Powered By Blogger

Selasa, 18 September 2012

RENUNGAN

ANAK; ANTARA KARUNIA DAN BENCANA


 matahari terbenam, sunset
"Di sanalah Zakariya mendoa kepada Rabbnya seraya berkata, "Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau dzurriyah thayyibah (seorang anak yang baik). Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa." (QS:Ali 'Imran : 38)
KETIKA Nabi Zakariya as. menyaksikan sendiri bahwa Allah Ta'ala telah memberi karunia kepada Maryam berupa buah-buahan musim panas di musim dingin dan buah-buahan musim dingin di musim panas, saat itulah ia berharap sekali ingin memiliki seorang anak. Saat itu ia telah memasuki usia tua, tulang-tulangnya mulai rapuh, dan rambutnya telah memutih. Di sisi lain, istrinya juga telah tua dan bahkan mandul. Meski demikain, setelah kejadian yang dialami Maryam, ia memiliki keinginan kuat untuk memiliki seorang anak dengan berdoa kepada Allah Ta'ala, "Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau dzurriyah thayyibah."
Bagi orangtua, tentu ia menyadari betul bahwa anak merupakan karunia dan nikmat yang diberikan Allah kepada pasangan suami istri. Karena, salah stau tujuan dari pernikahan adalah sebagai wasilah untuk mendapatkan keturunan. Sehingga, kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga menjadi nikmat tersendiri yang hanya bisa dirasakan oleh orangtua. Kehadirannya akan senantiasa di tunggu-tunggu. Hari demi hari, bulan demi bulan, orangtua akan senantiasa mengikuti perkembangan si janin. Dan, setelah lahir, anak seolah-olah menjadi perhiasan dunia bagi orangtuanya. Hal ini sebagaimana yang telah Allah sampaikan;
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَل
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…" (QS:Al-Kahfi : 46). Anak sebagai perhiasan dunia lantaran mereka akan mampu memberikan kekuatan dan pembelaan bagi orangtuanya.

Di sisi lain, anak merupakan batu ujian bagi orangtuanya, dan hal ini yang jarang dipahami oleh para orangtua. Bahkan, Allah menyebutkan bahwa sebagain anak akan menjadi 'aduw (musuh bagi orangtuanya).
Allah Ta'ala berfirman; "Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu…" (QS: At-Taghabun : 14).
Imam Mawardi menyebutkan lima bentuk permusuhan anak bagi orangtuanya;
Pertama, orang-orang yang masuk Islam di Makkah dan hendak hijrah ke Madinah, namun dihalang-halangi oleh anak dan istri mereka.
Kedua, anak istri yang tidak memerintahkan kepada ketaatan kepada Allah dan tidak melarang dari perbuata maksiat kepada-Nya.
Ketiga, anak-anak yang memutus hubungan kekerabatan dan bermaksiat kepada Allah.
Keempat, anak istri yang menyelisihi perintah agama.
Kelima, anak istri yang mendorongmu untuk mengejar dunia dan bermegah-megahan dengannya.
Bahkan, di ayat selanjutnya, Allah Ta'ala menyebutkan bahwa anak adalah salah satu bentuk fitnah (cobaan dan musibah) bagi orangtuanya;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوّاً لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar." (QS: At-Taghabun : 14).
Sebab, anak bisa melenakan orangtua dari usahanya mencari kehidupan akhirat. Atau, terkadang orangtua menjadi bakhil lantaran anak-anaknya, sehingga ia tidak mau mengeluarkan harta yang menjadi hak Allah.
Dari sini, selaku orangtua, seharusnya kita belajar kepada doa Nabi Zakariya di atas. Meski ia sangat ingin sekali mengharap anak, meski kondisi fisiknya sangat tidak memungkinkan, namun ia tetap berharap mendapatkan keturunan yang baik (dzurriyah thayyibah). Sebab, dengan keturunan yang baik inilah orangtua akan merasakan kenikmatan dunia akhirat. Sebab, bila kita perhatikan kriteria dzurriyah thayyibah yang telah disampaikan para ulama, tentu itu merupakan kriteria anak ideal dalam pandangan Islam.
Para ulama menyebutkan bahwa di antara kriteria dzurriyah thayyibah ini adalah anak yang memiliki perilaku dan sifat yang menawan. Ada yang berpendapat, bahwa dzurriyah thayyibah adalah anak yang bertakwa kepada Allah, shalih, dan diridhai oleh Allah. Ada yang berpendapat, bahwa dzurriyah thayyibah adalah anak yang membawa keberkahan bagi orangtuanya, yakni kebaikan yang banyak, baik dalam urusan dunia maupun agama.
Semoga anak-anak kita menjadi dzurriyah thayyibah yang mampu memberikan manfaat bagi orangtuanya baik di dunia maupun akhirat. Dan, semoga anak-anak kita menjadi nikmat yang mendatangkan kebahagiaan bagi orangtuanya. Semoga kelak di akhirat kita dikejutkan oleh karunia dari Allah lantaran anak-anak kita, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam:
إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَنَّى هَذَا فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
"Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, lalu ia berujar, 'Bagaimana mungkin aku mendapatkan derajat ini?" Maka, dijawab, "Hal ini lantaran anakmu telah memohonkan ampun untukmu." (HR. Ibnu Majah).'Wallahu a'lam.*


"Di sanalah Zakariya mendoa kepada Rabbnya seraya berkata, "Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau dzurriyah thayyibah (seorang anak yang baik). Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa." (QS:Ali 'Imran : 38)
KETIKA Nabi Zakariya as. menyaksikan sendiri bahwa Allah Ta'ala telah memberi karunia kepada Maryam berupa buah-buahan musim panas di musim dingin dan buah-buahan musim dingin di musim panas, saat itulah ia berharap sekali ingin memiliki seorang anak. Saat itu ia telah memasuki usia tua, tulang-tulangnya mulai rapuh, dan rambutnya telah memutih. Di sisi lain, istrinya juga telah tua dan bahkan mandul. Meski demikain, setelah kejadian yang dialami Maryam, ia memiliki keinginan kuat untuk memiliki seorang anak dengan berdoa kepada Allah Ta'ala, "Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau dzurriyah thayyibah."
Bagi orangtua, tentu ia menyadari betul bahwa anak merupakan karunia dan nikmat yang diberikan Allah kepada pasangan suami istri. Karena, salah stau tujuan dari pernikahan adalah sebagai wasilah untuk mendapatkan keturunan. Sehingga, kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga menjadi nikmat tersendiri yang hanya bisa dirasakan oleh orangtua. Kehadirannya akan senantiasa di tunggu-tunggu. Hari demi hari, bulan demi bulan, orangtua akan senantiasa mengikuti perkembangan si janin. Dan, setelah lahir, anak seolah-olah menjadi perhiasan dunia bagi orangtuanya. Hal ini sebagaimana yang telah Allah sampaikan;
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَل
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…" (QS:Al-Kahfi : 46). Anak sebagai perhiasan dunia lantaran mereka akan mampu memberikan kekuatan dan pembelaan bagi orangtuanya.

Di sisi lain, anak merupakan batu ujian bagi orangtuanya, dan hal ini yang jarang dipahami oleh para orangtua. Bahkan, Allah menyebutkan bahwa sebagain anak akan menjadi 'aduw (musuh bagi orangtuanya).
Allah Ta'ala berfirman; "Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu…" (QS: At-Taghabun : 14).
Imam Mawardi menyebutkan lima bentuk permusuhan anak bagi orangtuanya;
Pertama, orang-orang yang masuk Islam di Makkah dan hendak hijrah ke Madinah, namun dihalang-halangi oleh anak dan istri mereka.
Kedua, anak istri yang tidak memerintahkan kepada ketaatan kepada Allah dan tidak melarang dari perbuata maksiat kepada-Nya.
Ketiga, anak-anak yang memutus hubungan kekerabatan dan bermaksiat kepada Allah.
Keempat, anak istri yang menyelisihi perintah agama.
Kelima, anak istri yang mendorongmu untuk mengejar dunia dan bermegah-megahan dengannya.
Bahkan, di ayat selanjutnya, Allah Ta'ala menyebutkan bahwa anak adalah salah satu bentuk fitnah (cobaan dan musibah) bagi orangtuanya;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوّاً لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar." (QS: At-Taghabun : 14).
Sebab, anak bisa melenakan orangtua dari usahanya mencari kehidupan akhirat. Atau, terkadang orangtua menjadi bakhil lantaran anak-anaknya, sehingga ia tidak mau mengeluarkan harta yang menjadi hak Allah.
Dari sini, selaku orangtua, seharusnya kita belajar kepada doa Nabi Zakariya di atas. Meski ia sangat ingin sekali mengharap anak, meski kondisi fisiknya sangat tidak memungkinkan, namun ia tetap berharap mendapatkan keturunan yang baik (dzurriyah thayyibah). Sebab, dengan keturunan yang baik inilah orangtua akan merasakan kenikmatan dunia akhirat. Sebab, bila kita perhatikan kriteria dzurriyah thayyibah yang telah disampaikan para ulama, tentu itu merupakan kriteria anak ideal dalam pandangan Islam.
Para ulama menyebutkan bahwa di antara kriteria dzurriyah thayyibah ini adalah anak yang memiliki perilaku dan sifat yang menawan. Ada yang berpendapat, bahwa dzurriyah thayyibah adalah anak yang bertakwa kepada Allah, shalih, dan diridhai oleh Allah. Ada yang berpendapat, bahwa dzurriyah thayyibah adalah anak yang membawa keberkahan bagi orangtuanya, yakni kebaikan yang banyak, baik dalam urusan dunia maupun agama.
Semoga anak-anak kita menjadi dzurriyah thayyibah yang mampu memberikan manfaat bagi orangtuanya baik di dunia maupun akhirat. Dan, semoga anak-anak kita menjadi nikmat yang mendatangkan kebahagiaan bagi orangtuanya. Semoga kelak di akhirat kita dikejutkan oleh karunia dari Allah lantaran anak-anak kita, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam:
إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَنَّى هَذَا فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
"Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, lalu ia berujar, 'Bagaimana mungkin aku mendapatkan derajat ini?" Maka, dijawab, "Hal ini lantaran anakmu telah memohonkan ampun untukmu." (HR. Ibnu Majah).'Wallahu a'lam.*







MERAIH SULUK MAHABBAH ILAHI


CINTA, sebuah ungkapan yang sudah tidak asing lagi di telinga kalangan manusia. Apalagi di kalangan remaja, istilah cinta seolah-olah sudah menjadi hidangan harian yang patut dipersiapkan untuk meraih apa yang di inginkan. Namun, berbeda lagi jika kita tautkan hati kita untuk sang ilahi robbi. Istilah cinta sudah masuk ke kalbu manusia untuk memantapkan dan menyempurnakan nilai kehidupan kita.

Cinta kepada Allah swt berarti beriman kepada-Nya semata dengan tidak mempersekutukan diri-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan segala bentuk penyimpangan dan pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kebesaran-Nya, mensucikan-Nya dari segala kekurangan, mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat kepada-Nya. Al Qarni berujar:

“Cinta Allah dapat diraih dengan menunaikan hak-hak-Nya dan demikian juga cinta manusia dapat diraih dengan menunaikan hak-haknya dan memperlakukan mereka secara adil dan baik. Mendapat cinta Allah adalah tujuan utama seorang hamba dalam hidupnya, maka wajib bagi seorang hamba untuk mengetahui hal-hal yang mendatangkan kecintaan Allah.” (Dr. ‘Aidh bin ‘Abdullah Al Qarni)
Ada satu syarat penting untuk meraih cinta Allah, yakni kita harus mengikuti sunnah Rasulullah. Kita harus memahami dan mengikuti jejak langkah-langkah beliau meraih cinta abadinya, yakni Allah ‘Azza wa Jalla. Sehingga Allah pun telah menjadikan beliau sebagai kekasih-Nya. Oleh karena itu cinta kepada Allah berarti mesti cinta kepada Muhammad, Rasulullah. Allah yang Maha Kasih berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika benar kamu mencintai Allah SWT maka ikutilah aku. Niscaya Allah SWT mencintai kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.” (QS: Ali ‘Imran: 31).
Lantas, bagaimana meraih mahabbah Ilahi Robbi? Meraih mahabbah allah itu seyogyanya memang harus dipertajam guna mendapatkan predikat yang penting dihadapan allah.
Dan di antara jalan atau suluk untuk meraih hal tersebut ada beberapa hal;
•    membaca Al-Quran dengan tadabbur dan memahaminya dengan baik
•    mendekatkan diri pada Allah dengan sholat sunat setelah mengutamakan sholat wajib
•    selalu berdzikir dalam segala keadaan dengan hati, lisan, dan perbuatan
•    mengutamakan kehendak Allah dalam segala keadaan
•    menanamkan dalam hati nama-nama dan sifat-sifat Allah dan memahami maknanya
•    bersyukur kepada Allah dalam setiap perkara yang telah ditentukan oleh-Nya, sentiasa tawadhu’ (rendah hati) kepada Allah
•    selalu bangun malam untuk beribadah
•    bermunajat dan membaca kitab suci-Nya
•    banyak bergaul dengan orang-orang sholeh juga mengambil hikmah dan ilmu dari mereka
•    jangan mendekati perkara-perkara yang menyebabkan kita lalai dari mengigat Allah Subhanahu Wata’ala
Di antara semua itu sangatlah nihil apabila tanpa didasari dengan ilmu, karena semua itu butuh pengetahuan guna memantapkan hati kita untuk meraih ilahi robbi. Jika semua hal tersebut sudah terlaksana dengan mantap dan yakin, bukan hal yang mustahil kita akan meraih mahabbah ilahi dengan mudah dan mampu meraih predikat tersebut.

Semoga kita senantiasa mendapatkan kecintaan Allah, itulah yang seharusnya dicari setiap hamba dalam setiap detak jantung dan setiap nafasnya.
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa kunci untuk mendapatkan itu semua adalah dengan mempersiapkan jiwa (hati) dan membuka mata hati.

 












SINERGI EMPAT TUNTUNAN ILAHI


Memiliki akhlak mahmudah (akhlak baik), diperlukan niat teguh dalam hati serta usaha untuk mengisinya dengan ibadah yang konsisten dalam kehidupan sehari-hari.

Sebaliknya, memiliki akhlak madzmumah (akhlak buruk), terkadang lebih mudah dibandingkan dengan akhlak baik. Itu sebabnya mengapa Rasulullah bersabda surga itu dikelilingi hal-hal yang kurang menyenangkan—sebab, untuk memperoleh surga, perlu usaha ekstra selama di dunia.

Mengerjakan seluruh yang Allah perintahkan dan menjauhiapa apa yang Allah larang. Di situlah letak kesulitannya. Salah satu akhlak mahmudah yang Allah tuntun untuk kita ialah zuhud.

Definisi zuhud menurut Ibnu Abbas RA, terdiri atas tiga huruf yaitu Za, Ha, Dal. Za maknanya zaadun li ma’aad, yaitu bekal untuk kembali ke akhirat, maksudnya taqwa. Ha maksudnya hudan li ad-diin, yaitu petunjuk untuk mengikuti Islam. Dan Dal maksudnya dawaam ‘ala ath-thaa’ah, yaitu terus menerus dalam melakukan ketaatan.

Ibnu Abbas juga menjabarkan pengertian lain dari zuhud. Za berarti tarku az-zinah, yaitu meninggalkan kemegahan dan kemewahan. Ha maksudnya tarku al-hawaa, yaitu meninggalkan kesenangan dan hawa nafsu. dan Dal maksudnya tarku ad-dunyaa, yaitu menjauhi duniawi.

Nabi Sulaiman dan Luqman pernah berkata, “Apabila berbicara itu perak, maka diam itu adalah emas.” Maksudnya, apabila perkataan seseorang dalam kebaikan nilainya seperti perak, maka diam dari berkata buruk nilainya seperti emas. Nasihat ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, “Berkatalah yang baik, atau lebih baik diam!”

Menurut Syekh Abdul Qadir Jailani, manusia itu terbagi menjadi empat. Pertama, Orang yang tidak punya lisan dan hati. Inilah tipe orang durhaka, lalai, dan jahil. Kita dianjurkan menjauhi orang tipe pertama ini.

Kedua, orang yang berlisan namun tidak berhati. Kata-kata orang seperti ini mengandung hikmah, namun ia sendiri tidak pernah mengamalkannya. Ia mengajak manusia untuk beriman dan beramal saleh, sementara ia sendiri kufur dan menjauhi Allah.

Ketiga, orang yang memiliki hati namun tidak memiliki lisan. Ini adalah tipe orang mukmin yang disembunyikan Allah dari pandangan makhluk-Nya. Allah membukakan mata hatinya agar ia dapat melihat kekurangan dirinya, menerangi hatinya dan tidak banyak bicara. Sebenarnya dia adalah kekasih Allah yang disembunyikan dalam pemeliharaan-Nya.

Keempat, orang yang mau belajar dan mengajar serta mengamalkan ilmunya, ia betul-betul mengenal Allah dan memahami ayat-ayat-Nya. Allah memberinya ilmu yang tidak diketahui oleh orang-orang dan Allah melapangkan dadanya untuk menerima bermacam-macam ilmu.

Pada intinya, zuhud bermuara pada sikap “menjaga diri”. Menjaga diri dari yang haram, syubhat, baik yang besar maupun yang kecil. Zuhud akan melahirkan sikap wara atau hati-hati. Menunaikan semua yang difardhukan baik yang mudah maupun yang sulit.

Sikap zuhud dan wara akan mewariskan taubat dan kembali ke jalan Allah sehingga hati dan perilakunya akan beroleh penerangan dan terhindar dari kesyubhatan, terlebih hal-hal yang diharamkan.

Terakhir, ia akan menyerahkan sepenuhnya urusan dunianya kepada ahlinya, yakni pada Allah Azza wa Jalla baik urusan kecil apalagi besar. Maka akan lahirlah sikap qanaah, yaitu menerima sepenuhnya apa pun yang Allah anugerahkan padanya di dunia nan fana ini. Keempat sikap ini pada akhirnya bersinergi dan menuntun kita untuk tetap berada dalam tuntunan Ilahi. Wallahu a’lam.





SEBAB SEBAB TURUNNYA KEBERKAHAN


 Keberkahan bukanlah pemberian Allah yang tiba-tiba dengan tanpa sebab diturunkan kepada seseorang. Keberkahan merupakan sesuatu yang senantiasa diminta dan harus diupayakan oleh setiap manusia kepada pemiliknya, Allah SWT.

Di antara sebab-sebab turunnya keberkahan adalah: Pertama, mendasari keimanan dan ketakwaan dalam sebuah kegiatan atau usaha. Allah SWT berfirman, "Jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS. Al-A'raf: 96).

Kedua, beramal saleh dan berikhtiar memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan semua makhluk-Nya. Allah SWT berfirman, "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97).

Ketiga, memulai setiap pekerjaan dengan menyebut nama Allah karena pada hakikatnya Dialah pemiliknya. Rasulullah SAW bersabda, "Berkumpullah kalian atas makanan dan sebutlah nama Allah, maka Allah akan memberikan keberkahan pada kalian di dalamnya." (HR. Abu Daud).

Keempat, menyegerakan diri dalam kebaikan dan membuang rasa malas di pagi hari. Rasulullah SAW mendoakan keberkahan bagi orang-orang yang menyegerakan diri dan bersemangat di pagi hari dalam meraih sukses melalui doanya, "Ya Allah, berkahilah umatku yang (bersemangat ) di pagi harinya." (HR. Abu Daud).

Kelima, berlaku jujur dan melayani pelanggan dengan baik dan ihlas. Rasulullah SAW bersabda, “Penjual dan pembeli itu diberi pilihan selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya jujur dan menjelaskan (kondisi barangnya), maka keduanya diberkahi dalam jual belinya. Namun bila keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka akan dihilangkan keberkahan jual beli keduanya.” (HR. Bukhari-Muslim).

Pada tingkat tertentu, keberkahan tidak selalu bersifat definitif dalam arti selamat, tetap, langgeng, baik, bertambah, dan tumbuh melainkan berati puas dan rela dengan pemberian dan pembagian yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam kategori ini orang-orang yang mendapatkan keberkahan juga merasakan hidup dengan perasaan nyaman dan bahagia.

Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, Allah menguji hamba dengan pemberian-Nya. Barang siapa rela dengan pembagian Allah terhadapnya, maka Allah akan memberikan keberkahan baginya dan akan memperluasnya. Dan barang siapa tidak rela, maka tidak akan mendapatkan keberkahan.” (HR. Ahmad).

Semoga Allah SWT memberikan keberkahan terhadap rezeki, kediaman, keturunan dan semua anugerah yang diamanahkan kepada kita serta memberi kekuatan untuk senantiasa taat menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan melimpahkan kepuasan kepada kita atas pemberian-Nya. Wallahu a'lam.




MEMETIK PELAJARAN MASA LALU


 Allah SWT memerintahkan kita untuk memetik pelajaran dari peristiwa yang telah terjadi melalui firman-Nya, "Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang memiliki pandangan." (QS. Al-Hasyr: 2).

Orang-orang yang belajar dari kesalahan masa lalu, akan mendapatkan pencerahan di masa mendatang. Prinsip ini terjadi dalam kehidupan para Rasul yang diutus Allah ke bumi. Semula, para utusan tersebut menggunakan doa pamungkasnya dalam menyelesaikan aneka krisis berat yang dihadapi.

Nabi Nuh AS misalnya, menggunakan doa pamungkasnya untuk menenggelamkan kaum yang menentangnya. Nabi Musa AS memanfaatkan doa pamungkasnya untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun beserta bala tentaranya.

Namun memasuki era Ibrahim AS, doa pamungkas para Rasul tidak lagi dipergunakan untuk membinasakan para penentang, namun diserahkan urusannya kepada Allah SWT.

Perhatikanlah rintihan Ibrahim AS kepada Tuhannya pada saat ia mengalami kesulitan yang sangat berat, "Ya Tuhan, berhala-berhala itu telah banyak menyesatkan manusia. Barang siapa mengikutiku, maka orang itu termasuk golonganku, dan barang siapa mendurhakaiku, maka Engkau Mahapengampun, Mahapenyayang." (QS. Ibrahim: 36).

Perhatikan pula rintihan Nabi Isa AS dalam sebuah doanya, "Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana." (QS. Al-Ma'idah: 118).

Dua ayat terakhir memberikan kesan mendalam bagi Rasulullah SAW, sehingga pada saat membacanya beliau menangis tersedu seraya berkata, "Umatku! Umatku! Umatku".

Rasul SAW mengulang bacaan kedua ayat tersebut dan kembali air matanya mengucur, sehingga Allah SWT mengutus Jibril untuk menanyakan gerangan apa yang terjadi.

Setelah Jibril datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW, beliau menjawab, "Umatku! Umatku! Umatku! Ibrahim AS mengharapkan kebaikan bagi umatnya dan berdoa melalui ayat tersebut. Demikian pula Nabi Isa AS. Bagaimanakah dengan umatku?" kata Rasulullah SAW sambil tetap menangis.

Jibril kemudian memberitahukan perihal tersebut kepada Allah SWT dan Allah memerintahkannya, "Wahai Jibril, pergilah lagi kepada Muhammad dan katakan kepadanya, ‘Sungguh kami akan memuaskan umatmu dan tidak akan menyakitinya untuk selamanya’.”

Demikianlah gambaran mengenai beban dan kesulitan yang dipikul Rasulullah SAW dalam upaya memelihara kepentingan umat. Sehingga di dalam menyelesaikannya beliau telah mengambil pelajaran dari para rasul pendahulunya dan berpikir demi dunia dan akhirat serta tidak ingin sekedar menyerahkan urusannya kepada Tuhan, melainkan berupaya mendapat jaminan-Nya bahwa umatnya tidak akan mengalami kehancuran yang besar dan dahsyat.

Oleh karenanya, ketika para sahabat di antaranya Umar bin Khatab bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai mengapa beliau tidak menggunakan doa pamungkasnya di dunia, beliau menjawab dengan jawaban yang impresif, "Aku menggunakan doaku (doa pamungkas) untuk kepentingan pemberian pertolongan (syafaat) bagi umatku, nanti pada hari kiamat.”

Masya Allah, betapa jauh cara berpikir Rasulullah SAW. Cara berpikir yang didasari cinta murni kepada umatnya. Cinta kemanusiaan sejati yang jauh dari kekerasan. Cinta kemanusiaan murni yang membentengi kepentingan manusia dan menyelamatkan jiwa.  Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar