Powered By Blogger

Sabtu, 14 April 2012

OASE IMAN

Kisah Seorang Yahudi yang Mengislamkan Jutaan Orang



SI SUATU tempat di Prancis sekitar lima puluh tahun yang lalu, ada seorang berkebangsaan Turki berumur 50 tahun bernama Ibrahim. Ia adalah orangtua yang menjual makanan di sebuah toko makanan. Toko tersebut terletak di sebuah apartemen di mana salah satu penghuninya adalah keluarga Yahudi yang memiliki seorang anak bernama "Jad" berumur 7 tahun.

Jad, si anak Yahudi Hampir setiap hari mendatangi toko tempat di mana Ibrahim bekerja untuk membeli kebutuhan rumah. Setiap kali hendak keluar dari toko –dan Ibrahim dianggapnya lengah– Jad selalu mengambil sepotong cokelat milik Ibrahim tanpa seizinnya.

Pada suatu hari usai belanja, Jad lupa tidak mengambil cokelat ketika mau keluar, kemudian tiba-tiba Ibrahim memanggilnya dan memberitahu kalau ia lupa mengambil sepotong cokelat sebagaimana kebiasaannya. Jad kaget, karena ia mengira bahwa Ibrahim tidak mengetahui apa yang ia lakukan selama ini. Ia pun segera meminta maaf dan takut jika saja Ibrahim melaporkan perbuatannya tersebut kepada orangtuanya.

"Tidak apa, yang penting kamu berjanji untuk tidak mengambil sesuatu tanpa izin, dan setiap saat kamu mau keluar dari sini, ambillah sepotong cokelat, itu adalah milikmu”, ujar Jad sebagai tanda persetujun.

Waktu berlalu, tahun pun berganti dan Ibrahim yang seorang Muslim kini menjadi layaknya seorang ayah dan teman akrab bagi Jad si anak Yahudi

Sudah menjadi kebiasaan Jad saat menghadapi masalah, ia selalu datang dan berkonsultasi kepada Ibrahim. Dan setiap kali Jad selesai bercerita, Ibrahim selalu mengambil sebuah buku dari laci, memberikannya kepada Jad dan kemudian menyuruhnya untuk membukanya secara acak. Setelah Jad membukanya, kemudian Ibrahim membaca dua lembar darinya, menutupnya dan mulai memberikan nasehat dan solusi dari permasalahan Jad.

Beberapa tahun pun berlalu dan begitulah hari-hari yang dilalui Jad bersama Ibrahim, seorang Muslim Turki yang tua dan tidak berpendidikan tinggi.

14 Tahun Berlalu

Jad kini telah menjadi seorang pemuda gagah dan berumur 24 tahun, sedangkan Ibrahim saat itu berumur 67 tahun.

Alkisah, Ibrahim akhirnya meninggal, namun sebelum wafat ia telah menyimpan sebuah kotak yang dititipkan kepada anak-anaknya di mana di dalam kotak tersebut ia letakkan sebuah buku yang selalu ia baca setiap kali Jad berkonsultasi kepadanya. Ibrahim berwasiat agar anak-anaknya nanti memberikan buku tersebut sebagai hadiah untuk Jad, seorang pemuda Yahudi.

Jad baru mengetahui wafatnya Ibrahim ketika putranya menyampaikan wasiat untuk memberikan sebuah kotak. Jad pun merasa tergoncang dan sangat bersedih dengan berita tersebut, karena Ibrahim-lah yang selama ini memberikan solusi dari semua permasalahannya, dan Ibrahim lah satu-satunya teman sejati baginya.

Hari-haripun berlalu, Setiap kali dirundung masalah, Jad selalu teringat Ibrahim. Kini ia hanya meninggalkan sebuah kotak. Kotak yang selalu ia buka, di dalamnya tersimpan sebuah buku yang dulu selalu dibaca Ibrahim setiap kali ia mendatanginya.

Jad lalu mencoba membuka lembaran-lembaran buku itu, akan tetapi kitab itu berisikan tulisan berbahasa Arab sedangkan ia tidak bisa membacanya. Kemudian ia pergi ke salah seorang temannya yang berkebangsaan Tunisia dan memintanya untuk membacakan dua lembar dari kitab tersebut. Persis sebagaimana kebiasaan Ibrahim dahulu yang selalu memintanya membuka lembaran kitab itu dengan acak saat ia datang berkonsultasi.

Teman Tunisia tersebut kemudian membacakan dan menerangkan makna dari dua lembar yang telah ia tunjukkan. Dan ternyata, apa yang dibaca oleh temannya itu, mengena persis ke dalam permasalahan yang dialami Jad kala itu. Lalu Jad bercerita mengenai permasalahan yang tengah menimpanya, Kemudian teman Tunisianya itu memberikan solusi kepadanya sesuai apa yang ia baca dari kitab tersebut.

Jad pun terhenyak kaget, kemudian dengan penuh rasa penasaran ini bertanya, "Buku apa ini?"

Ia menjawab, "Ini adalah Al-Qur'an, kitab sucinya orang Islam!"

Jad sedikit tak percaya, sekaligus merasa takjub,

Jad lalu kembali bertanya, "Bagaimana caranya menjadi seorang muslim?"

Temannya menjawab, "Mengucapkan syahadat dan mengikuti syariat!"

Setelah itu, dan tanpa ada rasa ragu, Jad lalu mengucapkan Syahadat, ia pun kini memeluk agama Islam!

Islamkan 6 juta orang

Kini Jad sudah menjadi seorang Muslim, kemudian ia mengganti namanya menjadi Jadullah Al-Qur'ani sebagai rasa takdzim atas kitab Al-Qur'an yang begitu istimewa dan mampu menjawab seluruh problema hidupnya selama ini. Dan sejak saat itulah ia memutuskan akan menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi menyebarkan ajaran Al-Qur'an.

Mulailah Jadullah mempelajari Al-Qur'an serta memahami isinya, dilanjutkan dengan berdakwah di Eropa hingga berhasil mengislamkan enam ribu Yahudi dan Nasrani.

Suatu hari, Jadullah membuka lembaran-lembaran Al-Qur'an hadiah dari Ibrahim itu. Tiba-tiba ia mendapati sebuah lembaran bergambarkan peta dunia. Pada saat matanya tertuju pada gambar benua Afrika, nampak di atasnya tertera tanda tangan Ibrahim dan dibawah tanda tangan itu tertuliskan ayat :

((اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ...!!))

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik!!...” [QS. An-Nahl; 125]

Iapun yakin bahwa ini adalah wasiat dari Ibrahim dan ia memutuskan untuk melaksanakannya.

Beberapa waktu kemudian Jadullah meninggalkan Eropa dan pergi berdakwah ke negara-negara Afrika yang di antaranya adalah Kenya, Sudan bagian selatan (yang mayoritas penduduknya adalah Nasrani), Uganda serta negara-negara sekitarnya. Jadullah berhasil mengislamkan lebih dari 6.000.000 (enam juta) orang dari suku Zulu, ini baru satu suku, belum dengan suku-suku lainnya.

Akhir Hayat Jadullah

Jadullah Al-Qur'ani, seorang Muslim sejati, da'i hakiki, menghabiskan umur 30 tahun sejak keislamannya untuk berdakwah di negara-negara Afrika yang gersang dan berhasil mengislamkan jutaan orang.

Jadullah wafat pada tahun 2003 yang sebelumnya sempat sakit. Kala itu beliau berumur 45 tahun, beliau wafat dalam masa-masa berdakwah.

Kisah pun belum selesai

Ibu Jadullah Al-Qur'ani adalah seorang wanita Yahudi yang fanatik, ia adalah wanita berpendidikan dan dosen di salah satu perguruan tinggi. Ibunya baru memeluk Islam pada tahun 2005, dua tahun sepeninggal Jadullah yaitu saat berumur 70 tahun.

Sang ibu bercerita bahwa –saat putranya masih hidup– ia menghabiskan waktu selama 30 tahun berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan putranya agar kembali menjadi Yahudi dengan berbagai macam cara, dengan segenap pengalaman, kemapanan ilmu dan kemampuannya, akan tetapi ia tidak dapat mempengaruhi putranya untuk kembali menjadi Yahudi. Sedangkan Ibrahim, seorang Muslim tua yang tidak berpendidikan tinggi, mampu melunakkan hatinya untuk memeluk Islam, hal ini tidak lain karena Islamlah satu-satunya agama yang benar.

Yang menjadi pertanyaannya, "Mengapa Jad si anak Yahudi memeluk Islam?"

Jadullah Al-Qur'ani bercerita bahwa Ibrahim yang ia kenal selama 17 tahun tidak pernah memanggilnya dengan kata-kata: "Hai orang kafir!" atau "Hai Yahudi!" bahkan Ibrahim tidak pernah untuk sekedar berucap: "Masuklah agama Islam!"

Bayangkan, selama 17 tahun Ibrahim tidak pernah sekalipun mengajarinya tentang agama, tentang Islam ataupun tentang Yahudi. Seorang tua Muslim sederhana itu tak pernah mengajaknya diskusi masalah agama. Akan tetapi ia tahu bagaimana menuntun hati seorang anak kecil agar terikat dengan akhlak Al-Qur’an.

Kemudian dari kesaksian Dr. Shafwat Hijazi (salah seorang dai kondang Mesir) yang suatu saat pernah mengikuti sebuah seminar di London dalam membahas problematika Darfur serta solusi penanganan dari kristenisasi, beliau berjumpa dengan salah satu pimpinan suku Zolo. Saat ditanya apakah ia memeluk Islam melalui Jadullah Al-Qur’ani?, ia menjawab; tidak! namun ia memeluk Islam melalui orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur'ani.

Subhanallah, akan ada berapa banyak lagi orang yang akan masuk Islam melalui orang-orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur’ani. Dan Jadullah Al-Qur'ani sendiri memeluk Islam melalui tangan seorang muslim tua berkebangsaan Turki yang tidak berpendidikan tinggi, namun memiliki akhlak yang jauh dan jauh lebih luhur dan suci.

Begitulah hikayat tentang Jadullah Al-Qur'ani, kisah ini merupakan kisah nyata yang penulis dapatkan kemudian penulis terjemahkan dari catatan Almarhum Syeikh Imad Iffat yang dijuluki sebagai "Syaikh Kaum Revolusioner Mesir". Beliau adalah seorang ulama Al-Azhar dan anggota Lembaga Fatwa Mesir yang ditembak syahid dalam sebuah insiden di Kairo pada hari Jumat, 16 Desember 2011 silam.

Kisah nyata ini layak untuk kita renungi bersama di masa-masa penuh fitnah seperti ini. Di saat banyak orang yang sudah tidak mengindahkan lagi cara dakwah Qur'ani. Mudah mengkafirkan, fasih mencaci, mengklaim sesat, menyatakan bid'ah, melaknat, memfitnah, padahal mereka adalah sesama muslim.

Dulu da'i-da'i kita telah berjuang mati-matian menyebarkan Tauhid dan mengislamkan orang-orang kafir, namun kenapa sekarang orang yang sudah Islam malah justru dikafir-kafirkan dan dituduh syirik? Bukankah kita hanya diwajibkan menghukumi sesuatu dari yang tampak saja? Sedangkan masalah batin biarkan Allah yang menghukumi nanti. Kita sama sekali tidak diperintahkan untuk membelah dada setiap manusia agar mengetahui kadar iman yang dimiliki setiap orang.

Mari kita renungi kembali surat Thaha ayat 44 yaitu Perintah Allah swt. kepada Nabi Musa dan Harun –'alaihimassalam– saat mereka akan pergi mendakwahi fir'aun. Allah berfirman,

((فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى))

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.”

Bayangkan, Fir'aun yang jelas-jelas kafir laknatullah, namun saat dakwah dengan orang seperti ia pun harus tetap dengan kata-kata yang lemah lembut, tanpa menyebut dia Kafir Laknatullah! Lalu apakah kita yang hidup di dunia sekarang ini ada yang lebih Islam dari Nabi Musa dan Nabi Harun? Atau adakah orang yang saat ini lebih kafir dari Fir'aun, di mana Al-Qur'an pun merekam kekafirannya hingga kini?

Lantas alasan apa bagi kita untuk tidak menggunakan dahwah dengan metode Al-Qur'an? Yaitu dengan Hikmah, Nasehat yang baik, dan Diskusi menggunakan argumen yang kuat namun tetap sopan dan santun?

Maka dalam dakwah yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana cara kita agar mudah menyampaikan kebenaran Islam ini.

Oleh karenanya, jika sekarang kita dapati ada orang yang kafir, bisa jadi di akhir hayatnya Allah akan memberi hidayah kepadanya sehingga ia masuk Islam.

Bukankah Umar bin Khattab dulu juga pernah memusuhi Rasulullah? Namun Allah berkehendak lain, sehingga Umar pun mendapat hidayah dan akhirnya memeluk Islam. Lalu jika sekarang ada orang muslim, bisa jadi di akhir hayatnya Allah mencabut hidayah darinya sehingga ia mati dalam keadaan kafir. Na'udzubillah tsumma Na'udzubillahi min Dzalik.

Karena sesungguhnya dosa pertama yang dilakukan iblis adalah sombong dan angkuh serta merasa diri sendiri paling suci sehingga tak mau menerima kebenaran Allah dengan sujud hormat kepada nabi Adam –'alaihissalam–. Oleh karena itu, bisa jadi Allah mencabut hidayah dari seorang muslim yang tinggi hati lalu memberikannya kepada seorang kafir yang rendah hati. Segalanya tiada yang mustahil bagi Allah!

Marilah kita pertahankan akidah Islam yang telah kita peluk ini, dan jangan pernah mencibir ataupun "menggerogoti" akidah orang lain yang juga telah memeluk Islam serta bertauhid. Kita adalah saudara seislam seagama. Saling mengingatkan adalah baik, saling melindungi akidah sesama muslim adalah baik. Marilah kita senantiasa berjuang bahu-membahu demi perkara yang baik-baik saja. Wallahu Ta'ala A'la Wa A'lam Bis-Shawab.*








Positive Thinking pada Para Sahabat Nabi

MEMBACA sejarah umat manusia yang penuh dengan intrik dan tendensi rasanya sulit sekali menyimpulkan kebenarannya seratus persen. Disamping itu, ketika kita membaca sejarah, kita di ajak untuk menelusuri zona “spekulasi” antara asbab al-waqi’ dan motif sang pelakon. Disinilah dibutuhkan kearifan dan ketelitian dalam menelusuri lembaran-lembaran sejarah apalagi sejarah pertikaian awal umat Islam. Pada akhirnya, sejarah itu akan bertutur tentang hikmah dan pelajaran berharga untuk umat selanjutnya.

Saqifah Bani Sa’idah

Bermula dari tragedi di Saqifah bani Sa’idah, semangat kesukuan di kalangan Anshar, antara Khazraj dan ‘Aus, yang pada masa Nabi bisa disatukan berpotensi bangkit kembali. Gelagat yang tidak sehat ini dapat dibaca oleh sayyidina Umar, maka ia mengajak sayyidina Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah untuk datang ke balairung tersebut. Silang sengketa pun semakin melebar menjadi perseteruan antara Muhajirin dan Anshar.

Terjadilah dialog panjang yang pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Dari sinilah kemudian benih-benih penyelewengan sejarah umat Islam dimulai. bermula dari tuduhan sebagian kalangan syi’ah bahwa Abu Bakar dan Umar adalah perampok kekuasaan karena telah mengambil hak sayyidina Ali. Ali-lah menurut mereka yang berhak menggantikan Nabi. Ali ketika itu tidak bisa hadir karena sibuk mengurusi pemandian dan persiapan penguburan Nabi. Tuduhan-tuduhan itu terkesan semakin beralasan ketika dibenturkan dengan waktu itu dimana umat Islam masih dalam keadaan berkabung dengan wafatnya Nabi bahkan ketika itu Nabi belum dikuburkan. Sebuah pemandangan yang mengherankan ketika sahabat setia Nabi (Abu Bakar dan Umar) meninggalkan beliau demi sebuah kekuasaan. Lalu pertanyaannya, benarkah Abu Bakar dan Umar ambisi kekuasaan?.

Tidak ada yang menyangsikan kesetiaan dua sahabat Nabi ini, Abu Bakar dan Umar. Mereka berdua adalah termasuk sahabat-sahabat garda depan yang menjadi benteng pertahanan umat Islam. Kecintaan mereka kepada Nabi melebihi kecintaan mereka kepada dirinya sendiri. Abu bakarlah yang menemani Nabi saat dikejar-kejar kafir Quraisy pada waktu hijrah. Ia yang menggendong Nabi saat Nabi tak beralas kaki. Ia yang dalam perjalanan menuju gua tsur terkadang berada di depan Nabi dan terkadang dibelakangnya hanya karena takut ada musuh yang akan melukai Nabi. Ia yang masuk duluan ke dalam gua tsur hanya karena takut ada hewan buas yang akan mencelakakan Nabi. Dan sejarahpun mencatat bagaimana pengorbanannya demi Islam. Demikian juga dengan Umar, kecintaannya kepada Nabi luar biasa. Saat mendengar Nabi telah wafat, ia menghunuskan pedangnya dan akan memenggal siapa saja yang mengatakan Nabi telah wafat. Ia yang paling tidak siap untuk ditinggal Nabi. Ambruklah ia ketika tahu bahwa Nabi telah wafat. Ia tidak pernah terima jika Nabinya disakiti. Lalu bagaimana mungkin mereka berdua akan meninggalkan Nabi sebelum beliau dikuburkan jika bukan karena adanya bahaya besar yang sedang mengancam umat Islam. Nabi memang telah wafat tapi agama Islam harus tetap tegak. Umat Islam harus tetap bersatu. Dan kekhawatiran itu beralasan mengingat semangat kesukuan orang Arab sudah terkenal sejak zaman jahiliyah. Maka tidak mengherankan jika Abu Bakar dan Umar sebagai sahabat yang sangat berpengaruh di kalangan umat Islam turun tangan. Dan sangat tidak beralasan jika mereka dianggap ambisi kekuasaan. Karena sebetulnya sebagaimana diceritakan sejarawan Ibn Ishaq bahwa pada waktu itu, Abu Bakar memegang tangan Umar dan Abu Ubaidah sembari berseru: “Bila kalian rela memilih di antara kedua orang ini, maka bai’atlah salah satu dari keduanya!”

Melihat tidak ada jawaban spontan dan melihat gelagat yang mengkhawatirkan, Umar segera berseru lantang: “Hai Abu Bakar, ulurkanlah tanganmu!” Abu Bakar lalu mengulurkan tangan-nya dan Umar segera membai’atnya dengan menyebut-nyebut keutamaannya.

Andai Abu Bakar mempunyai ambisi kekuasaan tentunya dia tidak akan menawarkan Umar maupun Abu Ubaidah untuk dibai’at. Demikian juga dengan Umar, ia tidak mungkin langsung membai’at Abu Bakar jika ia punya ambisi kekuasaan. Sekali lagi, mereka melakukan hal itu semata-mata demi terjaganya keutuhan umat Islam.

Tragedi Pembunuhan Khalifah Utsman

Sebuah demo besar-besaran terjadi pada zaman khalifah Utsman yang berending pada terbunuhnya Utsman. Berawal dari ketidak-puasan umat Islam melihat kesewenang-wenangan pemerintah di Mesir, hingga pada akhirnya terpilihlah Muhammad bin Abu Bakar untuk menggantikan gubernur Mesir tersebut. Usai demo, Muhammad bin Abu Bakar dan kelompoknya kembali lagi ke Mesir. Namun malangnya, ditengah perjalanan mereka menjumpai budak hitam yang mengaku budak marwan sedang memegang surat gelap yang ditujukan kepada gubernur Mesir. Surat itu berisikan perintah untuk membunuh kelompok Muhammad bin Abu Bakar yang ditandatangani oleh Utsman. Mereka pun menjadi marah dan kembali lagi ke Madinah. Terjadilah demo besar-besaran yang tergabung dari aliansi kufah, bashrah dan Mesir. Mereka menuntut Utsman turun dari jabatannya. Di situlah akhirnya terungkap siapa sebenarnya yang menulis surat itu, yaitu Marwan bin Hakam. Mereka pun menuntut Ustman menyerahkan Marwan untuk diadili tapi Utsman menolaknya.

Lalu pertanyannya, kenapa Ustman mempertahankan Marwan? Teka-teki ini terjawab ketika Utsman telah terbunuh. Kala itu, Talhah berkata kepada Ali, “Andai saja Marwan diserahkan kepada para pendemo, niscaya mereka tidak akan membunuh Sayyidina Ustman. Ali-pun menjawab; “Andai Ustman menyerahkan Marwan kepada mereka, niscaya Marwan akan dibunuh sebelum adanya pembuktian dan keputusan hukumnya. Padahal dalam Islam, tidak diperbolehkan memberi sanksi orang yang belum terbukti membunuh”.( Siyar al-Khulafa’: 143)

Dalam kasus Marwan, ia memang menyuruh membunuh dengan surat gelap tersebut, namun ia tidak boleh di bunuh (Qishas) hanya karena surat tersebut selama pembunuhan itu tidak terlaksana. Utsman mengetahui hal itu, dan ia berani mati demi mempertahankan kebenaran. Betapa luhurnya kepribadian Khalifah Utsman.


Menurut Imam Nawawi, perpecahan dan pertikaian yang terjadi pada masa khalifah Ustman dan khalifah Ali adalah terletak pada perbedaan ijtihad umat Islam. Gerak Ijtihad itu menyebabkan umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Golongan Pertama, beranggapan bahwa ada golongan yang benar dan harus ditolong sedang yang menentang golongan ini harus diperangi. Golongan kedua, beranggapan sebaliknya. Yang benar ada di pihak yang dianggap golongan pertama salah sehingga harus di tolong dan golongan pertama harus diperangi. Dan golongan ketiga, mereka yang masih bingung, tidak bisa membedakan mana yang benar antara yang di dukung golongan pertama maupun golongan yang kedua. golongan ini lebih memilih keluar.(al-Nawawi dalam “Syarh Shahih Muslim”, juz 15/1).

Dalam buku “Tahqiq Mawaqif al-Sahabah fi al-Fitnah” dinyatakan bahwa tujuan Talhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah ketika men-demo khalifah Ali tiada lain hanyalah untuk menuntut agar sanksi (Qishas) terhadap pembunuh Ustman disegerakan.( dalam Minhaj al-Sunnah li Ibn Taimiyyah, 2/219-220). Mereka menganggap bahwa Ali tidak tegas.

Sebaliknya, Ali berada pada posisi dilematis antara menyegerakan atau menunda. Ia pun memilih menunda untuk menjaga stabilitas Negara yang masih kacau. Hal ini sangat beralasan karena pelaku pembunuhan Utsman dapat dipastikan adalah kelompok dari para pendemo, yang jika disegerakan akan menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam internal kepemimpinannya.

Pada akhirnya, perang saudarapun tak dapat dihindari antara kubu Ali dengan kubu Ummul Mu’miniin, Aisyah, yang dikenal dengan perang Jamal, dan perang Shiffin antara kubu Ali dan dan kubu Muawiyah.

Pasca perang Shiffin terjadilah apa yang dikenal dengan Tahkim (arbitrase) untuk mendamaikan kedua belah pihak (pihak Ali dan pihak Mu’awiyah), yang dalam hal ini kubu Ali merasa dirugikan. Maka sejarah pertikaian umat Islam pun semakin kelam. Umat Islam semakin terpecah-belah. Semangat fanatisme meraja-lela hingga pada akhirnya bermunculan hadist-hadist palsu untuk mendukung kelompoknya masing-masing.

Mu’awiyah pun diserang habis-habisan. Pada masa kepemimpinannya, ia dianggap telah menyuruh rakyatnya untuk mencaci maki Ali. Umat Islam disodori dengan kisah-kisah yang penuh hasutan bahwa yang meracuni Hasan bin Ali, cucu Rasulullah, adalah Mu’awiyah atau putranya, Yazid bin Mu’awiyah.

Bahkan bukan hanya itu, Yazid bin Mua’wiyah dianggap aktor dibalik pembataian berdarah di padang karbala yang menyebabkan cucu Nabi, Husein bin Ali terbunuh dengan cara yang sangat keji, dan lain sebagainya. Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar, dan banyak ulama yang membantahnya seperti Ibn al-‘Arabi, Ibn Taimiyyah, al-Dzahabi, Ibn Katsir, Ibn Khaldun dan lain sebagainya. (dalam al-Daulah al-Umawiyyah: Tarikh wa Hadharah)

Bagaimana seharusnya kita bersikap?

Ulama salafuna-shaleh mengajarkan kita dengan penuh kearifan, bagaimana seharusnya kita menyikapi sejarah kelam (fitnah kubra) pertikaian para sahabat?

Ada adegium “al-Sukutu ‘Amma Syajara baina Ashab Rasulillah Shallahu 'Alaihi Wassalam.” yang menjadi pegangan Ahlus-Sunnah wal-Jamaah, yaitu apa yang terjadi di antara sahabat hendaknya kita diam, tidak boleh ikut mencaci-maki dan tidak boleh ber-negative thinking kepada para sahabat. (baca “Ma’arij al-Qabul syarh sullam al-Ushul Ila ‘ilm al-Ushul fi ‘ilm Tawhid”)

Dalam kasus pertikaian antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah, ahlus-Sunnah beranggapan bahwa dua golongan tersebut sama-sama dibenarkan (demikian juga dengan kasus perang Jamal). Mereka adalah orang-orang yang ikhlas dalam memperjuangkan Islam.

Perbedaan mereka terletak pada perbedaan ijtihad. Dan dalam keikhlasan dalam ijtihad mereka, mereka akan diganjar (mendapatkan pahala), baik yang benar ijtihad-nya maupun yang salah. Dan pahala ijtihad yang benar lebih besar dari pada pahala yang Ijtihad yang salah.

Tulisan ini akan penulis tutup dengan falsafah fikihnya Syaikh Yusuf Qardawi dalam bukunya “Syaikh al-Gazali kama ‘araftu” bahwa “Air yang sudah mencapai dua kullah, tidak akan kotor hanya karena kemasukan najis (yang sedikit)”. Dalam artian, sahabat memang bukan manusia ma’sum yang terbebas dari kesalahan, namun sangat tidak bijak jika karena kesalahan yang sedikit itu akan menghapus kebaikan-kebaikan yang luasnya laksana lautan.

Apa yang terjadi di antara mereka jadikan sebagai pelajaran, karena di dalam tragedi itu ada hikmah dan rahasia yang luar biasa. Dan hendaknya kebaikan-kebaikan para sahabat menjadi uswah bagi kita untuk diteladani. Wallahu ‘alam.*







Mengikis Iman, Amalan Tertolak, Doa Tak Terkabul

TAK heran jika umat Islam generasi awal dan para ulama sangat bersungguh-sungguh mencegah agar tidak mengkonsumusi makanan haram dan menggunakan harta haram. Itu semua disebabkan karena hal-hal yang diharamkan, kalau sampai ”tertelan” dapat menyebabkan timbulnya dampak yang amat buruk terhadap pelakunya.

Berikut ini, pengaruh menggunakan dan memakan barang haram, bagi keimanan pelaku, ”nasib” amalan, dan lainnya. Semoga kita terjauhkan dari kebururkan itu semuanya.

Penyebab Tidak Diterima Amalan

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Ketahuilah, bahwa suapan haram jika masuk dalam perut salah satu dari kalian, maka amalannya tidak diterima selama 40 hari.” (Riwayat At Thabrani).

Haji dari Harta Haram Tertolak

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Jika seorang keluar untuk melakukan haji dengan nafaqah haram, kemudian ia mengendarai tunggangan dan mengatakan,”Labbaik, Allahumma labbaik!” Maka, yang berada di langit menyeru,” Tidak labbaik dan kau tidak memperoleh kebahagiaan! Bekalmu haram, kendaraanmu haram dan hajimu mendatangan dosa dan tidak diterima." (Riwayat At Thabrani).

Sedekah dari Harta Haram Tertolak

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, ”Barangsiapa mengumpulkan harta haram, kemudian menyedekahkannya, maka tidak ada pahala dan dosanya untuknya.” (Riwayat Ibnu Huzaimah).

Tidak Terkabulnya Doa

Sa’ad bin Abi Waqash bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, ”Ya Rasulullah, doakan saya kepada Allah agar doa saya terkabul.” Rasulullah menjawab, ”Wahai Sa’ad, perbaikilah makananmu, maka doamu akan terkabulkan.” (Riwayat At Thabrani).

Disebutkan juga dalam hadits lain bahwa Rasulullah bersabda, ”Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan,’Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’ Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima doa itu?” (Riwayat Muslim).

Mengikis Keimanan Pelakunya

Rasulullah Shallallahu Alaih Wasallam Bersabda,”Tidaklah peminum khamr, ketika ia meminum khamr termasuk seorang Mukmin.” (Riwayat Bukhari Muslim)

Jelas, peminum khamr (minuman memabukkan, seperti alkohol) saat dia minum khamr, maka keimanannya terkikis saat itu.

Mencampakkan Pelakunya ke Neraka

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali nereka lebih utama untuknya.” (Riwayat At Tirmidzi)

Mengeraskan Hati Pelaku

Imam Ahmad pernah ditanya, apa yang harus dilakukan, agar hati mudah menerima kebenaran, maka beliau menjawab,”Dengan memakan makanan halal.” Hal ini termaktub dalam Thabaqat Al Hanabilah (1/219).

At Tustari, seorang mufassir juga pernah mengatakan, ”Barangsiapa ingin disingkapkan tentang tanda-tanda orang-orang jujur (shiddiqun), hendaknya tidak makan, kecuali yang halal dan mengamalkan Sunnah.” sebagaimana dikutip dalam Ar Risalah Al Mustarsyidin (hal. 216).

Pendapat di atas bisa dimaklumi, setelah dilihat nash-nash sebelumnya, bahwa mengkonsumsi makanan haram memasukkan pelakunya kapada pelaku maksiat yang mendapatkan ancaman neraka dan saat itu pula keimanannya tergerus. Tentu dalam kondisi demikian, bisa membuat hati pelakunya semakin keras dan enggan menerima kebenaran.*








Istiqomah Lebih Mulia dari Seribu Karomah

Orang yang istiqamah selalu menjadikan ilmu sebagai makanan hati dan ruh
Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُون

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fusshilat: 30)

Al Wahidi dalam Asbaab Nuzuul Al-Qur`an menulis, Atha` menerima riwayat dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu `anhuma yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu `anhu yang memberikan bantahan atas ucapan Kaum Musyrik dan Yahudi.

Kaum Musyrik berkata, “Allah adalah Tuhan kami, sementara para malaikat adalah anak-anak-Nya.” Kemudian orang-orang Yahudi berkata, “Allah adalah Tuhan kami dan Uzair adalah anak-Nya, sementara Muhammad bukanlah seorang Nabi.” Baik ucapan kaum musyrik maupun yahudi menunjukkan kebodohan dan tidak istiqamah.

Mendengar ucapan dari dua golongan tersebut, Abu Bakar mengatakan dengan tegas, “Allah adalah Tuhan Kami Yang Mahaesa tiada sekutu bagi-Nya dan Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassalam adalah hamba sekaligus utusan-Nya.” Selanjutnya turun ayat, “Inna al-ladziina qaaluu rabbunal-Lah.”

Konteks Istiqamah

Kata istiqamah bisa dimaknai dalam berbagai situasi dan kondisi. Istiqamah dalam konteks akidah, amal, keikhlasan, ketakwaan, persaksian, dan ilmu. Konteks istiqamah telah banyak dijabarkan oleh sahabat-sahabat nabi yang menunjukkan kedalaman mereka dalam memandang jauh makna istiqamah.

Sayidina Abu Bakar radhiyallahu `anhu, contohnya, memberikan pengertian istiqamah sebagai teguh dalam beriman, memurnikan sesembahan, dan menjauhi kesyirikan. Imam Thabari meriwayatkan, Abu Bakar pernah ditanya tentang istiqamah yang terkandungan dalam bunyi ayat innalladziina Qaalu Rabbuna Allah Tsummas Taqaamuu,” kata beliau, “(Istiqamah adalah) kamu tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun.”

Di sisi lain, Sahabat Umar bin Khathtab radhiyallahu `anhu menegaskan makna istiqamah sebagai sebuah sikap teguh dalam, “melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, serta tidak berpaling seperti berpalingnya musang.”

Sementara, Sayidina Utsman bin Affan radhiyallahu `anhu memaknai istiqamah sebuah suatu sikap untuk memurnikan segala tindak-tanduk kita yang berkaitan dengan ibadah hanya untuk Allah, bukan selain-Nya. Beliau berkata tentang istiqamah, “Ikhlaskan (bersihkan) amal karena Allah semata.”

Adapun, Imam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu `anhu memahami istiqamah sebagai bentuk ketegasan sikap dalam menjalankan kewajiban. Beliau mengatakan, “Kerjakanlah kewajiban-kewajiban.”

Dalam konteks yang berbeda, Al-Hasan menuturkan, “Mereka meneguhkan pendirian (istiqamah) di atas jalan perintah Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga mereka melakukan perbuatan untuk taat kepada-Nya dan menjauhi kemaksiatan di jalan-Nya.”

Mujahid dan Ikrimah berujar, “Mereka meneguhkan pendirian dalam bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah sampai mereka bertemu dengan Allah.” Muqatil berkata, “Mereka meneguhkan pendirian dalam ilmu dan tidak keluar dari Islam.”

Imam Nawawi dalam salah satu karya populernya, Syarh Matn Al-Arba`in Al-Nawawiyyah, mengetengahkan sebuah hadits dengan judul Al-Istiqamah. Hadits ini jatuh pada urutan kedua puluh satu. Bunyinya, “Dari Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdullah Al-Tsaqafiy radhiyallahu anhu, ia berkata : “Aku telah berkata : ‘Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu.’ Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : ‘Katakanlah : Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu." (HR. Muslim).

Imam Nawawi mengatakan yang dimaksud ungkapan Nabi, Qul Aamantu Bil-Laah Tsummas-Taqim,” (Katakanlah, ‘Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’) adalah, “Beristiqamahlah sebagaimana kamu telah diperintahkan dan dilarang mengerjakan suatu perbuatan.” Menurut Imam Nawawi, Istiqamah adalah, “Menetapi sebuah jalan dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.”

Makna istiqamah yang dibawakan oleh Imam Nawawi itu selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat besertamu.” (QS. Huud: 112). Ayat inilah yang membuat uban tumbuh lebih cepat di kepala Rasulullah. karena begitu beratnya perintah yang terkandung di dalamnya, yaitu istiqamah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam besabda: “Aku menjadi beruban karena turunnya Surat Hud dan sejenisnya.”

Sikap Muslim dalam Istiqamah

Lewat pengetahuan pemaparan makna istiqamah dalam berbagai konteksnya seperti diungkap oleh para sahabat dan ulama, kita dapat mengetahui bahwa istiqamah adalah suatu sikap konsisten, ajeg, dalam berbagai aspek kehidupan.
Seorang muslim, kapanpun dan di manapun, ia dituntut untuk bersikap teguh, tidak maju mundur, tetap berpendirian teguh dalam memurnikan iman dan akidah dari segala bentuk kesyirikan dan kekufuran.

Teguh dalam iman berarti memegang erat-erat dalam hati bahwa tiada tuhan yang layak disembah selain Allah Subhanahu wa Ta`ala. Segala bentuk penyembahan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta`ala merupakan sikap tidak istiqamah.

Seorang Muslim, tentunya juga bersikap teguh berdiri dalam ketakwaan, melaksakan perintah Allah Subhanahu wa Ta`ala dan menjauhi larangannya. Bertakwa tidak hanya saat berada di bulan Ramadhan saja, atau pada momen-momen tertentu, namun harus dilaksanakan dalam segala kondisi. Tujuannya, membangun jiwa dan pribadi yang muttaqin yang bercirikhaskan : beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian harta, beriman kepada Al Qur`an dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, dan yakin akan adanya kehidupan akhirat. (Qs. Al-Baqarah : 3-4).

Selain itu, ciri lain ketakwaan yang Allah Subhanahu wa Ta`ala paparkan adalah, mereka istiqamah dalam menafkahkan harta baik di waktu lapang maupun sempit, cerdas dalam meluapkan emosi, mudah memaafkan, dan bergegas memohon ampunan kepada Allah di tiap perbuatan dosa yang dilakukan. (QS. Ali Imran : 134-135).

Seorang Muslim, kapanpun dan di manapun, dituntut untuk beristiqamah dalam mencari ilmu sebagai landasan perkataan dan perbuatan kita. Artinya, orang yang istiqamah tidak akan melakukan dan melepas suatu ucapan seleum diketahui sumber ilmu guna menegaskan kebenaran dari perbuatan dan ucapannya.

Orang yang istiqamah selalu menjadikan ilmu sebagai makanan hati dan ruh. Jika tubuh menjadi lunglai dan lemas akibat tidak mengonsumsi makanan dan minuman, maka hati kita akan mati, sunyi, berselimut kegelapan, ketika ia kosong dari asupan ilmu yang bermanfaat.

Karenanya, ilmu mestilah diprioritaskan sebelum berbuat dan berkata. Istiqamah berarti berpendirian teguh, konsisten dalam belajar, mencari ilmu, menghadiri kajian ilmu, majlis-majlis ta`lim, demi terwujudnya istiqamah yang sebaik-baiknya


TELAH banyak pemuka agama yang memberikan uraian mengenai kiat atau tips jitu dalam membentuk pribadi yang berkarakter, beristiqamah. Seorang di antaranya Drs. Ahmad Yani, ia menulis cara agar kita bisa istiqamah dalam bukunya Be Excellent : Menjadi Pribadi Terpuji. Ada kunci istiqamah : kemauan yang kuat, pembinaan yang intensif, keteladanan yang meyakinkan, dan kerja sama yang solid.

Pertama, kemauan yang kuat. Harus ada niat tulus dan kemauan keras untuk ‘memaksa’ diri kita agar tetap lurus, berpendirian kokoh, tidak mudah goyah dan goyang. Kemauan itu harus lahir dari diri kita sendiri. Kemauan yang kuat berawal dari membiasakan melakukan kebaikan, meski ringan dan sedikit.

Kedua, pembinaan yang intensif. Setelah ada pembiasaan dan ‘pemaksaan’ dari dalam diri kita, berikutnya adalah memelihara pembiasaan amal-amal yang meski kecil dan ringan dengan merawatnya. Caranya dengan lewat jalur ilmu yang bersumber dari tempat-tempat yang menanamkan pendidikan, mengenalkan Allah dan Rasul-Nya, secara berkesinambungan.

Ketiga, keteladanan yang meyakinkan. Ini berarti, para tokoh agama dan masyarakat dituntut untuk menjadi contoh bagi umat. Umat butuh guru yang bisa ditiru. Usaha umat untuk istiqamah sangat membutuhkan teladan dari para ulama sebagai pewaris nabi. Selain itu, kunci istiqamah ketiga ini bisa pula berarti, bahwa seseorang yang ingin beristiqamah hendaknya selalu merapat kepada para ulama.

Keempat, kerja sama yang solid. Istiqamah butuh dukungan semua pihak, semua komponen umat, persaudaraan yang tulus, yang saling mendukung, membantu, member motivasi. Kesalahan dalam berbuat sesuatu bukan berarti akhir segalanya. Masih ada hari esok untuk memperbaiki keadaan. Maka dengan soliditas yang kuat, satu sama lain akan saling mengingatkan kealpaan. Dengan begitu, istiqamah dalam berbuat akan terus terbiasakan dalam hidup sehari-hari.

Buah Istiqamah

Salah satu manfaat dan buah dari sikap istiqamah, dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Matn Al-Arba`iin Al-Nawawiyyah, berdasarkan surah Fusshilat ayat 30. Kata beliau, bahwa makna bunyi ayat “Inna al-ladziina qaaluu rabbunal-Lah tsummas-Taqaamuu, Tatanazzalu `alaihimul-Malaaikah,” adalah Allah akan menurunkan para malaikat-Nya guna membawa kabar gembira kepada orang-orang yang istiqamah.

Apa pesan tersebut? Kata Imam Nawawi, pesan itu adalah kelanjutan dari ayat di atas. Yaitu firman Allah Subhanahu Wata’ala, “La Takhaafuu wa Laa Tahzanuu Wa Absyiruu bil-Jannatil-Lati kuntum Tuu`aduun,” (Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu).

Dalam tafsir, lanjut Imam Nawawi, ketika orang-orang yang istiqamah itu diberi kabar gembira dengan melenggang ke surga, mereka bertanya, “Lalu, bagaimana dengan keadaan anak-anak kami? Apa yang akan mereka makan sepeninggal kami?”

Allah menjawab pertanyaan mereka dengan berfirman,

نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ

“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat.” (QS. Fusshilat : 31)

Buah Istiqomah

Lewat penjelasan di atas, kita bisa mengambil pesan penting mengenai buah dari sikap istiqamah;

Pertama, orang yang istiqamah akan mendapatkan kedudukan mulia di sisi Allah, ditandai dengan turunnya malaikat untuk membawa kabar gembira.

Kedua, orang-orang yang istiqamah akan mendapat garansi kehidupan yang nyaman dan damai, jauh dari duka lara, dan tegar dalam mengarungi bahtera kehidupan dunia yang hanya sementara ini.

Ketiga, orang yang istiqamah akan mendapatkan kesempatan mulus masuk ke dalam surga Allah.

Keempat, manfaat lainnya dari orang yang beristiqamah ialah jaminan kebahagiaan yang tidak saja berlaku kepada pelaku istiqamah bahkan keturunanya mendapatkan hal yang serupa berkat keistiqamahan orangtuanya.

Kesimpulannya, istiqamah tidak saja berlaku pada tataran ubudiyah semata. Istiqamah berlaku dalam konteks akidah, syariah, akhlak, ilmu, dan perjuangan di jalan Allah.

Oleh karena itu, kita harus bersikap istiqamah dalam iman dan keyakinan, istiqamah dalam syariah dengan selalu mendukung tegak hidupnya syariat di tengah-tengah umat dengan diawali dari keluarga kita sendiri, istiqamah dalam akhlak dengan menjadikan akhlak sebagai salah satu ujung tombak menyampaikan dakwah, istiqamah di ranah ilmu dengan mengkaji ilmu Allah yang terbentang luas, dan istiqamah dalam membela tiap inci ajaran Allah, bangga dengan agama Islam, serta benci kepada setiap kekufuran.

Cara istiqamah seperti di atas adalah dengan membangun kesadaran dari tiap pribadi yang didahului niat dan kemauan kuat untuk istiqamah. Setelahnya, diadakan pembinaan secara intensif, dan saling mendukung di antara sesama umat Islam.

Pada akhirnya, kita tidak lupa pula untuk berdoa kepada Allah agar berkenan memberikan sikap istiqamah dengan doa yang dipanjatkan oleh Imam Hasan Al-Bashri, dimana jika beliau selesai membaca surat Fusshilat ayat 30 tersebut, beliau berdoa, “Allaahumma Anta Rabbunaa, FarzuqnaaL-Istiqaamah" (Ya Allah, Engkau adalah Tuhan kami maka anugerahilah kami sikap (istiqamah).*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar