Powered By Blogger

Selasa, 28 Februari 2012

KONSULTASI SYARIAH

Agama Nabi Muhammad Sebelum Menjadi Nabi


Pertanyaan:

Sebelum nabi Muhammad memeluk Islam, agama apakah yang dia anut dan bagaimana mungkin mengaku Islam lah yang pertama ada, sedangkan sejak Kenabian Muhammad diakui baru ada Islam? Assalamu `alaikum Wr. Wb.

Jawaban:

Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Rasulullah SAW sebelum diangkat menjadi Nabi dan menerima wahyu dari Allah SWT, dia adalah seorang yang hanif berada dalam millah (ajaran) agama nabi Ibrahim as sebagai Bapak dari para nabi. Beliau lahir dan tinggal di tempat dimana dahulu Bapak para nabi itu membangun rumah Allah. Beliau mewarisi kesucian dan kelurusah agama yang dibawa oleh kakeknya. Rasulullah SAW sebelum menjadi nabi tidak pernah melakukan hal-hal yang nantinya terlarang dan diharamkan dalam syariat yang diturunkan kepadanya. Wajahnya belum pernah sujud kepada berhala, perutnya belum pernah meminum khamar, lidahnya belum pernah digunakan untuk membicarakan orang, mencaci atau hal yang dilarang. Beliau pernah berdagang tapi tidak pernah terjebak sistem ribawi. Bahkan ketika masih anak-anak, beliau pernah berniat menonton hiburan malam dalam sebuah pesta, namun atas izin Allah SWT beliau tidak jadi melakukannya lantaran tertidur dan hal itu berulang untuk esoknya. Sehingga kalau pun dia tidak menjadi nabi, pastilah dia akan dikatakan sebagai orang suci yang shalih dan dicintai semua orang.

Namun dengan diangkat menjadi nabi, maka beliau menjadi pembawa paket risalah yang berisi hukum dan aturan hidup manusia sedunia dan berlaku hingga akhir masa. Karena tidak ada nabi sesudahnya. Syariat itulah yang dijadikan Tuhan yang pernah mengutus Ibrahim, Daud, Musa dan Isa menjadi syariat versi terakhir. Dan menghapus berlakunya semua syariat yang pernah ada sebelumnya. Kitab Al-Quran Al-Karim yang diturunkan kepada beliau adalah kitab yang menghapus berlakunya semua kitab sebelumnya. Dan diri Rasulullah SAW sebagai nabi menjadi satu-satu nabi yang masih berlaku kenabiannya sampai hari akhir. Sehingga bila nanti Yesus Kristus (Nabi Isa as) datang lagi ke dunia ini, beliau akan menjadi salah satu anggota dari umat Islam. Bahkan beliau akan bersyahadat bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah SAW. Beliau akan shalat di dalam shaf shalat jamaah umat Islam dan menghancurkan salib, berhala serta patung-patung dirinya yang telah dibuat oleh orang kafir yang menjadikan dirinya tuhan atau anak tuhan.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.





Adakah Inkarnasi Ke Makhluk Lain?

Pertanyaan:

Assalamu‘alaikum Wr. Wb. Di daerah saya masih ada orang yang mempercayai adanya ingkarnasi manusia yang mati kepada mahluk lain. Ceritanya begini: Di sebuah tempat kerja, teman saya cerita, dia dikejutkan dengan ulah seekor kucing yang memainkan kaki depannya di keyboard komputer. Setelah dilihat, katanya ada tulisan yang memberitahukan bahwa ia adalah si A (sebutkan nama) jenis kelamin wanita, beralamat di desa B, meinggal karena bunuh diri. Si Kucing minta dibacakan Alqur‘an dan tahlil pada umumnya. Kebetulan ia berdua bersama satpam lalu membacakan apa yang diminta tersebut.

Pertanyaan saya: 1) Apakah si kucing tadi jin (qorin) atau siapa? 2) bagaimana hukum memenuhi permintaan tersebut? 3) Dalam QS 2: 65 (kalau tidak salah) disebutkan bahwa bani Israil dikutuk menjadi kera yang hina. Apa maksudnya? 4) Apakah dengan sifat Maha Kuasa Allah swt. Berkehendak menjadikan manusia yang mati karena penasaran, misalnya bisa berubah wujud (karena belum tenang arwahnya? lalu berubah ke mahluk lain? Atas jawabannya, saya ucapkan jazakallohu khoiran jazaa‘ Wassalamu‘alaikum Wr. Wb.

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. 1. Masalah kucing itu bila memang benar cerita tersebut tidak lain adalah jin yang menyamar jadi makhluk lain. Allah SWT memang memberikan kelebihan kepada jin untuk mampu melakukan hal itu. Namun sayangnya sering digunakan untuk menyesatkan manusia dan membawa mereka kepada kekufuran. Modusnya mudah dibaca dan triknya gampang dikenali. Mereka akan memancing ketakukan dan keheranan manusia, lalu manusia akan minta perlindungan kepada dukun dan sejenisnya. Lalu pada dukun itu akan memberikan aji-aji yang esensinya bentuk-bentuk kekufuran dan kemusyrikan. Trik ini efektif buat mereka yang kurang mendalam aqidah dan pemahaman syariahnya sehingga dengan mudah terjerumus. Buat umat Islam yang kuat aqidahnya, maka kejadian ini dilawan dengan memohon kepada Allah perlindungan dari kejahatan jin dan manusia serta kejahatan segala macam makhluq-Nya. Karena tidak ada satu pun cara yang tepat untuk menangkal kekuatan ghaib selain apa yang secara resmi diajarkan oleh Allah SWT, yaitu dengan di-ruqiyah dengan ayat-ayat suci Al-Quran dan praktek pengobatan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam sunnah yang shahih.

2. Permintaan jin itu adalah formalitas dari ketundukan dan ketaatan kepada mereka, dan itu merupakan kemusrikan. Jin itu tidak berhak mendapatkan apa-apa dari kita kecuali diusir dan diperangi dengan ayat-ayat suci Al-Quran. Memenuhi permintaan mereka meski kelihatan sepele, tapi akan berdampak besar buat mereka karena semua itu tidak lain adalah trik dan tipu daya.

3. Suatu kaum dari Bani Israil secara zahir memang pernah dikutuk Alah menjadi kera yang hina. Para mufassirin sepakat bahwa mereka betul-betul menjadi kera dan bukan majaz (kiasan). Hal itu terjadi karena mereka melanggar larangan Allah untuk menangkap ikan di hari Sabtu. Lalu jadilah mereka kera yang hina. Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina.” Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa (QS. AL-Baqarah: 65-66) Menurut sebagian ahli tafsir, sebagian lagi menjadi babi. Namun kebanyakan sepakat bahwa setelah tiga hari kera dan babi itu pun mati. Mereka tidak bisa hidup terus, tidak makan, tidak minum dan juga tidak punya keturunan. Memang Rasulullah SAW pernah suatu ketika ditawarkan daging Dhabb menolak dan berkomentar bahwa jangan-jangan binatang itu adalah keturunan hewan kutukan Allah atas orang-orang terdahulu. Namun kemudian Allah memberitahukan bahwa hewan jelmaan orang dahulu tidak bisa hidup lebih dari tiga hari dan juga tidak bisa berkembang biak. Allah berfirman “Sesungguhnya Allah tidak menghancurkan atau mengazab suatu kaum kemudian mereka berkembang biak. Dan bahwa kera dan anjing adalah sebelum itu.”

4. Arwah orang mati itu punya urusan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya kepada Allah, sehingga tidak ada kesempatan untuk kembali ke dunia sekedar untuk balas dendam. Memang benar bahwa untuk waktu tertentu mereka bisa bisa menyaksikan perilaku keluarganya yang masih hidup, bahkan ketika dibaru dikubur pun masih bisa mendengarkan suara sandal para pengantarnya. Tapi mereka tidak bisa kembali secara pisik ke alam dunia lalu ikut mengacak-acak kehidupan atau gentayangan kesana kemari jadi hantu atau jadi makhluk ‘jadi-jadian’ dan sebagainya. Ini hanya hayalan pembuat cerita syetan saja. Kalupun secara pisik ada makhluk tertentu melakukan itu, lagi-lagi jin yang memanfaatkan keadaan. Dan ujung-ujungnya menjerumuskan kepada kemusyrikan dan kesesatan. Buat para ‘roh gentayangan’ yang sebenarnya jin tidak ada ‘hadiah’ yang paling baik kecuali diperangi dan diusir tanpa kompromi. Selama mereka mengganggu manusia, mereka itu makhluk sesat dan menyesatkan.

Wallahu a‘lam bishshowab. Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.





Hijrah Menuju Yang Haq

Pertanyaan:

Assalamualaikum Wr. Wb. Saya ingin bertanya, 1. Apabila yang haq telah datang, apakah kita harus hijrah menuju ke yang haq itu? 2. Apakah kita sudah berada pada yang haq atau belum? 3. Contoh yang haq itu bagaimana?

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Rasulullah SAW bersabda bahwa tidak ada lagi hijrah setelah fathu Mekkah. Yang ada adalah hijrah secara kejiwaan. Hijrah secara pisik sebagaimana di zaman Rasulullah SAW dilakukan berdasarkan pertimbangan strategi dan hitung-hitungan siayah syariyah dan siayah dakwah. Hijrah yang pertama ke Habasyah lebih merupakan upaya menyelamatkan jiwa-jiwa yang terancam di Mekkah dan mencari suaka politik. Berhubung mereka tidak punya pelindung dan basic keamanan yang memadai di Mekkah. Pada hijrah ini Rasulullah SAW tidak ikut serta.

Hijrah kedua ke Thaif yang dilakukan cuma berdua oleh Nabi SAW dan Zaid, lebih diorientasikan untuk mencari kemungkinan ladang dakwah yang baru akibat dakwah di Mekkah mengalami stagnasi. Sedangkan hijrah yang ketiga yaitu ke Madinah berkaitan untuk membangun masyarakat Islam yang kosmopolitan dan berdasarkan syariat Islam. Meski yang menghuni Madinah itu tidak harus Islam semua. Bahkan Yahudi dan Munafiqin banyak bercokol disana. Namun mereka terikat dengan huukm Al-Quran dan tunduk di bawah kepemimpinan Islam. Persiapan hijrah ke Madinah ini kelihatan sangat matang dan strategis sekali dengan didukung oleh kekuatan internal baik para muhajirin mapun anshar. Namun semua itu selain memang ada perintah wahyu, secara politis menggunakan hitungan-hitungan yang masuk akal dan memenuhi standart strategi dakwah dan gerakan Islam.

Bila di zaman sekarang ini kita memperlajari strategi dalam konteksnya dengan fiqih sirah dan fiqih dakwah, maka dalam tiap hijrah Rasulullah SAW memang banyak sekali pelajaran yang bermanfaat. Sehingga bisa dijadikan kaidah dakwah dan pergerakan. Namun tentu saja cara memahaminya harus dengan kacamata syariah yang berwawasan dan shahih. Untuk itu para ulama banyak menulis tentang pelajaran yang diambil dari peristiwa Hijrah dan bagaimana aplikasinya dalam masa kini. Berkaitan dengan pertanyaan anda “yang haq”, maka perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan “yang hak itu” sendiri. Karena anda bertanya apakah “yang hak” sudah datang, namun anda sendiri tidak tahu apakah “yang hak” itu. Paling tidak anda menyebut istilah “yang hak” dari siapa? Tanyakannya kepada yang membuat istilah itu.

Wallahu a‘lam bis-shawab. Waassalamu ‘alaikum Wr. Wb.






Syahadatain Umat Terdahulu Sebelum Datangnya Rasulullah

Pertanyaan:

Ada seorang teman bertanya pada saya, Apakah umat sebelum Rasul SAW juga bersyahadat pada rasul-rasulnya? Kalau iya, Apakah sama dengan lafadz syahadat kita pada Nabi Muhammad SAW? Apakah ada dalil yang menerangkan hal ini? Syukron Wassalam.

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Lafaz syahadatnya adalah bahwa nabinya itu utusan Allah. Misalnya umat Nabi Musa syahadatnya adalah “Asy-hadu An Laa Ilaaha Illallah wa Anna Musa Rasulullah.” Umat Nabi Isa adalah “Asy-hadu An Laa Ilaaha Illallah wa Anna Isa Rasulullah.” Tentu saja lafadz itu bukan lafadz bahasa arab, karena mereka bukan orang arab, nabinya pun tidak berbahasa arab, begitu juga kitab sucinya. Namun intinya mereka tetap berikrar dengan syahadatain. Bila kita telaah Al-Quran lebih jauh, maka kita dapati beberapa peristiwa yang menggambarkan masuk Islamnya orang-orang terdahulu.

Allah berfirman tentang Ratu Saba‘ yang masuk Islam dalam kiash di Al-Quran Al-Kariem: Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana.” Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca.” Berkatalah Balqis: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (QS An-Naml: 44) Allah berfirman tentang para penyihir Firaun yang masuk Islam di depan Musa: Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: "Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Mus.” (QS. Thaha: 70)

Sedangkan secara umum, sebenarnya semua manusia telah bersyahadat sebelum dilahirkan oleh ibunya dari kandungan. Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" 7: 172

Wallahu a‘lam bis-shawab. Waassalamu ‘alaikum Wr. Wb.





Pengertian 'Tangan Allah' Dalam al-Qur'an

Pertanyaan:

Assalamualaikum Wr. Wb. Bagaimana pandangan aqidah yang benar tentang ayat/hadis yang menerangkan sifat af‘al Allah yang ‘sulit dimengerti akal‘ (afwan) misal Allah punya 2 tangan, Allah turun pd malam hari dan lain-lain? Terimakasih.

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Manhaj ahlus sunnah wal jamaah punya metode dalam mengimani ayat-ayat yang mutasyabihat seperti itu, beriman kepadanya sebagaimana yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan keinginan Allah dengan i‘tiqah bahwa Allah tidak sama dengan sesuatu tanpa mentakwil, mentakyif, mentahrif, mentamsil (memisalkan) dan menta‘thil (menolak). Tidak mentakwil artinya bila kita mendapati ayat Al-Quran atau hadits yang menyebutkan bahwa Allah memiliki kursi, wajah, tangan, kaki atau Allah berjalan, berlari, tersenyum dan lainnya, maka sikap kita tidak boleh metakwilkan atau menafsirkannya dengan akal kita. Sehingga kita tidak dibenarkan mengatakan bahwa yang dimaksudkan ‘kursi Allah’ itu adalah kekuasaan dan sebagainya.

Mengapa tidak boleh mentakwilkan atau menafsirkan seperti itu? Karena ini berkaitan dengan sifat dan wujud Allah. Dan merupakan bagian penting dalam aqidah. Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan sifat-Nya tidak bisa disimpulkan berdasarkan logika atau pentakwilan semata. Biarlah hal itu menjadi rahasia Allah semata. Selama Allah tidak menjelaskannya kepada kita, maka kita tidak pernah ditugaskan untuk mentakwilkannya atau menafsirkanya. Karena Allah itu tidak sama dengan segala sesuatu, laisa kamitslihi syai‘un. Dan mengapa tidak boleh menta‘thil (menolak) dalil Al-Quran dan hadits? Karena biar bagaimana pun dalil itu adalah merupakan ayat Al-Quran yang telah diriwayatkan secara mutawatir sepanjang zaman. Begitu juga hadits yang shahih yang menceritakan tentang sifat allah. Tidak boleh ditolak selama periwayatannya telah memenuhi kriteria ilmu hadits.

Menolak lafaz dan makna yang ada dalam satu atau dua ayat pada Al-Quran dan As-Sunnah merupakan pengingakaran kepada semuanya. Dan mengingkari Al-Quran dan As-sunnah diancam dengan kekafiran dan kemurtadan. Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang ayat “Ar-Rahmanu alal ‘ary istawa” (Allah yang Maha Rahaman bersemayam di atas arsy) beliau menjawab, ”istiwa bukan sesuatu yang majhul, sedangkan teknis isitwa‘ Allah di asry tidak ma‘qul, tetapi iman atas hal itu wajib, dan menanyakan teknisnya itu bid‘ah.“ Maka beliau meminta agar orang itu dikeluarkan dari masjid, karena beliau tahu bahwa orang itu ahli bid‘ah dan beliau takut orang itu akan merusak aqidah masyarakat. Kesimpulannya: Kita menerima dan mengakui semua keterangan tentang Allah yang disebutkan baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah tanpa banyak bertanya karena kebenarannya sudah pasti. Sedangkan makna dan penafsirannya, selama ada ayat lain atau hadits lainnya yang menjelaskan, kita terima. Namun bila tidak ada keterangan yang sama kuatnya, kita menerima saja.

Wallahu a‘lam bis-shawab. Waassalamu ‘alaikum Wr. Wb.




Nahnu (Allah) Dalam Qur'an

Pertanyaan:

Assalamualaikum Wr. Wb. Apa arti ‘nahnu‘ (kami) dalam menyebut Allah dalam ayat-ayat Qur‘an? Bukankah Dia Maha Esa?

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Memang dhamir ‘nahnu’ adalah bentuk kata ganti orang pertama dalam bentuk jamak yang berarti kita atau kami. Tapi dalam ilmu nahwu, maknanya bisa saja bukan kami tetapi aku, saya dan lain-lainnya. Terkadang kita sering terjebak dengan pertanyaan seperti ini. Model pertanyaan seperti ini bisa jadi berangkat dari kepolosan dan keluguan, namun di sisi lain bisa jadi merupakan usaha untuk membodohi umat Islam yang awam dengan bahasa arab dengan menggunakan pertanyaan menjebak ini.

Hal ini tidak aneh dan sudah sering dilakukan. Dengan bekal kemampuan bahasa arab seadanya, pertanyaan seperti ini sering dijadikan senjata buat umat Islam yang minim ilmunya. Tapi bagi mereka yang memahami bahasa Arab sebagai bahasa yang kaya dengan makna dan kandungan seni serta balaghah dan fashohahnya, pertanyaan seperti ini terkesan lucu dan jenaka.

Bagaimana mungkin aqidah Islam yang sangat logis dan kuat itu mau ditumbangkan cuma dengan bekal logika bahasa yang separo-separo. Dalam ilmu bahasa arab, penggunaan banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna zahir dan apa adanya. Sedangkan Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tinggat tinggi. Nahnu tidak menunjukan arti banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari dalam ilmu balaghah.

Wallahu A‘lam bis-shawab. Waassalamu ‘alaikum Wr. Wb.





Harus Bermadzhab Pada Satu Madzhab?

Pertanyaan:

Assalamu‘alaikum wr. wb. Ba‘da tahmid wa sholawat. Bagaimana ketentuan bermadzab, pilih satu atau bisa dicampur-dicampur? Jazakumullah

Jawaban:

Assalamu‘alaikum Wr. Wb. Para ahli ushul berbeda pendapat tentang apakah yang seharusnya dilakukan dalam memilih mazhab, harus berpegang teguh pada satu mazhab saja ataukah boleh berpindah-pindah?

1. Pendapat Pertama: Wajib berpegang pada satu mazhab saja. Pendapat mereka berangkat dari pemikiran bahwa imam mazhab telah memiliki metodologi tersendiri dalam membangun mazhab. Dan semua pendapatnya itu berangkat dari metodologi yang telah disusunnya, bukan sekedar pendapat yang bermunculan secara tiba-tiba. Dengan demikian maka pendapat-pendapat yang bersumber dari satu mazhab tertentu lahir dari sebuah proses yang teratur dan memiliki pola istimbath yang konsisten. Sehingga bila berpindah-pindah mazhab akan mengakibatkan ketidak-konsistenan dalam metodologi. Menurut pendukung pendapat ini, seseorang harus konsisten dalam metodologi mazhab.

2. Pendapat kedua: Tidak wajib untuk bertaqlid kepada satu mazhab saja. Menurut para pendukung pendapat ini, seseorang boleh mengikuti pendapat yang berbeda dari beragam mazhab. Karena tidak ada perintah untuk berpegang teguh kepada satu orang mujtahid saja. Ketika seseorang bermazhab tertentu seperti Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi‘iyyah atau pun Al-Hanabilah, maka pada suatu masalah tertentu boleh saja dia tidak sepakat dengan pendapat mazhabnya. Hal seperti itu lazim terjadi dan sama sekali tidak ada larangan. Allah sendiri tidak pernah mewajibkan seseorang untuk betaqlid pada mujtahid tertentu. Kalaupun ada perintah, maka Allah memerintahkan seseorang untuk bertanya kepada ahli ilmu secara umum. Allah berfirman: “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu bila kamu tidak mengerti” (QS. Al-Anbiya‘: 7)

Selain itu berpegang hanya pada satu mazhab saja tanpa dibolehkan melihat kepada mazhab lainnya merupakan sebuah kesempitan dan kesuilitan. Padahal adanya mazhab sebenarnya merupakan rahmat dan nikmat. Apalagi di zaman yang semakin berkembang ini dimana bisa saja pandangan dari suatu mazhab menjadi kurang tepat untuk diterapkan lagi, sedangkan pandangan dari mazhab lain yang dulu kurang populer justru lebih terasa mengena di zaman ini. Karena itulah maka pendapat kedua ini nampaknya lebih tepat dan juga pendapat inilah yang disepakati oleh jumhur ulama.

Wallahu A‘lam Bish-Showab, Wassalamu ‘Alaikum Wr. Wb.




Mendoakan Orang yang Tidak Seakidah

Assalamualaikum wr wb..
Saya ingin bertanya mengenai benarkah apabila tidak seakidah maka doa kita tidak akan dikabulkan? atau kita tidak boleh mendoakan karena berdosa?
Terimakasih..
Wassalamualaikm wr wb.

Jawaban

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Para ulama sepakat bahwa mendoakan non-muslim agar mereka mendapatkan ampunan, agar masuk ke dalam sorga, serta doa-doa lain yang bersifat ukhrawi adalah dilarang (Lihat QS at-Taubah: 114). Yang boleh adalah mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah atau petunjuk sebagaimana hal ini dicontohkan oleh Rasul SAW. ketika berdoa agar salah satu dari dua Umar masuk ke dalam Islam serta memperjuangkan agama ini, dimana doa ini dikabulkan dengan masuk Islamnya Umar ibn al-Khattab ra. Juga doa beliau untuk ibunda Abu Hurayrah ra.

Sementara doa meminta kesembuhan, kesehatan, kelapangan, dan sebagainya juga diperbolehkan, apalagi jika dengan itu diharapkan mereka tertarik kepada Islam. Hal ini pernah dilakukan sahabat misalnya kepada pimpinan kaum yang terkena bisa ular. Sahabat tadi membacakan surat al-fatihah dan ternyata dengan ijin Alah SWT sembuh. Ini sekaligus menunjukkan bahwa membaca al-fatihah atau yang lainnya sebagai doa adalah boleh.

Wallahu a'lam bish-Shawab.




Apakah Malaikat Bersayap?

Pertanyaan:

Assalamu‘alaikum wr. wb. Saya ingin bertanya, dalam al-quran surat al-Faathir (35) ayat 1, dikatakan bahwa malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Bagaimana kita menerangkan secara ilmu pengetahuan maksud dari kata mempunyai sayap masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat? Atas jawab ustadz saya ucapkan terima kasih, Jazakallah. Wassalam

Jawaban:

Assalamu‘alaikum Wr. Wb. Sebelumnya kita perlu kembali kepada pengertian awal tentang makhluq ghaib. Namanya saja sudah ghaib, maka otomatis hukum-hukum fisika yang berlaku jauh berbeda dengan yang kita kenal. Iptek yang kita kenal sekarang ini jelas tidak memadai untuk menjelaskan wujud para malaikat itu. Toh bumi ini hanya sebuah titik kecil di tengah semesta raya. Bila kita berandai-andai, seandainya nun di luar sana ada peradaban tinggi milik ّalienْ, barangkali peradaban dan iptek kita dianggap mereka sebagai peradaban sangat purba. Saking purbanya, mereka tidak ingin memperkenalkan diri ke peradaban kita ini agar tidak terjadi gejolak di tengah peradaban manusia ini.

Bila kita mengangap bahwa alien itu ada, kita bisa bayangkan bahwa semua yang kita miliki dalam iptek kita ini menjadi sesuatu yang sama sekali tidak berarti. Nah bila kita kembalikan pada ّduniaْ para malaikat, tentu saja semua penjelasan nalar teknologi kita ini sama sekali tidak masuk hitungan untuk dimensi mereka. Kalau pun Al-Quran dan As-Sunnah menceritakan bahwa para malaikat itu mempunyai sayap, bisa terbang, memenuhi langit dan lain sebagainya, maka kita wajib percaya atas semua itu. Namun tentang bagaimana penjelasan logikanya, jelas bahwa level iptek kita tidak nyambung untuk menerangkan semua itu. Karena dunia dan dimensinya berbeda jauh.

Wallahu a‘lam bis-shawab. Waassalamu ‘alaikum Wr. Wb.





Langsung Masuk Surga/Masuk Neraka Dulu?

Pertanyaan:

Nasib manusia di akhirat ditentukan oleh timbangan amal baik dan buruk di dunia. Jika lebih banyak amal baiknya maka ia masuk surga dan jika sebaliknya maja masuk neraka. 1. Apakah orang yang lebih berat amal baiknya tidak akan disiksa di neraka dulu karena dosa-dosa nya, walaupun ia lebih banyak amal baiknya dan ia islam? 2. Apakah orang yang sudah dihukum di dunia karena berbuat kejahatan berarti ia tidak dihukum lagi di akhirat karena perbuatannya itu?

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.

1. Orang yang masih memiliki dosa atau timbangan amal kejahatan, maka harus disiksa dulu di neraka. Bila siksa itu telah dijalaninya sesuai dengan berat timbangan kejahatannya dan telah lunas dan impas, yang tersisa tinggal amal baiknya, maka dia berhak untuk keluar dari neraka dan masuk surga. Keculai bila Allah berkehendak lain terhadap hambanya. Misalnya bila Allah mengampuni dosa-dosanya itu, atau bila ada pahala kebajikan yang mampu menghapus dosa-dosanya didunia atau mengurangi dan lain sebagainya. Namun intinya, baik penambahan atau pengurangan dosa seseorang, yang menentukan adalah hasil akhirnya. Bila masih tersisa dosa yang belum tertebus atau terhapus, maka sesuai dengan ketentuan, tiap orang harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya. Karena itu, selama masih hidup di dunia, seyogyanya setiap muslim selalu memohon ampun dan beristighfar kepada Allah atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya di dunia baik yang disengaja atau yang tidak disengaja, baik yang dia ketahui atau yang tidak diketahuinya. Semua itu tidak lain untuk mengurangi timbangan amal kejahatan di akhirat nanti.

Selain itu juga selalu berbuat baik dan menjalankan semua perintahnya baik yang wajib maupun yang sunnah. Tidak lupa pula untuk selalu beramala yang buahnya berlipat ganda dan pahalanya terus mengalir meski pelakunya telah wafat. Seperti shadaqah jariah, atau ilmu yang diajarkan kepada orang lain yang bermanfaat atau memiliki keturunan yang shalih yang selalu mendoakannya. Sungguh merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bila di akhirat seseorang terus menerima ganjaran kebajikan yang secara kumulatif akan terus memperberat amal baiknya dan mengurangi terus amal buruknya. Sehingga bisa saja seseorang yang tadinya harus masuk neraka, tapi akibat dari adanya ّtransferْ amal baik dari dunia atas ّinvestasiْ yang telah ditanamkannya, maka tidak jadi masuk neraka tapi langsung saja dimasukkan ke surga.

2. Hukuman di dunia tidak otomatis menjadi cara untuk mengampuni dosa-dosa seseroang. Karena yang menentukan adalah tobat dan ampunan dari Allah. Meski seseorang telah dihukum di dunia ini baik lewat pengadilan atau melalui azab dari Allah, sementara dia sendiri tidak melakukan tobat dan permohonan ampun, maka dosanya masih melekat dan tetap akan dinilai sebagai amal kejahatan yang akan memperberat timbangan yang membuatnya masuk neraka. Apalagi bila hukuman itu bukan merupakan bentuk hukuman yang Allah tetapkan. Misalnya, Allah telah menetapkan bahwa pezina itu dicambuk 100 kali. Tetapi hukuman yang dia jalani hanyalah ّmenginapْ di tahanan selama 2 atau 3 bulan, tentu saja hal ini bukan ‘penebus’ dosa yang dikehendaki syariat. Dan meski telah menjalani hukuman sesuai syariat Islam, tapi bila pelaku itu tidak mengiringkannya dengan tobat yang benar, juga belum tentu diampuni oleh Allah. Karena itu, tobat dan minta ampun menjadi kunci utama untuk menghapus dosa. Selain itu, bila pelanggaran dan dosa yang dilakukannya mewajibkannya untuk menjalani hukuman sesuai dengan hukum Allah, maka tidak boleh mengelak atau menghindar. Karena hukum Allah bersifat tetap dan pasti. Tidak bisa ditawar-tawar apalagi dibolak-balik. Jangan-jangan nasib kita akan sama dengan yahudi yang kerjanya memutar balik hukum Allah.

Wallahu a‘lam bish-showab, Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.





Menentukan Status Keislaman Seseorang

Pertanyaan:

Assalammu’alaikum Wr. Wb. Saya mempunyai Saudara yang selama hidupnya mungkin tidak pernah melakukan Sholat. Hal itu dikarenakan lingkungan didaerahnya yang berkepercayaan tradisi sunda yang disebut "Karuhun" (percaya nenek moyang) tetapi dalam beberapa hal tatacara Islam sering dipakai, dan kalau ditanya agama mereka menjawab agama mereka Islam. Tetapi tidak mengerti Islam sedikitpun (Rukun Islam & Rukun Iman) tidak tahu, kemudian dia meninggal dan dikubur secara Islam (seperti Adzan pada saat penguburan) dan pada saat akan dikuburkan tidak disholatkan kemungkinan lingkungannya tidak mengerti. Yang menjadi pertanyaannya saya, apakah orang yang disekitarnya walaupun ada yang tahu bahwa kewajiban menyolatkan mayit adalah wajib hukumnya?

Jawaban:

Assalamu‘alaikum Wr. Wb. Keislaman seseorang atau masyarakat dibatasi oleh syahadat yang diucapkan. Ini adalah benteng terakhir untuk menentukan status ke-Islaman seseorang. Meski secara zahir seseorang barangkali tidak melakukan shalat, puasa, zakat atau kewajiban lainnya, namun semua itu tidak secara otomatis menggugurkan status ke-Islaman. Karena bisa jadi dia tidak melakukannya karena malas atau mungkin juga karena tidak tahu nilai kewajibannya.

Yang membatalkan ke-Islaman adalah apabila secara tegas MENOLAK salah satu dari rukun Islam. Menolak dalam arti secara sadar sepenuhnya tidak mengakui kewajibannya. Dalam kondisi ini, para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa orang yang menolak kewajiban shalat, zakat dan tiang-tiang pokok Islam, menjadi kafir dan gugur ke-Islamannya. Yang perlu dilakukan tentu selain memperlakukan jenazah mereka sebagai muslim, juga orang-orang yang masih hidup itu perlu mendapatkan dakwah Islam. Ini merupakan kewajiban yang lebih penting untuk dilakukan terlebih dahulu sebelum memikirkan apakah jika mereka meninggal diperlakukan secara Islam atau bukan.

Dalam Islam berlaku qaidah, Nahkumu bizzowahir wallahu watawalla as-sarair. Kita menyikapi segala sesuatu sesuai dengan zahirnya sedangkan masalah nilainya dan apa yang dibalik yang zahir itu kita kembalikan kepada Allah. Dalam kasus yang anda sebutkan, zahirnya mereka muslim karena ketika ditanya agamanya apa, mereka mengaku muslim. Ini sudah cukup untuk menentukan status agama mereka apa. Bahwa tidak shalat dan lain sebagainya itu kembali kepada Allah.

Wallahu a‘lam bis-shawab. Waassalamu ‘alaikum Wr. Wb.





Menghilangkan Pengaruh Jin

Pertanyaan:

Assalamu‘alaikum Wr. Wb. Ada teman yang mengaku pernah dikasih ilmu kedikjayaan oleh seorang guru di sebuah pesantren (kejadiannya 10 tahun kebelakang). Sekarang ia sering kesurupan karena mendapat masalah.

Pada suatu saat dengan izin dan kekuatan dari Alloh lewat tangan saya Jin itu keluar dan menyatakan taubatnya (ba‘da duhur ia keluar dari jasad teman saya). Namun ketika Ashar teman saya kemasukan lagi oleh jin yang sama. Sampai saat ini kejadian seperti itu terus berulang. Menurut Ustadz apa yang harus dilakukan oleh saya. Wassalam

Jawaban:

Assalamu‘alaikum Wr. Wb. Itulah salah satu bentuk tipu daya jin. Dia dengan mudah bisa saja berpura-pura tobat dan keluar dari tubuh seseorang dan bilang bahwa tidak akan mengganggu lagi, padahal dia hanya berpura-pura saja. Ini tidak lain adalah merupakan kebiasaan yang sering dilakukannya untuk menipu orang-orang yang ada disekitarnya, termasuk orang yang meruqyahnya. Karena itu biasanya, mereka yang sudah berpengalaman meruqyah umumnya tahu tipu dan trik licik seperti itu. Karena itu ruqyahnya dilakukan dengan tuntas sampai benar-benar jin itu tobat dan sadar.

Setelah itu, pasiennya harus terus dilindungi dari kemungkinan masuknnya kembali jin itu dengan ruqiyah juga. Karena percuma saja bila setelah itu tidak dilindungi, maka dengan mudah jin itu akan kembali lagi atau bisa juga jin lainnya.

Wallahu a‘lam bis-shawab. Wassalamualaikum Wr. Wb.





Hukum Pengobatan Dengan Meditasi

Pertanyaan:

Assalamualaikum Wr. Wb. Melanjutkan pertanyaan saya terdahulu, dan juga selaras dengan pertanyaan effiyanti-sweden, pengobatan mirih yang dilakukan oleh kalimasada yaitu "reiki" hanya ditambah dengan melakukan meditasi (pembersihan diri "katanya" )dimana malam jumat dilakukan sendiri sendiri dengan niat bermakmum kepada guru "HS” Apakah islam mengenal meditasi? Apakah ini sihir? Dan bagaimana menyadarkan mereka yang terpesona?

Jawaban:

Assalamualaikum Wr. Wb. Istilah meditasi sesungguhnya tidak dikenal dalam syariah Islam. Yang lebih dikenal adalah doa dan permintaan untuk disembuhkan dari penyakit. Doa-doa serta beragam lafaz zikir memang banyak diajarkan oleh Rasulullah SAW, baik berkaitan dengan penyakit yang bersifat medis atau pun non-medis (pengaruh dari makhluq ghaib atau sihir). Termasuk di dalamnya ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran dan lafaz-lafaz yang memang diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya yang mulia. Selebihnya, merupakan ikhtiar dan usaha berdasarkan segala sesuatu yang bersifat empiris dan pengalaman berdasarkan khazanah kekayaan tiap-tiap peradaban manusia. Baik itu merupakan ilmu kedokteran modern yang saat ini sedang diimami oleh peradaban barat, maupun ilmu-ilmu kedokteran warisan dari beragam belahan bumi lainnya yang kadang bisa mengisi kekurangan ilmu kedokteran barat.

Sementara itu Islam pun mengharamkan praktek pengobatan yang menggunakan kekuatan ghaib dan sihir, dengan beragam penamaan dan istilah yang digunakan. Biasanya, bentuk-bentuk pengobaan yang menggunakan kekuatan ghaib tertentu membutuhkan pola-pola ritual tertentu yang tidak bisa diterjemahkan dalam bentuk nalar dan logika akal sehat. Termasuk puasa dengan hari tertentu dan berpantang makan makanan tertentu, melakukan upacara ritual pada malam-malam tertentu, atau serangkaian pola lainnya yang tidak ada alasan logisnya. Semua tindakan itu sangat rentan terhadap resiko penggunaan kekuatan sihir dan makhluk ghaib yang dilarang dalam syariat Islam. Kecuali bila bentuk-bentuk itu memang ada dasar dalil yang menerangkan kebolehannya dari Rasulullah SAW. Seperti penggunaan ‘sidr’ atau daun bidara untuk ruqiyah yang menurut sebagian ulama memang ada dasar nashnya.

Secara prinsip, bila memang ada dasarnya, maka hukumnya boleh sebagai ittiba‘ pada sunnah Rasulullah SAW. Namun bila tidak ada dasar nashnya, juga tidak ada penjelasan nalar dan logikanya, juga tidak dikenal sebagai bentuk ilmu pengobatan kedokteran medis yang dikenal, maka hukumnya menjadi syubhat. Sedangkan bila ada indikasi kuat penggunaan sihir, jin, makhluq ghaib dan sejenisnya, maka hukumnya jelas haram.

Wallahu a‘lam bishshowab. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar