Powered By Blogger

Jumat, 09 Maret 2012

KONSULTASI SYARIAH(fiqih wanita)

Dokter Wanita Harus Pegang Pasien Pria

Pertanyaan:

Assalaamu'alaikum. Bapak-bapak ustadz yang dirahmati Allah, pertanyaan ini sebenarnya datang dari istri saya. Istri saya adalah seorang dokter yang bekerja di sebuah puskemas. Ia menanyakan tentang boleh tidaknya menurut syariah ia melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap laki-laki yang meminta surat keterangan berbadan sehat? Jadi yang diperiksa adalah orang sehat, bukan orang sakit. Sesuai standar kedokteran untuk pemeriksaan ini, ia tentu perlu memegang bagian-bagian tubuh dari laki-laki tersebut. Di puskesmas tersebut sebenarnya ada juga dokter laki-lakinya tetapi kadang mereka harus bekerja bergantian. Jazakumulloh khoiran katsiro atas penjelasannya. Wassalaamu'alaikum.

Jawaban:

Assalamu`alaikum Wr. Wb. Dalam fiqih Islam dikenal beberapa kaidah fiqhiyah, terutama terkait dengan masalah kedaruratan.

1. Adh-Dharurat Tubihul Mahzhurat. Kondisi yang darurat bisa membolehkan sesuatu yang pada dasarnya terlarang. Bila disuatu tempat tidak ada dokter wanita yang bisa menolong wanita yang akan melahirkan, maka dokter laki-laki dibolehkan untuk menolong membantu proses kelahiran meski untuk itu ada hal-hal terlarang yang dilanggar seperti melihat aurat wanita non mahram dan bahkan memegang dan menyentuhnya.

2. Ad-Dhururatu Tuqoaddar Bi Qodriha. Namun batasan kebolehan itu tidak berlaku mutlak. Bila tingkat kedaruratannya sudah selesai, maka kembali lagi menjadi haram. Karena kedaruratan itu harus diukur sesuai kadarnya. Setelah selesai menolong persalinan, maka dokter itu tidak boleh melihat lagi aurat wanita itu meski dengan alasan perawatan. Karena perawatan tidak sampai pada derajat kedaruraatan. Contoh kasus lain adalah bila tidak ada dokter laki, maka dokter wanita boleh memeriksa pasien laki-laki karena ketiadaan dokter laki-laki. Dalam hal ini maka ada sebuah kedaruratan yaitu ketiadaan tenaga dokter yang sejenis.

Namun kebolehan memegang pasien yang bukan mahram oleh dokter wanita harus disesuaikan kadar kedaruratannya dan tidak menjadi halal secara mutlak. Misalnya, bila memang masih mungkin menggunakan sarung tangan atau pelapis, maka batas bolehnya adalah dengan menggunakan sarung tangan atau pelapis itu agar tidak langsung terjadi persentuhan kulit. Atau bila masih mungkin memeriksa dengan bertanya kepada pasien dan informasi itu dianggap cukup, maka tidak perlu melihat bagian aurat yang haram dilihat. Dan demikianlah seterusnya. Begitu juga bila masih mungkin diadakan aplusan dan penggiliran jadwal antara dokter laki-laki dan dokter wanita, dimana dokter laki bisa diatur untuk menangani pasien khusus laki dan dokter wanita menangani pasein khusus wanita, maka itulah batasan kebolehannya.

Jadi bila bila tingkat kesulitan suatu masalah itu luas dan longgar (banyak alternatif lain), maka keharamannya menjadi lebih sempit dan lebih ketat. Dan secara otomatis bila masalah itu sempit (tidak ada alternatif lain untuk dilaksanakan) tingkat keharamannya menjadi longgar. Itu adalah kaidah fiqhiyah yang dalam bahasa arabnya berbunyi: `Al-Amru Izat Tasa`a Dhaaqa Wa Izaa Dhaaqa Ittasa`a.

Wallahu A`lam bis-shawab. Wassalamu`alaikum Wr. Wb.







Tentang Istri

Pertanyaan:

Asalamu‘alaikum. Saya ingin bertanya:

1. Mengenai nafkah batin istri dari suami seperti yang telah dijawab pada edisi yang lalu. Pada jawaban tersebut hanyalah mengenai hubungan suami istri saja. Apakah nafkah batin lain yang bisa menenangkan hati istri seperti mendapatkan kata-kata yang baik atau tidak menyakiti hati istri juga termasuk nafkah batin untuk istri? Karena banyak di masyarakat kita, suami bicara kasar sedangkan istri biasanya mengalah/menerima saja.

2. Katanya nanti banyak wanita yang di neraka karena tidak taat pada suaminya. Kira-kira apa saja yang dilakukan wanita-wanita ini?

3. Bagaimana urutan cara menghukum istri. Misalnya, istrinya tidak mau sholat. Apakah tidak tidur satu ranjang sampai istri sholat? Ataukah hari ini dipukul lalu esoknya dipisah tempat tidurnya? Atau diselang-seling hukumannya atau ada jarak waktu hukuman? Bagaimana pula menghukum istri yang dia melakukan sesuatu yang tidak disukai suaminya seperti sering lupa kalau dititipin suami atau salah paham dengan suami atau suami tidak suka karena istrinya memberi nasehat padanya? Terima kasih banyak Ustadz. Wassalam.

Jawaban:

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

1. Nafkah batin adalah identik dengan hubungan intim suami istri. Sedangkan hal-hal yang lain, seperti tidak menyakiti, berkata halus dan lain-lain, juga merupakan kewajiban suami yang disebut dengan Mua’asyarah bil Ma’ruf (bergaul dengan baik).

2. Sebab wanita banyak masuk neraka, diantaranya mereka banyak yang tidak berterima kasih kepada kebaikan suami, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari:

(ورأيت النار فلم أر منظرا كاليوم قط أفظع ورأيت أكثر أهلها النساء) قيل: بم يا رسول الله؟ قال: (بكفرهن)، قيل أيكفرن بالله؟ قال: (يكفرن العشير ويكفرن الإحسان لو أحسنت إلى إحداهن الدهر كله ثم رأت منك شيئا قالت ما رأيت منك خيرا قط) أخرجه البخاري وغيره

Saya melihat api neraka dan saya tidak pernah melihat pemandangan menakutkan seperti hari ini. Dan saya melihat kebanyakaan penghuninya adalah wanita.” Sahabat bertanya: Kenapa ya Rasulullah? Rasul saw: Menjawab: Karena kekufuran mereka.” Dikatakan: Apakah kufur pada Allah? Rasul saw menjawab: Kufur pada kebaikan suaminya.”

3. Jika istri tidak mau shalat, maka masalahnya sangat besar. Oleh karena itu cara yang terbaik adalah dengan dididik tentang kewajiban shalat dan bahaya meninggalkannya. Dan bersabar agar ia shalat. Perlihatkan bahwa anda tidak ridha kalau ia tidak shalat. Bila perlu diancam dengan cara yang membuat ia takut. Adapun masalah yang lain yang bukan terkait hak Allah, maka berbanyak memberi maaf dan mengingatkan.

Wallahu a‘lam bis-Showab Pusat Konsultasi Syariah







Wanita Nusyuz

Pertanyaan:

Assalamu‘alaikum Wr. Wb. Ustadz, bagaimana sebenarnya posisi wanita nusyuz? Apakah selama suaminya marah ia tidak boleh menerima nafkah dari suaminya (termasuk makan, terhitung saat suami mulai marah)? Dan kalau wanita tersebut terlanjur makan tanpa sepengetahuan suaminya, apakah ada denda yang harus dibayarnya? Kalau istri tersebut sudah minta maaf dan suami tidak mau memaafkan, apalagi yang harus diperbuat sang istri? Bagaimana pula batasan keadaan yang menyebabkan wanita menjadi nusyuz (apakah salah paham/komunikasi juga bisa menjadikan seorang istri menjadi wanita nusyuz)? Lalu bagaimana kalau suami adalah seorang yang mudah tersinggung atau mudah emosi? Terima kasih atas jawabannya. Wassalam.

Jawaban:

Assalamu‘alaikum Wr. Wb. Wanita yang Nusuz atau yang membangkang adalah wanita yang tidak mentaati suami jika suami memerintahkan pada sesuatu yang merupakan haknya. Istri masih tetap mendapat hak nafkah dari suami selagi belum diceraikan dan habis iddahnya. Setelah istri minta ma’af, maka lakukanlah permintaan suami dan berbuatlah sebaik mungkin kepada suami.

Salah paham komunikasi adalah masalah biasa dan tidak termasuk nusuz, kecuali jika sudah bersifat menentang apa yang dikehendaki suami dan kemauan itu tidak bertentangan dengan Syariah. Dan jika suami mudah tersinggung, maka jangan suka menyinggung dan upayaka memberi nasehat dengan cara yang baik.

Wallahu a‘lam bis-shawab. Wassalamualaikum Wr. Wb.







Bolehkah Menjalani Test Kesehatan Yang Membuka Aurat?

Pertanyaan:

Assalamu‘alaikum Wr. Wb. Ustadz, saat ini saya sedang menjalani test rekrutasi pegawai sebuah BUMN di Jakarta. Salah satu testnya adalah test kesehatan. Yang saya khawatirkan, test kesehatan ini seringkali sampai ke pemeriksaan bagian ‘dalam’, sehingga kadang mengharuskan peserta membuka baju sampai terlihat aurat dan disentuh oleh dokter yang lawan jenis. Namun di lain sisi, menolak melakukan test tersebut, bisa jadi menyebabkan peserta gagal untuk diterima sebagai pegawai. Yang ingin saya tanyakan, jika dalam kondisi terpaksa atau sakit, mungkin hal ini masih diperbolehkan, namun bagaimana dengan test kesehatan yang seperti ini yang tujuannya agar diterima sebagai pegawai? Mohon jawabannya. Jazakumullah khair atas tanggapan ustadz. Wassalam.

Jawaban:

Assalamualaikum Wr. Wb. Kami yakin tingkat kedaruratan test ‘bagian dalam’ seperti yang anda sebutkan itu terlalu mengada-ada. Bila memang benar terjadi, tidak ada salahnya anda laporkan dan angkat pada surat pembaca di media. Karena tidak pada tempatnya suatu instansi memaksakan untuk membuka aurat calon pegawainya dengan alasan pemeriksaan kesehatan. Seharusnya mereka menyediakan tenaga medis wanita sehingga tidak ada alasan untuk melihat aurat lawan jenis. Namun inilah negeri Indonesia yang penuh dengan muslimin tapi miskin orang beriman. Apalagi yang mengerti hukum syariat dengan benar. Sayangnya yang paling sering melanggar hukum Islam justru umat Islam sendiri. Buat anda, jelas tingkat kedaruratan pemeriksaan kesehatan itu bila memang menjadi syarat utama, bukan suatu prioritas. Nilai kehormatan aurat wanita dalam Islam jauh lebih tinggi dari nyawa seribu syuhada‘ sekalipun.

Di zaman khalifah Al-Mu‘tashim billah, terkenal ungkapan “Waa mu‘tashimaah”, sebuah jeritan wanita yang mengadukan perlakuan seorang yahudi kepada dirinya ketika dengan jailnya si yahudi menyangkutkan ujung jilbab wanita itu hingga terlihat sebagian auratnya. Al-Mu‘tashim billah langsung mengirim ribuan tentaranya untuk menyatakan perang melawan kelompok yang dianggapnya telah melecehkan wanita Islam dan terjadilah perang akbar. Inilah harga sebuah kehormatan wanita dalam Islam. Namun unfortunately, justru umat Islam sendiri pada hari ini yang berlomba mengumbar aurat wanita dengan seribu dalih yang dibuat-buat.

Wallahu a‘lam bish-Showab. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.








Fidyah Ibu Menyusui

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Ustadz/ah yang saya hormati, saya mohon penjelasan untuk pembayaran fidyah bagi wanita yang menyusui, apakah harus mengqadho puasa lagi jika sudah membayar fidyah? Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jawaban:

Fidyah dibayarkan apabila seorang wanita tidak berpuasa wajib di bulan Ramadhan lantaran takut atas kondisi dirinya atau bayinya. Para ulama memang berbeda pendapat dalam hal ini: apakah cukup qodha‘ saja, atau fidyah saja atau keduanya. Titik tolak perbedaannya adalah pada pengkategorian wanita menyusui, apakah termasuk kelompok orang sakit atau orang yang tidak mampu. Bila dikelompokkan pada orang sakit, maka boleh tidak berpuasa dengan kewajiban membayar qadha‘. Tetapi bila dikelompokkan kepada orang tidak mampu, maka boleh tidak puasa dengan membayar fidyah. Pendapat pertama, Mereka mengatakan cukup membayar qahda‘ saja tanpa harus membayar fidyah. Hal ini karena mereka beranggapan bahwa wanita menyusui lebih dekat pada kelompok orang sakit. Karena itu dia wajib mengqadha‘ puasa di hari lain sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, sedangkan fidyah tidak perlu dibayarkan. Pendapat kedua, Membayar qadha‘ dan juga fidyah. Ini adalah pendapat Imam As-Syafi‘i yang lebih berhati-hati dalam menerapkan hukum. Menurut pendapat ini, wanita yang menyusui termasuk dalam kategori orang sakit dan orang tidak mampu sekaligus. Karena ini dia harus membayar seperti orang sakit dengan mengqadha‘ dan seperti orang tidak mampu dengan membayar fidyah.

Wallahu a‘lam bishshowab. Wassalamualaikum Wr. Wb.








Darah Kotor (Menstruasi?)

Ustadz yang dirahmati Allah.SWT

Saya mau tanya nih,siklus menstruasi saya biasanya teratur dan tidak ada masalah, nah dalam 2 * periode ini siklus ini menjadi bermasalah, untuk diketahui saya tidak sedang memakai kontrasepsi apapun, tidak ada makan obat yang mengandung hormonal dll.

Saya menstruasi selama 10 hari dan kemudian sholat dll seperti biasa selama 5 hari, nah setelah 5 hari bersih tiba-tiba keluar lagi darah dari kemaluan saya, saya hentikan sholat tapi selama 2 hari tidak ada tanda tanda darah ini akan berhenti, maka saya mulai sholat kembali dengan cara mengganti pembalut setiap mau sholat. tapi setelah melaksanakan ini selama 5 hari,saya masih belum yakin juga akan sholat yang saya lakukan, karena saya harus buru buru sholat karena takut selama sholat darah akan keluar. dan sepertinya memang belum ada tanda darah ini akan berhenti. darah yang keluar ini memang tidak sebanyak darah haid, tapi bukan pula berupa flek.

Jadi sekarang, saya dipenuhi keraguan, apakah saya harus tetap melaksanakan sholat dengan kondisi belum bersih ( karena masih ada darah keluar) atau saya tunggu sampai darah berhenti dan benar benar bersih, kemudian apakah saya harus mandi wajib lagi sebelum memulai sholat kembali.

Demikian dulu, pertanyaan saya.

terima kasih banyak atas jawaban yang akan diberikan

Wassalamualaikum wr wb

Fitri-UK



Assalamu alaikum wr.wb.

Jika kebiasaan masa haid itu 10 hari, kemudian keluar darah setelah, maka darah yang keluar setelah masa haid tersebut adalah darah istihadah. Sebagaimana hadits Ummu Salamah:



Artinya : “Di riwayatkan bahwa Ummu salamah bertanya kepada Rasulullah saw ihwal seorang perempuan yang mengeluarkan darah. Ia bekata : Lihat jumlah malam dan hari selama ia haid dalam satu bulan. Mereka (karenanya) harus meninggalkan shalat, kemudian mandi besar dan menutupi tempat haid kemudian shalat”. (HR Malik, Syafii, dan imam yang lima kecuali at-Tirmidzi)

Berdasarkan hadits di atas, maka ibu tetap berkewajiban melaksanakan sholat seperti halnya dimasa suci karena darah yang keluar adalah darah istihadoh. Maka setiap kali akan sholat, cukup berwudhu tidak perlu mandi besar.

Wallahu a'lam bish-shawab

Wassalamu alaikum wr.wb.






lamanya darah nifas

aslm wr wb

masalah darah nifas brp lama?kalau darah nifas masih keluar lebih dari 40 hari, apakah sudah bisa mandi wajib?



Assalamu alaikum wr.wb.

Imam Ahmad, Abu Daud, at-Tiirmidzi serta Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu Salamah yang berkata, "Para wanita yang mengalami nifas pada masa Rasulullah saw duduk selama empat puluh hari."

Imam Abu Isa at-Tirmidzi rahimahullah menyebutkan dalam kitab Jami'-nya bahwa para sahabat, tabiin, dan para ulama sesudah mereka sepakat kalau wanita yang sedang nifas meninggalkan shalat selama empat puluh hari, kecuali kalau sebelum itu ia sudah bersih. Jika bersih ia harus mandi dan shalat.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Wassalamu alaikum wr.wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar