Powered By Blogger

Selasa, 28 Februari 2012

KAJIAN HADIST

ANTARA AMAL SHALIH DAN AMAL TOLEH

Artinya : Imam Ahmad mengatakan: Abdurrazzaq menceritakan kepada kami katanya Ma’mar menceritakan kepada kami, dari Zuhri, dari Ibnu Musayib, dari Abu Hurairah ra mengatakan yang aku (Ibnul Musayib) tidak megetahuinya melainkan dia memarfu’kan Hadits itu dari Nabi saw, kataya: Beliau bersabda: “Segerakanlah janazahmu itu, sebab kalau dia itu orang baik (shalih), maka berarti kamu mempercepat dia merasakan kebaikan, dan kalau dia itu orang tidak baik (toleh) maka berarti kamu akan melepas dia dan kamu turunkan dari pundak kamu.” (H.R. Ahmad).

Penjelasan

Salah satu ajaran Islam yang penting ialah mengubur janazah, tanpa pandang bulu, tanpa melihat etnis dan agama. Yang membedakan hanya segi teknis, atau kaifiyah. Itupun terbatas pada Muslim dan non Muslim yang diketahui secara jelas identitasnya. Untuk yang beragama Islam dilakukan dengan upacara: memandikan, mengafani, menyalati dan mendoakannya di atas kuburnya. Sedang untuk non Muslim, cukup dikebumikan, tanpa upacara apa pun. Namun, dia harus tetap diberlakukan dengan hormat, karena dia adalah manusia, yang secara biologis dihormat juga oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:

Artinya: Dan sungguh, benar-benar Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka (dalam perjalanannya) di darat dan di laut, dan Kamiberi rezeki dari yang baik-baik, serta Kami pun benar-benar melebihkannya dari kebanyakan makhluk yang Kami cipta . (Q.s. Al-Israa’ 70)

Kalau oleh Nabi saw kita dilarang mematahkan tulang mayit, dan dinilainya sama dengan mematahkannya ketika dia masih hidup, maka larangan itu berlaku juga terhadap mayit non Muslim. Sabda beliau:

Artinya: Aisyah meriwayatkan, bahwa dia benar-benar mendengar Nabi saw bersabda: (Hukum) mematahkan tulang mayit itu sama dengan (hukum) mematahkannya ketika dia masih hidup. (H.R. Ahmad).

Kata “mayit” dalam Hadits ini umum, Muslim maupun non Muslim. Tetapi, di balik penghargaan yang demikian itu ada pula suatu penilaian atas perilaku dengan suatu konsekuensi jaza’ atau pembalasan atas perilakunya itu. Dan justru di sinilah yang teramat penting, sebab tanpa penilaian, perilaku manusia akan cenderung berbuat semau gue, yang dampaknya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat riskan. Kekacauan, keonaran dan kerusakan, sadisme dan anarkisme adalah hal-hal yang terjadi karena perilaku semau gue, yang tidak mau tunduk pada hukum dan peraturan. Padahal diamanatkannya bumi ini kepada manusia oleh Allah SwT adalah untuk diciptakannya suasana damai dan tenteram. Untuk itu Allah emberinya bekal manusia dengan agama yang diberi nama Islam, yang berasal dari kata salima yang arti harfiyahnya: selamat, menyelamatkan, damai dan tenang. Rasulullah saw setiap kali menawarkan Islam kepada seseorang atau suatu kaum dalam dakwahnya, selalu mengatakan, misalnya surat beliau yang ditujukan kepada Heruclius raja Roma, dikatakan:

Artinya: Semoga sejahteralah orangorang yang mengikuti petunjuk (Islam) Sungguh, aku benar-benar mengajakmu pada Islam, karena itu masuk Islamlah engkau, maka engkau akan selamat, dan engkau akan diberi pahala dua kali. (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Bahkan suatu saat Rasulullah saw pernah ditanya tentang batasan Islam. Namun, beliau tidak menjelaskannya dengan batasannya itu, tetapi beliau menjelaskan dengan perilaku seorang Muslim. Sabdanya:

Artinya: Abdullah bin Amer ra meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: Orang Islam itu ialah orang yang orang Islam lainnya merasa selamat dari lidahdan tangannya. Sedangkan orang yang hijrah itu ialah orang meninggalkan larangan- larangan Allah. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Maksudnya, seorang Muslim atau orang yang telah menyatakan dirinya Islam, lidah dan tangannya tidak pernah mengganggu orang lain, sehingga siapa pun yang berhubungan dan berhadapan dengannya merasa tenang, senang dan damai. Dan kalau Hadits ini dijadikan batasan atau definisi tentang Islam, maka akan berarti “Islam itu adalah agama yang mengajarkan ummatnya tidak mengganggu keselamatan orang lain”. Dan kalau dalam Hadits di atas disebutnya “orang Islam lainnya merasa selamat....”. Karena ketika itu yang bertanya seorang Muslim yang hidupdalam masyarakat Muslim, dan yang ditanyapun nabinya kaum Muslimin. Maka, wajar kalau jawabannya seputar orang Islam. Namun, ini tidak berarti kedamaiannya itu hanya di lingkungan sesama Muslim. Kedamaian itu berlaku pula terhadap non Muslim. Dan ini nampak sekali dalam masyarakat Islam di zaman Rasulullah saw di Madinah, bahwa non Muslim dapat hidup dengan tenang. Mereka itu kemudian dikenal dengan sebutan ahlu dzimmah (orangorang yang mendapatkan perlindungan) dan mu’ahad (orang-orang kafir yang berjanji/ mendapat janji untuk dilindungi). Dalam memberikan jaminan perlindungan ini tidak main-main, tidak sekedar lip servis, tetapi suatu jaminan yang didukung dengan perlawanan hukum. Ini, ditegaskan beliau dalam sebuah Haditsnya terhadap orang yang engganggu mu’ahad :

Artinya: Dari sejumlah putera-putera sahabat Rasulullah saw dari ayah-ayah mereka yang ada hubungan asab, meriwayatkan dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Ketahuilah, barangsiapa yang berbuat zalim terhadap afir mu’ahad, atau mengurangi hak-haknya, atau memberinya beban di luar kemampuannya, atau mengambil hak miliknya anpa seizinnya, maka akulah nanti di hari kiamat yang akan menjadi pembelanya.” (H.R.Abu Daud,)

Dalam satu riwayat ikatakan: Artinya: Abdullah bin Amr ra meriwayatkan, katanya: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa membunuh kafir mu’ahad anpa alasan yang benar, maka dia tidak akan mencium bau surga,sedangkan bau surga itu tercium dari jarak perjalanan sejauh empatpuluh tahun”. (H.R. Bukhari).

Standarisasi Nilai

Apa yang dibicarakan di atas adalah penghargaan secara umum terhadap manusia, dilihat dari segi syakhshiyah (sosok) nya. Di balik itu Islam mengadakan suatu penilaian khusus dari segi amaliyah (perilaku) nya, dan inilah yang akan menentukan senang dan tidak senangnya manusia dalam kehidupan akhirat, kehidupan abadi sesudah manusia mati. Penilaian itu selanjutnya dikenal dengan baik dan buruk, atau dengan bahasa khasnya halih dan thaleh (baca shalih dan toleh). Untuk itu, Islam lalu membuat standard nilai. Ada tiga standard baku yang angat prinsipial, yaitu: iman, takwa dan ihsan.

(1). Iman Iman,
dikenal dengan sebutan aqdah, yaitu kepercayaan yang meliputi nam perkara: 1. Percaya kepada Allah sebagai satu- satunya pencipta alam semesta, sekaligus satu-satunya yang harus iabdi/disembah, 2. Percaya akan keberadaan malaikat, makhluk halus yang dibebani kepengurusan makhluk, 3. Percaya kepada eberapa Nabi/Rasul, sebagai manusia-manusia pilihan yang diberi wahyu dan ditugasi membimbing ummat manusia kejalan yang haq, 4. Percaya adanya beberapa kitab yang pernah diturunkan Allah kepada para Nabi/Rasul-Nya sebagai pedoman hidup, 5. Percaya akan adanya hari kebangkitan sesudah mati yang disebut kiamat disertai pembalasan atas seluruh aktivitas manusia selama hidup, yang didalamnya ada surga tempat paling nikmat dan neraka tempat paling nista, dan 6. Percaya entang adanya takdir dan qadha’. Dan berbarengan dengan telah diutusnya Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya terakhir, aka haruslah diyakini eksistensinya dengan seluruh ajarannya. Kalau tidak, disebut kafir. Sabda beliau:

Artinya: Tidak seorang pun yang sudah mendengar namaku dari kalangan umat inibaik dia itu Yahudi ataupun Nasrani kemudian dia mati, sedang dia tidak beriman/ tidak mempercayai kerasulanku, melainkan dia itu pasti akan menjadi penghuni- penghuni neraka. (H.R. Muslim).

(2). Takwa
Takwa, disebut juga amal shalih, yaitu aktivitas hidup yang berorientasi kepada Allah (hablum minallah) dan kepada sesama manusia (hablum minannas), denganmengacu pada tuntunan Allah dan Rasul (Al-Qur’an dan Sunnah), sehingga yang berbentuk amar (perintah) dipatuhi, dan yang berbentuk nahyu (larangan) dijauhi. Takwa ini ada yang bersifat ritual, yaitu halhal yang secara khusus berhubungan dengan Allah; dan ada pula yang bersifat sosial, yaitu hal-hal yang sangat terkait dengan manusia ataupun alam sekitarnya. Takwa ini terfokus pada empat hal yang amat prinsipial, yaitu: shalat, zakat, uasa dan haji. Tiga, sangat erat kaitannya dengan kablum minallah, yaitu shalat, puasa dan haji, sedang yang satu, sangat erat kaitannya dengan hablum minannas, yaitu zakat. Zakat ini kemudian dikembangkan menjadi shadaqah dan infaq serta afaqah




Karena semuanya ini berinteraksi dengan sesama manusia, yang notabene manusia tidak luput dari kekeliruan dan kesalahan (mahallul khathai wan nis-yan), maka dibuatlah hukumhukum yang berkenaan dengan interaksi ini, seperti : Hukum Perkawinan, Hukum Dagang, Hukum Tata Negara, Hukum Internasional dsb. lengkap dengan sanksinya.

(3). Ihsan
Ihsan berasal dari kata hasuna yang artinya baik. Kemudian mendapat awalan ah sehingga menjadi ahsana - ihsanan, berarti berbuat baik. Berbuat baik yang dimaksud adalaah melaksanakan semua bentuk kebajikan secara optimal, tidak sekedar asal-asalan. Dalam bahasa Arab disebut “ahsan” (yang paling bagus). Agaknya ada kemiripan dengan ihsan dari kata ahsana. Yang membedakan, yang pertama disebut fi’il (kata kerja), dan yang kedua disebut isim (kata sifat). Ihsan dengan pengertiannya seperti itu berdasar sebuah Hadits Nabi saw:

Artinya: Saddad bin Aus mengatakan: Ada dua hal yang benar-benar kuhafal dari sabda Rasulullah saw, yaitu: Sesungguhnya Allah mewajibkan kamu berbuat baik dalam semua hal, karena itu jika kamu membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik, dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik pula, yaitu tajamkanlah pisaumu, maka dengan begitu akan meringankan hewan yang kamu sembelih itu” . (HR Bukhari)

Dan yang paling optimal adalah keikhlasannya kepada Allah. ehingga seluruh perilakunya mengacu pada aturan Allah. Nabi saw pernah ditanya Jibril perihal pengertian ihsan? Maka jawab beliau:

Artinya: Hendaklah engkau menyembah Allah yang seolah-olah engkau melihat- Nya, sekalipun engkau tidak apat melihat-Nya, namun Dia tetap melihatmu. (HR Bukahri)

Dari ihsan ini akan lahirlah akhlak mulia, karena dia selalu merasa diawasi oleh Allah, sehingga dia khawatir kalau-kalau perilakunya itu salah, dan akan mendapatkan kutukan- Nya.

Itulah tiga standar dalam menilai suatu perbuatan itu shalih atau thaleh, baik atau buruk. Dari tiga standar perilaku di atas, dapat kita simpulkan, bahwa amal shalih atau perilaku shalih adalah suatu amal yang dilandasi iman, mengacu pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya serta diniati keikhlasan demi mencari ridla Allah. Ketiga-tiganya itu harus bersama-sama, tidak epenggalsepenggal atau sepotong-sepotong. Salah satu saja tidak ada, maka amalan atau prilaku tersebut tidak dapat dinilai shalih. Tetapi disebut thaleh. Kan’an, putera Nabi Nuh as oleh Allah dikatakan: “innahu ‘amalun ghairu shaleh” (sesungguhnya dia tergolong beramal yang tidak shalih). Q.s. Yunus 70, juga Abu Thalib, pamanda Nabi Muhammad saw yang banyak berjasa bagi Nabi saw juga dinilai tidak shalih, adalah karena mereka tidak beriman kepada Nabi, Kan’an tidak beriman kepada bapaknya, sedang Abu Thalib tidak beriman kepada keponakannya.

Dan ketiga unsur itu pula yang kita jadikan ukuran menilai keshalihan dan ketidak shalihan seeorang, bukan karena keilmuan maupun kemasyhurannya.

Kalau Hadits yang kita kutip di atas menyuruh kita supaya membawa janazah itu dengan cepat, agar yang kebetulan shalih segera dapat merasakan kenikmatan, sedang yang thaleh agar kita tidak lamalama terbeban, maka besar kemungkinan kethalehannya itu adalah karena hilangnyasalah satu dari tiga unsur: iman - takwa – ihsan. Sedang yang shalih adalah karena terpenuhinya tiga unsur tesebut dengan optimal. Semoga Allah menjadikan kita mukmin yang shalihin, muttaqin dan muhsinin. Amin.





IHYAUSSUNNAH DEMI EKSISTENSI ISLAM


Berbicara mengenai ihyaussunnah (menghidup-hidupkan Sunnah) demi eksistensi Islam, di sini kita bawakan Hadits
firasat Nabi saw tentang Sunnah (tradisi) Yahudi dan Nashrani, yang harus diwaspadai oleh umat Islam, yaitu:

“Abu Said al-Khudri meriwayatkan, bahwasanya Nabi saw bersabda: Sungguh benar-benar kalian nanti akan mengikuti cara perilaku orangorang sebelum kamu. Sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga seandainya mereka itu melintasi liang biawak niscaya kalian akan melintasinya juga. Kami (para sahabat) bertanya: Apakah mereka yang dimaksud itu Yahudi dan Nashara, ya Rasulallah? Jawab beliau: Lalu siapa lagi?!” (H.R. Bukhari 11: 272).

Sementara, dalam riwayat Ahmad, berbunyi:
“Abu Hurairah meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Sungguh benar-benar kalian nanti akan mengikuti cara perilaku orangorang sebelum kamu. Sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sebahu demi sebahu, sehingga sungguh seandainya salah seorang di antara mereka itu masuk ke liang biawak niscaya kalian pun akan masuk juga. Mereka (para sahabat) bertanya: Ya Rasulallah, apakah mereka yang dimaksud itu Yahudi dan Nashrani? Jawab beliau: Siapa lagi kalau bukan dia.” (H.R. Ahmad, 21 : 451).

Penjelasan

Hadits ini termasuk firasat Nabi saw untuk masa yang akan datang. Firasat beliau itu pasti benar, karena termasuk bagian dari wahyu Allah. Tujuan firasat adalah sebuah peringatan. Seperti yang diisyaratkan dalam Al- Qur’an sebagai tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda (Q.s. Al-Hijr [15]: 75). Yang dimaksud memperhatikan tanda-tanda, yaitu mengenal firasat, sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah dalam Haditsnya:
Abu Said al-Khudri meriwayatkan,katanya: Rasulullah saw bersabda: Takutlah kamu terhadap firasatnya orang Mukmin karena dia itu melihat dengan nur Allah. Kemudian beliau membaca ayat……” (H.R. Tirmidzi).

Dalam firasatnya ini, Rasulullah memperkirakan, bahwa kehancuran Islam ini akan didahului oleh perilaku umatnya yang akan mengikuti tradisi Yahudi dan Nashrani. Dalam Haditsnya itu, beliau mempergunakan kata “Sunan” (jamak/plural) dari Sunnah yang asal artinya cara, yang kemudian menjadi istilah, yaitu suatu cara perilaku.Sunnah Rasul, adalah perilaku Rasulullah saw. Kata “sunnah” bisa juga diartikan dengan tindakan, sebagaimana tersebut dalam sebuah Hadits:

“Umar bin Khathab hendak mengenakan upeti bagi Majusi, namun dia tidak tahu tindakan apa yang harus dia lakukan. Maka Abdurrahman bin Auf menjawab: Aku benarbenar mendengar Rasulullah saw bersabda: Perlakukanlah mereka itu seperti apa yang diberlakukan terhadap ahli kitab.” (H.R. Malik).

Di situ, Rasulullah saw mempergunakan “sunnah ahli kitab”, artinya perlakuan ahli kitab. Ada tiga perilaku ahli kitab, baik Yahudi ataupun Nashrani, yang perlu diwaspadai, yang oleh Rasulullah saw umat Islam benar- benar diperingatkan agar menjauhinya sejauh-jauhnya, kalau tidak ingin Islam hancur dan umat Islam lumpuh, yaitu: mengkultuskan pemimpin/ ulama, membuat bid’ah, dan ajakan kompromi.

Mengkultuskan Pemimpin/Ulama Diriwayatkan, bahwa Ummu Salamah istri Nabi saw pernah pergi ke Habasyah, di sana dia melihat ada gereja yang dibangun dengan megah, namanya gereja Mariya di atas kubur seorang tokoh agama. Ummu Salamah bermaksud kiranya nanti kalau Rasulullah saw wafat juga dikubur seperti itu. Sebagai seorang isteri, sudah tentu akan bangga, suaminya diagung-agungkan orang banyak. Mendengar cerita itu, Rasulullah saw, yang saat itu sedang sakit, terbangun seraya bersabda:

“Abu Hurairah meriwayatkan, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Semoga Allah memerangi(menghancurkan) Yahudi yang telah menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah),” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Mereka yang berbuat demikian, oleh Rasulullahn saw, dinilai sebagai manusia yang paling buruk:
“Sabda Rasulullah saw: Mereka itu adalah suatu kaum yang apabila ada seorang shalih di kalangan mereka yang meninggal dunia, lalu di atas kuburnya itu dibangun sebuah masjid (tempat ibadah) yang dihiasidengan berbagai lukisan/patung. Mereka itu adalah sejelek-jelek manusia di sisi Allah.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Al-Maududi dalam Mujaz Tarikh Tajdiduddin wa Ihyaihi, setelah membawakan Hadits tersebut, mengatakan: “Saya melihat dengan mata kepala sendiri di kalangan kaum Muslimin yang lemah iman, menjadikan kubur orang-orang shalih – yang biasa dikenal dengan sebutan wali/auliya’ – sebagai sesembahan selain Allah. Kubur-kubur mereka dijadikan masjid, Dan di situ mereka berdoa, mengaji, dan berzikir, tak ubahnya engan apa yang dilakukan oleh Yahudi dan Nashara.

Lain al-Maududi, lain pula Muhammad al-Ghazali. Dia melihat di Mesir dan Bagdad, lebih gawat lagi, bahwa kubur Imam Syafi’i diagung-agungkan, bahkan dijadikan tawassul kepada Allah dengan cara megirimkan surat kepada Imam Syafi’i yang berada dalam kubur itu. Di sini, Imam Syafi’i dijadikan semacam tukang pos. Sedang di Baghdad, terhadap kubur Husain bin Ali, di situ mereka merengekrengek sambil menangis, bahkan mayat yang akan dikubur dithawafkan dulu dengan mengelilingi kubur tersebut. (Lebih lanjut dapat dibaca dalam Bukan dari Ajaran Islam, oleh Muhammad al-Ghazali, hal. 185).

Tidak terlalu jauh dari itu semua, terjadi pula di Indonesia, betapa banyak kubur para wali yang dibangun, diberi kelambu, di situ didirikan masjid,dan penziarahnya tidak pernah sepi, yang datang dari seluruh penjuru Tanah Air dengan berbagai tujuan. Dan yang pasti adalah mencari barakah “ngalap barokah” agar doanya mudah dikabulkan Allah. Di sini, kubur para wali dijadikan semacam “operator”.Cara-cara itulah yang oleh Ahmad Hasan Baquri, Menteri Wakaf Mesir, dikatakan sebagai “penyembahan atas kubur” yang merusak Islam,kendati dengan tujuan taqarrub ila ‘llah (mendekatkan diri kepada Allah). Tak ubahnya dengan kaum musyrikin jahiliyah yang menjadikanberhala-berhala, yang juga semula adalah orang-orang shalih. Semisal Lata, Uzza, Manata dan sebagainya. Karenanya, oleh Allah, ditegur. Namun,mereka mengelak, dengan mengatakan “Kami tidak menyembah mereka, hanyalah kiranya mereka itu dapat mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Q.s. Az- Zumar [39]: 3). Alasan yang selalu dibawa adalah firman Allah di surat Al- Maidah: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (perantara) kepada- Nya, dan jihadlah kamu di jalan- Nya agar supaya kamu beruntung.” (Q.s. Al-Maidah [5]: 35).

Padahal, semua ulama salaf, terutama para sahabat, menafsirkan wasilah itu ialah man dan amal shalih. Para sahabat yang lebih tahu tentang amaliah Rasulullah saw, tidak seorang pun memuja-muja kubur Rasulullah saw dan menjadikannya sebagai tempat bertawassul. Bahkan, kalau diamati mengapa jenazah Rasulullah saw oleh Aisyah ra dikubur dalam kamarnya? Adalah karena khawatir kubur beliau akan dikultuskan, karena dalam akhir hayat, beliau berdoa:
“Ya Allah, jangan Engkau biarkan kuburku nanti dijadikan tempat berhari raya dan dijadikan tempat persembahan.”

Pengkultusan seperti itu dikatakan merusak Islam, karena kultus individu seperti itu akan menjurus pada kesyirikan, sedang syirik adalah merusak Islam. Agama Yahudi dan Nashrani yang ada sekarang dikatakan “tidak diakui Allah” (Q.s. Ali Imran [3]: 85). Karena agama ini adalah syirik, karena mengkultusksn ‘Uzair dan Isa al-Masih, yang kemudian dikatakannya sebagai Anak Allah. Dan usuh Islam, semisal Napoleon Bonaparte akan menghancurkan Islam dengan cara seperti itu. Ketika dia dapat menginjakkan kakinya di Mesir, dan melihat fenomena seperti itu, lalu dia merencanakan akan mendirikan bangunan-bangunan berkubah besar di pintu-pintu gerbang negara Islam, yang dikatakan bahwa di bawahnya terkubur seorang wali besar. Maka mereka akan berbondong-bondong ke situ untuk ngalap barokah, yang pada gilirannya, mereka akan tak acuh terhadap urusan keduniaan mereka.




Membuat bid’ah

Kalau dalam Hadits di atas, dikatakan itu semua adalah bagian dari sunnah ahli kitab, utamanya Yahudi, maka dalam fiqih Islam disebut bid’ah, yaitu mengada-ada dalam masalah ibadah, yang tidak ada contoh dari Nabi. Dalam agama Nashrani bid’ah ini dimulai dari sistem kepasturan, seperti yang dikatakan dalam Al-Qur’an:
Artinya: Dan kepasturan yang mereka ada-adakan, padahal Kami tidak mewajibkannya atas mereka. Yang Kami wajibkan hanyalah mencari keridlaan Allah, tetapi tidak mereka pelihara dengan semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahala mereka, sedangkan kebanyakan mereka adalah fasiq. (Q.s. Al-Hadid 27).

Berawal dari bid’ah kepasturan inilah, lalu mereka membuat tata cara ibadah dengan nyanyi-nyanyi dsb.mirip apa yang dikatakan dalam Al-Qur’an s. Al-Anfal 35: Artinya: Dan tidaklah persembahyangan mereka di rumah Allah itu melainkan bersiul dan bertepuk tangan. Maka, rasakanlah azab lantaran kamu kufur.

Bid’ah kepasturan ini tidak kita jumpai dalam masyarakat Islam, tetapi yang banyak terjadi adalah bid’ah dalam ‘ibadah, semisal puji-pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad saw dengan lirik yang berlebihan dan lagu-lagu, yang dilakukan di masjidmasjid, yang sama sekali tidak ada contoh dari Nabi Muhammad saw. Dan yang seperti itu sangat banyak, sehingga di kalangan ulama ada yang mencatatnya secara khusus untuk dibukukan dalam buku khusus. Semisal Syekh Muhammad Abdussalam al-Qusyairi dalam bukunya Assunan Wal Mautada’at, asy-Syekh Ali Mahfuzh dalam bukunya al-Ibda’ fi Madharril Ibtida’. Di samping ada yang disisipkan dalam kitab bahasan khusus dengan berbagai bid’ah yang ada, semisal, Syekh Muhammad Nashiruddin Albani dalam bukunya Kitabul Janaiz wabida’uha, Hajjatun Nabiy wa bida’uha dll. Pembahasan bid’ah ini begitu penting, karena bid’ah ini mengancam eksistensi Islam.

Karenanya, Rasulullah saw wanti- wanti agar kita menjauhi bid’ah dengan segala macamnya, sebagaimana ditegaskan dalam sabdanya:
Artinya: Irbadh bin Sariyah meriwayatkan, katanya: Kami pernah shalat Subuh bersama Rasulullah saw. Usai shalat beliau menghadap kami sambil menasehati kami dengan suatu nasehat yang benar-benar mengena, hingga semua mata berbinar-binar dan hati gemetar. Sampai-sampai kami mengatakan: Ya Rasulallah, nasehat ini sepertinya nasehatnya orang yang mau berpisah, karena itu wasiatilah kami. Lalu beliau bersabda: “Baiklah kuwasiati kalian untuk selalu bertakwa kepada Allah, dan selalu mendengar dan menaati (pemimpin) sekalipun pemimpin itu seorang hambahabasyi (kecil dan hitam). Karena siapa yang hidup di antara kalian sesudahku nanti pasti akan menyaksikan berbagai perselisihan. Untuk itu pegangilah Sunnahku dan Sunnah khulafaurrasyidin yang terpimpin, gigitlah dia dengan gigi geraham, serta waspadalah kalian terhadap perkara-perkara baru, karena sesungguhnya kebanyakan perkara baru itu diada-adakan (bid’ah) sedang semua bid’ah itu sesat”. (HR Ahmad dan Empat Imam selain Nasai).

Bid’ah salah satu bentuk berlebihan, yang bertentangan dengan prisnip Islam. Bahkan oleh Ibnu Mas’ud ra dikategorikan pemaksaan. Untuk itu maka dibawakannya oleh beliau sebuah riwayat dari Nabi saw:
Artinya: Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda: Ingatlah, pasti hancur orang-orang yang berlebih-lebihan. 3 x (HR Ahmad dan Abu Daud).

Ajakan Kompromi Kalau dulu Nabi Muhammad saw pernah diajak kompromi oleh masyarakat Quraisy Jahiliyah untuk beribadah secara bergantian, sepekan mereka akan mengikuti cara-cara ibadah Nabi saw, dan sepekan berikutnya Nabi harus mengikuti cara-cara peribadatan mereka, lalu turunlah surat al-Kafirun sebagai jawaban Nabi saw. Maka, dalam era modern sekarang ini, secara tidak langsung, ahli kitab itu menawarkan kompromi semacam itu kepada kaum Muslimin, seperti Natalan bersama, valentin day dsb dan merekapun siap melakukan tradisi Islam semisal hari raya dengan mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa, selamat berhari raya Idul Fitri, dll. Bahkan, mereka juga siap menyelenggaran khitanan massal di gereja, seperti yang terjadi di Malang barubaru ini, menyediakan buka puasa di kuil dll. Dan yang paling gres “doa bersama”. Bahkan diselenggarakan di gereja, ketika memperingati kematian seorang tokoh agama.

Dalam hal ini, tidak sedikit umat Islam yang terjebak. Apa yang namanya ‘natalan bersama’ hampir sudah membudaya, termasuk di kalangan cendekiawan. Bahkan di antara ulamaada yang menfatwakan mubah saja mengucapkan ‘Selamat Hari Natal’, sama dengan mengucapkan selamat hari kelahiran Isa al-Masih.

Padahal yang tersirat dalam natalan adalah ‘selamat hari lahir tuhan Yesus’, yang dengan fatwa mubah itu sama dengan membenarkan ketuhanan Yesus. Fatwa MUI tentang haram natalan bersama hampir tidak berpengaruh. Valentin day, juga marak oleh remaja Muslim, padahal di situ ada missi terselubung ikhtilath (pergaulan bebas ). Sedang doa bersama, termasuk yang di gereja, mendapat sambutan juga darikalangan jamaah Islam. Kalau hal ini tidak diantisipasi sejak dini, maka nanti pada saatnya Islam akanmenjadi kabur. Dan itulah yang digambarkan dalam firasat Nabi sawdi atas, Wal’iyadhu billah.

semua yang disebutkan di atas H A D I T S adalah sebuah tantangan, yang harus kita hadapi demi existensi islam secara utuh. Dan itulah yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an: “Bertaqwallah dengan sebenar-benar takwa”, yaitu mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara benar dan utuh sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah. Sebab betapa pun amalan itu diniati untuk penyembahan kepada Allah, tetapi kalau penuh dengan bid’ah, maka amalan itu bukan taqwallah, tetapi suatu kesesatan seperti disebutkan di atas. Dan amalan seperti itu tidak akan diterima oleh Allah kelak di hari kiyamat (Q.s. Ali Imran: 102). Sebagaimanaditegaskan Rasulullah saw:“Barangsiapa mengamalkan sesuatu amalan yang jelas-jelas tidak ada perintah/ contoh dari kami, maka amalan itu tertolak. (HR Muslim).

Sementara “mati dalam Islam” yaitu memegangi Islam itu dengan teguh dan menjadikannya sebagai pedoman hidupnya sampai akhir hayat. Sedang apa yang dinamakan Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Karena di sanalah tercantum seluruh aturan hidup, baik dalam hubungannya dengan Allah (hablum minallah), maupun dalam hubungannya sesama manusia (hablum minannas). Wallahu a’lam.







DICARI ULAMA WARATSATUL ANBIYA!

Pada awalnya penegasan Allah dalam surah Fathir [35] ayat 28 bahwa orang yang paling takut kepada Allah itu adalah ulama. Penghargaan yang demikian tinggi terhadap ulama ditegaskan juga oleh berbagai Hadits Nabi. Salah satu Hadits Nabi menyebutkan bahwa para ulama itu adalah pribadi-pribadi yang layak untuk mewarisi tugas-tugas para Nabi. Hadits dimaksud adalah

: Artinya; ”Dari Abu Darda radliyallahu ‘anhu, Dia berkata: ”Sesungguhnya Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, siapa yang menempuh jalan yang di sana ia mencari ilmu Allah mudahkan jalan ke surga-Nya. Sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya sebagai tanda dukungannya kepada pencari ilmu. Sesungguhnya mahkluk Allah yang ada di langit dan di bumi, hingga ikan paus dilaut pun memanjatkan ampunan bagi pencari ilmu. Sesungguhnya keutamaan seorang berpengetahuan atas seorang tukang ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh benda bercahaya di langit. Sesungguhnya ulama itu para pewaris para nabi dan para nabi itu tidak mewarisi (uang) dinar dirham mereka hanya mewariskan ilmu siapa yang mengambil ilmu ulama dia telah mendapat bagian yang banyak (HR Ibnu Majah).

Dengan terang Hadits di atas menyebutkantiga hal sekaligus. Pertama, bahwa Allah dan malaikat serta makhluk Allah lainnya selalu memberikan dukungan kepada seorang alim. Kedua, seorang alim dan sekian ulama dihargai tinggi oleh Allah sehingga kebaikan yang ditunaikannya lebih berharga dari kebaikan tukang ibadah. Ketiga, tugas yang dilakukan ulama disamakan dengan tugas para nabi, yaitu menebarkan pencerahan “ilmu” kepada orang banyak.

Mendefinisikan ulama

Kata ulama berasal dari bentukan isim fa’il kata ‘alim yang bermula dari pola kata ‘alima ya’lamu ‘ilman yang bermakna mengetahui.Kata ‘alim secara leksikal pada mulanya berarti orang yang tahu. Seorang dinyatakan mengetahui sesuatu manakala ia bertambah pengetahuannya. Untuk menambah pengetahuan seseorang mesti mencarinya (thalab al’ilm). Makna alim menurut Ibnu Abbas sebagaimana dikutip ‘Ikrimah, adalah seorang yang tidak pernah menyekutukan Allah. Dia halalkan dan haramkan segala sesuatu berdasarkan ilmu- Nya, dia senantiasa memelihara agama- Nya dan senantiasa berkeyakinan bahwa dia akan menemui-Nya dan seluruh amal perbuatannya akan diperiksa-Nya. Sementara Said bin Jubair mendefinisikan seseorang memiliki al-khasyyah kepada Allah manakala dalam dirinya ada defosit diri yang menghalanginya dari mendurhakai Allah. Karena itu pribadi yang berkualitas ulama sebagaimana yang disebutkan ayat dalam surah Fathir adalah seorang yang dengan pengetahuan yang diperolehnya menambah ketakutannya kepada- Nya karena dia meyakini bahwa pengetahuan yang dimilikinya semakin menyadarkannya bahwa Allah lah yang paling berkuasa dari segala sesuatu. Demikian Abul Fida Ismail Ibn Katsir ad-Dimasyqi dalam tafsirnya (III: 545).

Sufyan ats-Tsawri pernah membagi para ulama pada tiga kategori. Pertama‘alim billah alim biamrillaah. Yaitu ulama yang takut kepada Allah sekaligus tahu dengan baik perintah-perintah Allah dan batasan-batasan yang dikerjakan dan ditinggalkannya; Kedua alim billaah laysa bi’alim biamrillaah, yaitu ulama yang takut kepada Allah tetapi tidak mengetahui erintah Allah dan batasan-batasan-Nya dan ketiga alim biamrillah laysa bi’alim billaah, ulama yang tahu perintah Allah tetapi tidak takut kepada Allah.

Ulama Waratsatul Anbiya
Hadits terbahas menegaskan bahwa ulama itu adalah pewaris para nabi. Ini bermakna bahwa apa yang menjadi prasyarat kenabian yang melekat kepada para nabi sedikit banyak juga menjadi parasyarat keulamaan waratsat al-anbiya. Abu Bakar al-Jazairi menegaskan seorang diangkat menjadi nabi karena dalam dirinya ditemukantiga karakteristik sekaligus, yaitu unsur al-mitsaaliyyah, syaraf an-naas dan amil az-zaman (al-Jaziri dalam Ilyas: 2002). arena itu pula seseorang alim dinyatakan sebagai alim yang mewarisi para nabi manakala memenuhi tiga unsur tersebut.

Seorang ulama dinyatakan memenuhi unsur almitsaliyah manakala dia mempunyai aspek kemanusiaan yang utuh dan aripurna yang ditunjukkan dengan fisik yang sehat dan kuat, akal intelektual yangkomprehensif serta dihiasi dengan jiwa yang mulia. Dalam kesehariannya dia menjaga perilakunya sehingga apa yang dilakukannya menjadi panutan dan teladan agi orang di sekelilingnya. Saat seorang alim menjadi teladan itu terkadang dia harus dinilai aneh (gharib) oleh sekelilingnya.

Seorang ulama disebut memenuhi unsur syarafs an-naas manakala perilaku dirinya menyemburatkan seorang yang berasal dari keturunan yang terhormat yang senantiasa menjaga dan menjauhkan diri dari berbagai bentuk perbuatan yang merendahkan dan menistakan nilai-nilai kemanusiaan dirinya. Dalam hal ini biasanya seorang ulama adalah sorang yang dihormati oleh khalayak banyak. Dengan pengertian ini, maka seorang alim atau ulama dapat saja muncul dari kalangan orang yang miskin namun memelihara kemuliaan jiwa sebagaimana terwakili dalam pribadi alim yang bernama Abul Walid al-Baji yang untuk tiba pada derajat kealimannya dia merantau ke negari Damaskus, Mosul dan Mesir dengan penuh keprihatinan. Dalam beberapa fase pengembaraan keilmuannya al-Baji terpaksa sempat harus bekerja sebagai seorang satpam di Baghdad demi mendapatkan upah supaya dapat terus mencari ilmu (Muhammad:2001).

Seorang ulama dikatakan memenuhi unsur amil az-zaman ketika pelayanannya kepada orang banyak benar-benar dirasakan kehadirannya. Keberadaannya di tengah umatnya dilakukan dalam bentuk perbaikan tatanan sosial masyarakat, tatanan akhlak bahkan tatanan ekonomi. Dalam hal ini seorang alim berarti seorang yang bukan orang pada umumnya sebab jika kualitas dirinya sama dengan yang lainnya maka orang banyak pun akan memandangnya sebagai pribadi yang lumrah saja. Tetapi ketidaklumrahan ulama ini tidak berarti dia tidak dekat dengan umatnya pada saat yang sama meskipun dia dekat dengan umatnya tidak bermakna dia menjual nilai eulamaannya demi mengikuti opini kebanyakan sehingga menyesuaikan diri dengan keinginan sesaat umatnya.

Dengan illustrasi demikian, dapatlah dipahami jika dalam blantika sejarah ditemukan fakta bahwa para ulama terkadang lebih diakui otoritasnya dari penguasa. Perhatikan misalnya ulama semacam Abu Hamid al-Isfiriyani yang dengan leluasa dapatberkata epada Khalifah “Saya sangat menyadari bahwa Anda tidak akan dapat mencopot kekuasaan yang Allah anugerahkan kepada aya. Tetapi jika saya kirimkan surat dengan dua tiga kalimat saja kepada rakyat Khurasan saya dapat mencopot Anda.

Mewaspadai pengkhianatan ulama

Sejarah mencatat, sebagaimana halnya para nabi dalam melaksanakan tugas risalah kenabiannya senantiasa menjaga kemandiriannya. Demikian halnya denganpara ulama juga selalu memelihara ndefendensinya. Jika seorang Muhammad saw berjual beli di pasar sebagaimana diabadikan Al-Qur’an dengan kalimat yamsyi il aswaq, untuk memelihara kemandirian itu para ulama pun memiliki mata pencaharian sendiri. Abu Hanifah, pada saat tidak sedang menelisik sumber-sumber ilmu atau sibuk memberikan fatwa, ia membuka baqalah tokonya dan melayani para pembeli kain yang dijualnya. Sedangkan seorang alim bernama Sari as-Saqathi, untuk menopang aktivitas keulamaannya dia menjadi enjual bahan bangunan di pasar. Dalam tradisi Muhammadiyah pun hal yang sama dilakukan para ustadz dan kiainya yang pionernya adalah KH Ahmad Dahlan yang berjualan batik.

Dengan karakteristik sebagaimana telah disebutkan di atas maka tugas ulama H A D I T S sangatlah beratnya. Tidak ringannya tugas ulama karena sebagai manusia biasa dia dituntut untuk menampilkan dirinya sebagai orang yang dijadikan contoh sekaligus diperlukan oleh orang banyak. Di tengah idealita keulamaan yang sejatinya mewarisi nilai-nilai kenabian ditengarai ada oknum ulama yang menjual dirinya untuk berselingkuh dengan kekuasaan dan opini khalayak banyak. Ulama semacam ini dalam bahasa Julien Benda (1950) adalah ulama yang elakukan pengkhianatan terhadap tugas mulia keulamaannya atau dalam bahasa para ahli etika disebut sebagai ulama as-suu, lama yang mengusung kejahatan. Jika surah Fathir ayat 28 yang menjadi landasannya mereka yang berselingkuh dengan erbagai “kepentingan” ini tidak lah pantas disebut ulama. Dalam kategori Sufyan ats-Tsawri ulama ini, adalah ulama yang mengerti segala sesuatu yang terkait dengan aturan tapi tidak takut kepada Allah. Kelompok ulama seperti ini patut diwaspadai karena biasa melakukan “konsesi- konsesi” dengan berbagai kepentingan di tengah masyarakat dan “berkolaborasi” dengan berbagai kekuatan yang dimanfaatkan dan memanfaatkannya. Jika dibiarkan pelan namun pasti dapat menyesatkan orang banyak yang berujung pada runtuhnya sendi-sendi kehidupan dan ambruknya nilai-nilai kemanusiaan. Karena itulah tulisan kali ini mengingatkan para pembelajar semua untuk mencari dan memastikan keberadaan para ulama waratsatul anbiya itu!

Wallahu A’lam bish-Shawab.





Penyebab Terjadinya Bencana



Dari Abu Hurairah ra berkata; bersabda Rasulullah saw "Apabila kekuasaan dianggap keuntungan, amanat dianggap ghanimah (rampasan), membayar zakat dianggap merugikan, beiajar bukan karena agama (untuk meraih tujuan duniawi semata), suami tunduk pada istrinya, durhaka terhadap ibu, menaati kawan yang menyimpang dari kebenaran, membenci ayah, bersuara keras (menjerit jerit) dimasjid, orang fasig menjadi pemimpin suatu bangsa, pemimpin diangkat dari golongan yang rendah akhiaknya, orang dihormati karena takut pada kejahatannya, para biduan dan musik (hiburan berbau maksiat) banyak digemari, minum keras/narkoba semakin meluas, umat akhir zaman ini sewenang-wenang mengutuk generasi pertama kaum Muslimin (termasuk para sahabat Nabi saw, tabi'in dan para imam muktabar). Maka hendaklah mereka waspada karena pada saat itu akan terjadi hawa panas, gempa,longsor dan kemusnahan. Kemudian diikuti oleh tanda-tanda (kiamat) yang lain seperti untaian permata yang berjatuhan karena terputus talinya (semua tanda kiamat terjadi)."(HR. Tirmidzi)

Ketika terjadi bencana alam, paling tidak ada tiga analisa yang sering diajukan untuk mencari penyebab terjadinya bencana tersebut. Pertama, azab dari Allah karena banyak dosa yang dilakukan. Kedua, sebagai ujian dari Tuhan. Ketiga, Sunnatullahdalamartigejalaalamatauhukum alam yang biasaterjadi. Untuk kasus Indonesia ketiga analisa tersebut semuanya mempunyai kemungkinan yang sama besarnya. Jika bencana dikaitkan dengan dosa-dosa bangsa ini bisa saja benar, sebab kemaksiatan sudah menjadi kebanggaan baik di tingkat pemimpin (struktural maupun kultural) maupun sebagian rakyatnya, perintah atau ajaran agama banyak yang tidak diindahkan, orang-orang miskin diterlantarkan. Maka ingatlah firman Allah:

"Jika Kami menghendaki menghancurkan suatu negeri, Kami perintahkanorang-orang yang hidup mewah (berkedudukan untuk taat kepada Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan daiam negeri tersebut, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya". (Al-Isra'[17]: 16)

Apabila dikaitkan dengan ujian, bisa jadi sebagai ujian kepada bangsa ini, khususnya kaum Muslimin agar semakin kuat dan teguh keimanannya dan berani untuk menampakkan identitasnya. Sebagaimana firman Allah:

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan: Kami telah beriman', sedang mereka tidak diujilagi?"( Al-Ankabut [29:2).

Akan tetapi, jika dikaitkan dengan gejala alam pun besar kemungkinannya, karena bumi Nusantara memang berada di bagian bumi yang rawan bencana seperti gempa, tsunami dan letusan gunung. Bahkan, secara keseluruhan bumi yang ditempati manusia ini rawan akan terjadinya bencana, sebab hukum alam yang telah ditetapkan Allah SwT atas bumi ini dengan ber bagai hikmah yang terkandung di dalamnya. Seperti pergerakan gunung dengan berbagai konsekuensinya.

"Dan kamu lihat gunung-gunung itu kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal gunung-gunung itu bergerak sebagaimana awanbergerak.(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh segala sesuatu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan".( QS. Al-Naml [27]: 88).

Di samping harus tetap bersikap optimis dan berupaya mengenali hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan atas alam ini, adalah bijak untuk terus melakukan introspeksi terhadap keseriusan kita dalam menaati perintah-perintah Allah SwT dan menghitung-hitung kedurhakaan kita kepada-Nya.Sabda Rasulullah saw yang diriwayat kan Imam Tirmidzi di atas patut menjadi renungan bagi bangsa ini atas berbagai bencana yang menimpa secara bertubi tubi. Jika kita cermatt hampir semua penyebab bencana yang disebut Rasulullah saw dalam Hadits tersebut tengah melanda bangsa ini. Pertama, masalah kepemimpinan, amanah dan penguasa. Jika suatu bangsa memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat, baik (shalih), cakap/cerdas dan kompeten (gawiy) dan amanah (amin), maka kebangkrutan dan kehancuran sebuah bangsa tinggal menunggu waktu saja. Se bab, pemimpin seperti itu menganggap kekuasaan bukan sebagai amanah untuk menciptakan kesejahteraan dan ketentraman bagirakyatnya, tetapi sebagal sarana dan kesempatan untuk memperkaya diri dan bersenang-senang. Akibatnya, perilaku korupsi merajalela, penindasan dan pemiskinan menjadi pemandangan yang lumrah, dan kebangkrutan moral menjadi hal yang sangat sulit untuk dihindari. Oleh karena itu, memilih pemimpin atau pejabat harus hatihati dan selektif, sebab mereka akan memanggul amanah yang sangat berat.

Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, "Jika amanat disia-siakan, maka tunggulah saatnya (kehancuran). Abu Hurairah bertanya; "Bagaimana amanat itu disia-siakan wahai Rasulullah?, Beliau menjawab,"Jika suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya (tidak memenuhi syarat)". ( H R. Bukhari).

Kedua, orang kaya tidak menunaikan kewajibannya. Zakat adalah kewajiban minimal bagi orang kaya untuk peduli kepada orang miskin. Jika kewajiban minimal ini tidak ditunaikan, maka kegoncangan social tdak bisa ditawar-tawarlagi, karena tindakan orang miskin yang terampas haknya tidak bisa dipersalahkan. Sehingga azab Allah menjadi keharusan (Al-Isra': 16). Demikian intisari istinbathAmirul Mu'minin Umar bin Khathab ra yang didukung Ibnu Hazm rahimallahu ta'ala.

Ketiga, hilangnya ketulusan dan kebijakan para ulama dan cendekiawan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh penguasa dan pengusaha (orang kaya) itu akan menjadi-jadi jika ulama/cendekiawan sebagai pilar penting suatu bangsa yang bertugas untuk memberi peringatan dan beroposisi secara loyal terseret ke dalam kepentingan pragmatis para penguasa dan pengusaha tersebut. Aktualisasinya bisa berwujud pada terbitnya fatwa-fatwa pesanan yang tidak memihak orang-orang lemah dan tertindas serta opini yang menyesatkan dan membingungkan umat sebagai akibat terialu banyak menerima pemberian yang tidak jelas dan sering mengemis pada musuh-musuh Islam dan bangsa pada umumnya. Karena ketulusan telah hilang, para ulama pun menjadi orang yang membuat gaduh di masjid dengan perdebatan dan berbantahan mengenai hal yang sudah diputuskan dengan jelas oleh Allah dan Rasul-Nya. Pada akhirnya, bukan hanya perintah Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperhatikan dan disia-siakan. Akan tetapi para sahabat Rasul dan generasi mereka sesudahnya (ulama dari kalangan tabi'in dantabi'tabi'in)sebagaigenerasiterbaik umat Muhammad saw menjadi bahan olok-olok dan ejekan dalam perbincangan mereka dengan merendahkan dan mencampakkan kezuhudan dan hasil ijtihad mereka yang cemerlang.

Jika ketigapilar bangsa penguasa, pengusaha dan ulama atau cendekiawan sudah tidak menjalankan fungsi yang semestinya, maka kebangkrutan moral yang lain seperti durhaka pada orangtua, suami yang manut pada hawa nafsu istrinya, mewabahnya khamr (narkoba) dan kesenangan pada hiburan yang memancing keliaran syahwat menjadi pemandangan yang biasa. Pada saatitu"kemarahan" Tuhan dipastikan tidak bias dihalang-halangi untuk menghancurkan bangsa yang durhaka.*







Istiqomah Sebagai Conditio Sine Qunon Kemajuan


Sir Muhammad Iqbal, Filsuf Muslim modern asal Pakistan, menegaskan bahwa ajaran ijtihad dalam Islam adalah prinsip gerak dalam Islam. ljtihad adalah gerak dinamis yang terus menerus dan berkelanjutan untuk meraih kemulian dan kemajuan. Ketika ijtihad berhenti maka kemajuan pun terhenti dengan sendirinya kemuliaan pun surut bahkan punah. Pendek kata ijtihad adalah keniscayaan dalam meraih kemajuan. Yang menjadi pertanyaan uraian Hadits kali ini adalah apa yang menopang ijtihad itu dapat berlangsung berkesinambungan? Hemat penulis jawabannya adalah kualitas istigamah. Rasulullah saw bersabda yang artinya:

Aku bertanya:"Wahai Rasulullah saw sampaikanlah kepada saya satu ajaran dalam Islam yang tidak akan akutanyakan kepada seeorang pun. Nabi saw menjawab: "katakanlah aku beriman kepada Allahlaluberupayalahistigamah" (Hadits riwayat Muslim dari Abi 'Amr Sufyan bin Abdullah ra).

Makna Hadits

Ungkapan Hadit sini sangat singkat namun padat. Karena itu para ulama mengelompokannya sebagai salah satuungkapan jawami'ulkalimnya Nabi saw. Ada dua hal yang diajarkan oleh Rasulullah dalamHadits di atas: pertama menegaskan ikrar keimanan dan kedua bersikap istiqamah.

Imam Muhammad bin Ali bin Wahb al Quyasyri yang lebih dikenal dengan ibnu Daqigil 'Id menyatakan, Hadits di atas mengajarkan setiap Muslim untuk (1) selalu memperbarui keimanannya dengan lisannya dan menjaganya untuk selamanya bersemayam dalam relung sukmanya; (2) berlaku istigamah dalam melakukan pelbagai bentuk ketaatan kepada Allah seraya menuntaskan diri dari seluruh penyimpangan yang berselisih dengan spirit istiqamah. Kandungan makna dalam Hadits ini sejalan dengan firman Allah dalam surah Fushilat ayat 30 dan surah Hud ayat 112. Tentang ayat yang terakhir iniAbdullah ibn Abbas mengabarkan "tidak ada dalam keseluruhan Al-Qur'an yang paling berat ditunaikan oleh Rasulullah kecuali ayat ini". Itulah sebabnya Nabi saw pernah bersabda:" Surah Hud dan rangkaiannya membuat kepala tumbuh uban" "syayyabatni huud wa akhwaatuha" ( H R at-Turmudzi).

Apa itu istiqamah? Istigamah adalah martabat keimanan paripurna yang dengannya seluruh kebajikan dapat terjadi secara teratur. Orang yang belum meraih martabat istiqamah seluruh upaya yang dilakukannya sia-sia belaka. Al-Wasithi menambahkan, "istigamah adalah budi pekerti yang menyempurnakan seluruh kebajikan yang jika ditemukan dalam diri seseorang maka sempurnalah kebajikannya dan jika hilang maka kebajikannya lenyap". Kalimat terakhir ini jembatan untuk memahamisabda lainnya tentang istigamah “istaqiimuu wa lan tuhshuu" beristiqamahlah anda pasti anda tak dapat menghitung kebaikan anda"(HR lbnu Majah). Jika kemajuan itu dimaknai sebagai suatu kualitas keadaan seseorang yang terus membaik dan kebaikannya terus meningkat maka penopang utama yang melahirkan dan menjaga kemajuan dalam suatu kesinambungan adalah kualitas istigamah.

istigamah dalam optimisme (husn azhzhan)

Daiam kata istiqamah tersirat makna upaya terus-menerus. Terkadang seseorang dalam rangkaian dan tahap-tahap upayanya untuk meraib kemajuan terselip rasa putus asa apakah ja dapat tiba di pantai kemajuan itu? Surah Fushilat ayat 30 dengan terang menjelaskan bahwa orang yang berlaku istqamah tidak pemah terselip rasa pesimis. Sebaliknya ja melawan keadaan itu dengan optimisme. Optimisme bagi seorang Muslim adalah berfikir positif bahwa Allah senantiasa menyertainya dalam kondisi apapun dan selalu membimbingnya dalam menapaki perjalanan panjang menuju kemuliaan dan kemajuan.

Karena itu salah satu ekspresi dari sikap optimis adalah absennya ketergesa-gesaan untuk ingin segera merasakan kesuksesan. Dia menyadari benar bahwa ketergesaan untuk memetik kesuksesan adalah perangkap dan jebakan yang dipasang syaithan. Karena itu tatkala dalam satu tahapan upayanya itu dirasakannya suiit dan mendaki ja meyakini bahwa setelah puncak pendakian pasti diikuti jalan menurun, “karena sesungguhnya setiap kesulitan disertai kemudahan dan pastilah setiap kesulitan disertai kemudahan” (Al- Insyirah [94]:5-6).

Bahkan manakala dalam sekian tahapan dihadang ujian berupa kegagalan dia tidak akan melihatnya sebagai "malam pekat terakhir yang tidak akan disusuli matahari pagi menyingsing".



Istigamah dalam "melayani" ('amal shalih)

Iman yang dimiliki oleh seorang yang bermartabat istiqamah adalah iman yang dicirikan dengan suka berbagi dan melayani orang lain. Itulah keimanan yang diikuti dengan amal shalih, keimanan yang dicirikan senang melihat kebahagiaan yang dirasakannya juga dirasakan saudara-saudaranya. la tidak hendak bersuka riang sendirian betapa pun sederhananya kebahagiaan yang dicicipinya. Dengan budi pekertinya inilah Allah selalu mengiriminya fasilitas bantuan yang diperlukannya. la sadar betul bahwa "Allah akan memberi bantuan kepada seorang hamba manakala ia memberi bantuan kepada saudaranya".

Tentu saja ia pun berterimakasih (baca: syukur) kepada Allah yang selalu membantunya. Tanda terimakasihnya ia tunjukkan dengan memelihara kesukaannya berbagi dan melayani orang lain. Bahkan la berikhtiar terus untuk memperluas pelayanannya itu kepada sebanyak orang.

Karena ia suka bersilaturahmi Allah pun bersilturahmi kepadanya dengan mengirim malaikat pemberi inspirasi (tatanazzala 'alayhim al-malaaikah..) sehingga terbuka pengetahuan baru untuk menambah kuantitas dan kualitas kebahagiaannya. Orang-orang yang dilayaninya pun bertambah banyaknya.

Istigamah dalam mengevaluasi diri (muhasabah)

Manusia bukan malaikat dalam dirinya ada dua potensi kebaikan dan kesalahan sekaligus. Terkadang jebakan-jebakan baik yang tanpa disadarinya diciptakannya sendiri mengganggunya untuk merubah visi dan misinya tentang kemuliaan dan kemajuan. Boleh jadi ia mencoba untuk sementara waktu berpindah jalur ke jalan yang tampak lebih cepat dan sedikit anak duri. Atau tatkala ia berkompetisi bersama saudara-saudaranya ia melakukan cara yang "menyimpang" dari ketentuan dan aturan main Allah dan Rasul-Nya. Karena deposit kebajikan yang ditebarkan manusia istigamah mengantarkannya tercatat di sisi Allah sebagai seorang mushin (Hud [11j:12-15) sebab itulah juga yang menjadikannya segera tersadar mengevaluasi dirinya untuk segera menghapus kekhilafannya itu dengan berbagai kebajikan baik itu dengan ibadah ritual maupun ibadah social (Ar-Ra'd [13]: 22).

Pendek kata kekeliruan yang dilakukan manusia istiqamah tidak menjadikannya terus surut dan bergelimang dosa. Manusia istigamah menjadikan kekeliruan menjadi vitamin pahit yang berbuah keindahan.Karena kekeliruan yang sempat dilakukannya malah menyadarkannya untuk membuka berbagai upaya perbaikan menuju perbaikan dan kebaikan yang menghasilkan kemajuan.





Istigamah dalam keteguhan dan ketabahan (shabr)

Hati-hatilah dengan kesuksesan dan kemajuan kecil karena ia acapkali menyilaukan pandangan yang berbuah malapetaka. Itulah yang terjadi dengan peristiwa kegagalan kaum Musimin dalam Perang Uhud. Sejak awal Sang Nabi telah mengingatkan supaya pasukan pemanah tidak bergerak kecuali atas perintahnya. Tatkala pertempuran dimulai terlihat Pasukan Musyrikin Quraisy kewalahan akibat akumulasi tembakan anak panah yang terarah kepada mereka. Mereka pun tunggang langgang meninggalkan berbagai perkakas dan harta benda yang melimpah. Siasat pun disusun komandan perang mereka yang terkenal Khalid bin Walid. Khalid seolah hendak menarik pasukannya mengisyaratkan kekalahan. Senyatanya la membawa pasukannya mundur sementara dengan memutar ke arah bukit tempat bersembunyi para pemanah itu. Pada saat yang sama pasukan pemanah ini rupanya tidak bersabar untuk menunggu aba-aba Nabi saw. Mereka mengira bahwa perang sudah tuntas dengan pertempuran yang singkat. Merekapun turun dari bukit tempat persembunyian nya untuk berebut ghanimah yang menyilaukan itu. Dan kaum Muslimin pun menderita kalah perang karena merasa puas dengan kemajuan atau kesuksesan kecil yang belum tuntas itu.

Pada Perang Dunia Pertama saat Angkatan Laut Inggris Raya menyerang Turki tepatnya pada tanggal 15 Maret 1935 terjadi pertempuran sengit antara kedua belah pihak.Armada Laut Inggris dibujani meriam pantai Angkatan Bersenjata Turki. Pada awalnya pertempuran berjalan seimbang. Karena massifnya dan sporadisnya serangan meriam yang dilancarkan PasukanTurki membuat Armada Laut Inggris tidak dapat menjawab serangan secara maksimal. Mereka bahkan terpojok dalam jarak tembak Pasukan Turki. Armada Laut Inggris pun memutuskan untuk mundur dari pertempuran Dardanella yang terkenal itu. Mereka tidak bersabar untuk bertahan dari gempuran meriam Pasukan Turki. Padahal jika itu mereka lakukan mereka tinggal menunggu hitungan menit saja untuk menyerang balik dan memenangkan perang. Karena pada saat itu Pasukan Turki tinggal menyisakan amunisi yang cukup hanya untuk 60 detik tembakan meriam. Bahkan mereka pun sudah bersiap-siap untuk menyerah kalah kepada Armada Laut Inggris Raya.

Demikianlah kedua misal di atas memperlihatkan bahwa kesuksesan atau kemajuan yang sudah di depan mata pun lenyap sia-sia karena daya tahan dan keteguhan hati (shabar) tidak tersedia dalam diri pelakunya. Dari kekuatan keteguhan hati selalu muncul kecerdasan menyiapkan diri dan kecakapan berhitung kualitas diriuntuk modal berkompetisi dengan yang lain. Itulah sikap ihsan yang menjadí puncak kesabaran itu (An-Nahl [16]:126-128).



Akhirul kalam

Dari awal hingga akhir kiranya terungkap bahwa tiada kemuliaan berupa kesuksesan kemenangan sebagai isyarat terjadinya kemajuan tanpa sikap istiqamah. Istiqomah yang dieskpresikan dalam berbagai bentuknya, antara lain, bersikap optimis, melayani, mengevaluasi diri dan bersabar.

Wallahu A'lam bish-Shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar