Powered By Blogger

Sabtu, 14 April 2012

TAZKIYATUN NAFS

Delapan Indikator Keislaman Seseorang


MANUSIA yang bertakwa adalah manusia yang paling mulia di sisi Allah. Dan orang yang bertakwa segara orientasi hidupnya kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎). “Anta maqshuduna, ridhaka mathlubuna, dunyana wa ukhrana” (Engkaulah tujuan puncak kami, keridhaan-Mu yang aku cari, demi menggapai kebahagiaan dunia dan keselamatan akhirat kami). Bukan yang lain. Bukan karena ilmu kita, jabatan kita, kepandaian kita, harta kita atau orientasi dunia lainnya.

Dengan takwa, manusia selalu mentauhidkan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) dan tidak menyekutukan-Nya. Selalu mengingat-Nya dan tidak melupakan-Nya. Selalu mensyukuri karunia-Nya dan tidak mengingkari-Nya. Selalu mendekatkan diri kepada-Nya dan tidak menjauhi-Nya, meminjam istilah Ibnu Masud dalam Tafsir Ath Thabari.

Indikator Keislaman

Lantas apa indikasinya bahwa keislaman kita sesuai “Manhaj Nubuwwah”? setidaknya ada delapan indikato yang bisa memudahkan kita sebagai alat ukur mutu keislaman seseorang;

Pertama: Terkikisnya Virus Thagha’

Istilah tagha’ (baca thogho) ini diambil dari surat Al-‘Alaq pada ayat 6. Secara bahasa artinya melampaui batas. Seperti air yang tumpah dari gelas, karena diisi melebihi dari ukurannya. Manusia bersikap thagha karena merasa dirinya serba cukup (ayat 7). Merasa dirinya sudah berharta, berilmu dan berkuasa. Tidak lagi memerlukan bimbingan dari Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎).

Jadi, pertama kali yang harus dilakukan oleh orang yang ingin berhasil mengenal Islam adalah tazkiyatun nafsi (membersihkan hati), berfikir obyektif dan terbuka. Melihat ke langit (Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎)), ke tengah (ayat diri sendiri) dan ke bawah (alam dan seisinya dan tempat kembali manusia). Jika hati kita belum bisa disterilkan dari kepentingan hawa nafsu, dunia dan kekuasaan, maka mustahil Islam bisa kita serap dan kita nikmati secara baik. Islam yang bisa dijadikan pencegah dari perbuatan fahsya dan mungkar. Bukan sekedar Islam sebagai pencuci dosa. Bangsa kita yang mayoritas Muslim, tapi buktinya masih banyak melakukan korupsi. Karena ajaran Islam hanya dijadikan penebus dosa sebagaimana agama lain. Dari sini sesungguhnya sudah cukup memadai mutu keislaman kita.

Bahaya laten thagha’ akan berakibat fatal dan krusial. Yaitu membatalkan keislaman kita.

Penyakit tagha’ melahirkan tiga kejahatan yang menjadi pemicu penyimpangan manusia sepanjang sejarah. Yaitu, sombong yang diwariskan oleh iblis, serakah (thama’) yang ditularkan oleh Adam as dan hasud yang diwariskan oleh Qabil.

Tagha’ dan iman akan terus berhadap-hadapan sampai hari kiamat. Kebenaran dan kebatilan, keimanan dan kemusyrikan, al Haqq wal Batil, tidak akan bisa dipertemukan sepanjang sejarah peradaban manusia. Buah dari terkikisnya thagha’ akan mendidik manusia untuk memiliki sikap tawadhu. Rendah hati, selalu memerlukan bimbingan wahyu.

Kedua: Keimanan kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎)

Sasaran al-Quran adalah orang-orang yang beriman. Sekalipun tinggi kualitas keilmuan, peradaban manusia, ketika berinteraksi dengan al-Quran dengan memaksakan pemahamannya atau menyimpan niat yang buruk, al-Quran yang demikian terang, menjadi kabur. Jadi, iman adalah modal utama dan pertama untuk At-Ta’amul ma’a Al-Quran.

Iman, bagaikan air sumur zamzam. Sumber yang dipancarkannya tidak akan pernah kering dan habis sepanjang sejarah peradaban manusia. Iman itulah yang memotivasi pemiliknya untuk istiqomah (konsisten), mudawamah (berkesinambungan), istimroriyah (terus-menerus), tanpa mengenal lelah, dengan sabar, tegar, teguh, tekun, tawakkal, mengajak kepada kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran tanpa tendensi apapun, pura-pura dan pamrih. Tidak mengharapakan pujian, ucapan terima kasih dan balasan serta tidak takut celaan orang yang mencela.

Imanlah yang menjadikan seseorang terus bergerak menyemai kebaikan-kebaikan di taman kehidupan ini tanpa kenal letih. Karena, ia yakin dalam setiap gerakan yang dimotivasi oleh nilai-nilai keimanan itu tersimpan potensi kebaikan-kebaikan melulu (barakah). “Taharrak fa-inna fil harakati barakah” (bergeraklah, karena setiap gerakan ada tambahan kebaikan). Dan kebaikan yang ditanam itu akan ia panen, kembali kepada dirinya. Baik secara kontan (langsung) ataupun secara kredit (tidak langsung). Bukan dipanen orang lain. Justru, jika berhenti bergerak, potensi yang dimilikinya tinggal sebuah potensi. Tidak tumbuh dan berkembang. Air yang tidak mengalir, akan menjadi sarang berbagai kuman yang mematikan.

Imanlah yang menjadikan seseorang terus aktif membendung/menghalangi berbagai pengaruh negatif kejelekan, kefasikan, kezhaliman, kemungkaran. Karena, semua perbuatan dosa dan maksiat akan menghancurkan dirinya sendiri. Manusia yang bergelimang dalam perbuatan dosa, di dunianya tersiksa, sedangkan di akhirat siksanya lebih menyakitkan. Imanlah yang mencegah pemiliknya untuk menelola hawa nafsu (syahwat), nafsu perut dan nafsu kelamin. Karena kedua nafsu duniawi itu semakin dicicipi dengan cara yang salah bagaikan meminum air laut. Semakin di minum, bertambah haus.

Ali bin Abi Thalib mengatakan: Tiga hukuman bagi orang yang berbuat maksiat, yaitu penghidupan yang serba sulit, sulit menemukan jalan keluar dari himpitan persoalan, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya kecuali dengan melakukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎).

Ketiga: Menjadikan Diri Sebagai Alat Peraga al-Quran

Kita sepakat bahwa al-Quran adalah kitab suci yang orisinil. Ini sudah diberitakan oleh kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Namun secara jujur kita mengakui, betapa jauhnya jarak antara kaum muslimin dengan kitab sucinya. Bagaikan pemain layang-layang. Umat Islam belum mampu menjadikan dirinya sebagai gambaran kongkrit “al-Quran yang berjalan di pasar, di gedung parlemen, di jalan raya, di rumah tangga, di lembaga pendidikan, di dunia militer” dll.

Faktanya, al Quran sekedar dijadikan mantra, sehingga tidak berefek apa pun pada perubahan pola pikir, sudut pandang, arah kehidupan, orientasi dan perilaku kehidupan dalam skala individu, keluarga, bangsa dan negara.

Agar kita menjadi orang-orang yang berorientasi al-Quran, hendaklah al-Quran menjadi penuntun dan pemandu seluruh kehidupan kita. Sehingga al-Quran merubah kehidupan kita secara total dan merujuk referensi isi al-Quran.

Sikap seorang Muslim terhadap al-Quran seharusnya ada empat hal. Tasmi’, (mendengarkan dengan merenungi isinya), tafhim (memahami), ta’lim (mengajarkan kepada orang lain), tathbiq (mengamalkan), kemudian mengajak orang lain ke jalan Al Quran tersebut. Mustahil mendakwakan al-Quran jika kita sendiri tidak mengamalkannya. Jadiakan al-Quran sebagai pembelamu (hujjatun laka) atau penggugatmu (hujjatun ‘alaika), demikian Sabda Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Artinya, al-Quran bisa memperkuat sikap kita sebaliknya bisa menghancurkan kita atas sikap-sikap kita yang tak sesuai dengan nilai yang terkandung salam al-Quran.

Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Quran kepada mereka, mereka berkata: "Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Quran Ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat[mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri]." (QS. Al Araf (7): 203-204).

Keempat: Menjadikan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam sebagai Idola

Tujuan puncak orang beriman adalah mencari ridha Allah (Ya Allah Ya Rabbana Anta Maqshuduna, Ridhaka Mathlubuna Dunyana Wa Ukhrona). Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) adalah manusia yang dipilih oleh-Nya untuk menyampaikan wahyu kepada umat manusia.

Tujuan berislam adalah mencari ridha Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) atau "Allahu Ghoyatuna". Dan salah satu strategi menjalankannya dalam kehidupan adalah mengikuti Rasulullah Muhammad.

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (QS. Al Ahzab (33) : 21)

Tapi mari kita saksikan pada diri kita semua, saudara kita, atau anak-anak kita. Siapa sosok yang menjadi idola kita atau mereka? Nabikah? Yang cukup menggenaskan, di Bandung, wanita-wanita yang mengidolakan Ariel Paterpan, artis pelaku pornografi justu gadis-gadis berjilbab. Jangan-jangan di antara mereka adalah anak kita. Na’udzu Billah min dzalik.

Kelima: Ibadah, Refleksi dari Keimanan

Agar hati bisa dirawat dari berbagai penyakit yang mengotori dan merusaknya, memerlukan ketekunan dalam ibadah kepada-Nya. Untuk menguji kualitas komitmen keimanan seseorang adalah giat beribadah kepada Allah. Baik yang wajib ataupun yang sunnah. Ketaatan beribadah merupakan turunan dari keimanan. Pengertian iman adalah, “Al imanu tashdiqu bil qalb, iqraru bil lisan wal 'amalu bil arkan.” (Iman itu diyakini di dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan). Bukan disebut beriman hanya karena dia memakai songkok putih, bergelar haji, tetapi tindak-tanduknya belum mencerminkan seorang Muslim. Atau tidak bisa seseorang dikatakan sholeh hanya karena dia baik, suka menyumbang fakir-miskin, tetapi dia kafir atau tidak pernah sholat. Seorang yang beriman namanya mukmin. Dan orang Mukmin, dia pasti rajin beribadah dan kuat memegang syariat Allah.

Keenam: Bangkit untuk Inqadzul Ummah

Tidak cukup seorang muslim puas jika melihat dirinya shalih, sedangkan membiarkan orang lain jahat. Islam yang benar, di samping dirinya shalih, pula mengajak saudaranya menjadi shalih pula. Seorang muslim yang tidak memiliki kepekaan sosial, maka suatu saat keimanan yang dimilikinya akan mengalami degradasi. Karena secara individual orang yang shalih disebut khairul bariyyah, dan membentuk umat sehingga menjadi khairu ummah. Mustahil menjadi khairu ummah tanpa bahan dasar khairul bariyyah. Insan shalih tidak bisa dipisahkan dari al mujtama’ ash-shalih (masyarakat yang shalih).

Jadi, kita dituntut untuk shalih linafsihi dan shalih lighairihi.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran (3) : 110).

Ketujuh: Menegakkan Kepemimpinan Imamah dan Jamaah

Konsekwensi keimanan seseorang adalah berjamaah (berkumpul karena ikatan la ilaha illallah muhammadur rasulullah). Bukan sekedar ikatan kerja. Manusia adalah makhluk sosial. Sekalipun memikul pekerjaan sederhana, misalnya tertawa, mencukur rambut, memerlukan keterlibatan orang lain. Lebih-lebih melaksanakan ajaran Islam yang demikian lengkap dan mengandung persoalan yang kompleks. Islam bukan sekedar makanan akal, pula konsumsi hati dan perasaan. Islam tidak sebatas dipahami, tetapi perlu diperagakan dalam kehidupan nyata. Din (konsep) tidak bisa dipisahkan dari daulah (penerapannya). Orang Islam dituntut menunjukkan bahwa dirinya adalah alat peraga al-Quran dan as-Sunnah. Yang berjalan di alam nyata.

Dan Islam tidak akan berdiri tegak dan teraplikasikan secara kaffah tanpa adanya sebuah jamaah yang kuat dan berwibawa. Kita sangat diuntungkan dengan berjamaah, untuk menjaga keshalihan kita. Di samping itu, tidak ada satupun ayat yang menjelaskan orang beriman dengan menggunakan kata tunggal (mufrad), - aman - tetapi memakai isim jama’ – amanuu -.

Kepemimpinan yang dibangun tidak berdiri di atas prinsip laa ilaaha illah muhammadurrasulullah, maka mustahil bisa menguatkan ikatan hati. Sebagaimana kondisi masyarakat Yahudi yang digambarkan dalam al-Quran. Karena masing-masing individu berjiwa kerdil. Imamah jamaah adalah media yang paling efektif untuk menyederhanakan perbedaan kita dan menonjolkan persamaan. Mengecilkan persoalan furuiyah (cabang agama) dan membesarkan persoalan ushul (pokok). Karena, perkumpulan kita diikat oleh ikatan yang prinsip (ideologis), La ilaha illah wa Muhammadur Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wassalam. Bukan kepentingan pragmatis dan sesaat serta jangka pendek.

Kedelapan: Mewujudkan Ukhuwah Islamiyah

Inilah nikmat tertinggi yang kita rasakan setelah nikmat iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ukhuwwah Islamiyah inilah yang berhasil memutus mata rantai ‘ashabiyah (fanatisme kesukuan), ananiyah (egoisme), keangkuan, kesombongan, atribut dan asesoris lahiriyah, yang menjadi pilar berdirinya masyarakat jahiliyah. Persaudaraan yang diikat oleh ikatan tauhid ini yang bisa mengungguli ikatan kekeluargaan seketurunan.

Inilah sebuah ikatan yang kokoh, karena dibingkai oleh prinsip. Saling cinta mencintai karena Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎). Maka, lahirlah sebuah ungkapan; “Seandainya cinta dan kasih sayang itu telah merasuk dalam kehidupan maka manusia tidak memerlukan keadilan dan undang-undang.”

Kasmansingodimejo salah satu pendiri Muhammadiyah pernah mengatakan;

“Sesungguhnya kaum muslimin sekalipun hanya mengumpulkan kerikil, dalam waktu dekat akan menjadi gunung.” Seandainya jumlah kaum muslimin yang demikian besar dan berhasil menyingkirkan perbedaan-perbedaan kecil di antara mereka (furuiyah), maka hanya sekedar kencing secara berjamaah di pemukiman Yahudi di Palestina, mereka akan “tenggelam”.

Imam Syafii mengatakan’ “Allah tidak akan menolong umat yang bercerai-berai, baik dahulu, kini dan umat yang akan datang.” Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, kata pepatah Indonesia. Karena, tangan Allah di atas orang yang berjamaah (berkumpul karena ikatan iman), bukan sekedar berhimpun dan bergerombol karena hobi.

Semoga, tulisan ini semakin memperkokoh dan memperkuat identitas keislaman kita semua. Amin.









Bertauhid dan Menegakkan Pondasi Keislaman!


SEBAGAIMANA yang telah kita ketahui bahwasanya sebelum seseorang membangun sebuah bangunan, maka hendaknya yang pertama kali ia bangun adalah fondasinya. Hal ini sangat penting karena kokok tidaknya sebuah bangunan diantaranya ditentukan oleh kokoh tidaknya fondasi bangunan tersebut.
Karena itu, sebelum arsitek membangun gedung pencakar langit yang menjulang tinggi ke angkasa, maka langkah awal yang dilakukan adalah membangun fondasinya terlebih dahulu. Dia harus membangunnya dengan benar dan kokoh. Jika fondasinya kuat, maka bangunannya pun akan kuat menanggung beban diatasnya, demikian juga sebaliknya, jika pondasinya rapuh, maka bangunan tersebut dapat dipastikan tidak akan bertahan lama.

Demikian halnya dengan Islam. Islam memiliki fondasi sendiri. Sebelum seseorang menegakkan keislaman pada dirinya, maka hendaknya yang pertama kali dia bangun adalah membangun fondasi keislaman. Jika fondasi keislaman seseorang benar dan kuat, maka dia akan menjadi seorang muslim yang benar di mata Allah, tahan uji dan tahan banting. Dia akan menjadi seorang hamba Allah yang memiliki kegigihan dan keistiqomahan yang luar biasa. Begitu juga sebaliknya, jika fondasi keislaman seseorang tidak benar dan rapuh, maka keislamannya pun tidak kuat dan tidak akan bertahan lama. Maka sebagai Muslim, kita harus mengenal dasar dalam bangunan Islam atau disebut ma’rifatu ashlil Islam (Mengenal Pondasi Keislman).

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

“ dan di antara manusia ada orang yang mengabdi kepada Allah dengan berada di tepi (jurang), Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam Keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, maka berbaliklah ia ke belakang. Makarugilahia di duniadan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.“ [QS: al Hajj : 11]

Ayat ini menggambarkan perumpamaan orang yang memiliki fondasi keislaman yang rapuh. Ia membangun fondasi pengabdiannya kepada Allah di tepi jurang, di tanah yang mudah longsor. Sedangkan ujian dan bencana ibarat hujan lebat. Maka ujian/bencana yang datang akan menghantam keyakinannya laksana hujan lebat yang menghantam bangunan tersebut. Yang menyebabkan bangunan itu akan mudah hancur karena tanahnya longsor.

Ujian,cobaan dan bencana yang datang akan menyebabkan ia berpaling dari Islam. Hal ini menujukkan bahwa fondasi keislaman adalah hal yang sangat penting bagi siapa saja yang ingin menjadi seorang muslim yang benar di mata Allah. Fondasi keislaman tersebut mutlak diperlukan. Lalu pertanyaannya“ apa fondasi keislaman itu? Dan apa alasannya bahwa perkara itu disebut sebagai fondasi keislaman ? ”

Para ulama sepakat bahwa inti ajaran Islam/pondasi keislaman itu ada dua, yaitu :

1. Syahadat Tauhid, maksudnya adalah mendatangkan kalimat “Lailahaillallah“, dengan merealisasikan syarat-syarat dan rukun-rukunnya serta komitmen dengan isi kandungannya. Fondasi pertama ini menuntut seseorang memegang teguh ajaran tauhid. Fondasi pertama ini diambil dari kalimat “ashadu an la ila ha illallah.”

2. Syahadat Risalah. Maksudnya adalah mendatangkan kalimat “Muhammad Rosulullah“, dengan merealisasikan syarat-syaratnya. Fondasi kedua ini menuntut seseorang untuk mengikuti apa yang dibawa oleh Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam. Fondasi kedua ini diambil dari kalimat “asydu anna Muhammadan Rosulullah“. Adapun alasan kenapa dua perkarat ersebut disebut Ashlul Islam / fondasi keislaman adalah karena alasan-alasan berikut ini : Hal ini disepakati oleh para nabi. Ajaran tauhid ini disepakati oleh semua utusan-Nya. Dan ni adalah inti ajaran mereka. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala Q.S. Al Anbiya : 25 Allah SWT mengatakan:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum engkau melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak adaTuhan (yang hak disembah) selainAku, maka sembahlah aku saja."

Jadi, berdasarkan ayat ini semua utusan-Nya mendapat ajaran yang sama dari Allah, yaitu La ilaha illallah. Ajaran yang disepakati oleh para Nabi inilah yang disebut dengan “ashlul islam”/ pokok dasar islam. Karena Tauhid ini menjadi inti perjanjian para Nabi dan Rosul. Sedangkan Allah tidak mengambil perjanjian kepada para nabi kecuali perkara yang sangat penting. Tauhid ini menjadi isi perjanjian para Nabi dengan Allah. Bahwasanya para nabi mendapat tugas untuk mengemban risalah ini. Tentang perjanjian ini Allah berfirman Q.S Al Ahzab : 7

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ
وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“dan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang teguh.“

Ayat ini menjelaskan tentang perjanjian Allah dengan para nabi. Sedangkan isi perjanjiannya itu adalah tentang perintah menyampaikan dan menegakkan ajaran Tauhid sebagaimana yang dijelaskan kembali oleh Allah QS: As Syura: 13

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ

”Allah telah mensyari'atkan bagi kalian dari Dien ini apa yang telah di wasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah Dien ini, dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”

Jadi, inti perjanjian para Nabi dan Rosul dengan Allah adalah perintah menegakkan “La ilaha illallah”. Perjanjian inilah yang disebut dengan istilah “The Greatest Commandemant“ yang artinya Wasiat Tuhan yang paling tinggi. Perjanjian ini juga disebut dengan istilah “mitsaqan ghalidha” yang artinya perjanjian yang sangat kokoh. Karena tauhid ini menjadi inti perjanjian para Nabi maka tauhid ini disebut Ashlul Islam.

Karena ajaran Tauhid adalah ajaran Yang didakwahkan dan diperjuangkan oleh semua Rosul. Bahkan Tauhid ini menjadi poros dari roda dakwah para nabi dan rosul yang mana maknanya adalah ibadah kepada Allah saja dan menjauhi Thaghut (syetan, pemimpin yang tidak menegakkan syariat, apa saja yang disembah selain Allah Subhanahu Wata'ala QS: An Nahl : 36 .Allah SWT berfirman :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“ dansungguh, telah Kami utuspadatiap-tiapumatituseorangRasul, (masing-masingRosulberkatakpdumatnya): " Sembahlah Allah (saja), danjauhiThaghut."

Yang menjadi poros dari roda dakwah dan perjuangan para nabi berdasarkan ayat ini adalah La ilaha illallah. Karena hal ini, ia dinamakan ashlul islam/fondasi keislaman.

Tauhid adalah kewajiban yang pertama kali ditetapkan oleh-Nya atas manusia.

Tauhidullah adalah hak Allah atas hamba-hambanya. Kewajiban pertama yang ditetapkan atas manusia adalah syahadat lailahaillallah [mentauhidkan Allah] dan syahadat Risalah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari Ibnu Umar

امِرْتُ اَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا اَنْ لاَ اله الا الله, وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ, وَاِذاَ فَعَلُوا ذَالِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَاَمْوَالَهُم اِلاَّ بِحَقِّ لاسْلاَمِ وَحِسَابُهُم عَلىَ اللهِ تَعَالىَرواه البخاري ومسلم

"Saya di perintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa La ilaha illallah dan Muhammad adalah Rosulullah, mereka mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Dan apabila mereka telah melaksanakannya, mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam. Dan perhitungannya atas Allah Ta’ala.“ [HR: Bukhari dan Muslim].

Demikian pula hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Ibnu Abbas ra. bahwa Rosulullah mengutus Muadz bin Jabal untuk menjadi Ambassador dakwah di Negeri Yaman, sebelum Rosul mengirim duta dakwah tersebut, beliau berpesan kepadanya:

اِنَّكَ َتَأتِى قَوْمًا مِنْ اَهْلِ الكِتَابِ, فَليَكُنْ اَوَّلَ مَاتَدْعُوْهُمْ اِلَيْهِ شَهَادَةُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهِ, وَفِي رِوَايَةٍ اِلىَ اَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ

“Sesungguhnyakamuiniakanmendatangaikaumdariahlikitab, maka hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ‘ syahadat la ilahaillallah’, dan dalam riwayat lain disebutkan, supaya mereka mentauhidkan Allah.”

Tauhid adalah hal yang pertama kali harus diketahui dan di amalkan oleh manusia. Sebelum seseorang mengetahui perkara yang lainnya, maka yang pertama kali harus ia ketahui adalah “La ilahaillallah“. Ilmu yang pertama kali harus diketahui oleh manusia adalah tauhid. Tentang hal ini Allah berfirman dalam Surat Muhammad: 19

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Maka ketahuilah, bahwasanya la ilaha illallah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan.



JADI, hal pertama yang harus diketahui adalah La ilaha illallah, yaitu memegang tauhid dan meninggalkan kemusyrikan. Karena hal ini adalah perkara yang sangat penting. Demikian pula yang pertama kali harus diajarkan kepada manusia adalah tauhid. Karena inilah yang pertama kali harus diketahui, maka perkara inilah yang pertama kali harus diajarkan. Oleh karena itu yang pertama kali diajarkan Luqman Hakim kepada anaknya adalah memegang tauhid dan meninggalkan kemusyrikan, lihat Q.S. Luqman : 13 Allah menjelaskan

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar."

Jadi, Tauhid adalah perkara yang harus diketahui dan diajarkan pertama kali, sebelum seseorang belajar ilmu yang lainnya.

Tauhid merupakan syarat minimal seseorang disebut Muslim. Dalam artian orang tidak disebut seorang muslim kecuali ia memegang tauhid .Karena Allah memberi nama “muslim” hanya bagi orang-orang yang bertauhid/orang yang mengabdikan hidupnya hanya kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya. Ajaran tauhid inilah ajaran yang dibawa oleh Bapak Spiritual kita, Nabi Ibrahim. Karena itu Ajaran tauhid ini juga dinamakan “millah Ibrahim”. Dan dengan memegang ajaran Tauhid /millah Ibrahim ini seseorang layak menyandang nama “muslim”.Tentang hal ini Allah berfirman dalam Q.S Al Hajj : 78

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ

“dan Allah tidak menjadikan bagimu didalam Dien ini sesuatu yang menyusahkan, inimillah orang tuamu Ibrahim. (yang mana) (Allah) memberi namakalian orang-orang Muslim.”

Jadi dengan memegang tauhid ini, seseorang disebut sebagai muslim. Karena kalimat La ilaha illallah menjadi kunci pembuka keislaman. Dengan kata lain La ilaha Illallah menjadi ashlul islam/fondasi keislaman.

اَشْهَدُ انْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله , وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَه

“Saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang haq) selain Allah, Yang tidak ada sekutu bagi-Nya.”

Ini adalah sebuah kesaksian terhadap sebuah kalimat yang dengannya bumi dan langit menjadi ada. Karena kalimat inilah seluruh makhluk diciptakan, dan dengannya pula, Allah menurunkan kitab –kitab-Nya, Mengutus para Rasul-Nya dan menetapkan syari’at-Nya. Karena ini pula timbangan ditegakkan, catatan amal diletakkan, dan taman surga serta api neraka menjadi ada.

Sebuah kalimat yang membagi manusia menjadi dua golongan antara muslim dan kafir. Karena kalimat ini dan hak-haknya terjadi pertanyaan dan jawaban di alam baqa. Karena itu juga pahala dan siksa menjadi ada. Di atas kalimat ini syariat ditegakkan, dan Qiblat ditetapkan.Dan diatasnya pula Millah para Nabi ini dibangun. Dan karena kalimat ini, dakwah diperintahkan dan pedang-pedang jihad terhunus. Dan ini merupakan hak khusus bagi Allah atas hamba-hamba-Nya.

Karena itu mari kita berpegang teguh dan selalu komitmen dangan makna kandungannya. Yang dengan memegang kalimat ini seseorang disebut muslim, sebagaimana Firman Allah Ta’ala Q.S Ali Imran : 64

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Katakanlah (muhammad): "Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kalian, bahwa kita tidak menghambakan diri kecuali kepada Allah dan kita tidak mempersekutukan - Nya dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah". jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar