DINAMIKA MIGRASI DALAM ISLAM
Fenomena migrasi dalam sejarah peradaban Islam memang tidak asing.
Konsep formal migrasi terinspirasi dari hijrah yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW beserta para sahabat menuju Madinah.
Peristiwa tersebut terjadi pada 622 M. Pada tulisan Islam awal, hijrah memang sangat menonjol.
Menurut
Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern karya John L Esposito, satu kubu
ulama memandang hijrah sebagai sebuah peristiwa, sedangkan sebagian
lainnya, terutama akhir abad pertengahan mengatakan, Muslim yang tak
memiliki peluang dan kesulitan mempraktikkan Islam, maka ia harus
berhijrah ke negara yang lebih kondusif.
Ketika Islam menyebar ke
belahan dunia, terjadi penurunan frekuensi migrasi. Eskalasi migrasi
kembali meningkat ketika negara-negara Kristen menguasai beberapa
wilayah yang sebelumnya dikuasai Muslim.
Ini bisa terlihat saat
Granada jatuh pada 1492 M. Terjadi eksodus besar-besaran oleh Muslim
untuk meninggalkan Semenanjung Iberia menuju Afrika Utara.
Pada
akhir abad ke-18, pendiri legendaris kekhalifahan Sokoto Nigeria, Usman
Dam Fodio, memacu kaum Muslim melawan Raja Hausa yang kafir dengan
menaikkan panji kembar, yaitu hijrah dan jihad.
Kekecewaan
terhadap Kekhalifahan Usmaniyah memunculkan akibat ekstrem, antara lain
di India. Gerakan khalifah yang dimulai setelah Perang Dunia I oleh
ulama nontradisional, pada intinya adalah protes terhadap kekuasaan
Inggris yang sangat menekan dunia Muslim.
Referendum untuk Muslim
dan dipertahankannya Kekhalifahan Usmaniyah sebagai simbol dan pucuk
pimpinan Islam dunia dalam kasus India, keluar ketika itu. Sekitar 18
ribu Muslim memutuskan migrasi ke Afghanistan.
Ratusan mati
akibat kelelahan dalam perjalanan, sebagian ditolak oleh milisi
perbatasan Afghanistan, dan tak sedikit yang meregang nyawa dalam
perjalanan kembali ke India.
Pada awal abad ke-19, ribuan orang Aljazair, pergi sebelum kedatangan
tentara Prancis di Libya yang terletak tak jauh dari kawasan itu.
Pada
saat yang sama, Rusia menekan Kesultanan Usmaniyah dari Utara. Hal ini
menimbulkan banjir pengungsi Muslim ke arah wilayah kekuasaan Usmaniyah.
Setelah 1812, otoritas Rusia, semakin berusaha menyingkirkan
populasi Muslim dari tanah jajahan dengan mendorong atau memaksa
emigrasi.
Istilah hijrah, masih digunakan untuk situasi dari Asia
Selatan hingga Tanah Balkan. Kaum Muslim Asia Tengah yang menetap di
Afghanistan semasa 1920-an, setelah gagal memberontak terhadap kekuasaan
Rusia-kelak Soviet-di Turkestan, dikenal di daerahnya sebagai
muhajirin.
Demikian pula, para pengungsi Muslim India yang hijrah ke Pakistan pada 1947, menyebut diri mereka muhajirin.
Entitas
politik Islam yang utama dalam sejarah kontemporer, yakni Kesultanan
Usmaniyah. Mereka memegang standar yang bebas. Para imigran Muslim awal
diterima akibat tugas agama, tetapi hal ini juga mencerminkan praktik
Usmaniyah tradisional untuk memberikan suaka cuma-cuma bagi Muslim
ataupun non-Muslim.
Hal itu diresmikan dalam hukum Imigrasi 1857
(Muhacirin Kanunnamesi). Regulasi itu tak membedakan antara imigran dan
pengungsi, tetapi menggunakan istilah turunan kata muhajir untuk
keduanya.
Para pendatang baru diberi sepetak tanah negara,
sebagian dibebaskan dari pajak dan pengabdian militer. Sebuah komisi
(Muhacirin Ko misyonu) dibentuk untuk menerima mereka. Antara lima
hingga tujuh juta jiwa tiba pada 1860-1940. Pada 1860 populasi Usmaniyah
meningkat sekitar 40 persen.
Di Dunia Islam Kontemporer, nasib orang Palestina menjadi unsur pendefinisian konsep pengungsi.
Seperti
dinukilkan dari Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern karya John L
Esposito, eksodus orang Arab dari bagianbagian Palestina yang dikuasai
oleh Zionis Israel pada 1948-1949 berjumlah sekitar 700 ribu jiwa.
Seperempat
juta lain pindah akibat perang 1967. Perang Teluk 1990-1991 menciptakan
perpindahan lagi karena sebagian besar dari 350-400 ribu warga
Palestina yang bekerja di Kuwait lari atau diusir ke Yordania.
Dalam kurun waktu itu pula, populasi Palestina yang mencapai hampir enam juta berada dalam tiga kategori besar.
Di
seluruh Israel, terdapat 730 ribu orang Palestina, 150 ribu orang
adalah para imigran tetapi tak memiliki status pengungsi dari UNRWA,
sebuah badan khusus PBB yang ditunjuk untuk menangani pengungsi
Palestina.
Ketika masalah pengungsi Palestina memasuki fase baru
dalam persetujuan Israel-PLO pada 1993, populasi pengungsi Muslim lain
muncul ke pusat perhatian internasional. Perang antara republik bekas
Yugoslavia memaksa terusirnya minoritas etnis besar-besaran.
Pada
1992, Muslim Bosnia menjadi sasaran utama pasukan Serbia, lalu Kroasia
yang berusaha menciptakan homogenitas entis di wilayah masing-masing
yang membesar.
Ketika Bosnia-Herzegovina sebelum perang, Muslim
membentuk 44 persen populasi, atau 1,8 juta jiwa. Pada akhir 1993, hanya
satu juta lebih sedikit yang tinggal. Sementara, Muslim yang lainnya
terpaksa mengungsi, terutama ke Kroasia dan negara Eropa Barat, atau
terbunuh.
Pada awal 1990-an, terdapat sekitar 18 juta pengungsi
internasional di seluruh dunia. Sebanyak dua pertiga dari total itu
diprediksikan ialah komunitas Muslim. Bagian terbesar terdapat di
Afrika, termasuk konsentrasi besar di Horn Muslim.
Sejak 1970-an, perang, kemarau, dan kerusakan lingkungan telah mengubah jutaan orang menjadi pengungsi.
Tak
sedikit Muslim mencari suaka di daerah Muslim, tetapi pertalian etnis
lintasperbatasan, politik, dan kedekatan geografis juga penting dalam
menentukan pola pelarian dan perlindungan.
Ambil contoh, di
Sudan, Pemerintah Islam sama-sama menerima pengungsi Kristen maupun
Muslim dari Etiopia, Kenya, yang sedikit penduduk Muslimnya, serta
memberi suaka bebas bagi Muslim dari Somalia.
Negara-negara
Muslim Afrika, seperti negara Afrika pada umumnya, telah menandatangani
instrumen hukum PBB yang melindungi pengungsi, terutama Konvensi 1951
atau protokol 1967.
Timur Tengah, pada awal 1990-an, telah
menerima beberapa kelompok pengungsi selain penduduk Palestina. Dua
kelompok berikut adalah generasi pengungsi lama dan berangsur lenyap,
serta orang asal Eropa yang tak bernegara (sebagian besar Rusia Putih
dan Armenia). Mereka tersebar dari Mesir hingga Maroko.
Di Timur
Tengah ini biasanya para pengungsi Muslim meminta suaka dari negara
Muslim. Karena jumlahnya besar, arus ini merupakan tantangan terbesar
dan beban dengan potensi terberat. Suaka jarang ditolak sebagaimana
kebanyakan negara Afrika.
Kecuali, negara-negara Teluk Arab yang
ketat secara tradisional. Yaman, berhadapan dengan Tanduk Afrika,
menerima ribuan orang Etiophia dan Somalia sebelum mereka meneruskan
perjalanan.
Aljazair menerima lebih dari sepuluh tahun sekitar
200 ribu orang Syahrawi. Iran menerima 2,3 juta pengungsi Afghanistan
setelah 1978. Terutama, sesama Muslim Syiah yang berbahasa Persia.
Di
Asia, penggiran luar Dunia Islam, pengungsi Muslim adalah minoritas
yang tertindas atau melakukan perlawanan menghadapi kekuatan negara
pusat. Misalnya, kaum Arakan di Myanmar, suku Moro di Filipina Selatan,
dan Kazakhstan di Cina.
Lebih dekat lagi ke tanah pusat Muslim
di Asia Selatan dan Barat, pengungsi muncul karena negara Muslim
diciptakan, seperti Pakistan, atau mengalami kerusuhan sosial besar,
seperti Afghanistan.
MUSLIMAH PEMBERANI
Pada zaman Rasulullah SAW hiduplah seorang Muslimah yang pemberani.
Ia juga dikenal sebagai seorang Muslimah yang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap keluarga Nabi Muhammad SAW.
Wanita
mulia yang dikenal dengan sebutan Ummu Ri'lah Al-Qusyairiyah itu juga
turut memperjuangkan hak-hak kaum perempuan agar memiliki peran yang
sama dengan kaum Adam dalam beribadah dan meraih kemuliaan di hadapan
Allah SWT.
Kisah Ummu Ri'lah tercatat dalam sebuah hadis dari
Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Al-Mustaghfiri dan Abu Musa melalui
jalan (sanad) yang berbeda satu sama lain, namun bertemu pada sanad
terakhirnya, Abdullah bin Abas.
Hadis itu mengisahkan seorang
wanita yang sangat diplomatis, yakni Ummu Ri'lah. Suatu hari, Ummu
Ri'lah datang menghadap Nabi Muhammad SAW, lalu berkata,
''Assalamu'alaikum, wahai Rasulullah. Kami para wanita, selalu tertutup
di balik tirai rumah, tempat sarung-sarung suami, mendidik anak-anak,
sementara kami tak memiliki tempat bersama para tentara.''
Ummu
Ri'lah kemudian melanjutkan perkataannya, ''Maka ajarilah kami sesuatu
yang dengannya kami bisa mendekatkan diri kepada Allah.''
Rasulullah
SAW pun menjawab, ''Berzikirlah kalian (para wanita) sepanjang siang
dan malam, tahanlah pandangan dan kecilkan suara.''
Wanita
pemberani itu lalu bertanya, ''Wahai Rasulullah, saya seorang penghias,
selalu menghiasi para istri untuk suami mereka. Apakah itu adalah
perbuatan dosa, sehingga saya harus menghentikannya?''
Nabi
Muhammad SAW menjawab, ''Wahai Ummu Ri'lah, buatlah mereka bersolek dan
hiasilah para perempuan juga jika belum mendapat jodoh.''
Keberanian
seorang Ummu Ri'lah untuk memperjuangkan hak-hak kaum wanita agar
memiliki derajat amal yang sama dengan kamu pria yang berjihad di jalan
Allah di hadapan Allah SWT sungguh terbilang fenomenal. Ia merasa peran
wanita yang sebatas hanya di rumah kurang pas.
Ummu Ri'lah menyayangkan tidak diikutsertakannya wanita dalam perang di jalan Allah SWT yang pahalanya begitu besar.
Dengan
diplomatis, ia pun lantas bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang peran
apa yang harus dilakukan perempuan agar memiliki kedudukan yang sama
dengan kaum Adam di hadapan sang Khalik.
Muhammad Ibrahim Salim
dalam bukunya “Perempuan-Perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW”,
menuturkan, upaya Ummu Ri'lah itu mampu menjelaskan ajaran Islam yang
menempatkan wanita sesuai kodratnya.
''Islam menempatkan
kedudukan Muslimah yang senantiasa berzikir sepanjang hari, menahan
pandangannya (dari hal-hal yang diharamkan) dan merendahkan suaranya,
dengan kaum lelaki yang berperang di jalan Allah SWT,'' papar Ibrahim
Salim mengutip hadis Rasulullah SAW.
Ummu Ri'lah sempat
menghilang selama hidup Rasullah SAW dan baru terlihat kembali ke
Madinah setelah Nabi SAW wafat, pada masa munculnya orang-orang murtad.
''Dia merasakan kesedihan yang teramat dalam atas wafatnya Nabi Muhammad
SAW,'' tutur Ibrahim Salim.
Ummu Ri'lah lalu membawa Hasan dan
Husein cucu Rasulullah SAW mengelilingi lorong-lorong Kota Madinah
sembari menangis dan melantunkan sebuah syair: ''Wahai rumah Fatimah
yang halamannya selalu damai. Sekarang rumah tersebut membangkitkan
kesedihanku—setelah sekian lama—aku hidup di rumah tersebut.''
Sejak
itu, rumah-rumah di setiap sudut Kota Madinah larut dalam tangis dan
duka. Menurut Ibrahim Salim, Ummu Ri'lah bukan hanya seorang Muslimah
yang pemberani, lebih dari itu ia juga seorang figur yang memiliki
loyalitas tinggi terhadap keluarga Nabi Muhammad SAW.
Keberaniannya
untuk bertanya kepada Rasulullah tentang hak perempuan untuk mendapat
kemuliaan yang sama dengan kaum pria yang berjihad di jalan Allah
merupakan bukti kecerdasan dan kemuliaan Ummu Ri'lah. ''Tipe Muslimah
seperti ini hendaknya diteladani oleh kaumnya,'' kata Ibrahim Salim.
Setiap
kisah perempuan-perempuan mulia di sekitar Rasulullah SAW memberikan
sebuah pelajaran berharga bagi para Muslimah di era modern ini. Yang
dituntut Ummu Ri'lah bukanlah kesetaraan untuk sama dengan kaum pria
secara kodrat, tetapi kesetaraan untuk beribadah dan meraih pahala dan
kemuliaan di hadapan Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar