EMPAT TIPE MANUSIA DIMASYARAKAT
Allah SWT menciptakan manusia dan memberinya peran yang berbeda-beda
antara satu dengan yang lain. Semua peran tersebut merupakan pilihan
manusia dalam qadar Allah.
Setiap manusia bebas memilih dan menentukan perannya, namun
masing-masing terbatas dengan berbagai kondisi dan ketentuan yang
melingkupi dirinya sendiri.
Di dalam kehidupan masyarakat,
ditinjau dari peranan dan sifatnya, pribadi manusia paling tidak dapat
dikategorikan menjadi empat tipe/kelompok:
Pertama, tipe
orang-orang saleh (shalihun). Mereka ini rajin beribadah dengan
mendirikan shalat, zakat, puasa, haji dan ibadah sunah lainnya. Mereka
memperoleh kebaikan yang agung dan berkah dunia-akhirat atas apa yang
mereka lakukan.
Akan tetapi orang-orang di sekitar mereka,
termasuk para pendosa dan ahli maksiat tidak mendapatkan manfaat dan
tuntunan langsung dari orang-orang yang saleh secara pribadi ini karena
kebaikan mereka hanya terbatas bagi dirinya sendiri.
Allah SWT
berfirman, "Dan kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa
golongan; di antaranya ada orang-orang saleh dan di antaranya ada yang
tidak demikian." (QS. Al-A'raf: 168).
Kedua, tipe orang-orang
yang membangun agama (muslihun). Mereka ini adalah kelompok orang saleh
yang tergerak hatinya untuk menegakkan agama Allah dengan memperbaiki
lingkungan sekitar dan orang lain di luar dirinya agar mereka berada
dalam ketaatan kepada-Nya.
Mereka ini memperoleh tempat mulia di
sisi-Nya dengan berbagai daya dan upaya serta dakwah yang dilakukannya.
Para pendosa dan ahli maksiyat memperoleh manfaat dari kelompok ini
sehingga mereka mengetahui jalan untuk bertobat, petunjuk guna
memperbaiki diri dan jalan terang menuju Allah SWT.
Sedangkan
orang-orang mukmin di sekitarnya juga mendapatkan manfaat dari kelompok
ini karena keimanan mereka bertambah dan dapat mengupayakan diri menjadi
orang yang lebih bertakwa dan mendapat tambahan petunjuk-Nya. "Dan
Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim,
sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Huud: 117).
Ketiga, tipe orang-orang yang rusak dan ahli maksiyat
(fasidun). Mereka ini gemar melampaui batasan dan larangan Allah,
meninggalkan kewajiban dan perintah Allah serta tidak dapat mencegah
perbuatan yang melanggar agama. Jika kelompok ini berkehendak untuk
bertaubat meninggalkan semua kemaksiatan, maka mereka akan dekat kembali
kepada kebaikan dan ampunan dari Allah SWT.
Keempat, tipe
perusak (mufsidun). Mereka ini tipe yang paling berbahaya dalam
masyarakat. Mereka bukan hanya rusak secara moral, melainkan juga
senantiasa berbuat kerusakan di muka bumi untuk kepentingan diri dan
kelompoknya.
Mereka juga menyebabkan orang lain melakukan
kemaksiatan dan dalam perangkap setan serta bahagia jika kemungkaran
tersebar dalam kehidupan masyarakat. (QS. Al-Kahfi: 94).
Dari
keempat tipe tersebut, tipe orang yang membangun merupakan tipe terbaik
dan tipe perusak merupakan tipe terburuk. Kedua tipe itulah yang saling
berhadapan di dalam realitas kehidupan dan di situlah peran para penyeru
Allah dan tugas mereka untuk memperbaiki kualitas kehidupan.
Wallahua'lam.
MENYELAMI NIKMAT ALLAH
Dikisahkan, suatu hari di sebuah negeri, matahari tidak terbit. Para
petani bangun pagi-pagi agar bisa berangkat ke sawah dan ladangnya,
namun keadaan gelap gulita. Para pegawai dan pekerja pun demikian,
bangun sejak awal, agar mereka bisa berangkat ke tempat tugasnya, namun
kegelapan benar-benar pekat. Hal yang sama juga menimpa pelajar dan
mahasiswa, di mana mereka tidak bisa berangkat ke tempat studinya karena
gelap begitu mencekam.
Sepanjang hari itu, semua orang tidak ada
yang melakukan aktivitas. Mereka semua menganggur dan kehidupan pun
terhenti. Keadaan benar-benar chaos dan kacau balau. Bayi-bayi, tubuhnya
menggigil dan lemas karena kedinginan. Kecemasan dan ketakutan
menghantui semua orang.
Begitu tiba malam hari, bulan pun tidak
tampak! Orang-orang pun semuanya berangkat ke tempat ibadahnya,
meneriakkan selawat dan menghamburkan doa. Mereka berteriak histeris
seraya merunduk berdoa agar matahari bisa kembali bersinar. Malam itu,
tidak ada seorang pun yang bisa memejamkan mata.
Keesokan
harinya, saat pagi menjelang, ternyata matahari kembali bersinar dari
orbitnya. Orang-orang pun saling bersahutan mengekspresikan kegirangan
yang tiada terperi. Sambil mengangkat tangan ke langit, mereka pun tak
henti-hentinya menggemakan puji syukur kepada Allah, seraya saling
memberikan ucapan selamat satu sama lain di antara mereka.
Kemudian,
salah seorang bijak bestari di negeri itu pun berujar, “Mengapa kalian
hanya bersyukur kepada Allah lantaran terbitnya matahari di hari ini
saja? Bukankah matahari itu bersinar setiap pagi (hari)? Bukankah kalian
tahu kalau kalian sudah mereguk beragam nikmat Allah sepanjang masa?”
Itulah
sebagian watak asli sekaligus kealpaan dan kelalaian manusia, ketika
mereka didera oleh berbagai macam kesulitan dan kepanikan, baru mereka
kembali pada Allah (an-Nahl [16]: 53), seraya mengakui nikmat-Nya. Itu
pun hanya terhadap sebagian kecil nikmat, padahal sudah teramat banyak
nikmat Allah yang dicurahkan padanya (Ibrahim [14]: 32-34), yang tanpa
disadarinya.
Kita baru bisa menyelami nikmat Allah jika bertalian
dengan hal-hal material atau yang kasat mata, misalnya, diberikan harta
melimpah, jabatan dan posisi yang enak, terbebas dari kecelakaan, lulus
dalam testing sekolah atau pekerjaan, dan pendamping atau pasangan
hidup yang setia.
Padahal, nikmat Allah itu terus dikucurkan
pada hamba-Nya di setiap tarikan napas mereka, yang sekaligus menjadi
penopang utama kehidupan mereka, tanpa mereka sadari. Misalnya, jantung
yang terus berdetak, napas yang terus menghirup udara bebas, mata yang
bisa menatap, mulut yang bisa bicara, hidung yang bisa mengendus
rupa-rupa aroma, kuping yang bisa mendengar, kulit yang bisa merasakan
dingin atau panas, kita bisa tidur, terjaga, jalan ke mana suka, dan
seterusnya.
Tidak cukupkah kita dengan gugahan Allah yang
berkali-kali dalam surah ar-Rahman: “Maka nikmat Rabb kamu yang manakah
yang kamu dustakan?”
Maka, betapa lancungnya dan tidak etis
sekali, jika kita hanya mau taat dan beribadah kepada Allah di kala kita
didera kesulitan dan menyimpan segudang keinginan.
MENYEGERAKAN DIRI DALAM KEBAJIKAN
Dunia memiliki tiga waktu; kemarin, hari ini dan esok hari. Kemarin dan
waktu lampau tidak akan pernah kembali lagi, sehingga kita tidak mungkin
meraihnya.
Hari ini adalah hadiah Tuhan, sehingga mereka yang
pandai memanfaatkannya dengan mempertebal keimanan dan menyegerakan amal
saleh tidak mengalami "opportunity lost". Sedangkan esok hari adalah
rahasia Tuhan yang tidak seorang pun mengetahuinya.
Sementara
itu, umur manusia memiliki dua sifat: Pertama, ia tidak akan berjalan
terus tanpa henti, baik manusia sedang mengalami kesedihan maupun
kegembiraan, sedang sehat ataupun sakit.
Kedua, umur yang telah
lalu tidak akan pernah kembali lagi, sehingga penyesalan terjadi ketika
kesempatannya tidak terulang kembali.
Berdasarkan kenyataan
tersebut, maka Allah SWT memberikan petunjuk-Nya agar manusia
menyegerakan diri dalam kebajikan sebelum disibukkan dengan banyak
urusan, memanfaatkan umur, masa sehat, masa jaya, masa muda, masa luang
sebelum datang masa-masa kebalikannya.
Allah SWT berfirman, “Dan
bersegeralah menuju kepada ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang diperuntukkan bagi orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133).
Dalam sebuah hadis dari Ibnu
Abbas RA dikabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Manfaatkanlah lima
perkara sebelum datangnya lima: hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum
sakitmu, luangmu sebelum sempitmu, mudamu sebelum tuamu, dan kayamu
sebelum fakirmu.” (HR. Ahmad).
Sejarah mencatat bahwa Abu Bakar
Ash-Shiddiq memiliki keutamaan di antara para sahabat lainnya disebabkan
dua hal: Pertama, senantiasa membenarkan Rasul. Oleh sebab itu,
Rasulullah SAW memberinya gelar Ash-Shiddiq (orang yang selalu
membenarkan kata dan ucapan Rasul SAW).
Kedua, senantiasa
menjadi penyegera atau orang pertama dalam banyak hal. Oleh sebab itu,
ia masuk dalam kelompok perintis perjuangan pemula masa Rasulullah SAW
yang dikenal dengan istilah As-Sabiqun Al-Awwalun yang dijanjikan Allah
masuk surga. (QS. At-taubat: 100).
Keutamaan memang milik
orang-orang yang membenarkan bukan pada penyegeraan. Namun, Abu Bakar
memiliki keutamaan dan urgensitas karena membenarkan Rasul dan
menyegarakan (menjadi yang pertama) dalam banyak hal.
Menyegerakan
atau menjadi yang pertama banyak hal menjadi perkara yang urgen karena
memenuhi kebutuhan, menentramkan dan memberikan kepastian. Sehingga
membenarkan dan menyegerakan merupakan gabungan dari sifat kemuliaan
yang jika keduanya bersatu pada diri seseorang akan melahirkan
kesempurnaan.
Dalam hadis Ibnu Abbas, Rasulullah SAW menceritakan
mengenai 70 ribu umatnya yang masuk surga tanpa hisab dan azab neraka.
Salah seorang sahabat bernama Ukasah bin Mahshan berkata, "Doakanlah aku
agar menjadi golongan mereka."
Rasulullah SAW menjawab, "Engkau bagian dari mereka."
Kemudian seorang sahabat lain berdiri dan berkata, "Doakan pula aku menjadi golongan mereka wahai Rasul!"
Rasulullah SAW menjawab, “Ukasah telah mendahuluimu." (HR. Bukhari-Muslim).
Jawaban
Rasulullah ini mengisyaratkan bahwa para penyegera atau menjadi yang
pertama memiliki maqam (tempat) yang berbeda dengan yang di belakangnya
termasuk dalam masalah agama. Apalagi semua orang mengetahui bahwa para
penyegera dan menjadi yang pertama jelas berbeda kualitasnya dengan yang
bergerak lambat atau pemalas. Wallahu a'lam.
REJEKI YANG TERTAHAN
Allah SWT menciptakan semua makhluk telah sempurna dengan pembagian
rezekinya. Tidak ada satu pun yang akan ditelantarkan-Nya, termasuk
kita. Yang dibutuhkan adalah mau atau tidak kita mencarinya. Yang lebih
tinggi lagi, benar atau tidak cara mendapatkannya.
Rezeki di sini
tentu bukan sekadar uang. Ilmu, kesehatan, ketenteraman jiwa, pasangan
hidup, keturunan, nama baik, persaudaraan, ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya termasuk pula rezeki, bahkan lebih tinggi nilainya dibanding
uang dan lainnya.
Walau demikian, ada banyak orang yang
dipusingkan oleh masalah pembagian rezeki ini. Dia merasa rezekinya
sedang seret, padahal sudah berusaha maksimal mencarinya.
Ada
banyak penyebab, mungkin cara mencarinya yang kurang profesional, kurang
serius mengusahakannya, atau ada kondisi yang menyebabkan Allah Azza wa
Jalla menahan rezeki yang bersangkutan. Setidaknya ada lima hal yang
menghalangi aliran rezeki.
Pertama, lepasnya ketawakalan dari
hati. Kita menggantungkan diri kepada selain Allah. Kita berusaha, namun
usaha yang kita lakukan tidak dikaitkan dengan-Nya. Padahal, Allah itu
sesuai prasangka hamba-Nya. “Barang siapa yang bertawakal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS. Ath-Thalaq [63]:
3).
Kedua, karena dosa. Dosa adalah penghalang datangnya rezeki.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seseorang terjauh dari rezeki
disebabkan oleh perbuatan dosanya.” (HR Ahmad).
Ketiga,
bermaksiat saat mencari nafkah. Apakah pekerjaan kita dihalalkan agama?
Kecurangan dalam mencari nafkah, entah itu korupsi, manipulasi, akan
membuat rezeki kita tidak berkah.
Mungkin uang kita dapat, namun
berkah dari uang tersebut telah hilang. Apa ciri rezeki yang tidak
berkah? Mudah menguap untuk hal sia-sia dan tidak membawa ketenangan,
sulit dipakai untuk taat kepada Allah serta membawa penyakit. Bila kita
telanjur melakukannya, segera bertobat dan kembalikan harta tersebut
kepada yang berhak menerimanya.
Keempat, pekerjaan yang
melalaikan kita dari mengingat Allah. Banyak aktivitas kita yang membuat
hubungan kita dengan Allah makin menjauh. Kita disibukkan oleh kerja,
sehingga lupa shalat, lupa membaca Alquran, lupa mendidik keluarga, lupa
menuntut ilmu agama, lupa menjalankan apa yang Allah dan Rasul-Nya
perintahkan. Akibatnya, pekerjaan kita tidak berkah.
Jika sudah
demikian, jangan heran bila rezeki kita akan tersumbat. Idealnya, semua
pekerjaan harus membuat kita semakin dekat pada Allah. Sibuk boleh,
namun jangan sampai hak-hak Allah kita abaikan. Saudaraku, bencana
sesungguhnya bukanlah bencana alam yang menimpa orang lain. Bencana
sesungguhnya adalah saat kita semakin jauh dari Allah.
Kelima,
enggan bersedekah. Siapa pun yang pelit, niscaya hidupnya akan sempit,
rezekinya mampet. Sebaliknya, sedekah adalah penolak bala, penyubur
kebaikan, serta pelipat ganda rezeki. Sedekah bagaikan sebutir benih
menumbuhkan tujuh butir, yang pada tiap-tiap butir itu terurai seratus
biji. Artinya, Allah yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh ratus
kali lipat. (QS al- Baqarah [2]: 261). Wallahu a’lam.
EMPAT PANGKAL KEBAHAGIAAN HIDUP
Pada suatu hari, para sahabat sedang duduk bersama Nabi SAW.
Tiba-tiba terdengar seperti bunyi lebah di sekitar wajah Nabi. Lalu Nabi
menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa, “Ya
Allah, tambahkan kami dan jangan Engkau kurangkan. Muliakan, jangan
Engkau hinakan. Berikan, jangan Engkau halangi. Prioritaskan, jangan
Engkau abaikan.”
Para sahabat pun bertanya-tanya, apa gerangan
yang telah menimpa Nabi SAW? Rasulullah SAW menjelaskan bahwa baru saja
turun wahyu kepada beliau. “Siapa bisa menegakkannya, ia bakal masuk
surga.” Lalu beliau membaca ayat, “Qad aflaha al-Mu`minun” sampai ayat
ke-11 surah al-Mu'minun. (HR Tirmizi dan Ahmad dari Umar bin Khattab).
Dalam
kisah ini, terlihat dengan jelas bahwa para sahabat sangat antusius
menyimak dan mendengarkan wahyu Allah. Mereka siap siaga menerima
perintah. Keadaan mereka, demikian komentar Sayyid Quthb, mirip prajurit
yang setiap saat siap siaga menerima perintah sang komandan.
Menurut
Nabi SAW, ayat-ayat dari surah al-Mu`minun itu merupakan kunci atau
jalan keberuntungan (thariq al-falah). Dalam 11 ayat tersebut terkandung
setidak-tidaknya empat prinsip nilai yang menjadi pangkal kebahagiaan.
Pertama,
prinsip iman (akidah). Keberuntungan diberikan Allah SWT hanya kepada
orang-orang yang beriman. Namun, iman di sini, seperti dikemukakan
Sayyid Quthb, bukan hanya kata-kata (kalimatun tuqal), melainkan
kebenaran (haqiqah) yang memiliki tugas-tugas (dzatu takalif). Komitmen
yang kuat kepada kebenaran disertai tindakan nyata, inilah iman yang
sebenarnya.
Kedua, prinsip ibadah dan amal saleh yang ditunjukkan
melalui ibadah shalat dan zakat. Shalat dan zakat merupakan bentuk
taklif dari iman. Shalat bersifat vertikal dan memperkuat hubungan
dengan Allah. Zakat berdimensi sosial dan memperkuat hubungan dengan
sesama manusia. Dalam konteks ini, shalat menjadi pembuka semua ibadah
(ayat ke-2) dan menjadi penutupnya sekaligus (ayat ke-9).
Ketiga,
prinsip moral dan akhlak karimah yang ditunjukkan dengan sikap tepat
janji, memelihara kehormatan diri, dan menjaga amanah. Dalam Islam,
moral (akhlak) menjadi bagian integral dari iman. Rasul bersabda,
“Manusia yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling mulia
akhlaknya (ahsanuhum khuluqan).” (HR Tirmizi).
Keempat, prinsip
disiplin dalam bekerja, sehingga produktif dan kompetitif. Orang yang
beruntung adalah orang yang mampu menghindarkan diri dari kesia-siaan
(al-laghwu). Menurut pakar tafsir Zamachsyari, lagha berarti sesuatu
yang tak bernilai (ma la ya`ni-ka) atau yang tak masuk hitungan (ma la
yu`taddu bih) baik berupa kata (laghw al-kalam) atau perbuatan (laghw
al-`amal).
Disiplin kerja dilakukan dengan memanfaatkan seluruh
waktu untuk kebaikan dan amal saleh. Mereka tidak pernah menyia-nyiakan
waktu, tetapi mengelolanya (time management), bahkan menguasai (time
mastery) dengan sebaik-baiknya.
Inilah jalan keberuntungan yang
dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang akan
mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di
dalamnya.” (QS al-Mu`minun [23]: 10-11). Wallahu a`lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar