia ingin mendengar rintihan kita. Allah
ingin mendengar doa kita. Rintihan dan doa dari seorang yang mengetahui
bah wa dirinya tidak mampu dan tidak ada yang bisa menolong kecuali Dia.
Rintihan dan doa yang datang dari seorang hamba yang mengetahui
bahwa Dia pasti bisa membantu dan tidak ada Tuhan yang disandarkan lagi
seluruh persoalan kecuali kepada-Nya.
Pengalaman berharga
menjelang tahun 2000 itu, membuat saya berpikir sesal namun senang.
Mengapa saya datang jauh-jauh kepada manusia? Tapi saya tidak menyesal.
Saya jadi tahu, memang saya salah datang. Saya datang kepada manusia
yang pastinya sama-sama punya masalah, punya kebutuhan dan keperluan.
Alhamdulillah,
Allah yang Mahamemberi hikmah. Sejak saat itu saya memosisikan diri
seperti orang yang sedang terkena badai di tengah lautan, langsung
memanggil dan memohon kepada Allah, dan hanya Allah. Sebab, memang tiada
yang lain.
Untuk itu, wahai saudaraku, segeralah temui Allah.
Allah ada di masjid, segeralah ke masjid, shalat berjamaah tepat waktu.
Kembali lagi baca Alquran, keluarkan sedekah di saat sulit atau sedang
lapang, dan cintai ibadah-ibadah sunah. Terima seluruh kesulitan dan
kesusahan dengan penuh keikhlasan dan rida (mengharap) hanya kepada-Nya.
Wallahu a’lam.
KEIMANAN DAN RASA MALU
Dalam sebuah hadis riwayat Imam Hakim dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW
bersabda, “Sesungguhnya rasa malu (untuk melakukan perbuatan buruk) dan
keimanan adalah dua hal yang selalu digandengkan dan dikaitkan. Apabila
diangkat salah satunya maka akan diangkat pula yang lainnya.”
Sabda
Rasulullah SAW tersebut menggambarkan dengan jelas tentang salah satu
konsekuensi iman yang sangat penting, yakni terbangunnya rasa malu
dengan kuat untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela dan
merusak. Apabila rasa malu itu hilang, akan hilang pula kekuatan
keimanan yang menyertainya.
Koruptor yang merampok dan
meng-gashab uang negara untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya,
sesungguhnya adalah orang yang kehilangan rasa malunya. Dengan demikian,
hilang pula keimanan yang ada pada dirinya.
Karena itu,
tidaklah mengherankan jika para koruptor yang jelas-jelas melakukan
kejahatan itu masih berkelit dari dosa yang dilakukannya, mencari
pembelaan dan pembenaran, dan berpenampilan seperti orang yang tidak
pernah melakukan kesalahan, bahkan masih bisa mengumbar senyum dan
tertawa di depan umum (misalnya di depan kamera).
Para pelajar
yang tawuran dengan brutal dan berani melakukan perbuatan merusak itu,
juga karena hilangnya rasa malu dan keimanan yang dimilikinya. Tidak
heran jika setelah melakukan penusukan dan pembunuhan, dia merasa puas
terhadap perbuatannya tersebut.
Para wanita yang membuka auratnya
lebar-lebar di depan publik (untuk maksud dan tujuan apa pun), dan
tampak berbangga dengan perbuatannya itu pada dasarnya telah kehilangan
rasa malunya dan kehilangan pula keimanan yang dimilikinya.
Dalam
hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW
menyatakan, “Apabila engkau sudah tidak punya rasa malu, maka engkau
akan melakukan berbagai macam perbuatan tanpa kendali apa pun
(sekehendak hati).”
Dari hadis tersebut dan jika dikaitkan dengan
berbagai kejadian di Tanah Air saat ini, maka pendidikan di dalam
keluarga maupun di sekolah seyogianya ditekankan pada penguatan keimanan
yang melahirkan rasa malu untuk melakukan perbuatan yang merusak, baik
bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Ibadah-ibadah yang
disyariatkan oleh ajaran Islam, seperti tergambar dalam rukun Islam,
hakikatnya adalah membangun kesadaran beriman dan bertauhid, merasa
terus-menerus dilihat dan diawasi Allah (muraqabah), sehingga akan
merasa malu (karena Allah) jika melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan syariat dan ketentuan-Nya.
Tentu semua ini harus berjalan
beriringan dengan contoh dan keteladan yang baik dari para orang tua,
para guru, para tokoh masyarakat, maupun para pejabat publik lainnya.
Wallahu a’lam bish shawab.
KERJA DAN PEKERJA
Bekerja merupakan kewajiban mulia atas setiap insan agar bisa hidup
layak dan terhormat. Bekerja dengan sungguh-sungguh mendapatkan posisi
istimewa karena dianggap bisa melebur dosa-dosa yang tak bisa dihapus
dengan ibadah mahdhah.
Rasulullah SAW pernah menjabat tangan
seorang buruh yang bengkak karena kerja keras, lalu menciumnya seraya
berkata, “Inilah tangan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.”
Bekerja
dalam Islam dilihat dari kualitas. Buruh yang baik adalah yang berusaha
meningkatkan kualitas kinerjanya. (QS Al-An'am [6]: 132). Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya Allah senang bila salah seorang dari kamu
bekerja dengan kualitas tinggi.”
Islam sebagai agama rahmatan lil
alamin memerhatikan hak dan kewajiban buruh dan meletakkan beberapa
aturan. Pertama, Islam menuntut agar buruh selalu bertakwa dalam setiap
situasi dan kondisi. Ketakwaan ini akan mendorongnya untuk melaksanakan
tugasnya dengan baik dan berusaha membersihkan dirinya dari berbagai
niat jahat.
“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia
akan memberikan jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari arah
yang tidak disangka-sangkanya.” (QS Ath-Thalaq [65]: 2-3).
Kedua,
Islam menganjurkan kepada setiap buruh bekerja secara profesional.
Kualitas kerja tak mungkin terealisasi, kecuali dengan ilmu pengetahuan
dan keterampilan tinggi. Ketiga, menanamkan semangat kompetisi sehat
dengan memberikan kebebasan untuk memilih pekerjaannya sesuai dengan
keahliannya.
Keempat, Islam melarang membebani buruh di luar
batas kemampuannya. Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu sekalian
membebani buruh dengan tugas yang dia tidak kuat memikulnya.”
Islam
menganjurkan perusahaan agar memberikan bantuan dan rangsangan kepada
buruh bila memberikan tugas tambahan. “Bila kamu sekalian membebani
mereka maka berilah dorongan dan bantuan.”
Kelima, memerhatikan
kebutuhan primernya, baik keamanan, loyalitas, penghargaan, informasi,
pengetahuan, keindahan, aktualisasi diri, dan kebutuhan rohaninya.
Keenam,
Islam menganjurkan supaya dibuat kesepakatan kerja antara pengusaha
dengan buruh. Kesepakatan ini meliputi hak-hak dan kewajiban
masing-masing, termasuk masalah upah dan pekerjaan yang harus
dilaksanakannya.
Rasulullah bersabda, “Barang siapa mempekerjakan
seorang buruh hendaknya memberitahukan terlebih dahulu berapa jumlah
upahnya.” Tujuannya, agar seorang buruh memiliki motivasi kerja yang
tinggi. Dalam hadis lain dikatakan, “Berikanlah upah buruh sebelum
kering keringatnya.”
Islam sangat menjamin hak-hak pengusaha.
Kesepakatan antara buruh dan pengusaha merupakan sumpah yang harus
ditunaikan oleh masing-masing. Hal ini juga menjadi alat pengontrol
dalam melaksanakan kewajibannya. Seorang buruh juga harus berpegang pada
janjinya dalam bekerja. (QS Al-Maidah [5]: 1).
Dalam ayat lain,
Allah mengingatkan, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,
yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka
minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang
lain mereka mengurangi.” (QS Al-Muthaffifin [83]: 1-3). Wallahu a'lam.
AMALAN YANG TERBAIK
Alquran dan sunah Nabi SAW telah mengajarkan berbagai macam amal
kebajikan sebagai bentuk ibadah seorang hamba kepada Allah untuk
memperoleh surga-Nya.
Dalam Alquran terdapat banyak ayat yang menjelaskan jenis kebajikan.
“Kebajikan
itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan
kebajikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, hari kiamat,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir,
peminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, orang yang melaksanakan
shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menunaikan janjinya, serta
orang-orang yang sabar ketika dalam kemelaratan, penderitaan, dan
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan bertakwa.” (QS
al-Baqarah [2]:177).
Dalam masalah tingkatan iman, Nabi SAW
membaginya pada lebih dari 70 cabang. Cabang yang paling tinggi adalah
kalimat tauhid la ilaha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah).
Sedangkan, cabang iman yang paling rendah adalah membuang duri atau
rintangan di jalan (HR Jamaah dari Abu Hurairah).
Demikianlah
Alquran dan sunah Nabi SAW yang banyak menjelaskan macam-macam amal
ibadah dengan kedudukan dan keutamaan yang berbeda-beda. Ada yang wajib,
sunah, yang asas, dan yang cabang. Selain itu, ada pula yang berfungsi
sebagai rukun dan syarat sah ibadah, ada juga yang lebih tinggi
kedudukannya dari ibadah yang lain.
Berkaitan dengan ini, para
sahabat sering bertanya kepada Rasul SAW tentang amalan yang paling
utama dan dianjurkan dalam Islam. Misalnya, pertanyaan Abdullah bin
Masud ra tentang amalan yang paling disukai Allah. Rasul menjawab,
“Shalat pada waktunya, berbuat baik kepada ibu bapak, dan jihad di jalan
Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).
“Maukah aku ingatkan kalian
dengan suatu amalan yang paling baik; amalan yang paling suci pada apa
yang kalian miliki, paling tinggi derajatnya; lebih baik dan utama bagi
kamu sekalian daripada menginfakkan emas; lebih baik bagi kamu sekalian
daripada kalian berhadap-hadapan dengan musuh, kalian pukul lehernya dan
mereka pun memukul leher kalian?” Para sahabat menjawab, “Tentu kami
mau, ya Rasulullah.” Lalu Nabi bersabda, "Mengingat Allah.” (HR
Tirmidzi).
Jika disimpulkan, perbuatan yang dapat digolongkan
dalam amalan paling super adalah mengucapkan kalimat tauhid, menjaga
rukun iman dan Islam, berzikir (mengingat Allah), bersedekah dengan
harta yang dicintainya, shalat pada waktunya, berbuat baik kepada orang
tua, dan berjihad di jalan Allah (dengan maknanya yang sangat luas).
Di
samping itu, masih ada amal perbuatan yang patut digolongkan dalam
amalan yang paling super (terbaik), yaitu menciptakan kedamaian. Bahkan,
kedudukan amalan ini lebih utama daripada derajat ibadah shalat, puasa,
dan zakat.
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang suatu
amalan yang lebih utama daripada derajat shalat, puasa, dan sedekah?
Yaitu, menciptakan kedamaian (merukunkan) antara manusia sebab kerusakan
hubungan di antara manusia adalah pembinasa agama.” (HR Ahmad, Abu
Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban). Wallahu'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar