Powered By Blogger

Kamis, 16 Agustus 2012

GAYA HIDUP


bunga-mawar
SIAPKAN BAJU TAKWA, JANGAN PUSING DENGAN BAJU BARU


SEKALIPUN akhir Ramadhan masih menyisakan waktu dua pekan lagi, sudah mulai banyak orang ‘meninggalkan’ fokus ibadah. Di antara mereka ada yang sibuk menyiapkan kue lebaran, baju baru, peralatan baru, dan semua serba baru. Apalagi semakin akhir Ramadhan, serbuan iklan semakin seru.

Entah bagaimana awalnya, akhir Ramadhan atau tepatnya lebaran identik dengan baju baru. Banyak orang gelisah, pusing, bahkan mungkin galau kalau lebaran tidak punya baju baru. Padahal Allah Subhanahu Wata’ala tidak melihat manusia melainkan pada ketakwaannya. Tapi aneh, tidak banyak yang gelisah kalau-kalau keluar dari “madrasah Ramadhan” dengan tidak menggunakan baju takwa.

Baju takwa adalah baju yang harus kita miliki. Soal baju baru boleh kita berupaya memilikinya tapi jangan salah, baju takwa harus diprioritaskan.

Ingat dan harus dipahami bahwa Ramadhan adalah ‘pasar besar” yang menjual baju takwa dari-Nya. Jika kita gagal memilikinya, sungguh tiada patut kita berbangga memasuki Syawal sekalipun kita telah memiliki baju baru.

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاساً يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشاً وَلِبَاسُ التَّقْوَىَ ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa, itulah yang paling baik.” (QS. Al al’raf [7]: 26).

Dalam ayat yang lain Allah berfirman bahwa yang paling mulia di antara kita adalah yang paling bertakwa (QS. 49 : 13). Oleh karena itu sebelum benar-benar berpisah dengan Ramadhan kita harus semakin berusaha agar kita benar-benar memiliki baju takwa. Karena sebaik-baik bekal adalah takwa (QS. 2 : 197).

Makna Bekal

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menuturkan, Muaqtil bin Hayyan berkata bahwa setelah ayat “dan berbekallah kamu” di-turunkan, maka bangkitlah kaum Muslimin yang miskin. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, kami tidak memiliki sesuatu yang dapat kami jadikan bekal”.

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Berbekallah kamu dengan sesuatu yang dapat menutupi kehormatan wajahmu dari direndahkan oleh manusia dan sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.” (HR. Ibnu Abi Hatim).

Jadi berbekal takwa tidak berarti meninggalkan dunia. Umat Islam harus punya ghirah untuk senantiasa memperbaiki diri mulai dari kondisi iman sampai pada perbaikan ekonomi. Sebab Islam tidak mengajarkan melainkan agar umatnya menguasai dunia sesuai dengan amanah dari-Nya sebagai seorang khalifah (QS. 2 : 30).

Di samping itu Allah juga tidak menghendaki umat Islam larut dalam ibadah tanpa upaya keduniaan. Sama sekali itu bukan ajaran Islam. Allah menghendaki agar kita mengejar kebahagiaan akhirat dengan tidak meninggalkan dunia (QS. 28 : 77).

Bersyukur

Bagaimana jika ternyata ada di antara umat Islam yang tidak mampu membeli baju baru, dan hidup dalam kemiskinan. Jangan khawatir dan jangan galau. Allah tidak pernah salah dalam menetapkan segala sesuatu termasuk di dalamnya kemiskinan. Tetapi jangan salah paham, bekerja keras untuk memperbaiki ekonomi itu juga wajib.

Di sinilah perlunya kita mengerti ajaran Islam dengan baik. Kemiskinan harta sejatinya tidaklah begitu masalah jika kita memiliki kekayaan iman. Sebaliknya akan banyak masalah manakala seseorang miskin iman tapi kaya harta.

Oleh karena itu menjelang akhir Ramadhan tidak perlu galau dengan benda-benda. Tapi risaulah bila iman ini tidak semakin baik. Kalaupun kita masih miskin, jangan bersedih teruslah bersyukur dengan berusaha sekuat tenaga menjadi orang yang pandai bersyukur.

Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menuturkan dialog antara Allah Subhanahu Wata’ala dengan Nabi Ismail as. “Carilah Aku pada orang-orang yang patah hati.” Nabi Ismail lalu bertanya, “Siapakah mereka itu ya Allah?” Allah menjawab, “Yaitu orang-orang fakir yang benar.”

Jadi kemiskinan (fakir) bukan aib di mata Allah. Sebaliknya kekayaan bukan kemuliaan di sisi-Nya. Rasulullah saw bersabda, “Aku mengintai ke dalam surga, maka kulihat sebagian besar penghuninya adalah orang-orang fakir. Kulihat ke dalam neraka, yang terbanyak penghuninya adalah orang kaya,” demikian yang dikutip oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddinnya.

Pertanyaanya orang miskin yang mana yang akan masuk golongan penghuni surga itu? Tentu orang miskin yang meneladani Rasulullah dalam segala aktivitas kehidupan. Mereka mendirikan sholat, membaca Al-Qur’an, puasa di Bulan Ramadhan, berjihad di jalan Allah, dan menghindarkan diri dari meminta-minta.

Bahagia Bersama

Betapa indahnya jika umat Islam Indonesia punya visi yang sama membangun ukhuwah Islamiyyah. Tentu tidak akan ada lagi berita seorang pencuri mencuri sesuatu hanya untuk bekal lebaran, ingin membeli baju baru dan sebagainya.

Bagi umat Islam yang berkecukupan bahkan berlebih berkewajiban menolong mereka yang hidup kesusahan. Imam Ghazali berkata bahwa, lebih dari cukup adalah kejelekan dan menahannya adalah penyebab berkurangnya derajat. Dalam Islam sikap seperti itu disebut dengan bakhil. Dan, tiada keuntungan apapun bagi mereka yang bakhil dalam hidupnya.

Sungguh hamba Allah yang dimuliakan adalah mereka yang tidak condong kepada dunia meskipun menguasainya. Dan, sikap seperti itu hanya akan dimiliki oleh mereka yang memiliki baju takwa. Rasulullah saw sangat menganjurkan kita sebagai ummatnya untuk mengambil sikap seperti itu.

Bahkan dalam sebuah Hadits yang termaktub dalam Ihya’ Ulumuddin disebutkan bahwa, “Apabila kalian melihat seseorang telah dikaruniai sifat tenang dan menjauhi dunia, maka dekatilah dia, karena ia memberi hikmah”.

Dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan bahwa siapa yang Allah anugerahkan hikmah maka baginya kebaikan yang sangat banyak (QS. 2 : 269). Dan, Allah memberikan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Jika demikian mengapa kita masih galau dengan baju baru dan tidak gelisah jika tidak memiliki baju takwa? Hanya dengan ketakwaan kita semua akan bisa bahagia bersama.

Sempurnakan Ramadhan

Di akhir Ramadhan Rasulullah tidak pernah sibuk mempersiapkan diri dengan berbagai macam hal yang bersifat benda-benda (duniawi). Beliau malah fokus menyempurnakan ibadah Ramadhan di sepuluh hari terakhir dengan melakukan I’tikaf. Bahkan amalan ini beliau lakukan hingga wafatnya.

Lalu, pantaskah kita sebagai umatnya melakukan hal-hal yang tidak dicontohkan oleh beliau. Jika demikian masihkah kita berharap mendapatkan syafa’atnya kelak, sementara selagi di dunia kita tidak pernah berusaha sungguh-sungguh untuk mengikuti sunnah-sunnahnya.

Saudaraku, selagi masih ada kesempatan di Bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan ini mari kita kumpulkan bekal takwa sebanyak-banyaknya dengan banyak mengamalkan amalan sholeh yang diteladankan oleh Rasulullah. Semoga Allah memberkahi kita semua, amin. Wallahu a’lam.*








SEMPURNAKAN PUASA, PERBAIKI INTERAKSIMU DENGAN ALQUR"AN


BULAN Ramadhan sebagai bulan ampunan terkadang masih ditanggapi secara salah. Dikatakan demikian karena puasa belum begitu berpengaruh signifikan dalam pribadi kebanyakan Muslim dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Padahal Ramadhan sangat erat hubungannya dengan Al-Qur’an.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah memuliakan bulan Ramadhan tidak saja karena di dalamnya diturunkan mu’jizat akhir zaman yaitu Al-Qur’an. Tetapi semua kitab-kitab Allah itu diturunkan dalam bulan Ramadhan.

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Watsilah bin Al-Asqa’, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Shuhuf (lembaran-lembaran) Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada tanggal 6 Ramadhan, Injil diturunkan pada tanggal 13 Ramadhan, dan Al-Qur’an diturunkan pada tanggal 24 Ramadhan.” (HR. Ahmad).

Hal ini menunjukkan bahwa puasa identik dengan Al-Qur’an. Artinya, di bulan Ramadhan sudah semestinya kecintaan untuk membaca, memahami, menadabburi dan mengamalkan Al-Qur’an menjadi semakin kuat. Setiap Muslim seharusnya memiliki agenda khusus yang prioritas untuk senantiasa memperbaiki kualitas interaksinya dengan Al-Qur’an.

Sebagaimana tujuan puasa itu sendiri agar membentuk pribadi takwa. Tanpa pemahaman yang baik terhadap Al-Qur’an yang disertai dengan komitmen yang kuat untuk mengamalkannya, maka puasa akan kehilangan kesempurnaannya. Bagaimana bisa menjadi takwa jika tidak memahami Al-Qur’an. Padahal perkataan, pikiran, dan perilaku seorang Muslim sangat ditentukan dengan apa yang dibacanya.

Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi setiap Muslim untuk bagaimana mendapatkan kebahagiaan dan kemenangan. Di dalamnya terdapat dalil dan hujjah yang nyata dan jelas bagi mereka yang benar-benar berusaha menadabburi dan mengamalkannya.

Tidakkah kita perhatikan betapa perilaku kebanyakan Muslim yang tidak sesuai dengan ajaran Islam disebabkan karena mereka tidak benar-benar memahami dan mengamalkan Al-Qur’an? Maka dari itu bagi Muslim yang benar-benar beriman, membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan bukan lagi satu kewajiban tetapi kebutuhan yang sangat mendesak.

Kualitas dan Kuantitas

Rasulullah tidak pernah melewatkan satu malam pun di Bulan Ramadhan melainkan digunakannya untuk mendabburi Al-Qur’an bersama Malaikat Jibril. Imam Syafi’i juga tidak pernah absen. Setiap Ramadhan penemu ilmu ushul fiqh itu mampu menghatamkan Al-Qur’an sebanyak 60 kali. Sedangkan Sufyan Al-Tsauri, tokoh sufi itu tidak melakukan aktivitas apapun selama Ramadhan selain menadabburi Al-Qur’an.

Itulah contoh atau teladan terbaik bagaimana seharusnya kita berinteraksi dengan Al-Qur’an. Terpenuhi kriteria kualitas sekaligus kuantitas. Tentu itu cukup sulit bagi sebagian besar umat Islam hari ini. Oleh karena itu harus memilih di antara keduanya, prioritaskan kualitas baru kuantitas. Sebab kualitas akan mengantarkan kita merasakan keindahan Al-Qur’an itu sendiri. Meskipun secara kuantitas tetap harus diupayakan.

Pertanyaannya bagaimana membaca Al-Qur’an yang berkualitas itu? Jika membaca secara kuantitas mungkin sudah banyak dipahami, yaitu dengan senantiasa membaca Al-Qur’an baik mengerti makna maupun belum memahami.

Sedangkan yang dimaksud dengan sisi kualitas adalah membaca tidak seberapa banyak tetapi mengantarkan satu cara pandang Qur’ani dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, setiap ayat yang dibaca senantiasa dipahami dan diamalkan dalam kehidupan.

Membaca secara kualitas dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Di antaranya adalah membaca tafsir Al-Qur’an. Merangkum kandungan-kandungannya dalam catatan harian. Atau mengikuti kajian-kajian Al-Qur’an di berbagai majelis ilmu selama bulan Ramadhan. Kemudian tidak menambah jumlah ayat sebelum ayat yang telah dipelajari benar-benar dipahami dan diamalkan.

Jangan salah, Manna Al-Khattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulumil Qur’an mencantumkan satu riwayat yang menjelaskan bagaimana para sahabat Nabi membaca Al-Qur’an. Mereka membaca Al-Qur’an setiap saatnya sepuluh ayat. Kemudian mereka tidak menambah ayat lain sebelum sepuluh ayat yang telah dipelajarinya benar-benar dipahami dan telah diamalkan.

Oleh karena itu mumpung masih sepekan Ramadhan berlalu, mari kita tata diri untuk memperbaiki kualitas interaksi kita dengan Al-Qur’an. Selain itu akan sangat baik jika kita ikut peduli dengan program dakwah tebar Al-Qur’an. Sebab dengan cara itu, berarti kita telah turut berpartisipasi dalam membumikan Al-Qur’an. Sekalipun kita belum mampu mengajarkan ilmu Al-Qur’an. Insya Allah pahala besar akan Allah berikan kepada kita yang punya niat ikhlas untuk itu.

Fadhilah Membaca Al-Qur’an

Sebagai mu’jizat akhir zaman, Al-Qur’an memiliki banyak keutamaan, terkhusus bagi Muslim yang gemar membacanya. Apalagi jika dilakukan di bulan penuh berkah seperti sekarang.

“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi).

Apabila kita membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan yang pahala mengerjakan ibadah sunnah sama dengan mengerjakan yang wajib tentu akan banyak sekali pahala yang akan kita terima. Padahal satu huruf dihitung pahala. Bagaimana jika kita mampu membacanya sehari satu juz, luar biasa pahala yang akan kita terima.

Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa “Siapa yang membaca 100 ayat pada suatu malam dituliskan baginya pahala shalat sepanjang malam.” (HR. Ahmad).

Bukan saja sekedar pahala. Bagi mereka yang gemar membaca Al-Qru’an akan Allah lindungi dari kesesatan. “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Allah telah menjamin bagi siapa yang mengikuti Al Quran, tidak akan sesat di dunia dan tidak akan merugi di akhirat”, kemudian beliau membaca ayat:

{فَمَنَ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى}

“Lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123).

Jadi mari kita jadikan bulan Ramadhan kali ini sebagai media untuk benar-benar mendekatkan diri kepada Allah dengan gemar menadabburi kitab suci-Nya.

Dengan hanya membaca Al-Qur’an saja kita akan menjadi orang yang bertakwa dan terhindar dari kesesatan. Pantas Rasulullah mengingatkan kita sebagai umatnya agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an. Sebab hanya dengan Al-Qur’an kita akan meraih kebahagiaan. Jadi demi kesempurnaan Ramadhan mari kita perbaiki kualitas interaksi kita dengan Al-Qur’an.*








Bekal hadapi pasang surut kehidupan


SIFAT dasar dunia adalah fana’, tidak abadi. Segala yang kita temui di sini pada hakikatnya tidak pernah menetap, namun selalu berubah. Sebagai misal, betapa banyak penguasa yang tumbang. Di masa jayanya, setiap mata mdrasa iri kepada yang mereka miliki, namun belum lagi siang berganti malam, tiba-tiba roda nasib melibas mereka. Sekarang, mereka tidak dilirik barang sedikit pun, bahkan secara terbuka dicaci dan dinistakan martabatnya.

Alkisah, dulu di Jazirah Arab terdapat sebuah kerajaan bernama Hirah. “Kerajaan bayangan” dari Kekaisaran Persia ini kemudian runtuh pada zaman ‘Umar bin Khattab, seiring kejatuhan induknya. Suatu kali, Ziyad bin Muhallab, seorang jenderal termasyhur pada zaman Umawiyah, berjumpa dengan Hindun binti Nu’man, putri penguasa terakhir Hirah. Ziyad pun memintanya bercerita, lalu Hindun berkata, “Kami memasuki waktu pagi dari hari ini, sementara tidak seorang pun dari bangsa Arab melainkan pasti mengharapkan kami. Lalu, kami memasuki waktu senja, sementara tidak seorang pun di antara bangsa Arab melainkan pasti merasa kasihan kepada kami.” (Riwayat Ibnu Abi Dunia dalam al-I’tibar, no. 10).

Demikianlah faktanya. Saat ini, terlalu banyak contoh serupa untuk disajikan. Kita bisa menderetkan kisah-kisah terbaru dari Iraq, Tunisia, Mesir, dan Libya.
Negeri kita sendiri pun merupakan gudang kasus-kasus kebangunan dan kejatuhan para penguasa, politikus serta selebritis. Masih terbayang dalam benak kita lambaian tangan dan senyum mereka di podium-podium kehormatan, namun belum lagi siang berganti malam, tiba-tiba perputaran nasib telah menjungkalkan mereka. Sebagian mereka ditahan dan menghadapi dakwaan berlapis, tanpa harapan lolos. Sebagian lagi tewas terbunuh dan diperlakukan lebih buruk dari seekor anjing. Lalu, sebagian lainnya mati dalam keadaan putus asa, atau hidup nista dan diabaikan. Ini baru masalah-masalah pelik yang mereka hadapi di dunia, dan entah bagaimana nanti nasib mereka di akhirat.
Ini adalah contoh-contoh spektakuler. Bila skala kejadian dan pelakunya dikecilkan, maka tidak terbilang lagi padanannya.
Pelajaran yang mestinya diambil adalah: jangan terlampau mendalam menyikapi dunia ini, karena segalanya mudah sekali berganti. Kegembiraan, kekayaan, kelapangan, kesehatan, dan canda tawa, betapa mudah berubah menjadi kesedihan, kemelaratan, kesempitan, sakit, dan dukacita. Kematian pun bisa menghapus kehidupan dengan seribu satu macam cara.
Maka, tiada pilihan terbaik kecuali bersiaga menghadapi pasang-surutnya. Dalam pandangan Islam, ia mestinya ditempuh pertama-tama dengan memperbaiki hati. Karena hati adalah raja, maka dialah kunci nasib dari seluruh anggota kerajaannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ingatlah, bahwa di dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah hati.” (Riwayat Bukhari-Muslim, dari Nu’man bin Basyir).
Masalahnya, manusia tidak berkuasa atas hatinya sendiri. Hati sepenuhnya berada di bawah kendali Allah. Kita mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya hati anak Adam itu berada diantara dua jari Allah yang Maha Pengasih, seolah-olah satu hati saja. Dia akan memalingkannya kemana saja yang Dia kehendaki.” Beliau kemudian melanjutkan dengan berdoa, “Ya Allah, Dzat yang kuasa memalingkan hati, palingkanlah hati-hati kami ke arah ketaatan kepada-Mu.” (Riwayat Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash).
Jika memperbaiki hati merupakan keharusan, sementara hati berada di bawah kuasa Allah, maka tiada cara lain kecuali menuruti kehendak-Nya. Dia paling tahu apa yang bisa merusak atau memperbaiki hati itu. Lalu, apa yang Dia kehendaki dari kita? Allah berfirman;

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Qs. adz-Dzariyat: 56).
Tepatnya, Allah meminta kita beriman dan beramal shalih. Hanya iman dan amallah yang bisa memperbaiki hati dan menjadikannya tangguh dalam mengarungi samudera kehidupan.
Dikatakan dalam sebuah hadits: “Perkenalkanlah dirimu kepada Allah pada saat engkau sejahtera, niscaya Dia mengenalimu pada saat engkau mengalami kesulitan.” (Riwayat Ahmad, dari Ibnu ‘Abbas. Hadits shahih).
Menurut Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum wal Hikam, maksudnya adalah: “Bila seorang hamba bertakwa kepada Allah, tidak melanggar batas-batas aturan-Nya, dan senantiasa memelihara hak-hak-Nya pada saat ia sejahtera, maka ia telah memperkenalkan dirinya kepada Allah, sehingga ada (hubungan) perkenalan khusus diantara dirinya dengan Tuhannya. Maka, Tuhannya pasti akan mengenalinya pada saat ia tertimpa kesulitan dan memelihara (hubungan) perkenalan dengannya (sebagaimana) pada saat ia sejahtera. Maka, berkat perkenalan inilah Allah menyelamatkannya dari kesulitan-kesulitan. Ini adalah (hubungan) perkenalan khusus yang dapat diartikan sebagai telah dekatnya hamba itu dengan Tuhannya, kecintaan-Nya kepadanya, dan dikabulkan-Nya doannya.”
Jadi, hanya dengan menaati Allah jiwa kita akan terbekali ketahanan untuk menghadapi pasang-surut kehidupan, sebab ia didukung oleh Allah secara langsung. Tanpanya, jiwa akan mudah ambruk dan akhirnya binasa.
Oleh karenanya, Qatadah bin Di’amah (seorang Tabi’in) berkata, “Sesungguhnya amal shalih itu mengangkat (derajat) pelakunya pada saat ia kuat, dan tatkala ia terjatuh maka ia mendapati tempat bersandar.” (Riwayat Ahmad dalam kitab az-Zuhd, no. 183). Dan, Allah-lah sebaik-baik penolong serta tempat bersandar. Wallahu a’lam.







HIDUP BERSAHAJA SEBAGAI PILIHAN KE HATI HATIAN

AMBISI dan keinginan manusia seringkali sangatlah muluk. Apa saja yang dimilikinya selalu terasa kurang. Oleh karenanya, ada yang mengibaratkan perlombaan hidup duniawi seperti menaiki kendaraan di jalan raya. Setiap kali melihat kendaraan lain di depan, kita selalu berhasrat untuk mendahuluinya. Segala daya dikerahkan, dan sekecil apa pun peluang dimanfaatkan. Namun, ketika kendaraan itu telah berhasil dilampaui, kepuasannya hanya sekejap mata. Sebab, di depan kita ternyata sudah ada lagi ratusan bahkan ribuan kendaraan lain. Maka, berkobarlah kembali hasrat itu, bahkan semakin menggila. Tanpa sadar, kita pun terjun dalam perlombaan yang tak berujung.

Demikian pulalah ambisi kehidupan duniawi, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Seandainya anak Adam mempunyai harta sebanyak dua lembah, niscaya dia akan mencari yang ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi rongga (perut) anak Adam kecuali tanah, dan Allah akan menerima pertaubatan siapa saja yang mau bertaubat.” (Riwayat Bukhari dari Ibnu ‘Abbas, dan Muslim dari Anas bin Malik).

Benar. Tidak akan ada yang bisa menghentikan ambisi seperti itu selain kematian; tatkala tanah telah memenuhi rongga perut manusia. Ketika itulah segala ambisinya padam, dan ia pergi hanya berbekal secarik kain kafan. Dilepasnya segala yang selama ini ia perjuangkan mati-matian: rumah dan kendaraan, emas dan perak, anak dan istri, karir dan jabatan, bahkan seluruh dunia ini. Hanya amal yang menyertai, entah baik atau buruk.
Jika nasib seluruh manusia akan seperti itu, mengapa kita tidak memilih meringankan beban dan menyederhanakan hidup? Mengapa kita tidak mengambil dari dunia ini seperlunya karena ia pasti ditinggalkan, dan memperbanyak bekal yang pasti dibawa menghadap Allah, yakni amal shalih? Dikatakan dalam sebuah hadits, “Orang cerdik adalah seseorang yang menundukkan dirinya dan beramal untuk (mempersiapkan kehidupan) setelah kematian. Sedangkan orang lemah adalah seseorang yang memperturutkan hawa nafsunya, kemudian berangan-angan (mendapat rahmat) Allah.” (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Syaddad bin Aus, dengan isnad lemah).
Maka, demikianlah peragaan nyata yang diperlihatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabatnya. Tempat tinggal dan perabot rumah tangga mereka bersahaja, tidak tergoda oleh kemewahan. Makanan dan pakaian mereka pun sederhana, tidak berlebihan. Tetapi, jangan tanya amal mereka: shalatnya, puasanya, sedekahnya, jihadnya, tilawahnya, dzikirnya, tawakkalnya, sabarnya, dsb. Kehidupan mereka secara tepat digambarkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Fadhalah bin ‘Ubaid, “Beruntunglah orang yang diberi hidayah ke dalam Islam, penghidupannya mencukupinya, dan ia merasa puas dengannya.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits hasan-shahih).
Sungguh, inilah kebahagiaan: hidup dalam naungan Islam, diberi rezeki yang cukup, dan memiliki hati yang puas (qana’ah). Jika salah satunya hilang, maka yang lain menjadi limbung bahkan ambruk tanpa daya. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad itu mencukupi.” (Riwayat Muslim, dari Abu Hurairah). “Cukup” artinya: tidak kurang sehingga menggelisahkan, dan tidak berlebih sehingga menyibukkan.
Mungkin, ada yang terpikir, bahwa pilihan itu berarti hidup berkekurangan, melarat dan memprihatinkan. Namun, kehidupan para Sahabat dan generasi Salaf ternyata tidak seperti itu. Banyak diantara mereka yang penghasilannya “mencengangkan”. Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf adalah contoh-contoh klasik dalam kategori ini.
Tetapi, mereka mengambil secukupnya bagi diri sendiri, lalu menyalurkan selebihnya di jalan Allah. Sejarah mencatat bagaimana Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya, ‘Umar menginfakkan setengah hartanya, dan ‘Utsman menyiapkan ribuan kuda perang lengkap dengan persenjataan dan perbekalannya. Tidak ketinggalan, ‘Ali bin Abi Thalib pernah bersedekah senilai 40 ribu dirham (setara 2,7 milyar rupiah lebih). Penghasilan tahunan Laits bin Sa’ad sekitar 20 ribu dirham, sedangkan ‘Abdurrahman bin Mahdi meraup 2 ribu dinar per tahun (senilai 4,4 milyar lebih). Apakah mereka hidup mewah? Ternyata tidak. Lalu, kemana larinya uang sebanyak itu? Ya, mereka membagikannya. Mereka berbahagia telah menjadi perantara Allah dalam membagikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya.
Barangkali, di sinilah letak perbedaan generasi mereka dengan sebagian orang di masa sekarang. Keduanya sama-sama bekerja keras meraih apa yang bermanfaat bagi mereka, namun setelah berhasil sikap hidupnya ternyata berbeda. Yang satu tetap bersahaja dan tidak enggan berbagi, sementara yang lain segera berubah dan semakin pelit. Jika demikian masalahnya, maka benarlah perkataan Imam Syafi’i, “Kefakiran para ulama’ adalah pilihan mereka sendiri, sedangkan kefakiran orang-orang bodoh adalah karena terpaksa.” (Dikutip an-Nawawi dalam Tahdzibul Asma’ wal Lughat).
Para pendahulu kita itu memilih hidup bersahaja diatas segala kelimpahan materi yang mereka miliki, secara sengaja dan sadar. Sementara sebagian dari kita memburu kelimpahan itu lalu menumpuknya untuk diri sendiri, dan terkadang samasekali tidak memperdulikan kehalalannya. Jika pun hidup bersahaja, seringkali karena tidak ada pilihan lain. Maka, berhati-hatilah orang yang menjadikan ‘Abdurrahman bin ‘Auf sebagai idolanya! Jangan semata-mata tergiur dengan besarnya harta yang beliau miliki, namun tidak memperhatikan bagaimana beliau hidup dan kemana harta itu disalurkan dan dibelanjakan.
Sementara di sisi lain, adalah sosok pemimpin teladan bernama Salman al Farisi, salah seorang sahabat Rasulullah. Ketika kekhalifahan Umar bin Khattab, Salman diangkat untuk menjadi Gubernur Kufah  penduduk memadati jalan raya untuk menyambut kedatangannya dengan mewah. Betapa kagetnya masyarakat, dikira kedatangannya  akan diiringi sebuah pasukan besar, tidak tahunya ia datang sendiri dengan menunggang seekor keledai.
Seperti diketahui, kala itu penduduk Iraq hidup berdampingan dengan Persia yang dikenal memiliki istana megah menjulang tinggi dipenuhi emas dan permadani. Penduduk Kufah mengira Islam adalah agama yang megah dan mewah ternyata mereka salah.
“Kami datang secara bersahaja. Kami hidup untuk jiwa, dan kami datang untuk mengangkat derajat iman di dalam hati.”
Kala menjadi menjadi Gubernur Kufah dan ia mendapatkan gaji 5000 dirham, gaji sebagai pejabat daerah ia justru membagi gajinya menjadi 3 bagian. Sepertiga untuk dirinya, sepertiga untuk hadiah dan sepertiga sisanya untuk sedekah
Saat sakaratul maut, Salman menangis. Penduduk Kufah pun bertanya, “Kenapa engkau menangis?”
“Aku menangis karena Rasulullah pernah bersabda kepada kami, Hendaklah bekal kalian di dunia seperti bekal orang yang bepergian. Sementara kita semua lebih suka menumpuk harta dunia.” Demikian Salman mengutip hadits yang diriwayatkan Ahmad.
Penduduk lantas menjawab, “Semoga Allah mengampunimu. Lantas sebanyak apa harta yang kau miliki Salman?”
“Apa kalian meremehkan ini? Aku takut pada hari kiamat akan ditanya tentang sorban, tongkat dan wadah ini.” Inilah sikap zuhud dan wara’ nya seorang beriman bernama Salman al-Farisi. Wallahu a’lam.









BEGINILAH BERHARI RAYA  YANG ISLAMI


PADA tiap edisi Lebaran Idul Fitri masyarakat yang tinggal di perkotaan melakukan ‘ritual’ mudik ke kampung kelahiran.  Pada tahun ini para pemudik diprediksi mencapai 16 juta jiwa, baik yang menggunakan alat transportasi udara, darat, maupun laut.
Dalam ‘ritual’ satu ini instansi pemerintahan seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Polri bekerja siang-malam demi menyukseskan hajatan tahunan terbesar itu. Beragam cara dan aturan dibuat demi menunjang kelancaran dan keselamatan para pemudik.
Demikian halnya dalam berhari raya, penting sekali bagi kita mengenal ‘rambu-rambu’ yang mengatur bagaimana kita mengisi hari raya dengan hal-hal islami demi ‘menunjang keselamatan dan kelancaran’ dalam berhari raya. Agar kesucian yang Allah berikan kepada kita bisa terjaga kelangsungannya.
Rambu-rambu pertama adalah tetap dalam kesederhanaan. Kita sah-sah saja membeli dan mengenakan baju baru, kemeja, baju koko, sarung, abaya bagi muslimah, yang baru. Boleh-boleh saja kita membuat kue atau masakan untuk dimakan oleh anggota keluarga maupun sebagai sajian hidangan buat para tamu.  Akan tetapi, semua hal di atas tetap kita lakukan dengan kesederhanaan dan jangan malah menjadi ajang saling bermegah-megahan, bermewah-mewahan, dan bersikap boros.
Ramadhan yang tidak lama lagi kita tinggalkan mengajarkan pengendalian hawa nafsu dari perkara-perkara yang tidak sepatutnya, termasuk mengendalikan diri dari mengikuti keinginan tanpa didasari kebutuhan yang mendesak. Dalam Al-Qur`an dengan tegas Allah melarang bersikap boros.
Allah berfirman:
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيراً
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوراً
 “…dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra` [17] : 26-27).
Begitu pula dalam soal makan dan minum, ada ‘rambu-rambu’ untuk mencegah terjadinya ‘kecelakaan’ pada fisik kita. Pada intinya, kita bisa makan dan minum sesuai kebutuhan kita, tapi sekali lagi, tidak berlebih-lebihan. Makan saat betul-betul lapar dan berhenti sebelum kenyang, demikian yang diajarkan oleh Rasul.
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A`raaf [07] : 31).
Cara berhari raya idul fitiri secara islami yang kedua adalah mempererat tali silaturrahim dan persaudaraan sesama umat Islam. Dalam Islam persaudaran tidak mengenal batas-batas territorial, suku, ras, dan warna kulit. Rasulullah membuat perumpaan persaudaraan dengan indah. Beliau menggambarkan bahwa persaudaraan di antara sesama umat Islam laksana sebuah bangunan yang saling menguatkan.
Di sisi lain, ada satu hal yang telah mendarah daging padahal salah tapi dipandang lumrah belaka, yaitu bersalam-salaman dengan laki atau wanita yang tidak satu mahram. Dengan alasan sudah jadi tradisi dan kebiasaan turun-temurun, seorang laki-laki menyalami wanita atau sebaliknya ditambah dengan cipika-cipiki. Hal demikian jelas bertentangan dengan ‘rambu-rambu’ berhari raya yang islami.
Soal ketidakbolehan bersalaman dengan yang bukan mahram, Rasulullah telah menjelaskan, “Ditusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada (menanggung hukuman disebabkan) menyentuh perempuan yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani)
Mungkin saja ada yang berdalih bahwa dirinya pernah melihat seorang tokoh agama menyalami wanita yang bukan mahramnya. Untuk menjawabnya, kita katakan bahwa perilaku manusia tidak dapat dirujuk menjadi alat pembenar untuk menyatakan keabsahan suatu perbuatan. Dalil dan petunjuk yang sah adalah Rasulullah SAW yang pernah bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menyalami kaum wanita.” (HR. Ahmad).
Halal bi Halal
Di Tanah Air, silaturrahmi dalam momentum Idul Fitri sering diistilahkan dengan Halal bi Halal yang terwujud dalam pertemuan keluarga atau reuni dengan teman lama.
Adab-adabnya sebagai berikut:
Pertama, memperhatikan hari dan waktu yang tepat untuk berkunjung. Usahakan memberi tahu di awal terutama untuk yang akan datang dari jauh, gunakan pakaian yang baik, membawa hadiah atau sesuatu yang bermanfaat baik materi maupun non materi jika mampu.

Kedua, orang yang lebih muda sepatutnya mendatangi orang yang lebih tua. Begitu pula orang awam mendatangi orang alim yang lebih tahu permasalahan agama.
Ketiga, dianjurkan saling memberi nasihat dan wasiat kebaikan. Jika dalam acara resmi dianjurkan mengundang dai atau muballigh untuk member siraman rohani.
Keempat, jangan mengatakan dan melakukan sesuatu yang tidak disukai serta hindari ghibah (menggujing) dan dusta.
Kelima, menjauhi kemaksiatan seperti bersalaman dengan yang bukan mahram –sebagaimana yang telah disinggung di atas-, menyuguhkan musik dan lagu yang tidak islami, melalaikan datangnya waktu shalat.
Keenam, ketika bertemu dianjurkan untuk berjabat tangan, mengucapkan salam ketika pertemuan dan perpisahan serta saling mendoakan. Ketika bertemu saudara sesama muslim dianjurkan untuk mengucapkan, “Taqabballahu minna wa minkum, kullu `amin wa antum bi khair” (semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kalian, serta semoga kalian selalu dalam kebaikan). Perkataan tersebut diucapkan dengan tulus dan wajah riang agar amal-amal kita benar-benar diterima Allah SWT.
Cara ketiga berhari raya Idul Fitri yang islami adalah dengan tidak lagi mengulangi kemaksiatan. Biasanya di bulan Ramadhan, kantong-kantong kemaksiatan ditutup rapat-rapat; biasanya pula di bulan Ramadhan sebagian artis yang biasanya tampil seronok, mengumbar aurat, ramai-ramai meramadhankan diri dengan menutup tubuhnya rapat-rapat dengan balutan kerudung dan seterusnya; biasanya juga, tayangan-tayangan televisi yang sering menampilkan program tidak mendidik, sedikit banyak menampilkan acara-acara bertemakan Ramadhan.
Dari semua kebiasaan-kebiasaan baik yang tercipta dalam bulan Ramadhan ini, seiring selesainya bulan suci tersebut kantong-kantong kemaksiatan dan tayangan-tayangan televisi kembali ‘unjuk gigi’ dengan kekhasannya.
Apabila kita tidak pandai melihat keadaan seperti ini, bisa saja kita salah dalam menerjemahkan makna berhari raya idul fitri yang ujung-ujungnya memburamkan makna dan hikmahnya. Contohnya, kita sudah beristiqamah melaksanakan shalat secara berjamaah di masjid selama bulan Ramadhan, beristiqamah mengenakan jilbab, menutup aurat, bertaubat dari bermain judi, menunggak Miras, dan sebagianya, semua itu akan menjadi berhenti manakala kemaksiatan terulang karena tidak kuat mengelola diri dengan baik.
Langkah pertama dan utama untuk tidak mengulang perbuatan maksiat adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qayyim dengan, “Lawanlah lintasan itu! Jika dibiarkan, ia akan menjadi fikrah (gagasan). Lawanlah fikrah itu! Jika tidak, ia akan menjadi syahwat. Perangilah syahwat itu! Jika tidak, ia akan menjadi `azimah (hasrat). Apabila ini juga tidak dilawan, ia akan berubah menjadi perbuatan. Dan jika perbuatan itu tidak Anda temukan lawannya maka ia akan menjadi kebiasaan, dan setelah itu sulit bagimu meninggalkannya.”
Alangkah indahnya Ramadhan yang diakhiri dengan hari idul fitri yang islami, jauh dari kemewahan dan kemegahan, ajang pamer harta, namun menjadi wahana untuk tetap istiqamah di jalur kebaikan agar selamat dalam perjalanan mudik dari dunia ke negeri akhirat.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H. Taqabballahu minna wa minkum, kullu `amin wa antum bi khair.*

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar