Powered By Blogger

Selasa, 18 September 2012

RENUNGAN

EMPAT TIPE MANUSIA DIMASYARAKAT
matahari terbenam, sunset
Allah SWT menciptakan manusia dan memberinya peran yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Semua peran tersebut merupakan pilihan manusia dalam qadar Allah. Setiap manusia bebas memilih dan menentukan perannya, namun masing-masing terbatas dengan berbagai kondisi dan ketentuan yang melingkupi dirinya sendiri.

Di dalam kehidupan masyarakat, ditinjau dari peranan dan sifatnya, pribadi manusia paling tidak dapat dikategorikan menjadi empat tipe/kelompok:

Pertama, tipe orang-orang saleh (shalihun). Mereka ini rajin beribadah dengan mendirikan shalat, zakat, puasa, haji dan ibadah sunah lainnya. Mereka memperoleh kebaikan yang agung dan berkah dunia-akhirat atas apa yang mereka lakukan.

Akan tetapi orang-orang di sekitar mereka, termasuk para pendosa dan ahli maksiat tidak mendapatkan manfaat dan tuntunan langsung dari orang-orang yang saleh secara pribadi ini karena kebaikan mereka hanya terbatas bagi dirinya sendiri.

Allah SWT berfirman, "Dan kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian." (QS. Al-A'raf: 168).

Kedua, tipe orang-orang yang membangun agama (muslihun). Mereka ini adalah kelompok orang saleh yang tergerak hatinya untuk menegakkan agama Allah dengan memperbaiki lingkungan sekitar dan orang lain di luar dirinya agar mereka berada dalam ketaatan kepada-Nya.

Mereka ini memperoleh tempat mulia di sisi-Nya dengan berbagai daya dan upaya serta dakwah yang dilakukannya. Para pendosa dan ahli maksiyat memperoleh manfaat dari kelompok ini sehingga mereka mengetahui jalan untuk bertobat, petunjuk guna memperbaiki diri dan jalan terang menuju Allah SWT.

Sedangkan orang-orang mukmin di sekitarnya juga mendapatkan manfaat dari kelompok ini karena keimanan mereka bertambah dan dapat mengupayakan diri menjadi orang yang lebih bertakwa dan mendapat tambahan petunjuk-Nya. "Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Huud: 117).

Ketiga, tipe orang-orang yang rusak dan ahli maksiyat (fasidun). Mereka ini gemar melampaui batasan dan larangan Allah, meninggalkan kewajiban dan perintah Allah serta tidak dapat mencegah perbuatan yang melanggar agama. Jika kelompok ini berkehendak untuk bertaubat meninggalkan semua kemaksiatan, maka mereka akan dekat kembali kepada kebaikan dan ampunan dari Allah SWT.

Keempat, tipe perusak (mufsidun). Mereka ini tipe yang paling berbahaya dalam masyarakat. Mereka bukan hanya rusak secara moral, melainkan juga senantiasa berbuat kerusakan di muka bumi untuk kepentingan diri dan kelompoknya.

Mereka juga menyebabkan orang lain melakukan kemaksiatan dan dalam perangkap setan serta bahagia jika kemungkaran tersebar dalam kehidupan masyarakat. (QS. Al-Kahfi: 94).

Dari keempat tipe tersebut, tipe orang yang membangun merupakan tipe terbaik dan tipe perusak merupakan tipe terburuk. Kedua tipe itulah yang saling berhadapan di dalam realitas kehidupan dan di situlah peran para penyeru Allah dan tugas mereka untuk memperbaiki kualitas kehidupan. Wallahua'lam.






MENYELAMI NIKMAT ALLAH


 Dikisahkan, suatu hari di sebuah negeri, matahari tidak terbit. Para petani bangun pagi-pagi agar bisa berangkat ke sawah dan ladangnya, namun keadaan gelap gulita. Para pegawai dan pekerja pun demikian, bangun sejak awal, agar mereka bisa berangkat ke tempat tugasnya, namun kegelapan benar-benar pekat. Hal yang sama juga menimpa pelajar dan mahasiswa, di mana mereka tidak bisa berangkat ke tempat studinya karena gelap begitu mencekam.

Sepanjang hari itu, semua orang tidak ada yang melakukan aktivitas.  Mereka semua menganggur dan kehidupan pun terhenti. Keadaan benar-benar chaos dan kacau balau. Bayi-bayi, tubuhnya menggigil dan lemas karena kedinginan. Kecemasan dan ketakutan menghantui semua orang.

Begitu tiba malam hari, bulan pun tidak tampak! Orang-orang pun semuanya berangkat ke tempat ibadahnya, meneriakkan selawat dan menghamburkan doa. Mereka berteriak histeris seraya merunduk berdoa agar matahari bisa kembali bersinar. Malam itu, tidak ada seorang pun yang bisa memejamkan mata.

Keesokan harinya, saat pagi menjelang, ternyata matahari kembali bersinar dari orbitnya. Orang-orang pun saling bersahutan mengekspresikan kegirangan yang tiada terperi. Sambil mengangkat tangan ke langit, mereka pun tak henti-hentinya menggemakan puji syukur kepada Allah, seraya saling memberikan ucapan selamat satu sama lain di antara mereka.

Kemudian, salah seorang bijak bestari di negeri itu pun berujar, “Mengapa kalian hanya bersyukur kepada Allah lantaran terbitnya matahari di hari ini saja? Bukankah matahari itu bersinar setiap pagi (hari)? Bukankah kalian tahu kalau kalian sudah mereguk beragam nikmat Allah sepanjang masa?”

Itulah sebagian watak asli sekaligus kealpaan dan kelalaian manusia, ketika mereka didera oleh berbagai macam kesulitan dan kepanikan, baru mereka kembali pada Allah (an-Nahl [16]: 53), seraya mengakui nikmat-Nya. Itu pun hanya terhadap sebagian kecil nikmat, padahal sudah teramat banyak nikmat Allah yang dicurahkan padanya (Ibrahim [14]: 32-34), yang tanpa disadarinya.

Kita baru bisa menyelami nikmat Allah jika bertalian dengan hal-hal material atau yang kasat mata, misalnya, diberikan harta melimpah, jabatan dan posisi yang enak, terbebas dari kecelakaan, lulus dalam testing sekolah atau pekerjaan, dan pendamping atau pasangan hidup yang setia.

Padahal, nikmat Allah itu terus dikucurkan pada hamba-Nya di setiap tarikan napas mereka, yang sekaligus menjadi penopang utama kehidupan mereka, tanpa mereka sadari. Misalnya, jantung yang terus berdetak, napas yang terus menghirup udara bebas, mata yang bisa menatap, mulut yang bisa bicara, hidung yang bisa mengendus rupa-rupa aroma, kuping yang bisa mendengar, kulit yang bisa merasakan dingin atau panas, kita bisa tidur, terjaga, jalan ke mana suka, dan seterusnya.

Tidak cukupkah kita dengan gugahan Allah yang berkali-kali dalam surah ar-Rahman: “Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

Maka, betapa lancungnya dan tidak etis sekali, jika kita hanya mau taat dan beribadah kepada Allah di kala kita didera kesulitan dan menyimpan segudang keinginan.






MENYEGERAKAN DIRI DALAM KEBAJIKAN

 matahari terbenam, sunset
 Dunia memiliki tiga waktu; kemarin, hari ini dan esok hari. Kemarin dan waktu lampau tidak akan pernah kembali lagi, sehingga kita tidak mungkin meraihnya.

Hari ini adalah hadiah Tuhan, sehingga mereka yang pandai memanfaatkannya dengan mempertebal keimanan dan menyegerakan amal saleh tidak mengalami "opportunity lost". Sedangkan esok hari adalah rahasia Tuhan yang tidak seorang pun mengetahuinya.

Sementara itu, umur manusia memiliki dua sifat: Pertama, ia tidak akan berjalan terus tanpa henti, baik manusia sedang mengalami kesedihan maupun kegembiraan, sedang sehat ataupun sakit.

Kedua, umur yang telah lalu tidak akan pernah kembali lagi, sehingga penyesalan terjadi ketika kesempatannya tidak terulang kembali.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka Allah SWT memberikan petunjuk-Nya agar manusia menyegerakan diri dalam kebajikan sebelum disibukkan dengan banyak urusan, memanfaatkan umur, masa sehat, masa jaya, masa muda, masa luang sebelum datang masa-masa kebalikannya.

Allah SWT berfirman, “Dan bersegeralah menuju kepada ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133).

Dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas RA dikabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datangnya lima: hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, luangmu sebelum sempitmu, mudamu sebelum tuamu, dan kayamu sebelum fakirmu.” (HR. Ahmad).

Sejarah mencatat bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq memiliki keutamaan di antara para sahabat lainnya disebabkan dua hal: Pertama, senantiasa membenarkan Rasul. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW memberinya gelar Ash-Shiddiq (orang yang selalu membenarkan kata dan ucapan Rasul SAW).

Kedua, senantiasa menjadi penyegera atau orang pertama dalam banyak hal. Oleh sebab itu, ia masuk dalam kelompok perintis perjuangan pemula masa Rasulullah SAW yang dikenal dengan istilah As-Sabiqun Al-Awwalun yang dijanjikan Allah masuk surga. (QS. At-taubat: 100).

Keutamaan memang milik orang-orang yang membenarkan bukan pada penyegeraan. Namun, Abu Bakar memiliki keutamaan dan urgensitas karena membenarkan Rasul dan menyegarakan (menjadi yang pertama) dalam banyak hal.

Menyegerakan atau menjadi yang pertama banyak hal menjadi perkara yang urgen karena memenuhi kebutuhan, menentramkan dan memberikan kepastian. Sehingga membenarkan dan menyegerakan merupakan gabungan dari sifat kemuliaan yang jika keduanya bersatu pada diri seseorang akan melahirkan kesempurnaan.

Dalam hadis Ibnu Abbas, Rasulullah SAW menceritakan mengenai 70 ribu umatnya yang masuk surga tanpa hisab dan azab neraka. Salah seorang sahabat bernama Ukasah bin Mahshan berkata, "Doakanlah aku agar menjadi golongan mereka."

Rasulullah SAW menjawab, "Engkau bagian dari mereka."

Kemudian seorang sahabat lain berdiri dan berkata, "Doakan pula aku menjadi golongan mereka wahai Rasul!"

Rasulullah SAW menjawab, “Ukasah telah mendahuluimu." (HR. Bukhari-Muslim).

Jawaban Rasulullah ini mengisyaratkan bahwa para penyegera atau menjadi yang pertama memiliki maqam (tempat) yang berbeda dengan yang di belakangnya termasuk dalam masalah agama. Apalagi semua orang mengetahui bahwa para penyegera dan menjadi yang pertama jelas berbeda kualitasnya dengan yang bergerak lambat atau pemalas. Wallahu a'lam.





REJEKI YANG TERTAHAN

 Allah SWT menciptakan semua makhluk telah sempurna dengan pembagian rezekinya. Tidak ada satu pun yang akan ditelantarkan-Nya, termasuk kita. Yang dibutuhkan adalah mau atau tidak kita mencarinya. Yang lebih tinggi lagi, benar atau tidak cara mendapatkannya.

Rezeki di sini tentu bukan sekadar uang. Ilmu, kesehatan, ketenteraman jiwa, pasangan hidup, keturunan, nama baik, persaudaraan, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya termasuk pula rezeki, bahkan lebih tinggi nilainya dibanding uang dan lainnya.

Walau demikian, ada banyak orang yang dipusingkan oleh masalah pembagian rezeki ini. Dia merasa rezekinya sedang seret, padahal sudah berusaha maksimal mencarinya.

Ada banyak penyebab, mungkin cara mencarinya yang kurang profesional, kurang serius mengusahakannya, atau ada kondisi yang menyebabkan Allah Azza wa Jalla menahan rezeki yang bersangkutan. Setidaknya ada lima hal yang menghalangi aliran rezeki.

Pertama, lepasnya ketawakalan dari hati. Kita menggantungkan diri kepada selain Allah. Kita berusaha, namun usaha yang kita lakukan tidak dikaitkan dengan-Nya. Padahal, Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya. “Barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS. Ath-Thalaq [63]: 3).

Kedua, karena dosa. Dosa adalah penghalang datangnya rezeki. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seseorang terjauh dari rezeki disebabkan oleh perbuatan dosanya.” (HR Ahmad).

Ketiga, bermaksiat saat mencari nafkah. Apakah pekerjaan kita dihalalkan agama? Kecurangan dalam mencari nafkah, entah itu korupsi, manipulasi, akan membuat rezeki kita tidak berkah.

Mungkin uang kita dapat, namun berkah dari uang tersebut telah hilang. Apa ciri rezeki yang tidak berkah? Mudah menguap untuk hal sia-sia dan tidak membawa ketenangan, sulit dipakai untuk taat kepada Allah serta membawa penyakit. Bila kita telanjur melakukannya, segera bertobat dan kembalikan harta tersebut kepada yang berhak menerimanya.

Keempat, pekerjaan yang melalaikan kita dari mengingat Allah. Banyak aktivitas kita yang membuat hubungan kita dengan Allah makin menjauh. Kita disibukkan oleh kerja, sehingga lupa shalat, lupa membaca Alquran, lupa mendidik keluarga, lupa menuntut ilmu agama, lupa menjalankan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Akibatnya, pekerjaan kita tidak berkah.

Jika sudah demikian, jangan heran bila rezeki kita akan tersumbat. Idealnya, semua pekerjaan harus membuat kita semakin dekat pada Allah. Sibuk boleh, namun jangan sampai hak-hak Allah kita abaikan. Saudaraku, bencana sesungguhnya bukanlah bencana alam yang menimpa orang lain. Bencana sesungguhnya adalah saat kita semakin jauh dari Allah.

Kelima, enggan bersedekah. Siapa pun yang pelit, niscaya hidupnya akan sempit, rezekinya mampet. Sebaliknya, sedekah adalah penolak bala, penyubur kebaikan, serta pelipat ganda rezeki. Sedekah bagaikan sebutir benih menumbuhkan tujuh butir, yang pada tiap-tiap butir itu terurai seratus biji. Artinya, Allah yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh ratus kali lipat. (QS al- Baqarah [2]: 261). Wallahu a’lam.






EMPAT PANGKAL KEBAHAGIAAN HIDUP



Pada suatu hari, para sahabat sedang duduk bersama Nabi SAW. Tiba-tiba terdengar seperti bunyi lebah di sekitar wajah Nabi. Lalu Nabi menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa, “Ya Allah, tambahkan kami dan jangan Engkau kurangkan. Muliakan, jangan Engkau hinakan. Berikan, jangan Engkau halangi. Prioritaskan, jangan Engkau abaikan.”

Para sahabat pun bertanya-tanya, apa gerangan yang telah menimpa Nabi SAW? Rasulullah SAW menjelaskan bahwa baru saja turun wahyu kepada beliau. “Siapa bisa menegakkannya, ia bakal masuk surga.” Lalu beliau membaca ayat, “Qad aflaha al-Mu`minun”  sampai ayat ke-11 surah al-Mu'minun. (HR Tirmizi dan Ahmad dari Umar bin Khattab).

Dalam kisah ini, terlihat dengan jelas bahwa para sahabat sangat antusius menyimak dan mendengarkan wahyu Allah. Mereka siap siaga menerima perintah. Keadaan mereka, demikian komentar Sayyid Quthb, mirip prajurit yang setiap saat siap siaga menerima perintah sang komandan.

Menurut Nabi SAW, ayat-ayat dari surah al-Mu`minun itu merupakan kunci atau jalan keberuntungan (thariq al-falah). Dalam 11 ayat tersebut terkandung setidak-tidaknya empat prinsip nilai yang menjadi pangkal kebahagiaan.

Pertama, prinsip iman (akidah). Keberuntungan diberikan Allah SWT hanya kepada orang-orang yang beriman. Namun, iman di sini, seperti dikemukakan Sayyid Quthb, bukan hanya kata-kata  (kalimatun tuqal), melainkan kebenaran (haqiqah) yang memiliki tugas-tugas (dzatu takalif). Komitmen yang kuat kepada kebenaran disertai tindakan nyata, inilah iman yang sebenarnya.

Kedua, prinsip ibadah dan amal saleh yang ditunjukkan melalui ibadah shalat dan zakat. Shalat dan zakat merupakan bentuk taklif dari iman. Shalat bersifat vertikal dan memperkuat hubungan dengan Allah. Zakat berdimensi sosial dan memperkuat hubungan dengan sesama manusia. Dalam konteks ini, shalat menjadi pembuka semua ibadah (ayat ke-2) dan menjadi penutupnya sekaligus (ayat ke-9).

Ketiga, prinsip moral dan akhlak karimah yang ditunjukkan dengan sikap tepat janji, memelihara kehormatan diri, dan menjaga amanah. Dalam Islam, moral (akhlak) menjadi bagian integral dari iman. Rasul bersabda, “Manusia yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling mulia akhlaknya (ahsanuhum khuluqan).” (HR Tirmizi).

Keempat, prinsip disiplin dalam bekerja, sehingga produktif dan kompetitif. Orang yang beruntung adalah orang yang mampu menghindarkan diri dari kesia-siaan (al-laghwu). Menurut pakar tafsir Zamachsyari, lagha berarti sesuatu yang tak bernilai (ma la ya`ni-ka) atau yang tak masuk hitungan (ma la yu`taddu bih) baik berupa kata (laghw al-kalam) atau perbuatan (laghw al-`amal).

Disiplin kerja dilakukan dengan memanfaatkan seluruh waktu untuk kebaikan dan amal saleh. Mereka tidak pernah menyia-nyiakan waktu, tetapi mengelolanya (time management), bahkan menguasai (time mastery) dengan sebaik-baiknya.

Inilah jalan keberuntungan yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Mu`minun [23]: 10-11). Wallahu a`lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar