Manusia Punya Energi Menolak Kemungkaran
HASIL penelitian Virginia Tech, yang
dipublikasikan oleh Journal of Royal Society Interface, hanya dengan
sekali bersin seseorang telah mengontaminasi satu ruangan dengan virus
flu. Virus tersebut akan tetap aktif walaupun telah lewat satu jam.
Yang mencengangkan, setelah menganalisis sampel udara dari tiga jenis
ruangan, yaitu pesawat terbang, ruang tunggu sebuah klinik kesehatan,
dan ruang perawatan, diketahui bahwa setiap meter kubik udara terdapat
16 ribu partikel virus flu. Masya Allah!
Itu baru satu jenis virus. Padahal jumlah jenisnya saja tak terhitung, apalagi jumlah populasinya.
Dengan demikian, jika sampai sekarang populasi manusia masih tetap
eksis, itu menunjukkan bahwa manusia memiliki daya tahan tubuh luar
biasa.
Jika secara fisik manusia dapat bertahan karena dibekali pertahanan
yang kokoh seperti itu, maka demikian pula secara nonfisik (kejiwaan),
pasti ada sistem pertahanan yang juga luar biasa.
Keselamatan jiwa (hati) menjadi barometer eksistensi diri manusia.
Sebab, manusia yang hatinya rusak tidak bisa disebut sebagai manusia. Ia
telah terjerembab dalam kasta binatang.
Allah Subhanahu Wata’ala, dalam al-Qur`an surat Al-A’raf [7] ayat
179, menjelaskan bahwa isi neraka jahannam itu kebanyakan berasal dari
bangsa jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakan
untuk memahami ayat-ayat Allah Subhanahu Wata’ala. Mereka mempunyai mata
tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah
Subhanahu Wata’ala. Mereka mempunyai telinga tetapi tidak
dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah.
Mereka itu, kata Allah SWT, bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
Sebagai penegas, Allah Subhanahu Wata’ala juga mengatakan:
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلاً
أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاء لَجَعَلَهُ سَاكِناً ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلاً
“Apakah
kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami?
Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqan [25]: 43-44)
Oleh
sebab itu wajar bila manusia normal memiliki fitrah untuk menyelamatkan
diri, baik secara fisik maupun nonfisik, dari berbagai bahaya
(madharrat) yang mengancam eksistensinya. Hanya orang stres yang nekat
bunuh diri, atau orang gila yang mau makan makanan busuk yang kotor dan
membahayakan.
Yang Harus Dicegah
Fitrah normal yang
mendorong manusia untuk menarik sebanyak mungkin manfaat, juga terwujud
dalam bentuk dorongan untuk menolak madharrat.
Semangat untuk mengejar peluang kebaikan memberikan daya tolak yang
setara terhadap peluang keburukan. Contoh terbaik dalam hal ini tak lain
adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.
Betapa sering Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam berdoa dengan
menggunakan kata “ أسألك" (aku meminta kepada-Mu). Beliau juga sering
menyebut manfaat yang beliau inginkan ketika berdoa. Misalnya, اللهم
اغفر لي ، وارحمني
Beliau juga kerap menggunakan kata yang mengindikasikan penolakan dan
pencegahan. Misalnya, “ أعوذُ “. Semua doa yang diawali dengan kata
itu pasti bermakna penolakan terhadap madharrat dan pencegahan dari
musibah yang akan menimpa.
Selain hal-hal di atas, hal lain yang kerap dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam adalah:
1.
Senantiasa memohon agar selalu memberi manfaat dan mengindari potensi
kemungkaran. Pada waktu pagi, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam berdoa:
رَبِّ
أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِي هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ،
وَأَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِي هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ
“Wahai
tuhanku, aku mohon kepada-Mu kebaikan di hari ini dan kebaikan di waktu
sesudahnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan hari ini dan
kejahatan di waktu sesudahnya.” (Riwayat Muslim)
Begitu pula banyak doa sejenis yang senantiasa beliau panjatkan secara rutin, baik di pagi maupun sore hari.
2.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam juga memohon kepada Allah Subhanahu
Wata’ala untuk dibebaskan dari kemungkaran pihak manapun tanpa
terkecuali, dengan doa, ”Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah
yang sempurna yang tidak akan dilampaui seorang yang baik maupun yang
jahat, dari keburukan segala yang ia ciptakan, dari keburukan segala
yang turun dari langit dan yang naik ke langit, dan dari keburukan
segala yang ia ciptakan di bumi dan yang ke luar darinya.” (Riwayat Ahmad)
Masih banyak doa-doa Nabi Shallallahu "alaihi Wassalam yang
menandakan sikap waspada dan antisipasi dari berbagai macam bahaya yang
terbayangkan maupun yang tidak terduga.
Pihak Pengancam
Ada tiga pihak yang menjadi ancaman manusia terkait eksistensi kehambaan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala.
Pertama, setan. Sejak awal penciptaan manusia, iblis telah bersumpah serapah dengan mengatakan:
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
(Iblis) berkata, “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan
bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik
(perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya.” (Al-Hijr [15]: 39)
Setan mengepung untuk menggoda manusia dari segala sisi. Allah SWT mengungkap upaya mereka:
ثُمَّ
لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ
أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka.” (Al-A’raf [7]: 17)
Kedua, nafsu yang
melekat dalam diri manusia. Pada dosis tertentu, nafsu sebenarnya
mempunyai manfaat bagi manusia. Namun, jika dosisnya lebih dari itu akan
menjelma menjadi racun spiritual yang sangat berbahaya. Apalagi setan
juga tidak pernah absen mencari kesempatan untuk menungganginya.
Allah
Subhanahu Wata’a mengabadikan perkataan emas Zulaikha, istri al-Aziz,
dalam al-Qur`an surat Yusuf [12] ayat 53. Kata Zulaikha, ”Aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan.”
Ibn Katsir menerangkan makna ayat ini. Katanya, ”Nafsu
sering kali mendorong pemiliknya untuk berbuat keburukan, misalnya dosa
besar, karena nafsu adalah kendaraan setan dan dari situlah setan masuk
pada diri manusia”. (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim,I/400)
Semua
manusia pernah takluk kepada nafsu untuk bermaksiat kepada Allah
Subhanahu Wata'ala, baik kafir maupun Muslim. Banyak hal yang dapat
dijadikan bukti atas keberhasilan ideologi nafsu. Dominasi ideologi
liberal saat ini adalah bukti kesuksesan nafsu. Merut kaum liberal,
atas dasar kebebasan berpendapat, tak dilarang mengkritik dan menghujat
agama dan para Nabi.
Ketiga, manusia yang menjadi kawan setan
dan budak nafsu. Mereka adalah sesama manusia yang menjadi penerus misi
setan untuk menyesatkan orang lain melalui berbagai upaya.
Usaha mereka bermacam-maca. Mulai dari bujukan, sanjungan, pemberian
fasilitas, sampai pada tingkat pemaksaan dan pembunuhan secara nyata.
Tentang hal ini, Allah menjelaskan dalam Surat al-Baqarah ayat 217. Kata-Nya, ”Mereka
(orang-orang kafir) tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka
(dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya
mereka sanggup.”
Melihat semua dalil dan data kongkrit di atas, tak ada pilihan lain
bagi seorang Muslim kecuali harus melakukan upaya pertahanan, penolakan,
dan pencegahan sebagai wujud panggilan fitrahnya.
Fitrah itu menghendaki keselamatan seutuhnya, baik raga maupun jiwa,
di dunia maupun di akhirat, bagi diri maupun orang-orang yang
dicintainya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba yang selamat. Wallahu A’lam bish-Shawab.
“Beriman Butuh Takut, Bermaksiat Perlu Malu”
SAYA tergelitik tulisan Ilham Khoiri di Kompas berjudul, “Irshad Manji yang Saya Tahu” (Kompas.com, Senin, 7 Mei 2012)
Tulisan serupa dengan nada “membela” juga pernah ditulis di media yang sama dengan judul “Berpikir Kritis Irshad Manji”, Minggu, 4 Mei 2008.
Dengan sangat menarik, Ilham Khoiri memperkenalkan penulis buku, "The Trouble with Islam Today: A Wake-Up Call for Honesty and Change" yang ditertibkan dengan judul, "Beriman Tanpa Rasa Takut” ini
sebagai seorang wanita yang pernah trauma sekolah di madrasah. Ilham
Khoiri bahkan menjelaskan, Irshad pernah memilih keluar dari madrasah,
dan meneruskan berlajar tentang Islam dari berbagai sumber, terutama
perpustakaan. Irshad juga mendatangkan guru bahasa Arab, yang membantu
dia memahami Al-Quran dalam bahasa aslinya.
"Saya memilih tetap menjadi Muslim dan menjalani ajaran Islam," paparnya menirukan Irshad.
Catatan lain dari Ilham Khoiri mengatakan, “Irshad berterus terang,
tujuan hidupnya adalah meyakinkan umat Islam, terutama kaum muda, bahwa
kita bisa berpikir sekaligus beriman.”
Dalam pujian lain pada Irshad Manji, penulis Kompas ini juga
mengatakan, “Dia bercerita dengan jernih, jujur, dan terkadang diselipi
humor. Kami berbincang banyak soal selama sekitar dua jam: Soal Islam,
iman, tradisi konservatif kaum muslim, pentingnya ijtihad, kebebasan
berpikir, juga tentang demokrasi.
Iman dan Rasa Takut
Umumnya para pembela Irshad Manji dan kaum liberal bertumpu pada
pernghargaan terhadap kebebasan berpikir, perbedaan berpendapat, dan
menumbuhkan sikap dialog. Dan itulah bahasa-bahasa umum yang
dikembangkan di kalangan Barat, yang menjadikan demokrasi sebagai
“agama” mereka.
“Mempertemukan iman kepada Allah, cinta, dan kebebasan berpikir”,
begitulah kiria-kira harapan penulis yang juga pegiat lesbian yang
hari-hari ini begitu dibela media massa nasional dan TV swasta kita.
Baik, mari kita jawab harapan Irshad itu.
Dalam Islam dikenal rukun Iman. Dan Iman kepada Allah merupakan suatu
keyakinan yang sangat mendasar. Tanpa adanya iman kepada Allah
Subhanahu Wata’ala, seorang tidak akan beriman kepada yang lain, seperti
beriman kepada malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul Allah dan hari
kiamat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي
أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ
وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا (١٣٦)
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab Allah yang diturunkan kepada
Rasul-Nya, serta kitab Allah yang diturunkan sebelumnya, Barangsiapa
yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya,Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian maka sesungguhnya
orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (QS: An Nisa : 136)
Pertanyaannya, dalam Al-Quran Surat
Al-A’raf:80-84, juga Surat Hud ayat 82, Allah Subhanahu Wata’ala dengan
tegas melarang perbuatan kaum Luth (homoseksual atau lesbian). Tapi
bagaimana mungkin seseorang mengaku pegian lesbian, masih menyebut diri
beriman? Sementara ia masih melakukan perbuatan-perbuatan yang paling
dibenci Allah SWT?
Dalam Islam juga dikenal istilah khauf (rasa takut kepada
Allah Subhanahu Wata’ala) untuk menggiring hamba-hambaNya menuju ilmu
dan amal agar mereka mendapatkan kedekatan dengan Allah. Khauf (rasa takut) inilah yang mencegah diri dari perbuatan maksiat dan mengikatnya dengan bentuk-bentuk ketaatan.
Rasa takut kepada Allah SWT yang tertanam dalam diri setiap hamba
Dalam proses menuju keimanan, ada tiga pokok ibadah yang tidak boleh
lepas dan ditinggalkan oleh manusia. Pertama hati selalu berzikir, kedua, lidah yang selalu menyampaikan nasihat dan kebenaran, ketiga, tubuh sebagai pelaksana dari amal-amal shalih untuk mencapai keridhaan dan menghadirkan cinta-Nya.
Selain itu, menurut bahasa, Iman artinya percaya (yakin) terhadap
sesuatu. Iman menurut istilah adalah pengakuan di dalam hati, diucapkan
dengan lisan dan dikerjakan dengan anggota badan. Sebagaimana hadits
Nabi, لايمان معرفة بالقلب و قول باللسا ن و عمل بالاركان (رواه الطبران)
Artinya : “Iman adalah pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan.” (HR Thabrani)
Sedang iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala membutuhkan tiga unsur
anggota badan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya; hati, lisan
dan anggota badan. Oleh karena itu, apabila ada seseorang yang mengaku
beriman kepada Allah Subhanahu Wata’a hanya dalam hati, lisan, hati dan
lisan atau anggota badan saja, maka orang tersebut belum bisa dikatakan
orang yang beriman alias batal keimanannya.
Pertanyaanya, apakah layak disebut
beriman, seseorang yang lisannya mengaku beriman kepada Allah Subhanahu
Wata’ala, sedang tubuhnya memilih melanggar dan tidak mau berhenti pada
kemaksiatan?
Dalam banyak bukunya, Irshad Manji mengaku tetap beriman, namun
perbuatannya tetap lebih memilih bermaksiat dengan menuruti hawa
nafsunya dalam memilih sebagai seorang lesbian. Iman apa sesungguhnya
yang ia pakai?
Dalam al-Quran, Allah berfirman dengan tegas;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي
أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah,
Rasul-Nya, dan kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang
Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kufur (mengingkari) Allah,
Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, dan hari akhir, maka ia telah sesat
dengan kesesatan yang nyata.” (QS: anNisaa’: 136).
Karenanya, jika ada orang mengaku beriman, sedang perbuatannya tak
mencirikan bagimana layaknya orang beriman, sesungguhnya semua
amal-amalnya tertolak.
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah (wahai Muhammad) jika kalian mencintai Allah maka
ikutilah Aku niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa
kalian.” (QS: Ali ‘Imron:31)
Irshad Manji berkeliling dunia seolah
ingin mengajarkan pada banyak orang, bahwa menjadi lesbian, di saat yang
sama bisa disebut beriman. Apa landasan yang ia pakai dan dia gunakan?
Rosulullah bersabda: “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan tanpa petunjuk kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR: Muslim)
Empat Syarat Berilmu
Dalam tulisan lain, Kompas juga mengakui, Irshad belajar Islam
sendiri dan mempelajari Al-Quran secara otodidak. Sesungguhnya, bukanlah
sebuah masalah orang belajar sendirian. Yang menjadi masalah, ia
belajar tentang hal-hal penting dalam agama Islam di, sementara di
tengah keterbatasannya dan kejahilan ilmunya itu, ia justru
mengkampanyekan di banyak orang untuk mencari pengikut.
Islam melarang belajar tanpa guru, khususnya belajar masalah berkaitan dengan syariah.
Imam Malik Bin Anas berkata: “Tidak
boleh mengambil ilmu dari empat orang: 1). Orang yang bodoh walaupun
hafalannya banyak (bagaikan orang yang berilmu), 2). Ahlul bid’ah yang
menyeru kepada kesesatannya, 3). Orang yang terbiasa berdusta ketika
berbicara dengan manusia walaupun dia tidak berdusta ketika menyampaikan
ilmunya, dan 4). Orang yang sholeh, mulia dan rajin beribadah jika dia
tidak hafal (dan faham) apa yang akan disampaikan.” (Siyar ‘Alamun Nubala’: 8/61)
Nabi Muhammad mengingatkan: “Barangsiapa yang belajar ilmu hikmah (spiritual) tanpa guru, berarti ia telah menunjuk setan menjadi Gurunya.”
Karenanya, Imam Al-Khotib Al-Baghdadi mengatakan, “Seyogyanya bagi para penuntut ilmu untuk belajar kepada ulama yang ma’ruf akan agama dan amanahnya.” (Al-Faqif Wal Mutafaqqif: 2/96).
Itulah kehati-hatian Islam dalam memandang ilmu dan hokum-hukum Allah Subhanahu Wata’ala.
Masalahnya, bagaimana mungkin seorang
yang belajar agama dan syariah Islam secara otodidak, tanpa seorang guru
(Kompas bahkan menyebutnya belajar Islam hanya melalui perpustakaan)
tanpa melalui orang-orang alim (ulama), tetapi ia kemudian merasa lebih
tau dari para alim-ulama –bahkan—dari Al-Quran itu sendiri. Pantaskah
orang seperti ini mengajari orang tentang hakekat iman?
Ijtihad dan syarat Mujtahid
Hal yang sering disematkan media dan para wartawan pembela paham
liberal kepada orang seperti Irshad Manji adalah julukan sebagai
“seorang yang telah melakukan ‘Ijtihad”.
Ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna “badal al wus” wal
mahud” (pengerahan daya kemampuan), dalam suatu aktivitas dari
aktivitas-aktivitas yang sukar dan berat.
Ibnu Hazm mengatakan; “Ijtihad dalam syariat ialah pencurahan
kemampuan dalam mendapatkan hukum suatu kasus di mana hukum itu tidak
dapat diperoleh.”
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Ijtihad diberlakukan dalam berbagai bidang, mencakup akidah, mu’amalah
(fiqih), dan falsafat.
Hanya saja yang menjadi masalah penting, tidak semua orang, secara tiba-tiba bisa disebut mujtahid atau telah melakukan ijtihad.
Sekurang-kurangnya menurut pakar fikih ada 8 persyaratan yang harus
dipenuhi oleh seorang mujtahid. (Prof. Dr. Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy
menyebutkan 7 syarat penting) di antaranya: Mengetahui segala Ayat dan
Sunnah yang berhubungan dengan hokum (Islam), Mengetahui masalah-masalah
yang telah di ijma`kan oleh para ahlinya, mengetahui Nasakh Mansukh, mengetahui
dengan sempurna bahasa Arab dan ilmu-ilmunya dengan mendalam (nahwu,
sharaf, bayan, ma`anie dan badie), mengetahui Ushul Fiqih, mengetahui
Asrarusysyari`ah (Rahasia-rahasia Tasyri`), mengetahui Qawa`idil Fiqhi
(qaedah-qaedah fiqih yang kulliyah yang diistinbathkan dari dalil-dalil
Kully dan maksud-maksud Syara').
Namun Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat: Pertama; mengetahui
dan menguasai ilmu syara’ (syariah), mampu melihat yang zhanni di dalam
hal-hal yang syara ‘dan mendahulukan yang wajib.
Kedua; adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah).
Menurut
Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila
mempunyai dua sifat: Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan
sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh, Mampu melakukan istimbath
berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at
tersebut.
Dalam Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) seorang aktifis
feminis membanggakannya sosok Irshad Manji sebagai seorang ”lesbian”
yang gigih melakukan “ijtihad”. Dalam artikel berjudul, “Irshad Manji,
Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad” jurnal menulis,”Manji
sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di
Indonesia.”
Pertanyaannya, apakah pantas seorang
yang dalam bukunya banyak “menghina”, Nabi dan perintah Allah Subhanahu
Wata’a, bahkan di saat yang sama ia masih mempraktikkan perbuatan yang
dilarang Allah disebut seorang mujtahid atau orang yang layak melakukan
ijtihad?
Akhirul kalam, pesan ini saya sampaikan kepada media,
penulis dan para wartawan yang membela mati-matian –bahkan ikut
mengundang—orang-orang seperti Irshad Manji mengkampanyekan
kekeliruannya.
Ingatlah, bahwa isyarat atau ucapan yang kita berikan kepada orang yang akan berbuat maksiat, dihukumi sebagai maksiat pula.
ان الإعانة علي المعصية ولو بكلمة او اشارة معصية
“Sesungguhnya membantu kemaksiatan itu termasuk dihukumi
perbuatan maksiat,meskipun hanya dengan satu ucapan atau satu isyarat.” (Bidayatul Hidayah, hal.3)
Irshad bukanlah seorang ulama, pakar fikih, atau orang yang ahli
dalam Islam, yang patut kita jadikan rujukan. Sebaliknya, dengan paham
demokrasi, Barat menyanjungnya, seolah-olah dia tokoh panutan yang
layak mengajari umat Islam tentang cinta, iman dan keyakinan.
Yang menyedihkan, orang-orang yang butuh pengobatan secara serius
seperti Irshad justu didatangkan oleh lembaga-lembaga bernama pers dan
media massa untuk menceramahi 200 juta penduduk Muslim yang sehat
perlilaku dan pikirannya.
Sebuah hadits Nabi mengatakan;
من أَعاَنَ عَلَى مَعْصِيَةٍ وَلَوْ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ كاَنَ شَرِيْكاً فِيْهاَ
“Barangsiapa yang menolong kemaksiatan walaupun hanya dengan setengah kalimat, maka ia telah terlibat dalam maksiat tersebut.” Allahu a'alam bish shawab.
Siapa yang Menanam Dia yang Menuai
MENJADI pengantin
adalah impian setiap pemudi, sedangkan pernikahan adalah cita-cita
setiap pemuda. Bahkan, banyak remaja dan pemuda yang berusaha untuk
mencapainya dengan segala cara sesuai dengan prinsip “menghalalkan
segala cara untuk menggapai tujuan” sekalipun bertentangan dengan aturan
agama Islam, baik dengan mengirim sms kepada pacar, menelpon, kencan
atau chatting lewat internet.
Pada masa sekarang, pemudi yang
menjaga dirinya dan hanya mengenal laki-laki dari keluarganya berpikir
bahwa dia tidak akan bisa menikah. Padahal, terlambat menikah dengan
tetap menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan Allah dapat mendatangkan
keberkahan, bisa jadi Allah menganugerahkan seorang pemuda saleh yang
akan hidup bahagia bersamanya sepanjang hidup.
Sebut saja namanya
Su’ad, ia dikenal seorang muslimah pemalu yang menjaga dirinya, menutup
rapat auratnya, menjalankan syariat agama dengan baik dan mempunyai
akhlak yang mulia. Sehingga, dengan izin Allah dia mendapatkan suami
yang saleh pula.
Su’ad tidak seperti gadis lain yang mengaku
modern dan suka memperlihatkan auratnya, berbicara keras, tersenyum
bahkan berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya tanpa ada rasa
malu sedikit pun.
Pernikahan Su’ad dengan suaminya dilakukan
dengan cara Islami. Selesai melakukan akad dan resepsi pernikahan, kedua
pengantin yang tengah diliputi rasa bahagia itu masuk ke rumah mereka.
Su’ad mempersiapkan makan malam sementara suaminya menunggu di meja
makan. Mereka pun siap untuk menyantap makanan.
Tiba-tiba
terdengar suara pintu diketuk. Karena merasa terganggu dengan suara itu,
sambil marah suami Su’ad mengatakan, “Siapa yang datang jam begini?”
Tanpa diperintahkan suaminya Su’ad berdiri menuju pintu dan bertanya.
“Siapa ini?”
Orang itu menjawab, “Aku pengemis yang butuh makanan.”
Dia kembali ke suaminya yang langsung bertanya, “Siapa itu?”
“Pengemis yang butuh makanan,” jawabnya.
Sang suami menjadi marah dan berkata, “Apakah orang ini yang berani mengganggu waktu istirahat dan malam pertama kita?”
Sang suami membuka pintu lalu memukul pengemis itu dengan keras dan
mengusirnya. Pengemis tersebut pergi dalam keadaan lapar sementara luka
memenuhi jiwa dan tubuhnya dan kehormatannya diinjak-injak.
Setelah
itu sang suami kembali ke istrinya. Perasaan marah kepada pengemis yang
menganggu dia dan istrinya masih ada dalam hati. Tiba-tiba dia seperti
kerasukan jin, sehingga bumi yang luas terasa sempit baginya. Dia lari
keluar rumah sambil berteriak-teriak. Tinggallah Su’ad diliputi rasa
takut, karena sang suami meninggalkannya pada malam pertama dari
pernikahan mereka. Dia tidak menyangka, suami yang terlihat shaleh tega
berbuat demikian kepada seorang pengemis.
Namun itulah kehendak Allah, Su’ad hanya bisa bersabar dan mengharapkan pahala dari sisi Allah Ta’ala.
Buah dari Kesabaran dan Balasan Kezaliman
Lima
belas tahun setelah kejadian tersebut, seorang lelaki datang kepada
orangtua Su’ad untuk meminangnya. Setelah mendapatkan persetujuan dari
Su’ad dan keluarganya, lelaki itu pun melangsungkan pernikahan
dengannya.
Pada malam pertama, di saat pasangan pengantin tengah
duduk untuk menyantap makan malam, tiba-tiba terdengar seseorang
mengetuk pintu. Sang suami mengatakan, “Tolong kamu buka pintu dan tanya
keperluannya.”
Su’ad beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan ke arah pintu.
“Siapa ini?” tanya Su’ad sambil berdiri di belakang pintu.
“Aku pengemis yang butuh makanan,” kata orang itu.
Dia pun kembali ke suaminya.
“Siapa orang itu?” tanya sang suami.
“Pengemis yang butuh makanan,” jawabnya.
Sang suami mengambil makanan yang telah terhidang dan memberikannya kepada Su’ad.
“Bawa semua makanan ini dan biarkan dia makan sampai kenyang, jika bersisa baru kita makan malam,” ujarnya.
Su’ad kemudian membuka pintu dan memberikan makanan itu kepada
pengemis yang tengah kelaparan. Lalu dia kembali ke suaminya sambil
menangis.
“Ada apa denganmu? Kenapa kamu menangis? Apa yang terjadi? Apakah dia mencacimu?” tanya sang suami kebingungan.
Dengan berlinang air mata Su’ad menjawab, “Tidak.”
“Apakah dia menghinamu?”
“Tidak.”
“Apakah dia menyakitimu?”
“Tidak.”
“Lalu apa yang membuatmu menangis?”
Su’ad menjawab, “Orang yang duduk di depan pintu rumahmu dan makan
makananmu itu adalah suamiku lima belas tahun lalu. Pada malam pertama
pernikahanku, ada seorang pengemis yang mengetuk pintu meminta makanan.
Dia membuka pintu lalu memukul dan mengusir pengemis itu. Kemudian dia
kembali kepadaku dalam keadaan marah. Namun tiba-tiba dia seperti
kerasukan jin atau setan, bahkan aku menyangka dia gila ketika itu. Lalu
dia keluar rumah sambil mengoceh tak menentu. Dia pun pergi entah
kemana. Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi kecuali malam ini.”
Tak dinyana, setelah mendengar cerita Su’ad suaminya pun menangis. Su’ad dengan penuh keheranan bertanya kepadanya,
“Apa yang membuatmu menangis?”
“Tahukah kamu siapa orang yang dipukul suamimu malam itu?”
“Siapa dia?”
“Orang itu adalah aku.”
Subhanallah, Mahasuci Allah Yang Maha Perkasa dan Memberikan
balasan baik kepada hamba miskin yang mendatangi sebuah rumah untuk
meminta makanan, sementara lapar tengah menyerangnya hebat. Namun betapa
pedih hatinya ketika tuan rumah memukul dan mengusirnya.
Sungguh Allah tidak menyukai kezaliman dan orang-orang yang berbuat
zalim. Maka Dia menurunkan azab-Nya kepada orang yang berbuat jahat dan
memberikan pahala kepada orang yang sabar. Dunia dua orang itu pun
menjadi terbalik. Lelaki pengemis menjadi kaya karena kesabarannya,
sementara lelaki zalim itu gila dan kehilangan hartanya, sehingga dia
menjadi pengemis.
Mahasuci Allah lagi Maha Mulia yang telah mengaruniakan rezeki kepada
seorang wanita muslimah yang bersabar selama 15 tahun berupa suami yang
lebih baik dari yang sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan adapun
orang yang beriman dan melakukan kebajikan, maka Dia akan memberikan
pahala kepada mereka dengan sempurna. Dan Allah tidak menyukai orang
zalim.” (QS. Ali ‘Imran: 57).*/Diterjemahkan oleh Yum Roni Askosendra, dikutip dari “Qishash Mu`ts-tsirah Jiddan Jiddan Lil Fatayat, Ishom Abu Muhammad”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar