Powered By Blogger

Jumat, 09 Maret 2012

KONSULTASI SYARIAH(fiqih wanita)

Hukum Masturbasi Bagi Wanita


Assalamualaikum Wr. Wb. Ust apa hukumnya masturbasi atau berfantasi sex bagi wanita? Apakah sama halnya dengan laki-laki?? Wassalam.

Jawaban:

Assalamu `Alaikum Wr. Wb. Fantasi dan onani hukumnya sama saja bagi laki-laki dan wanita. Sebagaimana sudah sering kami bahas sebelumnya tentang onani, maka hukumnya mengikat bukan saja bagi laki-laki namun juga wanita. Masalah yang berkaitan dengan onani atau dalam bahasa arabnya disebut istimna` banyak dibahas oleh para ulama. Sebagian besar ulama mengharamkannya namun ada juga yang membolehkannya.

1. Yang mengharamkan: Umumnya para ulama yang mengharamkan onani berpegang kepada firman Allah SWT : "Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (Al-Mu'minun: 5-7) Mereka memasukkan onani sebagai perbuatan tidak menjaga kemaluan. Dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 disebutkan hadits yang berkaitan dengan anjuran untuk menikah: Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada kami "Wahai para pemuda, apabila siapa diantara kalian yangtelah memiliki baah (kemampuan) maka menikahlah, kerena menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung.” HR Muttafaqun `alaih. Di dalam keterangannya dalam kitab Subulus Salam, Ash-Shan`ani menjelaskan bahwa dengan hadits itu sebagian ulama Malikiyah mengharamkan onani dengan alasan bila onani dihalalkan, seharusnya Rasulullah SAW memberi jalan keluarnya dengan onani saja karena lebih sederhana dan mudah. Tetapi Beliau malah menyuruh untuk puasa. Sedangkan Imam Asy-Syafi`i mengharamkan onani dalam kitab Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro jilid 7 halaman 199 dalam Bab Onani ketika menafsirkan ayat Al-Quran surat Al-Mukminun…Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. Begitu juga dalam kitab beliau sendiri Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab Onani. Imam Ibnu Taymiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau mengatakan bahwa onani itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum ta`zir, tetapi tidak seperti zina. Namun beliau juga mengatakan bahwa onani dibolehkan oleh sebagian shahabat dan tabiin karena hal-hal darurrat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina atau akan menimbulkan sakit tertentu. Tetapi tanpa alasan darurat, beliau (Ibnu Taymiyah) tidak melihat adanya keringanan untuk memboleh onani.

2. Yang membolehkan: Diantara para ulama yang membolehkan istimna` antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Hazm dan Hanafiyah dan sebagian Hanabilah. Ibnu Abbas mengatakan onani lebih baik dari zina tetapi lebih baik lagi bila menikahi wanita meskipun budak. Ada seorang pemuda mengaku kepada Ibnu Abbas "Wahai Ibnu Abbas, saya seorang pemuda dan melihat wanita cantik. Aku mengurut-urut kemaluanku hingga keluar mani." Ibnu Abbas berkata "Itu lebih baik dari zina, tetapi menikahi budak lebih baik dari itu (onani). Mazhab Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla juz 11 halaman 392 menuliskan bahwa Abu Muhammad berpendapat bahwa istimna` adalah mubah karena hakikatnya hanya seseorang memegang kemaluannya maka keluarlah maninya. Sedangkan nash yang mengharamkannya secara langsung tidak ada. Sebagaimana dalam firman Allah: "Dan telah Kami rinci hal-hal yang Kami haramkan" Sedangkan onani bukan termasuk hal-hal yang dirinci tentang keharamannya maka hukumnya halal. Pendapat mazhab ini memang mendasarkan pada zahir nash baik dari Al-Quran maupun Sunnah. Sedangkan para ulama Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah)dan sebagian Hanabilah (pengkikut mazhab Imam Ahmad) -sebagaimana tertera dalam Subulus Salam juz 3 halaman 109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi juz 12 halaman 105- membolehkan onani dan tidak menjadikan hadits ini tentang pemuda yang belum mampu menikah untuk puasa diatas sebagai dasar diharamkannya onani. Berbeda dengan ulama syafi`iah dan Malikiyah. Mereka memandang bahwa onani itu dibolehkan. Alasannya bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih. Namun sebagai cataan bahwa ada dua pendapat dari mazhab Hanabilah, sebagian mengharamkannya dan sebagian lagi membolehkannya. Bila kita periksa kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4 halaman 252 disebutkan bahwa onani itu diharamkan. Ulama-ulama Hanafiah juga memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara:

1. Karena takut berbuat zina.

2. Karena tidak mampu kawin.

Pendapat Imam Ahmad memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat. Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh Rasulullah SAW terhadap pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu'min. Sedangkan dari sisi kesehatan, umumnya para dokter mengatakan bahwa onani itu tidak berbahaya secara langsung. Namun untuk lebih jelasnya silahkan langsung kepada para dokter yang lebih menguasai bidang ini. Wallahu A`lam bis-shawab.

WallahuA’lam bis-Shawab. Wassalamu `alaikum Wr. Wb.





Hadits Batas Pendek Rambut Wanita


Pertanyaan:

Assalamu'alaikum wr. wb. Adakah hadits atau hukum mengenai batasan pendek rambut wanita yang diperkenankan oleh Islam? Saya dengar ada hadits mengenai hal tsb, jadi rambut wanita hanya boleh minimal sebatas bahu pendeknya & ngga boleh kurang, apa benar? Wassalam.

Jawaban:

Assalamu`alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d.

Permasalah boleh tidaknya wanita memotong rambutnya, merupakan permasalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian menyatakan haram, yang lain menyatkan bahwa tersebut adalah makruh. Yang lainnya lagi menyatakan bahwa hal tersebut adalah diperbolehkan. Sedangkan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW melarang wanita memotong rambutnya, hadis tersebut adalah hadis dhoif. (Dhoif Sunan An-nasa’i karya Al-Bani hal 169)

Diantara ulama yang menyatakan bahwa wanita boleh memotong rambutnya adalah Syeikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin (walaupun beliau menyatakan bahwa hal tersebut tidak disukainya) dan Abdulloh bin Baz. Syeikh Utsaimin menyatakan bahwa “pada asalnya wanita boleh memotong rambutnya. Hanya saja hal tersebut tidak sampai menyerupai potongan rambut laki-laki karena dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah) Jika hal tersebut dilakukan maka hukumnya adalah haram. Demikian juga, jika tujuan memotong rambut adalah untuk mengikuti mode atau trend orang-orang non muslim, maka hal tersebut juga terlarang untuk dilakukan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Daud) (Majmu’ Fatwa wa rasa’il Ibnu Utsaimin 4/134-135)

Dengan demikian, yang menjadi batasan ketika akan memotong rambut bagi wanita adalah tidak sampai menyerupai potongan rambut laki-laki atau mode rambut wanita-wanita non muslim. Selama hal tersebut tidak dilakukan maka memotong rambut bagi wanita diperbolehkan. Sedangkan pertanyaan saudara mengenai ada atau tidaknya hadis yang menjelaskan batasan rambut wanita yang boleh dipotong, kami belum mendapatkan dalil berkaitan dengan hal tersebut, kecuali dua hadits di atas yang bersifat umum.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.







Dalam Proses Cerai - Bercampur Kembali Dengan Suami

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum wr. wb. Bagaimana hukumnya suami istri yang sedang memproses perceraiannya di pengadilan agama, keduanya masih tinggal serumah, sekamar & seranjang, lantas suatu saat keduanya bercampur/ melakukan hubungan suami istri. Apakah masih halal antara keduanya? Wassalamualaikum wr. wb.

Jawaban:

Assalamu`alaikum Wr. Wb. Yang menjadi dasar dalam urusan cerai/talak adalah yang sesuai dengan syariat Islam yang baku sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh yang muktamad. Bukan yang merupakan hasil komilasi hukum Islam di negeri ini. Karena antara kedua terkadang sesuai tapi terkadang berbeda jauh sekali. Misalnya, dalam sistem hukum di pengadilan agama di republik ini, cerai/talak yang dijatuhkan oleh pihak suami dianggap belum syah kalau belum ditetapkan oleh pihak pengadilan agama. Meski suami sudah mengucapkan lafaz talak berkali-kali secara sharih, jelas dan tanpa makna kiasan. Oleh pihak pengadilan agama, lafaz talak itu dianggap tidak syah entah karena pertimbangan apa.

Namun secara hukum fiqih yang baku dan standar, lafaz talak yang diucapkan oleh pihak suami kepada istrinya merupakan eksekusi talak. Talak itu syah meski tidak dilakukan di depan pengadilan agama. Bahkan lafaz talak yang sharih adalah lafaz yang bila diucapkan dengan niat main-main sekalipun, tetap beresiko menjatuhkan talak. Maka begitu lafaz itu diucapkan, jatuhlah talak satu. Bila dilakukan lagi, maka jatuh talak dua. Dan bila dilakukan lagi, maka jatuhlah talak tiga. Antara talak satu, dua dan tiga itu bisa saja diselingi dengan masa `iddah yaitu selama tiga kali masa suci dari haidh. Selama masa suci itu, bila suami istri itu melakukan percumbuan dan hingga kepada hubungan seksual, maka otomatis terjadi rujuk. Tapi bila masa idaah itu sudah lewat, maka rujuk tidak bisa dilakukan dengan sistem 'otomatis' begitu saja, tapi harus dengan melakukan akad nikah dari awal. Lengkap dengan proses melamar, membayar mas kawin (mahar), dua orang saksi dan juga wali.

Batas rujuk itu hanya dua kali saja yaitu rujuk dari talak satu dan rujuk dari talak dua. Baik rujuk itu dilakukan selama masa iddah ataupun sesudah masa iddah. Untuk talak tiga tidak ada rujuknya. Mereka selamanya diharamkan untuk menikah lagi, kecuali bila ada muhallil, yaitu porses mantan istri itu menikah dengan laki-laki lain dengan niat nikah selamanya dan selama masa menikah itu mereka melakukan hubungan seksual. Lalu entah karena sebab apa mereka akhirnya bercerai hingga habis masa iddahnya, barulah saat itu suami yang pertama boleh menikahinya lagi.

Jadi bila dikaitkan dengan pertanyaan Anda, bila mereka tinggal serumah dengan tujuan untuk rujuk selama masa iddah, hal itu dibolehkan. Tapi kalau tidak ada niat rujuk, maka tidak boleh melakukan semua itu, karena pada dasarnya mereka bukan suami istri lagi menurut kacamata syariah. Meski secara pengadilan agama masih dianggap suami istri. Karena yang jadi ukuran bukan pengadilan agama, tapi hukum syariat Islam.

Wallahu a`lam bishshowab. Wassalamu `alaikum Wr. Wb.





Jumlah Istri Nabi

Pertanyaan:

Selama ini yang kita tahu istri Nabi Muhammad SAW hanya 4 orang padahal kalau kita pernah baca lebih dari 4 yang benar yang mana ustadz? kenapa kok hanya 4 yang sering disunahkan.

Jawaban:

Assalamu‘alaikum Wr. Wb. Ketentuan tentang batasan jumlah istri yang dalam satu waktu yang bersamaan yang boleh dinikahi berdasarkan ketentuan Alquran al-Kariem. Sedangkan kondisi Rasulullah SAW sendiri dalam masalah jumlah istri memiliki kedudukan hukum yang tersendiri. Sehingga dalam kasus ini, hukum yang berlaku untuk beliau sebagai nabi berbeda dengan hukum yang berlaku buat umatnya. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa umat Islam diizinkan untuk mengawini maksimal empat wanita dalam periode waktu yang sama. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa: 3).

Sedangkan jumlah istri beliau lebih dari empat yaitu sembilan orang. Kesemuanya adalah wanita yang dinikahi beliau dalam kondisi sudah usia lanjut atau bukan muda lagi dan mereka adalah janda. Kecuali satu saja dari mereka yaitu Ibunda Aisyah ra. Yang beliau nikahi dalam keadaan masih muda. Dan masing-masing istri yang dinikahinya memiliki alasan dan penjabaran latar belakang yang sangat kuat konsiderannya dengan dakwah dan perkembangan perjalanan risalah Islam. Perbedaan seperti ini merupakan hal yang wajar saja. Karena meski secara keseluruhan bahwa tugas seorang Nabi adalah untuk dijadikan panutan bagi ummatnya tidak menjadikannya penutan dalam selururh kisi-kisi kehidupannya. Karena masih dimungkinkan adanya kekhususan pada dirinya.

Contohnya adalah dibolehkannya puasa wishal yang bersambung terus tanpa berbuka. Sementara wishal diharamkan bagi umat Rasulullah SAW. Beliau sendiri memiliki kekhususan dalam wishal ini karena mendapat rezeki secara khusus dari Allah. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan sebuah metode untuk mengambil hukum (istinbath) yang bahannya bisa berupa ayat-ayat Al-Quran dan juga hadits-hadits Nabawi serta atsar yang lainnya. Inilah yang disebut dengan Fiqih Islam itu sendiri. Disiplin ilmu fiqih ini diletakkan diatas metodologi yang paling ilmiyah yang pernah ada. Karena ditopang dengan ilmu Ushul Fiqih, Mantiq (logika), Lughoh (bahasa), Qawai‘d Fiqhiyah dan sebagainya. Sedangkan sekedar mengambil pengertian yang ‘tergesa-gesa’ dari zahir suatu dalil belum tentu menghasilkan hukum yang pasti. Disinilah peran para fuqoha dan ulama dalam menjalankan metode ijtihadnya sehingga meghasilkan produk-produk hukum Islam yang lengkap dan valid sesuai dengan isi dan maksud dari masing-masing dalilnya.

Wallahu a‘lam bishshowab. Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.







Kapan Wanita Mandi Wajib?

Pertanyaan:
Assalamualaikum Wr. Wb.
Saya mau bertanya, apakah seorang wanita melakukan mandi junub (mandi wajib) hanya karena 2 hal:
1. setelah selesai (bersih) dari haid
2. setelah melakukan hubungan suami istri
Demikian pertanyaan dari saya. Atas perhatian dan jawabanya saya ucapkan terima kasih. Wassalam...
Jawaban:
Assalamu alaikum wr.wb.
Mandi wajib bagi wanita tidak hanya terbatas pada kedua kondisi yang Anda sebutkan. Ada sejumlah kondisi menurut para ulama yang mewajibkan wanita untuk mandi. Di antaranya adalah:
1. Keluarnya mani meski tanpa jima (hubungan seksual).
Dalilnya adalah hadits Ummu Salamah radliyallaahu 'anha, ia mengatakan, “Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, datang kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasullullah, sesungguhnya Allah tidak malu menjelaskan kebenaran. Apakah kaum wanita juga harus mandi jika mimpi basah?” Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam mengatakan, “Ya, jika ia melihat air.” (HR. Muttafaq ‘Alaih). Dari Anas radliyallaahu 'anhu pernah meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah berkata tentang seorang wanita yang bermimpi basah sebagaimana laki-laki, “Dia harus mandi.” (Muttafaq ‘alaih) Imam Muslim menambahkan, “Ummu Salamah berkata, “Apakah dia juga mengalaminya?” Beliau menjawab, “Ya, dari mana adanya kemiripan?"

2. Bertemunya dua kemaluan (sampai masuk) meski tidak sampai mengeluarkan mani.

3. Setelah bersih dari haid dan nifas
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran’. Oleh karena itu kalian harus menjauhkan diri dari istri-istri kalian di waktu haidnya (tidak melakukan jima’ pada kemaluan) dan janganlah kalian mendekati (menggauli) mereka sampai mereka suci dengan mandi. Apabila mereka telah suci dengan mandi maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian (pada qubul). Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan dirinya.” (Al-Baqarah: 222)

Wallahu a'lam bish-shawab.
Wassalamu alaikum wr.wb.







Kriteria Zihar

Assalamu'alaikum wr. wb.

Pertanyaan:

Para asatidz yang dimuliakan Allah, saya ingin bertanya mengenai kriteria apa saja yang bisa menjadikan satu ucapan itu jatuh hukumnya sebagai zihar. Latar belakang pertanyaan ini adalah, sang suami mengatakan kepada istrinya: "Saya ingin kamu seperti ibuku". Maksudnya, sang suami ingin supaya sang istri mencontoh ibunya (ibu dari sang suami), bukan dengan maksud untuk menceraikan istrinya. Apakah ucapan ini bisa dianggap sebagai ucapan zihar yang dengannya sang suami harus membayar kafarat? Jazakumullah khairan katsiran.

Wassalamu'alaikum wr. wb. Terimakasih,

Jawaban:

Assalamu alaikum wr.wb.

Kata zhihar diambil dari zhahr yang maknanya adalah pungung. Zhihar terjadi manakala seorang suami ingin mengharamkan istrinya dengan mengucapkan kalimat,"Kamu bagiku seperti punggung ibuku." Maksudnya bahwa istri saya itu haram bagi saya sebagaimana haramnya punggung ibu saya bagi saya.

Secara syar`i, zhihar bisa didefinisikan sebagai seorang suami yang mengungkapkan bahwa istrinya itu menyerupai (secara hukum) dengan wanita yang haram dinikahinya secara seterusnya, seperti ibu, saudara wanita dan seterusnya. Baik dengan menyebutkan kata punggung atau bagian tubuh yang lainnya.

Dilihat dari lafal atau redaksi yang dipergunakan para ulama membagi zhihar menjadi dua: ada yang bersifat sharih (jelas dan eksplisit) ada yang bersifat kinayah (kiasan atau implisit). Jika redaksinya bersifat jelas dan eksplisit seperti contoh di atas (engkau bagiku seperti punggung ibuku) dalam kondisi ini zihar secara otomatis jatuh.

Namun jika bersifat kinayah (implisit) tidak jelas di mana ia mengandung banyak makna misalnya: "Engkau seperti ibuku" atau seperti contoh yang Anda berikan "Saya ingin kamu seperti ibuku" maka dalam hal ini harus dilihat kepada maksud pengucapnya. jika maksud dari ucapannya itu untuk zihar, maka menurut jumhur ulama berarti zihar jatuh. Namun jika redaksi tersebut dimaksudkan untuk tujuan lain seperti yang Anda katakan maka zihar tidak jatuh.

Wallahu a'lam bish-shawab

Wassalamu alaikum wr.wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar