Powered By Blogger

Selasa, 01 Mei 2012

IBADAH


Hidup Bertawakal



“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS al-Maidah (5): 23). Di tengah bahtera kehidupan yang terus bergelombang dan tidak pernah surut dari berbagai problematikanya, kita perlu memiliki sebuah pegangan dan ‘navigasi’ yang mengantarkan kita pada pulau tujuan.

Sebagai insan Muslim hendaknya memiliki komitmen dan prinsip hidup. Apa pun lapangan usaha yang ditekuni, bidang keilmuan yang dikaji, maupun aspek kehidupan yang dijalani, setiap Muslim tetap berusaha dan berupaya. Kekuatan yang terpendam dalam setiap diri seorang Muslim ialah potensi besar yang dimiliki dan harus digali.

Memaksimalkan kemampuan diri mengarah pada upaya memaksimalkan ikhtiar kita. Inilah yang Allah sebutkan dalam QS ar-Ra’d ayat 11. Tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah Ta’ala setelah melakukan usaha secara maksimal. Itu bermakna dalam hidup kita tidak ada suatu tindakan atau perbuatan yang tidak memiliki dasar yang jelas. Semua hal dilakukan karena adanya unsur perintah dan meninggalkan segala hal karena memang jelas adanya unsur larangan.

Memaknai tawakal diperlukan pemahaman bahwa terdapat ikatan yang kuat antara manusia sebagai makhluk dan Allah sebagai Sang Pencipta. Ikatan yang berimplikasi pada adanya hubungan ini mestinya dijalin dengan baik oleh manusia. Dengan demikian, pada klimaks usaha yang dilakukan seseorang tetap saja kembali ke muara segala sesuatu, yaitu Allah. Pasrah secara total kepada-Nya.

Kita bersikap menerima dengan ikhlas atas segala yang diberikan Allah Ta’ala dari usaha yang dilakukan. Ini adalah kenyataan yang berat dalam hidup kita. Sebab, yang sering terjadi pada kita adalah selalu menanggapi hal-hal yang tidak mengenakkan dalam hidup kita dengan mengeluh. Kita betul-betul merasa berat ketika mendapat ujian dan cobaan yang, menurut kita, tidak mengenakkan karena cenderung merepotkan atau menyusahkan.

Kita perlu menyadari bahwa manusia tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang dikehendakinya. Yang diperbolehkan hanyalah rencana-rencana manusiawi. Meski demikian, sesegera mungkin kembali menyadari bahwa segala yang terjadi merupakan kewenangan Allah Ta’ala. Alquran menyebutkan dengan tegas dan jelas, “Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS al-Ahzab (33):38).

Tawakal perlu dipupuk, diutamakan, dan diperjuangkan. Karena sedemikian pentingnya tawakal dalam hidup, hingga kita perlu mengetahui bagaimana cara bertawakal, yaitu merasa cukup terhadap apa yang didapat dan dimiliki, tetap meningkatkan usaha agar lebih baik, membiasakan bersyukur kepada Allah atas pemberian-Nya, mengawali pekerjaan dengan niat ibadah, menyadari bahwa manusia memiliki banyak kekurangan, dan menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan Allah setelah melakukan ikhtiar/usaha. Obat yang paling mujarab untuk mengatasi berbagai masalah hidup adalah membiasakan diri bertawakal kepada Allah Ta’ala. Dalam kehidupan kita, tawakal berfungsi mengurangi tekanan batin/jiwa, terhindar dari kecewa dan stres berat, juga meringankan langkah dalam menjalani hidup sehari-hari. Kita adalah manusia. Kewajiban kita adalah berusaha. Masalah keputusan—berhasil atau gagal—tetap di tangan Allah Ta’ala. Dia Yang Mahakuasa akan memutuskan sebatas yang dikehendaki sesuai dengan usaha yang dilakukan manusia





Restu Ibu, Kunci Kemudahan Hidup


Libur musim panas adalah masa yang paling ditunggu-tunggu mahasiswa. Selama tiga bulan para mahasiswa akan menikmati libur bersama keluarga. Sebulan sebelum libur, bagian kemahasiswaan universitas sudah membagikan formulir. Setiap mahasiswa dipersilakan menuliskan rute perjalanan masing-masing, mulai dari  Bandara Riyadh sampai bandara terdekat dari kota tempat berdomisili. Seperti halnya seluruh kampus di Arab Saudi, Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Sa’ud Riyadh memberikan tiket gratis pulang pergi ditambah dengan uang saku sebanyak beasiswa tiga bulan.

Sudah dua musim panas sahabat yang akan kita ceritakan ini—sebut saja namanya Yunis-- libur ke Tanah Air. Libur tahun ini, dia ingin mengunjungi Eropa. Mumpung sudah dekat, kalau dari Tanah Air, entah kapan dia bisa mengunjungi Eropa. Berdasarkan pengalaman teman-teman sebelumnya, yang penting selama berkunjung ke Eropa ada tempat penginapan gratis.

Atas rekomendasi seorang senior yang pernah berdakwah ke Eropa, Perhimpunan Pelajar Muslim Eropa di Berlin Barat bersedia mengundang Yunis berdua dengan temannya Yusuf memberikan pengajian selama Ramadhan di Berlin Barat, ditambah khutbah Idul Fitri. Penginapan, makan minum, dan tiket domestik ditanggung PPME.

Berbekal surat undangan dari PPME, Yunis ditemani Yusuf dengan optimistis pergi ke Bandara Riyadh, mengurus rute perjalanan. Tapi di luar dugaan, petugas Arab Saudi menolak permintaannya. Bahkan, dengan ketus mengatakan, “Mafi tahwil! Tiket diberikan universitas kepada saudara untuk pulang ke Tanah Air mengunjungi keluarga, bukan untuk libur ke Eropa.” Yunis menunjukkan surat undangan dakwah dari PPME, tapi petugas sama sekali tidak mau melihatnya. Dengan langkah gontai mereka kembali ke asrama.

Malamnya, Yunis merenung sambil introspeksi. Apa kesalahannya, mengapa saat gilirannya, pihak Arab Saudi tidak mengizinkan, sementara teman-teman lainnya lancar-lancar saja. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Astaghfirullah! Bukankah aku belum pernah minta izin sama ibu di rumah? Beliau pasti menunggu-nunggu kepulangan putranya di waktu liburan.” Segera dia tulis surat minta restu ibunya. Besok pagi-pagi surat itu segera diposkannya.

Tanpa memberitahukan Yusuf tentang surat itu, mereka berdua kembali ke bandara, mencoba lagi mengurus perubahan rute tiket. Alhamdulillah, petugas Saudia menyambutnya dengan ramah. Tiketnya dapat diubah dengan rute baru: Riyadh-Jeddah-Frankfurt-Denhaag-London-Paris-Roma-Jeddah-Riyadh. Bahkan, petugas Arab Saudi memujinya karena bersedia mengorbankan musim libur untuk berdakwah di Eropa. Yunis berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada petugas itu. “Jazakallah khair,” katanya dengan penuh kegembiraan.

Sahabat kita yakin, Allah SWT memberikan kemudahan kepadanya karena restu ibu, sekalipun surat itu pasti belum sampai ke tangan sang ibu. Allah Yang Mahakuasa yang telah menyampaikannya ke dalam hati sang ibu.





Inilah Tiga Moral Kepemimpinan Rasulullah SAW


Sejak pengujung abad yang lalu hingga sekarang, diskursus mengenai pemimpin atau kepemimpinan mencuat ke permukaan. Ada dua penyebabnya. Pertama, banyak pemimpin dalam berbagai bidang terlibat pelanggaran moral. Kedua, mungkin karena usianya yang makin menua, dunia kita sekarang tak kuasa lagi melahirkan pemimpin-pemimpin besar (great leader) seperti pada masa-masa terdahulu.

Kenyataan ini dikeluhkan oleh Jeremie Kubicek (2011) dalam bukunya yang kontroversial, “Leadership is Dead: How Influence is Riviving it” (kepemimpinan telah mati: bagaimana pengaruh yang merupakan inti kepemimpinan bisa dihidupkan kembali). Dikatakan, pemimpin sekarang lebih banyak menuntut (getting), bukan memberi (giving), menikmati (senang-senang), bukan melayani (susah-payah), dan banyak mengumbar janji, bukan memberi bukti.

Dalam fikih politik Islam, moral yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan pemimpin adalah kemaslahatan bangsa. Dikatakan tasharruf al-imam `ala al-ra`iyyah manuthun bi al-mashlahah (tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh kepentingan atau kemaslahatan umum). Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan bangsa, bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata.

Kaidah ini diturunkan dari moral kepemimpinan Nabi SAW seperti disebutkan dalam Alquran. Firman Allah, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS al-Taubah [9]: 128).

Ada tiga sifat (moral) kepemimpinan Nabi SAW berdasarkaan ayat di atas. Pertama, azizin alaihi ma anittum (berat dirasakan oleh Nabi penderitan orang lain). Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sense of crisis, yaitu kepekaan atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.

Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Empati dengan sendirinya mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun material, untuk mengurangi derita orang yang mengalami kesulitan.

Kedua, harishun `alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain aman dan sentosa). Dalam bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat yang mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa meraih kemajuan. Tugas pemimpin, antara lain, memang menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan politik menuju cita-cita dan harapan itu.

Ketiga, raufun rahim (pengasih dan penyayang). Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nabi Muhammad SAW adalah juga pengasih dan penyayang. Orang-orang beriman wajib meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul itu dengan mencintai dan mengasihi umat manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik. Kata Nabi, “Orang yang tak memiliki kasih sayang, tak bisa diharap kebaikan darinya.”

Bagi ulama besar dunia, Rasyid Ridha, tiga moral ini wajib hukumnya bagi pemimpin. Karena, tanpa ketiga moral ini, seorang pemimpin, demikian Ridha, bisa dipastikan ia tidak bekerja untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya saja. Maka, betapa pentingnya moral pemimpin. Wallahu a`lam!




Zammilunie... Zammilunie...''



"Zammilunie, zammilunie! (Selimutilah aku, selimutilah aku)," pinta Rasululullah  SAW kepada sang kekasih Khadijah binti Khuwailid.

Adrenalin yang tidak karuan, ketakutan yang amat sangat, serta gundah-gulana mendera manusia ma'sum yang perkataannya adalah hujjah, Muhammad SAW, tak lama setelah mendapat wahyu dari Allah melalui perantara Malaikat Jibril di Gua Hira.

"Fa zammaluhu hatta dzahaba 'anhu arrou 'u", maka Khadijah segera menyelimuti Rasulullah SAW sampai ketakutannya itu hilang. Betapa salehahnya sang istri menyelimuti suaminya dengan segala kelembutan dan kasih sayang.

Terdapat pelajaran yang menarik dari kalimat di atas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari itu, bahwasanya ketakutan dapat diringankan bahkan dihilangkan dengan berselimut.

"Laqod Khosyitu 'ala nafsie, (Sungguh,aku menghawatirkan diriku (akan binasa)," ujar Nabi SAW kepada Khadijah. Dan simaklah bagaimana perkataan seorang wanita salehah yang diciptakan untuk pria yang saleh itu. "Kalla! wa llahi ma yukhzika 'llah abadan! (Sekali-kali tidak! Demi Allah! Allah tidak akan merendahkanmu selamanya," ujar Khadijah.

"Sungguh engkau telah menyambungkan tali persaudaraan, engkau telah memikul beban orang lain, engkau suka mengusahakan keperluan orang yang tak punya, menjamu tamu dan senantiasa membela kebenaran," tutur Khadijah.

"Ma ajmala hadza alkalam!" Betapa indahnya perkataan ini, motivasi yang menghidupkan hati-hati yang layu, membangkitkan derap langkah yang sempat terhenti,l antas  adakah yang lebih indah dari senyuman dan motivasi sang istri dikala gundah?  Dan itulah yang dicontohkan oleh wanita salehah yaitu  Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi SAW yang merupakan sohabiyat (sahabat dari kalangan perempuan)

Para suami bukanlah seorang yang selalu teguh di setiap saat. Ada kalanya saat kelemahan, kelesuan nan gundah melanda, karena begitulah manusia. Berita PHK, dagangan yang kurang laku di pagi hari, penumpang yang tak kunjung datang , marahnya atasan, bawahan yang kurang baik, karya yang tidak dihargai, dakwah haq yang dimusuhi dan pelbagai masalah kerap membuat kepulangan di sore hari menuju rumah dibarengi dengan dagu yang tunduk, ditambah suasana hati yang tidak karuan.

Lantas adakah Khadijah–Khadijah di era globalisasi ini yang akan menenangkan suaminya dengan kata-kata indahnya? Ataukah yang ada hanya ucapan, "suami payah", "begitu saja tidak bisa", atau kata  "bodoh", yang akan menyambut hati suami yang galau?

Tentu saja ada. Dan selalu akan ada. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Akan sentiasa ada satu golongan (kelompok) dari umatku yang muncul terang-terangan di atas kebenaran, tidak membahayakan orang-orang yang bermusuhan kepada mereka sehingga tiba urusan Allah dan mereka dalam keadaan demikian”. (H/R Bukhari, 6/632. Muslim, 3/1523)

Dan tentulah yang mendapatkan Istri yang berjalan di atas sunnah (jalan) nabi adalah para suami yang berjalan di atasnya pula. Begitu pula sebaliknya. Suami yang baik akan didapat oleh wanita yang baik.

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)." (QS An-Nurr: 26)

Wallahu ta'ala a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar