Powered By Blogger

Selasa, 28 Februari 2012

AQIDAH

Bersyukur Adalah Tampilan Nyata Orang Beriman



Tidak jarang orang memahami istilah “syukur” itu sedemikian sederhana dan pragmatis. Seolah-olah kalau ada orang mau berterima kasih kepada Allali SwT dan mengucapkan lafal “al-hamdu li- ’llaahi rabbi-’l-’aalamiin” sudah dianggap cukup untuk disebut sebagai orang yang “bersyukur”. Apakah demikian itu pengertian “syukur” kalau dilihat dari perspektif orang beriman?

Dari perspektif orang beriman, bangunan atau struktur tampilan “syukur” itu memiliki 2 (dua) komponen inti, yaitu komponen “kesadaran memiliki Tuhan” dan komponen “kesadaran mengelola diri sendiri”. Setiap komponen inti tersebut memiliki subkomponen yang mau tidak mau harus ada dan harus dimunculkan. Bagaimana penjelasan rincinya?

Komponen inti yang pertama, yaitu “kesadaran memiliki Tuhan”. Kesadaran ini sungguh-sungguh penting. Bahwa dalam hidup ini perlu disadari adanya pihak yang senantiasa menemani. Tetapi sekaligus mengawasinya, yaitu Tuhan, Allah SwT.

Bagi orang beriman, karena dia selalu merasa ditemani dan diawasi oleh Tuhan, Allah SwT, maka apa pun yang diusahakan dan dikerjakan merasa dirinya bukan satusatunya yang berusaha atau bekerja. Temannya dan pengawasnya, yaitu Allah SwT ikut andil besar terhadap keseluruhan usaha dan pekerjaannya itu. Karena itu, komponen inti yang pertama, yaitu “kesadaran memiliki Tuhan” mengandung subkomponen yang jumlahnya 2 (dua) saja, yaitu: “sadar berterima kasih” dan “sadar untuk terus berdoa/memohon” .

Kalau di atas dikatakan bahwa setiap usaha dan pekerjaan itu terdapat andil dari Allah SwT. Sekarang pertanyaannya adalah “apakah Allah SwT memerlukan bagian dari keberhasilan tersebut?” Hal ini dijawab sendiri oleh Allah SwT lewat Al-Qur’an yang berbunyi (Q.s. Luqman [31]: 12): wa man yasykur fa innamaa yasykuru li nafsihi wa man kafara fi inna-‘l-laahaa ghaniyyun hamiidun = Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya (sendiri), dan barangsiapa kufur (tidak bersyukur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. Dengan pernyataan ayat ini, jelas ditunjukkan bahwa Allah SwT tidak minta bagian. Sebab Allah SwT adalah Dzat yang sudah Maha Kaya (ghaniyyun) dan yang sudah sangat Maha Terpuji. Karena itu, Allah SwT sudah tidak membutuhkan apa pun, termasuk pujian.

Selanjutnya, komponen inti yang kedua, yaitu “kesadaran mengelola diri sendiri”. Kesadaran ini sungguh-sungguh penting pula. Bahwa hidup kita, umatmanusia, senantiasa dipenuhi oleh bermunculannya keinginan. Keinginan yang paling tampak adalah keinginan memiliki dan keinginan menikmati. Keinginan memiliki ini meliputi jumlah/ kuantitas (misalnya tabungan uangnya banyak, rumahnya banyak, tanahnya luas, perusahaannya beranak-pinak, kesehatannya prima, dan sebagainya) dan mutu/ kualitas (misalnya terlihat indah, terdengar merdu, terbau harum, terasa enakmenyelerakan, terasa halus-empuk, terasa nyaman badan, terasa segar-bugar, terasa gembira-menyenangkan, terasa menyejukkan- menenangkan, dan sebagainya). Kalau berbagai keinginan ini dibiarkan, maka orang akan tergulung dan dipermainkan o.leh “sang keinginan” itu sendiri. Pada hakikatnya, justru keinginan itu sekedar energi dan semangat untuk melakukan gerak, usaha, dan bekerja, bukan sebagai tujuan. 0leh sebab itu, kalau sampai terjadi “sang keinginan” menjadi tujuan atau penyetirnya, maka kondisi seperti itu benarbenar terbalik secara hakiki.

Agar apa yang disebut “keinginan” di atas berjalan sebagaimana mestinya, wajar, dan proporsional, maka perlu 2 (dua) hal, yaitu: “membatasi medan keinginan” dan “menikmati secara maksimal hal yang dihadapi”. Yang dimaksud dengan “membatasi medan keinginan” ini adalah bahwa bertambahnya jumlah keinginan itu tidak terbatas. Apa saja diingini, terutama yang menyangkut keinginan “memiliki” dan “menikmati”. Pembatasannya adalah dengan memilah dan memilih, mana keinginan yang benar-benar perlu. Untuk proses memilah dan memilih ini faktor penalaran harus difungsikan, bukan faktor perasaan yang menjadi acuan. Inilah yang disinggung Al-Qur’an sebagai berikut (Q.s. Al-A’raf [7]: 31): wa kuluu wa’asy-rabuu wa laa tusrifun innahu laa yuhibbu-‘l-musyrifiina = Dan makanlah serta minumlah dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orangorang yang berlebih-lebihan.

Berkaitan dengan komponen inti yang kedua di atas, maka subkomponen yang harus ada adalah “membatasi medan keinginan” dan “menikmati secara maksimal hal yang dihadapi”. Dua subkomponen ini perlu dilatihkan dan dibiasakan.

Berdasarkan uraian menyeluruh di atas, maka bagi seorang yang beriman, pengertian “syukur” yang perlu diresapi adalah bahwa dalam perjalanan hidup ini perlu “kesadaran memiliki Tuhan” (komponen inti yang pertama) dan “kesadaran untuk mengelola diri sendiri” (komponen inti yang kedua). Kesadaran memiliki Tuhan akan mempertajam “rasa terima kasih” dan “menyatakan doa dan permohonan” kepada Tuhan. Selanjutnya, kesadaran mengelola diri sendiri akan mempertajam “pembatasan medan keinginan” dan kesanggupan “menikmati secara maksimal hal yang dihadapi”. Jadi, bersyukur tidak sekedar mengucapkan hamdalah (“al-hamdu li-’llaahi rabbi-’l-’aalamiin”) saja. Perlu lebih dalam daripada itu. Bagaimana dengan Anda selama ini?l







Khusyu’

Salah satu tanda keberuntungan orang beriman adalah jika dalam shalatnya dapat dilaksanakan dengan khusyu’. Dalam Al-Qur’an ditegaskan (Q.s. Al-Mu’minun [23]: 1-2): qad aflaha-‘l-mu’minuuna alladziina hum fii shalaatihim khaasyi’uuna = Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalat mereka. Lalu banyak orang bertanya, apa dan bagaimana yang disebut khusyu’ dalam shalat? Jawabannya memang bisa beragam. Salah satunya seperti yang dituliskan di bawah ini.

Dari segi bahasa, kata “khusyu’” berarti “tunduk” atau “merendah diri”. Artinya, perlakuan tunduk dan merendah diri tersebut didasarkan pada kesadaran bahwa dirinya memang dalam posisi lebih lemah dan lebih banyak kekurangan, sedangkan yang dihadapi adalah pihak yang kuat dan jauh lebih sempurna. Dalam Al-Qur’an kata “khusyu’” ini selalu dikaitkan dengan masalah ketuhanan. Karena itu arti dari “khusyu’” adalah tunduk dan merendah diri secara penuh kesadaran. Sebab yang dihadapi adalah Tuhan Yang Maha Kuat dan Maha Sempurna.

Bagaimana seseorang dapat mencapai derajat khusyu’ dalam shalatnya? Ada beberapa syarat yang bersifat teknis yang perlu dilakukan kalau seseorang ingin mencapai derajat khusyu’ dalam shalat. Pertama, sadar peka-waktu. Artinya, shalat segera dikerjakan kalau memang waktu shalat telah masuk dan diusahakan awal waktu. Dalam sebuah Hadits dituliskan sebagai berikut: ‘an ‘abdillaahi-’bni mas’uudin radliya-’llaahu ‘anhu qaala saaltu rasuula-’llaahi alla-’llaahu ‘alaihi wa sal-lama ayyu-’l-’amali ahabbu ila-‘llaahi qaala ash-shalaatu ’alaa waqtihaa qultu tsumma ayyun qaala al-jihaadu fii sabiili- ‘lllahi = Dari Abdullah bin Mas’ud ra (diceritakan bahwa) dia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw: Amal apa yang paling disukai Allah?” Rasulullah saw menjawab: “Shalat pada waktunya”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Rasulullah saw menjawab: “Berbuat kebajikan kepada kedua orangtua”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Rasulullah saw menjawab: “Berjuang di jalan Allah”, (Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim). Secara psikologis dapat ditebak, bahwa siapa saja peka-waktu terhadap pekerjaan yang dihadapi, maka berarti dia menampakkan kesungguh-sungguhannya dan menunjukkan penghargaan terhadap apa yang akan dikerjakannya itu. Karena itu, rumah dekat masjid/musholla/langgar, kalender waktu shalat, alarm HP waktu shalat, dan membawa arloji sungguh diutamakan bagi seorang Mukmin.

Kedua, berjamaah. Kata orang-orang bijak, bahwa beras menjadi putih karena antara butir-butir beras tersebut saling bergesekan satu dengan lain secara intensif ketika ditumbuk atau ketika dimasukkan ke dalam mesin slep beras. Kondisi berjamaah demikian juga. Dalam berjamaah diatur shaf/ baris dan kerekatannya. Setiap imam shalat sebelum takbir mulai shalat selalu mengatakan “shawwuu shufuufakum fa inna tashfiyata-’sh- shufuufi min tamaami- ’sh-shalaah” = Luruskan shaf-shafmu karena sesungguhnya lurusnya shaf-shaf itu dari tanda kesempurnaan shalat. Dengan berjamaah, satu orang; Mukmin dengan Mukmin lainnya bisa saling belajar dan meniru tentang kefasihan bacaan, ketenangan shalat, ketertiban shalat, kerapihan pakaian shalat, disiplin waktu shalat, dan sebagainya. Dengan demikian, setiap orang Mukmin akan dapat menutup kekurangannya dalam melaksanakan shalat. Itulah antara lain sebabnya pahala shalat berjamaah berlipat 27 (dua puluh tujuh) kali.

Ketiga, thuma’ninah. Artinya, shalat dilakukan dengan penuh ketenangan, tidak tergesa-gesa, tidak terburu-buru. Cukup waktu. Khususnya, ketika ruku’, sujud, dan duduk di antara dua sujud. Seperti diketahui, muatan shalat pada hakikatnya adalah doa yang memerlukan penghayatan.

Keempat, paham terjemahan bacaan. Bacaan dalam shalat bagian terbesar adalah pujian dan doa. Semuanya dalam bahasa Arab. Karena itu, agar orang yang melakukan shalat memahami apa isi dari pujian dan doa tersebut, maka perlu dipahami apa terjemahan dari ucapan pujian dan doa tersebut. Dengan memahami muatan bacaan, maka makin mantaplah shalat seseorang.

Sebab, bacaan dalam shalat bukanlah pengucapan yang bersifat mekanis tanpa pesan, makna, dan tujuan yang jelas. Melainkan sebuah pengungkapan batin yang bersifat fungsional dan dihayati secara mendalam. Karena itu, apa saja yang dibaca seharusnya sudah dipahami isinya. Keharusan membaca teks yang berbahasa Arab dalam shalat tidak seharusnya menipiskan keinginan untuk memahami isi bacaannya.

Kelima, hadir hati. Artinya, hati perlu dikonsentrasikan penuh dalam menghayati gerakan dan bacaan shalat seluruhnya. Bahwa antara gerak shalat dan bacaan shalat ada ikatan yang saling menali (talitemali). Isi bacaan sangat mungkin dapat lebih ditangkap dengan pemahaman simbolik terhadap gerak shalat. Bacaan ruku’, misalnya, dapat lebih dipahami dan dihayati kalau orang makin mendalami makna simbolik dari gerak ruku’ yang dilakukannya. Di situlah hati akan hadir dan hati tidak akan terganggu oleh faktor-faktor lainnya.

Jadi, khusyu’ itu merupakan kondisi atau derajat batin yang disuasanai rasa tunduk dan merendah diri di hadapan Allah SwT. Untuk meraihnya dapat dipakai cara-cara yang bersifat teknis yang 5 (lima) macamnya di atas. Insya Allah, kalau kelima macam cara tersebut sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya, rasa khusyu’ akan sangat mungkin diraih. Wallaahu a’lam bishshawaab.








Gerak Iman

Seperti pernah penulis tulis dalam majalah ini beberapa waktu yang lalu, bahwa apa yang disebut “perubahan” tidak pernah dapat dihindari dalam perjalanan hidup dan kehidupan manusia. Mau tak mau, suka atau tidak, siapa saja pasti akan menghadapi apa yang disebut “perubahan” itu. Paling tidak ada 2 (dua) pilihan yang harus diputuskan ketika menghadapi fenomena “perubahan”, yaitu bersikap pasif dalam menghadapinya dengan resiko akan ada kemungkinan digulung oleh “perubahan” itu sendiri, atau bersikap pro aktif dalam menghadapinya dengan keuntungan ada kemungkinan mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik lagi.

Pada hakikatnya, terjadinya seluruh perubahan di kalangan makhluk, manusia terutama, adalah disebabkan adanya “gerak” di dalamnya. Apakah yang disebut “gerak” yang begitu menentukan dalam seluruh proses perubahan tersebut?

Ada sekurang-kurangnya 3 (tiga) dimensi yang dipahami dan disadari oleh manusia, yaitu: ruang (space), waktu (time), dan kekuatan (energy). Jika dimensi ruang, waktu, dan kekuatan ini saling berkait dan dekerja, maka timbullah apa yang disebut “gerak” itu. Dimensi ruang dapat diukur lewat satuan-satuan ukuran (panjang, lebar, tinggi, besaran/volume, luas). Misalnya milimeter (mm), centimeter (cm), meter (m), hektare (ha), kilometer persegi (km), dan sebagainya. Sementara itu dimensi waktu diukur lewat “pengertian waktu” (dahulu, sekarang, yang akan datang) atau lewat satuan-satuan ukuran (seperti detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, abad, millenium).

Sedangkan dimensi kekuatan diukur lewat satuan-satuan ukuran seperti ampere (A), watt (W), ohm (W) kecepatan cahaya (c), medan elektrik (E)t dan sebagainya. Sementara itu, dalam pengertian sederhana sehari-hari, disebutlah istilah-istilah “perubahanruang/tempat”, “perubahan waktu”, “perubahan tenaga”, “perubahan keadaan/ kondisi”, “perubahan suasana”, dan sebagainya.

Untuk menghasilkan “gerak” seperti disebutkan di atas, maka faktor dimensi kekuatan (energi) mestilah harus dikedepankan dan difungsionalisasikan secara nyata. Teknik praktis untuk memfungsionalisasikan dimensi kekuatan (energy) tersebut secara urut dan berjenjang meliputi: iradat/ kehendak, niat, rencana/planning, program, dan aksi. Pertama, iradat/kehendak. Asal iradat/kehendak ini adalah keinginan. Kehendak itu pada hakikatnya adalah hasil perasan dari berbagai keinginan yang berkembang. Jumlah iradat/kehendak ini sudah relatif lebih terbatas di bandingkan jumlah keinginan yang ncul yang tidak habis- habisnya. Kedua, niat. Niat pada hakikatnya adalah kehendak yang telah memuncak. Jumlahnya lebih sedikit lagi. Ketiga, rencana/planning. Rencana adalah penetapan berbagai niat yang mulai dinyatakan dalam tampilan, misalnya diucapkan atau dituliskan. Keempat, program. Program adalah rencana yang telah ditapis/dipilih dan disusun secara sistematis serta telah ditetapkan tahapan-tahapan pelaksanaannya berikut segala kemungkinan yang terjadi. Kelima, aksi. Aksi adalah pelaksanaan program sesuai dengan kisi-kisi yang termuat dalam program. Kelima hal inilah yang perlu diurutkan pelaksanaannya jika seseorang ingin menghasilkan “gerak” apa pun juga.

Seringkali dalam kehidupan sehari-hari terdengar keluhan, bahwa dirinya telah gagal meraih sesuatu. Namun, setelah ditelusuri, ternyata orang yang bersangkutan baru melaksanakan beberapa komponen saja dari kelima komponen di atas. Misalnya, ada yang hanya sekedar memiliki iradat/ kehendak dan niat, tetapi dia gagal atau tidak bersemangat menyusul rencana/planning yang baik. Yang lain lagi ternyata kegagalannya disebabkan tidak urutnya pelaksanaan dari kelima komponen di atas.Misalnya, ada orang punya iradat/kehendak, namun langsung dia lakukan aksi. Dia tidak mempedulikan komponen niat, rencana/ planning, apalagi program yang jelas.

Bagi orang beriman ada sebuah renungan yang terdapat dalam Al-Qur’an yang berbunyi demikian (Q.s. Al-Baqarah [2]: 225): laa yuaakhidzukumu-’l-laahu bi- ‘l-laghwi fii aimaani-kum wa laakin yuaakhidzukum bi maa kasabat quluubukum = Dia (Allah) tidak menghukum kamu karena sumpahmu yang tidak kamu sengaja. Tetapi Dia (Allah) akan menghukum kamu karena apa yang diperbuat hati-hati kamu. Yang dimaksud “apa yang diperbuat hatihati kamu” di sini adalah niat. Karena itu, bagi orang beriman masalah niat menjadi hal yang begitu penting. Dalam niat benih untuk “gerak” sudah mulai berjalan. Bak sebuah kerja mesin, maka roda-rodanya sudah mulai berputar antara satu dengan yang lain. Tinggal meneruskan menjadi rencana/planning, program, dan akhirnya aksi. Karena itu pula, bagi orang beriman memiliki “niat” itu penting sekali kalau ingin dirinya berubah. Orang beriman tidak sekadar dianjurkan agar kaya keinginan atau hidup di bawah bayang-bayang mimpi saja, melainkan harus segera diperas menjadi iradat/kehendak dan tegas dalam bentuk niat.

Jika diteliti lebih mendalam, ternyata benar bahwa mulai dari komponen “niat” tumbuhnya energi secara fungsional. Karena itu benarlah sabda Nabi yang mengatakan: innama-’l-a’maalu bi-’n-niyyati wa innamaa li-imri-in maa na-waa = Bahwasanya segala amal itu tergantung niatnya dan bahwasanya bagi seseorang manusia tergantung apa yang telah diniatkannya. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). Niat adalah kerja konkret hati. Di sinilah, mulainya gerak untuk mengubah apa saja bagi diri manusia untukmasa-masa selanjutnya dalam hidup dan kehidupannya. Orang beriman diberikesempatan untuk melakukan “gerak” yang dinahkodai oleh niat yang ada dalam hatinya. Wallahu a’lam bishshawaab.






Orang Beriman Mengawal Kekuasaan Allah

Menurut Al-Qur’an, kesadaran tentang “kekuasaan” itu tidak dapat dilepaskan dari diri manusia. Dikatakan dalam Al-Qur’an, bahwa sekalipun kedudukan manusia itu ditegaskan sebagai “hamba” (Adz-Dzaariyaat [51]: 56), namun manusia dianugerahi peranan sebagai “khalifah” Allah SwT, yaitu sebagai wakil atau pengemban amanah Allah SwT di planet bumi yang atu-satunya ini (Al-Baqarah [2]: 30) yang memiliki tugas sebagai “musta’mir” atau pemakmur di planet bumi itu sendiri (Hud [11]: 61). Sebab, segala isi planet bumi itu memang disediakan Allah SwT untuk manusia seluruhnya, bukan untuk makhluk yang lain (Al-Baqarah [3]: 29), makhluk jin misalnya. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau manusia memiliki naluri mengejar, ingin memiliki, dan ingin menikmati “kekuasaan” di atas planet bumi ini ketika mereka masih hidup.

Sungguhpun manusia dianugerahi Allah SwT naluri ingin berkuasa di atas, namun hakikat dan operasionalisasi kekuasaan yang dianugerahkan tersebut perlu dipahami dan disadari sepenuhnya oleh manusia. Sebab, kalau tidak demikian, justru kekuasaan yang ingin dikejarnya, dimilikinya, dan dinikmatinya itu akan menyerang balik kepada dirinya sendiri yang sifatnya kontra produktif. Misalnya jatuh dari kursi kekuasaan dalam keadaan malu dan terhina, akan menjadi cacat hidup selamalamanya, akan menjadi pemusnah manusia, akan membuat penderitaan tak terperikan bagi berjuta-juta manusia yang lain, dan bahkan menjadi penyebab rusaknya lingkungan hidup dan keseimbangan diplanet bumi yang sekali lagi, satu-satunya ini. Ungkapan tersebut dapat dibuktikan kalau orang mau membuka lembaran-lembaran catatan sejarah yang telah dipublikasikan selama ini.

Apa hakikat “kekuasaan“ yang dianugerahkan Allah SwT kepada manusia itu? Kekuasaan yang dimiliki manusia adalah kekuasaan yang diwakilkan oleh Allah SwT yang dalam kekuasaan tersebut dipenuhi rasa tanggungjawab yang sangat berat yang meliputi wajib memakmurkan kehidupan di planet bumi, menjaga hukum-hukum keseimbangan alam (Ar-Rahman [55]: 7- 9), dan menjaga dari kerusakan lingkungan (Ar-Ruum [30]: 41). Perlu ditegaskan di sini, yang dimaksud “kekuasaan” di sini bukan sekedar kekuasaan karena sistem aturan politik (seperti kekuasaan yang melekat pada jabatan selaku Presiden, Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan semacamnya), organisasi ekonomi (seperti selaku Komisaris, Direktur, dan semacamnya), organisasi militer (seperti selaku Panglima, Komandan Peleton, dan semacamnya), organisasi sosial pada umumnya (seperti Ketua, Sekretaris, Bendahara, Koordinator Seksi, dan semacamnya), melainkan juga kekuasaan yang melekat setiap individu, seperti kebebasan usaha untuk “memiliki” (baca: nafsu memiliki), untuk “menikmati” (baca: nafsu menikmati), dan nafsu “mengatur”.

Selanjutnya, bagaimana operasionalisasi “kekuasaan” itu mengingat batasan (definisi) “kekuasaan” yang terumus di atas? Bahwa betapapun besar dan kuatnya kekuasaan yang dimiliki, apakah itu kekuasaan yang melekat pada setiap diri individu manusia, atau kekuasaan karena aturan sistem, menurut Al-Qur’an, tetaplah kekuasaan tersebut titipan Allah SwT, Sang Maha Penguasa Alam Semesta ini. Karena itu, untuk mengoperasionalkan kekuasaan yang dimiliki, maka manusia tetap terikat oleh koridor aturan dan petunjuk dari Allah SwT, Tuhan yang telah memberikan wewenang (kekhalifahan) kepada manusia. Jadi, pengoperasionalan kekuasaan tidakuntuk memuaskan nafsu-kuasa/ mengatur, nafsu memiliki, dan nafsu menikmati, selainkan sebagai wujud rasa tanggungjawab yang besar terhadap pemilik kekuasaan yang sebenarnya, yang sejatinya, yaitu Allah SwT. Oleh karena itu, siapa pun orangnya kalau ingin disebut pemegang “kekuasaan” dalam arti yang sesungguh-sungguhnya adalah orang yang benar-benar menyadari bahwa dirinya hanyalah selaku pelaksana kekuasaan Allah SwT di planet bumi ini dan tidak pernah terbersit sedikit pun dalam hatinya bahwa dirinya memiliki kekuasaan yang sepenuh-penuhnya, sebebasnya. Atau dengan lain perkataan, pemegang “kekuasaan” yang dalam arti yang sesungguh-sungguhnya adalah pemegang kekuasaan yang beriman. Sebab, sifat dan kebiasaan orang yang benar-benar beriman (Mukmin) adalah senantiasa berkonsultasi dan melaporkan segala tindakan dan perbuatannya kepada Allah SwT misalnya lewat dzikir (mengingat secara fungsional atas Kekuasaan Allah dan hasilnya kalau taat kepada-Nya serta akibatnya kalau melenceng dari aturan-Nya), doa, dan disiplin shalat dengan khusyu’.

Berdasar uraian di atas, dapat ditarik pengertian bahwa hanya orang berimanlah yang tahu persis dalam memahami hakikat kekuasaan dan bagaimana pemanfaatan kekuasaan dalam proses-proses operasionalisasinya. Oleh karena itu, sejajar dengan posisi orang yang beriraan tersebut, maka orang beriman juga merasa bertugas untuk mengawal “kekuasaan” yang telah dianugerahkan Allah SwT kepada manusia tersebut agar dipegang dan dijalankan sebagaimana mestinya, sesuai dengan koridor aturan Allah SwT. Siapa pun yang memegang kekuasaan, maka orang beriman yang lain ada kewajiban untuk mengontrol apakah kekuasaan tersebut dijalankan secara benar menurut koridor aturan Allah SwT. Seperti berbuat adil, menyejahterakan orang/rakyat yang dipimpin, menepati janji-janji yang telah diucapkan, dan sebagainya. ataukah belum atau bahkan tidak. Itulah pekerti orang yang beriman. Wallaahu a’lam bishshawaab.







Doa Sebagai Pertahanan Pertama dan Utama Orang Beriman

Dewasa ini, bahkan kapan saja dan di mana saja, sering dijumpai manusia yang mengalami depresi kejiwaan. Sebab-sebab luar yang menekannya bermacam-macam, searah dengan problem-problem hidup yang dihadapi oleh setiap person orang. Sebenarnya, kejiwaan manusia itu cenderung sehat dan kuat. Apalagi agama, terutama agama Islam, telah memberikan bekal-bekal mental untuk mempertahankan kesehatan dan kekuatan kejiwaan manusia itu.

Kalau dilacak ke belakang, zamanyang pernah dijalani umat manusia meliputi zaman pertanian, zaman perdagangan, dan yang terakhir zaman komunikasi. Demikian secara umum pendapat Alvin Toffler. Zaman pertanian dibarengi dengan zaman nelayan dan peternakan. Zaman pertanian ini ditandai dengan kehidupan yang diwarnai serba guyub, rukun, berkumpul, dan bekerjasama. Dalam zaman seperti ini diduga kecenderungan mementingkan diri sendiri yang berujung pada kecenderungan sifat menindas relatif sangat tipis. Justru, kecenderungan saling memperhatikan kepentingan bersama dan saling melindungi adalah yang sangat tebal. Diduga pula, pada zaman seperti ini kesehatan kejiwaan manusianya relatif baik. Kebutuhan tiru-meniru untuk memperbaiki kehidupan masih setimbang dengan kebutuhan hidup sederhana menurut zaman itu.

Zaman perdagangan dimulai dari model barter (tukar barang), berlanjut pada perniagaan (jual-beli beralat tukar uang), dan berujung pada kegiatan industri (produksi barang dan jasa). Zaman perdagangan ini ditandai dengan kehidupan yang diwarnai serba pamrih, kerja-upah, untung-rugi, kaya-miskin, kuat-lemah, menang-kalah, dan penuh dengan persaingan. Dalam zaman seperti ini diduga kecenderungan mementingkan diri sendiri (individualisme) yang berujung pada kecenderungan sifat menindas menjadi makin menebal. Orang berkecenderungan untuk bersikap cuek (apriori) kepada nasib orang lain dan kalau perlu berusaha menghalangi orang lain agar tidak menjadi besar serta menjadi rival. Karena itu, diduga, zaman seperti ini akan mudah menyebabkan manusianya menjadi sakit kejiwaannya, yang satu pihak menjadi manusia penindas dengan segala macam atribut dan sifat buruknya, di pihak yang lain menyebabkan munculnya manusia yang merasa tertindas dengan segala akibat dan sifat negatifnya pula. Kecenderungan untuk tiru-meniru bukan lagi sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup secara wajar, melainkan justru berusaha saling mengintai untuk menjatuhkan lawan atau saingannya dan memenangkan persaingan untuk dirinya sendiri. Muncullah symbol-simbol kemewahan hidup dan budaya mercusuar sebagai tanda kesuksesan dalam persaingan.

Zaman komunikasi yang ditopang oleh zaman teknologi merupakan “zaman instrumen” yang dapat dimanfaatkan oleh zaman pertanian dan zaman perdagangan. Tetapi dalam praktiknya ternyata zaman perdagangan yang lebih memanfaatkannya. Oleh karena itu wajar kalau persaingan makin mengeras dan makin masif di satu sisi, di sisi lain daya tindas yang dibarengi meluasnya simbol-simbol kemewahan dan budaya mercusuar juga tampak nyata serta masif pula. Dalam zaman perdagangan yang ditopang zaman komunikasi seperti saat ini, tampak dengan jelas makin tidak sehatnya kejiwaan rnanusianya. Bagi pihak yang kaya-kuatuntung besar-menang, hampir-hampir makin tak terkendali ketidaksehatan jiwanya. Seperti, mengunci, mengintervensi, memblokade, memboikot, membatasi, dan sebagainya terhadap pihak yang dianggap musuh atau rivalnya. Sebaliknya, pihak yang miskin-lemah-rugi-kalah, makin terluka dan frustrasi. Bagaimana seharusnya bagi orang beriman dalam suasana seperti itu?

Al-Qur’an menyatakan, orang beriman itu “berteman dekat” dengan Allah SwT. Karena memang, Allah SwT itu sangat dekat dengan manusia (Al-Baqarah [2]: 186; Qaf [50]: 16; Al-Waqi’ah [56]: 85). Orang beriman sangat yakin bahwa Allah SwT senantiasa “siap memberi kalau ada permohonan” (aplikasi sifat Rahman-Nya) dan senantiasa “telah memberi walaupun tidak ada permohonan” (aplikasi sifat Rahim-Nya). Orang beriman makin bertambah-tambah rasa yakinnya untuk benar-benar berteman dekat dengan Allah SwT, sebab Allah SwT menyatakan sendiri bahwa Dia siap memberi kalau ada permohonan atau doa, tentu saja doa yang bersungguh-sungguh yang dibarengi dengan ketaatan kepada-Nya secara sungguh-sungguh dan memperdalam keimanannya terhadap-Nya secara bersungguh-sungguh pula (Al-Baqarah [2]: 186).

Hingar bingar kehidupan zaman komunikasi saat ini gampang sekali menyebabkan seseorang merasa “tersingkir” (tereliminasi), “kehilangan teman”, “kesepian”, “terasing”, “dingin”, “tidak berdaya”, “tidak bermasa depan”, “bingung”, “frustrasi”, “buntu”, dan “pesimis”. Dengan berteman dekat dengan Allah SwT, seseorang dapat berdialog lewat membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang isinya bertaburan dengan nasihat, petunjuk, pengarahan, dan kabar gembira, yang dengan demikian itu orang beriman akan merasa “diorangkan”, “punya teman”, “di tengah keramaian”, “seperti di rumah sendiri”, “hangat”, “penuh kemampuan”, “bermasa depan cerah”, “mantap”, “tenang”, “mampu memecahkan masalah”, dan “optimis”. Begitulah, kira-kira gambarannya. Apakah penghayatan keimanan kita telah kita pertahankan lewat doa yang manfaatnya seperti itu?
Wallaahu a’lam bishshawaab.






Hidup Menjaga Martabat

Kehidupan dewasa ini sebenarnya merupakan daur ulang kehidupan masa lalu. Dalam Ilmu Sejarah dikatakan, bahwa sebenarnya sejarah manusia itu berulang, walaupun di sana-sini ada perubahan baru. Daur ulang yang berperubahan baru tersebut disebut daur spiral.

Pada zaman sebelum Al-Qur’an diturunkan di Makkah kepada Rasulullah Muhammad saw, orang-orang Quraisy memiliki kebiasaan berdagang antara Yaman dan Syam (Syria) yang kota Makkah sebagaikota transitonya (Quraisy [106]: 1- 2). Kehidupan berdagang pada waktu itu berlaugsung keras yang bercirikan persaingan antarsuku dan kafilah, suasana wilayah Semenanjung Arab yang memiliki iklim yang sering kali ekstrem (kalau sedang beriklim panas, maka udaranya sangat panas dan kalau sedang beriklim dingin, maka udaranya sangat dingin), dan watak yang terbentuk yang serba keras seperti suka berperang, merampas kemerdekaan suku lain, mengurangi ukuran dan timbangan, dan sebagainya. Dalam kondisi kehidupan seperti itu, logis kalau banyak orang mencari berbagai macam cara agar keselamatan dalam kehidupan berdagangnya terjaga dan ketakutannya menghadapi segala macam cobaan hidup yang keras di atas menjadi menipis, bahkan sampai hilang sama sekali. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah menuju sesembahan berupa berhala yang dibuat dari bebatuan atau bahkan dari gundukan pasir (Majid ‘Ali Khan, Muhammad saw, 1985: 30). Jumlah berhala yang diletakkan mengelilingi bangunan Kakbah tidak kurang dari 360buah banyaknya, demikian menurut Majid ‘Ali Khan. Mula-mula berhala itu dianggap hanya sekedar “perantara” pormohonan kepada Tuhan, lama-lama berubah menjadi benda-benda yang dipertuhankan.

Ketika benda-benda berhala di atas telah dianggap sebagai “Tuhan”, pada hakikatnya potensi nalar masyarakat Arab waktu itu telah “mati”. Bayangan-bayangan metafisis dan kegaiban yang tidak jelas arahnya dan tidak jelas pula pengertiannya berseliweran dalam ruang batin masyarakat Arab waktu itu. Lalu oleh para sejarawan disebutlah dengan istilah zaman “ jahiliah”, zaman “kebodohan”. Dalam kondisi seperti ini dapat dikatakan manusia Arab pada waktu itu telah “jatuh martabatnya” di depan benda-benda berhala. Lebih tinggi martabat benda berhala dibandingkan dengan sifat kemanusiaan manusia Arab waktu itu.

Menghadapi realitas keyakinan yang sangat memerosotkan martabat kemanusiaan manusia seperti di atas, Allah SwT tidak menghendakinya terus-menerus terjadi. Maka, Allah SwT berkenan melenyapkan kondisi yang sangat tidak sewajarnya itu dengan menurunkan ajaran wahyu berupa perintah agar memegang teguh keyakinan tauhid (keyakinan meng-Esakan Allah SwT) dan hanya beribadah kepada Allah SwT yang bersifat gaib, yaitu berupa Dzat Yang Maha Suci dan Maha Tinggi serta Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur seluruh isi alam semesta ini (Quraisy [106]: 3). Dengan ajaran tauhid tersebut diputar kembali setinggi 180° dari posisi manusia yang begitu rendah di depan batu atau benda berhala menjadi berposisi luhur di depan makhluk apapun wujudnya di atas bumi ini, bahkan di ruang alam semesta yang luasnya tak terkira ini. Seluruh isi planet bumi ini diserahkan Allah SwT kepada manusia, terserah untuk keperluan apa dan diperlakukan seperti apa pun pula, asal bersitat ma’ruf, positif, konstruktif, dan produktif (Al-Baqarah [2]: 29).

Dewasa ini, awal abad ke-21 Masehi ini, tampaknya “berhala-berhala baru” bermunculan di sana-sini dalam kehidupan. Kalau diamati secara lebih mendalam, berhala- berhala baru tersebut meliputi, pertama, paham-paham atau isme-isme yang murni diproduksi oleh penalaran yang tidak/kurang dijiwai cahaya ketuhanan. Contohnya, seperti materialisme (paham yang menekankan keunggulan faktor-faktor material di atas hal-hal yang bersifat spiritual yang terkandung dalam metafisika, nilai, fisiologi, epistemologi, penjelasan historis; Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 1996: 593), kapitalisme (paham yang menekankan peranan kapital/modal dalam produksi barang; Lorens Bagus, ibid.: 391), dan hedonisme (paham yang menyatakan bahwa kesenangan dan kenikmatan hidup merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia; Lorens Bagus, ibid.: 232). Kedua, ilmu pengetahuan dan anak kandungnya, yaitu teknologi. Contohnya, seperti teori (yang telah terbukti atau masih hipotetis), rumus (berupa dalil, postulat, aksioma), dan kerja istern (berupa metodologi, manajemen, dan analisis proses). Ketiga, aktivitas globalisasi. Perwujudan globalisasi menjurus pada perjuangan kepentingan yang bertopeng humanisme (semacam hak-hak asasi manusia/HAM, kelestarian lingkungan hidup, etika global) dalam tampilan hegemoni ekonomi, proteksi terselubung, imperialisme baru terselubung.

Ketiga hal di atas, menurut penulis, yang menjadi berhala baru bagi masyarakat dunia saat ini. Dalam berhala-berhala baru tersebut, masalah “Tuhan” dan “agama” hanya dianggap sebagai faktor pinggiran, bukan faktor pusat dan faktor penentu. Agama Islam tegas menyatakan keyakinan tauhid adalah faktor penjaga martabat manusia dari godaan dan gangguan berhala- berhala apa saja, di mana, dan kapan saja. Bagaimana dengan kita?
Wallaahu a’lam bishshawaab







Meneguhkan Ketauhidan Di Tengah Arus Kehidupan Sekuler

Istilah "sekuler" berasal dari kata Latin,"saeculum" yang berarti "a generation, age", sebuah generasi, zaman (lihat: Webster's New Twentieth Century Dictionary Unabridged, 1979, halaman 1641). Dalam perkembangannya, istilah tersebut mengerucut menjadi sebuah istilah yang muatannya bersangkutan dengan masalah "dunia" atau hal-hal bendawi yang tidak berkaitan dengan masalah spiritualikerohanian atau hal-hal yang sifatnya "suci"(sacred) (lihat: Ibid.). Tegasnya, hal-hal yang hanya bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian (lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, halaman 1015).

Dengan demikian, yang dimaksud istilah "kehidupan sekuler" di sini adalah kehidupan yang diselimuti serba duniawi, serba kebendaan, serba kebutuhan hidup yang sifatnya hanya fisik. Pada intinya, yang terkandung dalam kehidupan sekuler itu adalah tuntutan hidup yang senantiasa diorientasikan atau dikaitkaitkan secara melekat pada tuntutan yang bersifat ekonomi. Umat Islam Nusantara khususnya, bangsa Indonesia umumnya, dalam kesejarahannya telah mengalami pahitnya kehidupan akibat dari keserakahan yang sifatnya ekonomis ini. Umat Islam Nusantara pemah mengalami zaman kolonialisme dan sekaligus imperialisme sejak kedatangan pelaut Belanda, Cornelis deHoutman di Banten (tahun 1596) sampai diproklamasikan kemerdekaan Negara Republik Indonesia (17 Agustus 1945), yang oleh DR (HC) Ir Sukarno dihitung 350 tahun lamanya. Negeri Nusantara pernah direbut dan diaku wilayah teritorialnya oleh Belanda (karena itu disebut dikolonialisasi) dan sekaligus dikuasai secara penuh pengelolaannya, baik di bidang kekayaan maupun pengaturan masyarakatnya (karena itu disebut imperialisasi).

Kolonialisme dan imperialisme merupakan wujud konkret dari berlebih-lebihannya orientasi hidup kebendaan atau duniawi di atas. Karena itu, sifat keserakahan, kelobaan, dan ketamakan menjadi watak yang cukup membekas dalam masyarakat. Masyarakat yang terjajah akibat kolonialisasi dan imperialisasi menjadi trauma dari satu segi, namun dari segilain justru mendambakan hidup duniawi yang serba melimpah. Sayangnya dambaan hidup semacam itu melahirkan sifat-sifat yang kurang baik, seperti ingin serba cepat untuk meraih sesuatu. Maka muncullah kesukaan hidup menerabas, tidak menurut tahapan-tahapan secara teratur, ingin serba instant (seketika), menyuap, menyogok, korupsi, dan sebagainya. Jadi, terjadi kondisi yang serba paradoks. Di satu sisi trauma terhadap penderitaan tersebab penjajahan, sepertikemiskinan, kesengsaraan, ketertekanan, kehilangan hak, kehilangan kebebasan, dan sebagainya, namun di sisi lain justru timbul kecenderungan untuk haus harta benda, haus kekayaan melimpah, berkebebasan tak terkendali, haus kekuasaan, dan sebagainya. Sifat yang berwajah paradoks (kesebalikan) seperti ini sangat terlihat jelas pada saat ini.

Zaman globalisasi saat ini, yang lagi-lagi latar belakangnya juga bertumpu pada keserakahan ekonomis pada intinya, tampaknya membuat sifat paradoks tersebut makin sulit dieliminasi atau dilenyapkan. Bagaimana Al-Qur'an berbicara tentang sifat paradoks semacam itu? Garapan Al-Qur'an adalah "manusia", bukan makhluk yang lain di planet bumi yang satu-satunya ini. Sebab, apa saja yang menjadi isi planet bumi ini, seluruhnya untuk kepentingan manusia (Al-Baqarah [2j: 29). Benda mati (beku, cair, gas, eter), benda tumbuh (tumbuh-tumbuhan), dan benda hidup (hewan, binatang), seluruhnya untuk kepentingan manusia. Karena itu yang justru penting adalah mengendalikan manusia nya. Sementara itu dalam diri manusia ada faktor "nafs" yang salah satu pengertiannya adalah "dorongan hawa nafsu"(An-Nazi'at[79): 40).

Dorongan hawa nafsu y ang bekerja pada diri manusia tersebut sungguh senantiasa mendorong manusia untuk berbuat buruk (Yusuf [12): 53). Misalnya mengerjakan hal-hal yang bertentangan dengan aturan Allah SwT. Bahkan, sampai ada orang yang justru menyembah atau taat mati-matian terhadap hawa nafsunya, atau dengan kata lain telah mempertuhan terhadap hawa nafsunya. Orang semacam itu, oleh Al-Qur'an disebut orang yang tidak mau menggunakan pendengaran (telinga) untuk mendengar nasihat kebenaran dan tidak mau menggunakan kemampuan akalnya yang menalar dan merenungkan kebenaran, yang karena itu orang tersebut bagaikan bewan ternak, atau malahan lebih sesat daripada itu (Al-Furqan [25]: 43-44).

Secara normatif Al-Qur'an menyatakan, bahwa agar seseorang tidak dikendalikan oleh "nafs"(hawa nafsu) seperti tersebut di atas, maka satu-satunya cara untuk melepaskannya adalah dengan "dzikir" (ingat) kepada Allah SwT. Dan "ghaflah" (lalai, abai, lupa) kepada Allah SwT merupakan kondisi rohani yang kelewatan (Al-Kahfi [18): 28). Orang hatinya tergetar dan senantiasa ingat kepada Allah SwT ialah sebagai tanda dia adalah orang beriman. Tauhid, atau keyakinan penuh terhadap Allah SwT yang Maha Tunggal, akan mampu membuat jarak yang signifikan terhadap keinginan duniawi yang berlebih-lebihan itu. Sebaliknya, siapa orang yang lebih dekat hatinya pada hawa nafsunya (nafs), maka dia akan makin tergulung oleh lumpur keinginan duniawi tersebut.

Orang beriman, bertauhid, dia telah berusaha untuk menarik dirinya "ke atas" agar terkendali dari daya tarik hawa nafsu. Sebaliknya, jika dzikir kepada Tuhan Yang Maha Tunggallemah, maka menguatlah daya tarik (gravitasi) untuk masuk lumpur hawa nafsu. Kehidupan sekuler ini sangat kuat tarikan gravitasi hawa nafsunya. Karena itu penguatan iman, dzikir, lewat ibadah mahdlah, seperti shalat yang berintikan dzikr" menjadi sangat penting di tengah-tengah kehidupan sekuler tersebut (Thaha [20}: 14). Wallaahu a'lam bishshawaab






Islam Agama Hanif

Alam kehidupan sehari-hari terkadang kita masih melihat praktik-praktik ke-Islaman yang masih jauh dari Islam yang sesungguhnya. Misalnya, orang Muslim yang setiap hari melakukan shalat namun selesai shalat masih suka menipu, mencuri, korupsi, berbuat maksiat dan lain sebagainya.Atau misalnya orang Muslim yang mengaku sebagai insan yang paling memegang kuat syariah Islam namun dalam mendakwahkan ajaran Islam masih menggunakan kekerasan dan bukan dengan jalan kedamaian.

Atau kita sering melihat banyak orang yang menekuni ilmu ke-Islaman, namun ilmunya masih berhenti pada tataran teori dan sama sekali tidak terwujud dalam kehidupannya sehari-hari. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa banyak umat Islam saat ini yang mengaku Islam namun pada hakekatnya belum memahami Islam sebenarnya. Meyakini Islam tapi baru sebatas pada simbol keislaman dan sama sekali belum menyentuh aspek riil dalam keber-Islamannya. Salah satu penyebab yang melatarbelakangi hal itu adalah adanya pengabaian akan pemahaman yang utub terhadap paradigma Islam sebagai agama yang hanif.

Dalam Al-Qur'an, kata hanfftelah diulang dalam berbagai ayat sebanyak sepuluh kali, sedangkan kata hunafâ'diulang selama dua kali. Kata hanif dalam Al-Qur'an biasanya diterjemahkan dengan kata lurus. Sehingga, agama yang hanif adalahagamayanglurus.Atauterkadang dimaknai dengan makna condong. Maka, agama Islam yang hanif adalah agama yang lurus menuju Tuhan, dan atau condong hanya kepada Tuhan yang satu, tidak membelok kepada yang lain. Sebab itu pula maka agama hanif adalah agama tauhid. Itulah agama yang dibawa Nabi Ibrahim, sebagai bapak para Nabi. Dalam surat Al-Baqarah ayat 135 misalnya, disebutkan:

Katakanlah: Bahkan agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia dari orang- orang yang musyrik. Oleh sebab itu, agama Nabi Ibrahim as adalah agama yang lurus hanya kepada Allah. Sehingga Nabi Ibrahim bukanlah seseorang yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Kerangka dasar paradigma keberagamaan ini sangat jelas dan seharusnya menjadi dasar berpikir dan berbuat bagi umat Muslim seluruhnya.

Untuk memahami Islam sebagai agama hanif kita juga perlu melihat secara historis sebuah gerakan yang muncul di tengah masyarakat Arab yang dahulu disebut sebagai gerakan al-Hanafiyah. Letak penting gerakan ini ada pada kemunculannya di masa transisi, dari masa pra-Islam me nuju masa Islam.

Pada waktu itu, penyebaran al-Hanafiyah yang diikuti oleh sebagian para tokoh, para cendekiawan, para penyair dan orang- orang yang tercerahkan merupakan gerakan revolusioner yang pemah muncul sebe lum diutusnya Nabi Muhammad saw. Fe nomena munculnya gerakan al-Hanafiy yah ini merupakan realitas sejarah yang tak mungkin dihindari. Bahkan hal tersebut merupakan keharusan karena kebutuhan masyarakat terhadap perubahan yang lebih baik dan untuk meninggalkan budaya kejahiliahan yang telah merajalela.

Masyarakat ketika itu dihadapkan dengan kekuatan-kekuatan produktivitasyang terus berkembang, baik produktivitas dalam perdagangan, perindustrian maupun dalam pertanian. Bahkan perkampungan yang kecil berubah menjadi besar, aktivitas kehidupan yang semakin aktif dan dinamika kehidupan yang begitu cepat, semuanya memaksa terjadinya percepatan perubahan dalam masyarakat.

Dengan demikian gerakan al-Hanafiy-yah tersebut merupakan kumpulan dari al-hunafâ', yaitu orang-orang yang dengan segenap kemampuan dan keistimewaan yang ada pada dirinya, baik itu kecerdasan akainya, pengetahuannya, yang menumbuhkan sikap kritis terhadap berbagai problem kehidupan manusia. Oleh karenanya, mereka tercirikan sebagai orang-orang yang relatif lebih terpelajar dan memiliki budi pekerti yang baik. Mereka juga menolak menyembah berhala karena dipandang sebagai suatu hal yang menyimpang dan sia-sia. Dengan itu mereka lebih condong untuk menyerukan kepada ke-Esaan Allah sebagai sebuah keyakinan yang telah terpatri dalam hidupnya.

Demikian juga mereka menjadi sebuah kelompok yang memiliki moralitas tinggi, menolak segala bentuk kehinaan yang dapat menjerumuskannya dalam lembah kenistaan. Karenanya mereka menjauhi perbuatan zina, meminum khamer, mengubur hidup-hidup anak perempuan. Ajakan-ajakan itu merupakan upaya untuk menyebarkan agama hanif sebagai sebuah pencarian terhadap agama baru yang lebih rasional. Pada akhirnya fenomena gerakan al-Hanafiyah tersebut menjadi titik awal bagi muncuinya "kesadaran" baru dalam ber-Islam dan berdinamika membangun peradaban yang utama.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan babwa Islam adalah agama hanif. Ajaran agama Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw pada dasarnya adalah sama dengan ajaran agama-agama yang disampaikan oleh para Nabi-Nabi terdahulu.Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw merupakan penyempurna dari ajaran-ajaran agama sebelumnya, sehingga menjadi agama yang kita kenal dan kita yakini sebagai agama Rahmatan Lil'Alamîn. Wallâhu a'lam bi al-shawâb.






Hubungan Erat Antara Keimanan dan Kemajuan

Tidak jarang orang beranggapan, bahwa pencapaian kemajuan kehidupan manusia seperti sekarang ini didasarkan pada kemampuan dan kekuatan manusia dalam memanfaatkan olah falsafahnya. Atau dengan lain perkataan, kemajuan kehidupan manusia banyak ditentukan oleh kekuatan filsafat.

Banyak yang sangat percaya, bahwa dengan temuan falsafah, seperti falsafah Rasionalisme dan Eksperimentalisme, maka berkembanglah ilmu pengetahuan yang beranak-kandung teknologi dengan sesatnya. Bahwa manakala manusia secara serius mau memeras otak dan kecerdasannya serta tekun melakukan percobaan-percobaan dalam hal apa saja, maka akan majulah kehidupannya. Begitulah kira-kira ilustrasi anggapan banyak orang dewasa ini.

Namun, ketika kemajuan kehidupan telah dicapai, tak jarang pula terdengar keluhan, bahwa justru setelah mencapai apa yang disebut"kemajuan kehidupan"tersebut malahan merasa makin jauh dari rasa puas dan tidak merasa sejuk hati. Atau dengan lain perkataan, hidup terasa makin "kering" "kurang bermakna", "hilang tujuan hidup" "serba mekanis dan robotis", dan sebagainya.

Mengapa hal seperti ini, keadaan yang serba paradoks, terjadi? jawabannya adalah karena kekuatan agama yang berupa keyakinan rohani tidak dilibatkan. Agama dan keyakinan rohani adalah wujud dari pernyataan perasaan, dunia kepuasan dan kesejukan hati. Sebaliknya, filsafat dan olah falsafah hanya menyuplai kepuasan otak dan pikiran belaka. Tampaknya, apa yang disebut kepuasan itu baru lengkap dan menyeluruh kalau kepuasan pikiran digabung dengan kepuasan perasaan. Sekarang kita bertanya, bagaimana Al-Qur'an berbicara tentang hubungan antara masalah keimanan dan kemajuan hidup Al-Qur'an tidak mengajari manusia untuk meraih kemajuan dalam hidupnya dengan berdasar berfalsafah secara ekstrem, seperti berspekulasi, bahwa pada hakikatnya kehidupan ini, mati dan hidup, hanyalah fenomena "dahr", masa (Al-Jatsiyah [45]: 24).

Berfalsafah seperti itu dinyatakan hanya sebagai olah spekulasi (dhann), tidak berdasar ilmu yang benar. demikian kritik Al-Qur'an. Walaupun Al-Qur'an menghargai potensi akal yang menyebabkan manusia mampu berpikir, namun Al-Qur'an tidak membenarkan manusia berpikir secara- ekstrem, yang ujung-ujungnya hanya bertaraf spekulatif tanpa fondasi.

Al-Qur'an mengajari manusia untuk meraih kemajuannya berdasar keyakinan rohani dan didukung oleh penggunaan potensi akal secara benar. inilah yang disebut keimanan terhadap petunjuk (hidayah) Allah SwT. Petunjuk tersebut berwujud prinsip-prinsip yang perlu dijadikan patokan ketika manusia beriman (Mukmin) akan meraih kemajuan hidupnya. Apa isi prinsip-prinsip tersebut?

Pertama, dasar bertindak. Bahwa dasar bertindak untuk meraih kemajuan adalah: mengubah nasib. Hidup di dunia ini diliputi oleh keniscayaan untuk terjadi "perubahan". Perubahan yang bersifat teknis dinyatakan Al-Qur'an tergantung pada usaha manusia itu sendiri, mau berubah atau tidak, berusaha untuk berubah atau tidak (Ar-Ra'd [13]; 11). Lalu apa "yang diubah"? Al-Qur'an menegaskan: nasib. Kata "nasib" ada keterkaitan dengan kosa kata "nashabah yang berarti mengangkat atau mendirikan. Jadi, nasib adalah kondisi (dalam hal ini hidup) yang perlu ditingkatkan, diangkat lebih tinggi dari kondisi sebelumnya, didirikan/dibangun kondisi baru yang lebih meningkat. Peningkatan yang lebih tinggi ini oleh Al-Qur'an justru diperintahkan dengan kalimat frasa "fanshab" yang terjemahan luasnya: maka carilah, temukan, dan jalankan usaha/pekerjaan/tindakan/kreasi/metode/kemampuan yang diyakini dapat meningkatkan kondisi yang lebih tinggi lagi (Asy-Syarh [94]: 7).

Kedua, hasil dari proses persaingan. Persaingan (kompetisi) yang sehat dan membangun (konstruktif). Kata kuncinya adalah: unggul. Unggul di sini bukan berarti menang karena berhasii mengalahkan, atau menang untuk bangga atau untuk menganggap kecil pihak lain, melainkan unggul karena kompetisi dalam hal-hal yang baik dan konstruktif. Rumusannya dalam Al-qur'an disebut "fa- 'stabiquu-'l-khairaat", maka berlomba-lobalah dalam berbuat kebajikan (Al-Baqarah [2]: 148; Al-Maidah [5]: 48). Jadi, hasil kemajuan yang dicapai harus melalui proses persaingan, bukan proses yang berdiri sendiri. Sebab, dalam setiap tempat dan zaman, mesti ada yang berusaha untuk mencari kebajikan, tidak pernah sepi dari hal itu.

Ketiga, hasil dari usaha. Hasil dari usaha untuk mencapai kemajuan hidup di atas adalah: meningkat lebih baik. Di sini yang menjadi ukuran mutunya, yaitu "baik", dan ukuran jumlahnya, yaitu "banyak". Ukuran mutu"baik" dan jumiah*banyak"ini dirangkum dengan istilah "khair" dalam Al-Qur'an. Hal seperti ini digambarkan Al-Qur'an bahwa perhiasan dunia dengan segala gemerlap dan kemajuannya itu (mataa'u d-dunyaa) sedikit, terbatas waktunya, sedangkan kenikmatan akhirat itu lebih baik dan lebih banyak (An-Nisa' [4): 77). Karena itu peralihan untuk meningkat tersebut harus diukur dan dikoridori/dikontrol oleh rambu-rambu "khair" tersebut (Adl-Dluha [93]: 4).

Keempat, kaya harapan. Bahwa untuk meraih kemajuan hidup, karena harus melewati jembatan "proses", maka sangat mungkin terjadi halangan, kebelum-ber-hasilan/gagal, hambatan/ganjalan, pasang- surut, untung-rugi, dan sebagainya. Menghadapi hal yang demikian ini seseorang harus tahan uji, kuat mental, dan kokoh kemauan. Untuk itu Al-Qur'an mengajari agar kaya harapan. Caranya: berdoa. Karena Allah SwT adalah Maha Kaya, sekaligus Maha Pengasih dan Maha pemurah (rahmaan rahiim), maka kepada-Nyalah hati manusia perlu dilabuhkan, dimintal pertolongan-Nya, dimintai karunia-Nya. Dengan cara seperti itu harapan akan muncul dan menjadi kaya dalam ruang batin. Orang tidak mudah patah semangat karenanya. (Asy-Syarh [94]: 8). Begitulah Al-Qur'an mengajari orang beriman meraih kemajuan hidupnya.

Wallaahu a'lam bishshawaab.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar