Powered By Blogger

Selasa, 28 Februari 2012

KONSULTASI AGAMA

Diasuh Oleh DR H M Taufik Q Hulaimi MA Med, Direktur Ma’had Aly an-Nuaimy Jakarta

Euthanasia, Apa Hukumnya

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr wb. Ustadz ada teman tanya, secara medis Bapak dia hidupnya dibantu alat medis, kalau dilepas bapak dipastikan meninggal. Istilahnya "bring dead", kalau dilepas kaya membunuh, kalau tidak dilepas kasihan bapak kondisinya. Terkait masalah ini hukumnya bagaimana menurut Islam? Apa yang sebaiknya dilakukan? Mohon share jawabannya

Jawaban:
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Membantu orang sakit agar cepat meninggal dengan tujuan untuk meringankan penderitaannya disebut euthanasia. Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.
Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan.
Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah pernyataan tertulis tangan. Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga media maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis
Eutanasia dalam Islam
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif (Eutanasia agresif/ taisir al-maut al-fa'al) maupun negatif (Eutanasia non agresif dan Eutanasia pasif/ taisir al-maut al-munfa'il).
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
Hukum Eutanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit—karena kasih sayang—yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Hukum Eutanasia negatif
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Hukum euthanasia negatif ditentukan oleh hukum berobat. menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Sebagian ulama yang lain menganggap bahwa hukum berobat mustahab (sunnah).
Berobat akan menjadi wajib apabila harapan untuk sembuh sangat besar. Hal ini sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Beliau berobat dari pengyakit yang pernah diderita. Namun apabila sebaliknya, ketika berobat tidak diharapkan kesembuhannya maka hukum berobat tidak wajib, bahkan tidak mustahab (sunnah) juga.
Kesimpulan:
Mencabut alat yang membantu pasien tetap hidup tidak termasuk pembunuhan . Dan tindakan seperti ini tetap dibolehkan, apalagi kondisi pasien yang tidak sadar atau koma. Hidup pasien hanya berdasarkan gerakan nafas dan jantungnya saja. Panca indra tidak berfungsi dan perasaan sudah hilang, karena otak yang menjadi sumber keduanya sudah tidak berfungsi.
Wallahu ‘alam








ASI Terminum Suami, Haramkah?

Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr. wb
Pak ustadz, saya seorang suami yang sudah menikah selama 5 th. Alhamdulillah sudah di karuniai 2 anak. Ada cerita yang sebenarnya pribadi, tapi sangat mengganggu. Hal ini sebenarnya sudah lama terjadi. Saya memberanikan diri bertanya kepada Ustadz, karena harus jelas masalahnya. Begini pak Ustadz, ketika istri sedang masa menyusui pernah kami melakukan hubungan suami istri dan ketika sedang berhubungan itu tanpa sengaja ASI istri tertelan oleh saya. Dikarenakan kurang pahamnya saya tentang hal tersebut maka kejadian itu saya anggap hal yang biasa. Tetapi kemarin, saya mendengar ceramah yang menyebutkan bahwa ASI istri adalah haram, karena mengakibatkan mahram. Wah saya jadi bingung bin takut mendengarnya. Bagaimana konsekuensi hukumnya mengingat dalam tradisi Islam dan hadits Rasul saw, ada sepasang kekasih yang hendak menikah, tapi dibatalkan karena terbukti memiliki ikatan saudara sepersusuan. Apakah hal ini juga berlaku bagi suami yang mengalir dalam darahnya, ASI istrinya. Mohon penjelasan. Jazaakal-Laahu ahsanul jazaa atas bantuannya.
Pertanyaannya
1. Benarkah ASI istri kita haram hukumnya, karena bisa merubah status akibat sesusuan?
2. Bagaimana dengan status pernikahan setelah kejadian tersebut karena belum tahu hukum tentang ASI?
3 Bagaimana status saya dan anak-anak
Terima kasih untuk jawaban ustadz, wasalam.
Rudi
Tambun-Bekasi

Jawaban:
Para Ulama sepakat bahwa bayi yang meminum ASI seorang perempuan yang bukan ibunya maka perempuan ini menjadi mahram bagi sang bayi. Ia tidak boleh menikahinya dan juga tidak boleh menikah dengan anak perempuannya. Allah Berfirman: “Diharamkan atas kamu (mengawini)........ ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;...” . (QS an Nisa [4]:23)

Namun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang lebih rinci dari masalah ini. Di antara hal yang diperselisihkan adalah:
Kadar ASI yang diminum, apakah ASI yang diminum ada batasan kadar minimalnya atau tidak?
Umur al-murdhi’, Apakah ada batasan umur minimal bagi anak yang menyusu atau tidak?
Apakah Terminumnya ASI oleh Suami Menjadikan Istri Mahram dan Harus Cerai?
Apabila ada batasan kadar minimal ASI yang diminum dan ada batasan minimal umur bagi yang menyusu maka terminumnya susu istri tidak menjadikan sang istri mahram dan tidak harus dicerai. Sebaliknya apabila tidak ada batasan kadar minimal ASI yang diminum dan tidak ada batasan minimal umur maka sang istri menjadi mahram dan harus bercerai.
untuk menjawab masalah ini kita lihat pendapat ulama fiqih
Batas minimal ASI yang diminum
Imam Abu Hanifah, Imam Maliik dan Imam Ahmad (dalam satu riwayat) berpendapat tidak ada batas minimal ASI yang diminum. Haram menikahi terjadi dengan sebab meminum ASI baik sedikit atau banyak, bahkan setetes ASI.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad (riwayat yang lebih benar) berpendapat bahwa batas minimal ASI yang diminum adalah 5 kali menyusui. Dihitung satu kali menyusui apabila bayi menyusu sampai kenyang. .
Pendapat pertama tidak kuat, karena bertentangan dengan hadis yang secara tegas mengatakan “Satu atau dua isapan tidak menyebabkan haram” (HRMuslim). Juga bertentangan dengan hadis:”menyusu (yang menjadi sebab haram) adalah yang masuk kedalam lambung (seperti makanan)”
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Imam Syafi’i. Pendapat ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari Sayyidah Aisyah ra. bahwa menyusui yang menyebabkan haram adalam lima kali menyusui.
Pendapat ini diperkuat oleh ayat yang menyebutkan “...ibu-ibumu yang menyusui kamu...”. Dalam ayat ini ada dua hal yang menyebabkan haram pernikahan. Pertama hal keibuan. Kedua hal menyusui. Hal yang berkenaan dengan keibuan (Umumah) tidak tercapai kecuali dengan lima kali menyusui atau lebih. Sekali atau dua kali isap tidak mengandung makna keibuan.
Batas Minimal Umur al-murdhi’
Ayat Al-Quran menyatakan bahwa disana ada batas minimal umur al-murdhi. Batas tersebut adalah dua tahun hijriyah. Allah Berfirman: “Diharamkan atas kamu (mengawini)........ ibu-ibumu yang menyusui kamu”. (QS. An-Nisa [4]: 23) Tidak akan disebut ibu kecuali kalau yang menyusu masih kecil. Batasan kecil disini adalah dua tahun hijrah. Allah berfirman: ”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan. (QS al Baqarah [2]: 233)
Begitu pula Hadits Rasulullah saw menyatakan hal yang serupa. Antara lain hadits: ”tidak disebut menyusui kecuali sebelum umur dua tahun’ (HR. Ad-Daar Quthny). Hadits lain: ”tidak (disebut) menyusui (kalau terjadi) setelah disapih.”
Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa seorang suami bepergian bersama istrinya. Diperjalanan sang istri melahirkan. Namun bayi yang baru lahir tersebut tidak bisa menghisap ASI ibunya. Sang suami bersegera mengisap susu istrinya dan diberikan kepada bayi. Ketika mengisap ia merasakan rasa susu terebut. Kemudian ia menceritakan hal tersebut kepada Abu Musa Al-Asyari. Abu Musa Berkata : ”Istrimu haram bagimu”. Kemudia suami tersebut datang ke Ibnu Masud. Beliau berkata kepada abu Musa: ”Engkau yang berfatwa seperti ini?” Rasulullah bersabda: ”Tidak disebut menyusui kecuali yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.”(HR Baihaqi dalam Buku As-Sunan Al-Kubro)
Namun disana ada hadis yang bertentangan dengan ayat dan hadis di atas. Yaitu hadis yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah ra bahwa Sahlah binti Suhail datang kepada Rasulullah saw dan berkata: “Wahai Rasulullah Saya melihat sesuatu di wajah Abu huzaifah (suami dari Sahlah Binti Suhail) disebabkan masuknya Salim ( Salim sejak kecil hidup bersama Abu Huzaifah). Rasulullah menjawab: ”kamu susui saja dia!” Sahlah menjawab: ”Bagaimana saya susui sedangkan dia sudah besar?” Rasulullah tersenyum dan berkata:”Saya tahu bahwa dia sudah besar.” Hadis ini diriwayatkan Imam Muslim. Juga Hadis yang mempunyai makna yang sama diriwayatkan oleh imam Bukhori. Derajat hadis ini shahih.
Para Ulama mengambil jalan tengah dalam memahami hadis ini dengan menggabungkan dua makna dari hadis yang bertentangan (al-jam’u). Hadits tentang Sahlah binti Suhail ini difahami sebagai pengkhusussan bagi Salim saja. Tidak bisa digeneralisasi. Hal ini deperkuat dengan sikap istri-istri Rasulullah (kecuali Aisyah) yang menolak untuk merubah status hukum orang-orang yang mereka butuhkan dengan cara menyusui.
Ibnu Taimiyah menggabungkan hadits-hadits ini dan berpendapat bahwa menyusui yang dapat menjadikan seseorang mahram adalah menyusui diwaktu kecil. Kecuali apabila ada kebutuhan dan darurat seperti halnya Salim dan keluarga Abu Huzaifah. Dalam situasi seperti ini menyusui orang yang sudah baligh atau dewasa dapat menjadikannya mahram.
Terminumnya ASI Oleh Suami Tidak Menmbuatnya menjadi Mahram
Dari Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terminumnya ASI Istri tidak menjadikan Istri mahram. Pernikahan tetap sah. Dan Anak-anak tidak menjadi saudara sesusuan.
Wallahu ‘Alam







Minta Cerai Karena Tak Dinafkahi


Assalamu’alaikum Wr Wb

Ustadz Taufik yang senantiasa dirahmati Allah SWT, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya sampaikan kepada Ustadz tentang kisah rumah tangga anak saya:

Saya seorang ibu dengan 5 orang anak, anak pertama saya Sri sudah menikah. Sayangnya, pernikahan mereka sedang bermasalah. Saya khawatir ini akan menjadi contoh yang buruk bagi adik-adiknya.

Ustadz, saya tidak tahu persis kapan tepatnya, ternyata suami anak saya, Heru suka selingkuh. Tanpa izin istri dan mengaku masih bujang dan gadis, sahkah pernikahan mereka? Anak saya tidak tahan, bolehkah seorang istri menuntut cerai? Saya yakin Heru bukan poligami, tetapi selingkuh alias zina. Bukannya memberi nafkah, Heru malah sering meminta bagian dari gaji istrinya. Apakah ini bisa menjadi tambahan alasan untuk bercerai? Sudah enam bulan Sri menolak berhubungan intim, karena jijik dengan kelakuannya, bahkan sudah tidak lagi memberi nafkah lahir atau materi. Kata-kata cerai meski belum terucap tegas, tetapi sudah mengarah jelas. Bolehkah saya turut campur menyelesaikan proses perceraian mereka?

Demikan Ustadz, mohon kiranya dapat menjawabnya semua pertanyaan saya guna meringankan apa yang ada didalam pikiran saya, Jazakillah Ustadz . Wassalam.

Mama Sri – Ajibarang

Wa’alaikumussalam Wr Wb

Mama Sri yang senantiasa dirahmati Allah,

Allah SWT menurunkan syariat dan hukumnya hanya untuk kemaslahatan manusia. Dalam istilah fiqih, maslahat mempunyai dua bagian yaitu mendatangkan manfaat dan menghindari bahaya (mafsadah). Kita harus meyakini bahwa pelaksanaan Hukum Islam, dalam bentuk apapun, pasti melahirkan maslahat. Apabila dirasakan ada kezaliman ketika mentaati hukum Islam, maka yang harus kita lakukan adalah mengkaji pelaksanaan hukum tersebut. Apakah terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya.

Kezaliman yang dirasakan dalam melaksanakan hukum Islam dimungkinkan muncul karena dua hal yaitu pertama penyalahgunaan hukum, kedua pelaksanaan hukum Islam yang tidak menyeluruh; hukum Islam dilaksanakan hanya sebagian saja.

Menikah Tanpa Izin Istri Pertama

Dalam hukum Islam, izin istri pertama tidak menjadi syarat bagi pernikahan yang kedua. Pernikahan kedua dianggap sah walaupun tanpa izin istri pertama. Hubungan intim dalam pernikahan tersebut pun tidak dihukumi sebagai perbuatan zina.

Menikah Lagi dengan Melakukan Kebohongan Data

Melaksanakan sebuah perintah dengan diiringi perbuatan yang dilarang Allah SWT termasuk pelanggaran hukum. Pengaruh pelanggaran sebuah larangan pada hukum sah atau tidaknya sebuah perintah yang dilakukan akan sangat bergantung pada larangan tersebut; apakah larangan yang dilanggar termasuk bagian dari perintah tersebut atau larangan tersebut tidak ada hubungannya dengan perintah. Apabila bagian dari perintah, maka berpengaruh pada sah atau tidaknya perintah. Sebaliknya, apabila bukan bagian dari perintah tersebut maka tidak berpengaruh pada sah atau tidaknya pelaksanaan sebuah perintah.

Sebagai contoh, bagaimana hukum shalat yang dilakukan di sebidang tanah hasil dari ghasab (mengambil tanah orang lain secara tidak sah ). Ghasab adalah perbuatan yang dilarang Allah. Ia terpisah sama sekali dari shalat dan bukan bagian darinya. Maka hukum shalat tersebut tetap sah. Akan tetapi orang tersebut berdosa karena melakukan ghasab.

Menikah dengan melakukan kebohongan tentang status diri dinilai sah dan bukan perzinahan. Kebohongan status diri masih bujang bukan bagian dari nikah. Laki-laki yang melakukan pernikahan seperti ini tetap berdosa karena ia berbohong. Namun, pernikahan tetap sah.

Orang Menikah Tidak Dikatakan Zina Walau Nikahnya Tidak Sah

Kita harus ekstra hati-hati dalam melontarkan tuduhan zina kepada seseorang. Apabila tuduhan zina tidak terbukti, maka Islam menghukumi orang yang menuduh dengan qodaf, yaitu dicambuk 80 kali.

Kehati-hatian dalam menuduh zina tersirat dalam hadits yang menyatakan bahwa pelaksanaan hukuman had (al huduud) dibatalkan karena adanya sebuah keraguaan. Lebih baik membatalkan hukuman had daripada melaksanakannya, tetapi masih menyisakan keraguan tentang terjadinya.

Orang yang melakukan sebuah pernikahan yang dinilai tidak sah apabila terjadi hubungan suami istri dalam pernikahan tersebut, maka tidak dihukumi berzina, karena terdapat syubhat (keraguan). Pernikahan menjadi syubhat yang membuat hubungan intim tersebut tidak dikategorikan berzina.

Kapan Istri Berhak Mengajukan Cerai?

Seorang Istri diharamkan untuk meminta cerai tanpa ada alasan yang syar’i. Hadits Rasulullah saw menyebutkan bahwa seorang istri yang meminta cerai dari suaminya tanpa ada alasan yang mengharuskan ia meminta cerai, Ia tidak akan mencium wanginya surga. (HR Abu Daud)

Berdasarkan hadits di atas, kita memahami bahwa permintaan cerai dari istri dibolehkan jika ada alasan syar’i. Istri berhak mengajukan cerai kepada suami atau hakim apabila terjadi kezaliman dalam rumah tangga yang dapat membahayakan istri, seperti tidak memberi nafkah, sering memukul, tidak mau shalat dan lain sebagainya. Kaidah fiqih mengatakan: ”adh-dhororu yuzaal” (bahaya harus dihilangkan).

Kapan Istri Berhak Menolak Hubungan Intim?

Taat Istri kepada suami disebabkan nafkah. Apabila suami tidak memberi nafkah, maka taat istri tidak bisa dituntut. Seorang istri yang tidak dinafkahi suami berhak menolak ketika diajak untuk berhubungan. Ibnu Qudamah dalam kitan al-mughni menyatakan: ”Apabila istri setuju untuk tetap tinggal dengan suami dalam keadaan suami tidak memberikan nafkah, maka istri tidak wajib melayani keinginan suami.” Demikian pula Imam Syairozi dalam kitab al- Muhazhzhab menyatakan pendapat yang sama.

Ucapan Cerai dengan Kalimat Majaz

Perceraian dengan menggunakan kata atau ucapan secara langsung bisa terjadi dengan dua cara yaitu pertama dengan lafadz shoriih, yaitu dengan kalimat tegas yang dipahami bahwa yang dimaksud adalah cerai tanpa ada makna lain. Lafadz shoriih bisa berbentuk hakikat atau majaz. Kedua dengan cara kinayah, yaitu lafadz tidak tegas yang masih memungkinkan makna lain selain cerai. Seperti “Sudahlah, kalau begitu pulang saja ke rumah orangtuamu”. Perceraian sah apabila menggunakan lafadz shoriih tanpa harus dikonfirmasi terlebih dahulu maksudnya karena hanya mempunyai satu makna yaitu cerai. Sedangkan perceraian dengan lafadz kinayah harus dikonfirmasi terlebih dahulu tentang maksud dari ucapan tersebut apakah cerai atau makna lain. Apabila maksudnya adalah cerai, maka perceraian sudah sah.

Ikut Campur dalam Proses Perceraian

Mempengaruhi seseorang untuk menceraikan istrinya dengan tujuan menzalimi sang istri termasuk hal yang diharamkan dalam Islam. Namun, apabila perceraian tersebut bertujuan menghapus kezaliman suami terhadap istri, maka dibolehkan. Kaidah fiqih mengatakan: “al umuur bimaqoshidiha”. Hukum dan pahala perbuatan tergantung maksud dan tujuannya.

Demikian penjelasan saya, semoga Allah SWT senantiasa memberikan jalan yang terbaik untuk rumah tangga anak Ibu. Amin.







Perjodohan di Zaman Rasulullah

Assalamu'alaikum wr.wb.

Saya mau bertanya tentang masalah perjodohan, apakah perjodohan ada pada zaman Rasulullah saw? Apakah semua sahabat dipilihkan jodoh oleh Rasulullah saw? Jika tidak, mohon berikan salah satu riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw tidak menjodohkan semua sahabatnya. Terima kasih atas jawabannya.

Aska Aji
Email: aska_sendoh@yahoo.co.id

Wa'alaikumussalam wr wb

Alhamdulillah wash-shalaatu was-salaamu ala rasuulillah.

Saudara Aska Aji yang dimuliakan Allah. Perjodohan adalah salah satu cara yang ditempuh masyarakat dalam menikah. Tak ada ketentuan dalam syariat yang mengharuskan atau sebaliknya melarang perjodohan. Islam hanya menekankan bahwa hendaknya seorang Muslim mencari calon istri yang shalihah dan baik agamanya. Begitu pula sebaliknya.

Pernikahan melalui perjodohan ini sudah lama usianya. Di zaman Rasul saw pun pernah terjadi. Aisyah ra yang kala itu masih kanak-kanak dijodohkan dan dinikahkan oleh ayahnya dengan Rasulullah saw. Setelah baligh, barulah Ummul Mukminin Aisyah tinggal bersama Rasul saw. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, seorang sahabat meminta kepada Rasul saw agar dinikahkan dengan seorang Muslimah. Akhirnya, ia pun dinikahkan dengan dengan mahar hapalan al-Qur'an. Dalam konteks ini, Rasul saw yang menikahkan pasangan sahabat ini berdasarkan permintaan dari sahabat laki-laki. Meskipun didasarkan pada permintaan, toh perintah pernikahan datang dari orang lain, yaitu Rasul saw. Tentu saja dengan persetujuan dari mempelai perempuan.

Banyak pula para sahabat yang menikah tanpa melalui proses perjodohan. Contohnya, Jabir yang menikahi seorang janda. Rasulullah bertanya kepadanya, mengapa tidak menikahi seorang gadis agar dapat bersenda gurau dengannya, dan begitu pula sebaliknya. Jabir beralasan, karena dia punya adik yang masih kecil-kecil dan butuh asuhan.

Ringkasnya, perjodohan hanyalah salah satu cara untuk menikahkan. Orang tua dapat menjodohkan anaknya. Tapi hendaknya meminta izin dan persetujuan dari anaknya, agar pernikahan yang diselenggarakan, didasarkan pada keridhaan masing-masing pihak, bukan keterpaksaan. Pernikahan yang dibangun di atas dasar keterpaksaan, jika terus berlanjut, akan mengganggu keharmonisan rumah tangga. Wallahu a'lam.





Rahasia Pernikahan Bahagia : "No Sex Before Marriage"


-Studi terbaru menyimpulkan, pasangan yang tidak berhubungan seks sebelum menikah akan memiliki hubungan yang lebih kuat di masa depan.

Para peneliti di School of Family Life, Brigham Young University di Utah Amerika Serikat mewawancarai 2.035 suami-istri soal hubungan intim pertama mereka.

Analisa hasil wawancara menunjukkan bahwa pasangan yang berhubungan intim setelah jadi suami-istri, memiliki hubungan yang jauh lebih sehat dibandingkan yang mulai bersetubuh sejak awal pacaran.

Pasangan yang melakukan "no sex before marriage" punya 22 persen lebih tinggi dalam stabilitas hubungan, 20 persen lebih baik dalam tingkat kepuasan hubungan, Mereka juga 15 persen lebih bagus dalam kualitas seks dan 12 persen lebih bagus dalam komunikasi suami-istri.

Bagaimana terhadap pasangan yang mulai berhubungan intim setelah mereka lama pacaran, tapi sebelum jadi suami-istri? jawabnya, hanya setengah dari angka-angka di atas.

Menurut para peneliti, hubungan seks sebelum menikah artinya pasangan terlalu menekankan soal fisik dalam hubungan mereka, bukannya soal percaya, setia, dan komitmen.

Profesor Dean Busby, pemimpin penelitian itu, mengemukakan "Banyak penelitian dengan topik tersebut memfokuskan diri pada pengalaman individu tentang seks. Hubungan pasangan bukanlah sekedar seks, dan penelitian kami menemukan bahwa mereka yang menunggu hingga jadi suami-istri akan lebih bahagia dalam aspek seksual. Saya pikir ini karena mereka lebih dulu belajar untuk bicara satu sama lain dan melatih diri untuk menyelesaikan masalah."

Pendapat tersebut didukung oleh Mark Regnerus, penulis buku "Premarital Sex in America". Menurutnya, pasangan belum menikah tapi sudah berhubungan intim, banyak merasakan hubungan mereka tak cukup terbangun. Ini mereka rasakan saat waktunya hubungan harus lebih stabil dan saling percaya.

"Apapun agama mereka, menunggu hingga jadi suami-istri akan membuat proses komunikasi jadi lebih baik dan meningkatkan mutu stabilitas hubungan pada jangka panjang dan kepuasan menjalani hidup dengan pasangan."





Lebih Sayang Anak Laki-laki


Saya Leli, ibu dari dua anak, Tina 10 dan Jati 7 tahun. Dalam segala hal saya berusaha berlaku adil pada keduanya. Tapi, suami saya memang mendambakan anak laki-laki, dan ketika si sulung lahir, dia terlihat kurang senang. Tapi begitu adiknya yang laki-laki lahir dia sangat bahagia. Sepulang dari kantor, capeknya akan hilang bila bertemu dengan si Bungsu. Pulang dinas dari luar kota pun selalu "jagoannya" yang dicari. Akibatnya si Bungsu ini benar-benar jadi anak papa.

Sedangkan pada si Sulung yang perempuan, sikap suami sangat jauh berbeda. Menurut saya, wajarlah kalau perempuan lebih rewel, karena seringkali adiknya memang nakal. Kalau sudah menggoda dia tidak akan berhenti sampai kakaknya menangis. Kalau si Sulung minta "perlindungan" dari papanya, suami malah menyuruhnya mencari saya, "Sana sama Mama saja."

Dulu saya tidak begitu memperhatikan perbedaan sikap tersebut. Saya baru kaget waktu kemarin mereka berdua terima rapor. Ranking si adik memang (selalu) lebih bagus daripada kakaknya. Ketika saya tanyakan hal itu pada adiknya, dia malah menangis dan mengatakan saya sudah tidak sayang lagi padanya. Menurutnya, saya sudah berubah seperti papanya yang hanya sayang pada si Adik. Saya kaget sekali, Bu, dia bisa bicara seperti itu.

Berhari-hari saya renungkan dan amati, secara tidak sadar suami memang menunjukkan sikap pilih kasih. Dia sangat bangga pada anak laki-lakinya, sedangkan pada anak perempuannya sepertinya biasa-biasa saja. Apakah latar belakang suami saya yang berasal dari keluarga feodal Jawa yang membuatnya lebih mengutamakan anak laki-laki? Apalagi Jati, anak ini memang selalu terlihat "lebih" dibanding kakaknya. Apa yang harus saya lakukan, Bu, untuk mengingatkan suami? Masih bisakah dia berubah sikap? Atas jawabannya saya ucapkan terimakasih.

Wa’alaikumussalam Wr Wb

Alhamdulillah, saya sangat kagum dengan kejelian dan usaha bu Leli untuk bisa berperilaku adil pada anak, tanpa melihat apakah anak kita laki-laki atau perempuan, dan tanpa memandang bagaimana kecenderungan budaya tertentu memperlakukan anak secara berbeda. Insya Allah dengan landasan Islam, dalam hal ini memandang anak secara adil, anak kita akan tumbuh dan berkembang jauh lebih baik, fisik, mental dan spiritualnya. Amin.

Berkenaan dengan perasaan anak perempuan ibu yang merasa tidak begitu disayang oleh ayahnya, semoga ibu bisa menetralisirkan perasaannya dengan meyakinkan Tina bahwa ayahnya juga sangat mencintainya. Mungkin ibu bisa mengambil contoh ‘moment’ misalnya saat Tina kecil, ayahnya sangat sering menggendong dan menciumnya, atau moment ketika Tina pernah diberikan hadiah oleh ayahnya, diajak jalan-jalan dan lain sebagainya. Ibu juga bisa menambahkan bahwa sikap ayahnya yang seringkali mencari ‘adiknya’ lebih dahulu sepulang dari dinas, dikarenakan usia adiknya yang lebih kecil. Semoga dengan penjelasan ibu yang meyakinkan pada Tina, dia akan bisa meminimalkan rasa sedihnya.

Terkait dengan sikap suami ibu yang mungkin saat ini khilaf untuk bersikap adil pada anak-anak, semoga peran ibu bisa ditingkatkan dalam mengingatkan pasangan dengan cara yang baik dan santun agar beliau tidak tersinggung dalam hal ini. Mungkin ibu bisa memulai dengan menceritakan pada suami ungkapan anak perempuan ibu, Tina yang menganggap orang tuanya tidak begitu sayang padanya sebesar sayangnya pada adik laki-lakinya.Ibu bisa mencoba untuk meminta respon dari suami ibu, tanpa kesan menghakimi. Atau ibu bisa bercerita pengalaman keluarga lain yang memiliki masalah yang hampir serupa. Jika beliau merasa telah memperlakukan adil dan tidak bermaksud demikian, ibu bisa mendiskusikan kembali ‘action’ apa yang perlu dilakukan untuk Tina lebih lanjut agar tidak berprasangka demikian pada ayahnya. Namun jika memang suami ibu secara terang-terangan memiliki pendapat bahwa anak laki-laki harus didahulukan, sepertinya ibu perlu usaha dan waktu lebih banyak untuk bisa mengingatkan beliau bagaimana Islam sangat menjunjung keadilan sebagai suatu sikap yang mulia, termasuk pada anak-anak.

Bersikap adil adalah salah satu wujud ketaqwaan kita sebagai umat muslim. Sebagai orangtua, kita perlu berperilaku adil pada semua anak sehingga dapat dicapai keharmonisan dalam rumah tangga kita. Dengan demikian, kita berusaha untuk menjunjung keadilan berdasarkan ajaran Islam, di atas keyakinan kita akan budaya tertentu sekalipun budaya tersebut sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun.

Dalam sebuah hadits Al-Bukhari dan Hadis Muslim, salah seorang sahabat Nabi Muhammad, Bashir bin Sad pada suatu meminta beliau untuk bertindak sebagai saksi saat memberikan hadiah pada salah seorang anak laki-lakinya, Al-Nu'man. Nabi kemudian bertanya "Apakah engkau memberikan hadiah yang sama pada semua anak-anakmu? " Bashir mengatakan tidak. Kemudian nabi Muhammad SAW berkata "Aku tidak bisa bertindak sebagai saksi dari ketidakadilan" . Peristiwa tersebut mengajarkan kita bagaimana Rasulullah SAW sangat memperhatikan keadilan termasuk dalam memberikan hadiah terhadap anak-anak. Tentu saja sikap adil ini perlu kita cermati secara hati-hati , sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pula.

Insya Allah dengan doa dan ikhtiar yang kuat, didukung dengan suasana yang tenang, seorang istri akan mampu menggerakkan hati suaminya dan mengingatkan suaminya tentang dampak negative ketidakadilan terhadap perkembangan anak , khususnya yang diperlakukan secara tidak adil. Semoga ibu tetap semangat dan berusaha ‘melunakkan’ hati suami agar peka terhadap kebutuhan anak-anak akan kasih sayang. Insya Allah akan ada kemudahan. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar