Powered By Blogger

Sabtu, 14 April 2012

JENDELA KELUARGA

Albert Tak Pernah Kembali


ADA seorang tokoh yang sangat dihormati oleh dunia psikologi. Ia sangat terkenal dengan ucapannya yang mengagumkan –dan saya tidak berani berkata demikian—tentang anak. Ia berkata, “Berikanlah kepadaku selusin anak-anak sehat, tegap dan berikan dunia yang aku atur sendiri untuk memelihara mereka.”

“Aku jamin,” kata tokoh kita ini, “Aku sanggup mengambil seorang anak sembarangan saja dan mendidiknya untuk menjadi tipe spesialis yang aku pilih –dokter, pengacara, seniman, saudagar dan bahkan pengemis dan pencuri, tanpa memperhatikan bakat, kecenderungan, tendensi, kemampuan, pekerjaan, dan ras orangtua.”

Ia tidak main-main. Ia berkata dengan sungguh-sungguh, meskipun tidak pernah bersedia membuktikan ucapannya. Yang ia buktikan adalah, menerapkan teorinya untuk menimbulkan rasa takut pada anak. Ia melakukan percobaan bersama Rosalie Rayner di Jon Hopkins. Yang dipilih menjadi kelinci percobaan bukan seekor kelinci, tetapi seorang anak yang lucu dan cerdas bernama Albert. Usianya baru sebelas bulan ketika itu. Ia tinggal di sebuah rumah perawatan anak-anak cacat karena ibunya pengasuh di situ. Ia sendiri sangat sehat dan cerdas.

Sekarang, rasa takut ingin diciptakan. Ketika Albert sedang asyik bermain dengan tikus putih kesayangannya, lalu menunjukkan perilaku hendak menyayangi binatang itu, lempengan baja dipukul keras-keras tepat di belakang kepalanya sehingga suaranya sangat memekakkan telinga. Albert bukan saja tersentak kaget. Ia sangat ketakutan, tersungkur jatuh dan menelungkupkan mukanya ke atas kasur. Wajahnya sangat pucat karena rasa takut yang luar biasa.

Reaksi mengerikan ini belum cukup bagi peneliti. Mereka mengulangi lagi proses tersebut. Kali ini Albert tersentak, tersungkur dan mulai gemetar ketakutan. Seminggu kemudian ketika tikus itu diberikan kepadanya, Albert ragu-ragu dan menarik tangannya ketika hidung tikus itu menyentuhnya. Pada keenam kalinya tikus diperlihatkan dengan suara keras pukulan baja yang memekakkan telinga, sekali lagi tepat di belakang kepala dekat telinganya. Ketakutan Albert semakin bertambah-tambah, dan ia menangis keras. Ia merasa ngeri. Akhirnya, setiap kali tikus itu muncul –walapun tidak diiringi pukulan lempeng baja yang memekakkan telinga—Albert mulai menangis, membalik dan berusaha menjauhi tikus itu.

Kelak, ia bukan saja takut pada tikus. Ia juga ngeri melihat kelinci, anjing, baju berbulu, dan apa saja yang mempunyai kelembutan seperti bulu tikus. Albert yang cerdas dan lucu itu sekarang sudah berubah menjadi sakit jiwa. Kedua peneliti itu bermaksud menyembuhkannya lagi, jika memungkinkan, tetapi Albert dan ibunya segera pergi meninggalkan rumah perawatan itu. Dan tak ada yang tahu nasib Albert, sementara pihak yang berwenang tidak pernah bersikeras menemukannya.

Anak itu memang pergi dengan menjalani nasibnya, diiringi tangis orangtua yang tak habis-habisnya menetes. Tetapi J.B. Watson yang telah menyebabkan anak itu menderita seumur hidup, menjadi orang yang sangat dikagumi karena “penemuannya”. Jutaan orang mengangkat topi untuknya karena jasa-jasanya yang luar biasa dalam bidang psikologi. Hari ini, kita juga patut "berterima kasih" kepadanya. Setidaknya, dia telah berjasa menunjukkan contoh buruk perlakuan terhadap anak, sehingga kita tidak perlu mengulangi kebodohan serupa. Atau… jangan-jangan kita sebenarnya lebih kejam daripada Watson? Inilah yang perlu kita renungkan secara jujur.

Boleh jadi kita memang tidak segila Watson, tetapi kita menyebabkan anak-anak kita rapuh jiwanya karena komunikasi yang salah. A.G. Rego, penulis buku How to Stop Worrying & Start Living menunjukkan bahwa kegelisahan, kecemasan dan ketidaktenangan banyak berawal dari cara berpikir yang salah. Kita sibuk mengandaikan masa lalu, mengingat-ingatnya dengan hati perih, lalu membayangkan seandainya dapat mengubah apa yang sudah terjadi pada masa lalu kita, sehingga kita tidak bergerak maju. Karena itu, A.G. Rego menyarankan untuk melupakan masa lalu.

Ambillah pelajaran dari masa lalu, tangisilah kebodohan-kebodohan dan kedurhakaan-kedurhakaan yang pernah kita di masa silam sebagai bentuk penyesalan dan pertanggung-jawaban kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tetapi tangisan itu merupakan penggerak untuk menuju iman yang lebih bersih, ‘ibadah yang lebih khusyuk dan ‘amal yang lebih baik. Bukan untuk membuat kita terkungkung di dalamnya. Menyibukkan diri dengan berandai-andai (“Coba saya kemarin begini….”), justru akan menjadikan jiwa rapuh dan mental kita sakit.

Menyibukkan diri dengan kata seandainya, juga dapat menjadi pintu setan untuk merusak iman dan menghancurkan kekuatan ruhiyah. Kasus-kasus depresi dimana orang kehilangan harapan dan tak jarang menyalahkan Tuhan, kerapkali berkait erat dengan kecenderungan mengandaikan masa lalu. Sibuk berandai-andai tentang masa lalu yang menyedihkan agar berubah menjadi membanggakan, sering menjadi penyebab keputus¬asaan yang amat berat sebelum menghadapi tantangan nyata. Ini berakibat remuknya kekuatan untuk menghadapi persoalan. Ada masalah sedikit, sudah menimbulkan guncangan besar bagi jiwa. Ada kesalahan sedikit yang ia lakukan, segera saja ia tak habis-habisnya menyalahkan Tuhan –secara langsung maupun tidak—meskipun pengetahuan agamanya luas.

Teringatlah saya dengan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Suatu saat beliau pernah mengingatkan, “Bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah serta jangan merasa lemah. Bila kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan, ‘Seandainya (tempo hari) aku melakukan ini, niscaya begini dan begini.’ Katakanlah, ‘Allah telah menakdirkan dan apa yang Allah kehendaki, maka itu terjadi.’ Sesungguhnya kata seandainya akan membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Muslim).

Berpijak pada hadis ini, tak ada tempat bagi kita untuk menyibukkan diri dengan kata seandainya atas apa-apa yang sudah terjadi. Tak ada manfatnya mengenang masa lalu dengan sibuk berandai-andai. Masa lalu tak pernah menjadi pelajaran, kecuali apabila kita melihatnya dengan pikiran yang jernih, jiwa yang tenang, hati yang bersih, sikap yang baik dan perasaan yang ikhlas dalam menerima takdir. Barangkali kita memang tidak menggunakan kata seandainya, tetapi betapa sering kita justru mengajarkan maknanya kepada anak-anak kita. Kita contohkan kepada mereka bagaimana menyibukkan diri mengandaikan masa lalu dan tidak ridha dengan apa yang sudah terjadi.

Astaghfirullahal ‘adzim.

Sibuk mengandaikan masa lalu, juga menyebabkan anak-anak yang cerdas menjadi minder, anak-anak yang hebat menjadi patah semangat dan anak-anak yang kreatif menjadi kehilangan inisiatif. Bukan tidak mungkin mereka bahkan harus menjalani perawatan yang terus-menerus. Mereka menjadi generasi yang lemah tak berdaya; generasi yang Allah perintahkan kepada kita agar merasa takut jangan-jangan meninggalkan di belakang kita generasi yang seperti itu. Allah firmankan dalam kitab-Nya:

وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قولا سديدا

“Dan hendaklah orang-orang pada takut kalau-kalau di belakang hari mereka meninggalkan keturunan yang lemah, dan mencemaskan (merasa ketakutan) akan mereka. Maka bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan qaulan sadidan (perkataan yang benar).” (QS. An-Nisaa’: 9).

Lalu, apakah mungkin orangtua mengajari anak berandai-andai, sementara kita tahu bahwa di dalamnya ada keburukan yang nyata? Sebelum menjawab pertanyaan ini, izinkan saya bercerita tentang hasil sebuah penelitian yang saya baca saat membuat tulisan ini. Ada hal yang mengejutkan –atau sebenarnya tidak terlalu mengherankan—bahwa 30 persen dari kasus depresi yang dialami anak, bersumber dari komunikasi yang tidak sehat antara orangtua dan anak. Lebih khusus lagi komunikasi antara ibu dan anak, meski dalam kasus lain lebih banyak berkait dengan pola komunikasi yang buruk antara ayah dan anak. Di sisi lain, komunikasi ibu dan anak dipengaruhi oleh kualitas komunikasi suami-istri, disamping tentu saja faktor pengalamannya dalam keluarga.

Sikap mental yang rawan terganggu, juga banyak diserap dari orangtua. Kadang kita tidak menyadari, tetapi kita mengajari anak untuk berandai-andai dengan masa lalu ketika mata kita membelalak seraya berkata, “Bapak kan sudah berkata. Coba kalau kemarin ikut les, nilaimu pasti bagus. Kamu tidak kalah dengan temanmu.”

Atau ketika anak selesai ikut lomba, kita pukul kepala kita sendiri sambil merutuk, “Ah, coba seandainya kamu tadi bawa cat air… ah, coba kamu bawa, pasti kamu menang.”

Sekedar catatan, pengalaman yang sangat membekas dan memberi pengaruh kuat kepada anak untuk berandai-andai dengan masa lalu –bukan masa depan—banyak terjadi saat anak gagal mengikuti lomba. Termasuk dalam kategori gagal adalah mereka yang menjadi juara dua, juara tiga, juara harapan… dan apalagi yang tidak memiliki harapan menjadi juara. Mereka yang menjadi juara dua dengan selisih nilai yang sangat sedikit, justru lebih rentan mengalami sindrom “seandainya” karena orangtua, guru serta orang-orang dekat lainnya seringkali justru lebih ekspresif dalam mengungkapkan kata seandainya dan sekaligus menyertai ucapan itu dengan menunjukkan kekecewaan yang berat. Itu sebabnya, saya melarang anak-anak ikut lomba. Boleh jadi mengikuti acara lomba lukis, tetapi bukan dalam rangka lomba, melainkan sebagai kesempatan melukis bersama.

Anak-anak yang lemah jiwanya, kerapkali juga berawal dari melihat orang yang sangat dengannya suka merutuk masa lalu. Mungkin karena kecewa, tanpa sadar seorang bapak memaki-maki masa lalu, “Ah, bodoh… bodoh…. Seandainya tadi saya tidak singgah, mungkin tidak begini kejadiannya.”

Ah… jangan-jangan kita iman yang belum tertanam kuat di hati kita, sehingga tidak ridha terhadap takdir-Nya.*






Untungnya Melahirkan Itu Sakit

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS: Ali Imran [3]: 190-191)

BUKAN kebetulan kalau melahirkan itu sakit. Andaikata Allah Subhanahu wata’ala menghendaki, tak ada yang sulit untuk menghapus rasa sakit itu. Mudah pula bagi Allah Ta’ala untuk mencabut susah payah yang dirasakan oleh ibu-ibu hamil sejak awal mengandung hingga siap melahirkan. Cukuplah bagi Allah Ta’ala bertitah “Kun!” maka jadilah apa yang Ia kehendaki.

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْراً فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ

“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”. Lalu jadilah ia.” (Al-Baqarah, {2}: 117).

Kalau kemudian harus ada rasa sakit, bahkan kesakitan yang luar biasa, pasti ada manfaat besar dibaliknya. Ada hikmah dibalik rasa sakit saat melahirkan baik bagi ibu maupun bayi yang dilahirkan. Tentu saja seorang ibu harus merawat kehamilannya dengan baik, menjaga kesehatannya dan melakukan hal-hal yang memang semestinya dilakukan untuk menjaga bayi yang ada dalam kandungan. Ini bukan untuk menghilangkan rasa sakit saat melahirkan, tetapi sebagai penghormatan terhadap amanah Allah Ta’ala berupa kehamilan.

Andaikata rasa sakit saat melahirkan membawa keburukan besar bagi bayi yang dilahirkan beserta ibunya, tentu Allah Ta’ala mencabut rasa sakit itu. Andaikata rasa sakit saat bersalin membawa keburukan besar yang membahayakan ibu dan anak, secara fisik maupun mental, niscaya kita sudah nyaris punah. Tak ada lagi yang mau melahirkan disebabkan besarnya rasa sakit. Tak ada lagi yang bisa melahirkan secara normal disebabkan trauma persalinan yang tak berkesudahan. Sedangkan anak-anak yang dilahirkan sudah mengalami banyak masalah.

Tetapi tidak…!

Berjuta-juta ibu tetap tersenyum bahagia justru beberapa detik setelah melewati rasa sakit itu. Begitu bayi lahir dengan selamat, segala rasa sakit itu seakan telah terbayar lunas. Wajah mereka berseri-seri, bahkan di saat yang menunggui persalinan masih merasa penat. Justru besarnya rasa sakit itulah yang membuat persalinan lebih bermakna. Ada perjuangan, ada pengorbanan. Salah satu hikmahnya, ikatan emosi antara ibu dan anak terbentuk lebih kuat sejak hari pertama, bahkan semenjak bayi belum lahir karena kepayahan yang bertambah-tambah saat mengandung.

Jika kita menyimak sejarah, orang-orang besar dalam dien ini bahkan dilahirkan bukan saja dengan rasa sakit yang amat sangat, lebih dari itu ada penderitaan yang nyaris tak tertanggungkan kecuali bagi orang-orang yang memiliki keimanan sangat kuat. Bukankah Bunda Nabiyullah Ismail adalah perempuan salehah istri seorang Nabi? Bukankah doa seorang nabi sangat mustajabah? Tetapi kenapa masih harus ada rasa sakit dan kesengsaraan yang mengiringi kelahiran Isma’il ‘alaihissalam?

Ada pelajaran di sini. Ada yang patut kita renungkan; apa yang harus kita perbuat dengan ongkos yang telah dikeluarkan oleh para ibu berupa rasa sakit dan kepayahan yang bertambah-tambah saat mengandung hingga melahirkan.

Mari kita ingat sejenak firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِي

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.” (Al-Ahqaaf, {46}: 15).

Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Setiap ketetapan Allah Ta’ala pasti terkandung kebaikan besar di dalamnya. Sebagaimana pada setiap perintah Allah Ta’ala dan sunnah rasul-Nya pasti ada kemuliaan. Bukan daging kambing yang menyebabkan darah tinggi sehingga banyak kaum muslimin yang menghindari sunnah nabi. Tetapi gaya hidup kitalah yang menyebabkan kita mudah penyakitan.

Tetapi, haruskah para perempuan tetap melahirkan dengan rasa sakit? Bukankah semakin banyak berkembang teknologi maupun metode-metode yang diklaim dapat membebaskan para perempuan dari rasa sakit saat melahirkan?

Catatan Dr. Denis Walsh menarik untuk kita perhatikan. Associate Professor kebidanan di Nottingham University ini menunjukkan dalam tulisannya yang dimuat di jurnal Evidence Based Midwivery (Kebidanan Berbasis Bukti) terbitan Royal College of Midwives (RCM) bahwa rasa sakit saat melahirkan sangat bermanfaat bagi ibu maupun bayi yang dilahirkan.

Walsh menulis, “Rasa sakit dalam persalinan merupakan sesuatu yang bertujuan, penuh manfaat, memiliki sangat banyak keuntungan, seperti misalnya mempersiapkan ibu untuk mengemban tanggung-jawab mengasuh bayi yang baru lahir.”

Lebih lanjut Walsh menunjukkan bahwa rasa sakit saat melahirkan bersifat sesaat, sangat menyehatkan dan mempercepat terbentuknya ikatan emosi yang baik antara ibu dan anak. Walsh menekankan bahwa melahirkan secara alamiah merupakan pilihan terbaik. Usahakan dengan sungguh-sungguh agar setiap persalinan berlangsung alamiah.

Dari catatan Walsh kita juga bisa memetik satu pelajaran penting. Jangan memilih operasi caesar untuk persalinan Anda kecuali sangat terpaksa, yakni ketika tidak ada pilihan lain dan secara medis memang diharuskan untuk bersalin melalui operasi. Karenanya, pastikan Anda memilih dokter yang memiliki integritas pribadi sangat kuat; dokter yang tidak mudah menganjurkan operasi hanya karena uang. Ini penting untuk kita perhatikan karena uang itu “hijau” meskipun warnyanya pink.

Bagaimana dengan hypnobirthing? Selain tidak didukung bukti-bukti yang kuat, Walsh juga menganjurkan agar ibu hamil tidak mengikuti program semacam ini. Sadar atau tidak, pilihan mengikuti program hypnobirthing telah melemahkan mental untuk siap berjuang dan berpayah-payah dalam mendidik anak. Berhasil atau gagal, dua-duanya tidak baik untuk Anda. Salah satu yang mengkhawatirkan jika Anda gagal menghilangkan rasa sakit saat bersalin, rentan memunculkan kekecewaan dan penolakan terhadap anak.
Dalam hal ini, sikap mental sebelum melahirkan sangat berpengaruh terhadap bagaimana seorang ibu menjalani persalinan dan mengasuh anak di masa-masa berikutnya. Jika Anda terpaksa bersalin melalui prosedur operasi caesar, sementara Anda sangat berkeinginan untuk melahirkan secara normal dan pada saat yang sama tidak ada niatan untuk menghindari rasa sakit, maka Anda akan lebih siap mengasuh, merawat dan mendidik anak Anda. Wallahu a’lam bishawab.*







Kunci Surga Itu Bernama Kesetiaan

PADA suatu hari, Fathimah Radhiyallahu ‘anha (RA) bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapakah perempuan yang akan masuk surga pertama kali. Rasulullah menjawab, ”Seorang wanita yang bernama Mutiah.”

Tentu saja Fathimah terkejut. Ternyata bukan dirinya, seperti yang dibayangkannya. Mengapa orang lain, padahal dia adalah putri Nabi?

Timbullah keinginan untuk mengetahui siapakah Mutiah itu. Apa gerangan yang diperbuatnya sampai mendapat kehormatan yang begitu tinggi?

Sesudah meminta izin kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib RA, Fathimah berangkat mencari rumah Mutiah. Putranya yang masih kecil, Hasan, menangis ingin ikut. Maka digandengnya Hasan.

Tiba di depan rumah yang dituju, Fathimah mengetuk pintu, “Assalaamu’alaikum…!”

“Wa’alaikumsalaam. Siapa di luar?” terdengar jawaban dari dalam rumah. Suaranya cerah dan merdu.

“Saya Fathimah, putri Rasulullah.”

“Alhamdulillah, alangkah bahagia saya hari ini. Fathimah sudi berkunjung ke gubug saya,” terdengar kembali jawaban dari dalam, terdengar lebih gembira, dan makin mendekat ke pintu.

“Sendirian Fathimah?” tanya Mutiah.

“Aku ditemani Hasan.”

“Aduh, maaf ya,” suara itu seperti menyesal. “Saya belum mendapat izin untuk menemui tamu laki-laki.”

“Tapi Hasan masih kecil.”

“Meski kecil, Hasan laki-laki. Besok saja datang lagi, saya akan minta izin kepada suami saya.”

Sambil menggeleng-nggelengkan kepala, Fathimah akhirnya minta permisi.

Besoknya ia datang lagi. Kali ini Husain, adik Hasan, diajak juga. Bertiga dengan anak-anak yang masih kecil itu, Fathimah mendatangi rumah Mutiah.

Setelah memberi salam dan dijawab gembira, Mutiah bertanya dari dalam, “Jadi dengan Hasan? Suami saya sudah memberi izin.”

“Ya, dengan Hasan dan Husain.”

“Ha! Mengapa tidak bilang dari kemarin? Yang dapat izin cuma Hasan, Husain belum. Terpaksa saya tidak bisa menerima juga.”

Lagi-lagi Fathimah gagal bertemu.

Esok harinya barulah mereka disambut baik-baik oleh Mutiah. Keadaan rumah itu sangat sederhana. Tidak ada satu pun perabot mewah, namun semuanya teratur rapi.

Ada tempat tidur yang terbuat dari kayu kasar namun tampak bersih. Alasnya putih, agaknya baru dicuci. Bau di dalam sangat segar. Membuat orang betah tinggal berlama-lama.

Fathimah kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu. Hasan dan Husain pun yang biasanya kurang begitu senang berada di rumah orang, kali ini tampak asyik bermain-main.

“Maaf, saya tidak bisa menemani Fathimah duduk, sebab saya sedang menyiapkan makan buat suami saya,“ kata Muthiah sambil sibuk di dapur.

Mendekati tengah hari, masakan itu sudah rampung. Mutiah menatanya di atas nampan. Juga, menaruh cambuk.

Fathimah bertanya, ”Suamimu kerja di mana?”

“Di ladang.”

“Penggembala?”

“Bukan. Bercocok tanam.”

“Tapi mengapa kau bawakan cambuk, untuk apa?”

“Oh, itu,” Mutiah tersenyum. “Cambuk itu saya sediakan untuk keperluan lain.”

Fathimah penasaran.

“Maksud saya begini. Kalau suami saya sedang makan, maka akan saya tanyakan apakah cocok atau tidak. Kalau dia bilang cocok, tak akan terjadi apa-apa. Tetapi kalau bilang tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya agar punggung saya dicambuk sebab tidak bisa menyenangkan hati suami.”

“Atas kehendak suamimukah kau bawa cambuk itu?”

“Oh, sama sekali tidak. Suami saya adalah orang yang lembut dan pengasih. Ini semua semata-mata kehendak saya agar jangan sampai saya menjadi istri yang durhaka kepada suami.”

Usai mendengar penjelasan ini, Fathimah minta permisi. Dalam hati ia berkata, pantas ia akan masuk surga buat pertama kali. Baktinya kepada suami begitu besar dan tulus.

Kesetiaan yang Bersejarah

Bukan berarti Fathimah tidak termasuk tipikal wanita yang setia terhadap suaminya. Kesetiaan dan ketaatan buah hati Rasulullah ini kepada suami tidak diragukan lagi. Kehidupan rumah tangganya serba kekurangan, nemun kesetiaannya yang didasari keimanan dan perjuangan syiar Islam tidak luntur walau sedebu. Darah kesetiaan nampaknya mengalir deras dari ibundanya, Khadijah RA, Muslimah pertama yang mempelopori kecintaan dan kesetiaan kepada suami.

Mari kita kenang kembali peristiwa yang sungguh mendebarkan jantung Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Peristiwa itu ialah penerimaan wahyu yang pertama di Gua Hira.

Sekembalinya ke rumah, Nabi berkata kepada istrinya yang tercinta, “Aku merasa khawatir terhadap diriku.”

Saat itu Khadijah dengan segala kelembutannya berkata, “Wahai Kakanda, demi Allah, Tuhan tidak akan mengecewakanmu karena sesungguhnya Kakanda adalah orang yang selalu memupuk dan menjaga kekeluargaan, serta sanggup memikul tanggung jawab.

Kakanda dikenali sebagai penolong kaum yang sengsara, sebagai tuan rumah yang menyenangkan tamu, ringan tangan dalam memberi pertolongan, senantiasa berbicara benar dan setia kepada amanah,” tuturnya.

Apakah ada wanita lain yang dapat menyambut sedemikian baik peristiwa bersejarah yang berlaku di Gua Hira seperti yang dilakukan oleh Khadijah? Betapa besarnya kepercayaan (kesetiaan) dan kasih sayang seorang istri kepada suami yang dilandasi iman yang teguh. Sedikit pun Khadijah tidak berasa ragu-ragu di dalam hatinya.

Jika ada wanita yang berkurang kadar kesetiaannya karena alasan penghasilan dan kekayaan, maka Khadijah merupakan wanita kaya dan terkenal. Beliau wanita yang hidup mewah dengan hartanya sendiri. Namun semua itu dengan rela dikorbankannya untuk memudahkan tugas-tugas suaminya. Baginya, apa yang dimiliki tidak lebih mulia daripada mendukung misi suci yang diemban suaminya. Sikap inilah yang menjadi sumber kekuatan rumah tangga Rasulullah sepanjang kehidupan mereka bersama.

Khadijah begitu setia menyertai Nabi dalam setiap peristiwa suka dan duka. Setiap kali suaminya ke Gua Hira, beliau pasti menyiapkan segenap perbekalan dan keperluan. Seandainya Rasulullah agak lama tidak pulang, Khadijah akan mengunjungi untuk memastikan keselamatan suaminya tercinta.

Ketika Rasulullah khusyu’ bermunajat, Khadijah tinggal di rumah dengan sabar sehingga suaminya pulang. Apabila Nabi mengadu kesusahan serta berada dalam keadaan gelisah, istri teladan ini mencoba sedapat mungkin menenteramkan dan menghiburnya sehingga suaminya benar-benar merasakan ketenangan.

Setiap ancaman dan penganiayaan dihadapi bersama. Malah dalam banyak kegiatan peribadatan Rasulullah, Khadijah pasti bersama dan membantu, misalnya menyediakan air untuk mengambil wudhu.

Kecintaan dan kesetiaan itu bukan sekadar kepada suami, namun jelas berlandaskan keyakinan yang kuat tentang keesaan Allah. Segala pengorbanan untuk suaminya adalah ikhlas untuk mencari keridhaan Allah.

Allah Maha Adil dalam memberi rahmat-Nya. Setiap amalan yang dilaksanakan makhluk-Nya dengan penuh keikhlasan, pasti mendapat ganjaran yang berkekalan.

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

Allah berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97).

Janji Allah itu pasti benar. Wujud kesetiaan yang telah ditunjukkan oleh Mutiah, Fathimah, dan juga Khadijah bukan sekadar menghasilkan kekuatan yang mendorong kegigihan dan perjuangan suaminya, namun juga membawa barakah yang besar kepada rumah tangga mereka. Anak-anak yang lahir dari wanita-anita seperti ini adalah anak-anak yang shalih yang mendorong para orangtua menuju surga.

Kalaulah di zaman sekarang ini ada anggapan bahwa kesetiaan di atas merupakan lambang perbudakan pria kepada wanita, jelas itu tidak benar. Justru sebaliknya, itu merupakan cermin cinta, ketulusan, dan pengorbanan kaum wanita yang harus dihargai dengan perilaku yang sama dalam rangka mencari ridha-Nya.*






Empat Tips untuk Anda, Agar Cepat Hamil

ADA pasangan suami-istri yang telah menikah 15 tahun lamanya belum dikaruniai anak. Pasangan ini sangat menanti lahirnya sang buah hati namun tak kunjung tiba. Beragam cara dan pengobatan telah ditempuh hasilnya tidak memuaskan. Si istri mulai dihinggapi perasaan takut jika suaminya berpaling ke lain hati demi memiliki ‘investasi’ berharga yang satu ini, sementara sang suami mulai terasuki putus asa.

Di tempat berbeda, seorang istri bernama Etty berkaca-kaca matanya ketika melihat test pack yang menunjukkan bahwa dirinya positif akan menjadi seorang ibu dari jabang bayi yang tengah dikandung. Hampir saja ia tidak percaya. Dilihatnya berulang-ulang dengan tatapan serius. Akhirnya senyum gembira menghiasi bibirnya. Selang kemudian, suaminya yang diberi tahu oleh istri bergegas melakukan sujud syukur. Tangis kedua pasangan ini pecah seketika, membahana di seisi rumah.

Dulunya si istri pernah mengatakan, “Saya bosen liat test pack. Saya sampek beranggapan mungkin Allah memang sudah menakdirkan saya tidak punya keturunan. Saya hanya mencoba, barangkali ada sebuah keajaiban. Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah telah berkehendak.”

Awalnya keluarga di atas mengikuti pengobatan medis seperti yang disarankan oleh dokter kandungan namun karena biaya mahal, keduanya beralih kepada pengobatan ala Nabi. Seperti mengonsumsi buah-buahan yang sering disebutkan dalam Al-Qur`an : pisang, pepaya, anggur, kurma, dan sebagainya. Tidak lupa, keduanya mengonsumsi habbatus sauda` atau jinten hitam, minyak Zaitun, madu, atau bekam dalam jangka waktu sekali sebulan.

***

Kita yakin dengan sebenar-benarnya, siapa pun yang akan dan telah menikah pasti menginginkan kelahiran buah hati penyejuk jiwa, generasi penerus, dan pelengkap keharmonisan keluarga. Tanpa anak, rasanya kehidupan rumah tangga berjalan dengan garing, tak ada canda tawa yang lebih asyik. Di luar, ribuan pasangan di seantero alam yang belum dikaruniai anak selalu menanti kapan tibanya hari H yang satu ini.

Tidak jarang, cara yang tak lazim melanggar aturan main dalam agama pun kadang ditempuh demi memuluskan harapan punya momongan. Keberadaan anak di tengah rumah tangga merupakan impian setiap lelaki dan wanita yang menikah.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. sendiri menganjurkan kita untuk menikah dengan orang (pria/wanita) yang subur, bisa memberikan keturunan yang sehat, prima, terampil, dan paling penting, anak yang shalih.

Anak adalah buahnya hati. “Segala sesuatu memiliki buah dan buahnya hati adalah anak,” sabda nabi di sebuah kesempatan. Dalam hadits yang lain disebutkan,“Wangi seorang anak merupakan bagian dari wewangian surga.”

Nabi Zakaria AS., seorang utusan Allah yang mulia, pernah merasakan pengalaman yang saat ini dirasakan oleh ribuan pasangan yang belum memiliki anak. Nabi Zakaria tidak berputus asa, kecewa, dan galau, tapi tetap percaya semua ada hikmahya. Beliau tetap berikhtiar dan berdoa kepada Allah.

Penantian Nabi Zakaria terjawab sudah, seorang anak Allah berikan kepadanya. Dalam Al Qur`an surat Maryam ayat 4-5, Allah menceritakan kepada kita: “Ia berkata "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku. Sesungguhnya aku khawatir terhadap orang-orang yang akan melanjurkan urusanku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera.”

Anak merupakan penerus perjuangan dan harapan orangtua, sehingga Nabi menegaskan, “Janganlan kalian lalai untuk memohon keturunan karena jika seseorang telah meninggal dunia dan tidak memliki keturunan maka namanya akan terhapus.” Dalam hadits yang lain nabi menyatakan, “Mohonlah keturunan dan berharaplah, sesungguhnya keturunan adalah penyejuk mata dan kebahagiaan hati.”

Tips Mempunyai Momongan

Kisah yang diunggah di atas tentunya bisa menjadi motivasi kepada siapa saja yang belum memiliki anak kandung untuk terus berdoa. Selain berdoa, usaha dan amal nyata jangan kita abaikan. Sebab, doa yang membumi berbanding lurus dengan ikhtiyar, dan ini suatu keniscayaan. Hanya mimpi di siang bolong, misalnya, kala kita berdoa supaya sukses dan lancar dalam studi namun sekadar doa sementara aktivitas kita tidak mengarah kepada kesuksesan namun bermalas-malasan dan pasrah menerima nasib.

Sama halnya dengan berdoa dan berharap kepada Allah agar diberi anak perlu diiringi dengan ikhtiyar. Dan itu telah banyak dijelaskan oleh para ahli yang memiliki kompetensi dalam masalah ini.

Dalam Majalah Al Falah Edisi Januari 2012 halaman 11 yang mengutip dari berbagai sumber, disebutkan empat tips agar cepat hamil. Pertama, hindari suasana yang menggiring anda menjadi stress. Caranya, manjakanlah diri Anda dengan beragam kegiatan yang akan memberikan suasana sehat, baik dari segi fisik maupun psikis.

Dengarkanlah musik kesukaan Anda, membaca buku, berjalan santai dengan pasangan Anda. Bisa juga dengan mendatangi klinik pijat dan aromaterapi, datangilah spa serta rawatlah tubuh Anda sebaik mungkin. Intinya lepaslah lelah dan penat dari diri Anda. Buatlah diri Anda bahagia. Buang jauh-jauh perasaan tertekan.

Kedua, selalu berpikir positif. Apapun yang anda alami dan kerjakan, usahakan sekuat tenaga untuk mengambil sisi-sisi positifnya. Hindarilah kerumunan orang yang bisa membuat anda berpikir negatif, baik karena ucapan dan tingkah lakunya.

Isilah waktu-waktu Anda untuk berbuat sesuatu yang berniai kebaikan dan membangun jiwa anda agar tetap optimis.

Ketiga, ketika Anda telah berusaha menghindari suasana yang membuat stress dan berpikir yang tidak-tidak, berikutnya ialah abaikan tekanan dari pihak keluarga dan orang terdekat yang menyebabkan Anda kehilangan konsentrasi dalam memperoleh keturunan.

Sebuah fakta penting yang perlu diperhatikan adalah banyak orang yang telah bertahun-tahun berusaha mempunyai keturunan namun akhirnya menyerah dengan keadaan. Tak lama setelah itu, tiba-tiba saja ia hamil. Apa sebabnya? “Hal ini terjadi karena suasana hati mereka sedang sangat santai, tidak dalam tekanan (karena sudah menyerah) karena sudah sangat pasrah tidak akan bisa hamil. Itulah sebabnya, pikiran kita harus dalam ketenangan dan bebas stress agar cepat hamil,” demikian ditulis dalam majalah ini.

Menurut hemat penulis, inilah yang dinamakan sikap pasrah yang dalam bahasa Islam disebut dengan tawakkal, menggantungkan segala keputusan akhir, manis getirnya, hanya di tangan Allah. Menyerahkan keputusan kepada Allah tidak sama dengan menyerah dengan keadaan karena telah diawali dengan usaha sungguh-sungguh. Allah Mahatahu apa yang terbaik buat kita.

Keempat, mengonsumsi makanan bergizi kaya nutrisi dan vitamin seperti makanan yang kaya dengan kandungan asam folat, protein, zat besi, dan mineral. Kehamilan dan gizi dua perkara yang tidak bisa dipisahkan bak dua sisi mata uang yang saling bergantung dan mendukung.

“Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah telah berkehendak,” begitu kata Etty, seorang yang tak lelah berusaha untuk memiliki anak. Panjatkan doa dan lakukan usaha demi menambah kebahagiaan dengan lahirnya anak yang akan dididik dengan ajaran Islam yang benar agar ia kelak mendoakan orangtuanya baik saat hidup atau sepeninggalnya.

Bagi para pasangan yang belum beroleh anak bolehlah Anda sedih namun jangan kecewa. Anda pun sah-sah saja cemas tapi jangan sampai membuat Anda berputus asa dari rahmat-Nya. Anda, sekali lagi, dapat dimaklumi jika gundah gulana namun jangan kehilangan kebahagiaan dalam berumah tangga.

Kelak saat Anda telah menjadi ayah dan ibu dari seorang anak, maka sayangilah, didiklah, berikan motivasi kepadanya, beri semangat dan visi kehidupan islami, buatlah ia memiliki kepercayaan diri, sehingga ketika Anda meninggalkan dunia yang fana` ini, Anda mampu meniru pertanyaan Nabi Ya`qub dan mendapat jawaban dari anak anda seperti jawaban anak-anak beliau;

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَـهَكَ وَإِلَـهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَوَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Qs. Al Baqarah [2] : 133).*








Karena Anak Perlu Sentuhan Jiwa

MENGESANKAN. Saya menerima naskah buku "Human Touch" dalam sebuah paket sangat tebal. Semula saya mengira paket tersebut berisi sejumlah buku yang telah terbit. Tetapi ternyata paket seukuran satu kardus 5 rim kertas HVS tersebut berisi naskah 1 judul buku yang sedang dipersiapkan penerbitannya. Istri saya terperangah, tetapi dengan segera ia antusias membaca naskah tersebut. Tak percuma buku ini ditulis sedemikian tebal. Selain kaya informasi, buku ini juga memiliki pijakan nash yang sangat kuat. Inilah kelebihan yang jarang dimiliki oleh buku-buku parenting Islami. Biasanya, jika buku tersebut memiliki pijakan nash yang kuat, ia kehilangan aktualitasnya. Bukan berarti nash yang shahih tidak bersifat aplikatif karena sesungguhnya nash itu memang untuk diterapkan, tetapi sangat jarang penulis yang mampu menariknya dalam kehidupan terkini.

Alih-alih, kadang perbincangan tentang teori maupun isu aktual terkesan hanya sebagai penguat saja sehingga dien ini terkesan minder di hadapan teori-teori terkini. Padahal seharusnya dien ini merupakan penakar bagi segala sesuatu yang datangnya kemudian, baik itu teori, teknik maupun isu terkini. Sering pula kita dapati buku-buku yang bermaksud menunjukkan ketinggian dien ini, tetapi terjebak pada sikap jumud atau sebaliknya: terlalu akomodatif terhadap hal-hal baru.Yang lebih parah, buku-buku yang judul dan kemasannya tampak Islami tidak jarang menjadikan nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah Ash-Shahihah hanya sebagai pembenar. Yang ditulis sebenarnya murni berdasarkan pendekatan yang dipilihnya, tetapi dicari-carikan nash yang tampak bersesuaian sebagai dalil. Padahal sangat berbeda dalil dengan dalih.

Buku jenis terakhir ini kadang lahir dari mereka yang awam dalam masalah dien, tetapi tidak menyadari keawamannya sehingga membuatnya sangat berani melangkah. Kadang muncul dari mereka yang sangat bersemangat dalam agama, sebegitu bersemangatnya sehingga ia kehilangan kejernihan untuk menimbang dengan baik dan hati-hati apa yang baru muncul menurut takaran dien. Kadang pula buku sejenis itu ditulis oleh mereka yang sepenuhnya sadar bahwa dirinya tidak memiliki kepatutan dalam masalah dien, tetapi ia mengabaikan hal tersebut demi meraih dunia yang secuil. Na’udzubillahi min dzaalik.

Adapun saya, termasuk bagian yang pertama. Sesungguhnya saya masih sangat awam dalam masalah dien. Kebodohan saya terutama sangat terasa manakala belajar lebih jauh di waktu-waktu berikutnya kepada orang-orang yang memang memiliki kepatutan untuk berbicara tentang dien. Inilah yang menyebabkan saya gamang ketika harus member kata pengantar untuk buku ini. Disamping itu, buku ini mengesankan buat saya sehingga cukup menenggelamkan saya dan menggoda diri saya untuk menulis tema-tema parenting dengan berpijak pada pembahasan yang ada di buku ini. Kadang saya tergoda untuk menulis lebih cair sesuai konteks masyarakat Indonesia sehingga terasa lebih hidup. Tetapi saya mengurungkan diri sejenak. Itu godaan yang membuat kata pengantar buku ini tak kunjung selesai.

Cakupan tema buku ini sangat luas. Sebegitu luasnya sehingga terasa sekali betapa nyaris tak ada ruang yang tersisa dalam kehidupan kita ini kecuali ada bagian yang patut kita manfaatkan dengan sungguh-sungguh untuk mendidik anak kita. Secara garis besar, penulisnya –Dr. Muhammad Muhammad Badri—telah memilah menjadi beberapa bab dalam dua jilid tebal. Saya sangat berharap agar terjemahan buku ini dapat diterbitkan dalam dua atau tiga edisi sebagai ikhtiar untuk memaksimalkan manfaatnya. Selain penerbitan sesuai edisi aslinya, yakni dua jilid tebal, buku ini sebaiknya juga terbit dalam kemasan yang lebih ringkas sehingga memudahkan orang untuk membaca dimana saja. Ini serupa dengan langkah yang saya tempuh pada buku saya trilogy "Kupinang Engkau dengan Hamdalah". Selain terbit dalam tiga jilid terpisah, yakni "Kupinang Engkau dengan Hamdalah", "Mencapai Pernikahan Barakah" dan "Disebabkan Oleh Cinta", trilogi tersebut juga terbit dalam satu jilid utuh berjudul "Kado Pernikahan untuk Istriku". Langkah ini memudahkan bagi para pembaca dengan kebutuhan berbeda-beda untuk mengambil manfaat dari buku tersebut.

Kembali berbincang tentang buku Human Touch karya Dr. Muhammad Muhammad Badri. Ada nasehat penting di jilid 2 buku ini. Kata Dr. Muhammad Muhammad Badri, “Cintailah anak-anak Anda dengan cinta yang nyata; tunjukkan kesalahan mereka dengan lembut dan santun; bersabarlah dalam menghadapi perilaku mereka; bersikaplah sesekali seakan-akan Anda mengabaikan kesalahan mereka; jadikanlah diri Anda sebagai teladan bagi mereka; gunakanlah cara dan metode yang tepat dalam melakukan itu. Gunakan bahasa cinta dan kasih-sayang.”

Ungkapan ringkas ini mengingatkan kepada kita, yakni keharusan mencintai anak-anak dengan cinta yang nyata. Banyak orangtua datang konsultasi kepada saya bermula dari tidak adanya perasaan dicintai pada diri anak. Orangtua merasa sudah tidak kurang-kurang dalam mengasuh anak, tetapi anak merasa orangtua tak peduli kepadanya. Orangtua merasa mencintai anaknya, tetapi anak tak melihat dan merasakan cinta itu secara nyata. Meski tak sedikit orangtua yang harus disadarkan betapa mereka belum mencintai anaknya dengan sungguh-sungguh. Masalahnya, bagaimana menunjukkan kepada anak agar mereka tak menganggap kita hanya bicara, melainkan lebih penting lagi mereka merasakan dan yakin bahwa kita mencintai mereka? Inilah sisi menarik buku Human Touch.

Ungkapan ringkas yang saya kutip tadi menarik untuk kita renungkan. Sebagai kata bijak, nasehat Dr. Muhammad Muhammad Badri tersebut sangat mengena. Tetapi jika kita buka lagi lembaran-lembaran sebelumnya maupun sesudahnya dari buku ini, nasehat tersebut sesungguhnya merupakan ringkasan. Melalui buku ini, ia mengajak kepada kita memahami cara dan sekaligus menuntun kita untuk mampu menggunakan metode yang tepat dalam mencintai anak secara nyata, meluruskan kesalahan dengan lembut dan santun dan mengendalikan diri agar mampu menghadapi berbagai kesalahan perilaku anak seraya meluruskannya dengan cara yang tepat.

Cinta kepada anak akan melahirkan penerimaan yang tulus terhadap mereka. Ini merupakan bekal sebagai orangtua agar dapat berlapang dada menerima mereka. Tetapi ini sekaigus dapat menggelincirkan kita untuk membiarkan kesalahan mereka. Betapa banyak anak yang akhirnya harusnya menghadapi masalah besar dalam kehidupannya bersebab hilangnya ketegasan orangtua. Mereka tidak tega mengambil tindakan karena rasa cintanya kepada anak dibiarkan menguasai tanpa kendali. Atau sebaliknya, karena ingin bersikap tegas, maka hilanglah kelembutan dalam bertutur dan bersikap. Alih-alih mau meluruskan kesalahan anak, kita justru bersikap sangat kasar. Na’udzubillahi min dzaalik. Semoga Allah Ta’ala ampuni saya atas bertumpuknya kesalahan dalam mengasuh anak-anak yang Allah Ta’ala amanahkan kepada saya. Semoga Allah Ta’ala ampuni kita semua.

Meluruskan Kesalahan Anak

Tentang meluruskan kesalahan anak, Dr. Muhammad Muhammad Badri mengingatkan, “Kita memulai dengan member tahu anak sisi-sisi negatif perilaku itu, lalu mengajaknya berdiskusi sewaktu ia tenang, santai dan antusias. Kita memulai dialog dengan pujian terhadap budi pekertinya yang pantas dipuji.”

“Ketika mereka berbuat salah,” kata Dr. Muhammad Muhammad Badri, “kita beri mereka kesempatan untuk mendengar tentang perbuatan mereka dengan tenang dan mencerahkan. Sebab, mungkin saja mereka tidak mengetahui dampak negatif dari kesalahan mereka, ataupun dampak positif dari tindakan yang benarm lantaran kita belum pernah member tahunya. Semestinya, kita mencela diri kita sendiri; itu baru adil namanya.”

Inilah yang perlu kita renungkan. Betapa mudah mencela anak, dan betapa sulit mencela diri sendiri. Padahal awalnya diri sendiri. Di buku ini, terasa sekali betapa pentingnya membenahi diri sendiri sebagai bekal untuk mengasuh dan mendidik anak, termasuk dalam meluruskan kesalahan maupun menumbuhkan ketaatan anak kepada orangtua. Begitu pun tatkala kita ingin memotivasi anak.

Mari kita simak bagian lain buku ini. Bacalah dengan seksama nasehat indah berikut ini, “Tentu saja untuk dapat member motivasi yang baik kepada anaknya, seorang ibu harus terlebih dulu mengetahui cara mengendalikan dirinya sendiri agar motivasi yang disampaikan kepada anak tidak berubah menjadi pelampiasan marah. Lagi pula, ketika memberi semangat atau dorongan kepada anak, seorang ibu harus menyadari sepenuhnya akan masa depan si anak karena setiap umpatan dan amarah yang ditumpahkan kepada anak hanya menumbuhsuburkan sikap membangkang, keras kepala, nakal, dengkiri, dan sebagainya. Bukan hanya itu, amarah orangtua juga mengubur kecenderungan anak untuk bersikap berani dan kreatif. Bahkan terkadang akibat amarah orangtua terhadap anak jauh lebih pahit dari yang kita bayangkan.”

Kemampuan memotivasi anak dengan motivasi yang benar; motivasi yang semakin menguatkan keyakinannya kepada Allah Ta’ala dan terbebas dari kesyirikan, sangat penting untuk kita miliki bukan hanya untuk memacu mereka agar bersungguh-sungguh dalam kebaikan. Motivasi juga perlu kita berikan untuk menguatkan hati mereka menerima kritik. Kata Dr. Muhammad Muhammad Badri, “Ketika menyampaikan kritik kepada anak, hendaklah Anda menyandingkannya dengan pemberian motivasi sambil terus menanamkan harapan ketika datang masa sulit.”

“Contohnya,” katanya lebih lanjut, “adalah penting untuk meyakinkan anak bahwa nilai yang buruk dalam ujian tidak identik dengan kegagalan atau kekalahan yang tidak terampuni. Nilai buruk hanyalah sebuah pertanda buruk sehingga ia harus dihadapi dengan upaya sungguh-sungguh untuk meraih nilai yang lebih baik.”

Selain motivasi, kita juga perlu memberi mereka inspirasi. Salah satu cara menginspirasi yang baik adalah menuturkan kisah kepada mereka. Melalui cara ini, kita berusaha menanamkan nilai-nilai kepada mereka. Kita mengajarkan din al-Islam ini melalui cerita, menyampaikan pertanyaan yang mengena, mengilustrasikan dengan gambar atau diagram dan berbagai cara lain yang memiliki pijakan syar’i. Nah, inilah yang perlu kita pelajari dari buku ini.

Pembahasan lain yang rasanya tak boleh kita lewatkan dari buku Human Touch adalah bagian II jilid 2 yang bertajuk: Jika Anda Ingin Dipatuhi. Sebagaimana tercermin dari judulnya, bagian ini mengajak kita menggali apa saja yang kita perhatikan agar anak-anak patuh kepada kita. Kita perlu bersungguh-sungguh mempelajari bagian ini, bukan terutama agar kita dapat menjadi orangtua efektif. Ada hal lebih penting lagi, yakni bagaimana mengantarkan anak dan menjaga mereka agar berada di jalan yang benar; jalan yang Allah Ta’ala ridhai dan tidak menjatuhkan mereka dalam kedurhakaan sehingga Allah Ta’ala murka kepada mereka.

Terakhir, tampaknya sepele tapi sungguh ia merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini adalah do’a. Sebaik apa pun kita mendidik anak, ada yang tak dapat kita abaikan, yakni ketulusan dan kesungguhan memohon pertolongan, penjagaan dan perlindungan Allah ‘Azza wa Jalla dari segala keburukan, yang tampak maupun tak tampak. Sungguh, tiada daya dan upaya selain semata-mata karena Allah Tuhan Seru Sekalian Alam. Sungguh, Dia yang menggenggam hati manusia sebagaimana Dia mengggenggam seluruh yang ada di alam semesta ini.

Seyakin apa pun kita terhadap upaya kita, kita tetap tidak sanggup menggenggam hidup kita sendiri. Lebih-lebih kehidupan anak-anak kita, cucu kita dan keturunan kita berikutnya. Maka kepada Allah ‘Azza wa Jalla kita sungkurkan kening, mengakui kehinaan diri dan memohon dengan penuh pinta kepada-Nya.

Demikianlah. Semoga buku ini menjadi kebaikan bagi yang menulis,menerjemah, menerbitkan maupun yang membaca. Semoga Allah Ta’ala jadikan kita dan keturunan kita seluruhnya termasuk golongan orang-orang beriman; golongan yang Allah Ta’ala berikan sebaik-baik perlindungan di Yaumil-Qiyamah.





Nyatakan Cinta dengan Bicara


SEORANG bapak yang telah berkeluarga puluhan tahun berkisah. Ia tak dapat berbagi masalah yang ia hadapi di tempatnya bekerja dengan sang istri di rumah. Apalagi bila ia berbagi cita-cita dan mimpinya, maka sang istri tidak dapat memberikan umpan balik yang ia harapkan.

Pesan Tersirat dan Tersurat

Menjadikan pasangan sebagai tempat yang paling tepat untuk berbagi memang gampang-gampang susah, terutama bagi pasangan yang memiliki dunia berbeda.

Sang suami sibuk di kantor sedangkan sang istri sibuk mengurus anak dan setumpuk pekerjaan rumah. Terkadang kesibukan dan kelelahan yang begitu melilit jiwa, membuat masing-masing merasa bahwa dunianyalah yang satu-satunya harus dimengerti. Hingga akhirnya yang terlontar adalah ungkapan kekecewaan, "Ngomong sama kamu nggak nyambung!"

Mari sejenak kita tinjau ulang ungkapan "nyambung" yang seringkali dijadikan justifikasi untuk mencurahkan uneg-uneg ini. Benarkah pasangan kita benar-benar sudah tidak nyambung, atau sebenarnya kita belum bekerja lebih keras untuk menyambungkan apa yang ada dalam pikiran kita dengan pikiran pasangan?

Dalam komunikasi ada dua jenis pesan yang ditangkap dalam menanggapi kalimat yang dilontarkan seseorang. Pesan tersebut adalah pesan tersurat dan pesan tersirat. Pesan tersurat adalah pesan yang ditangkap dengan jelas dalam sebuah kalimat tanpa embel-embel peristiwa yang mengikuti anggapan akan maksud kalimat tersebut. Sementara pesan tersirat biasanya ditangkap dengan diikuti oleh peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi kalimat yang dinyatakan.

Yang menjadi masalah, kaum Adam biasanya lebih suka menggunakan pesan tersurat sedangkan kaum Hawa lebih sering menggunakan pesan tersirat. Akhirnya yang terjadi adalah kesalahpahaman yang menjadi-jadi.

Misalkan sang istri meminta suaminya untuk membantu mencuci pakaian. Sang suami yang ketika itu masih kelelahan akibat pulang malam di hari sebelumnya, pasti akan menolak dengan alasan masih lelah atau mengantuk. Istri yang mendapatkan penolakan seperti itu pasti tersinggung, apalagi bila ia pun bekerja di luar rumah. Yang seketika muncul dalam benak sang istri adalah betapa egoisnya sang suami, karena ia bisa tidur seenaknya, sementara ia mendapatkan beban kerja dua kali lipat. Apalagi bila teringat bahwa sebelumnya pun sang suami lebih sering menolak dan meneruskan tidurnya.

Inilah yang dimaksud dengan penggunaan pesan tersirat dan pesan tersurat dalam kehidupan rumah tangga. Sang suami menggunakan pesan tersurat karena memang pada kenyataannya ia masih lelah, sedangkan istri menangkap dengan mekanisme pesan tersirat bahwa memang suaminya tidak mau membantu pekerjaan rumah tangga.

Katakan Lebih Baik

Padahal, bila pesan tersurat dan tersirat ini mampu dikomunikasikan dan dicarikan titik temunya mungkin kesepahaman yang muncul justru akan menyempurnakan cinta. Inilah yang begitu indah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT) dan dicontohkan Rasul-Nya yang hatinya sarat dengan kasih sayang.

وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُواْ الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإِنْسَانِ عَدُوّاً مُّبِيناً

"Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: 'Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia'." (Al-Israa [17]: 53).

Jika saja permintaan untuk melakukan sesuatu dapat disampaikan dengan cara yang lebih baik dan waktu yang lebih tepat, bisa jadi anggapan-anggapan yang menggelisahkan itu dapat berubah menjadi sebuah kerjasama yang menambah cinta. Bila permintaan tersebut disampaikan pada saat suami setelah tidur selama beberapa waktu, mungkin penolakan itu tidak akan terlontar dari lisannya. Tiap suami tentu ingin menjadi orang yang mulia, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasul-Nya, dengan berbuat baik pada istrinya. Sang istri pun tak perlu sakit hati akibat pikiran-pikiran dalam benaknya sendiri.

Bila tiba waktu senggang, tentu tak ada salahnya membahas permasalahan yang masih menggantung di hati. Menggunakan kalimat yang jelas dan menjauhi prasangka yang timbul dari pesan tersirat mungkin akan membuka pengertian-pengertian yang selama ini tertutupi oleh pikiran dan emosi kita sendiri.

Lebih dari itu, kita tak hanya diperintahkan mengatakan hal yang baik oleh Allah Pemilik Cinta, tetapi lebih jauh lagi yaitu lebih baik. Artinya, kita tak hanya diperintahkan untuk mengatakan sesuatu dengan bahasa yang indah didengar, tetapi juga dengan suasana yang menyenangkan dengan sejumlah hikmah yang dapat memperkaya batin masing-masing pasangan. Dengan begitu, setan pun tak punya tempat untuk membisikkan prasangka-prasangka negatif ke dalam hati kita karena hati kita telah dipenuhi rasa kasih sayang dan hikmah yang akan membuat kita semakin bijak melihat sebuah persoalan.

Melihat Sisi Berbeda

Bila berbicara dengan lebih baik ini tak cukup efektif untuk mengusir gundah di hati akibat sikap pasangan yang tak kenal kompromi, mungkin melihat kebaikan yang dimiliki pasangan dari sisi lain akan membuat kita kembali tersenyum. Dalam hal ini, mungkin kita tak cukup membuka satu pintu untuk melihat bahwa pasangan yang telah dianugerahkan pada kita adalah orang terbaik. Kita masih harus lebih keras berusaha mencari pintu lain, bahkan mungkin mengintip dari celah jendela untuk menemukan sesuatu yang membuat kita merasa nyaman untuk menjadikannya tempat berbagi.

Sebagaimana titah-Nya dalam surat An-Nisa ayat 19, "Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang patut. Kemudian, bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."

Berbicara langsung mungkin tak membuatnya merasa nyaman karena ia kurang mampu untuk menerjemahkan perasaannya. Padahal, ia ingin sekali menyampaikan apa yang ada dalam hatinya dengan bahasa yang terbaik. Bila ia tak langsung memberikan timbal balik secerdas tanggapan rekan sekerja kita, mungkin karena memang ia sedang berusaha memahami dan memastikan apa yang bisa dilakukannya agar beban kita berkurang. Bila ia hanya bisa mendengarkan dengan sepenuh hati, maka yakinlah bahwa ia berusaha memperhatikan dan menyimpan apa yang kita sampaikan, meski kelelahan telah menyergap di seluruh tubuhnya akibat beban yang mungkin lebih berat dari apa yang kita sampaikan.

Ada baiknya meluangkan waktu sejenak untuk mencoba cara yang lebih baik berbicara dengan belahan jiwa kita. Mungkin Allah SWT mengaruniakannya kepada kita dengan maksud memberikan kemampuan yang lebih pula. Kemampuan untuk memahami orang lain lebih baik, kemampuan untuk lebih berempati, kemampuan untuk lebih menyambungkan pikiran kita dengan orang lain –sehingga kita tidak sibuk dengan diri kita sendiri, atau lebih jauh, kemampuan untuk lebih banyak menggunakan fasilitas lain untuk berkomunikasi. Mungkin, menyapa pasangan dengan sebait puisi akan lebih menggerakkan hatinya dibandingkan menyapanya dengan sejumlah keluhan tentang sikapnya.

Karena itu, pastikan terlebih dahulu, bahwa kita adalah anugerah terbaik untuknya dan begitu pula ia. Dengan demikian, kita tak hanya tersambung dengan hatinya tapi juga tersambung dengan Sang Pemilik Cinta yang akan menyambungkan kita dengan berkah-Nya yang bertambah-tambah.






Sepuluh Pesan Al Qarni untuk Muslimah


KEMULIAAN wanita digambarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Dalam sabdanya beliau mengayakan, “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.“ (HR. Muslim).

Bagaimana ciri-ciri wanita Muslimah sebagaimana diharapkan Islam? Al Qarni mencatat 10 ciri perempuan yang dikategorikan Muslimah;

Pertama, Muslimah adalah orang yang beriman kepada Allah sebagai Tuhannya, Muhammad sebagai Nabi panutannya, dan Islam sebagai agamanya. Pengaruh keimanan itu terlihat melalui ucapan, perbuatan, dan keyakinannya. Dia selalu menghindari hal-hal yang dimurkai Allah, merasa takut terhadap siksa-Nya yang pedih, dan tidak mau menentang perintah-Nya.

Kedua, Muslimah selalu memelihara shalat lima waktunya lengkap dengan wudhu dan kekhusyu’annya, yang dikerjakan tepat pada waktunya masing-masing. Tiada sesuatu kesibukan pun yang dapat membuatnya lalai dari ibadah dan shalatnya. Pengaruh dari shalatnya itu terlihat pada dirinya, karena sesungguhnya shalat itu dapat mencegah pelakunya dari melakukan perbuatan keji dan munkar. Shalat adalah benteng yang besar terhadap berbagai macam kedurhakaan.

Ketiga, Muslimah senantiasa mengenakan jilbabnya dan merasa terhormat dengannya. Karena itu, tidaklah sekali-kali ia keluar dari rumahnya melainkan mengenakan jilbab. Dia bersyukur kepada Allah yang telah memuliakannya dengan jilbabnya. Dia menyadari, jilbab adalah untuk memelihara dan mensucikan kehormatannya.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

Allah berfirman, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuannya, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (Al-Ahzaab: 59)

Keempat, Muslimah selalu antusias untuk menanti suaminya. Dia bersikap lembut kepadanya, menyayangi, mengajaknya kepada kebaikan, dan mengharapkan kebaikan baginya. Dia juga melayani kenyamanannya, tidak berani meninggikan suara kepada suaminya, dan tidak pernah berbicara kasar kepadanya.

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, “Apabila seseorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, puasa di bulan Ramadhannya, dan taat kepada suaminya, niscaya dia akan masuk surga Tuhannya.”

Kelima, Muslimah mendidik anak-anaknya untuk taat kepada Allah. Dia menanamkan aqidah yang benar ke dalam jiwa mereka, dan menyuburkan dalam kalbu mereka kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menjauhkan mereka dari kedurhakaan dan akhlak yang buruk.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahriim: 6)

Keenam, Muslimah tidak boleh sendirian bersama laki-laki lain yang bukan muhrimnya. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, “Tidak sekali-kali seorang wanita sendirian bersama seorang laki-laki (lain) kecuali yang ketiganya adalah setan.”

Ketujuh, seorang Muslimah tidak pernah menyerupai laki-laki dalam berbagai hal yang khusus hanya bagi kaum laki-laki. Dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki.”

Dan Muslimah tidak pernah menyerupai wanita-wanita kafir dalam berbagai hal, yang menjadi ciri khas mereka. Contohnya dalam hal pakaian dan penampilan. Karena dalam sebuah hadits, Nabi bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”

Kedelapan, wanita Islam adalah wanita yang selalu menyeru ke jalan Allah di kalangan kaumnya dengan kata-kata yang baik. Dia juga mengunjungi tetangganya melalui hubungan telepon, meminjamkan buku-buku islami dan kaset-kaset islami. Dan dia selalu mengamalkan apa yang dikatakannya dan berupaya keras untuk menyelamatkan dirinya dan saudari-saudari seiman dari azab Allah.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah berkata, “Sungguh, jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan melaluimu, itu lebih baik bagimu daripada unta berbulu merah.”

Kesembilan, Muslimah selalu memelihara kalbunya dari hal-hal yang syubhat dan nafsu syahwat. Ia memelihara matanya dari melihat yang diharamkan, menjaga telinganya dari mendengar nyanyian (setan), dan kata-kata yang mesum lagi fasiq. Demikian juga ia menjaga anggota tubuh lainnya dari melakukan pelanggaran. Dan dia meyakini bahwa semua yang dilakukannya itu adalah realisasi dari ketaqwaannya.

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, “Hai manusia, merasa malulah kalian kepada Allah Yang Maha Haq dengan sebenar-benar malu. Malu yang sebenar-benarnya kepada Allah ialah dengan memelihara kepala dan semua anggota yang ada padanya, memelihara perut dan semua isinya, dan mengingat kematian serta cobaan. Barangsiapa yang menghendaki pahala akhirat tentu menghindari perhiasan duniawi.”

Kesepuluh, Muslimah senantiasa menghargai waktu. Dia tidak akan pernah membuang-buangnya dengan sia-sia, dan senantiasa menjaga malam dari siang harinya agar jangan mencabik-cabik dirinya. Karenanya, dia tidak pernah mengumpat, mengadu domba, mencaci atau melakukan hal-hal yang melalaikan dan melenakannya dari hal-hal yang sangat penting dan berguna bagi dirinya.

وَذَرِ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَهُمْ لَعِباً وَلَهْواً وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا

Allah berfirman, “Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan sendau-gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia.” (Al-An’aam: 70)

Dan Allah telah berfirman sehubungan dengan kaum yang menyia-nyiakan usia yang pada akhirnya di hari kiamat nanti mereka mengatakan sebagaimana yang dikisahkan oleh firman-Nya, “Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu, sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah, amatlah buruk apa yang mereka pikul itu.” (Al-An’aam: 31)

Ya Allah, berilah petunjuk kepada para pemudi Islam kepada hal-hal yang Engkau cintai dan Engkau ridhai, dan penuhilah kalbu mereka dengan iman. Amin.* Dinukil dari buku Meraih Sukses di Bulan Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar