Powered By Blogger

Senin, 28 Mei 2012

TAUSIYAH

7  RINTANGAN SETAN


Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ (5) إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 5-6)
Pada ayat di atas Allah menegaskan kepada segenap manusia bahwa janji Allah akan adanya hari kebangkitan dan pembalasan terhadap amal manusia di dunia adalah benar adanya, tidak ada keraguan sedikit pun padanya. Sebuah penegasan yang mengingatkan kita semua bahwa kehidupan kita di dunia ini hanyalah sementara, hanya sebagai jalan menuju kehidupan akhirat, kehidupan yang hakiki dan abadi. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi setiap manusia untuk mempersiapkan diri mereka menyambut hari akhirat dengan bersegera memanfaatkan waktu-waktu yang ada sebagai ladang menanam amal-amal shalih untuk bekal di akhirat kelak.

Dan tatkala upaya meraih kebahagiaan akhirat itu tidak bisa tercapai kecuali dengan melewati dua buah rintangan besar; keindahan kehidupan dunia dan tipu daya setan, maka Allah pun memberikan peringatan kepada manusia agar tidak tertipu dan teperdaya dengan kehidupan dunia ataupun dengan tipu daya setan. Bahkan Allah memerintahkan manusia untuk menjadikan setan sebagai musuh utamanya, karena setan benar-benar telah nyata memusuhi manusia.

Kenali Tipu Daya Musuh

Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.” (an-Nur: 21)
Dalam ayat ini, Allah melarang kita mengikuti langkah-langkah setan. Dari sinilah kita perlu memahami apa saja langkah-langkah setan atau tipu daya setan dalam menjerumuskan umat manusia dalam kesesatan, agar kita tidak teperdaya oleh setan, melakukan sesuatu yang disenangi setan tanpa kita sadari. Maka ketahuilah bahwa langkah-langkah setan adalah segala jalan yang dia tempuh untuk menyesatkan seseorang dari jalan yang benar, atau menjauhkan seseorang dari Allah ta’ala.
Ibnul Qayyim rahimahullah telah menjelaskan dalam kitab Madarijus Salikin, tentang jalan-jalan yang ditempuh oleh setan untuk menghalangi dan merintangi manusia dari penghambaannya kepada Allah ta’ala. Jalan atau rintangan itu sebagiannya lebih berat dibanding dengan yang lainnya. Jika setan gagal dengan rintangan terbesarnya, dia akan beralih kepada rintangan yang lebih kecil di bawahnya.
Rintangan pertama, yaitu rintangan terbesar yang menghalangi seseorang dari penghambaannya kepada Allah. Rintangan ini adalah kekafiran terhadap Allah ta’ala, agama-Nya, hari akhir, sifat-sifat kesempurnaan-Nya, dan kafir terhadap segala sesuatu yang diberitakan oleh para Rasul-Nya dari Allah ta’ala. Jika setan berhasil pada rintangan ini, maka padamlah api permusuhannya terhadap manusia, dan dia akan beristirahat darinya. Namun jika dia gagal pada rintangan ini, dia akan beralih pada rintangan kedua.
Rintangan kedua, rintangan kebid’ahan, yaitu perkara-perkara baru dalam agama yang tidak pernah dituntunkan oleh agama ini. Kebid’ahan ini bisa berupa keyakinan yang menyelisihi kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, dan bisa juga berupa amalan-amalan ibadah baru atau dengan tata cara baru yang tidak pernah dituntunkan oleh syariat. Rintangan ini bisa dihadapi dengan memegangi hakikat mutaba’ah (peneladanan) yang benar kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Rintangan ketiga. Jika seorang manusia melewati rintangan kedua, maka setan akan berusaha menjerumuskannya pada perbuatan dosa-dosa besar. Jika setan berhasil pada rintangan ini, maka dia akan menghias-hiasi dan memperindah dosa besar ini. Setan akan menipu daya manusia dan mengatakan; yang penting dalam keimanan adalah pembenaran saja, sedang amalan tidak akan bisa memengaruhi keimanan. Padahal Allah mengancam para pelaku dosa besar dengan berbagai siksaan, baik di dunia maupun di akhirat. Lalu jika Allah memberi taufik-Nya kepada seorang manusia sehingga dia terbebas dari dosa besar atau bertaubat darinya, maka setan akan tetap berusaha menghalanginya dengan rintangan berikutnya.
Rintangan keempat, berupa berbagai perbuatan dosa kecil. Di sini, setan juga tetap melancarkan tipu dayanya, mengatakan bahwa engkau tidak akan mendapatkan bahaya dari dosa kecil ini selama engkau menjauhi dosa besar, dosa kecil ini akan mudah terhapus dengan amal-amal kebajikan. Dan berbagai tipu daya yang dilancarkan agar dia meremehkan dosa kecil ini sehingga terus-menerus melakukannya. Padahal, dosa kecil yang dilakukan secara terus-menerus akan menjadi lebih buruk dari pada dosa besar yang dilakukan oleh seseorang yang kemudian menyesal dan bertaubat darinya. Ketika setan gagal pada rintangan ini karena manusia yang diganggunya selalu berusaha menjaga diri dan berhati-hati, bertaubat dan istighfar, dan senantiasa mengiringi perbuatan buruk dengan kebaikan, maka setan terus berusaha dan beralih kepada rintangan berikutnya.
Rintangan kelima. Pada rintangan ini, setan akan menggunakan perkara-perkara mubah yang pada asalnya tidak mengapa jika dilakukan. Akan tetapi setan berusaha menyibukkan manusia dengan memperbanyak perkara mubah sehingga dia lalai dari ketaatan kepada Allah, lalai dari bersungguh-sungguh dalam memperbanyak bekal menuju akhirat. Setan terus menyibukkan manusia dengan perkara mubah ini sehingga dia meninggalkan perkara yang sunah, kemudian meningkat meninggalkan perkara yang wajib, karena kesibukannya dengan perkara yang mubah pada asalnya. Seandainya seorang manusia mengetahui besarnya nilai akhirat yang tidak bisa dibandingkan dengan dunia, niscaya dia tidak akan melewatkan berbagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, bahkan dia akan bersikap bakhil atas waktunya dan berusaha memanfaatkannya agar tidak berlalu tanpa keuntungan. Jika demikian keadaan seorang manusia, maka setan gagal pada rintangan ini dan beralih pada rintangan berikutnya.
Rintangan keenam. Pada rintangan ini, setelah setan tidak berhasil membuat seorang manusia rugi dengan tidak mendapatkan pahala sama sekali, maka setan berusaha membuatnya rugi dari pahala yang sempurna. Setan akan menyibukkannya dengan amalan-amalan yang lebih rendah keutamaannya, sehingga dia meninggalkan amalan yang lebih besar keutamaan dan pahalanya, sehingga dia tidak mendapatkan pahala yang besar dan derajat yang tinggi. Dan tidak akan selamat dari rintangan ini kecuali orang-orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang amalan dan tingkatan-tingkatannya di sisi Allah, mengetahui perbedaan tingkatan dari keutamaan setiap amalan. Dan tidak akan bisa mencapainya kecuali para ulama yang diberi taufik sehingga bisa menempatkan setiap amalan pada tempatnya yang sesuai.
Rintangan ketujuh. Jika setan tidak berhasil dengan keenam rintangan di atas, maka hanya tinggal satu cara untuk merintangi manusia. Rintangan terakhir ini berupa gangguan-gangguan yang diberikan oleh setan dan bala tentaranya baik dari kalangan jin dan manusia, baik berupa gangguan fisik, lisan maupun hati. Tidak akan ada seorang pun yang bisa lepas dari gangguan ini. Karena gangguan ini akan semakin besar dilancarkan oleh setan dan bala tentaranya ketika manusia semakin mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah. Seandainya ada yang bisa bebas dari rintangan ini, maka mereka itu adalah para nabi dan utusan Allah. Akan tetapi dengan adanya rintangan ini, seorang mukmin atau wali-wali Allah akan bisa beribadah kepada Allah dengan memerangi dan menghinakan musuh-musuh Allah. Karena tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah dibandingkan dengan penghinaan dan perendahan musuh-musuh Allah oleh wali-wali Allah. Wallahu a'lam.





MENINGGALKAN AMAR MARUF NAHI MUNGKAR,SEBAB DATANGNYA ADZAB



"Dan peliharalah dirimu dari siksaan
yang tidak khusus menimpa orang-orang zhalim saja di antara kamu.
Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksanya".
(Qs al-Anfâl/8:25)

Penjelasan Ayat

Adzab Allah Ta'ala itu sangat pedih. Jika adzab itu diturunkan pada suatu tempat, maka ia akan menimpa semua orang yang ada di tempat tersebut, baik orang shaleh maupun thâlih (keji). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memperingatkan kaum Mukminin agar mereka senantiasa membentengi diri mereka dari siksa tersebut dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya serta menyeru manusia kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran.

Syaikh Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri hafizhahullâh mengatakan, “Ayat ini sebagai peringatan lain yang amat besar bagi kaum Mukminin, agar mereka tidak meninggalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta tidak meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar (menyeru manusia kepada kebaikan dan mengajak mereka untuk menjauhi kemungkaran). Sebab, jika mereka meninggalkannya, maka kemungkaran akan menyebar dan kerusakan akan meluas. Bila kondisi sudah demikian, maka adzab pun akan diturunkan kepada seluruh komponen masyarakat, baik yang shaleh maupun yang thâlih, yang berbuat kebajikan maupun yang berbuat kejelekan, baik yang adil maupun yang zhalim. Dan jika Allah Ta’ala menurunkan siksa, maka siksa-Nya sangat pedih, tidak seorang pun yang kuat menahan siksa tersebut. Untuk itu, hendaknya kaum Mukminin menjauhinya dengan cara melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.

Imam Ibnu Jarîr rahimahullâh berkata: “Dalam ayat di atas Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya (yang maknanya); “Wahai orang-orang yang beriman peliharalah diri kalian dari siksa Allah Ta’ala , jangan sampai siksa itu menimpa kalian, karena ulah orang-orang zhalim yang telah melakukan perbuatan yang seharusnya tidak mereka lakukan, baik berupa kezhaliman maupun perbuatan dosa (lainnya) atau karena kalian mendatangi tempat-tempat maksiat, tempat yang pantas untuk diturunkan adzab.

Hikmah Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Sesungguhnya termasuk pengertian dari nama Allah al-Hakiim (Dzat Yang Maha Bijaksana) adalah tersimpannya banyak kebaikan bagi para hamba dalam amalan-amalan yang dititahkan-Nya, dan adanya berbagai kerusakan serta bahaya dibalik perkara-perkara dilarang-Nya. Maka takala perintah untuk melaksanakan ibadah yang agung ini Allah sampaikan kepada umat Islam, pastilah tersimpan banyak rahasia kebaikan di dalamnya. Berikut ini di antara hikmahnya yang luhur:
1.
Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu bentuk iqâmatul hujjah (penyampaian hujjah, keterangan yang jelas akan kebenaran dari Allah Ta’ala ) bagi seluruh umat manusia secara umum, dan para pelaku maksiat secara khusus. Sehingga ketika turun musibah dan bencana mereka tidak bisa berdalih dengan tidak adanya orang yang memberikan peringatan dan nasehat kepada mereka. Mereka juga tidak bisa beralasan dengan hal yanga sama di hadapan Allah Ta’ala kelak. Allah Ta’ala berfirman:

"Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasu-rasul itu diutus. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
(Qs an-Nisâ/4:165)
2. Dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar akan terlepas tanggungan kewajiban untuk melaksanakannya (lazim disebut barâtu dzimmah) dari pundak orang-orang yang telah menjalankannya. Allah Ta’ala berfirman :

“maka berpalinglah engkau dari mereka, dan engkau sekali-kali tidaklah tercela”.
(Qs adz-Dzâriyât/51:54)
3. Membantu saudara seiman untuk melaksanakan kebajikan, sebagai realisasi firman Allah Ta’ala :

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam melaksanakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”.
(Qs al-Mâidah/5:2)

Seorang Muslim yang sejati, adalah orang yang menyukai kebaikan ada pada saudaranya seiman, seperti dia menyukai hal itu ada pada dirinya. Karenanya, dia bersungguh-sungguh untuk mengajak saudaranya seiman untuk menggapai pahala dan menjauhi dosa.

4. Amar ma’ruf nahi munkar adalah salah satu sebab terbesar untuk mendapatkan kepemimpinan (penguasaan) di muka bumi. Allah yang telah menciptakan bumi, maka Dia Ta'ala lah yang berhak mengangkat penguasa di muka bumi tersebut. Allah Ta’ala berfirman menyebutkan ciri-ciri para penguasa pilihan-Nya:

“Allah pasti akan menolong orang-orang yang menolong (agama)-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di muka bumi, mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah dari yang munkar, dan kepada Allah lah kembali segala urusan.” (Qs al-Hajj/22: 40-41)

Ganjaran Bagi Orang-Orang yang Menegakkan Pilar Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Allah Ta’ala berfirman untuk mengabarkan akan pertolongan-Nya bagi para penegak panji nan agung ini dari laknat yang telah menimpa Ashâb Sabt dalam firman-Nya:

“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka kami menyelamatkan orang-orang yang mencegah perbuatan jahat dan kami timpakan kepada orang yang berbuat dzalim siksaan yang keras disebabkan mereka selalu berbuat fasik”
(Qs: Al-a’rof :165)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,
“Ini adalah sunnatullah (hukum Allah Ta’ala)  bagi para hamba-Nya, bahwa orang-orang yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang kemungkaran akan selamat ketika musibah menimpa. ”
(Taisîrul Karîm ar-Rahmân hlm. 307)

Kerusakan Yang Timbul Akibat Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Sebagaimana melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar mengandung banyak kemaslahatan bagi umat manusia di dunia maupun di akhirat, maka begitu pula sebaliknya, meninggalkan amalan yang agung ini akan menimbulkan berbagai kerusakan yang dapat menghilangkan ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan. Dan ini merupakan salah satu tanda akan besarnya kasih-sayang Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya, lantaran Dia Ta’ala senantiasa memperingatkan mereka dari hal-hal yang membahayakan agama, dunia dan terlebih akherat mereka. Di antara kerusakan tersebut adalah:
  • Ketika amar ma’ruf nahi munkar ini ditinggalkan maka para pelaku maksiat dan dosa akan semakin bernyali untuk terus melakukan perbuatan nistanya, sehingga sedikit demi sedikit akan sirnalah cahaya kebenaran dari tengah-tengah umat manusia. Sebagai gantinya, maksiat akan merajalela, keburukan dan kekejian akan terus bertambah dan pada akhirnya tidak mungkin lagi untuk dihilangkan.
  • Sikap diam orang-orang yang mampu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar akan membuat perbuatan tersebut menjadi baik dan indah di mata khalayak ramai, kemudian mereka pun akan menjadi pengikut para pelaku maksiat, dan hal ini adalah termasuk musibah dan bencana yang paling besar.
  • Sikap tidak mau mencegah hal yang mungkar merupakan salah satu sebab hilangnya ilmu dan tersebarnya kebodohan. Karena tersebarluasnya kemungkaran tanpa adanya seorang pun dari ahli agama yang mengingkarinya akan membentuk anggapan bahwa hal tersebut bukanlah sebuah kemungkaran (kebatilan). Bahkan bisa jadi mereka melihatnya sebagai perbuatan yang baik untuk dikerjakan. Pada gilirannya, akan kian merajalela sikap menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, dan mengharamkan hal-hal yamg dihalalkan oleh-Nya. Wal’iyâdzubillâh.

Perkara Yang Menyebabkan Adzab Turun

Di antara sebab turunnya siksa Allah Ta’ala adalah:
1.
Adanya kemungkaran yang merajalela, baik berupa kesyirikan, kemaksiatan, maupun kezhaliman.
Sebagaimana telah disebutkan oleh Ummul Mukminîn Zainab binti Jahsy radhiallahu'anha bahwa Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam pernah mendatanginya dalam keadaan terkejut, seraya berkata:

“Lâ ilâha illallâh! Celakalah bangsa Arab, karena kejelekan yang telah mendekat, hari ini telah dibuka tembok Ya’jûj dan Makjûj seperti ini – beliau melingkarkan ibu jari dengan jari telunjuknya - ."

Kemudian Zainab radhiallahu'anha berkata:

“Apakah kita akan binasa wahai Rasullullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam, padahal di sekitar kita ada orang-orang shalih?."

Beliau menjawab: “Ya, jika kemungkaran itu sudah merajalela.”

Ali bin Abi Thâlib radhiallahu'anhu berkata:

مَا نَزَلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍِ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ

Tidaklah musibah itu menimpa, kecuali disebabkan dosa, dan musibah itu tidak akan diangkat kecuali dengan taubat.
2. Meninggalkan Amar ma’ruf nahi mungkar.
Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits an-Nu’mân bin Basyîr radhiallahu'anhu  bahwa Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam berkata: “Perumpamaan orang yang menjaga larangan-larangan Allah dan orang yang terjatuh di dalamnya adalah seperti suatu kaum yang sedang mengundi untuk mendapatkan tempat mereka masing-masing di dalam kapal. Sebagian mendapat tempat di bagian atas kapal dan sebagian lainnya mendapat di bagian bawah. Orang-orang yang berada di bawah jika ingin mendapatkan air minum mereka melewati orang-orang yang ada di atas. Mereka (yang ada di bawah) berkata: “Andaikata kita melubangi perahu ini untuk mendapatkan air minum, maka kita tidak akan mengganggu mereka yang ada di atas”. Jika orang-orang yang ada di atas membiarkan perbuatan dan keinginan orang-orang yang ada di bawah (yaitu melubangi kapal), maka mereka semua akan tenggelam. (HR al-Bukhâri dan at-Tirmidzi)
Dalam mengomentari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin `Abdurrahmân al-Mubârakfûri rahimahullah berkata: “Dan memang seperti itu maknanya, jika manusia melarang orang yang berbuat maksiat, maka mereka semua akan selamat dari adzab Allah Ta’ala, dan sebaliknya, jika mereka membiarkan kemaksiatan, maka mereka semua akan ditimpa adzab dan akan binasa, dan ini adalah makna ayat (di atas).
Imam al-Qurtubi rahimahullah juga berkata: “Dalam hadits ini terdapat pelajaran yang bisa dipetik, (di antaranya), datangnya adzab tersebut dikarenakan dosa yang dilakukan oleh kebanyakan orang, dan juga disebabkan oleh tidak adanya amar ma’ruf nahi mungkar (di tengah mereka). Seperti itu pula yang telah disebutkan dalam hadits Abu Bakr radhiallahu'anhu. Beliau berkata: “Sungguh, kami pernah mendengar Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Sesungguhnya jika manusia melihat seseorang melakukan kezhaliman, kemudian mereka tidak mencegah orang itu, maka Allah akan meratakan adzab kepada mereka semua. (HR Abu Dâwud, at-Tirmidzi dan dishahîhkan oleh al-Albâni).
Ayat dan beberapa hadits di atas menunjukkan betapa pentingnya peran amar ma’ruf nahi mungkar dalam kehidupan manusia di alam semesta ini, karena dengan ditegakkannya hal itu, kesyirikan, kezhaliman dan kemaksiatan akan berkurang, kebaikan akan menyebar serta dengan izin Allah Ta’ala akan terhindar dari adzab Allah Ta’ala di dunia ini.

Bahaya Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Selain diturunkan adzab sebagaimana yang tertera di atas, masih ada lagi akibat-akibat lain yang ditimbulkan sikap meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, di antaranya adalah:
  1. Tidak dikabulkan doa (permintaan) seorang hamba.

    Hal ini berdasarkan sabda Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam:

    "Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaknya kalian betul-betul melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar atau (jika kalian tidak melaksanakan hal itu) maka sungguh Allah akan mengirim kepada kalian siksa dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya (agar supaya dihindarkan dari siksa tersebut) akan tetapi Allah Ta’ala tidak mengabulkan do’a kalian."
    (HR Ahmad dan at-Tirmidzi dan dihasankan oleh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’)

    Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar permintaannya tidak dikabulkan oleh Allah Ta’ala.
  2. Mendapatkan laknat dari Allah Ta’ala.

    Hal tersebut telah terjadi pada umat sebelum umat ini yaitu Bani Isra’il, sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

    “Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat dengan lisan Dâwud dan Isa putera Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampauhi batas. Mereka satu sama lain senantiasa tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat, sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”.
    (Qs al-Mâidah/5:78-79)

    Dalam ayat pertama Allah Ta’ala menyebutkan jauhnya orang-orang kafir bani Israil dari rahmat Allah Ta’ala. Hal itu sebagai bentuk hukuman bagi mereka dikarenakan kedurhakaan dan pelanggaran mereka atas batasan-batasan Allah Ta’ala dan hak-hak orang lain. Karena sesungguhnya setiap amal perbuatan pastilah akan ada ganjarannya. Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Ta’ala mengabarkan kepada hamba-hamba Nya yang beriman perihal kemaksiatan yang menyebabkan mereka (orang-orang kafir itu) tertimpa dengan hukuman tersebut. Yaitu mereka melakukan kemungkaran dan tiadalah seorang pun dari mereka yang mencegah saudaranya dari kemaksiatan yang dilakukan. Maka, para pelaku kemungkaran dan orang yang membiarkannya mendapatkan hukuman yang sama. Imam Abu Ja’far ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya berkata:

    “Dahulu Orang-orang Yahudi dilaknat Allah Ta’ala karena mereka tidak berhenti dari kemungkaran yang mereka perbuat dan sebagian mereka juga tidak melarang sebagian lainnya (dari kemungkaran tersebut)”.

    Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata:

    “Ayat di atas (juga) menunjukkan larangan duduk dengan orang-orang yang berbuat kemungkaran dan mengandung perintah untuk meninggalkan dan menjauhi mereka.”

    Sehingga jelaslah dari kedua ayat di atas bahwa meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar merupakan hal yang akan mengundang kemurkaan dan kemarahan Allah Ta’ala  Syaikh Salîm al-Hilâli hafizhahullâh mengomentari ayat tersebut dengan ucapan beliau,

    “Ayat ini menerangkan bahwa meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar adalah perkara yang mendatangkan kemarahan dan laknat Allah. Nasalullâh al’âfiyah.”

    Mudah-mudahan Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah, inâyah serta taufik dan maghfirahnya kepada kita semua agar kita semua selamat dari adzab dan murka-Nya di dunia dan di akhirat. Amîn

Pelajaran Dari Ayat:
  1. Kemungkaran, baik kesyirikan, kedzaliman maupun kemaksiatan dapat menyebabkan hilangnya kenikmatan dan mendatangkan kehancuran.
  2. Pentingnya Amar ma’ruf nahi mungkar.
  3. Di antara hikmah amar ma’ruf nahi mungkar adalah terhindar dari siksa Allah Ta’ala .
  4. Di antara hikmah amar ma’ruf nahi mungkar adalah menyebarnya kebaikan dan berkurangnya kemungkaran.
  5. Menjauhi tempat-tempat kemungkaran dan pelakunya, agar selamat dari adzab Allah Ta’ala .
  6. Siksa Allah Ta’ala amat pedih, tak seorang mampu menolaknya dan kuat menahannya.





TIGA TINGKATAN KAUM MUSLIMIN



Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
yaitu Al Kitab (Al Quran) itulah yang benar,
dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui
lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.

(Qs. Fâthir/35:31)
 
AL-QUR‘AN MERUPAKAN KEBENARAN DARI ALLAH TA'ALA
Allâh Ta'ala mengabarkan bahwa Al-Qur‘ân yang diwahyukan kepada Rasul-Nya adalah kebenaran. Muatan kebenaran yang terkandung di dalam Al-Qur‘ân memberikan pengertian bahwa seluruh perkara dan urusan yang telah tertera di dalamnya, baik dalam masalah ilahiyyat (aqidah tentang Allâh Ta'ala), perkara-perkara ghaib, maupun perkara-perkara lainnya adalah persis dengan kenyataan yang sebenarnya.
Al-Qur‘ân membenarkan kitab-kitab dan para rasul sebelumnya. Para rasul sebelum Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam juga telah mengabarkan akan datangnya Al-Qur‘ân. Oleh sebab itu, tidak mungkin seseorang beriman kepada kitab-kitab yang dibawa oleh para rasul (sebelum Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam) tersebut, akan tetapi mengingkari Al-Qur‘ân. Pasalnya, pengingkaran orang tersebut kepada Al-Qur‘ân bertentangan dengan keimanannya kepada kitab-kitab sebelumnya (karena berita tentang Al-Qur‘ân telah termuat di dalam kitab-kitab tersebut).
Ditambah lagi, keterangan-keterangan dalam kitab-kitab sebelumnya tersebut bersesuaian dengan apa yang tertera di dalam Al-Qur‘ân. Misalnya, Allâh Ta'ala memberi kepada masing-masing umat sesuatu yang sesuai dengan kondisinya.
Dalam konteks ini, syariat-syariat yang berlaku pada zaman dahulu tidak relevan kecuali untuk masa dan zaman mereka. Oleh karena itu, Allâh Ta'ala senantiasa mengutus para rasul, sampai akhirnya ditutup oleh Rasûlullâh Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau datang dengan aturan syariat yang relevan untuk setiap tempat dan masa. Demikian ringkasan keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullâh tentang ayat ke 31 dari surat Fâthir.[1]

TIGA GOLONGAN KAUM MUSLIMIN
Allâh Ta'ala mengabarkan betapa agung kemurahan dan kenikmatan-Nya yang telah dicurahkan kepada umat Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Pilihan Allâh Ta'ala kepada mereka, lantaran mereka umat yang sempurna dengan akalnya, memiliki pemikiran terbaik, hati yang lunak, dan jiwa yang bersih.[2]
Secara khusus, Allâh Ta'ala mewariskan kitab yang berisi kebenaran dan hidayah hakiki (Al-Qur‘ân) kepada mereka. Kitab suci yang juga memuat kandungan al-haq yang ada dalam Injil dan Taurat. Sebab, dua kitab tersebut sudah tidak relevan untuk menjadi hidayah dan pedoman bagi umat manusia, lantaran telah terintervensi oleh campur tangan manusia.[3]
Allâh Ta'ala menggolongkan orang-orang yang menerima Al-Qur‘ân, yaitu kaum muslimin menjadi tiga macam golongan. Golongan pertama disebut zhâlim linafsihi. Golongan kedua disebut muqtashid. Golongan terakhir disebut sâbiqun bil-khairât.

Golongan Pertama : zhâlim linafsihi (zhâlim linafsihi)
Makna zhâlim linafsihi merupakan sebutan bagi orang-orang muslim yang berbuat taqshîr (kurang beramal) dalam sebagian kewajiban, ditambah dengan tindakan beberapa pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan, termasuk dosa-dosa besar.[4] Atau dengan kata lain, orang yang taat kepada Allâh Ta'ala, akan tetapi ia juga berbuat maksiat kepada-Nya. Karakter golongan ini tertuang dalam firman Allâh Ta'ala berikut:[5]
(Qs. at-Taubah/9: 102)
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,
mereka mencampur-baurkan perkerjaan yang baik
dengan pekerjaan lain yang buruk.
Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(Qs. at-Taubah/9: 102)

Golongan Kedua: al-muqtashid (al-muqtashid)
Orang-orang yang termasuk dalam istilah ini, ialah mereka yang taat kepada Allâh Ta'ala tanpa melakukan kemaksiatan, namun tidak menjalankan ibadah-ibadah sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala. Juga diperuntukkan bagi orang yang telah mengerjakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan saja. Tidak lebih dari itu.[6] Atau dalam pengertian lain, orang-orang yang telah mengerjakan kewajiban-kewajiban, meninggalkan perbuatan haram, namun diselingi dengan meninggalkan sejumlah amalan sunnah dan melakukan perkara yang makruh.[7]

Golongan Ketiga: sâbiqun bil-khairât (sâbiqun bil-khairât)
Kelompok ini berciri menjalankan kewajiban-kewajiban dari Allâh Ta'ala dan menjauhi muharramât (larangan-larangan). Selain itu, keistimewaan yang tidak lepas dari mereka adalah kemauan untuk menjalankan amalan-amalan ketaatan yang bukan wajib (sunnat) untuk mendekatkan diri mereka kepada Allâh Ta'ala.[8] Atau mereka adalah orang-orang yang mengerjakan kewajiban-kewajiban, amalan-amalan sunnah lagi menjauhi dosa-dosa besar dan kecil.[9]
Adalah merupakan sesuatu yang menarik, manakala Imam al-Qurthubi rahimahullâh mengetengahkan sekian banyak pendapat ulama berkaitan dengan sifat-sifat tiga golongan di atas. Sehingga bisa dijadikan sebagai cermin dan bahan muhasabah (introspeksi diri) bagi seorang muslim dalam kehidupan sehari-harinya; apakah ia termasuk dalam golongan pertama (paling rendah), tengah-tengah, atau menempati posisi yang terbaik dalam setiap sikap, perkataan dan tindakan.[10]

JANJI BAIK DARI ALLAH TA'ALA KEPADA TIGA GOLONGAN TERSEBUT
Kemudian Allâh Ta'ala menjelaskan bahwa Dia menjanjikan Jannatun-Na’im terhadap tiga golongan itu, dan Allâh Ta'ala tidak memungkiri janji-Nya.
Allâh Ta'ala berfirman:
(Qs. Fâthir/35:33)
(Bagi mereka) surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya,
di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas,
dan dengan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutera.

(Qs. Fâthir/35:33)

Janji Allâh Ta'ala berupa Jannatun-Na’îm kepada semua golongan tersebut, digapai pertama kali – berdasarkan urutan pada ayat – oleh golongan zhâlim linafsih. Hal tersebut menunjukkan bahwa ayat ini termasuk arjâ âyâtil-Qur‘ân. Yaitu ayat Al-Qur‘ân yang sangat membekaskan sikap optimisme yang sangat kuat pada umat. Tidak ada satu pun seorang muslim yang keluar dari tiga klasifikasi di atas. Sehingga ayat ini dapat dijadikan sebagai dasar argumentasi bahwa pelaku dosa besar tidak kekal abadi di neraka. Pasalnya, golongan orang kafir dan balasan bagi mereka, secara khusus telah dibicarakan pada ayat-ayat setelahnya (surat Fâthir/35 ayat 36-37).
Syaikh ‘Abdul-Muhsin al-Abbâd hafizhahullah berkata tentang ayat di atas: “Allâh Ta'ala mengabarkan tentang besarnya kemurahan dan kenikmatan dengan memilih siapa saja yang Dia kehendaki untuk masuk Islam dengan mencakup tiga golongan secara keseluruhan. Setiap orang yang telah memperoleh hidayah Islam dari Allâh Ta'ala, maka tempat kembalinya adalah jannah, kendati golongan pertama akan mengalami siksa atas perbuatan kezhaliman yang dilakukan terhadap dirinya sendiri”.[11]
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi Ahlul Kitab. Mereka hanya terbagi menjadi dua kelompok, yakni golongan yang muqtashid dalam beramal, dan golongan kedua yang jumlahnya lebih dominan adalah orang-orang yang amalannya buruk.
Allâh Ta'ala berfirman:
(Qs. al-Mâ‘idah/5:66)
… Di antara mereka ada golongan yang pertengahan.
Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.

(Qs. al-Mâ‘idah/5:66)

MENGAPA ZHÂLIMUN LINAFSIHI DIDAHULUKAN PENYEBUTANNYA DALAM AYAT?
Mengapa golongan zhâlim linafsihi dikedepankan dalam memperoleh janji Jannatun-Na’iim dibandingkan dua golongan lainnya (al-muqatshid dan sâbiqun bil-khairât), padahal merupakan tingkatan manusia yang terendah dari tiga golongan yang ada? Para ulama telah mencoba menganalisa penyebabnya. Sebagian ulama berpendapat, supaya golongan pertama itu tidak mengalami keputus-asaan dari rahmat Allâh Ta'ala, dan golongan sâbiqun bilkhairat tidak silau dan terperdaya dengan amalan sendiri. Sebagian ulama lain menyatakan, alasan mendahulukan golongan zhâlimun linafsihi lantaran mayoritas penghuni surga berasal dari golongan itu. Sebab, orang yang tidak pernah terjerumus dalam perbuatan maksiat jumlahnya sedikit. Ini berdasarkan firman Allâh Ta'ala :
(Qs. Shâd/38:24)
… Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih;
dan amat sedikitlah mereka ini…

(Qs. Shâd/38:24)
Secara lebih luas, Imam al-Qurthubi rahimahullâh telah memaparkan pendapat-pendapat ulama yang lain dalam kitab tafsirnya.[12]

PELAJARAN DARI AYAT
  1. Tingginya kemuliaan umat Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dengan memperoleh anugerah kitab Al-Qur‘an yang memuat kebenaran dan hidayah kitab Injil dan Taurat.
  2. Luasnya rahmat Allâh Ta'ala bagi umat Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
  3. Kaum muslimin terbagi menjagi tiga tingkatan dalam beramal.
  4. Pentingnya berlomba-lomba dalam kebajikan.
  5. Orang yang berbuat dosa selain kufur dan syirik tidak kekal di neraka.
  6. Penjelasan mengenai kenikmatan penghuni surga.

Wallahu a’lam.


Marâji‘:
  1. Aisarut-Tafâsîr, Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal-Hikam, Madinah.
  2. Adhwâ-ul Bayân fi Îdhâhil-Qur‘ân bil-Qur‘ân, Muhammad al-Amin asy-Syinqîthi, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Mesir, 1415 H – 1995 M.
  3. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur‘ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-’Arabi, Cetakan IV, Tahun 1422 H – 2001 M.
  4. Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Dâr Ibnu Hazm, Cetakan I, Tahun 1423 H – 2002 M.
  5. Kutub wa Rasâ‘il, Min Kunûzil-Qur‘anil-Karîm, ‘Abdul- Muhsin al-Abbâd al-Badr.
  6. Tafsîrul-Qur‘ânil-’Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Dârul Hadîts Kairo 1426 H- 2005 M.
  7. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, ‘Abdur-Rahmân bin Nâshir as- Sa’di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999 M.





SEHARUSNYA KITA SELALU MENANGIS


Pernahkah Anda menangis -dalam keadaan sendirian- karena takut siksa Allâh Ta’ala? Ketahuilah, sesungguhnya hal itu merupakan jaminan selamat dari neraka. Menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala akan mendorong seorang hamba untuk selalu istiqâmah di jalan-Nya, sehingga akan menjadi perisai dari api neraka. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis
karena takut kepada Allâh sampai air susu kembali ke dalam teteknya.
Dan debu di jalan Allâh tidak akan berkumpul dengan asap neraka Jahannam”.
[1]

MENGAPA HARUS MENANGIS?

Seorang Mukmin yang mengetahui keagungan Allâh Ta’ala dan hak-Nya, setiap dia melihat dirinya banyak melalaikan kewajiban dan menerjang larangan, akan khawatir dosa-dosa itu akan menyebabkan siksa Allâh Ta’ala kepadanya.

Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
"Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya
seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung,
dia khawatir gunung itu akan menimpanya.
Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya
seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya,
dia mengusirnya dengan tangannya –begini–, maka lalat itu terbang”.
(HR. at-Tirmidzi, no. 2497 dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullâh)

Ibnu Abi Jamrah rahimahullâh berkata,
“Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan selamat. Kesimpulannya bahwa rasa takut seorang Mukmin (kepada siksa Allâh Ta’ala -pen) itu mendominasinya, karena kekuatan imannya menyebabkan dia tidak merasa aman dari hukuman itu. Inilah keadaan seorang Mukmin, dia selalu takut (kepada siksa Allâh-pen) dan bermurâqabah (mengawasi Allâh). Dia menganggap kecil amal shalihnya dan khawatir terhadap amal buruknya yang kecil”.
(Tuhfatul Ahwadzi, no. 2497)

Apalagi jika dia memperhatikan berbagai bencana dan musibah yang telah Allâh Ta’ala timpakan kepada orang-orang kafir di dunia ini, baik dahulu maupun sekarang. Hal itu membuatnya tidak merasa aman dari siksa Allâh Ta’ala.

Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
Dan begitulah adzab Rabbmu apabila Dia mengadzab
penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim.
Sesungguhnya adzab-Nya sangat pedih lagi keras.
Sesungguhnya pada peristiwa itu benar-benar terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang takut kepada adzab akhirat.
Hari Kiamat itu adalah suatu hari
dimana manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)-Nya,
dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk).
Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu.
Saat hari itu tiba, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya;
maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang bahagia.
Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka,
di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih)
”.
(Qs Hûd/11:102-106)

Ketika dia merenungkan berbagai kejadian yang mengerikan pada hari Kiamat, berbagai kesusahan dan beban yang menanti manusia di akhirat, semua itu pasti akan menggiringnya untuk takut kepada Allâh Ta’ala al-Khâliq.

Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu.
Sesungguhnya kegoncangan hari Kiamat itu
adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).
(Ingatlah), pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu,
semua wanita yang menyusui anaknya lalai terhadap anak yang disusuinya,
dan semua wanita yang hamil gugur kandungan.
Kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk,
padahal sebenarnya mereka tidak mabuk.
Akan tetapi adzab Allâh itu sangat keras
”.
(Qs al-Hajj/22:1-2)

Demikianlah sifat orang-orang yang beriman. Di dunia, mereka takut terhadap siksa Rabb mereka, kemudian berusaha menjaga diri dari siksa-Nya dengan takwa, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka, Allâh Ta’ala memberikan balasan sesuai dengan jenis amal mereka. Dia memberikan keamanan di hari Kiamat dengan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya.

Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
Dan sebagian mereka (penghuni surga-pent) menghadap
kepada sebagian yang lain; mereka saling bertanya.
Mereka mengatakan:
“Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga,
kami merasa takut (akan diadzab)”.
Kemudian Allâh memberikan karunia kepada kami
dan memelihara kami dari azab neraka.
Sesungguhnya kami dahulu beribadah kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang
”.
(Qs ath-Thûr/52:25-28)

ILMU ADALAH SEBAB TANGISAN KARENA ALLÂH TA'ALA

Semakin bertambah ilmu agama seseorang, semakin tambah pula takutnya terhadap keagungan Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak,
ada yang bermacam-macam warna (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allâh di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah Ulama.
Sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Pengampun
”.
(Qs Fâthir/35:28)

Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Surga dan neraka ditampakkan kepadaku,
maka aku tidak melihat kebaikan dan keburukan seperti hari ini.
Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui,
kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis
”.
Anas bin Mâlik radhiyallâhu'anhu –perawi hadits ini- mengatakan,
Tidaklah ada satu hari pun yang lebih berat bagi para Sahabat selain hari itu.
Mereka menutupi kepala mereka sambil menangis sesenggukan
”.
(HR. Muslim, no. 2359)

Imam Nawawi rahimahullâh berkata,
“Makna hadits ini, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan sama sekali melebihi apa yang telah aku lihat di dalam surga pada hari ini. Aku juga tidak pernah melihat keburukan melebihi apa yang telah aku lihat di dalam neraka pada hari ini. Seandainya kamu melihat apa yang telah aku lihat dan mengetahui apa yang telah aku ketahui, semua yang aku lihat hari ini dan sebelumnya, sungguh kamu pasti sangat takut, menjadi sedikit tertawa dan banyak menangis”.
(Syarh Muslim, no. 2359)

Hadits ini menunjukkan anjuran menangis karena takut terhadap siksa Allâh Ta’ala dan tidak memperbanyak tertawa, karena banyak tertawa menunjukkan kelalaian dan kerasnya hati.

Lihatlah para Sahabat Nabi radhiyallâhu'anhum, begitu mudahnya mereka tersentuh oleh nasehat! Tidak sebagaimana kebanyakan orang di zaman ini. Memang, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, paling banyak pemahaman agamanya, paling cepat menyambut ajaran agama. Mereka adalah Salafus Shâlih yang mulia, maka selayaknya kita meneladani mereka.
(Lihat Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihin 1/475; no. 41)

Seandainya kita mengetahui bahwa tetesan air mata karena takut kepada Allâh Ta’ala merupakan tetesan yang paling dicintai oleh Allâh Ta’ala, tentulah kita akan menangis karena-Nya atau berusaha menangis sebisanya. Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan keutamaan tetesan air mata ini dengan sabda Beliau:
hadist
Tidak ada sesuatu yang yang lebih dicintai oleh Allâh
daripada dua tetesan dan dua bekas.
Tetesan yang berupa air mata karena takut kepada Allâh
dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allâh.
Adapun dua bekas, yaitu bekas di jalan Allâh
dan bekas di dalam (melaksanakan) suatu kewajiban
dari kewajiban-kewajiban-Nya
”.

Namun yang perlu kita perhatikan juga bahwa menangis tersebut adalah benar-benar karena Allâh Ta’ala, bukan karena manusia, seperti dilakukan di hadapan jama’ah atau bahkan dishooting TV dan disiarkan secara nasional. Oleh karena itu Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjanjikan kebaikan besar bagi seseorang yang menangis dalam keadaan sendirian. Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Tujuh (orang) yang akan diberi naungan oleh Allâh
pada naungan-Nya di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. ......
(di antaranya): Seorang laki-laki yang menyebut Allâh
di tempat yang sepi sehingga kedua matanya meneteskan air mata
”.
(HR. al-Bukhâri, no. 660; Muslim, no. 1031)

Hari Kiamat adalah hari pengadilan yang agung. Hari ketika setiap hamba akan mempertanggung-jawabkan segala amal perbuatannya. Hari saat isi hati manusia akan dibongkar, segala rahasia akan ditampakkan di hadapan Allâh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa. Maka kemana orang akan berlari? Alangkah bahagianya orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allâh Ta’ala pada hari itu. Dan salah satu jalan keselamatan itu adalah menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullâh berkata,
Wahai saudaraku, jika engkau menyebut Allâh Ta’ala, sebutlah Rabb-mu dengan hati yang kosong dari memikirkan yang lain. Jangan pikirkan sesuatu pun selain-Nya. Jika engkau memikirkan sesuatu selain-Nya, engkau tidak akan bisa menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala atau karena rindu kepada-Nya. Karena, seseorang tidak mungkin menangis sedangkan hatinya tersibukkan dengan sesuatu yang lain. Bagaimana engkau akan menangis karena rindu kepada Allâh Ta’ala dan karena takut kepada-Nya jika hatimu tersibukkan dengan selain-Nya?".

Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Seorang laki-laki yang menyebut Allâh di tempat yang sepi”,
yaitu hatinya kosong dari selain Allâh Ta’ala,
badannya juga kosong (dari orang lain),
dan tidak ada seorangpun di dekatnya
yang menyebabkan tangisannya menjadi riyâ’ dan sum’ah.
Namun, dia melakukan dengan ikhlas dan konsentrasi
”.
(Syarh Riyâdhus Shâlihîn 2/342, no. 449)

Setelah kita mengetahui hal ini, maka alangkah pantasnya kita mulai menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala.
Wallâhul Musta’ân.
[1]
HR. at-Tirmidzi, no. 1633, 2311; an-Nasâ‘i 6/12; Ahmad 2/505; al-Hâkim 4/260; al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 14/264.
Syaikh Salîm al-Hilâli hafizhahullâh mengatakan, “Shahîh lighairihi”. Lihat penjelasannya dalam kitab Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihîn 1/517; no. 448)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar