Powered By Blogger

Senin, 20 Februari 2012

ILMU JIWA

SIAPA YANG MENGENDALIKAN HIDUP ANDA


Bila diajukan pertanyaan kepada Anda, “Apakah Anda sendiri yang mengukir kisah hidup Anda, atau Anda membiarkan orang lain dan keadaan yang mengukir hidup Anda?” Kira-kira, apa jawaban Anda? Mungkin sebagian Anda akan menjawab, “Ya, tidak tahulah Pak, tapi rasa-rasanya sih saya sendiri yang mengukir kisah hidup saya…”
Untuk membantu menemukan jawaban itu, mari kita rujuk tulisan Scott Young. Dalam salah satu artikelnya Scott Young menuliskan beberapa ciri yang menunjukkan bahwa Anda dikontrol oleh orang lain atau keadaan. Pertama, Anda tidak menyukai pekerjaan Anda, tetapi Anda bertahan di tempat itu. Mengapa Anda bertahan? boleh jadi karena Anda sudah terlanjur merasa ‘aman’ dan ‘comfort’ dengan apa yang Anda dapatkan. Atau boleh jadi karena tekanan orang-orang di sekitar Anda.
Ciri kedua, hidup Anda selalu disibukkan dengan melunasi satu tagihan dan tagihan berikutnya. Parahnya lagi, apabila tagihan Anda semakin lama bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin bertambah. Setiap saat debt collector dari koperasi, kartu kredit, bank, rentenir datang menghampiri rumah atau kantor Anda.
Ciri ketiga, Anda merasa bertanggungjawab untuk melaksanakan sesuatu yang sebenarnya tidak Anda sukai. Tapi mau tidak mau, harus dikerjakan.
“Nah, kalau begitu bagaimana caranya agar saya bisa mengukir kisah hidup saya sendiri?” Berikut saya kutip beberapa pendapat Scott Young dalam artikelnya tersebut.
Aturan pertama, jangan pernah biarkan siapa pun mendikte hidup Anda. Sekalipun ia adalah orangtua Anda, pasangan Anda, anak Anda, atasan Anda, atau siapa pun. Bersikaplah terbuka terhadap semua masukan dari siapa pun, namun pastikan bahwa keputusan final ada di tangan Anda. Termasuk diantaranya adalah urusan karir, pendidikan, hubungan, dan seterusnya. Ingatlah selalu, ini adalah hidup Anda, Anda-lah pemain utamanya, dan Anda kelak yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Pencipta.
Aturan kedua, kendalikan keuangan Anda dan jangan biarkan uang yang mengatur Anda. Mengapa? Karena uang bisa menjadi sumber daya yang memajukan hidup Anda, atau menjadi penjerat yang mengatur hidup Anda. Kebebasan finansial bukanlah tentang kemampuan untuk bisa membeli seluruh barang mewah yang Anda inginkan di dunia, melainkan juga bisa berarti kemampuan menjadikan uang sebagai alat, dan bukan sebagai perusak hidup Anda.
Aturan ketiga, apa pun yang menjadi kekurangan Anda, yakinlah bahwa itu bisa dilatih dan ditingkatkan. Jadi, kalau ada yang mengatakan Anda kurang ini atau kurang itu, jangan pesimis. Tanamkanlah dalam pikiran Anda asumsi bahwa saat ini Anda hanya belum menggali secara maksimal kekuatan Anda di bidang itu. Setelah itu, belajar dan kembangkanlah diri Anda setiap waktu.
Semoga Anda sendirilah yang mengukir hidup Anda.
Salam SuksesMulia








Ruginya Jadi Perempuan Cantik

LOS ANGELES, KOMPAS.com — Tampang cantik dapat menghilangkan kesempatan seorang perempuan yang mencari pekerjaan yang dianggap “maskulin”, demikian menurut sebuah studi dari University of Colorado Denver Business School.
Perempuan cantik menghadapi diskriminasi ketika mereka melamar pekerjaan di mana penampilan tidak merupakan hal yang dianggap penting. Pekerjaan-pekerjaan itu termasuk untuk jabatan seperti manajer penelitian dan pengembangan, direktur keuangan, insinyur mekanik, dan pengawas konstruksi.
Perempuan cantik juga diabaikan untuk kategori seperti direktur keamanan, penjual hardware, penjaga penjara, dan sopir mobil derek. “Dalam profesi seperti itu, menjadi cantik justru merugikan bagi perempuan,” kata peneliti Stefanie Johnson dalam suatu pernyataan sebagaimana
Ia menambahkan, perempuan cantik cenderung disortir untuk posisi seperti resepsionis atau sekretaris. “Pada jenis pekerjaan lain, perempuan cantik menjadi pilihan. Ini bukan kasus yang menunjukkan bahwa masih ada standar ganda ketika berkaitan dengan jender.”
Penelitian itu, yang dipublikasikan dalam Jurnal Psikologi Sosial, didasarkan pada peserta yang diberi sebuah daftar pekerjaan dan foto para pelamar dan meminta mereka untuk menyortir para pelamar yang sesuai. Mereka berhadapan dengan setumpuk foto dari 55 laki-laki dan 55 foto perempuan.
Meski para peneliti menemukan bahwa perempuan cantik “ditendang” dari jenis pekerjaan tertentu, mereka menemukan bahwa pria tampan tidak mengalami diskriminasi serupa, malah selalu mendapat keuntungan.
Namun, Johnson mengatakan, orang-orang yang bertampang menarik menikmati keuntungan tertentu di tempat kerja. Mereka cenderung mendapatkan gaji yang lebih tinggi, evaluasi kinerja yang lebih baik, perolehan suara yang lebih baik ketika maju untuk jabatan publik, dan banyak keuntungan lain.
“Pada jenis pekerjaan lain, perempuan cantik lebih disukai,” kata Johnson, yang mengecam orang-orang yang membiarkan stereotipe memengaruhi keputusan perekrutan.








Perlukah Menyeleksi Teman Anak?

Tekankan kepada anak mengapa penting untuk memiliki teman yang bisa memberi pengaruh positif.
KOMPAS.com – Namanya teman, tentu ada yang berperangai baik ada juga yang buruk dan tak patut ditiru. Nah, agar anak-anak mengembangkan ketrampilan sosialnya tanpa meniru hal-hal yang buruk, beri anak bekal rambu dalam bermain.
Salah satu bagian dari memberi rambu-rambu itu, orangtua boleh membantu anak menyeleksi teman-temannya. Seleksi ini dimaksudkan untuk mengurangi sisi negatif yang mungkin timbul karena pengaruh teman-temannya. Selain itu juga agar anak mampu menjalin persahabatan yang sehat. Persahabatan yang sehat adalah persahabatan dimana anak-anak memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada anak yang mendominasi yang lain untuk membuat semua keputusan tentang aktivitas yang akan mereka jalankan. Mereka perlu berbagi dan berusaha untuk menyenangkan satu sama lain. Mereka juga perlu belajar memecahkan masalah mereka sendiri.
Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orangtua untuk membantu anak menemukan pertemanan yang sehat:
1. Menjaga keharmonisan dan saling menghormati di rumah.
Jika orangtua memperlakukan anak dengan baik, maka anak merasa telah dihargai dan dicintai oleh keluarganya. Kemungkinan besar keyakinan ini membantu anak memilih teman yang baik. Selain itu, jika hubungan orangtuanya baik, serta hubungan kekerabatan di antara saudara saling mendukung dan memerhatikan, anak telah melihat dan mengalami contoh positif tentang bagaimana orang dapat berhubungan baik. Kesan ini akan dibawa ke dalam hubungan persahabatan, termasuk terhadap teman-teman yang dipilihnya.
2. Berikan pengertian kepada anak bahwa teman mampu memengaruhi perilaku seseorang.
Tekankan kepada anak mengapa penting untuk memiliki teman yang bisa memberi pengaruh positif. Dengan demikian, anak pun dapat memilih teman yang baik. Jelaskan perilaku seperti apa yang dinilai positif menurut nilai dan norma yang dianut dalam keluarga dan masyarakat, yaitu tidak mencuri, jujur, tidak mengganggu orang lain, tidak merusak fasilitas umum, senantiasa menghormati guru dan orangtua, tidak mementingkan diri sendiri, tidak menyalahkan orang lain atas kesalahan sendiri, berpikir positif saat mengalami kesulitan, dan perilaku-perilaku terpuji lainnya.
3. Lakukan “inspeksi” mendadak.
Sesekali datanglah berkunjung ke sekolah ketika jam istirahat anak. Kemudian, amati dengan siapa saja anak bermain. Bila perlu lakukan kerja sama dengan pihak guru, agar bersama-sama melakukan pengamatan. Bila di sekolah ia berteman dengan anak yang berperilaku kurang baik, maka lakukan kerja sama dengan pihak sekolah agar anak yang berperilaku kurang baik tersebut mendapat lebih banyak perhatian dan pengarahan.
4. Terlibat dengan kegiatan anak.
Ketika anak melakukan aktivitas tertentu bersama teman-temannya, cobalah untuk melibatkan diri. Bukan terlibat aktif dalam kegiatan tersebut, tapi lebih berperan sebagai pengamat, siapa saja teman-teman anak yang terlibat dalam kegiatan tersebut.
5. Menjalin hubungan dengan jaring sosial si anak.
Situs jejaring sosial seperti Facebook juga menyimpan dampak negatif, yakni anak bisa saja berteman di dunia maya dengan mereka yang memberi dampak buruk bagi perkembangan jiwa dan emosinya. Untuk mencegah dampaknya, boleh saja bergabung sebagai teman anak sehingga orangtua dapat memantau dan mengamati teman-teman anak serta aktivitas yang mereka lakukan.
6. Orangtua harus mampu bersikap tegas.
Bila anak memaksa tetap menjalin pertemanan dengan anak yang berperilaku tidak baik, berikan pengertian dan alasan mengapa Anda keberatan. Selain itu, perkuat relasi dengan anak agar pengaruh orangtua lebih dalam tertanam dalam dirinya.








Tipe Pernikahan yang Bahagia


Hubungan pernikahan lebih sehat dengan saling memahami emosi pasangan, membangun komunikasi dan berkompromi.
KOMPAS.com – Sopan santun ternyata juga diperlukan dalam hubungan pernikahan. Kata kunci inilah yang mampu melanggengkan pernikahan. Betapapun Anda dan pasangan berbeda pendapat dan pandangan, namun jika tetap mengedepankan kesopanan dan kesantunan, rasanya perbedaan dua individu masih bisa dikompromikan.

John Gottman, PhD, profesor bidang psikologi dari University of Washington bersama penulis Nan Silver, menyebutkan sejumlah contoh pernikahan dan bagaimana agar pasangan bisa melewati konflik dalam rumah tangga.

Gottman menjelaskan saat humor tak lagi hadir dalam hubungan berpasangan dan kritik mendominasi, maka yang terjadi adalah komunikasi pasangan menikah menjadi terhambat. Sikap saling menghargai juga mulai menghilang, diikuti perasaan dan pikiran negatif pada diri pasangan.

Setiap pasangan umumnya pernah berada dalam situasi konflik yang terpicu dari pertengkaran kecil seharian. Namun bagaimana mengatasi konflik dan menjaga keutuhan hubungan, akan menentukan sesehat apa sebuah pernikahan. Seperti yang terjadi pada pasangan dengan berbagai karakter dan perbedaan usia berikut ini:

1. Suami-istri berusia 30 tahun, berasal dari keluarga minim komunikasi
Dengan latar belakang keluarga yang sama, pasangan ini membangun komunikasi lebih baik dan menjadikannya prioritas dalam hubungan. Pasangan ini tentu saja pernah mengalami pertengkaran, namun sebelum amarah meningkat, keduanya lebih memfokuskan masalah dengan masing-masing perbedaan yang memunculkan konflik. Artinya, untuk menghindari adu mulut, justru pasangan ini menghadapi perbedaan dengan membuat semacam konferensi untuk menjelaskan masing-masing perspektif dalam melihat suatu masalah. Akhirnya, pasangan tipe ini menghasilkan kompromi dan hubungan tetap terjaga harmonis.

2. Suami 40 tahun dan istri 25 tahun, sering bertengkar
Suami-istri ini mengaku frekuensi pertengkaran mereka lebih sering daripada rata-rata pasangan menikah. Kecenderungannya, pasangan ini seringkali saling menginterupsi, membela diri, dan tidak mendengarkan pendapat pasangan. Betapapun kisruhnya suasana namun akhirnya pasangan ini mampu mengambil suara yang sama. Caranya, mereka lebih sering bersama untuk melakukan kegiatan yang menyenangkan. Artinya frekuensi pertengkaran masih lebih kecil dibandingkan suasana menyenangkan yang dibangun pasangan ini. Tipe pasangan menikah seperti ini toh tetap mampu menjaga hubungan tetap sehat.

3. Suami 29 tahun dan istri 27 tahun, memiliki waktu untuk diri sendiri
Pasangan ini menghargai waktu privat untuk diri sendiri. Meskipun sejak awal saling mengenal, keduanya merasa memiliki kegemaran dan banyak hal lain yang sama. Pasangan ini bisa dikatakan sangat kompak dalam segala hal. Namun, mereka pun menikmati dan menghargai privasi dan memberikan keleluasaan kepada pasangan untuk menikmati waktunya sendiri, tanpa perlu selamanya berduaan. Alhasil, keduanya merasa jarang bertengkar. Jikapun mengalami pertengkaran, keduanya memutuskan untuk menenangkan diri dengan melakukan aktivitas masing-masing, seperti joging sendiri. Cara ini diakui keduanya lebih mampu meredakan masalah daripada adu mulut saat tensi mulai meninggi.

Menurut Gottman, tipe pasangan pertama menekankan komunikasi dan kompromi dalam pernikahannya. Hubungan pernikahan seperti ini paling ideal dibandingkan kedua tipe lainnya, meskipun semua tipe tadi tetap berhasil mempertahankan hubungan pernikahan yang sehat. Idealitas dalam hubungan pernikahan terbangun dengan kemampuan mengontrol diri. Artinya, meski pasangan terlibat dalam pembicaraan serius, keduanya tetap mampu mengontrol diri.

Bersikap tenang, saling mendengar dan memahami emosi pasangan, menjadi kunci sukses hubungan pernikahan yang sehat. Cara ini bisa mengurangi perdebatan dan pertengkaran antara suami-istri.







Jangan Stres Jika Ingin Punya “Easy Baby”


Tangisan bayi melengkapi proses persalinan, sekaligus penanda bayi lahir normal dan sempurna. Namun jika bayi cenderung rewel dan sering menangis pascapersalinan, ini juga petanda ia bukan “easy baby” atau bukan bayi yang tenang. “Easy baby” lahir dari kondisi ibu yang tenang, emosi yang stabil, siap secara fisik dan mental sejak merencanakan kehamilan hingga persalinan.

“Memiliki anak yang tergolong easy child sangat bergantung pada kondisi ibu saat hamil. Ibu yang siap menjalani kehamilan, bahkan sejak perencanaan kehamilan hingga persalinan, cenderung lebih tenang dan tidak stres. Kondisi ibu saat hamil sangat memengaruhi janin yang dikandungnya,” jelas dokter spesialis anak, dr Matheus Tatang Puspanjono, SpA di Jakarta beberapa waktu lalu.

Siap hamil
Jika ingin mendapatkan easy baby, kehamilan harus direncanakan lebih dini, bahkan sebelum menikah, kata dr Tatang. Persiapan komperehensif diperlukan dan memengaruhi kondisi janin. Pada masa pranikah, lakukan pemeriksaan kesehatan pranikah, seperti torch, untuk mencegah berbagai risiko saat kehamilan. Selain juga mengonsumsi vitamin prakehamilan.

Kesiapan kehamilan juga perlu dipengaruhi faktor mental. Baik, calon ibu dan ayah, harus merasa siap menghadapi kehamilan, berada dalam kondisi fisik yang prima, dan tidak merencanakan kehamilan karena terpaksa atau karena tekanan-tekanan dari mana pun.

“Kehamilan yang baik dipengaruhi oleh lingkungan yang baik. Lingkungan dalam arti makro, baik pasangan maupun keluarga di sekitarnya. Kehamilan perlu mendapat dukungan dari semua pihak,” lanjutnya.

Ibu, saat hamil, juga sebaiknya memiliki emosi yang stabil dan tidak stres. Tentunya kondisi emosi seperti ini hanya bisa terwujud jika kehamilan penuh dengan dukungan. Terutama oleh suami, keluarga dan lingkungan di sekitar ibu hamil.

Stimulasi dini janin
Bayi yang tenang juga dipengaruhi stimulasi yang diberikan sejak dalam kandungan. Suara musik yang tenang memberikan stimulasi dini pada janin, terutama stimulasi pada otak bayi. Selain juga stimulasi berupa kata-kata, sentuhan lembut yang dirasakan bayi sejak dalam kandungan.

“Musik yang tenang atau suara-suara yang tenang menimbulkan frekuensi suara yang masih bisa ditoleransi gendang telinga bayi. Sehingga bayi merasa lebih tenang, sejak dalam kandungan. Perkembangan sel-sel saraf anak pada masa golden age (tiga tahun pertama) juga dipengaruhi stimulasi sejak dalam kandungan,” lanjutnya.

Stimulasi dini janin, baik suara maupun sentuhan, bisa diterima bayi dalam kandungan sejak trimester pertama, kata dr Tatang. Jadi, jangan bosan memberikan stimulan dengan sentuhan lembut, alunan musik yang tenang, bahkan mengajak bicara bayi dalam kandungan.

Ketenangan yang didapatkan bayi sejak dalam kandungan inilah yang kemudian membuatnya lahir sebagai easy baby. Bayi merasa nyaman begitu lahir dan mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru, karena sudah diperkenalkan bertahap oleh ibu dan ayahnya sejak dalam kandungan melalui berbagai stimulasi.









Hati-hati Pilih Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini


Selama 7 tahun di Indonesia, Prof. Sandralyn Byrnes mengamati permasalahan pendidikan anak usia dini di Indonesia. Dari penelitian yang ia lakukan, dan menilai berdasarkan pengetahuannya sebagai profesor dan pengalaman sebagai guru anak-anak usia dini, ia menilai bahwa ada beberapa hal yang mengganjal pada pendidikan anak usia dini di Indonesia.

Saat ini, Profesor Sandralyn Byrnes bekerja sebagai kepala sekolah Royal Tots Academy, Kuningan, Jakarta. Dalam seminar kecil bertajuk “What’s Wrong with The Early Childhood Education in Indonesia?”, Sandralyn mengungkap beberapa hal tentang PAUD di Indonesia. Pertama, saat ini di Indonesia belum ada standar universal mengenai batasan bagi anak-anak yang disepakati bersama. Kedua, bahwa tenaga pengajar di kebanyakan lembaga PAUD masih butuh pendidikan yang terus di-update, dan butuh kerjasama antara lembaga terkait pendidikan anak usia dini untuk menyamaratakan, serta butuh kerjsama dari orangtua murid untuk membantu optimalisasi pendidikan anak.

Selama 7 tahun meriset dan mencari tahu mengenai proses pendidikan anak usia dini di Indonesia, Byrnes menemukan beberapa hal yang mengganjal. “Pada umumnya, kita semua tahu bahwa pendidikan anak usia dini itu penting, karena di usia inilah terjadi proses pembentukan pendidikan yang paling penting. Di usia inilah anak-anak harus membentuk kesiapan dirinya menghadapi masa sekolah. Investasi terbaik yang bisa Anda berikan untuk anak-anak adalah persiapan pendidikan mereka di usia dini. Hasil investasi ini akan dilihat di masa depan, selepas mereka dari sekolah. Kalau Anda salah pilih sekolah untuk anak usia dini, akan ada konsekuensi di masa depan anak,” terang Byrnes yang mendapatkan titel Australia’s and International of The Year ini.

Byrnes mengungkap kembali bahwa saat ini pendidikan anak usia dini di Indonesia belum merata, bahkan sertifikasinya pun tidak menjadi jaminan. “Jika Anda mau pendidikan yang terbaik untuk anak-anak, maka pencarian sekolah pendidikan anak usia dini menjadi pekerjaan rumah terpenting para orangtua. Cari dengan hati-hati, jangan tergesa-gesa,” sarannya.

Perlu diketahui lagi, ungkap Byrnes, pendidikan anak usia dini di Indonesia tidak sama, karena tidak disubsidi pemerintah seperti kebanyakan negara lain. “Karena itu, lihatlah uang sekolah untuk anak di usia dini sebagai investasi. Ketahuilah bahwa proses pendidikan anak tidak dimulai dari sekolah dasar, tetapi dari anak usia 18 bulan,” ungkap Byrnes

Dari hasil pengamatan Byrnes di Indonesia, ada banyak sekolah anak usia dini yang berembel-embel internasional dan franchise. Hanya segelintir yang mempertahankan kualitasnya, sisanya, tidak menjaga kualitasnya, termasuk tidak menjaga kualitas tenaga pengajarnya.

Sekolah harus menjaga kualitasnya, metodologinya harus di-update, perkembangan keprofesionalitasannya harus dipertahankan, perkembangan pengetahuan seputar pengajaran anak juga harus selalu ditingkatkan, ungkap Byrnes kepada Kompas Female usai seminar kecil tersebut.

Lalu, bagaimana cara memilih sekolah untuk anak usia dini yang terbaik? Byrnes menyarankan:
- Cek kurikulumnya. Ketahui apa saja yang akan diajarkan dan bagaimana cara pengajarannya.
- Bicara dengan gurunya. Lihat apakah ada gairah dari para guru untuk mengajar kepada anak-anaknya. Jika mereka hanya melakukan pekerjaan, percuma. Anak tak akan diperhatikan kebutuhannya, karena kebutuhan setiap anak itu berbeda. Tanyakan pula mengenai cara menghadapi anak, ungkap masalah anak Anda, dan perhatikan jawaban si guru. Guru yang baik seharusnya tahu mengenai cara menghadapi anak-anak dengan berbagai kebutuhan.
- Bicara pula dengan kepala sekolahnya. “Seorang kepala sekolah harus tahu dan paham mengenai pendidikan anak usia dini. Jika Anda tahu orang yang memimpin mengerti tugasnya, Anda akan tenang dan yakin bahwa sekolah si anak berjalan ke arah yang benar,” ujar Byrnes.
- Perhatikan pula lokasi belajarnya. Anak-anak masih belum paham benar apa yang aman dan tidak aman baginya. Pastikan lokasinya aman, tidak banyak benda-benda berbahaya bagi anak, serta bersih.
- Kunjungi sekolah di jam belajar. Lihat bagaimana anak-anak berinteraksi dengan sekelilingnya. Apakah ada senyum di sana? Apakah anak-anak di sana terlihat bahagia? “Kalau anak-anak usia dini itu tidak tertawa atau tersenyum, bisa dibilang ada yang tidak beres di sana,” ungkap Byrnes. “Menurut saya, anak-anak juga harus bisa mendapat pelajaran di luar kelas. Mereka harus berinteraksi dengan alam untuk melatih motorik mereka,” tambahnya.
- Nilai-nilai lain pun sebaiknya diajarkan di usia ini untuk masa depannya, seperti cara bersosialisasi, sikap sopan, dan sifat karakteristik yang baik.
- Perhatikan pula program yang dijalankan. “Seharusnya ada segitiga kerjasama tak terputus antara guru, sekolah, dan orangtua. Ketiganya harus bekerja dengan baik. Harus ada program lain, keterlibatan orangtua-anak di sekolah tak hanya sebatas antar-jemput sekolah.”
Satu hal yang dipesankan Byrnes, jangan pernah menyerahkan pemilihan sekolah anak usia dini kepada si anak. “Anak-anak belum mengerti apa yang harus diperhatikan. Saya sering sekali melihat orangtua menanyakan kepada anak, ‘Bagaimana sekolahnya? Kamu mau sekolah di mana?’ Itu bukan cara yang tepat untuk memilih lembaga pendidikan anak usia dini. Orangtualah yang bertanggung jawab dan bertugas memilih sekolah yang terbaik untuk anak,” tutup Byrnes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar