Powered By Blogger

Selasa, 01 Mei 2012

IBADAH


Iman dan Amal Shaleh


Sebagai agama yang sempurna, Islam sangat memperhatikan bukan hanya hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT secara vertikal, tetapi juga yang berhubungan dengan sesama manusia secara horizontal. Hal ini terlihat dari doktrin iman dan amal saleh.

Kedua konsep ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena apabila salah satu dari keduanya tiada maka kesempurnaan dari salah satunya akan berkurang. Iman tanpa amal itu hampa sedangkan amal tanpa iman itu percuma. Iman adalah fondasi sedangkan amal adalah implementasi.

Hal ini terlihat dari sabda Nabi SAW: “Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman.” (HR. Ath-Thabrani).

Dalam hadis lain, Nabi bersabda; “Celaka orang yang banyak zikrullah dengan lidahnya tapi bermaksiat terhadap Allah dengan perbuatannya.” (HR. Ad-Dailami). Kesatuan konsep iman dan amal ini tergambar dari ayat-ayat Alquran. Di dalam Alquran, Allah SWT sering kali menggandengkan kata iman dengan amal saleh.

Seperti dalam firman-Nya: “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah [2]: 82).

Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR Muslim).

Hadis ini dengan jelas memperlihatkan bahwa ada hubungan sebab-akibat antara iman dan amal. Apabila seseorang memiliki keimanan (kepada Allah dan hari kiamat) maka hendaklah ia beramal shaleh, dalam hal ini hendaklah ia berbuat baik kepada tetengganya, memuliakan tamunya, dan berkata baik atau diam.

Doktrin iman dan amal shaleh ini juga mencerminkan bahwa Islam bukan hanya mementingkan urusan pribadi (keshalehan individual) tetapi juga sangat peduli dengan urusan sosial (keshalehan sosial). Seorang manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang teguh imannya dan banyak amal salehnya.





Kunci Perubahan



Syekh Muhammad Ghazali, ulama dan pemikir Islam asal Mesir, mengatakan, “Sesungguhnya rasa aman, damai, dan sejahtera adalah kekuatan yang memberikan cahaya kepada akal untuk berpikir dengan tenang dan kontinu. Karena terkadang, pemikiran tersebut mampu mengubah perjalanan sejarah.”

Banyak orang yang berasumsi bahwa mereka akan sukses dalam hidup ini atau nasib hidupnya akan berubah lebih baik jika ia pindah dari tempat tinggalnya. Artinya, mereka mengikatkan kesuksesannya dengan perubahan tempat dan keadaan. Sungguh, asumsi tersebut adalah salah. Karena, sejatinya yang harus diubah adalah akal yang digelantungi pemikiran, bayangan kelam masa lalu, dan asumsi kekhawaritan masa depan. Selagi akal kita masih berpola pikir seperti itu, perubahan yang ada tidak memiliki pengaruh apa-apa.

“Kamu tidak akan pernah mampu menyelesaikan problematika yang ada selagi pola pikirmu tidak ada perubahan,” demikian petuah orang bijak. Dan, Allah SWT telah menegaskan kepada kita yang diabadikan di dalam Alquran bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum atau seseorang kecuali mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS ar-Ra’du [13]: 11).

Ini artinya, kunci perubahan hidup seseorang ke arah yang lebih baik terletak di dalam dirinya, bukan terletak pada tempat tinggal atau dalam lingkungan yang mengelilinginya. Karena manusia hanyalah produk pemikiran dan keyakinannya. Di samping itu, perilaku dan sikap seseorang bersumber dari akalnya.

Memang tidak dimungkiri bahwa perubahan lingkungan terkadang membawa sebuah kebaikan, tetapi hanya bersifat temporal atau kebetulan. Karena, perubahan ini hanya di permukaan tidak dari akarnya. Juga tak sedikit perubahan tempat hanya sebuah sikap pelarian dari berbagai rintangan serta tantangan dan menjauhi problematika yang ada.

Karena itu, kita mesti mengubah pola pikir dan keyakinan. Kita harus memakai baju keoptimisan dan kebulatan tekad serta husnudzan kepada Allah. Empaskan bayangan kelam masa lalu dan kekhawatiran pada masa depan dari jiwa. Kita harus mulai menghadapi arus kehidupan ini dengan hati yang besar dan akal yang jernih tanpa takut dengan kekalahan ataupun kegagalan. Bukankah di balik kegagalan ada pengalaman yang berharga, dan bukankah pengalaman itu guru yang paling baik?

Sungguh, orang yang tidak mampu mengubah pola pikirnya, maka dia tidak akan mampu mengubah sesuatu apa pun, kapan pun, dan di mana pun ia berada. Tongkat yang bengkok tak mungkin menghasilkan bayangan yang lurus. Hanya dari muara hati yang suci dan akal yang jernih yang melahirkan jiwa-jiwa jujur, tangguh, bertanggung jawab, dan siap melakukan pengorbanan apa pun demi kemaslahatan sesama.







Mempererat Tali Kerukunan


Tindakan anarkis serta kekerasan pada masyarakat sepertinya sudah menjadi cara akhir dalam menyelesaikan segenap permasalahan. Padahal, jika kita renungkan, permasalahan yang terjadi hanya dipicu oleh persoalan sepele.

Memang jika kita jujur, tindak kekerasan terjadi di kota-kota besar dan bahkan di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Baik yang terjadi di masyarakat sipil, Aparat Kepolisian hingga Aparat Negara. Yang kita takutkan adalah, mengutip Ariyanto Nurcahyono dalam artikel ”Kekerasan sebagai fenomena budaya”, yang sangat mengkhawatirkan tindakan kekerasa sudah dianggap suatu kewajaran.

Gejala ini terlihat ketika mayoritas media massa kita senang menayangkan tema-tema kekerasan. Kecenderungan itu berlangsung secara terus-menerus dan setiap saat maka akibatnya manusia menjadi tidak peka bahkan menjadi mati rasa terhadap gejala serta prilaku kekerasan. Ditambah masih adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap Aparat Penegak Hukum.

Jadi cara main ’hakim sendiri’ yang kian marak di masyarakat kita merupakan gejala yang sangat mengkhawatirkan. Padahal ketika masyarakat sudah menganggap wajar tindakan kekerasan maka itu harus dilihat sebagai gejala krisis sosial, krisis kemanusiaan, dan krisis moralitas.

Satu hal yang mungkin dapat dipakai untuk pokok bahan renungan kita semua tanpa kecuali rasa persaudaraan sesama anak bangsa saat ini sudah memudar. Ikatan-ikatan persaudaraan sesama anak bangsa sedikit demi sedikit kian hilang. Egoisme dan fanatisme sempit kian menguat. Sehingga memporak-porandakan ikatan persaudaraan antar sesama warga.

Tali persaudaraan akan tercapai apabila jalinan persaudaraan sesama warga, mahluk ciptaan Allah SWT, terbina. Persaudaraan yang dimaksud bukan hanya sebatas antar sesama muslim akan tetapi dengan seluruh warga masyarakat yang boleh jadi sangat plural. Maka sikap terbuka dan toleran menjadi sebuah keniscayaan. Sebuah ungkapan yang populer namun sering mendapat pemaknaan yang keliru adalah ukhuwah Islâmiyyah. Ungkapan ini sering dipahami sebagai “persaudaraan antar sesama muslim”. Hal ini jelas tidak sesuai dengan Alquran.

Persaudaraan yang diajarkan Alquran tidak sebatas sesama Muslim, namun juga ukhuwah ‘ubudiyyah (persaudaraan dalam ketundukan kepada Allah), ukhuwah insāniyyah/basyariyyah (persaudaraan antar sesama manusia), ukhuwah wathaniyyah wa al-nasab (persaudaraan sebangsa dan seketurunan) dan ukhuwah fÄ« dÄ«n al-Islām (persaudaraan antar sesama). Agar tercipta suatu masyarakat rukun ialah yang terpenting adalah peranan dari pemerintah langsung dan partisipasi masyarakat itu sendiri sehingga terciptanya suatu konsep masyarakat ideal.

Masyarakat rukun juga dipahami segenap tingkah laku manusia yang dianggap sesuai; tidak melanggar norma-norma umum dan adat istiadat serta terintegrasi langsung dengan tingkah laku umum, dan terpenting tidak adanya kekerasan di ranah publik.

Dalam konteks membangun kehidupan masyarakat sipil yang berahlak mulia  dengan prinsip saling menghormati dan saling menghargai adalah dengan mengakui adanya perbedaan suku, agama, keyakinan, etnis dan latarbelakang masyarakat itu sendiri. Termasuk juga menghargai cara pandang dan cara pikir antar satu masyarakat dengan masyarakat lain. Meski berbeda-beda, tetap satu.

Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan dan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan serta mendukung keberadaan dan berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Pendidikan multikultural di sini sangat penting, agar rasa fanatisme tidak berkembang di tengah-tengah masyarakat. Karena patut kita akui, rasa fanatisme berlebihan itu kerap menimbulkan sesama warga saling ejek, saling merendahkan. Akibatnya, terjadi tindak kekerasan yang berujung pada kerusuhan. Rasa fanatisme boleh saja, asal diimplementasikan dalam bentuk karya kreativitas. Misalnya, dengan membuat kerajinan, atau produk-produk unggulan lainnya.

Tentunya melalui pendidikan multikulturalisme menjadi suatu kebutuhan. Pemberian materi-materi multikulturalisme di setiap sekolah bisa menjadi pintu masuk untuk memperkuat fondasi dan ideologi multikulturalisme. Pelajaran multikulturalisme di sekolah-sekolah juga sebagai pencegah terjadinya konflik sosial antar sukubangsa dan tindak kekerasan yang berbau etnis ataupun berbau organisasi etnis. Sehingga warga memiliki kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara, sebagai warga sukubangsa dan kebudayaannya








Menyembunyikan Kebenaran Ilahi


Allah SWT menurunkan risalah Islam kepada manusia mulai dari Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW dalam bentuk kitab-kitab suci dan suhuf-suhuf, semata-mata hanya untuk kemaslahatan manusia. Dengan kata lain, Allah SWT sama sekali tidak punya kepentingan apakah risalahnya itu ditaati atau tidak, manusia diberi hak sepenuhnya untuk memilih antara beriman atau kufur (al-Kahfi: 29).

Bagi yang memilih beriman, Allah SWT memperingatkan, “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah daripada Kitab dan menukarnya dengan harga yang murah.” (al-Baqarah: 174). Peringatan ini mengisyaratkan bahwa pasti akan ada manusia yang berusaha menyembunyikan kebenaran Allah.

Kata yaktumuuna (menyembunyikan) mengandung pengertian sesuatu itu sudah ada terlebih dulu lalu dicoba disembunyikan, yang dalam konteks ayat ini adalah ‘kebenaran yang datang dari Allah’. Konotasi ‘menyembunyikan’ juga bisa diartikan sebagai sebuah rekayasa perlawanan, seolah-seolah yang datang bukan kebenaran yang sesungguhnya. Misalnya, yang datang kebenaran A, tapi yang dimunculkan B.

Dahulu para rasul selalu dihadapkan dengan keberadaan manusia-manusia semacam ini sehingga akhirnya tidak ada kitab suci selain Alquran yang bisa dipertahankan kesuciannya. Mereka tidak sekadar adh dhal (orang yang sesat), tapi al mudhillu (sesat dan menyesatkan). Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa ketika Alquran diturunkan, Allah SWT tidak lagi menyerahkan kepada manusia untuk menjaganya (al-Hijr: 9).

Kendati Alquran dijaga langsung oleh Allah SWT sehingga kesuciannya akan tetap terjaga sampai kiamat, sebagian dari kebenaran Alquran tetap ‘tersembunyi’ bagi mayoritas Muslim yang awam. Semua ini terjadi karena sebagian ulama mengungkapkan, para dai sudah enggan mengangkat kebenaran-kebenaran Alquran yang memang sangat  bertentangan dengan kebatilan yang sedang dinikmati oleh mayoritas mereka yang berkuasa.

Mereka sembunyikan kebenaran ayat-ayat Alquran lewat bahasa verbal mereka dengan menyatakan bahwa Alquran sudah tidak relevan untuk kehidupan masa kini. Hukum potong tangan bagi pencuri, qisas bagi pembunuh, rajam atau cambuk bagi pezina adalah bertentangan dengan hak asasi manusia. Sudah sangat langka yang membahas ayat-ayat jihad karena takut dituduh ‘mbahnya’ teroris ataupun radikal.

Paling tidak ada empat ancaman bagi orang-orang yang menyembunyikan kebenaran Allah dan menjualnya dengan harga yang murah. Pertama, tindakan mereka tak ubahnya dengan menyiapkan bara api neraka sepenuh perut mereka. Allah mengancam mereka akan menjadi penghuni neraka jahanam. Kedua, Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat. Ketiga, Allah SWT tidak akan pernah menyucikan mereka dari kekufuran dan dosa yang mereka perbuat. Keempat, siksa yang teramat pedih. Na’udzu billah min dzalik! Wallahu a’lam bish shawab.



Pengendalian Diri



Memperhatikan fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, di mana seringnya dikabarkan bentrokan massa, penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, sampai pada kabar kecelakaan kendaraan bermotor, patutlah kita merenung sejenak. Mengapa hal ini bisa terjadi di tengah masyarakat kita? Sudah tidak adakah kontrol diri di dalam pribadi masing-masing bangsa ini?

Mempertanyakan akan pengendalian diri adalah hal yang sangat penting, mengingat hanya dengan ada pengendalian dirilah seseorang akan dapat mengendalikan hati, pikiran, jiwa, dan raganya sehingga ia akan senantiasa berada dalam keselamatan dan kedamaian. Dan sebaliknya, tanpa adanya pengendalian diri maka seseorang akan mudah terjatuh ke dalam segala bentuk kecelakaan dan kehinaan.

Dalam Islam, derajat tertinggi manusia itu muttaqun (orang yang bertakwa). Kata takwa sendiri dalam arti bahasa adalah wiqayah al-nafs (penjagaan diri), yaitu pengendalian diri dari segala hal yang mencelakakan dan menjerumuskan.

Hal ini tecermin dari satu riwayat yang menceritakan bahwa suatu ketika Khalifah Umar bin Khatab ra bertanya kepada sahabat Ubai Ibnu Ka'ab ra tentang takwa. Maka, berkatalah Ubai kepada Umar, “Pernahkah engkau melewati jalan yang penuh duri?”

“Ya, Pernah,” jawab Umar.

Ubai bertanya lagi, “Apa yang Anda lakukan saat itu?”

Umar menjawab, “Saya akan berjalan dengan sungguh-sungguh dan berhati-hati sekali agar tak terkena duri itu.”

Lalu Ubai berkata, “Itulah takwa,” (Riwayat Ibn Katsir).

Allah SWT memang memberikan dua potensi kepada jiwa manusia, yaitu potensi untuk berbuat baik dan potensi untuk berbuat jahat. Orang yang beruntung dan selamat adalah orang yang mampu menyucikan dirinya dari potensi jahat tersebut. Dalam arti lain, orang tersebut mampu mengendalikan dan menjaga dirinya dari segala macam godaan dan tipu daya setan.

Sebaliknya, sungguh merugi dan celakalah orang yang tidak bisa melepaskan diri dari potensi buruknya dan justru malah mengotorinya dengan berbagai macam dosa dan maksiat. Allah SWT berfirman, “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS al-Syams: 7-10).

Bentuk-bentuk kejadian yang disebutkan di atas adalah gambaran dari tidak adanya pengendalian diri dari para pelakunya. Seseorang tidak mungkin akan tega menganiaya, memperkosa, atau membunuh orang lain, apa pun alasannya, kalau dia masih bisa mengendalikan dirinya. Dan, ingatlah menahan amarah, memaafkan orang lain, dan berbuat kebaikan di muka bumi adalah ciri orang yang bertakwa dan imbalannya adalah ampunan dan surga-Nya (QS Ali Imran: 133-134).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar