CARILAH SUMBER KELAPANGAN HATI
PERNAHKAH Anda
merasakan kesempitan hati, sampai sedemikian sempitnya, sehingga
seolah-olah langit runtuh menindih dada? Ketika itu, pandangan menjadi
kabur, pikiran keruh, energi sirna, dan pelita pengharapan pun padam.
Sebaliknya, ketika hati kita dilapangkan oleh Allah: segalanya terlihat
gamblang, solusi problematika hidup tersaji lengkap, energi meluap, dan
kita menatap kehidupan ini dengan penuh semangat serta optimisme tinggi.
Pertanyaannya: “Bagaimana cara menghindari kondisi pertama diatas, dan
meraih yang kedua?”
Ada sebuah ulasan dalam Zaadul Ma’ad karya Ibnu Qayyim yang
dapat menjawab pertanyaan penting ini. Dalam kitab yang didedikasikan
untuk meraih ibrah (pelajaran) dari sejarah hidup Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tersebut, diantaranya beliau memaparkan sebab-sebab
atau sumber-sumber kelapangan hati. Bila kita perhatikan isinya, lalu
memikirkan kebalikannya masing-masing, kita juga akan mengerti
sumber-sumber kesempitannya. Mari kita pelajari satu demi satu.
Sumber pertama adalah tauhid. Seberapa
lapang hati seseorang berhubungan erat dengan seberapa kuat, sempurna,
dan pertambahan keyakinan tauhidnya. Allah berfirman,
فَمَن
يُرِدِ اللّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَن يُرِدْ
أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاً حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ
فِي السَّمَاء كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ
يُؤْمِنُونَ
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya
petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.
Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah
menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki
langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak
beriman.” (Qs. Al-An'am: 125).
Sebaliknya, kemusyrikan adalah penyebab kesempitan hati dan duka
cita. Dalam surah az-Zumar: 29, Allah mengumpamakan orang musyrik dengan
seorang budak yang dimiliki oleh beberapa majikan sekaligus, sementara
para majikan ini selalu bertengkar. Budak itu pasti sangat bingung dan
serba salah. Bandingkan dengan seorang budak yang menjadi milik penuh
dari seorang majikan saja. Hidupnya pasti lebih mudah, karena ia hanya
melayani satu tuan, tidak dibingungkan oleh perintah aneka majikan yang
seringkali saling bertentangan.
Sumber kedua adalah cahaya iman. Tatkala
cahayanya lenyap dari hati, maka seseorang akan menghadapi kegelapan,
sehingga merasa seolah-olah terkungkung dalam penjara paling sempit.
Sebagaimana cahaya bisa membuat ruangan terkesan luas, demikian pula
iman akan melapangkan hati. Maka, Al-Qur’an pun menggambarkan kekafiran
(yakni, kebalikan iman) sebagai kegelapan yang berlapis-lapis: “Atau,
seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak,
yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang
tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, nyaris dia tidak
dapat melihatnya. Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (iman) oleh
Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (Qs. an-Nur: 40).
Sumber ketiga adalah ilmu. Tepatnya, ilmu
yang diwarisi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan
sembarang ilmu. Dengannya, hati terasa sangat lapang bahkan lebih lapang
dari dunia ini. Warisan kenabianlah yang membuatnya memiliki kesabaran
berlipat, akhlak termulia, serta kehidupan paling tenteram. Al-Hasan
al-Bashri berkata, “Dulu, bila seseorang telah mencari ilmu, maka tidak
lama kemudian akan terlihat pengaruhnya pada tatapan matanya,
kekhusyu’annya, lisannya, tangannya, shalatnya, dan kezuhudannya.”
Beliau juga berkata, “Jika seseorang telah memperoleh satu bab dari
ilmu, lalu ia mengamalkannya, maka jadilah ilmu itu lebih baik baginya
dibanding dunia seisinya, andai ia memiliki dunia itu lalu ia
menjadikannya untuk akhirat.” (Riwayat Darimi, keduanya dengan sanad
shahih).
Sumber keempat adalah kembali kepada Allah,
mencintai-Nya, berfokus kepada-Nya, dan menikmati asyiknya beribadah.
Rasa cinta memiliki pengaruh ajaib terhadap kelapangan hati. Cinta
membuat jiwa tenteram dan hati nyaman, apalagi cinta kepada Allah, Tuhan
semesta alam. Sudah dimaklumi bahwa tiada kenikmatan bagi pecinta
selain berjumpa, bercengkrama, dan berdua-duaan dengan kekasihnya. Ia
pasti ingin berlama-lama bersamanya. Bila terpisah, ia pun sangat rindu
ingin bertemu. Bila ia dihalangi dari yang dicintainya, hatinya akan
merana.
Dapat dipastikan, orang yang gemar dan ringan beribadah tentu sangat
mencintai Tuhannya. Cintalah yang mendorongnya untuk segera bangkit
menyambut panggilan Kekasihnya dengan penuh semangat. Oleh karenanya,
diriwayatkan bahwa Nabi Dawud ‘alaihis salam pernah berdoa: “Ya
Allah, sungguh aku mohon (diberi) rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta
kepada orang-orang yang mencintai-Mu, juga amal-amal yang akan membawaku
sampai kepada cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah kecintaan kepada-Mu lebih
aku cintai dibanding diriku sendiri, keluargaku, dan air yang sejuk.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits dha’if).
Siapa pun yang berpaling dari Allah, melupakan-Nya, mencintai dan bergantung kepada selain-Nya, niscaya hidupnya menjadi sempit.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً
قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada
hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa
Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya
adalah seorang yang melihat?" Allah berfirman: "Demikianlah, telah
datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu
(pula) pada hari ini kamupun dilupakan." [QS: Thaha: 124-126).
Bila ia mencintai selain Allah, jiwanya akan tersiksa karenanya.
Hatinya pun terpenjara dalam apa yang dicintainya itu, sebab semua
selain Allah mudah berubah dan tidak terjamin kepastiannya. Ketika
itulah pikirannya kacau, hidupnya berantakan, dan hatinya sangat
kelelahan. Maka, tidak ada yang lebih malang darinya di dunia ini!
Sejauh ini, kita telah mengemukakan empat penyebab kelapangan hati.
Sebenarnya, masih ada lima lagi penyebab lainnya. Namun, karena
keterbatasan tempat, insya-Allah kita akan menyajikannya pekan depan.
Sebagai gambaran ringkas, lima penyebab berikutnya adalah: kontinyu
berdzikir, berbuat baik kepada sesama makhluk, keberanian, keluarnya
kotoran hati, dan tidak berlebihan dalam hal-hal yang mubah. Wallahu
a’lamPERNAHKAH Anda
merasakan kesempitan hati, sampai sedemikian sempitnya, sehingga
seolah-olah langit runtuh menindih dada? Ketika itu, pandangan menjadi
kabur, pikiran keruh, energi sirna, dan pelita pengharapan pun padam.
Sebaliknya, ketika hati kita dilapangkan oleh Allah: segalanya terlihat
gamblang, solusi problematika hidup tersaji lengkap, energi meluap, dan
kita menatap kehidupan ini dengan penuh semangat serta optimisme tinggi.
Pertanyaannya: “Bagaimana cara menghindari kondisi pertama diatas, dan
meraih yang kedua?”
Ada sebuah ulasan dalam Zaadul Ma’ad karya Ibnu Qayyim yang
dapat menjawab pertanyaan penting ini. Dalam kitab yang didedikasikan
untuk meraih ibrah (pelajaran) dari sejarah hidup Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tersebut, diantaranya beliau memaparkan sebab-sebab
atau sumber-sumber kelapangan hati. Bila kita perhatikan isinya, lalu
memikirkan kebalikannya masing-masing, kita juga akan mengerti
sumber-sumber kesempitannya. Mari kita pelajari satu demi satu.
Sumber pertama adalah tauhid. Seberapa
lapang hati seseorang berhubungan erat dengan seberapa kuat, sempurna,
dan pertambahan keyakinan tauhidnya. Allah berfirman,
فَمَن
يُرِدِ اللّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَن يُرِدْ
أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاً حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ
فِي السَّمَاء كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ
يُؤْمِنُونَ
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya
petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.
Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah
menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki
langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak
beriman.” (Qs. Al-An'am: 125).
Sebaliknya, kemusyrikan adalah penyebab kesempitan hati dan duka
cita. Dalam surah az-Zumar: 29, Allah mengumpamakan orang musyrik dengan
seorang budak yang dimiliki oleh beberapa majikan sekaligus, sementara
para majikan ini selalu bertengkar. Budak itu pasti sangat bingung dan
serba salah. Bandingkan dengan seorang budak yang menjadi milik penuh
dari seorang majikan saja. Hidupnya pasti lebih mudah, karena ia hanya
melayani satu tuan, tidak dibingungkan oleh perintah aneka majikan yang
seringkali saling bertentangan.
Sumber kedua adalah cahaya iman. Tatkala
cahayanya lenyap dari hati, maka seseorang akan menghadapi kegelapan,
sehingga merasa seolah-olah terkungkung dalam penjara paling sempit.
Sebagaimana cahaya bisa membuat ruangan terkesan luas, demikian pula
iman akan melapangkan hati. Maka, Al-Qur’an pun menggambarkan kekafiran
(yakni, kebalikan iman) sebagai kegelapan yang berlapis-lapis: “Atau,
seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak,
yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang
tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, nyaris dia tidak
dapat melihatnya. Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (iman) oleh
Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (Qs. an-Nur: 40).
Sumber ketiga adalah ilmu. Tepatnya, ilmu
yang diwarisi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan
sembarang ilmu. Dengannya, hati terasa sangat lapang bahkan lebih lapang
dari dunia ini. Warisan kenabianlah yang membuatnya memiliki kesabaran
berlipat, akhlak termulia, serta kehidupan paling tenteram. Al-Hasan
al-Bashri berkata, “Dulu, bila seseorang telah mencari ilmu, maka tidak
lama kemudian akan terlihat pengaruhnya pada tatapan matanya,
kekhusyu’annya, lisannya, tangannya, shalatnya, dan kezuhudannya.”
Beliau juga berkata, “Jika seseorang telah memperoleh satu bab dari
ilmu, lalu ia mengamalkannya, maka jadilah ilmu itu lebih baik baginya
dibanding dunia seisinya, andai ia memiliki dunia itu lalu ia
menjadikannya untuk akhirat.” (Riwayat Darimi, keduanya dengan sanad
shahih).
Sumber keempat adalah kembali kepada Allah,
mencintai-Nya, berfokus kepada-Nya, dan menikmati asyiknya beribadah.
Rasa cinta memiliki pengaruh ajaib terhadap kelapangan hati. Cinta
membuat jiwa tenteram dan hati nyaman, apalagi cinta kepada Allah, Tuhan
semesta alam. Sudah dimaklumi bahwa tiada kenikmatan bagi pecinta
selain berjumpa, bercengkrama, dan berdua-duaan dengan kekasihnya. Ia
pasti ingin berlama-lama bersamanya. Bila terpisah, ia pun sangat rindu
ingin bertemu. Bila ia dihalangi dari yang dicintainya, hatinya akan
merana.
Dapat dipastikan, orang yang gemar dan ringan beribadah tentu sangat
mencintai Tuhannya. Cintalah yang mendorongnya untuk segera bangkit
menyambut panggilan Kekasihnya dengan penuh semangat. Oleh karenanya,
diriwayatkan bahwa Nabi Dawud ‘alaihis salam pernah berdoa: “Ya
Allah, sungguh aku mohon (diberi) rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta
kepada orang-orang yang mencintai-Mu, juga amal-amal yang akan membawaku
sampai kepada cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah kecintaan kepada-Mu lebih
aku cintai dibanding diriku sendiri, keluargaku, dan air yang sejuk.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits dha’if).
Siapa pun yang berpaling dari Allah, melupakan-Nya, mencintai dan bergantung kepada selain-Nya, niscaya hidupnya menjadi sempit.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً
قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada
hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa
Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya
adalah seorang yang melihat?" Allah berfirman: "Demikianlah, telah
datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu
(pula) pada hari ini kamupun dilupakan." [QS: Thaha: 124-126).
Bila ia mencintai selain Allah, jiwanya akan tersiksa karenanya.
Hatinya pun terpenjara dalam apa yang dicintainya itu, sebab semua
selain Allah mudah berubah dan tidak terjamin kepastiannya. Ketika
itulah pikirannya kacau, hidupnya berantakan, dan hatinya sangat
kelelahan. Maka, tidak ada yang lebih malang darinya di dunia ini!
Sejauh ini, kita telah mengemukakan empat penyebab kelapangan hati.
Sebenarnya, masih ada lima lagi penyebab lainnya. Namun, karena
keterbatasan tempat, insya-Allah kita akan menyajikannya pekan depan.
Sebagai gambaran ringkas, lima penyebab berikutnya adalah: kontinyu
berdzikir, berbuat baik kepada sesama makhluk, keberanian, keluarnya
kotoran hati, dan tidak berlebihan dalam hal-hal yang mubah. Wallahu
a’lam
UBAHLAH DIRIMU, DUNIA BERUBAH DITANGANMU
UMUMNYA di
antara kita gampang takjub terhadap kehebatan orang. Tetapi seringkali
gagal atau mungkin malas mendesain diri agar bisa menjadi orang sukses.
Tidak sulit kita menemukan anak-anak hari ini yang bermental kerdil,
berwawasan sempit, dan bersemangat rendah.
Sekali mencoba dan ternyata gagal biasanya orang langsung mundur dan
menyudahi usahanya. Padahal sukses, prestasi, ilmu, itu tidak bisa
diperoleh hanya dengan satu langkah belaka. Sukses, prestasi, dan ilmu
itu tidak bisa dicapai kecuali dengan kesungguhan upaya dan doa.
Pepatah mengatakan, “A journey of a thousand miles begins with a single step” (Sebuah perjalanan ribuan mil dimulai dengan satu langkah, red)
Suatu hari, di sebuah forum anak-anak muda, seorang tokoh yang
usianya telah senja memberi motivasi, “Kalian masih muda jadi masih
banyak kesempatan luas, untuk bisa menjadi leader dalam membangun
peradaban Islam. Saya sudah cukup tua, jadi tidak punya energi sebesar
energi anak muda. Sedari sekarang desainlah dirimu untuk menjadi bagian
terpenting dari perjuangan Islam untuk menuju tegaknya peradaban Islam,”
ujarnya.
Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup di era Soeharto dalam
sebuah acara di Fakultas Ekonomi UI mengatakn, “Saya termasuk orang
yang kurang setuju dengan pola perjuangan mahasiswa belakangan ini yang
masih meniru gaya lama. Mahasiswa turun demo itu sudah ada sejak tahun
1960-an. Jadi jika ada mahasiswa masih hobi demo maka itu kemunduran,”
paparnya.
Emil pun menghadirkan contoh bagaimana seharusnya mahasiswa berjuang.
“Lihat Soekarno, ketika usia 23 tahun dia seorang mahasiswa. Dia fokus
dan tekun sekali dalam belajar dan berorganisasi. Tiba saatnya pada usia
40 tahun dia bisa menjadi presiden RI. Anak muda secara umum memang
belum saatnya memimpin saat ini, tetapi berlatihlah menjadi pemimpin
sejak dini.”
Hebatnya Islam
Islam adalah agama yang mengajarkan setiap jiwa untuk melakukan
perubahan diri sebelum melakukan perubahan pada yang lain, baik itu
keluarga apalagi masyarakat.
Setelah rampung merubah diri sendiri
maka insya Allah akan bisa menjaga keluarga sendiri. Dan, Allah telah
memperingatkan dengan tegas bahwa setiap Muslim wajib menjaga diri dan
keluarganya dari ancaman atau bahaya api neraka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...”(QS. At Tahriim [66]: 6).
Jadi Islam sangat identik dengan perubahan diri dan keluarga. Itulah
mengapa pemikir Syed Muhammad Naquib Al-Attas pernah menjabarkan bahwa
konsep terbaik dalam upaya membangun peradaban adalah dengan membangun
individu-individu yang baik (sholeh). Bukan dengan membangun komunitas.
Sebab komunitas itu adalah kumpulan individu. Manakala mayoritas
individunya baik maka baiklah komunitas itu.
Teori perubahan diri inilah yang digunakan para pemimpin Islam sejak
awal. Umar berhasil memimpin peradaban Islam dengan sangat baik karena
ketatnya beliau dalam menjaga diri dari penyimpangan iman. Pengawasan
Umar terhadap diri dan keluarga pun sangat luar biasa ketatnya. Umar
yakin betul bahwa jika dirinya gagal merubah diri maka yang dipimpinnya
pun tidak akan pernah mau dan bisa berubah.
Demikian pula halnya dengan para ulama. Imam Ghazali misalnya, ketika
melihat situasi sosial masyarakat sudah tidak lagi memperhatikan dan
mengutamakan tegaknya agama dalam keseharian. Beliau langsung melakukan
perenungan untuk menciptakan satu perubahan diri.
Akhirnya dari proses panjang melakukan perubahan diri lahirlah kitab Ihya ‘Ulumuddin. Kitab
fenomenal yang menginspirasi umat Islam hingga dewasa ini. Ihya
‘Ulumuddin dipandang sebagai bentuk kontribusi Imam Ghazali yang
terbesar bagi kemenangan umat Islam dalam menghadapi tentara Salib yang
digeneratori oleh Shalahuddin Al-Ayyubi.
Jadi sebenarnya sederhana. Ketika kita ingin merubah situasi bangsa
dan negara ke depan maka mulailah perubahan itu pada diri sendiri. Orang
bijak berkata, "Everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself."
Merubah diri itulah yang menjadi kunci utama perubahan dunia.
Muhammad Sulthan Al-Fatih mampu menaklukkan Konstantinopel, sebuah kota
yang tak terkalahkan lebih dari 7 abad lamanya oleh ratusan atau bahkan
mungkin ribuan serangan.
Apa rahasia Sultan Muhammad Al-Fatih mampu menaklukkan Benteng
Konstantinopel yang pernah disampaikan oleh Rasulullah sebagai kota yang
akan ditaklukkan itu? Tiada lain adalah perubahan diri. Al-Fatih selama
lebih dari 17 tahun benar-benar mendesain diri untuk menjadi pemimpin
unggul. Bahkan sejak usia baligh pejuang yang dijuluki Pedang Malam itu
tidak pernah meninggalkan shalat tahajjud (qiyamul lail) dalam semalam pun. Apalagi shalat jama’ah, sholat rawatib saja beliau tidak pernah ketinggalan.
Pantas jika kemudian Allah memberikan satu teguran keras kepada umat
Islam bahwa tidak akan ada kemenangan sebelum ada kesiapan dari umat
Islam. Allah tidak akan pernah merubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu
sendiri mau sungguh-sungguh melakukan perubahan.
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS. 13 : 11).
Maka rencanakanlah perubahan dalam hidup kita untuk benar-benar
menjadi Muslim yang baik sedini mungkin. Jika tidak maka kita
benar-benar akan berada dalam kerugian yang besar.
Rasulullah mengingatkan kita bahwa siapa yang hari ini lebih baik
dari kemarin maka beruntunglah dia. Siapa yang hari ini lebih buruk dari
kemarin maka merugilah dia. Dan, siapa yang esok lebih buruk dari hari
ini maka celakalah dia.
Sebuah pesan perubahan diri yang sangat gamblang. Jadi tidak
berlebihan jika kemudian ada ungkapan, ‘Ubahlah dirimu niscaya dunia
akan berubah di tanganmu’. Kapan, sejauh memang kita ada kesungguhan
(jihad) untuk mendapatkan energi besar, taufik dan hidayah kepada Allah.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al ankabut [29]: 69).
Semoga kita termasuk bagian orang-orang yang berubah dalam kondisi
lebih baik agar Allah Subhanahu Wata’ala bisa menurunkan taufiq nya
kepada kita. Sebab jika kita ingin mengubah dunia, satu hal yang harus
dilakukan adalah perubahan yang ada pada diri kita lebih dulu.
SEHATKAN MENTAL DAN PIKIRAN DENGAN SUNNAH NABI SEHARI HARI
DUNIA modern
memang menyediakan berbagai macam perangkat teknologi, yang memudahkan
segala urusan teknis manusia. Tetapi dunia modern tidak menyediakan
konsep dan metode bagaimana hidup tentram dan bahagia. Apalagi standar
utama kemakmuran dalam dunia modern tidak bisa diukur melainkan dengan
materi belaka.
Akibatnya dunia modern tidak serta-merta hanya mengisi
dunia dengan kecanggihan teknologi dan kemudahan dalam kehidupan
sehari-hari. Tetapi juga menyisakan problem serius yang mengancam mental
dan pikiran manusia yang berujung pada terjadinya krisis moral luar
biasa.
Krisis moral adalah akibat dari rusaknya mental dan nalar berpikir
manusia dari yang seharusnya. Bagaimana tidak, mayoritas orang kini
berpikir serba instan, pragmatis, dan hedonis. Demi
kenikmatan-kenikmatan materi, manusia modern rela mengorbankan
eksistensi dirinya sebagai makhluk sosial. Merasa cukup bahagia dengan
harta dan tidak pernah resah-gelisah dengan nasib sesama.
Manusia modern kini banyak yang mengalami apa yang disebut dengan
sakit psikosomatik. Sebuah penyakit mental dan pikiran yang tentunya
tidak disebabkan oleh bakteri, virus, atau pertumbuhan jaringan tubuh
yang tidak normal. Melainkan karena sikap dan perilaku sehari-hari yang
jauh dari pengamalan nilai-nilai agama. Apalagi secara sosial,
religiusitas umat Islam Indonesia juga kian tergerus dan semakin
memprihatinkan.
Seorang penulis memberikan perbandingan yang sangat tajam. Manusia
primitif bahkan lebih baik dalam memuaskan dorongan hasratnya ketimbang
manusia modern. Kehidupan mereka yang nomaden terbebas dari kegelisahan
mental. Manusia primitif tidak menderita sakit jiwa, hingga menghalalkan
segala cara seperti sekarang marak terjadi. Justru karena kemajuan
peradaban dalam bidang teknologi, industri, dan urbanisasi, manusia
modern banyak yang menderita sakit mental yang sangat serius.
Serakah
Pertanyaannya kemudian mengapa justru manusia modern yang secara
sains dan teknologi berada di atas manusia primitif, malah lebih buruk
mentalitasnya? Jawabannya sederhana, manusia modern gagal mengendalikan
diri dari sifat rakus, serakah, alias tamak.
Ilmu yang dimiliki tidak dimaksimalkan untuk membangun kemaslahatan
bersama. Melainkan untuk ambisi pribadi semata. Ketika ini menjadi
tabiat sebuah masyarakat, di mana materialisme menjadi sumbu sentral
dalam kehidupannya, maka kemakmuran material adalah yang paling utama di
atas segala-galanya, sekalipun secara lahiriah mereka masih mengaku
beragama.
Kini, banyak kita saksikan, termasuk di lingkungan yang tidak jauh
dari kehidupan kita, manusia berbondong-bondong mencari kepuasan materil
dan mengabaikan kebutuhan jiwa yang menjadi unsur utama kemanusiaan.
Padahal, keika manusia mengabaikan kebutuhan batiniahnya, berarti ia
telah mendustai eksistensi dirinya yang paling hakiki. Oleh karena itu
wajar jika kemudian kehidupan manusia modern mayoritas berada dalam
tekanan dan kegelisahan secara terus-menerus. Hal itu tiada lain karena
ketamakan, kerakusan, dan keserakahan yang menjadikan iman dan akal
sehatnya tumpul tak berguna.
Ketika manusia telah kehilangan api iman dan akal sehatnya, maka
sungguh ia tidak akan pernah hidup bahagia, meskipun berilmu dan
berharta. Karena orang seperti itu adalah orang yang hidup untuk hawa
nafsu.
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى
عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ
غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah
Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?” (QS Al-Jaatsiyah [45] : 23).
Resep Bahagia
Memiliki harta tidak haram dalam Islam, bahkan perlu dalam
perjuangan. Menjadi manusia produktif juga bukan larangan, malah
merupakan teladan dari Nabi dan para sahabat, serta alim ulama.
Islam hanya melarang umatnya hidup timpang, dengan mengedepankan
kehidupan dunia dan mengabaikan kehidupan akhirat. Apalagi menjadikan
dunia sebagai surga hingga takut mati.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ
نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashshash [28] : 77).
Ayat tersebut merupakan panduan atau boleh dikatakan resep untuk
hidup bahagia. Persis seperti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
saw dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu hidup dengan mengedepankan
kebahagiaan akhirat dengan tidak mengabaikan dunia.
Mentalitas dan
daya nalar seperti ini harus dibangun oleh setiap jiwa umat Islam.
Karena inilah kunci hidup yang paling utama untuk bisa menjadi lebih
tentram dan bahagia bahkan lebih aktif dan produktif.
Tidak berlebihan jika ada ungkapan bahwa umat Islam masa lalu
berkepribadian luar biasa. Di siang hari mereka laksana singa jantan, di
malam hari mereka menjadi ahli ibadah, yang bermunajat di keheningan
malam mengharap pertolongan dan kemengan dari Allah SWT.
Siang dan malam mereka menjadi sangat produktif. Kesibukan niaga dan
berbagai perkara keduniawian tidak menyebabkan mereka jauh apalagi ogah
dengan ibadah dan Al-Qur’an. Siang mereka bekerja keras, malam mereka
bangun, berdoa dan memohon ampunan. Hal inilah yang menyebabkan
mentalitas dan daya nalar umat Islam dahulu tetap stabil, sekalipun
hidup berlimpah harta. Setidaknya itulah yang ditunjukkan oleh Abu
Bakar, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf.
Dengan cara pandang akhirat lebih utama dengan tidak mengabaikan
dunia menjadikan para sahabat hidup tentram dan bahagia. Baik mereka
yang kaya ataupun tidak. Semua merasa bahagia, karena setiap hari mereka
mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi secara sungguh-sungguh.
Keseharian Nabi
Bagaiman Nabi mengisi hari-harinya? Tentu banyak uraian yang
menjelaskan bagaiman Nabi mengisi hidupnya sehari-hari. Tetapi secara
global tradisi Nabi dalam keseharian itu dapat dilihat dari kandungan
Surah Al-Muzzammil ayat 1 – 10.
Di keheningan malam yang sunyi dan melelapkan, Nabi saw justru
beranjak dari tempat tidur, menyibakkan selimut, tegak dan mendirikan
sholat sunnah tahajjud. Kemudian membaca Al-Qur’an dengan tartil. Dalam
makna filosofis tartil bisa diartikan sebagai membaca dengan penuh
kesungguhan untuk benar-benar memahami kandungan bacaan Al-Qur’an untuk
diamalkan.
Kemudian Nabi saw tidak pernah lepas dari menyebut nama Allah
(dzikir) dan beribadah dengan penuh ketekunan (konsisten). Itulah
mengapa Nabi saw tidak mudah terbawa emosi, apalagi memperturutkan
ambisi pribadi.
Apapun yang terjadi, Nabi saw senantiasa mengingat Allah, sehingga
setiap keputusan dan kebijakannya senantiasa mendatangkan maslahat. Bagi
Nabi saw, Allah adalah satu-satunya tempat mengadu, berlindung, dan
memohon pertolongan.
Sebagai orang beriman kita patut untuk bersungguh-sungguh meneladani
tradisi Nabi saw dalam sehari-hari. Apapun aktivitas kita, status kita,
dan problem kehidupan kita, semua akan mudah untuk diatasi jika kita
benar-benar mengikuti dan meneladani sunnah-sunnah Rasulullah saw. Sebab
hanya dengan cara seperti itulah, kita benar-benar akan mampu
menghidupkan iman dengan benar.
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Al-Ra’d [13] : 28).
Sayyidina Ali r.a. menjelaskan bahwa dengan mengingat Allah seseorang
akan menemukan kembali pendengarannya setelah tuli, memperoleh kembali
pandangannya setelah buta, dan menjadi lembut serta penuh ketaatan
setelah liar dan memberontak.
Dengan kata lain, orang yang jauh dari
Allah akan tetap tuli, buta, dan liar. Inilah orang yang akan rusak
mental dan kesehatan berpikirnya. Jika demikian, masihkah kita enggan
untuk mengikuti sunnah-sunnah Nabi?
RAIH KEBERUNTUNGAN HAKIKI DENGAN JIHAD DAN BERTAKWA
TIDAK ada
istiah keberuntungan jika sesudahnya neraka, dan tidak ada istilah
kesialan, jika sesudahnya adalah surga, demikian ungkap sahabat Nabi
saw, Abu Bakar al-Shiddiq.
Ungkapan itu sangat sederhana dan mudah
dicerna oleh siapa saja. Tetapi hari ini, ternyata tidak begitu banyak
yang meminatinya. Umumnya orang tidak mampu melihat keuntungan dengan
benar. Demi keuntungan sesaat, biar haram, hantam. Sebagian masih
mengerjakan shalat, tetapi itu tak mampu mengarahkannya menjadi Mu’min
sejati.
Ketika berbicara dunia seolah tidak ada kesempatan lagi, banyak yang
berlomba-lomba meraihnya dengan berbagai cara. Sementara ketika membahas
soal akhirat, amat sedikit yang menyambutnya. Terbukti, ketika adzan
berkumandang misalnya, tidak banyak orang yang bergegas untuk segera
menuju masjid sholat berjama’ah. Ini menandakan bahwa iman yang ada
dalam dada masih lemah dan harus dikuatkan serta terus diteguhkan.
Amru bin Ash berkata, “Seseorang akan memetik buah penyesalan dari
sikap ketergesa-gesaannya, dan ketergesa-gesaan yang tercela adalah jika
bukan untuk ketaatan.” Artinya, iman akan menjadi semakin baik dan kuat
manakala kita senantiasa bersegera dalam ketaatan dan ampunan.
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran : 133).
Jadi, bersegera menuju ampunan Allah adalah perkara utama bagi setiap
Muslim. Hendaknya tidak satu perkara pun yang menghalangi kita untuk
bersegera menuju ampunan Allah, sekalipun perkara itu berupa perkara
yang sangat membahagiakan secara jasadiah.
Dalam kasus ini kita patut merenungkan sikap yang diambil oleh
Hanzhalah bin Amir. Ia adalah seorang sahabat yang syahid di medan
perang Uhud, sehari setelah melepas masa lajangnya dengan menikahi
Jamilah binti Ubay.
Sebagai pengantin baru, tentu layak jika Hanzhalah meminta dispensasi
kepada Nabi saw untuk tidak turun dalam jihad bersama kaum Muslimin.
Tetapi Hanzhalah memilih untuk bergabung dengan pasukan Muslimin jihad
fi sabilillah.
Di medan perang ia melihat Abu Sofyan menunggang kuda dengan pongah
dikelilingi ribuan tentara kafir. Dengan sigap Hanzhalah langsung menuju
Abu Sofyan untuk berduel pedang. Abu Sofyan tidak mampu mengatasi
serangan-serangan Hanzhalah, hingga tokoh kafir Quraisy itu tersungkur
dari kudanya.
Menyadari kekuatan Hanzhalah, Abu Sofyan lari terbirit-birit. Seolah
tak mau kehilangan momentum, Hanzhalah mengejar Abu Sofyan. Dalam
pengejarannya, Hanzhalah ditombak dari belakang oleh pasukan kafir
Quraisy. Pengantin baru itu pun tersungkur bersimbah darah. Tetapi
Hanzhalah masih berusaha bangkit dan mengejar.
Tetapi karena darah segar yang keluar begitu deras, menjadikan
fisiknya tak mampu lagi mengejar musuh Islam itu. Hanzhalah kembali
terjatuh dan syahid di jalan Allah SWT. Rasuluh saw langsung melihat
jasad Hanzhalah, beliau berkata bahwa para malaikat memandikan Hanzhalah
dengan air surga.
Di sinilah dapat kita pahami pernyataan Abu Bakar Al-Shiddiq yang
mengatakan bahwa “Tak ada istiah keberuntungan jika sesudahnya neraka,
dan tidak ada istilah kesialan, jika sesudahnya adalah surga”.
Hanzhalah benar-benar tidak sial, sekalipun meninggal dunia ketika
tidak berapa lama menikmati masa bulan madunya. Sebab Allah
menggantikannya dengan nikmat yang lebih besar. Bahkan anaknya yang
dikandung oleh istrinya Jamilah binti Ubay, ketika dewasa, juga menjadi
orang yang selalu bersegera dalam jihad dan takwa.
Lalu bagaimanakah dengan kita dalam kehidupan sehari-hari? Sebagai
seorang Muslim, tentu kita harus memprioritaskan seruan Allah dan Rasul
di atas segala perkara keduniaan.
Jika tiba waktu shalat, maka bersegeralah mendirikan sholat. Jika ada
saudara sakit, bersegeralah menjenguknya. Jika ada yang membutuhkan
bersegeralah membantunya. Dalam hal jihad dan takwa, sangat tidak baik
jika kita menunda-nundanya.
Kenapa kita tidak boleh menundanya?
Sungguh kita tidak pernah tahu kapan kita akan meninggal dunia. Boleh
jadi umur kita sangat dekat, sementara waktu tidak akan kemana-mana
selain akan terus mendekatkan jarak kita dengan kematian. Jadi, tunggu
apalagi, bersegeralah dalam jihad dan takwa.
Lantas “jihad” apa yang masih bisa kita lakukan saat ini?
Jihad menurut istilah syar’i adalah mencurahkan seluruh kemampuan
(dalam hal ini perang dengan orang-orang kafir). Namun “jihad” dalam
istilah lain dimutlakkan untuk melawan hawa nafsu, syaithan, dan
orang-orang fasiq. Adapun jihad melawan hawa nafsu, maka hal
itu ditempuh melalui belajar perkara-perkara agama dan kemudian
mengamalkannya dan mengajarkannya. Adapun jihad melawan syaithan adalah
dengan menolak segala bentuk syubuhaat dan syahawat yang selalu dihiasi
oleh syaithan. Adapun jihad melawan kuffar maka hal itu dilakukan dengan
tangan, harta, lisan, dan hati. Adapun jihad melawan orang-orang fasiq adalah dengan tangan, lisan, dan hati.“ [Fathul-Bari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani]
Kita masih bisa melakukan “jihad” dalam istilah lain. Karenanya,
mengapa, sekalipun sakit dan sangat lemah, Rasulullah tetap berusaha
untuk hadir dalam sholat berjama’ah. Bahkan sepanjang hayatnya, beiau
tidak pernah melewatkan malam kecuali melaluinya dengan ruku’ dan sujud.
Demikian pula dengan Umar r.a. Sekalipun memikul sekarung gandum itu
tidak ringan, di tengah malam pula, demi kebahagian rakyat yang
dipimpinnya, ia berusaha untuk memikulnya sendiri.
Begitu pula dengan apa yang dicontohkan oleh Sayyidina Ali r.a dan
Fatimah Az-Zahrah. Sekalipun diri dan keluarganya sangat membutuhkan
makanan, tetapi keduanya rela melepaskan makanan yang lama dinantinya
itu kepada pengemis yang lebih membutuhkan.
Atau seperti Mu’adz bin Jabal, seorang pemuda yang hadir di masjid
sebelum adzan dikumandangkan dan selalu shalat dibelakang Rasulullah
yang menjadi imam shalat berjama’ah. Itulah tauladan yang sangat baik
untuk kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita benar-benar
ingin menjadi hamba Allah yang bertakwa.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ
الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. Ali Imran : 134).
Pantas jika kemudian Allah Subhahanu Wata’ala menegaskan kepada kita
bahwa semua manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali yang
konsisten saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.
Kita punya ilmu, punya harta, punya keahlian, waktu dan kesempatan
yang bisa kita manfaatkan untuk kebaikan. Jika demikian, mari bersegera
dalam “jihad” dalam bentuk waktu, harta, ilmu dan segala yang kita
miliki ini untuk kita kerahkan membela agama serta takwa. Hanya dengan
cara itu saja, setiap Muslim akan meraih keberuntungan hakiki, dunia dan
akhirat.
MAU MERAIH SURGA? YA BERBUATLAH BAIK KARENA ALLAH
TIDAK ada
istiah keberuntungan jika sesudahnya neraka, dan tidak ada istilah
kesialan, jika sesudahnya adalah surga, demikian ungkap sahabat Nabi
saw, Abu Bakar al-Shiddiq.
Ungkapan itu sangat sederhana dan mudah
dicerna oleh siapa saja. Tetapi hari ini, ternyata tidak begitu banyak
yang meminatinya. Umumnya orang tidak mampu melihat keuntungan dengan
benar. Demi keuntungan sesaat, biar haram, hantam. Sebagian masih
mengerjakan shalat, tetapi itu tak mampu mengarahkannya menjadi Mu’min
sejati.
Ketika berbicara dunia seolah tidak ada kesempatan lagi, banyak yang
berlomba-lomba meraihnya dengan berbagai cara. Sementara ketika membahas
soal akhirat, amat sedikit yang menyambutnya. Terbukti, ketika adzan
berkumandang misalnya, tidak banyak orang yang bergegas untuk segera
menuju masjid sholat berjama’ah. Ini menandakan bahwa iman yang ada
dalam dada masih lemah dan harus dikuatkan serta terus diteguhkan.
Amru bin Ash berkata, “Seseorang akan memetik buah penyesalan dari
sikap ketergesa-gesaannya, dan ketergesa-gesaan yang tercela adalah jika
bukan untuk ketaatan.” Artinya, iman akan menjadi semakin baik dan kuat
manakala kita senantiasa bersegera dalam ketaatan dan ampunan.
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran : 133).
Jadi, bersegera menuju ampunan Allah adalah perkara utama bagi setiap
Muslim. Hendaknya tidak satu perkara pun yang menghalangi kita untuk
bersegera menuju ampunan Allah, sekalipun perkara itu berupa perkara
yang sangat membahagiakan secara jasadiah.
Dalam kasus ini kita patut merenungkan sikap yang diambil oleh
Hanzhalah bin Amir. Ia adalah seorang sahabat yang syahid di medan
perang Uhud, sehari setelah melepas masa lajangnya dengan menikahi
Jamilah binti Ubay.
Sebagai pengantin baru, tentu layak jika Hanzhalah meminta dispensasi
kepada Nabi saw untuk tidak turun dalam jihad bersama kaum Muslimin.
Tetapi Hanzhalah memilih untuk bergabung dengan pasukan Muslimin jihad
fi sabilillah.
Di medan perang ia melihat Abu Sofyan menunggang kuda dengan pongah
dikelilingi ribuan tentara kafir. Dengan sigap Hanzhalah langsung menuju
Abu Sofyan untuk berduel pedang. Abu Sofyan tidak mampu mengatasi
serangan-serangan Hanzhalah, hingga tokoh kafir Quraisy itu tersungkur
dari kudanya.
Menyadari kekuatan Hanzhalah, Abu Sofyan lari terbirit-birit. Seolah
tak mau kehilangan momentum, Hanzhalah mengejar Abu Sofyan. Dalam
pengejarannya, Hanzhalah ditombak dari belakang oleh pasukan kafir
Quraisy. Pengantin baru itu pun tersungkur bersimbah darah. Tetapi
Hanzhalah masih berusaha bangkit dan mengejar.
Tetapi karena darah segar yang keluar begitu deras, menjadikan
fisiknya tak mampu lagi mengejar musuh Islam itu. Hanzhalah kembali
terjatuh dan syahid di jalan Allah SWT. Rasuluh saw langsung melihat
jasad Hanzhalah, beliau berkata bahwa para malaikat memandikan Hanzhalah
dengan air surga.
Di sinilah dapat kita pahami pernyataan Abu Bakar Al-Shiddiq yang
mengatakan bahwa “Tak ada istiah keberuntungan jika sesudahnya neraka,
dan tidak ada istilah kesialan, jika sesudahnya adalah surga”.
Hanzhalah benar-benar tidak sial, sekalipun meninggal dunia ketika
tidak berapa lama menikmati masa bulan madunya. Sebab Allah
menggantikannya dengan nikmat yang lebih besar. Bahkan anaknya yang
dikandung oleh istrinya Jamilah binti Ubay, ketika dewasa, juga menjadi
orang yang selalu bersegera dalam jihad dan takwa.
Lalu bagaimanakah dengan kita dalam kehidupan sehari-hari? Sebagai
seorang Muslim, tentu kita harus memprioritaskan seruan Allah dan Rasul
di atas segala perkara keduniaan.
Jika tiba waktu shalat, maka bersegeralah mendirikan sholat. Jika ada
saudara sakit, bersegeralah menjenguknya. Jika ada yang membutuhkan
bersegeralah membantunya. Dalam hal jihad dan takwa, sangat tidak baik
jika kita menunda-nundanya.
Kenapa kita tidak boleh menundanya?
Sungguh kita tidak pernah tahu kapan kita akan meninggal dunia. Boleh
jadi umur kita sangat dekat, sementara waktu tidak akan kemana-mana
selain akan terus mendekatkan jarak kita dengan kematian. Jadi, tunggu
apalagi, bersegeralah dalam jihad dan takwa.
Lantas “jihad” apa yang masih bisa kita lakukan saat ini?
Jihad menurut istilah syar’i adalah mencurahkan seluruh kemampuan
(dalam hal ini perang dengan orang-orang kafir). Namun “jihad” dalam
istilah lain dimutlakkan untuk melawan hawa nafsu, syaithan, dan
orang-orang fasiq. Adapun jihad melawan hawa nafsu, maka hal
itu ditempuh melalui belajar perkara-perkara agama dan kemudian
mengamalkannya dan mengajarkannya. Adapun jihad melawan syaithan adalah
dengan menolak segala bentuk syubuhaat dan syahawat yang selalu dihiasi
oleh syaithan. Adapun jihad melawan kuffar maka hal itu dilakukan dengan
tangan, harta, lisan, dan hati. Adapun jihad melawan orang-orang fasiq adalah dengan tangan, lisan, dan hati.“ [Fathul-Bari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani]
Kita masih bisa melakukan “jihad” dalam istilah lain. Karenanya,
mengapa, sekalipun sakit dan sangat lemah, Rasulullah tetap berusaha
untuk hadir dalam sholat berjama’ah. Bahkan sepanjang hayatnya, beiau
tidak pernah melewatkan malam kecuali melaluinya dengan ruku’ dan sujud.
Demikian pula dengan Umar r.a. Sekalipun memikul sekarung gandum itu
tidak ringan, di tengah malam pula, demi kebahagian rakyat yang
dipimpinnya, ia berusaha untuk memikulnya sendiri.
Begitu pula dengan apa yang dicontohkan oleh Sayyidina Ali r.a dan
Fatimah Az-Zahrah. Sekalipun diri dan keluarganya sangat membutuhkan
makanan, tetapi keduanya rela melepaskan makanan yang lama dinantinya
itu kepada pengemis yang lebih membutuhkan.
Atau seperti Mu’adz bin Jabal, seorang pemuda yang hadir di masjid
sebelum adzan dikumandangkan dan selalu shalat dibelakang Rasulullah
yang menjadi imam shalat berjama’ah. Itulah tauladan yang sangat baik
untuk kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita benar-benar
ingin menjadi hamba Allah yang bertakwa.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ
الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. Ali Imran : 134).
Pantas jika kemudian Allah Subhahanu Wata’ala menegaskan kepada kita
bahwa semua manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali yang
konsisten saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.
Kita punya ilmu, punya harta, punya keahlian, waktu dan kesempatan
yang bisa kita manfaatkan untuk kebaikan. Jika demikian, mari bersegera
dalam “jihad” dalam bentuk waktu, harta, ilmu dan segala yang kita
miliki ini untuk kita kerahkan membela agama serta takwa. Hanya dengan
cara itu saja, setiap Muslim akan meraih keberuntungan hakiki, dunia dan
akhirat.
KUATKAN IMANMU, PELIHARALAH RASA MALU
“SESUNGGUHNYA setiap
agama mempunyai akhlak dan sesungguhnya akhlak Islam adalah malu,”
demikian hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Malu bukanlah sifat yang mudah untuk dimiiki. Malu hanya akan tumbuh
dan menjadi perangai seorang Muslim manakala imannya kepada Allah dan
hari akhir benar-benar sangat kokoh.
Hari ini nampaknya sebagian besar umat Islam agak abai dengan sifat
malu ini. Contoh paling nyata adalah beberapa sikap kaum Muslimah yang
belum menutup aurat ketika memajang foto-foto yang semestinya tidak di
upload ke dunia maya malah justru sangat disenangi dan digandrungi.
Bahkan ada yang suka memasang foto dirinya saat berenang dengan
pakaian yang tidak sepantasnya. Demikian pula dengan yang laki-laki yang
juga memajang foto-foto anggota badan yang termasuk aurat ke dalam
status Facebook-nya.
Mengenai aurat ini, perhatian Rasulullah sangat tegas. Beliau bersabda; “Sesungguhnya
Allah Maha lembut, Maha malu dan Maha menutupi, Dia menyukai sifat malu
dan menutupi, maka jika salah seorang dari kalian mandi, hendaknya dia
menutup diri.”
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa lihat dari sikap sebagian kaum
Muslimin yang tidak bersegera menunaikan kewajiban-kewajibannya. Sudah
tahu waktu sholat tidak lama lagi, lantunan adzan pun mulai terdengar,
tetapi masih lebih memilih asyik nonton di depan TV, bahkan sebagian
lainnya masih asyik ber-Facebook ria. Hal ini juga menandakan bahwa sifat malu belum menjadi bagian tak terpisahkan dari sebagian umat Islam.
Dalam ajaran Islam, seorang Muslim yang melakukan dua contoh sikap di
atas, dan termasuk Muslim yang mengabaikan imannya hanya karena urusan
keduniaan, termasuk kelompok Muslim yang belum memiliki rasa malu.
Mengapa demikian?
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda; “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu.” Mereka menjawab, “Alhamdulillah, kami malu.”
Nabi
pun melanjutkan sabdanya; “Bukan itu, akan tetapi malu kepada Allah
dengan sebenar-benarnya adalah hendaknya kamu menjaga kepala dan apa
yang dipahaminya, menjaga perut dengan isisnya, hendaknya kamu mengingat
kematian dan hancurnya jasad sesudahnya, barangsiapa menginginkan
akhirat, niscaya dia meninggalkan perhiasan dunia, barangsiapa melakukan
hal itu, maka dia tetlah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi).
Itulah mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tidak pernah
melewati malam melainkan dengan bangun untuk tahajjud. Beliau malu
kepada Allah jika nikmat yang begitu besar dan amanah yang tidak ringan
tidak ditunaikan secara sungguh-sungguh dengan penuh kesyukuran. Beliau
malu jika sepanjang malam digunakan hanya untuk tidur. Demikianlah sifat
manusia agung yang sangat pemalu, terutama kepada Allah Subhanahu
Wata’ala.
Ketika malam Mi’raj dalam perjalanan beliau kembali ke langit dunia
untuk membawa perintah mendirikan sholat, beliau bolak-balik menghadap
Allah karena mendapat saran Nabi Musa agar perintah sholat yang Allah
wajibkan atas umatnya dikurangi jumlah raka’atnya.
Akhirnya setelah mendapatkan keringanan menjalankan shalat lima waktu
sehari semalam, Nabi Musa masih menyarankan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wassalam minta keringanan kepada Allah. “Istahyaytu min rabbi” demikian
jawab manusia agung itu. “Aku malu kepada Rabbku”. Subhanallah,
Rasulullah saja malu meminta keringanan lagi, lalu mengapa sebagian umat
Islam tidak bersemangat mendirikan shalat.
Bahkan Rasulullah malu hanya berdoa untuk dirinya sendiri. Beliau
malu kepada Allah sekaligus malu kepada seluruh umatnya jika berdoa
hanya untuk diri beliau sendiri, apalagi setiap doa beliau pasti
dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala.
Hal ini beliau jelaskan dalam sebuah sabdanya; “Setiap Nabi
mempunyai doa yang mustajab, lalu masing-masing dari mereka bersegera
menggunakan doanya (di dunia), namun aku menyimpan doaku sebagai
syafa’at bagi umatku di hari kiamat, ia akan didapatkan Insya Allah oleh
siapa pun dari umatku yang mati daam keadaan tidak mempersekutukan
Allah dengan apa pun.” (HR. Bukhari).
Jika Rasulullah malu kepada kita sebagai umatnya, dan mengkhususkan
doa mustajabnya untuk kita, lalu mengapa kita tidak malu mengabaikan
amanah dan sunnah-sunnah beliau, sementara kita selalu berharap mendapat
syafaatnya kelak di hari kiamat?
Malu dalam Pergaulan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam juga sangat memperhatikan
rasa malu dalam pergaulan. Aisyah mengatakan bahwa beliau senantiasa
menjaga diri dari yang tidak baik (iffah) dan menjaga kesendirian. “Nabi seorang yang tidak suka berkata kotor, tidak gemar menjelek-jelekkan, dan tidak berteriak-teriak di pasar,” demikian tutur istri beliau yang banyak meriwayatkan hadits-haditsnya.
Urusan malu adalah urusan iman dan termasuk perkara yang besar. “Malu
itu termasuk dari iman, dan iman itu di dalam surga, keburukan ucapan
termasuk sikap tidak peduli (kurang ajar) dan sikap tidak peduli itu
adalah di neraka,” demikian tegas Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oeh Tirmidzi.
Rasulullah menjelaskan bahwa malu adalah lawan dari keburukan ucapan,
ia tidak akan pernah sejalan dengannya. Manakala kita menjumpai manusia
yang lisannya selalu menjelek-jelekkan orang lain, dan
membangga-banggakan dirinya, cukuplah bukti bahwa orang itu tidak punya
rasa malu yang berarti cacat keimanannya. Dan, tidak ada yang
dikehendakinya melainkan kehidupan dunia belaka.
Di sinilah fungsi utama akhlak. Oleh karena itu akhlak dalam Islam
itu meliputi banyak sisi, mulai dari akhlak kepada Allah, manusia dan
alam semesta.
Maka dari itu, milikilah akhlak yang mulia karena hanya dengan akhlak
mulia itu seorang Muslim akan memiliki rasa malu yang sebenar-benarnya.
Bukan rasa malu yang umum disalahpahami oleh kebanyakan manusia, dimana
malu hanya ditujukan kepada manusia. Padahal malu yang benar adalah
malu kepada Allah bukan kepada manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda; “Seseorang lebih patut untuk malu kepada Allah daripada kepada manusia.” (HR. Abu Dawud).*
Perilaku sebagian orang yang gemar mengambil hak orang lain
(korupsi), tidak jujur, dan takut diketahui orang segala rencana dan
perbuatannya yang merusak, semuanya termasuk sifat tercela dan
menunjukkan ketiadaan rasa malu yang benar kepada Allah SWT.
Orang yang seperti itu biasanya akan shock jika keburukannya
diketahui oleh orang lain, sebab baginya tidak ada yang lebih ditakutkan
kecuali ada manusia mengetahuinya. Terhadap Allah, orang seperti itu
tidak benar-benar malu. Oleh karena itu tidak mengherankan jika mereka
berani melawan perintah Allah, asalkan manusia tidak mengetahui dan
menentangnya. Naudzubillah.
Terhadap orang seperti itu, Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya di
antara ajaran yang manusia dapatkan dari perkataan kenabian yang
pertama adalah Apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa saja yang
kau mau.” (HR. Bukhari).
Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman; “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. 41: 40).
Tentu penegasan Rasulullah yang terakhir itu bukanlah perintah untuk
berbuat sesuka hati, melainkan untuk menghindar dari perbuatan
memperturutkan hawa nafsu. Karena menuruti hawa nafsu akan menghilangkan
kemampuan akal sehat dan menjadikan seorang manusia hidup tanpa iman
dan karena itu tidak punya sifat malu. Padahal dalam Islam, malu adalah
bagian dari keimanan.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar