Powered By Blogger

Selasa, 16 Oktober 2012

HADIST


Taisir Musthalah Hadits 2: Pengertian Musthalah Hadits dan Pembagian Khabar Berdasarkan Jalan Periwayatan

Semoga Allah mengaruniakan keikhlasan dan keberkahan dalam amalan kami. Kami juga memohon kepada Allah, agar penyusunan ini menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kami dan bagi orang-orang yang membutuhkannya. Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang setia mengikuti beliau dengan baik hingga hari kiamat.
***
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah, kami memujinya, meminta kepada-Nya dan memohon ampunan-Nya dan kami berlindung kepada-Nya dari keburukan diri kami dan kejelekan amalan kami. Barangsiapa yang Allah berikan petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Dan aku bersaksi bahwasannya tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasannya Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya Shalawat, salam semoga engkau curahkan atas nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, sahabatnya dan siapa saja yang mengikuti jejaknya hingga datangnya hari kiamat, dan berserah diri dengan sebenar-benarnya.
Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam dengan petunjuk dan agama yang haq, agar menang terhadap seluruh agama yang ada dan Allah menurunkan padanya al-kitab dan al-hikmah. Adapun kitab adalah Al Qur’an dan hikmah adalah Sunnah agar beliau menjelaskan kepada manusia segala yang diturunkan pada mereka dan agar mereka merenung sehingga mereka mendapat petunjuk dan termasukorang-orang yang beruntung.
Kitab dan Sunnah
Kedua-duanya adalah landasan untuk tegaknya hujjah atas hamba-Nya sehingga manusia tidak lagi punya alasan dihadapan Allah Ta’ala. Dan dengan keduanya terbentuklah hukum-hukum yang berkaitan dengan i’tiqodiyah (keyakinan) dan amaliyah (perbuatan) yang wajib atau terlarang. Adapun menjadikan Al Qur’an sebagai sandaran hanya membutuhkan satu pertimbangan, yaitu pertimbangan kandungan nash terhadap hukum dan tidak membutuhkan pertimbangan sandarannya (yaitu apakah itu firman Allah atau bukan, shohih atau bukan). Karena keotentikan Al Qur’an adalah sebuah keniscayaan dengan penukilan yang mutawatir baik lafadz ataupun makna.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Artinya: “Kamilah yang menurunkan Ad Dzikr dan Kami pula yang menjaganya.” Qs. Al-Hijr 15: 9
Sedangkan berdalil dengan As Sunnah membutuhkan dua pertimbangan : Yang pertama: Meneliti kepastian bahwa hadits tersebut dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Ingat! bahwa tidak semua yang dinisbahkan pada Nabi adalah riwayat yang shohih. Yang kedua: Meneliti penunjukan nash pada hukum. Untuk pertimbangan yang pertama, kita membutuhkan kaidah untuk membedakan hadits yang diterima atau ditolak berkaitan dengan riwayat-riwayat yang dinisbahkan pada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini telah dilaksanakan oleh para ulama – rohimahullah – dan mereka namai kaidah-kaidah tersebut dengan “̏̎Mustholah Hadits”.

Mustholah hadits مصطلح الجديث
  1. Pengertian
  2. Faedah
  1. Mustholah hadits adalah ilmu yang menjadi alat untuk mengetahui kondisi seorang periwayat dan hadits yang diriwayatkan dari sisi diterima atau ditolak.
  2. Faedahnya adalah untuk mengetahui riwayat-riwayat yang diterima atau ditolak dari seorang periwayat dan hadits yang diriwayatkan.

Al Hadits, Al Khobar, Al Atsar, Al Hadits Qudsi
Al Hadits الحديث:
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam baik perbuatan, perkataan, persetujuan atau sifat** .
* Ini adalah pengertian hadtis secara istilah. Adapun pengertian secara bahasa bermakna “yang baru”.
** Ada 2 sifat : sifat jasmani dan sifat akhlak
Al Khobar الخبر:
Semakna dengan hadits, maka definisinya sama dengan definisi al hadits. Ada yang berpendapat bahwa khobar adalah segala yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam atau kepada selainnya, berdasarkan definisi ini maka khobar itu lebih umum dan lebih luas dari pada hadits.
Al Atsar الأثر:
Segala yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, tapi terkadang juga digunakan untuk hadits yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berkait misal dikatakan atsar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits Qudsi الحديث القدس:
Hadits yang diriwayatkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Ta’ala, juga dinamai juga hadits Rabbani dan hadits Ilahi. Misalnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan dari Rabb Ta’ala, Dia berkata,
“Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku, dan aku bersamanya ketika mengingat-Ku, jika dia meningat-Ku dalam dirinya: maka aku mengingatnya dalam diri-Ku, Jika dia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik dari sekumpulan orang tersebut.” *
* Di sini ada sifat an Nafs untuk Allah Ta’ala. Seperti dalam ayat 116 surat Al Maaidah, “Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.”. Hadits Qudsi ini juga menjadi dalil bahwa malaikat lebih baik dari manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memperinci, yaitu: jika melihat keadaan sekarang maka malaikat lebih mulia sedang jika melihat di akherat, maka manusia lebih mulia. Dan hadits ini bukan menjadi dalil untuk dzikir berjama’ah. “Jika dia mengingatku dalam sekumpulan orang” maksudnya orang-orang sekitarnya kemungkinan adalah orang yang lalai atau dia berada di majelis ilmu dan mengingat Allah.
Urutan Hadits Qudsi itu terletak antara Al Qur’an dan Hadits Nabi.
  • Al Qur’an Al Karim: Dinisbatkan kepada Allah Ta’ala baik lafadz maupun maknanya.
  • Hadits Nabi: Dinisbatkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam : lafadz dan maknanya.
  • Hadits Qudsi: Dinisbatkan kepada Allah Ta’ala maknanya tanpa lafadznya.
Maka, membaca hadits Qudsi tidak dinilai sebagi ibadah, tidak boleh dibaca dalam sholat, tidak terwujud dengannya tantangan* dan tidak dinukil secara mutawattir seperti Al Qur’an bahkan di dalamnya ada yang shohih, dho’if dan maudhu’.
* Mu’jizat adalah sesuatu yang diberikan Allah kepada Nabi dan Rasul untuk menerima tantangan. Jika itu benar mu’jizat, maka tidak akan ada yang berhasil menantangnya. Dan hal ini tidak berlaku untuk hadits qudsi.
Pembagian Khobar Berdasarkan Jalan Periwayatannya
Khobar terbagi menjadi dua berdasarkan jumlah jalan penukilannya sampai kita, yaitu mutawatir dan ahad.
Muttawatir
  1. Pengertian
  2. Macam-macamnya dan contohnya
  3. Faedahnya
1. Mutawattir المتوات:
Hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang secara ‘adat mereka mustahil bersepakat untuk berdusta dan mereka sandarkan pada sesuatu yang bisa diindra.
2. Mutawattir terbagi menjadi dua:
Muttawattir lafadz dan maknanya dan muttawattir maknanya saja.
Muttawattir lafadz dan maknanya adalah hadits yang disepakati oleh para rowi lafadz dan maknanya. Misalnya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
من كذب عليّ معتمدا، فليتبوأ مقعده من النار
“Barangsiapa yang berdusta atasku maka bersiap-siaplah bertempat dineraka.”
Hadits ini diriwayatkan lebih dari 60 orang sahabat diantaranya 10 orang yang dijamin masuk surga dan dari mereka terdapat banyak orang yang meriwayatkan hadits tersebut.
Muttawattir makna adalah hadits yang disepakati maknanya walaupun lafadznya beda-beda. Semuanya bermuara pada satu poin yang sama. Misalnya hadits tentang syafaat dan hadits tentang mengusap kedua khuf. Terdapat syair yang berbunyi:
مما تواتر حديث من كذب و من بنى للّه بيتا زاحتسب
و رؤية شفاعة والحوض ومسح خفين و هذي بعض
Diantara hadits mutawatir adalah barangsiapa berdusta
dan barangsiapa membangun masjid dengan ikhlas
Juga hadits tentang syafaat melihat Allah diakherat, telaga
dan mengusap sepatu. Inipun baru sebagian.

c. Faedah dari dua jenis muttawattir ini:
  1. Ilmu, yaitu memastikan benarnya penisbatan hadits ini kepada yang dinukil darinya.
  2. Berkewajiban mengamalkan kandungan hadits dengan mempercayainya jika berupa khobar dan menerapkannya jika berupa tuntutan.





Taisir Musthalah Hadits 3: Hadits Ahad


Hadits Ahad
a. Pengertian
b. Macam-macamnya berdasarkan jalan periwayatan beserta contoh-contohnya.
c. Macam-macamnya berdasarkan derajatnya beserta contoh-contohnya.
d. Faedah-faedahnya.
a. Ahad
Ahad adalah hadits selain yang muttawattir.

b. Macam-macam hadits ahad berdasarkan jalan periwayatan itu ada 3 macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan ghorib.
  1. Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi disetiap tingkatan, tapi belum sampai pada derajat muttawattir.Contohnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,المسام من سلم المسلمون من لسانه و يده Muslim sejati adalah muslim yang saudaranya terbebas dari gangguan lisan dan tangannya.”
  2. ‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua rowi saja dimasing-masing tingkatan. Contohnya perkataaan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده و الناس أجمعين

    “Tidak sempurna iman kalian hingga Aku lebih dia cintai dari orang tua, anaknya bahkan manusia seluruhnya.”
  3. Ghorib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Contohnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah dinilai bila disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh sesuai apa yang diniatkannya…(hingga akhir hadits)” (HR. Bukhori dan Muslim) Hadits ini dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khotob rodhiallahu ‘anhu dan yang meriwayatkan dari Umar hanya ‘Alqomah ibn Abi Waqosh dan yang meriwayatkan dari ‘Alqomah hanya Muhammad ibn ibrohim Attaimi, dan yang meriwayatkan dari Muhammad hanya Yahya ibn Sa’id al Anshori. Kesemuanya adalah tabi’in, kemudian diriwayatkan dari Yahya oleh banyak orang.
c. Macam-macam hadits ahad berdasar derajatnya, yaitu shohih lidzatihi, shohih lighoirihi, hasan lidzatihi, hasan lighoirihi dan dho’if.
  1. Shohih lidzatihi (shohih dengan sendirinya) . Shohih lidzatihi adalah hadits yang rowinya:
    • Adil
    • Hafalannya kuat
    • Sanadnya bersambung
    • Terbebas dari kejanggalan dan kecacatan
    Contohnya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
    من يرد اللّه به خيرا يفقهه في الدين
    “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka akan difahamkan ilmu agama.” (HR. Bukhori dan Muslim)
    Cara mengetahui keshohihan suatu hadits itu dengan 3 perkara:
    • Jika diketahui penulis buku hadits tersebut hanya mencantumkan hadits-hadits yang shohih saja dengan syarat penulis tersebut bisa dipercaya dalam melakukan penshohihan seperti Shohih Bukhori dan Muslim.
    • Hadits tersebut dinilai shohih oleh imam yang penilaiannya dalam penshohihan itu bisa dipercaya, dan dia bukan termasuk orang yang terkenal mudah dalam memberikan nilai shohih.
    • Meneliti sendiri rowinya dan bagaimana cara periwayatan rowi tersebut terhadap hadits.
    Jika semua kriteria shohih lengkap, maka hadits tersebut dinilai sebagai hadits yang shohih.
  2. Shohih lighoirihi (shohih dengan bantuan)
    Shohih lighoirihi adalah hadits hasan dengan sendirinya (hasan lidzatihi) apabila memiliki beberapa jalur periwayatan yang berbeda-beda. Misalnya, Dari ‘Abdillah Ibn ‘Amr bin ‘Ash rodhiallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menyiapkan pasukan dan ternyata kekurangan unta.
    Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuk kita unta perang dengan unta-unta yang masih muda.” Maka ia mengambil 2-3 unta muda dan mendapat 1 unta perang.
    Hadits Ini diriwayatkan Ahmad dari jalan Muhammad bin Ishaq dan diriwayatkan Baihaqi dari jalan ‘Amr bin Syu’aib. Setiap jalan ini jika dilihat secara bersendirian tidak bisa sampai derajat shohih, hanya sampai hasan. Tapi jika dilihat secara total, maka jadilah hadits shohih lighoiri. Hadits ini dinamakan shohih lighoiri, walaupun nilai masing-masing jalan secara bersendirian tidak sampai derajat shohih, namun karena bila dinilai secara total bisa saling menguatkan hingga mencapai derajat shohih.
  3. Hasan lidzatihi ( hasan dengan sendirinya)
    Hasan lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang adil tapi hafalannya kurang sempurna dengan sanad bersambung dan selamat dari keganjilan dan kecacatan. Jadi, tidak ada perbedaan antara hadits ini dengan hadits shohih lidzatihi kecuali dalam satu persyaratan, yaitu hadits hasan lidzatihi itu kalah dalam sisi hafalan. Misalnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
    مفتاح الضلاة الطهور، و تحريمها التكبير، و تحليلها التسليم

    “Sholat itu dibuka dengan bersuci, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”
    <
    Hadits-hadits yang dimungkinkan hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan Abu Daud secara sendirian, demikian keterangan dari Ibnu Sholah.
  4. Hasan lighoirihi (hasan dengan bantuan)
    Hasan lighoirihi adalah hadits yang dho’ifnya ringan dan memiliki beberapa jalan yang bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya karena menimbang didalamnya tidak ada pendusta atau rowi yang pernah tertuduh membuat hadits palsu. Misalnya,Hadits dari Umar ibn Khatthab rodhiallahu’anhu berkata bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam jika mengangkat kedua tangannya dalam do’a maka beliau tidak menurunkannya hingga mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. (HR. Tirmidzi) Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata, “Hadits ini memiliki banyak hadits penguat dari riwayat Abu Daud dan yang selainnya. Gabungan hadits-hadits tersebut menuntut agar hadits tersebut dinilai sebagai hadits hasan.
    Dan dinamakan hasan lighoirihi karena jika hanya melihat masing-masing sanadnya secara bersendirian maka hadits tersebut tidak mencapai derajat hasan. Namun, bila dilihat keseluruhan jalur periwayatan maka hadits tersebut menjadi kuat hingga mencapai derajat hasan.
  5. Hadits dho’if
    Hadits dho’if adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan shohih dan hasan. Misalnya,”Jagalah diri-diri kalian dari gangguan orang lain dengan buruk sangka.” Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya.
d. Hadits-hadits ahad (selain hadits dho’if) memberi dua faedah:
  1. Dzon, yaitu sangkaan kuat tentang sahnya penyandaran penukilan hadits dari seseorang. Dan hal ini bertingkat-tingkat sesuai tingkatnya masing-masing yang telah disebutkan. Terkadang hadits ahad memberi faedah ilmu jika ditemukan banyak indikator dan dikuatkan oleh ushul (kaedah pokok dalam syari’at)*.

    * Misalnya dengan indikator (qorinah), hadits tersebut diterima oleh seluruh umat. Tidak ada yang menolaknya misal hadits innamal ‘amalu biniyat. Ini termasuk hadits ghorib, akan tetapi karena seluruh ulama menerimanya, maka ini adalah qorinah yang menunjukkan bahwa hadits ini adalah benar-benar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Atau hadits tersebut didukung oleh ushul, yaitu didukung oleh kaedah pokok dalam syari’at. Ada banyak ayat yang menunjukkan. kebenaran maksud dari hadits tersebut. Maka ini merupakan indikasi kuat bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya. Atau itu adalah hadits yang muttafaqun ‘alaih. Meskipun itu adalah hadits ahad atau ghorib. Namun itu menjadi qorinah yang kuat. Ini pendapat yang dirojihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam masalah ini yaitu hadits ahad itu memberi faidah dzon kecuali ada qorinah. Jadi, hadits ahad itu memberi faidah ilmu (yakin) jika ada indikator-indikator pendukungnya. Dalam masalah ini ada 3 pendapat ulama, yaitu :Jika itu adalah hadits yang shohih meskipun ahad maka memberi faidah ilmu. Memberi makna yakin bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya. Ini adalah madzhabnya Imam Ibn Hazm.Memberi faidah dzon. Memberi makna keyakinan (’ilmu) bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya jika ada indikator penguat (maka jika tidak ada penguat maka memberi faedah dzon). Dan ini adalah pendapat yang dipilih Syaikh Islam Ibnu Taimiyah
  2. Mengamalkan kandungannya. Dengan mempercayainya jika berupa berita dan mempraktekkannya jika berupa tuntutan*. * Baik tuntutan untuk mengerjakannya atau tuntutan untuk meninggalkannya. Jadi hadits ahad memberi faedah amal. Jika hadits itu berupa masalah aqidah berupa masalah khobar maka tetap wajib menjadikannya sebagai aqidah dan mempercayainya. Jadi ucapan ulama bahwa hadits ahad yang shahih itu memberi makna sangkaan kuat, itu sama sekali tidak ada hubungannya bahwa dalam masalah aqidah tidak diamalkan. Meskipun ada tiga pendapat untuk masalah ini, meskipun ulama yang memilih dzon secara mutlak sekalipun, namun mereka tetap beramal dengan hadits ahad dalam masalah aqidah dalam masalah khobar dengan mempercayai dan mengimaninya sebagai bagian dari aqidah. Inilah curangnya Hizbut Tahrir.
    Ketika mereka mengatakannya bahwasannya mereka tidak mau menerima hadits ahad dalam masalah aqidah. Lalu mereka mengatakan yang mendukung kami adalah ulama ini, disebutkan satu dua tiga dst disebutkan. Padahal apa yang disebutkan oleh ulama tersebut bahwa hadits ahad memberi makna (dzon) sangkaan. Dan sangkaan yang dimaksudkan adalah sangkaan yang kuat bukan sekedar sangkaan. Sama sekali mereka tidak bermaksud dikarenakan itu memberi makna dzon kemudian tidak dipakai dalam masalah aqidah. Namun Hizbut Tahrir curang. Mereka katakan yang mendukung kami adalah ulama ini dan itu. Padahal ulama tersebut membicarakan dari segi itu memberi makna dzon atau tidak dan beliau merojihkan memberi makna dzon. Lalu apakah beliau mengatakan itu tidak diterima sebagai dalil dalam masalah aqidah? Tidak. Beliau tetap menerimanya sebagai dalil dalam masalah aqidah. Hanya saja ulama tersebut memilih memberi makna dzon. Karena mengamalkan hadits ahad dalam masalah aqidah adalah ijma ulama salaf. Sebagaimana dinukil oleh banyak ulama. Meskipun itu adalah hadits ahad, maka itu adalah memberi faidah amal dengan dijadikannya sebagai aqidah jika berisi masalah-masalah aqidah.
Adapun hadits yang dho’if, tidak memberi faedah dzon dan amal. Dan tidak boleh menganggapnya sebagai dalil. Tidak boleh pula menyebutkan hadits dho’if tanpa diiringi dengan penjelasan tentang dho’ifnya. Kecuali untuk masalah motivasi dan menakuti-nakuti (targhib wa tarhib). Maka diperbolehkan menyebutkan hadits dho’if dengan beberapa persyaratan menurut sebagian ulama. Sejumlah ulama memberi kemudahan untuk menyebutkan hadits dho’if dengan tiga syarat* .

*** Tiga syarat ini berasal dari Ibnu Hajar Al Asqolani. Kalau dalam masalah hukum, Imam Nawawi mengatakan bahwa ulama ijma tidak boleh berdalil dengan hadits dho’if dalam masalah hukum. Dan ada perselisihan dalam masalah fadhoil amal/masalah targhib dan tarhib. Ada ulama yang menolak hadits yang dho’if untuk targhib dan tarhib sebagai dalil secara mutlak. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm dan Imam Muslim. Inilah pendapat yang dirojihkan Syaikh Al Imam Al bani di Muqodimmah Shohih Jami Shogir. Namun ada ulama yang membolehkan dengan persyaratan. Semacam Ibnu Hajar Al Asqolani. membolehkan dengan tiga persyaratan ini.
  1. Dho’ifnya bukan dho’if yang sangat*.

    * Dho’ifnya tidak sangat, mungkin karena mursal atau ada rowi yang majhul.
  2. Hendaknya pokok amal yang disebutkan di dalamnya motivasi dan menakuti-nakuti ada berdasarkan hadits yang shohih*.

    * Misalnya, sholat dhuha adalah sholat yang disyariatkan berdasar hadits yang shohih. Kemudian ada hadits dho’if yang dho’ifnya ringan berkenaan keutamaan sholat dhuha. Artinya sholat dhuhanya sudah masru’ (disyari’atkan) berdasar hadits yang shohih. Tsabit berdasar hadits yang shohih. Misalnya juga tentang sholat malam. Tentang sholat malam haditsnya shohih kemudian ada hadits yang dho’ifnya ringan menceritakan tentang keutamaan orang yang melaksanakan sholat malam. Namun amalnya sudah masru berdasar hadits yang shohih. Jika amalnya belum jelas dalilnya, maka tidak boleh. Karena syaratnya ashlul amal (landasan beramal) terdapat dalil yang shohih. Misalnya ada satu hadis menyatakan keutamaan suatu amal dan tidak ada hadits shohih yang menyatakan disyariatkannya amalan ini maka tidak boleh menyebutkan hadits dho’if ini. Karena asal muasal amal yaitu ibadah yang hendak dimotivasi itu tidak disyariatkan sebab dasarnya adalah hadits yang shohih.
  3. Tidak diyakini bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya*.

    * Imam Albani rohimahullah mengatakan, “Jika tiga persyaratan ini diperhatikan oleh orang yang membolehkan hadits dho’if dalam fadhoilul a’mal maka selesai masalah”. Karena ketika menyampaikan dia tahu, misalnya ini adalah hadits mursal. Maka dia bisa memenuhi persyaratan ketiga karena tahu.Namun jika orangnya tidak mengetahui, ini lemahnya seberapa atau bahkan palsu bagaimana melakukan poin yang ketiga. Yang menjadi masalah ketika berdalil dengan hadits dho’if tentang suatu amal kemudian diingatkan mereka menyatakan, “Ini kan fadhoil amal/targhib dan tarhib. Kan boleh menurut sebagian ulama”. Namun ketika ditanya, bagaimana dengan persyaratannyat. Pertama dho’ifnya tidak sangat dan syarat ketiga tidak boleh yakin bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya, mereka bahkan tidak tahu Oleh karena itu jika tiga syarat ini diperhatikan, maka selesai masalah. Namun tiga persyaratan tersebut tidak bisa dipenuhi kecuali oleh pakar hadits. Sehingga dia tidak meyakini bahwa itu adalah bukan hadits dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Berdasarkan keterangan di atas, maka faedah menyebutkan hadits dho’if ketika memotivasi suatu amal (targhib) adalah mendorong jiwa untuk melakukan amal yang dimotivasi untuk mengharapkan pahala itu. Kemudian jika mendapatkan pahala maka alhamdulillah dan jika tidak maka tidak menjadi masalah baginya kesungguhannya dalam beribadah. Karena ibadahnya disyari’atkan dan ada pahala di dalamnya. Karena orang tersebut masih mendapatkan pahala yang pokok, yaitu pahala asal amal yang berdasar hadits yang shohih yang merupakan konsekuensi melakukan suatu perkara yang diperintahkan. Sedangkan suatu perkara yang diperintahkan pasti ada pahalanya. Maka dia tidak kehilangan pahala yang asli.
Dan faidah menyebut hadits dho’if dalam tarhib adalah menakuti-nakuti jiwa untuk melakukan perkara yang ditakut-takutkan. Karena khawatir terjerumus dalam hukuman tersebut. Dan tidak masalah baginya jika dia menjauhinya dan tidak terjadi hukuman yang disebutkan.




Taisir Musthalah Hadits 4: Penjelasan Untuk Shohih Lidzatihi


Telah lewat (pada penjelasan yang lalu) bahwasannya definisi hadits shohih lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rowi yang adil*, hafalannya sempurna, sanadnya bersambung dan terbebas dari syadz dan terbebas daru ‘illat (penyakit yang membuat cacat).

* Yang dimaksud dengan adil yaitu memiliki ‘adalah.

‘Adalah (عدالة) adalah istiqomah pada din dan istiqomah pada muru-ah.
Istiqomah din adalah melaksanakan kewajiban dan menjauhi segala yang haram yang menyebabkan kefasikan. Istiqomah muru-ah adalah melakukan segala sesuatu yang dipuji masyarakat berupa etika dan akhlak dan meninggalkan segala adab dan akhlak yang dicela masyarakat*.

* Pandangan masyarakat adalah yang tidak bertentangan dengan aturan syari’at. Boleh jadi itu merusak muru-ah di masa silam, tapi tidak di masa sekarang. Misalnya, dahulu, jika seorang ulama makan di warung maka ini menurunkan muru-ah. Kalau sekarang mungkin jika makan di restoran besar malah naik muru-ahnya. Maka muru-ah ini berbeda-beda dan berubah sesuai zaman dan tempat. Maka, ini berarti seorang muslim memperhatikan adat masyarakat.
Keadilan rowi diketahui dengan dua cara, yaitu dengan kemasyhuran yaitu sudah terkenal sebagai seorang rowi yang adil, semacam para imam yang terkenal. Misalnya Imam Malik, Imam Ahmad dan Bukhori dan yang selain mereka. Kemudian dengan tazkiyah, yaitu dengan penegasan dari orang yang teranggap ucapannya dalam masalah ini*.

* Yaitu ulama jarh dan ta’dil
Sempurna hafalannya (تمام الضبت) adalah ia bisa menyampaikan riwayat yang dia miliki, baik didapatkan melalui mendengar atau melihat dalam bentuk sebagaimana dia dapatkan tanpa ditambah atau dikurangi. Akan tetapi kesalahan yang sedikit dinilai tidak mengapa, karena manusia tidak dapat terbebas dari kesalahan menambah atau mengurangi*.

* Dia bisa menceritakan apa yang ada dalam dirinya baik dia dapatkan dari pendengaran atau penglihatan dan dia menceritakan kepada orang lain tanpa kesalahan atau dengan sedikit kesalahan.
Diketahui dobt (kesempurnaan hafalan) seorang rowi dengan dua hal; keselarasannya, yaitu selaras dengan rowi-rowi yang terkenal tsiqoh dan orang yang kuat hafalannya meskipun hanya sesuai dengan mereka secara umum. Kemudian mendapat tazkiyah/penegasan, yaitu dengan penegasan dari orang yang teranggap ucapannya dalam masalah ini.
Bersambung sanadnya (اتصال السند) yaitu setiap rowi berjumpa dengan gurunya atau dari orang yang dia mengambil riwayat darinya baik secara langsung atau statusnya berjumpa.
Adapun berjumpa secara langsung maksudnya adalah berjumpa dengan gurunya dan mendengar dari gurunya atau melihat gurunya dan dia mengatakan, “Telah menceritakan padaku.” (حدثني), “Aku mendengar” (سمعت), “Aku melihat fulan” (رأيت فلان), dan kalimat semacamnya.
Sedangkan statusnya berjumpa maksudnya adalah seorang rowi meriwayatkan dari orang yang sezaman dengannya dengan menggunakan kata-kata yang mengandung kemungkinan dia melihat atau mendengar gurunya. Misalnya dengan kata-kata, “Fulan berkata” (قال فلان), “Dari fulan” (عن فلان), “Fulan melakukan” (فعل فلان) dan yang semacam itu.
Terdapat dua pendapat:
  1. Harus ada bukti, ini adalah pendapat Imam Bukhori.
  2. Cukup dengan mungkin dia bertemu, ini adalah pendapat Imam Muslim*.

* Oleh karena itulah kualitas Shohih Bukhori dinilai lebih tinggi dari Shohih Muslim.
Imam Nawawi rohimahullah berkata tentang pendapat Imam Muslim di Syaroh Shohih Muslim, “Pendapat Imam Muslim diingkari banyak pakar, meskipun kami tidak menilai Imam Muslim melakukan perbuatan tersebut dalam Shohih-nya sejalan dengan pendapat beliau ini, karena Imam Muslim mengumpulkan banyak jalur yang tidak mungkin terwujud hukum yang dia bolehkan. Wallahu a’lam.”
Perbedaaan ini berlaku untuk rowi yang bukan mudallis (akan datang penjelasannya, insya Allah-ed). Adapun mudallis tidaklah divonis haditsnya bersambung kecuali jika dia menegaskan bahwa dia mendengar atau melihat secara langsung.
Tidak bersambungnya suatu sanad diketahui dengan dua cara:
  1. Tarikh (sejarah), yaitu mengetahui bahwasannya guru atau orang yang diambil riwayat darinya sudah meninggal ketika dia belum mencapai usia tamyiz yaitu usia 7 tahun*.

    * Misalnya gurunya sudah meninggal ketika ia masih berumur 3 tahun, maka ini jelas tidak bersambung.
  2. Dengan penegasan seorang rowi atau salah satu dari ulama pakar hadits menegaskan bahwasannya rowinya tidak bersambung atau fulan ini tidak mendengar ataumelihat dari gurunya apa yang dia ceritakan.
Keganjilan (الشذوذ) yaitu seorang rowi yang tsiqoh menyelisihi rowi yang lebih kuat darinya, bisa dengan lebih sempurna keadilannya atau hafalannya, atau lebih jumlahnya atau lebih bermulazamah dengan gurunya atau yang semacam itu*.

* Misalnya seorang guru memiliki dua murid. Murid yang pertama sudah mulazamah dalam waktu berpuluh-puluh tahun. Murid yang kedua hanya lima tahun. Kemudian murid yang kedua memberikan khobar dari gurunya yang menyelisihi murid yang pertama. Maka yang lebih tahu maksud gurunya adalah murid yang pertama. Maka boleh jadi murid yang kedua mendengar dari gurunya akan tetapi ia tidak paham. Maka yang lebih tsiqoh adalah murid yang pertama.
Misalnya, hadits ‘Abdullah ibn Zaid tentang tata cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bahwasannnya Nabi mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa dari tangannya*.

* Artinya mengambil air baru untuk mengusap kepala, bukan air yang sebelumnya digunakani untuk membasuh tangan.
Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dengan lafadz ini dari jalur Ibn Wahab. Dan Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Ibn Wahab juga dengan lafadz yang berbeda, yaitu bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengambil untuk kedua telinganya air yang bukan air yang beliau ambil untuk kepalanya*.

* Artinya mengambil air baru untuk mengusap telinga.
Maka hadits Baihaqi adalah riwayat yang ganjil (syadz) karena rowi dari Ibn Wahab memang tsiqoh*, tapi rowi ini menyelisihi para rowi yang lebih banyak jumlahnya dari dia. Karena hadits ini diriwayatkan sejumlah orang dari Ibnu Wahab namun dengan menggunakan lafadz Muslim. Maka berdasar hal tersebut, riwayat Baihaqi tidak shohih meskipun perowinya tsiqoh, yaitu karena tidak terbebas dari syadz.

* Rowi yang dipakai oleh Baihaqi yang merupakan muridnya Ibnu Wahab memang tsiqoh. Akan tetapi rowi ini menyelisihi para rowi yang lebih banyak jumlahnya daripada dia.

‘Illat (penyakit yang membuat cacat) , yaitu setelah diteliti ternyata jelas diketahui ada sebab yang membuat cacat untuk diterima suatu hadits karena diketahui ternyata hadits tersebut munqothi’ (terputus), mauquf (perkataan sahabat), atau rowinya adalah orang fasiq, jelek hafalannya, atau ahli bid’ah* dan haditsnya mendukung kebid’ahannya dan semacam itu.

* Ada beberapa pendapat berkaitan dengan riwayat dari ahlu bid’ah:
  1. Ditolak secara mutlak
  2. Diterima secara mutlak.
  3. Diperinci (tafshil). Merinci dengan melihat dia mendakwahkan bid’ahnya atau tidak. Jika jawabannya ya, maka riwayatnya tidak bisa diterima.
  4. Diperinci. Melihat hadits yang diriwayatkanya. Menguatkan kebid’ahannya atau tidak, baik dia da’i atau bukan.
Ringkasnya penjelasan di Taisir Mustholah Mahmud Thohan, persyaratan riwayat dari ahlu bid’ah adalah :
  1. Bukan da’i
  2. Bukan hadits yang mendukung bid’ah yang dia miliki.
Maka, hadits tersebut tidak dihukumi sebagai shohih karena tidak selamat dari penyakit yang membuat cacat1*. Contohnya hadits Ibnu ‘Umar rodhiallahu’anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perempuan yang haidh dan orang yang junub tidak boleh membaca sedikitpun ayat Al Qur’an.”

* Ini adalah termasuk ilmu hadits yang berat, yaitu tentang masalah ilmu al illal. Terutama jika illalnya adalah masalah yang samar.
Hadits ini diriwayatkan Tirmidzi, dan Imam Tirmidizi mengatakan kami tidak mengenal hadits ini kecuali dari hadits Isma’il ibn ‘Iyas dari Musa ibn ‘Uqbah*.

* Artinya hadits ini termasuk hadits ghorib (yaitu punya satu jalur saja).
Maka dari sanad yang tampak adalah shohih, akan tetapi hadits ini memiliki cacat, riwayat Isma’il ibn ‘Iyas dari orang-orang Hijaz adalah dho’if. Jika gurunya adalah orang Hijaz maka haditsnya adalah dho’if dan hadits ini adalah yang termasuk dia dapatkan dari Hijaz**. Maka hadits ini tidak shohih karena tidak terbebas dari penyakit yang membuat cacat.

** Artinya Musa ibn ‘Uqbah adalah dari Hijaz.
Jika penyakitnya tidak membuat cacat, maka tidak menghalangi hadits tersebut untuk dinilai shohih atau hasan. Contohnya hadits dari sahabat Abu Ayyub Al Anshori rodhiallahu’anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من صام رمضان، ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa berpuasa Romadhon, kemudian diikuti dengan 6 hari di bulan Syawal, maka ia seakan-akan puasa dahr (puasa setiap hari, seandainya puasa dahr itu dibolehkan).*”

* Ini adalah termasuk pengandaian. Karena ulama berselisih pendapat tentang puasa dahr. Sebagian ulama melarangnya. Dan itulah pendapat yang lebih rojih karena ada hadits tentang hal ini,“Siapa yang puasa setiap hari tidak akan dinilai orang yang berpuasa dan juga tidak dinilai sebagai orang yang tidak puasa”. Jadi, dari hadits tersebut tidak menunjukkan bolehnya puasa dahr, namun hanya sebagai pengandaian.
Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dari jalan Sa’ad ibn Sa’id, dan pada hadits ini terdapat ‘illat dengan sebab rowi ini, yaitu Sa’ad ibn Sa’id karena Imam Ahmad mendho’ifkannya. ‘Illat ini tidak membuat cacat, karena sebagian ulama menshohihkannya, dan dia memiliki hadits penguat (muttabi‘)*. Imam Muslim menyampaikan hadits ini dalam Shohih-nya menunjukkan keshohihan menurut Muslim, dan ‘illatnya tidak membuat cacat.

* Hadits muttabi’ (penguat) adalah jika rowi hadits tersebut dari sahabat yang sama. Sedangkan hadits syawahid, jika sumbernya beda.
Dikumpulkannya Dua Hukum, yaitu Penilaian Shohih dan Hasan dalam Satu Hadits
Di depan telah kita bahas bahwa hadits shohih adalah satu bagian dari hadits yang berbeda dengan hadits hasan. Maka keduanya adalah dua hal yang berbeda.
Akan tetapi sering kita dapatkan, terkadang suatu hadits diberi nilai hadits hasan shohih. Maka bagaimana menyesuaikan dua penilaian ini padahal ada perbedaan di antara keduanya?
Kami katakan (penulis kitab ed), “Jika hadits tersebut memiliki dua jalur, maka maksud hadits tersebut bahwa salah satu jalannya shohih dan jalur yang kedua adalah hasan. Maka dikumpulkan antara dua sifat ini dengan melihat jalurnya*. Adapun jika hadits tersebut hanya memiliki satu jalan, maka maknanya adalah ulama tersebut ragu-ragu, apakah sudah mencapai derajat shohih atau derajat hasan**.”

* Dimaknai hadits shohih wa hasan (shohih dan hasan). Artinya, hasan untuk jalur ini dan shohih untuk hadits yang satunya lagi.
** Dimaknai hadits shohih aw hasan (shohih atau hasan). Misalnya dalam hadits ghorib. Jadi ragu-ragu antara hadits ini hasan atau shohih. Adapun kalimat (لأصح قى هذا الباب) “Hadits ini adalah hadits yang paling shohih dalam bab ini”, maka ini bukanlah menilai bahwa hadits tersebut shohih tapi maksudnya hadits tersebut yang paling sedikit cacatnya. Bisa jadi haditsnya dho’if. Namun hadits dho’if lainnya banyak dan yang paling ringan cacatnya adalah hadits tersebut.





Taisir Musthalah Hadits 5: Penjelasan untuk Sanad yang Terputus, Tadlis & Mudhthorib


Sanad yang Terputus1
  1. Penjelasannya
  2. Pembagiannya
  3. Hukumnya
1. Sanad yang terputus adalah yang tidak bersambung sanadnya, dan telah disebutkan bahwa di antara syarat hadits shohih yang berjumlah lima, salah satunya adalah bersambung sanadnya.
2. Sanad yang terputus terbagi menjadi empat: mursal, mu’alaq, mu’dhol dan munqothi’.

Mursal
Mursal adalah hadits yang dinisbatkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam oleh sahabat atau tabi’in yang tidak mendengar langsung dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam2.
Mu’alaq
Mu’allaq adalah hadits yang dihilangkan awal atau terkadang yang dimaksudkan adalah yang dibuang semua sanadnya, seperti perkataan Imam Bukhori, “Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengingat Allah di setiap keadaannya”3. Adapun hadits yang dinukil penulis kitab, misal Umdatul Ahkam yang dinisbatkan pada aslinya, maka tidak dinilai sebagai hadits mu’allaq karena orang yang menukil tidak menyandarkan hadits tersebut pada dirinya.Akan tetapi dinisbatkan, misal “Diriwayatkan oleh Abu Daud”.
Mu’dhol
Mu’dhol adalah hadits yang dibuang di tengah-tengah sanadnya, dua rowi secara berturut-turut.
Munqothi’4
Munqothi’ adalah hadits yang dibuang dari tengah sanadnya satu, dua atau lebih dan tidak berturut-turut. Terkadang maksudnya adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, maka termasuk di dalamnya hadits yang empat tadi, mursal, mu’allaq, mu’dhol dan munqothi’ itu sendiri5.
Misalnya hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori, ia berkata, “Menceritakan pada kami Abdullah ibn Azzubair Al Humaidi6,ia berkata, telah menceritakan pada kami Sufyan, ia berkata, telah menceritakan pada kami Yahya ibn Sa’id Al Anshori, ia berkata,telah mengkhobarkanku Muhammad ibn Ibrohim At Taimi, bahwasannya ia mendengar dari Alqomah ibn Abi Waqosh Al Laitsi mengatakan, aku mendengar ‘Umar ibn Khottob rodhiallahu ‘anhu di atas mimbar berkata, “Aku mendengar Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya ‘hingga akhir hadits.
Maka jika dibuang dari sanad tersebut, ‘Umar ibn Khottob rodhiallahu ‘anhu, dinamakan hadits mursal.
Jikayang dibuang Al Humaidi dinamakan hadits mu’allaq.
Jika yang dibuang Sufyan dan Yahya dinamakan hadits mu’dhol.
Jika yang dibuang Sufyan saja atau bersama at-Taimi dinamakan hadits munqothi’.
3. Seluruh hadits munqothi’ ditolak dikarenakan ketidaktahuan keadaan rowi yang dibuang. Namun berikut ini adalah munqothi’ yang dikecualikan dari penolakan tersebut:
  1. Mursal sahabat7
  2. Mursal kibar tabi’in8. Menurut sebagian besar ahlu ‘ilmi adalah shohih jika dikuatkan oleh mursal yang lain atau diamalkan para sahabat atau dengan qiyas.
  3. Mu’alaq.Jika dengan bentuk kata yang tegas dalam kitab yang komitmen dengan hadits-hadits shohih, seperti Shohih Bukhori9.
  4. Hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang bersambung dari jalan yang lain yang memenuhi semua persyaratan untuk diterimanya hadits10.
Tadlis
  1. Penjelasannya
  2. Pembagiannya
  3. Tingkatan mudallis
  4. Hukum perowi yang mudallis
1. Tadlis adalah membawakan hadits dengan satu sanad sehingga dipahami bahwa sanad tersebut lebih tinggi dari pada kualitas senyatanya.
2. Tadlis terbagi menjadi dua: tadlis isnad dan tadlis guru.
Tadlis isnad

Tadlis isnad adalah seorang rowi meriwayatkan dari orang yang dijumpainya, hadits yang tidak dia dengar atau tidak dia lihat perbuatannya dengan kata-kata yang bisa dipahami bahwa orang tersebut mendengar atau melihatnya secara langsung. Contohnya: “Ia berkata” (قال), “ia melakukan” (فعل), “dari fulan” (عن فلان), “fulan berkata” ((قال فلان,”fulan melakukan” (فلانفعل) dan yang semisal itu.
Tadlis guru
Tadlis guru adalah seorang rowi menamakan gurunya, atau mensifatinya dengan nama atau sifat yang tidak terkenal sehingga gurunya tidak dikenal. Hal ini disebabkan mungkin karena gurunya lebih muda darinya, dan ia tidak suka jika diketahui meriwayatkan dari yang lebih muda, atau agar orang mengira gurunya banyak, atau maksud-maksud lainnya.
3. Rowi mudallis ada banyak; ada yang dho’if dan ada yang tsiqoh seperti Hasan Al Bashri, Humaid At Tuwaili, Sulaiman ibn Mahron Al ‘Amasy, Muhammad ibn Ishaq dan Walid ibn Muslim. Al Hafidz Ibnu Hajar mengklasifikasikan rowi mudallis menjadi lima tingkatan:
  1. Rowi yang tidak divonis melakukan tadlis kecuali langka. Seperti Yahya ibn Sa’id.
  2. Rowi yang para imam masih berlapang dada terhadap tadlisnya (masih dimaafkan). Oleh karena itulah para ulama masih memakai riwayatnya dalam kitab shohih karena dia adalah seorang Imam dan sedikitnya tadlis yang dia lakukan jika dibandingkan dengan riwayat yang dia sampaikan, semacam tadlisnya Imam Sufyan Atsauri. Atau karena rowi tersebut tidak melakukan tadlis kecuali dari seorang rowi yang tsiqoh, semacam Imam Sufyan ibn ‘Uyainah.
  3. Rowi yang sering melakukan tadlis tanpa membatasi diri dengan rowi-rowi yang tsiqoh. Sehingga yang tidak disebutkan boleh jadi rowi tsiqoh
    ataupun rowi yang dho’if. Semacam Abu Zubair Al Makiy.
  4. Rowi yang mayoritas tadlisnya adalah rowi yang dho’if dan tidak dikenal. Seperti Baqiyah ibn Al Walid.
  5. Orang yang disamping melakukan tadlis, memiliki kelemahan karena faktor lain. Misal, ‘Abdulah ibn Luhai’ah11.
4. Hadits mudallis tidak diterima kecuali mudallisnya adalah orang yang tsiqoh (terpercaya), dan dia menegaskan bahwa ia mengambilnya secara langsung dari gurunya dengan perkataan “aku
mendengar fulan berkata” (سمعت فلان), “aku melihat ia melakukan” (رأيته يفعل), “telah menceritakan padaku” (حدثني) dan yang semacam itu. Akan tetapi riwayat yang terdapat dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim dengan bentuk tadlis dari rowi tsiqoh yang mudallis, maka haditsnya diterima karena umat Islam menerima semua riwayat dari kedua Imam tersebut dengan tanpa perincian
Mudhthorib
  1. Penjelasannya
  2. Hukumnya
1. Mudhthorib adalah hadits yang para rowinya berselisih dalam sanad atau matannya yang tidak mungkin dikompromikan.
Contohnya, hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar rodhiallahu’anhu bahwasannya ia berkata pada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku melihat engkau beruban”. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku beruban karena memikirkan yang Allah turunkan dalam surat Hud dan surat-surat sejenisnya.”
Hadits ini diperselisihkan dalam 10 masalah. Hadits ini ada yang diriwayatkan secara maushul dan mursal. Ada yang mengatakan dari Abu Bakar, ada yang dari ‘Aisyah atau Sa’ad dengan perselisihan yang tidak mungkin dikompromikan atau dirojihkan (dipilih yang lebih kuat).
  • Jika mungkin dikompromikan;
    Maka wajib dikompromikan dan hilanglah status idhthirob12.
    Contohnya:
    Perbedaan riwayat tentang jenis ihrom Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam pada haji wada’. Sebagian mengatakan Nabi haji ifrod saja, ada yang mengatakan haji tammatu ada juga yang mengatakan bahwa Nabi melakukan haji qiron13. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada kontradiksi dalam hal tersebut. Nabi melakukan tamatu’ tamatu’ qiron. Qiron bisa juga disebut tamatu’. Tamatu’ ada dua macam, yaitu tamatu’ dengan makna tamatu’ dan tamatu’ dengan makna qiron. Tamatu’ Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah tamatu’ qiron. Dan nabi menyendirikan perbuatan manasik haji dan menggandengkan antara dua ibadah yaitu umroh dan haji. Maka haji itu adalah haji qiron dengan menyatukan manasik. Jadi, disebut haji ifrod dengan pertimbangan bahwa Nabi mencukupkan degan satu tawaf dan sa’i, dan disebut mutamatu’ dengan pertimbangan kesenangan yang beliau dapatkan dengan meninggalkan salah satu dari dua safar.”
  • Jika mungkin dirojihkan;
    Wajib mengamalkan yang dan hilanglah status idhthirob.
    Contohnya:
    Perselisihan pada riwayat hadits Barirah rodhiallahu ‘anha ketika dia dimerdekakan dari status budak. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memberinya pilihan antara tetap bersama suaminya atau berpisah dari suaminya14. Perselisihannya: Apakah suaminya adalah orang yang merdeka atau budak?
    Diriwayatkan dari Al Aswad dari ‘Aisyah15 rodhiallahu’anha bahwasannya suaminya adalah orang yang merdeka. Tapi riwayat dari ‘Urwah ibn Zubair16 dan Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar bahwasannya suaminya adalah seorang budak.
    Yang dinilai rojih dari kedua riwayat tersebut riwayat ‘Urwah ibn Zubair dan Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar dikarenakan kedekatan keduanya dengan ‘Aisyah. ‘Aisyah adaah bibi dari ‘Urwah dan bibi dari Qosim. Sedangkan Al Aswad tidak punya hubungan dengan ‘Aisyah ditambah ada keterputusan di dalam riwayatnya.
2. Hukum hadits mudhtorib adalah dho’if dan tidak dapat dijadikan hujjah. Karena idhthirobnya menunjukkan adanya rowi yang tidak kuat hafalannya. Akan tetapi jika idhthirob tersebut tidak berkaitan dengan pokok hadits, maka tidak mengapa.
Contohnya:
Perselisihan perowi dalam hadits dari Fadholah ibn ‘Ubaid rodhiallahu’anhu,bahwasannnya ia membeli kalung pada perang Haibar sebanyak 12 dinar.Pada kalung tersebut terdapat emas dan manik-manik. Ia berkata, “Maka aku memisahkannya dan aku mendapatkannya nilainya lebih dari 12 dinar. Lalu aku menceritakan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun bersabda, “Kalung tersebut tidak boleh dijual sampai dipisah.”
Maka pada riwayat yang lain, Fadholahlah yang membeli kalung tersebut. Riwayat lainnya, ada orang lain selain Fadholah yang bertanya tentang hukum membeli kalung tersebut.
Dalam riwayat lain: Bahwasannya itu emas dan manik-manik.
Pada riwayat yang lain: Emas dan permata.
Riwayat yang lain: Manik-manik yang digantungi emas.
Riwayat yang lain: dengan nilai 11 dinar.
Riwayat yang lain: dengan nilai 9 dinar.
Riwayat yang lain: dengan nilai 7 dinar.
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Perselisihan ini tidaklah menyebabkan kelemahan hadits, karena maksud pokok dari berdalil dengan hadits tersebut tetap terjaga dan tidak ada perselisihan di dalamnya, yaitu pelarangan jual beli sesuatu yang belum terpisah. Adapun jenisnya atau kadar, ukuran harganya maka dalam hal ini tidak memiliki hubungan dengan menjadi idththirob atau tidak.”
Demikian pula bukan penyebab idhthirob, perbedaan tentang nama perowi, kunyahnya atau yang semacam itu, padahal yang dimaksudkan adalah sama sebagaimana didapatkan pada banyak hadits-hadits yang shohih.
1 Keterputusan sanad ada yang jelas dan tidak jelas. Yang tidak jelas akan dibahas di tadlis.
2 Maka nanti mursal ada dua.
3 Atau hadits yang dibuang di awal sanad. Awal sanad adalah orang yang berada di atas pencatat hadits. Orang setelah Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah akhir sanad. Terkadang dibuang semua sanadnya oleh Imam Bukhori. Mu’allaq dalam Imam Bukhori disebutkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam salah
satu kitabnya.
4 Munqothi’ ini memiliki dua pengertian.
5 Sebagaimana Islam itu punya tingkatan, yaitu Islam, Iman, Ihsan. Jadi, Islam itu ada di Islam itu sendiri.
6 Guru Imam Bukhori yang Imam Bukhori paling banyak meriwayatkan hadits darinya.
7 Semacam ucapan Ibnu Abbas tentang turunnya wahyu pertama kali. Ibnu Abbas lahir 3 tahun sebelum hijrah. Maka tentu dia tidak mengetahui dan tidak menyaksikan langsung kejadian di awal wahyu, sehingga tentu dia mendapatkan dari sahabat yang lain. Mursal shohabi tidak mempengaruhi keabsahan hadits. Karena meski kita tidak mengetahui sahabat yang dibuang, akan tetapi itu tidaklah masalah karena semua sahabat Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah adil.
8 Kibar tabi’in : mereka yang mayoritas riwayatnya berasal dari para sahabat, seperti Sa’id ibn Musayyib, ‘Urwah ibn Zubair. Jadi, mereka sedikit meriwayatkan dari sesama tabi’in.
9 Akan tetapi, hadits mu’alaq dalam Shohih Bukhori bukanlah sebagai bagian dari Shohih Bukhori meskipun ia tercantum dalam kitab Shohih Bukhori. Oleh karena itu ketika orang menyampaikan hadits mu’alaq Imam Bukhori dalam Shohih Bukhori harus disebutkan, “Diriwayatkan oleh Imam Bukhori secara mu’alaq” karena mu’alaq tersebut bukan bagian dari Shohih Bukhori. Karena judul asli kitab shohih Bukhori adalah Al Jam’i As Shohih Al Musnad. Al Jami’ yaitu kitab hadits yang mengumpulkan hadits dalam banyak bab, baik fiqh dan selainnya. Kalau hanya dalam bab fiqh saja disebut Sunan. Mu’alaq dalam Shohih Bukhoriada kata-kata yang tegas ada yang tidak tegas. Jika yang tidak tegas maka Imam Bukhori tidak menjamin keshohihan hadits ini. Sedangkan Al Musnad adalah yang bersanad.
10 Ada pertanyaan, “Apakah semua hadits yang shohih diamalkan?” Belum tentu. Dilihat dulu, apakah hadits tersebut mansukh. Jadi masih harus melihat hal yang lainnya. Misalnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam berdiri ketika ada jenazah lewat. Hadits ini shohih. Tapi kemudian mansukh. Karena setelah itu nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk berdiri ketika jenazah lewat. Dan juga tidak setiap hadits dho’if ditinggalkan. Jika bisa naik menjadi hadits hasan lighoiri, maka hadits dho’if tersebut bisa diamalkan.
11 Ia mulai kacau hafalannya setelah kitab-kitabnya terbakar. Namun, ia memiliki empat murid yang bernama ‘Abdulah yang belajar padanya sebelum kitab-kitabnya terbakar. Sehingga riwayatnya dapat diterima melalui empat murid tersebut.
12Dan tidak lagi isebut hadits mudhtorib.
13 Berihrom untuk menjalankan haji dan umroh sekaligus dan tidak tahallulkecuali tanggal 10 dzulhijjaah.
14 Suami Barirah bernama Mughits.
15 Dan ‘Aisyah inilah yang membeli Bariroh kemudian memerdekakannya.
16 Anak dari Asma binti Abu Bakar.






Taisir Musthalah Hadits 6: Idroj, Ziyadah, Meringkas Hadits dan Meriwayatkan Dengan Makna


Idroj dalam matan
  1. Definisinya
  2. Kedudukannya dan contoh
  3. Kapan dinilai itu sebagai hadits sisipan
1. Idroj (sisipan) dalam matan : Salah seorang rowi memasukkan kata-kata yang berasal dari dirinya sendiri tanpa dia jelaskan bahwa itu adalah kata-katanya sendiri. Dia melakukan itu bisa jadi untuk menjelaskan kata-kata yang asing dalam hadits tersebut, istinbath hukum (mengambil kesimpulan hukum) atau untuk menjelaskan hikmah.

2. Idroj di awal hadits, tengah hadits atau akhir hadits.
Contoh idroj di awal matan:

Hadits dari Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.
Sempurnakanlah wudhu, celakalah tumit-tumit yang tidak terkena air, celakalah karena berada di neraka.” [1]
Kata-kata “sempurnakanlah wudhu” adalah sisipan yaitu ucapan Abu Hurioroh rodhiallahu ‘anhu. Hal ini diketahui berdasarkan satu riwayat dalam Shohih Bukhori. Dalam riwayat tersebut, Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu mengatakan,
“Sempurnakanlah wudhu, karena Abul Qosim shollallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,’Celakalah tumit-tumit yang tidak terkena air.’”
Contoh sisipan di tengah matan:
Hadits dari ‘Aisyah rodhiallahu ‘anha tentang awal mula datangnya wahyu pada Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hadits tersebut, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersepi-sepi di Gua Hiro, lalu ber-tahanus (pada asalnya artinya adalah menjauhi dosa), namun di sini dijelaskan oleh rowi maksud dari tahanus yaitu beribadah selama beberapa malam yang bisa di hitung.
Kata-kata “tahanus adalah beribadah” adalah sisipan, tepatnya merupakan perkataan az-Zuhri. Hal ini dijelaskan satu riwayat dalam riwayat Bukhori dari jalurnya Zuhri, dengan lafadz bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Gua Hiro dan tahanus di dalamnya, Zuhri mengatakan, makna tahanus adalah beribadah. Kemudian Zuhri melanjutkan pada beberapa malam yang bisa dihitung.
Contoh idroj di akhir matan:
Hadits Abu Hurorioh rodhiallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan putih terang wajah, tangan dan kaki, karena bekas wudhu. Oleh karena itu siapa diantara kalian yang mampu memanjangkan cahaya putih terangnya maka hendaknya ia lakukan.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.
Kata-kata “Siapa diantara kalian yang mampu memanjangkan cahayanya maka lakukanlah”, adalah perkataaan Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu yang menyebabkan perkataan Abu Huroiroh ini masuk ke hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang rowi yang bernama Nu’aim ibn Mujmir[2].
Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, dari Nu’aim ibn Mujmir, beliau mengatakan, “Saya tidak tahu apakah itu sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam atau kata-kata Abu Huroiroh” [3]. Lebih dari satu pakar hadits yang menegaskan bahwa kata-kata tersebut adalah sisipan. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan itu tidak mungkin merupakan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam [4].
3. Tidak bisa dinilai sebagai sisipan sampai ada bukti.
Sehingga hukum asalnya adalah bagian dari hadits dan bisa diketahui:
  • Dengan ucapan rowi itu sendiri.
  • Ucapan Imam yang teranggap ucapannya.
  • Dari kata-kata yang disisipkan karena mustahil Nabi mengatakannya
Ziyadah Dalam Hadits
  1. Pengertiannya
  2. Pembagiannya, penjelasan hukum pada masing-masing pembagian beserta contohnya.
1. Ziyadah (tambahan) dalam hadits :
Salah seorang rowi (periwayat hadits) menambahi redaksi (matan) hadits dengan sesuatu yang bukan merupakan bagian dari hadis tersebut.
2. Ziyadah terbagi menjadi dua macam:
1. Ziyadah yang sejenis dengan idroj.
Merupakan tambahan yang diberikan seorang rowi dari dirinya sendiri, tanpa bermaksud bahwa tambahan tersebut merupakan bagian dari hadits. Penjelasan hukumnya telah disampaikan di muka.
2. Ziyadah yang diberikan oleh sebagian rowi dengan maksud bahwa tambahan tersebut merupakan bagian dari hadits. Jenis ini terbagi menjadi dua:
  • Jika datang dari rowi yang tidak tsiqoh. Maka tidak diterima dikarenakan riwayat rowi tersebut jika sendirian itu tidak diterima, maka tambahan yang dia berikan pada riwayat orang lain lebih layak untuk ditolak.
  • Jika datang dari rowi yang tsiqoh: Jika bertentangan dengan riwayat lain yang jalannya lebih banyak atau periwayatannya lebih tsiqoh, maka tidak diterima dikarenakan riwayat ini termasuk hadits yang syadz. Misal:Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwattho bahwasannya Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma jika memulai sholat, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu. Abu Daud berkata, “Tidak disebutkan ‘beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu’ oleh seorang pun selain Malik menurut sepengetahuanku.” Dan riwayat yang shohih dari Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma, marfu’ kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan pundaknya jika memulai sholat, dan ketika ruku’, ketika bangkit dari ruku’ tanpa dibeda-bedakan.
    Jika tidak bertentangan dengan rowi selainnya maka diterima, dikarenakan didalamnya terdapat tambahan ilmu. Misal:Hadis Umar radhiallahu ’anhu bahwasannya beliau mendengar Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    “Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu sampai selesai dan sempurna kemudian mengucapkan:’ Asyhadu allaa ilaaha illallah , wa anna muhammadan ’abdullahi wa rasuuluh’ melainkan dibukakan baginya pintu syurga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk dari pintu mana yang dia inginkan.”
    Hadits ini telah diriwayatkan oleh Muslim dari dua jalan periwayatan. Pada salah satu dari keduanya terdapat tambahan (وحده لا شريكله) setelah (إلاّ اللّه).
Meringkas Hadits
  1. Pengertiannya
  2. Hukumnya
1. Meringkas hadits (احتصار الحديث):
Seorang rowi atau penukil hadits membuang sebagian dari hadits.
2. Tidak diperbolehkan meringkas hadits kecuali dengan lima syarat:
1. Tidak merusak makna hadits. Seperti pengecualian, tujuan, keadaan/keterangan, syarat, dan selainnya. Misal, sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
لا تبيعوا الذهب با الذهب إلاّ مثلا بمثل
“Jangan kalian menukar emas dengan emas kecuali semisal dengan semisal.”
لا فبيعوا الثمر حتى يبدو صلاحه
“Janganlah kalian menjual buah-buahan sampai tambak baiknya.”
لا يقضين حكم بين اثنين و هو غضبان
“Janganlah memutuskan hukum antara dua perkara sedangkan dia dalam keadaan emosi.”
نعم، اذا هي رأت الماء
“Iya, jika kalian melihat air.” Perkataan nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jawaban kepada Ummu Sulaim tentang pertanyaannya, Apakah wanita wajib mandi jika bermimpi?
لا يقل أحد كم: اللهم اغفر لي إن شئت
“Jangan berkata salah seorang dari kalian: ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki.”
الحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة
“Haji mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali surga.”
Maka tidak boleh membuang perkataan
“kecuali semisal dengan semisal” (إلاّ مثلا بمثل)
“sampai tampak baiknya” (حتى يبدو صلاحه)
“sedangkan dia dalam keadaan emosi” (هو غضبان)
“jika kalian melihat air” (اذا هي رأت الماء)
“jika Engkau menghendaki” (إن شئت)
“mabrur” (المبرور)
Dikarenakan membuang kata-kata diatas merusak makna hadits
2. Tidak membuang redaksi hadits/matan yang hadits itu datang karenanya,
Misal:
أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم فقال: إنا نركب الرحر و نحمل معنا القليل من الماء، فإن توضأنا به: عطشنا، أفنتوضأ بماء البحر. فقال النبي: ((هو الطهور ماؤه، الحل ميتته))
Hadits Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu: seseorang bertanya pada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam “Sesungguhnya kami menaiki perahu di laut dan kami membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Maka Nabi bersabda: “Laut itu suci airnya dan halah bangkainya.”
Maka tidak boleh menghapus sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (هو الطهور ماؤه، الحل ميتته) karena hadits ini datang karenanya, maka dia adalah maksud pokok dari hadits tersebut.
3. Yang dibuang bukan merupakan penjelasan tentang tata cara ibadah, baik berupa perkataan atau perbuatan.
Misal:
أن النبي صلى الله عليه و سلم قالك (( إذا جلس أحدكم في الصلاة فليقل: التحيات لله و الصلوات و الطيبات السلم عليك ايها النبي و رحمة الله و بركته السلم علينا و على عباد الله الصابحين أشهد أن لا إله لا الله و أشهد أن محمدا عبده و رسوله))
Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian duduk dalam sholat, maka hendaknya dia membaca: ” Attahiyyaatu lillahi washolawaatu wathoyyibaat, Assalaamu ’alaika ayyuhannabiyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, Assalamu ’alainaa wa ’ala ’ibaadillahishoolihiin, Asyhadu allaa ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan ’abduhu wa rasuuluh”
Maka tidak boleh menghapus satu bagian pun dari hadits ini karena akan merusak tata cara ibadah yang disyari’atkan, kecuali dengan menjelaskan bahwa ada bagian hadits yang dipotong atau dibuang.
4. Hendaknya yang membuang, mempunyai ilmu tentang kandungan lafadz.
Lafadz mana yang merusak makna jika dibuang dan mana yang tidak merusak, supaya tidak membuang lafadz yang merusak makna secara tidak sadar.
5. Rowi yang melakukan pengurangan hadits tidak akan menjadi sasaran tuduhan; karena dikira jelek hafalannya jika dia meringkasnya, atau dikira memberi tambahan jika dia menyempurnakannya, karena memeringkas pada keadaan ini menyebabkan orang akan ragu-ragu untuk menerima rowi tersebut sehingga hadits menjadi lemah karenanya. Persyaratan ke-lima ini untuk hadits yang tidak tercatat, karena jika hadits tersebut sudah tertulis maka dapat merujuk pada kitab yang mencatatnya dan hilanglah keraguan.
Jika semua syarat-syarat tersebut sudah dipenuhi, maka diperbolehkan meringkas hadits. Lebih-lebih memotong hadits untuk berdalil pada setiap potongan hadits pada tempat yang tepat. Banyak ulama’ dari kalangan ahlul hadits dan ahlul fikih yang melakukan hal ini. Lebih baik lagi pada saat meringkas hadits ditambahi penjelasan adanya peringkasan, dengan perkataan “hingga akhir hadits”, atau “sebagaimana yang disebutkan oleh suatu hadits” , dan selainnya.
Meriwayatkan Hadits dengan makna
  1. Pengertiannya
  2. Hukumnya
1. Meriwayatkan hadits dengan makna, yaitu menukilkan hadits dengan lafadz yang bukan lafadz asli yang diriwayatkan.
2. Tidak boleh meriwayatkan hadits dengan makna kecuali dengan tiga syarat:
1. Dilakukan oleh orang yang mengetahui maknanya dari sisi bahasa, dan dari sisi maksud teks yang diriwayatkan.
2. Terpaksa melakukannya, semisal karena rowi lupa dengan teks asli hadits tersebut tapi ingat maknanya. Jika teks hadits masih ingat, maka tidak boleh merubah kecuali jika dituntut kebutuhan untuk memahamkan orang yang diajak bicara dengan bahasa yang lebih mudah dipahami.
3. Lafadz hadits tersebut bukan merupakan lafadz yang digunakan untuk beribadah., seperti lafadz dzikir, dan selainnya.
Jika meriwayatkan hadits dengan makna, maka hendaknya disampaikan sesuatu yang menunjukkan hal itu, dengan mengatakan sesudah menyampaikan hadits:, “Atau semisal yang dikatakan oleh Nabi” (أو كما قال), atau “semisal itu” (أو نحوه).
Seperti yang ada dalam hadits dari Anas rodhiallahu ‘anhu tentang kisah orang Arab badui yang kencing di dalam masjid, kemudian Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan berkata padanya:
إن هذه المساجد لا تصلح لشيء من هذا البول و لا القذر؛ إنما هي الذكرالله – عز و جل - ، و الصلاةن و قراءة القران، أو كما قال صلى الله عليه و سلم
“Sesungguhnya masjid ini tidak sepantasnya terkena air kencing, tidak pula kotoran, sesungguhnya ia adalah untuk mengingat Allah ’Azza wa Jalla , sholat, dan membaca Al Quran”, atau semisal yang dikatakan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Juga seperti yang ada dalam hadits dari Mu’awiyah bin Hakam. Beliau berkata-kata ketika sholat karena tidak tahu kalau hal tersebut terlarang. Setelah selesai sholat, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء كم كلام الناس؛ إنما هو : التسبيح، و تكبيرن ،و قراءة القران، أو كما قال صلى الله عليه و سلم
“Sesungguhnya sholat itu tidak sepantasnya di dalamnya terdapat perkataan orang. Sesungguhnya isi sholat adalah tasbih, takbir, dan membaca al quran”, atau semisal yang dikatakan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
1. Artinya siksaan hanya mengenai sebagian badan. Siksa neraka ada dua macam, ada yang meliputi sebagian badan dan ada yang meliputi seluruh badan. Dan ini adalah contoh yang mengenai sebagian badan. Demikian juga orang yang isbal. Bagian badan yang terjeluri kainlah yang dapat siksa di neraka. Namun, jangan remehkan siksaan neraka walaupun sebagian badan saja. Sungguh, orang yang mendapat siksaan dengan terompah neraka di telapak kakinya, yang mendidih adalah otaknya. Jadi, jangan diremehkan.
2 . Jadi, aslinya adalah terpisah. Akan tetapi karena Nu’aim ibn Mujmir maka perkataan Abu Huroiroh tadi tergabung dengan hadits Nabi dari Abu Hurorioh.
3. Jadi dia lupa, dan hanya dia yang membawa riwayat dengan menggabungkan antara perkataan Abu Huroiroh dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Karena Nabi adalah orang yang paling paham dan fasih bahasanya. Dan dalam bahasa Arab yang namanya ghurron adalah putih cemerlang di wajah. Dan wajah itu sudah ada batasannya mungkinkah dipanjangkan? Oleh karena ini jelas bahwa kata-kata tersebut adalah hadits mudroj, maka pendapat yang paling benar, tidak ada anjuran untuk melebihkan wudhu dari batasan yang telah ditetapkan oleh syari’at.





Taisir Musthalah Hadits 7: Maudhu’


Al Maudhu’
  1. Pengertiannya
  2. Hukumnya
  3. Tanda-tanda untuk mengetahui hadits palsu
  4. Contoh dari hadits-hadits palsu dan berbagai kitab yang memuat daftar hadits-hadits palsu
  5. Contoh orang yang memalsukan hadits

1. Al maudhu’ : Hadits yang didustakan atas Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Hadits maudhu’ merupakan hadits yang tertolak (1). Tidak boleh disebutkan kecuali disertai penjelasan tentang kepalsuannya dalam rangka memperingatkan bahwa hadits tersebut palsu. Sebagaimana sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
من حدث عني بحيث يرى أنه كذبٌ فهو احد الكاذبين
“Barang siapa mengucapkan dariku dengan sebuah hadits yang dia kira bahwa hadits tersebut adalah dusta maka dia salah seorang pendusta.” (HR Muslim)
3. Diantara tanda hadits palsu adalah sebagai berikut:
  • Pengakuan orang yang memalsukannya.
  • Bertentangan dengan akal. Misalnya, kandungan hadits tersebut mengumpulkan dua hal yang bertentangan, menetapkan hal yang mustahil, meniadakan adanya sesuatu yang harus ada, dan selainnya.
  • Bertentangan dengan yang diketahui secara pasti sebagai bagian dari agama. Misalnya hadits tersebut mengingkari salah satu rukun Islam, menghalalkan riba dan selainnya, menetapkan waktu terjadinya kiamat, atau menetapkan mungkin ada nabi setelah nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam dan selainnya.
4. Hadits-hadits maudhu’ banyak sekali diantaranya:
  • Hadits-hadits tentang ziarah kubur Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam
  • Hadits-hadits tentang keutamaan bulan Rajab dan keistimewaan sholat di bulan tersebut.
  • Hadits-hadits tentang hidupnya nabi Khidhir, sahabat nabi Musa ‘alaihissholatu wasalam dan bahwasannya beliau datang menemui nabi serta menghadiri pemakaman Nabi.
  • Hadits-hadits palsu tentang berbagai hal:
  • “Cintailah orang arab karena tiga hal, karena aku adalah orang arab, Al Quran itu berbahasa arab, dan bahasa penghuni surga adalah bahasa arab”
  • “Ikhtilaf umatku adalah rahmat”
  • “Bekerjalah untuk dunia seolah engkau hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhirat seolah engkau akan mati esok hari”
  • “Cinta dunia adalah sumber dari segala dosa”
  • “Cinta tanah air adalah bagian dari iman”
  • “Sebaik-baik nama adalah yang mengandung pujian dan penghambaan”
  • “Aku melarang jual beli dengan syarat”
  • “Hari puasa kalian adalah hari kalian menyembelih kurban”
Banyak dari ahli hadits yang menulis buku untuk menjelaskan hadits-hadits palsu dalam rangka membela sunnah dam memperingatkan umat darinya semisal:
  1. Maudhu’at Kubro . Ditulis oleh Ibnu Jauzi yang wafat pada tahun 597 H. Akan tetapi kitab ini tidak mencakup semua hadits palsu, dan di dalamnya dimasukkan hadits-hadits yang sebenarnya tidak palsu.
  2. Fawaidul Majmu’atu Fil Ahadiysil Maudhu’ah , ditulis oleh Asy Syaukani yang wafat pada tahun 1250 H. Di dalamnya penulis mudah memberikan vonis palsu sehingga beliau memasukkan hadits-hadits yang bukan maudhu’ ke dalamnya.
  3. Tanzihusy Syari’atil Marfu’atu ‘Anil Akhbarisy Syani’atil Maudhu’ah , ditulis oleh Ibnu ‘Iroqi yang wafat pada tahun 963 H. Kitab ini termasuk kitab terlengkap yang ditulis mengenai hal ini.
5. Pemalsu hadits sangat banyak
Diantara tokoh pemalsu hadits yang terkenal adalah: Ishaq bin Najh Al Malathi, Makmun bin Ahmad Al Harowi, Muhammad ibnu As Saib Al Kulbi, Al Mughiroh bin Sa’id Al Kufi, Muqotil bin Abi Sulaiman, Al Waqidi, Ibnu Abi Yahya.
Pemalsu hadits itu terdiri dari beberapa kelompok, diantaranya:
1. Az Zindik
Yaitu mereka yang pura-pura masuk Islam untuk merusak akidah kaum muslimin, dan memperburuk citra islam, dan merubah hukum Islam.
Misal: Muhammad bin Sa’id Al Mashlub yang dibunuh oleh Abu Ja’far Al Manshur. Dia memalsukan hadits dari Anas rodhiallahu ‘anhu yang disandarkan pada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku adalah penutup nabi, tidak ada nabi setelahku kecuali yang Allah kehendaki.”
Yang lain adalah ‘Abdul Karim bin Abi Al ‘Aujai yang dibunuh oleh salah seorang gubernur Abasiyah di Bashroh. Dia berkata saat dibawa untuk dibunuh, “Sesungguhnya aku telah membuat di tengah-tengah kalian empat ribu hadits. Di dalamnya aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram.”
Sungguh dikatakan bahwa orang-orang zindik telah memalsukan atas nama Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 14.000 hadits.
2. Orang yang hendak mencari muka kepada kholifah atau gubernur.
Misalnya Ghiyats bin Ibrohim. Ia pergi menemui Khalifah Al Mahdi yang sedang bermain burung merpati. Dikatakan padanya, “Sampaikan hadits pada amirul mukminin”, maka dia menyebutkan sebuah sanad untuk membuat hadits palsu atas Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh ada taruhan kecuali pada pacuan unta, melempar tombak, memanah, atau pacuan merpati.” Mendengar itu, Al Mahdi berkata “Aku yang menjadi penyebab orang itu membuat hadits palsu”, kemudian beliau meninggalkan burung merpati tersebut dan memerintahkan untuk disembelih (2).
3. Orang yang mencari perhatian kepada orang awam, dengan menyebut cerita yang aneh-aneh dalam rangka memotivasi mereka untuk berbuat taat, menakuti-nakuti mereka untuk berbuat maksiat, untuk mencari harta (3), atau mencari kedudukan.,Semacam tukang-tukang kisah di masa silam, yaitu orang-orang yang berbicara, memberikan pengajian di masjid-masjid di tempat orang berkumpul dengan cerita yang membuat keterpengahan, berupa cerita yang aneh-aneh.
Semisal dari Imam Ahmad ibn Hambal dan Imam Yahya ibn Ma’in. Keduanya suatu hari sholat di masjid Rosafah. Setelah selesai sholat berdirilah seorang tukang kisah/penceramah yang kemudian dia bercerita dan mengatakan “Bercerita kepada kami Ahmad ibn Hambal dan Yahya ibn Ma’in kemudian menyebutkan sanad sampai Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia mengatakan, “Barang siapa yang mengucapkan la ilaha illallah maka Allah ciptakan untuk setiap kalimat seekor burung, paruhnya dari emas, dan bulunya dari marjan (semacam tumbuh-tumbuhan yang indah) kemudian dia sebutkan sebuah kisah yang panjang (4).”
Ketika telah selesai bercerita, maka kemudian dia mengambil pemberian dari hadirin yang terkesima dengan ceritanya. Kemudian Imam Yahya ibn Ma’in berisyarat dengan tangannya kepada orang tersebut. Maka dia datang karena mengira akan mendapat uang. Imam Yahya ibn Ma’in bertanya kepadanya, “Siapa yang bercerita kepadamu hadits seperti ini?” Maka orang tersebut menjawab tanpa merasa bersalah, “Yang bercerita adalah Ahmad ibn Hambal dan Yahya ibn Ma’in (5).” Maka Yahya ibn Ma’in mengatakan, “Saya ini Yahya ibn Ma’in dan sebelah saya ini adalah Ahmad ibn Hambal. Dan kami tidak pernah mendengar hadits seperti ini dalam haditsnya Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka si tukang cerita itu berkata, “Aku tidak pernah mengira kalau Yahya ibn Ma’in dan Ahmad ibn Hambal itu lebih bodoh daripada dari hari ini. Memangnya Ahmad ibn Hambal dan Yahya ibn Ma’in di dunia ini hanya dua saja.” Maka si tukang cerita berkata dengan beraninya, “Selalu saja aku dengar bahwasannya Yahya ibn Ma’in itu lebih dungu yang kuperkirakan kecuali pada detik ini. Aku tidak pernah mengira Yahya ibn Ma’in seorang bodoh, dan tidak pernah kuperkirakan ia ternyata lebih bodoh lagi dari hari ini. Seakan-akan di dunia ini tidak ada Yahya ibn Ma’in dan Ahmad ibn Hambal kecuali kalian berdua. Sungguh aku telah menulis hadits dari 17 orang yang bernama Ahmad ibn Hambal dan 17 orang yang bernama Yahya ibn Ma’in.” Maka Imam Ahmad pun meletakkan lengan bajunya ke wajahnya dan mengatakan kepada Yahya ibn Ma’in, “Biarkan dia pergi.” Lalu dia berdiri dengan gaya seperti orang yang mengejek Yahya ibn Ma’in dan Ahmad ibn Hambal (6).
4. Semangat membela agama (7)
Akhirnya membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan Islam dan hal-hal yang berkaitan dengannya, tentang zuhud di dunia dan semacam itu. Maksudnya mulia, lillahita ‘ala tidak untuk mendapat uang tapi agar orang mempunyai perhatian terhadap agama. Semacam yang dilakukan Abu ‘Ishmah Nuh ibn Abi Maryam. Padahal dia seorang hakim di daerah Marwa. Dia membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan surat-surat Al-Qur’an, surat persurat (8). Kemudian diia mengatakan motivasi membuat hadits palsu, “Sungguh aku lihat banyak orang berpaling dari membaca Al-Qur’an. Orang sibuk mempelajari fiqh Abu Hanifah dan kitab Siroh Ibnu Ishaq. Maka aku membuat hadits palsu tersebu.t”
5. Karena penyakit fanatik
Yaitu orang yang fanatik dengan madzhab fiqih atau suatu metode atau suatu negara yang dia ikuti (9). Mereka membuat hadits-hadits tentang sesuatu yang mereka fanatik dengan menyanjung-nyanjungnya, semacam perbuatan Maisaroh ibn Abdu Robbihi yang mengaku telah memalsukan hadits Nabi sebanyak 70 hadits tentang keutamaan Ali ibn Abi Thalib .
  1. Tidak boleh dijadikan dalil
  2. Dalam hadits ini, terdapat tiga jenis permainan yang itu diperbolehkan dengan bertaruh, boleh juga tanpa bertaruh. Oleh karena itu, Syaikh Abdurrohman As Sa’di rohimahullah, membagi permainan menjadi tiga jenis,
    1. Permainan yang haram, baik menggunakan taruhan atau tidak. Misal : permainan yang menggunakan dadu, catur.
    2. Permainan yang halal, yang diperbolehkan menggunakan taruhan atau tidak, yaitu tiga jenis lomba ini.
    3. Permainan yang halal jika tidak menggunakan taruhan. Yaitu perlombaan yang selain tiga jenis ini.
    Demikian yang beliau katakan di Qowaid wal Ushul Jamiah.
  3. Semacam meningkatkan oplah majalah. Khusus di tempat kita majalah Hidayah.
  4. Lengkapnya tentang hadits dia ini ada di Durotun Nasihin di bab Keutamaan La ilaha illallah.
  5. Dibuku yang lain ada penjelasan, mereka saling bertanya, “Kamu pernah bercerita?”. Keduanya saling menjawab tidak.
  6. Kalau yang ada sekarang, misalnya ada yang meninggal, kemudian tanah tidak bisa menerimanya, tubuhnya bau, tubuhnya penuh belatung. Kemudian tukang cerita seakan-akan tahu yang ghoib mengatakan, “Ini seperti ini karena durhaka pada orang tua”. Padahal dosanya banyak sekali misalnya berjudi, tidak sholat. Darimana dia dapat memastikan belatung itu karena durhaka pada orangtua. Darimana tahu bahwa ini dan itu berhubungan. Adzab Allah Ta’ala adalah sesuatu yang ghoib. Itulah tukang kisah di zaman ini. Kalau tukang kisah di masa silam membuat sanad palsu, hadits palsu.
  7. Ulama menyebutnya, membuat hadits karena motivasi ihtisaban (karena lillahi Ta’ala) namun membuat hadits palsu. Mereka mengatakan yang dilarang adalah “Barangsiapa berdusta atas namaku” sedangkan yang kami lakukan, “Barangsiapa berdusta yang menguntungkan Rosulullah”, jadi kami tidak dosa. Ini terjadi karena semangat tanpa ilmu. Mutahamisun terjadi karena semangat yang luar biasa terhadap agama.
  8. Yang menyedihkan, adalah ada orang yang menulis buku dan isinya mencantumkan hadits-hadits palsu ini dan lebih menyedihkan lagi bukunya sudah diterjemahkan.
  9. Bahkan karena sangat fanatiknya dengan seseorang sampai ada yang membuat hadits palsu. Semacam hadits, “Lentera umatku adalah Abu Hanifah dan akan muncul di tengah-tengah umatku manusia yang lebih bahaya daripada Dajjal yang bernama Muhammad ibn Idris As Syafi’i”. Hadits-hadits ini muncul karena fantaik berat dengan madzhab.





Taisir Musthalah Hadits 8 (Jarh dan Ta’dil)


JARH (CELAAN)
Definisi
Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan satu pernyataan yang mengharuskan untuk menolak riwayatnya. Dengan menetapkan sifat penolakan atau menafikan (meniadakan) sifat untuk diterima haditsnya. Semisal dikatakan, dia adalah: pembohong (كذاب ), fasiq (فاسق ) lemah (ضعيف ), tidak tsiqah ( ليس بثقة ), tidak dianggap (لا يعتبر ) atau tidak ditulis haditsnya ( لا بكتب حديثه ).
Pembagian
Jarh terbagi menjadi dua, yaitu mutlaq dan muqayyad
Mutlaq
Jika disebut seorang rawi dengan jarh (celaan) tanpa batasan, maka dia menjadi cacat di setiap keadaan.
Muqoyyad
Disebutkannya seorang rawi dengan jarh, namun jarh tersebut dikaitkan dengan hal tertentu (ada pemberian catatan), semisal berkaitan dengan guru tertentu atau sekelompok orang tertentu atau semacamnya, maka jarh tersebut menjadi cacat pada rawi tersebut jika dikaitkan dengan hal tersebut dan tidak berlaku untuk yang lainnya.
Contoh :
Perkataan Ibnu Hajar dalam Taqribu Tahdzib tentang Zaid ibn Habab – rawi ini dipakai Imam Muslim – Ibnu Hajar mengatakan “Dia adalah orang yang jujur (1). Namun, riwayat-riwayatnya adalah keliru jika dia dapatkan dari gurunya yang bernama Sufyan Atsauri. Namun dia tidak dha’if untuk guru yang lain.”
Contoh lain:
Perkataan penulis kitab Al Kholashoh tentang Isma’il ibn ‘Iyas, “Orang ini ditsiqahkan Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan Bukhori khusus untuk riwayat dari orang Syam, akan tetapi para ulama mendha’ifkan Ismail jika gurunya adalah orang Hijaz.” Jadi, dia dha’if dalam hadits yang diambil dari orang-orang Hijaz namun tidak dha’if jika gurunya dari penduduk Syam (2).
Dan semisal itu, jika dikatakan orang tersebut adalah dha’if jika berkenaan dengan hadits tentang sifat Allah. Maka rawi tersebut bukan rawi yang dha’if untuk riwayat yang lain.
Akan tetapi jika maksud jarh adalah untuk membantah klaim tsiqah dalam batasan/catatan tersebut, maka hal ini tidak menghalangi rawi tersebut sebagai orang yang dha’if dalam keadaan lain (3).
Tingkatan jarh
Yang paling keras adalah yang menyebutkan dengan puncaknya dalam celaan. Misalnya: “orang yang paling pendusta” (أكذب الناس ), “sendi kedustaan” ( ركن الكذب ).
Kemudian apa yang menunjukkan berlebih-lebihan, akan tetapi tidak sampai seperti yang pertama. Misalnya : tukang bohong ( كذاب ), pembuat hadits palsu ( وضاع ), pembohong (دجال ).
Dan yang paling ringan: lembek haditsnya (لينٌ ), lemah hafalannya ( سيئُ الحفظ ) atau orang tersebut ada pembicaraan pada dirinya (فيه مقال ).
Di antara tiga tingkatan tersebut terdapat berbagai tingkatan jarh yang sudah dikenal (4).
Syarat penerimaan jarh
Terdapat lima syarat penerimaan jarh, yaitu:
  1. Hendaknya ia adalah orang yang adil, sehingga tidak diterima jarh dari orang fasiq.
  2. Hendaknya dia adalah yang teliti, sehingga tidak diterima jarh dari orang yang mughfil (tidak teliti).
  3. Hendaknya dia adalah orang yang arif dan mengetahui sebab-sebab cacatnya rawi. Maka tidak diterima jarh dari orang yang tidak mengetahui sebab-sebab cacatnya seorang rawi.
  4. Menjelaskan sebab-sebab jarh. Maka tidak diterima jarh yang samar, semacam mencukupkan diri dengan mengatakan “dia dha’if, tidak diterima haditsnya” tanpa menjelaskan sebab-sebabnya. Hal ini dikarenakan terkadang seseorang menjarh seseorang dengan sebab yang tidak menyebabkan jarh. Inilah pendapat yang masyhur.Ibnu Hajar rahimahullah memilih pendapat diterimanya jarh yang samar (mubham) kecuali dari orang yang sudah diketahui bahwa dia adalah perawi yang adil. Jika demikian, maka tidak diterima jarhnya kecuali dengan menjelaskan sebab-sebabnya. Dan inilah pendapat yang rajih, khususnya jika orang yang menjarh adalah ulama yang pakar dalam ilmu ini.
  5. Hendaknya jarh tersebut tidak tertuju kepada orang yang mutawatir keadilannya dan dia terkenal sebagai imam (dalam agama) semacam Nafi’ (Maula Ibnu Umar), Syu’bah, Imam Malik, Imam Bukhari. Maka tidak diterima jarh untuk orang-orang semisal mereka.
TA’DIL (PENILAIAN BAIK)
Defenisinya
Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan perkataan yang menyebabkan wajib diterimanya riwayat darinya, bisa berupa sifat diterimanya riwayat atau menafikan sifat ditolaknya riwayat. Misalnya dikatakan : dia “tsiqah (terpercaya)” (هو ثقة ), “tidak mengapa dengannya” (لا بأس به ) atau “tidak ditolak hadits darinya” (لا يرد حديثه ).
Pembagian Ta’dil
Ta’dil terbagi menjadi dua: Mutlaq dan Muqoyyad
Mutlak
Disebutkannya seorang rawi dengan ta’dil tanpa persyaratan. Maka rawi tersebut tsiqah dalam setiap kondisi.
Muqayyad
Disebutkannya seorang rawi dengan ta’dil,namun ta’dil tersebut dikaitkan dengan hal tertentu (ada pemberian catatan), baik dari guru tertentu atau sekelompok orang tertentu atau sejwenisnya. Maka ta’dil ini adalah penilaian tsiqah tentang orang ini pada keadaan tertentu tersebut dan tidak pada keadaan selainnya.
Misalnya dikatakan “Dia ini tsiqah bila membawakan hadits dari Az Zuhri atau hadits yang dia dapatkan berasal dari orang Hijaz.” Maka rawi ini tidak tsiqah dalam riwayat yang dia bawakan dari orang lain yang dia tidak ditsiqahkan.
Akan tetapi jika ta’dil muqayyad maksudnya adalah untuk membantah klaim dha’ifnya rawi tersebut, maka hal tersebut tidak menghalangi ketsiqahan rawi tersebut pada selain bantahan tersebut.
Tingkatan ta’dil
Yang paling tinggi adalah yang menunjukkan puncaknya dalam ta’dil. Semacam: “manusia yang paling terpercaya” ( اوثق الناس ), “padanya terdapat puncak ketekunan” (إليه المنتهى ), (فيه الثبت )
Dengan kata-kata yang menguatkan ta’dilnya dengan satu sifat atau dua sifat. Semacam “tsiqah tsiqah” (ثقت ثقة ) atau “tsiqah tsabat” (ثقت ثبت ).
Yang paling rendah adalah kata-kata pujian yang dekat dengan jarh yg paling ringan. Semisal dikatakan “dia adalah orang yang sholeh” ( صالح ), “dia adalah dekat” (مقارب ), “diriwayatkan haditsnya” (يروى حديثه ) atau kata-kata semisal.
Di antara tiga tingkatan tersebut terdapat berbagai tingkatan ta’dil yang sudah dikenal.
Persyaratan diterimanya ta’dil
Persyaratan diterimanya ta’dil ada empat, yaitu:
  1. Orangnya adil, sehingga tidak diterima ta’dil dari orang fasiq.
  2. Orangnya cermat, sehingga tidak diterima ta’dil dari orang yang tidak cermat karena dia bisa saja tertipu dengan kondisi orang tersebut.
  3. Hendaknya orang tersebut mengetahui sebab-sebab ta’dil. Maka tidak diterima ta’dil dari orang yang tidak mengetahui sifat-sifat diterima atau ditolaknya suatu riwayat.
  4. Hendaknya ta’dil tersebut tidak berkenaan dengan orang yang terkenal dengan sifat-sifat yang mengharuskan riwayatnya ditolak karena dusta, nyata kefasiqannya atau yang selainnya.
KONTRADIKSI ANTARA JARH DAN TA’DIL
Definisinya
Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan sesuatu yang mengharuskan untuk menolak riwayat darinya atau mengharuskan diterima riwayatnya. Contohnya perkataan sebagaian ulama, “dia tsiqah“, kemudian sebagian yang lain mengatakan, “dia dha’if“.
Keadaan kontradiksi antara jarh dan ta’dil
Keadaan kontradiksi antara jarh dan ta’dil ada empat
Keadaan Pertama
Antara jarh dan ta’dil sama-sama mubham (samar). Maksudnya tidak dijelaskan pada keduanya sebab-sebab jarh atau ta’dil.
Maka jika kita katakan tidak diterima jarh yang mubham (samar), berarti kita mengambil ta’dilnya (meskipun mubham) karena hakikatnya tidak terdapat jarh yang menyelisihinya.
Sedangkan jika kita menerima jarh yang mubham (samar) dan itulah pendapat yang kuat, maka terjadi pertentangan (antara jarh dan ta’dil). Jika demikian keadaannya, maka yang kita ambil adalah yang paling mendekati kebenaran, baik dengan melihat sifat adil pemberi jarh dan ta’dil, pengetahuan pemberi jarh dan ta’dil tentang keadaan rawi, atau dengan sebab-sebab jarh dan ta’dil atau dengan melihat jumlah yang terbanyak.
Keadaan Kedua
Antara jarh dan ta’dil sama-sama dijelaskan (tidak mubham/samar). Maksudnya, sebab-sebab jarh dan ta’dil dijelaskan. Jika demikian, maka kita mengambil jarh, karena orang yang mengatakan jarh tersebut mempunyai tambahan ilmu (tentang perawi keadaan tersebut). Kecuali jika ahli ta’dil mengatakan : ”Kami mengetahui sebab-sebab jarhnya telah hilang.” Maka pada saat seperti ini, kita mengambil ta’dil karena orang yang menta’dil mempunyai tambahan ilmu (tentang keadaan rawi) yang tidak dimiliki oleh orang yang menjarh.
Keadaan Ketiga
Jika disebutkan ta’dil secara mubham (samar) dan jarh dengan penjelasan, maka diambil jarhya. Karena pada orang yang menjarh terdapat tambahan ilmu (tentang keadaan rawi).
Keadaan Keempat
Jika jarhnya mubham (samar) dan ta’dilnya dengan penjelasan, maka diambil ta’dil dalam hal ini lebih kuat.
Footnote:
(1) Jujur dalam istilah Ibnu Hajar berarti haditsnya berkualitas hasan.
(2) Semacam haditsnya tentang larangan tentang membaca Al-Qur’an untuk orang haidh. Gurunya adalah orang Hijaz. Maka haditsnya adalah hadits yang dho’if.
(3) Misalnya jika ada ulama yang mengatakan, “rawi ini dha’if jika dia mengambil dari orang Hijaz.” Dan perkataan ini digunakan untuk membantah ulama lain yang mengatakan “dia tsiqah jika mengambil dari orang Hijaz.” Maka, inilah yang dimaksud jarh membantah klaim tsiqah. Sehingga jarh tersebut belum berarti menunjukkan bahwa rawi tersebut tidak dha’if jika mengambil dari orang diluar Hijaz.
(4) Di antara 3 tingkatan tersebut masih ada tingkatan yang lain yang sudah maklum dan diketahui oleh orang-orang yg mengetahui ilmu ini. Misalnya, celaan Imam Bukhari yg keras adalah fihi nadzor (فيه نظر ) (perlu dilihat). Kalau sudah ada celaan ini dari Imam Bukhari maka haditsnya tidak diterima, tidak dapat dijadikan syawahid (hadits penguat), tidak dijadikan mutaba’ah. Karena setiap ulama dalam jarh ada yang secara terang-terangan dan ada yang tidak. Karena jarh pada hakekatnya ghibah dan ini hanya diperlukan dalam rangka membela din dan dalam keadaan terpaksa. Semacam yang dilakukan Imam Bukari. Celaan Imam Bukhari yang paling keras adalah “orang ini bermasalah”, yang artinya pada orang tersebut terdapat masalah yang besar. Sedang jika ulama lain mengatakan “padanya ada pembicaraan” justru menjadi celaan yang paling ringan.



Taisir Musthalah Hadits 9 (Khabar)



Pembagian Khabar dari Berdasarkan Individu yang Dijadikan Sandaran
Berdasarkan orang yang dijadikan sandaran, khabar terbagi menjadi tiga, yaitu: marfu’, mauquf, maqtu’
  1. Marfu’
    Marfu’ yaitu, khabar yang disandarkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Marfu’ terbagi menjadi dua, yaitu: marfu’ sharih (jelas) dan marfu’ hukman (berstatus marfu’) Marfu’ Sharih (المرفوع صريح) :
    Marfu’ sharih adalah khabar yang disandarkan pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat yang berupa akhlak ataupun karakter fisiknya.
    Contoh yang berupa perkataan:
    Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
    “Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
    Contoh yang berupa perbuatan:
    كان صلى الله هليه و سلم إذ دخل بيته بدأ با لسيواك
    “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahnya, maka yang dilakukan pertama kali adalah bersiwak.” (HR. Muslim)
    Contoh yang berupa persetujuan:
    تقريره الجارية حين سألها : أين الله ؟ قالت : في السماء، فأقر ها على ذلك صلى الله هليه و سلم
    Persetujuan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pada budak wanita ketika ia bertanya padanya, “Dimana Allah”. Budak itu menjawab, “Di langit”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya. (HR. Muslim)
    Demikian pula setiap perkataan atau perbuatan yang diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak diingkari, maka itu termasuk marfu’ sharih kategori berupa persetujuan.
    Contoh sifat yang berupa akhlaknya:
    كان النبي صلى الله هليه و سلم أجود الناس، و أشجع الناس، ما سئل شيئا قط فقال : لا. و كان دائما البشر، سهل الخلق، لين الجانب، ما خير بين أمرين إلا اختار أيسر هما؛ إلا أن يكون إثما؛ فيكون أبعد الناس عنه
    “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu orang yang paling dermawan, manusia yang paling pemberani, jika diminta sesuatu tidak pernah mengatakan tidak, dan wajahnya selalu ceria, ahlaknya enak dan orangnya mudah. Jika diberi pilihan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,, maka beliau akan memilih yang paling mudah, kecuali kalau itu mengandung dosa, maka Beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut.”
    Contoh dari sifat berupa karakter fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
    “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tingginya, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Jarak antara kedua pundaknya jauh. Beliau memiliki rambut yang mencapai pangkal daun telinga atau terkadang sampai pundak. Jenggotnya bagus dan terdapat beberapa uban di jenggotnya.”
    Marfu’ Hukman (المرفوع حكما )
    Marfu’ hukman adalah khabar yang secara hukum (status) dapat disandarkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini ada beberapa macam.
    Pertama :
    Perkataan sahabat; jika tidak mungkin ucapan sahabat itu berdasarkan logika atau ucapan tersebut bukan merupakan tafsir suatu ayat atau sahabat yang mengucapkannya tidak dikenal sebagai orang yang suka mengambil berita-berita israiliyat. Misalnya, seorang sahabat memberitakan tentang tanda-tanda kiamat, keadaan ketika hari kiamat atau tentang balasan-balasan amal.
    Jika khabar dari sahabat berdasarkan logika, maka ia adalah khabar yang berstatus mauquf.
    Jika khabar berupa tafsir, maka pada dasarnya bukan status tersendiri. Dan tafsirnya merupakan hadits mauquf.
    Dan jika sahabat tersebut dikenal suka mengambil berita israiliyat maka perkataannya meragukan, boleh jadi merupakan berita israiliyat boleh jadi merupakan hadits marfu’. Maka haditsnya tidak bisa diterima karena meragukan.
    Para ulama menyebutkan bahwa empat sahabat yang bernama ‘Abdullah, yaitu, ‘Abdullah ibn Abbas, ‘Abdullah ibn Zubair, ‘Abdullah ibn Umar ibn Khattab, ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash mengambil berita-berita israiliyat dari Ka’ab Al Ahbar atau yang selainnya (1)
    Kedua :
    Perbuatan sahabat; jika tidak mungkin hadits tersebut berdasarkan logika. Para ulama (2) memberi contoh untuk hal tersebut yaitu shalat ‘Ali radhiallahu ‘anhu dalam shalat kusuf, beliau melakukan ruku lebih dari dua kali dalam setiap rakaat.
    Ketiga :
    Jika sahabat menyandarkan sesuatu pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ditegaskan apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengetahuinya atau tidak. Seperti perkataan Asma binti Abu Bakar radhiallahu ‘anha, “Kami menyembelih kuda di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kami saat itu di Madinah lalu kami memakannnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
    Keempat :
    Perkataan sahabat tentang sesuatu diiringi pernyataan bahwa hal tersebut adalah bagian dari sunnah. Seperti perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, “Adalah termasuk sunnah membaca tasyahud dengan lirih, yaitu tasyahud dalam shalat.”
    Jika yang berkata tabi’in maka ulama berselisih pendapat, ada yang mengatakan marfu’ dan ada yang mengatakan mauquf. Seperti perkataan ‘Abdullah ibn ‘Abdullah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud, “Termasuk sunnah seorang imam pada sholat hari raya berkhutbah dua kali dengan dipisahkan antara keduanya dengan duduk.”
    Kelima :
    Perkataan sahabat, “kami diperintahkan” (أمرنا), “kami dilarang” (نهينا), “manusia diperintahkan” (أمر الناس) dan yang semacam itu. Misalnya :
    Perkataan Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha, “Kami diperintahkan untuk mengajak gadis-gadis untuk menghadiri shalat hari raya”.
    Perkataannya Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha, “Kami dilarang dari mengikuti jenazah akan tetapi tidak ditegaskan bagi kami”.
    Perkataan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, “Para jamaah haji diperintahkan agar kegiatan terakhir mereka adalah tawaf di Ka’bah.”
    Perkataan Anas radhiallahu ‘anhu, “Kami diberi batasan waktu dalam memotong kumis, memotong kuku,mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan, agar bulu-bulu tersebut tidak dibiarkan lebih dari empat puluh malam.”
    Keenam :
    Penilaian sahabat terhadap sesuatu sebagai sebuah kemaksiatan. Seperti perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang seseorang yang keluar dari masjid setelah adzan, “Orang ini telah durhaka kepada Abul Qosim shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
    Demikian pula, jika sahabat menilai sesuatu sebagai ketaatan, karena sesuatu tidak bisa dinilai maksiat atau tidak kecuali berdasarkan dalil syari’at. Dan tidaklah mungkin para sahabat menetapkan maksiat atau ketaatan kecuali mereka memiliki ilmu tentangnya.
    Ketujuh :
    Ucapan seorang rawi berkaitan dengan sahabat: “Sahabat tersebut me-marfu-’kan hadits atau riwayatan.”
    Seperti perkataan Sa’id ibn Jubair dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Obat itu ada tiga, meminum madu, sayatan hijamah, dan kai dengan api. Dan aku melarang umatku dari kai. Ibnu Abbas me-marfu’-kan hadits.”
    Dan perkataan Sa’id ibn Musayyib dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sebagai riwayat,
    “Fitrah itu ada lima, atau ada lima hal termasuk fitrah, yaitu khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis.”
    Demikianlah, jika para ulama berkata tentang sahabat : “beliau menukil hadits” (ياثر الحديث), atau “menyandarkan hadits” (يُنميه), “menyampaikan hadits” (يُبلغ به) dan yang semacamnya. Maka semisal ungkapan-ungkapan ini haditsnya bernilai marfu’ sharih, walaupun ungkapan tersebut tidak jelas menunjukkan penyandaran kepada pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ungkapan tersebut menunjukkan akan hal tersebut.
  2. Mauquf (الموقوف):Mauquf adalah khabar yang disandarkan pada sahabat dan tidak berstatus marfu’.Contohnya perkataan Umar ibn Khattab radhiyallahu ‘anhu, “Islam akan hancur dengan ketergelinciran orang yang alim, debatnya orang munafik dengan menggunakan Al-Qur’an, dan dikuasai oleh pemimpin yang menyesatkan”.
  3. Maqtu’ (المقطوع) :Maqtu’ adalah khabar yang disandarkan pada tabi’in atau orang-orang setelahnya.Contohnya perkataan Ibnu Sirin, “Sesungguhnya ilmu ini adalah din, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil ilmu kalian”. Dan perkataan Malik, “Lakukanlah sebagian amal dengan sembunyi-sembunyi yaitu amal-amal yang tidak bisa kau kerjakan dengan baik jika dilakukan dengan terang-terangan.”
Foot note:
(1) Akan tetapi penisbahan untuk Ibnu Abbas tidaklah benar. Karena beliau keras dalam berita-berita israiliyat. Hal ini dijelaskan Syaikh Utsaimin dalam Tafsir Ayat Kursi.
(2) Arti dari kalimat ini “para ulama mengatakan” berarti menisbatkan pada orang lain yang menyatakan dan ini menjadi isyarat bahwa Syaikh Utsaimin tidak terlalu menerima contoh tersebut.





Surga Diliputi Perkara Yang Dibenci Jiwa, Neraka Diliputi Perkara Yang Disukai Nafsu


Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.”(HR. Muslim)
Mengenal kosa kata
Huffat: Berasal dari kata al-hafaf (الحَفَاف) yang berarti sesuatu yang meliputi sesuatu yang lain yang berarti surga dan neraka itu diliputi sesuatu. Seseorang tidak akan memasuki surga dan neraka kecuali setelah melewati hijab terebut. Dalam riwayat Bukhari kata huffat diganti dengan kata hujibat (حُجِبَت ) yang berarti tabir, hijab ataupun pembatas dan keduanya memiliki makna sama. Hal ini ditegaskan Ibnul Arabi sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Fathul Baari.
Al-Jannah: Kampung kenikmatan.
Al-Makarih: Perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) berupa ketaatan dan ketundukan terhadap aturan-aturan Allah Ta’ala.
An-Nar: Kampung siksaan dan adzab.
Asy-Syahawat: Nafsu yang condong kepada kejelekan-kejelekan.
Penjelasan ulama tentang hadits ini
Saudariku, semoga Allah merahmatimu. Agar lebih memahami makna hadits diatas alangkah baiknya kita simak penuturan Imam Nawawi rahimahullah berikut ini,
Para ulama mengatakan,’Hadits ini mengandung kalimat-kalimat yang indah dengan cakupan makna yang luas serta kefasihan bahasa yang ada pada diri Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Sehingga beliau membuat perumpamaan yang sangat baik dan tepat. Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa seseorang itu tidak akan masuk surga sehingga mengamalkan perkara-perkara yang dibenci jiwa, begitupula sebaliknya seseorang itu tidak akan masuk neraka sehingga ia mengamalkan perkara-perkara yang disenangi oleh syahwat. Demikian itu dikarenakan ada tabir yang menghiasi surga dan neraka berupa perkara-perkara yang dibenci ataupun yang disukai jiwa. Barangsiapa yang berhasil membuka tabir maka ia akan sampai kedalamnya. Tabir surga itu dibuka dengan amalan-amalan yang dibenci jiwa dan tabir neraka itu dibuka dengan amalan-amalan yang disenangi syahwat. Diantara amalan-amalan yang dibenci jiwa seperti halnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah Ta’ala serta menekuninya, bersabar disaat berat menjalankannya, menahan amarah, memaafkan orang lain, berlaku lemah lembut, bershadaqah, berbuat baik kepada orang yang pernah berbuat salah, bersabar untuk tidak memperturutkan hawa nafsu dan yang lainnya. Sementara perkara yang menghiasi neraka adalah perkara-perkara yang disukai syahwat yang jelas keharamannya seperti minum khamr, berzina, memandang wanita yang bukan mahramnya (tanpa hajat), menggunjing, bermain musik dan yang lainnya. Adapun syahwat (baca:keinginan) yang mubah maka tidak termasuk dalam hal ini. Namun makruh hukumnya bila berlebih-lebihan karena dikhawatirkan akan menjerumuskan pada perkara-perkara haram, setidaknya hatinya menjadi kering atau melalaikan hati untuk melakukan ketaatan bahkan bisa jadi hatinya menjadi condong kepada gemerlapnya dunia.”(Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, Asy-Syamilah).
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari berkata,
“Yang dimaksud dengan al-makarih (perkara-perkara yang dibenci jiwa) adalah perkara-perkara yang dibebankan kepada seorang hamba baik berupa perintah ataupun larangan dimana ia dituntut bersungguh-sungguh mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan tersebut. Seperti bersungguh sungguh mengerjakan ibadah serta berusaha menjaganya dan menjauhi perbuatan dan perkataan yang dilarang Allah Ta’ala. Penggunaan kata al-makarih disini disebabkan karena kesulitan dan kesukaran yang ditemui seorang hamba dalam menjalankan perintah dan meninggalkan larangan. Adapun yang dimaksud syahwat disini adalah perkara-perkara yang dilakukan untuk menikmati lezatnya dunia sementara syariat melarangnya. Baik karena perbuatan tersebut haram dikerjakan maupun perbuatan yang membuat pelakunya meninggalkan hal yang dianjurkan. Seakan akan Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengatakan seseorang tidaklah sampai ke surga kecuali setelah melakukan amalan yang dirasa begitu sulit dan berat. Dan sebaliknya seseorang tidak akan sampai ke neraka kecuali setelah menuruti keinginan nafsunya. Surga dan nereka dihijabi oleh dua perkara tersebut, barangsiapa membukanya maka ia sampai kedalamnya. Meskipun dalam hadits tersebut menggunakan kalimat khabar (berita) akan tetapi maksudnya adalah larangan.”(Fathul Baari 18/317, Asy-Syamilah)
Hiasai harimu dengan hadist ini !
Syaikh Abdurrazzaq hafidzahullah memberikan contoh kepada kita bagaimana cara mengaplikasikan hadits ini dalam kehidupan sehari-hari, beliau berkata,
“Kunasehatkan bagi diriku sendiri dan saudaraku sekalian. Jika engkau mendengar adzan telah dikumandangkan ‘hayya alash shalah hayya ‘alal falah’ namun jiwamu merasa benci melaksanakannya, mengulur-ulur waktu dan merasa malas. Ingatkan dirimu tentang hadits ini bahwa surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci jiwa.
Jika kewajiban membayar zakat telah tiba dan jiwamu merasa malas mengeluarkannya serta membagikannya kepada fakir miskin maka ingatkan dirimu dengan hadits ini bahwa surga itu diliputi perkara yang dibenci jiwa.
Jika waktu puasa telah tiba sementara jiwamu merasa enggan menunaikannya, ingatkan dirimu degan hadits ini. Sungguh surga itu diliputi perkara yang dibenci jiwa.
Begitu juga ketika jiwamu merasa malas untuk berbakti kepada orang tua, enggan berbuat baik kepada keduanya dan merasa berat memenuhi hak-haknya, ingatkan dirimu dengan hadits ini bahwa surga itu diliputi perkara yang dibenci jiwa”.
Beliau hafidzahullah juga berkata, “Sebaliknya ketika jiwamu condong kepada perbuatan-perbuatan keji,zina dan perbuatan haram maka ingatkan dirimu bahwa neraka itu diiputi perkara-perkara yang disenangi syahwat. Ingatkan pula jika sekarang engkau lakukan perbuatan ini maka kelak engkau akan masuk neraka.
Jika jiwamu tergoda dengan perbuatan riba, maka ingatkan dirimu bahwa Allah dan rasulNya telah mengharamkannnya dan pelakunya kelak akan masuk neraka.
Begitu juga ketika jiwamu sedang ketagihan minum minuman keras dan minuman haram lainnya maka ingatkan dirimu bahwa neraka itu diliputi perkara-perkara yang disenangi syahwat.
Ketika jiwamu merasa rindu mendengarkan musik, lagu-lagu dan nyanyian-nyanyian yang telah Allah haramkan atau ketika kedua matamu mulai condong melihat sesuatu yang Allah haramkan berupa vcd-vcd porno, gambar-gambar porno dan pemandangan haram lainnya maka ingatkan dirimu bahwa neraka itu diliputi perkara-perkara yang disenangi syahwat
Jika engkau selalu menerapkan hadits ini dalam sendi-sendi kehidupanmu dan berusaha menghadirkannya setiap saat maka dengan ijin Allah engkau akan bisa menjauhi perbuatan haram dan memudahkanmu menjalankan ketaatan kepadaNya.”(Muhadharah Syaikh Abdurrazzaq hafidzahullah)
Ingatlah, jiwa manusia itu condong pada kejelekan
Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي
“Sesungguhnya jiwa (manusia) itu menyuruh pada kejelekan kecuali jiwa yang dirahmati Tuhanku.” (QS. Yusuf: 53)
Ath-Thabari berkata tentang ayat ini, “Jiwa yang dimaksudkan adalah jiwa para hamba, ia senantiasa memerintahkan pada perkara-perkara yang disenangi nafsu. Sementara hawa nafsu itu jauh dari keridhaan Allah Ta’ala.”(Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Asy-Syamilah)
Saudariku, perhatikanlah nasehat Ibnul Jauzi rahimahullah berikut,
“Ketahuilah, semoga Allah mamberikan taufiq kepadamu. Sesungguhnya watak dasar jiwa manusia itu cinta kepada hawa nafsunya. Telah berlalu penjelasan tentang begitu dasyatnya bahaya hawa nafsu, sehingga untuk menghadapinya engkau membutuhkan kesungguhan dan pertentangan dalam diri jiwamu. Ketika engkau tidak mecegah keinginan hawa nafsumu maka pemikiran-pemikiran sesat (kejelekan-kejelekan) itu akan menyerang sehingga tercapailah keinginan hawa nafsumu.” (Dzammul Hawa, hal.36, Asy-Syamilah)
Hadits penjelas
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihiwassalam bersabda,
“Ketika surga dan neraka diciptakan, Allah Ta’ala mengutus Jibril ‘alaihissalam pergi ke surga seraya berfirman, ‘Lihatlah ia dan perhatikanlah segala sesuatu yang Aku sediakan bagi penduduknya kelak!”
Nabi shallallahu’alaihi wasallam melanjutkan, “Jibril pun mendatangi, melihat dan memperhatikan segala nikmat yang Allah sediakan bagi penduduk surga. Kemudian Jibril kembali kepada Allah seraya berkata, ‘Demi kemuliaanMu, tidak ada seorangpun yang mendengar tentang berita surga kecuali ingin memasukinya’.
Kemudian Allah memerintahkan surga sehingga ia diliputi perkara-perkara yang dibenci (jiwa). Lalu Allah Ta’ala memerintahkan Jibril, ‘Kembalilah kepadanya dan lihatlah segala sesuatu yang Aku sediakan bagi penduduk surga!’ Maka Jibrilpun kembali ke surga dan ia temui bahwasanya surga telah diliputi dengan perkara-perkara yang dibenci oleh jiwa manusia. Kemudian Jibril menadatangi Allah Ta’ala seraya berkata, ‘Demi kemuliaanMu sungguh aku khawatir tidak ada seorangpun yang bisa memasukinya!’
Lalu Allah memerintahkan,’Pergilah ke neraka, lihatlah dan perhatikanlah siksaan yang Aku sediakan bagi penghuninya kelak!’ Maka ketika dineraka terdapat api yang menyala-nyala dan bertumpuk-tumpuk , Jibril kembali kepada Allah Ta’ala dan berkata, ‘Demi kemuliaanMu tidak ada seorangpun yang ingin memasukinya.’ Kemudian Allah Ta’ala memerintahkan agar neraka dipenuhi dengan perkara-perkara yang disukai syahwat. Allah Ta’ala berfirman, ‘Kembalilah padanya!’ Jibrilpun kembali ke neraka dan berkata, ‘Demi kemuliaanMu, aku khawatir tidak ada seorangpun dari hambaMu yang bisa selamat dari siksaan neraka.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih” . Begitupula Syaikh Al-Albani menilai hadits ini hasan shahih.(Sunan At-Tirmidzi, Asy-Syamilah)
Saudariku, akhirnya kami hanya bisa berdoa semoga kita semua dimasukkan Allah Ta’ala menjadi golongan penghuni surgaNya yang tertinggi dan dijauhkan dari segala jalan yang mengantarkan kita ke nerakaNya.

اَللّهُمَّ إِنِّى أَ سْئَلُكَ الجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ وَ عَملٍ وَ أَعُوْ ذُبِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ وَ عَمَلٍ
Ya Allah…aku memohon kepadamu surga dan segala sesuatu yang bisa mendekatkanku dengannya baik berupa perkataan ataupun perbuatan. Dan aku berlindung kepadamu dari siksaan neraka dan segala sesuatu yang bisa mendekatkanku dengannya baik berupa perkataan ataupun perbuatan.” (Musnad Imam Ahmad)
Washallahu’ala nabiyyina Muhammadin wa’ala alihi washahbihi wasallam
Penulis : Ummu Fatimah Umi Farikhah
Murojaah : Ust. Aris Munandar hafidzahullah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar