Powered By Blogger

Jumat, 10 Februari 2012

ILMU JIWA

Melatih Anak Laki-laki Mengendalikan Emosi..!!


Jika sejak belia, anak laki-laki terbiasa mengelola emosinya dengan baik, ia akan tumbuh menjadi pria baik kelak saat dewasa nanti. Pria baik yang kuat, mandiri dan bertanggungjawab tak hanya membanggakan keluarganya, namun juga Anda sebagai orangtuanya. Sebagai orangtua, Anda sukses mencetak laki-laki yang dapat diandalkan di kemudian hari.

“Anak yang bisa mengelola emosinya mampu mengungkapkan perasaannya. Kemampuan ini berawal dari bagaimana pengasuhan orangtuanya. Jika anak Anda sedih dan menangis, lalu Anda melarangnya dan menganggap kesedihannya hal sepele, anak belajar menyembunyikan perasaan,” kata psikolog

Penelitian menunjukkan orangtua cenderung lebih memedulikan bagaimana perasaan anak perempuan daripada anak laki-lakinya. Ketika anak perempuan merasa sedih, orangtua akan bersikap lebih lembut. Sedangkan anak laki-laki dipaksakan untuk selalu kuat meski mereka sedang merasa sedih. Anak laki-laki terbiasa tak boleh sedih. Pengasuhan seperti ini justru membuat anak laki-laki terlatih menyembunyikan perasaannya. Mereka merasa malu jika menunjukkan kesedihan. Pada akhirnya anak laki-laki tak bisa berkomunikasi dengan baik.

Orangtua punya peran dalam mencetak generasi laki-laki kuat tanpa takut menunjukkan perasaannya. Anda, sebagai orangtua, bisa menciptakan sosok laki-laki yang mampu mengelola emosi dengan baik dengan cara:

Pancing anak bicara
Anak laki-laki Anda juga membutuhkan perhatian dan bisa diajak bicara terbuka seperti Anda berbicara dengan anak perempuan. Pancing anak laki-laki Anda untuk bicara terbuka mengenai perasaannya. misal, saat pulang sekolah, anak laki-laki Anda terlihat sedih. Segera buka pembicaraan dengannya, “Kamu terlihat sedih, ada apa? ada yang Ibu bisa bantu? Sepertinya kok Ibu merasa ada sesuatu yang buruk terjadi di sekolah”.

Gunakan cara bicara yang akan membuat Anak terpancing bercerita. Jika anak mulai bicara, berikan dukungan, termasuk menghargai perasaannya saat itu. Berikan komentar yang membuat anak merasa ia didukung oleh orangtuanya. Meski ia sedih dan stres dengan tugas sekolah yang menumpuk, ia tahu bahwa orangtuanya memahami perasaannya dan selalu ada di sampingnya. Ingat Jangan memberikan ceramah pada anak,

Bantu anak mencari solusi
“Anak laki-laki cenderung fokus pada masalah yang dihadapi daripada emosi,” kata Dan Kindlon, PhD, dosen di Harvard School of Public Health yang juga penulis buku Raising Cain: Protecting the Emotional Life of Boys.

Tugas orangtua adalah mengajarkan anak laki-laki bahwa perasaan kecewa, sedih, marah, takut adalah wajar dan ajarkan anak laki-laki untuk mengenali dan menerima perasaan tersebut. Anak laki-laki perlu menyadari perasaan tersebut adalah bagian dalam dirinya, yang mungkin saja tak langsung bisa disingkirkannya. Dengan memahami perasaan, anak laki-laki akan mulai menerima dirinya, dan mengenali masalahnya. Dengan begitu ia akan terbantukan untuk mencari solusi dari masalahnya, setelah ia bisa mengatasi emosinya.






Lama Menangis, Otak Bayi Bisa Rusak?

Pakar perkembangan anak di Inggris menyarankan para orangtua untuk tidak membiarkan bayi mereka menangis terlalu lama. Pasalnya, bayi yang menangis terlalu lama berisiko mengalami gangguan otak.

Klaim yang memunculkan perdebatan ini disampaikan Dr Penelope Leach dalam buku terbarunya The Essential First Year – What Babies Need Parents to Know. Dr Leach bilang, kajian riset terbaru membuktikan bahwa menangis dalam waktu lama dapat mengganggu pembentukan otak sehingga menimbulkan kesulitan bagi anak dalam belajar di masa hidupnya.

“Ini bukanlah sebuah opini, tetapi fakta bahwa membiarkan anak menangis itu berpotensi menimbulkan kerugian. Sekarang kami mengetahui mengapa hal itu berisiko,” ujar pakar yang terkenal dengan bukunya pada 1970 berjudul Your Baby And Child: From Birth To Age Five.

Teori yang disodorkan Dr Leach memang bertolak belakang dengan keyakinan orangtua dan para ahli selama ini bahwa bayi boleh dibiarkan menangis selama 20 menit. Beberapa pakar perkembangan lain, menyarankan para orangtua untuk menerapkan kebiasaan pada bayi mereka seperti membiarkan menangis hingga terbentuk pola tidur yang teratur.

Namun, Dr Leach mengatakan, bayi yang baru lahir belum memiliki kematangan secara mental untuk “belajar” tidur pada saat yang tepat.

“Bayi yang dibiarkan meronta dalam waktu yang cukup lama memang akan berhenti menangis, tetapi bukan karena ia telah belajar tidur sendiri dengan cara menyenangkan. Melainkan karena kelelahan dan putus asa mencari pertolongan,” ungkap Dr Leach.

Lebih jauh Dr Leach menjelaskan bahwa menangis dapat memicu peningkatan produksi hormon stres, yakni kortisol. Dengan menangis dalam jangka waktu lama dan terjadi berulang kali, artinya kortisol yang diproduksi akan banyak sehingga dapat membahayakan otak. “Beberapa ahli saraf menggambarkan hal itu akan menjadi racun bagi otak,” ujarnya.

Walau demikian, fakta itu bukan berarti bahwa bayi tidak boleh menangis sama sekali, atau orangtua menjadi khawatir kalau anaknya menangis.

“Semua bayi menangis, lebih sering dibandingkan yang lainnya. Bukan berarti menangis adalah hal buruk bagi bayi, tetapi menangis yang tidak mendapatkan respons,” paparnya.

Pendapat yang diungkap Dr Leach, yang juga dipublikasi sejumlah media massa Inggris, berbeda dengan hasil penelitian lain yang dipublikasikan bulan lalu. Penelitian tersebut digagas tim dari Murdoch Children’s Research Institute, Australia.

Riset tersebut meneliti 225 bayi berusia enam bulan yang mendapatkan intervensi perilaku tidur. Hasil penelitian menunjukkan bayi dalam “kelompok kontrol”—atau mereka yang dibiarkan menangis dalam beberapa waktu tertentu—tidak mengalami dampak buruk baik secara emosional atau perkembangan perilakunya pada saat anak-anak.

Beberapa penelitian lain mengindikasikan bahwa 50 persen orangtua memiliki masalah dengan pola tidur anak-anaknya, dan sering kali akibat problem rumah tangga.






Kenapa Anak Perempuan Main Boneka Tapi Laki-laki Tidak?

Apakah ada aturan tertulis yang mengatakan bahwa anak perempuan harus bermain dengan boneka dan anak laki-laki bermain dengan senjata-senjataan? Sepertinya tidak ada. Meski tidak ada keharusan semacam itu, secara alamiah anak perempuan memang tertarik dengan boneka karena memang anak perempuan terprogram untuk begitu, bukan karena ada stereotip tertentu.

Para peneliti menemukan kecenderungan alamiah tersebut melalui penelitian terhadap anak-anak simpanse. Ternyata, anak-anak simpanse di hutan liar bermain mirip manusia. Anak-anak simpanse yang berlainan jenis kelamin itu sama-sama diberikan tongkat sebagai mainannya. Anak simpanse perempuan akan memperlakukan tongkat seperti boneka, meniru ibunya yang menggendong anak bayi simpanse.

Hasil penelitian tersebut menerangkan anak perempuan suka bermain dengan boneka sementara anak lelaki tidak, bukan karena stereotip sosial, tetapi lebih kepada kecenderungan biologis. Richard Wrangham, dari Harvard University mengatakan, “Ini merupakan bukti awal dari spesies binatang liar yang mengungkapkan perbedaan obyek mainan dari pria dan wanita.” Penelitian sebelumnya menunjukkan akan adanya pengaruh biologis dalam pemilihan mainan atas monyet yang dikurung, bukan monyet liar yang hidup di alam liar.

Ketika para simpanse muda ini diberikan mainan manusia, simpanse perempuan cenderung memilih mainan seperti boneka, sementara yang lelaki memilih mainan lain, seperti mobil-mobilan. Penelitian ini merupakan hasil observasi terhadap simpanse di Kibale National Park, Uganda.

Hasil riset yang diterbitkan dalam Current Biology ini menemukan 4 cara para simpanse bermain dengan tongkat tersebut, yakni; sebagai alat untuk mencungkil dan melihat lubang apakah mengandung madu atau air, sebagai mainan atau senjata dalam menghadapi lawan saat bertarung atau saat bermain, dan untuk dibawa-bawa.

Menurut Wrangham, “Kami pikir, jika tongkat itu diperlakukan seperti boneka, simpanse betina akan membawa tongkat itu lebih sering ketimbang yang jantang, dan akan berhenti membawanya ketika mereka sudah memiliki bayi sendiri. Kini kami tahu, kedua poin tersebut benar adanya.”

Anak-anak simpanse perempuan kadang membawa stik mereka ke dalam sarang tempat mereka beristirahat dan kadang bermain dengan stik tersebut dalam bentuk bermain dengan rasa seperti keibuan. Namun, para peneliti masih belum yakin, apakah kebiasaan membawa-bawa stik tersebut adalah bagian dari permainan yang berlaku bagi semua simpanse, atau hanya sebagai “tradisi sosial yang baru saja terjadi” dalam grup studi tersebut.

Jika ini hanyalah sebuah tindakan unik dari simpanse yang diteliti ini saja, maka ini bisa berarti, perbedaan kecenderungan permainan ini hanya berupa tradisi lokal saja, seperti lagu-lagu untuk anak-anak dan mainan manusia yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Jika memang begitu, ini berarti sifat simpanse terhadap tradisi memang sangat mirip manusia.







Tips Meningkatkan Percaya Diri Pada Anak

Kepercayaan diri dalam diri seseorang dipengaruhi bagaimana pengasuhan orangtuanya. Kepercayaan diri yang dilatih sejak masa tumbuh kembang anak, akan melahirkan pribadi yang yakin atas dirinya, kompeten, dan menghargai dirinya secara sehat dan positif.

Agar anak percaya diri, menghargai diri, orangtua perlu mengaplikasikan pola asuh ini:

* Pujian yang tepat
Pujian memang baik untuk anak, namun jangan berlebihan. Jangan mengulang pujian pada anak yang sifatnya membangga-banggakan talenta dirinya. Seperti “Kamu adalah anak terpintar di sekolah” atau “Kamu adalah pebasket terandal”. Jangan memberikan pujian yang membuatnya terbebani untuk selalu menjadi si terhebat.

“Berikan pujian pada usahanya dalam meraih sukses, bukan pada talenta yang dimilikinya,”

Menurut penelitian di Columbia University, anak-anak merasa lebih senang dan mampu menghadapi tantangan ketika mereka mendapatkan pujian atas usahanya. Seperti dengan mengatakan, “Kamu bekerja keras” atau “Hebat, Kamu bisa menyelesaikan tugas dengan baik”. Kata-kata motivasi lebih berbekas bagi anak-anak ketimbang pujian seperti “Ayah bangga denganmu Nak”

* Jangan berikan label pada anak
Jangan pernah mengucapkan, “Dasar anak laki-laki!” saat melihat perilaku “bandel” nya. Label yang menekankan pada stereotip gender ini hanya menunjukkan seakan anak laki-laki tak berperilaku baik atau tak bisa mengontrol perilakunya.

Orangtua perlu berhati-hati dengan setiap ucapannya. “Pesan yang direkam anak dari ucapan orangtuanya berperan besar terhadap bagaimana anak menghargai dirinya,”
“Ketika anak mendengar kata-kata yang menyerang dirinya, hal itu akan berdampak negatif pada harga dirinya. Anak akan mulai meyakini bahwa ucapan orangtuanya itu benar, bahwa anak laki-laki adalah troublemakers,”







Tips Mengendalikan Amarah dalam Jiwa

Dulu, aku orang yang bersifat pemarah. Aku tidak bisa meredam amarahku setiap hari. Ayahku menyadari hal ini.

Untuk mengurangi rasa amarahku, Ayahku memberikan sekantong paku dan mengatakan kepadaku agar aku memakukan paku itu ke pagar di belakang rumah tiap kali aku marah.

Hari pertama aku bisa memakukan 48 paku ke pagar belakang rumah. Namun secara bertahap jumlah itu berkurang. Aku menyadari bahwa lebih mudah menahan amarah ketimbang memaku paku ke pagar. Akihrnya aku bisa menahan dan mengendalikan amarah ku yang selama ini telah memburuku. Aku memberitakukan hal ini kepada Ayahku.

Ayahku mengatakan agar aku mencabut satu paku di pagar setiap hari dimana aku tidak marah. Hari-hari berlalu dan tidak terasa paku-paku yang tertancap tadi telah aku cabut dan lepaskan semua. Aku memberitahukan hal ini kepada Ayahku bahwa semua paku telah aku cabut.

Ayah tersenyum memandangku, dan ia menuntunku ke pagar. Dan berkata “Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku, tapi, lihatlah lubang-lubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan pernah bisa sama seperti sebelumnya. “Ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan. Kata-katamu meninggalkan bekas.”

Aku menyadari hal ini bahwa aku setiap kali marah aku teringat pada orang yang aku dendam tersebut. Ayah tambah berkata “Seperti lubang ini, di hati orang lain. Kamu dapat menusukkan pisau pada seseorang, lalu mencabut pisau itu. Tetapi tidak peduli beberapa kali kamu minta maaf, luka itu akan tetap ada ,dan luka karena kata-kata adalah sama buruknya dengan luka fisik …”

Terima Kasih Ayah, kini aku dapat meredam dan mengendalikan amarahku setiap saat dan setiap waktu.







Sedikit Stress Bisa Bikin Panjang Umur

Umumnya, kita akan berusaha melepaskan diri dari tekanan atau stres. Padahal, riset terbaru justru mengatakan, kita pun perlu stres saat menjalankan hari-hari kita. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Menurut Edward Calabrese, PhD, ahli toksikologi di University of Massachusetts di Amherst, ada 2 tipe stres. Yang tak baik untuk hidup kita adalah stres kronis dan tidak terkontrol, seperti tekanan yang disebabkan oleh pernikahan tidak bahagia atau anggota keluarga yang sakit parah. Sebaliknya, ada banyak hal positif yang diasosiasikan dengan luapan stres yang bisa diatasi dengan cepat. Misal, stres karena terjebak kemacetan atau perasaan berdebar saat akan maju presentasi.

Dalam sebuah riset di Ohio State University, tikus percobaan yang mengalami stres singkat tapi intens memiliki kemampuan melawan flu lebih baik. Riset lainnya menyebutkan bahwa stres akut singkat mampu mengurangi risiko terkena diabetes, penyakit jantung, kanker, dan Alzheimer.

Alasannya tak lain karena stres memberikan sedikit “kejutan” untuk tubuh agar melakukan regenerasi atau perbaikan. Prosesnya mirip seperti kita terluka secara fisik, tubuh kita serta-merta melakukan perbaikan untuk menyembuhkan luka, dan mendorong sistem imun tubuh agar melindungi tubuh dari infeksi. Begitu pun yang terjadi ketika kita mengalami stres singkat. Pada saat itu, tubuh memproduksi radikal bebas dan hormon, seperti kortisol yang merusak jaringan tubuh. Namun, kemudian tubuh kita merasakan adanya kerusakan, kemudian memanggil pasukan pembaru. Jika stresnya berlaku singkat, Anda bisa menyembuhkan diri dengan cepat, serta memiliki sisa energi untuk melakukan perbaikan sehari-hari, seperti tergores atau memar.

Beberapa peneliti yang menganalisa seputar penuaan pada tubuh bahkan melakukan kesimpulan bahwa stres tingkat rendah justru bisa membantu memperpanjang usia hidup. Konsepnya sederhana, semakin bertambah usia, tubuh tak bisa melakukan perbaikan seperti saat masih muda. Edward Masoro, PhD, profesor di University of Texas mengatakan, jika stres ringan bisa mendorong proses perbaikan tubuh, maka perbaikan yang dilakukan tubuh secara terus-menerus bisa memperlambat penuaan.

Teori tersebut didapat berdasarkan riset yang dilakukan oleh para peneliti terhadap cacing dan lalat. Kedua binatang tersebut diekspos panas sekian lama selama beberapa waktu, dan mereka bisa bertahan hidup lebih lama. Penelitian lain mengatakan, bahwa tekanan mental ringan dalam bentuk tantangan intelektual dan sosial, seperti melakukan teka-teki silang atau menghadiri pesta yang tak Anda kenal siapa pun di dalamnya, bisa membantu manula menjalani hidup di masa tuanya.

Tentunya, terus-terusan menghadapi stres tak akan bisa membantu Anda hidup. Anda tetap butuh istirahat dan relaksasi sesudahnya. Tubuh Anda tak bisa memperbaiki dirinya sendiri hingga tekanannya terhenti. Jika stres terlalu parah atau diperpanjang, Anda tak memiliki kesempatan untuk menyembuhkan diri. Kunci lain untuk mendapatkan keuntungan dari tekanan adalah dengan menemukan keseimbangan antara “terlalu banyak” dan “kurang”.







Orang Tua Terbaik Sedunia

Awalnya aku iri padamu kawan. Aku iri pada semua anak di dunia yang memiki orang tua yang menyangi anaknya dan selalu ada waktu untuk keluarganya. Bisa mengobrol dangan ayah itu pasti asyik. Atau bisa curhat pada ibu juga pasti lebih melegakan daripada curhat kepada teman.

Tetapi tidak dengan orangtuaku. Ya, orangtuaku. Mereka adalah manusia super sibuk. Ibuku setiap pagi harus pergi mengajar anak anak lain sepertiku, dan pulang di siang hari. Dan malamnya ia pakai untuk mengerjakan tugas tugasnya sebagai guru, memeriksa tugas dan ulangan mereka. Dan sisa waktu luangnya ia gunakan untuk meregangkan otot ototnya.

Tidakkah ia ingat denganku yang masih remaja dan membutuhkan perhatian lebih? Aku ini remaja labil kawan, sedikit di sentuh langsung terjatuh. Aku butuh ibu yang bisa mendengarkan semua cerita dan keluh kesahku. Dan yang lebih menyakitkan bagiku adalah ketika aku melihat ibuku sedang mengajar anak anak sepertiku, ia terlihat begitu perhatian kepada anak anak itu. Tetapi tidak denganku. Ya , tidak denganku.

Terlebih lagi ayahku, ia lebih sibuk dari ibuku. Ia terkadang pergi di pagi buta dan pulang malam hari. Atau terkadang pulang sore hari atau siang hari, atau … ah sudahlah tak akan kutuliskan jadwal keseharian ayahku karena aku pun tidak mengerti dengan jadwal ayahku yang tidak tentu itu. Mengingat pekerjaanya sebagai salah satu orang yang berwenang di perusahaannya dan tidak memiliki waktu yang mengikat, dan mengingat perannya yang cukup penting di masyarakat membuatnya harus selalu menyediakan waktu untuk masyarakatnya. Lalu sisa waktu luangnya di rumah ia gunakan untuk menyelesaikan beberapa pekerjaannya. Maka di rumah ia hanya duduk di depan laptop hitamnya atau tidur untuk meregangkan otot ototnya. Ketika aku mencoba mengobrol dengannya, iya hanya menjawab “hmm” lalu beberapa saat diam, lalu berkata “tadi bilang apa?’ lalu sibuk mengetik dan manatap layar kaca laptopnya.

Kawan, sakali lagi kukatakan padamu, aku ini remaja labil. Aku butuh seorang lelaki yang bisa membuat aku tertawa dan melupakan tumpukkan tugas dan pr dari sekolahku untuk beberapa saat.

Ya, aku iri padamu kawan. Sampai suatu saat ketika sebentar lagi umurku akan merubah statusku. Dari remaja menjadi dewasa. Sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesis. Kira kira berapa umurku saat itu? Yap. 16 tahun kawan.

Saat itu, saat aku berusia 16 tahun. aku bicara dengan ayah dan ibuku. Kali ini kami saling menatap wajah, aku mengobrol banyak hal pada mereka. Aku tanyakan semua pertanyaan yang selalu kupendam selama ini. Rasanya nyaman kawan. Nyaman sekali rasanya bisa mengobrol dengan ayah dan ibu, tetapi, walaupun aku senang, saat itu aku melihat wajah ayah dan ibuku dengan seksama. Kau tau kawan? Mata mereka kini tidak lagi cerah seperti dulu, matanya menyiratkan kelelahan, kulit mereka tidak lagi segar, kini mulai tumbuh keriput keriput kecil di sisi mata kanan dan kirinya.

Ya Tuhan, saat itu aku berpikir… apakah wajah kelelahan itu untukku? Ya kawan, semuanya untukku. Setiap hari mereka berjuang untukku, berjuang agar aku bisa sekolah dan menabung untuk uang kuliahku. Dan karena aku tidak menyadari semua itu, aku biarkan ayahku mengambil rapor sekolahku dengan nilaiku yang tidak memuaskan. Tapi apa katanya kawan? “tak apa apa nak, masih ada semester depan, belajarlah yang rajin ya” ya, itulah yang ia katakan. Ia selalu memotivasiku.

Maka pantaskah aku berharap untuk dibuat tertawa oleh mereka? Pantaskah aku jejali hari hari melelahkan mereka dengan cerita ceritaku yang membosankan? Seharusnya aku yang membuat mereka bahagia dan membuat mereka tertawa. Ya, aku seharusnya berpikir lebih dewasa. Ayah, ibu, maafkan aku.

Dan detik itu juga kawan, aku tidak berpikir bahwa aku iri padamu, tapi aku bangga karena aku punya orangtua terbaik di dunia.







Empati Perlu Dilatih Sejak Dini

Pola pengasuhan memengaruhi kepribadian anak ketika tumbuh dewasa. Anak laki-laki yang dididik dengan baik dan benar sejak belia, akan tumbuh menjadi pribadi yang membanggakan dan dapat diandalkan oleh keluarganya. Orangtua perlu membekali anak, terutama anak laki-laki, dengan empati sejak belia.

Anak laki-laki yang semasa tumbuh kembangnya terlatih berempati, ia akan tampil sebagai pribadi yang memahami perasaan orang lain. Pribadi penuh empati seperti ini memudahkan ia untuk berteman, dan menjadikannya sebagai calon suami dan ayah yang baik untuk keluarganya kelak.

“Empati adalah kemampuan sosial yang sangat berharga dan bisa membantu diri sendiri, juga orang lain. Empati juga mencegah seseorang dari perilaku buruk yang melukai orang lain,”. “Empati adalah salah satu fondasi terbaik yang bisa orangtua berikan kepada anak laki-lakinya,”

Bagaimana cara melatih empati anak?

* Permainan seni peran
Ciptakan sebuah permainan, yang bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, terkait dengan sesuatu yang disukainya. Kalau anak menyukai sepakbola, saat ia menonton pertandingan sepakbola, Anda duduk bersamanya. Ketika pemain favoritnya ditugaskan menendang bola di kotak penalti, ajak anak Anda memposisikan dirinya seolah-olah menjadi pemain sepakbola tersebut. Ajak anak menelusuri perasaannya, bagaimana rasanya jika ia berada dalam posisi tersebut. Bagaimana tekanan yang ia rasakan, sekaligus semangat dan kebanggaan yang luar biasa. Dengan cara ini anak belajar mempertimbangkan perasaan orang lain dengan menempatkan dirinya berada di posisi orang lain tersebut.

“Jika cara ini dilakukan terus menerus setiap tahun, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang mampu mengatasi situasi emosi dengan baik,” jelas Dan Kindlon, PhD, penulis buku Raising Cain: Protecting the Emotional Life of Boys.

* Picu anak membaca novel
Studi yang masih berlangsung di York University di Toronto menunjukkan seseorang yang membaca buku fiksi lebih sering dibandingkan nonfiksi memiliki empati lebih tinggi.

Para peneliti menelaah pengaruh bacaan fiksi terhadap empati. Menurut mereka, bagian dari otak yang digunakan untuk memahami karakter fiksi dari sebuah novel, sama dengan yang digunakan seseorang ketika memahami perasaan atau kondisi orang lain. Ketika bagian otak ini semakin sering digunakan, kemampuan seseorang dalam berempati akan terus terasah.







Apa bicara pada diri sendiri itu GILA???

Berpikir itu sesungguhnya berbicara kepada diri sendiri dalam batin. Jadi, manusia selalu berbicara kepada dan atau dengan dirinya sendiri. Bagaimana bila sering bicara kepada diri sendiri dengan suara keras?

Surat dari D (20), seorang perempuan. ”Sejak semester awal sampai sekarang (empat), ada beberapa keganjilan yang sering saya alami, salah satunya berbicara sendiri dan ”mengigau”. Kebiasaan berbicara sendiri sering sekali dilakukan dan saya selalu mempraktikkan apa yang ada di pikiran secara langsung (tindakan). Dan itu membuat beberapa teman takut melihat apa yang saya lakukan. Padahal, saya sudah berusaha untuk mengurangi kebiasaan buruk tersebut, tetapi tetap saja sulit untuk tidak melakukannya.

Akhirnya saya membaca referensi mengenai keadaan psikologis saya, di dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang sering mengalami akonsius (kebiasaan berbicara sendiri), lama-kelamaan bisa menjadi gila. Apakah benar pernyataan tersebut dan bagaimana cara saya agar bisa mengurangi kebiasaan buruk saya?”

Refleksi emosi

Sebenarnya selama otak masih aktif bekerja, kita selalu berbicara dengan diri sendiri, umumnya dalam batin, tidak disuarakan. Ketika kita menimbang pilihan, menenangkan diri waktu terkejut atau marah, atau berdoa, kita berbicara dengan diri sendiri.

Sesekali kita berbicara bersuara, ketika menghayati kondisi emosi intens, misalnya saat tiba-tiba menemukan solusi yang ditunggu-tunggu, saat marah. Saat teringat seseorang yang sangat dirindukan, mungkin kita ingin merealisasikan harapan akan kebersamaan dengan membayangkan ia ada dan mengajaknya berbicara. Saat intens berpikir kita kadang bicara bersuara, dan mungkin jadi lebih jelas mengenai alternatif penyelesaiannya.

Berbicara dengan suara keras ke diri sendiri jarang dilakukan. Mungkin lebih sering terjadi ketika kita tertekan, tegang, kacau, singkatnya berpikiran penuh, seperti ada pergolakan di batin yang menuntut untuk dikeluarkan. Bayangkan panci berisi air mendidih yang tutupnya bergerak-gerak kencang, bahkan mungkin dapat terlempar karena tekanan kuat dari bawah. Jelas di sini, bicara menjadi cara penyaluran emosi.

Jadi, berbicara kepada diri sendiri bisa merupakan hal sangat normal, dapat pula merefleksikan persoalan psikologis yang memerlukan perhatian serius. Kita sendiri yang dapat menetapkan, apakah yang terjadi pada kita merupakan hal wajar saja, atau sudah berlebihan sehingga mengindikasikan kekacauan batin yang memerlukan bantuan ahli untuk mengatasi?

Ketika dalam keadaan sangat tertekan dan tegang, percakapan batin mungkin keluar dalam bentuk bicara sendiri, yang bila berlebihan akan membuat takut diri sendiri dan orang lain. Bila itu halnya, kita perlu menenangkan diri, merenung (mungkin dengan bantuan orang lain juga) untuk lebih mengerti sumber ketegangan dan kekacauan pikiran kita. Menenangkan diri dapat dilakukan, misalnya, dengan cara olah napas, meditasi, dan mengembangkan visualisasi yang menenangkan batin.

Sejauh pengetahuan saya, tidak ada istilah akonsius dalam psikologi. Sayang informasi dari D kurang lengkap. Apakah kebiasaan muncul setelah kuliah dan sebelumnya sama sekali tidak pernah terjadi? Ingatkah mulai muncul kapan dan adakah pencetusnya? Pada saat-saat apa saja lebih banyak bicara pada diri sendiri? Tentang apa? Apa yang dimaksud dengan ”mempraktikkan yang ada di pikiran secara langsung dalam tindakan?” Sejauh mana kebiasaan ini mengganggu orang lain? Sejauh mana mengganggu diri sendiri?

Positif

Aktivitas itu akan menjadi gangguan psikologi bila manusia bicara sendiri sebagai respons terhadap halusinasi atau delusi. Halusinasi adalah gangguan persepsi dalam bentuk (merasa) melihat atau mendengar tanpa ada rangsang nyata, misalnya kita mendengar suara-suara berisik, orang menertawakan orang lain, atau melihat figur tertentu yang orang lain tidak mendengar atau melihatnya.

Delusi secara sederhana dapat diartikan sebagai adanya keyakinan kuat tentang suatu hal akibat penilaian realitas yang salah. Misalnya kita yakin sedang dikejar-kejar dan akan dibunuh, atau sebaliknya, ada seorang aktor sangat hebat (yang sebenarnya tidak mengenal kita) yang jatuh cinta kepada kita. Bila demikian halnya, kita harus meminta bantuan psikolog klinis dan psikiater untuk memfasilitasi penenangan batin dan pengobatan.

Bila kita menilai diri atau dunia secara negatif, kita akan bicara dalam bahasa atau kalimat negatif (”aku selalu gagal”, ”aku tidak dicintai” atau ”dunia ini buruk”, ”tidak ada yang diharapkan lagi”, ”yang jahat harus dibasmi”). Sementara itu, penilaian diri positif akan mengembangkan percakapan diri yang juga positif.

Karena sebenarnya manusia selalu bicara dengan dan kepada diri sendiri, kita perlu mengolah fenomena ini secara konstruktif demi kesejahteraan psikologis kita. Penanganan psikologi cukup sering menganjurkan kita mengembangkan self-talk yang positif untuk mengubah pikiran negatif, memotivasi diri, mengembangkan gambaran diri atau dunia yang lebih baik, mendorong gerak konstruktif melakukan sesuatu. Self-talk positif menjadi bentuk afirmasi, kalimat berulang yang kita sampaikan kepada diri sendiri untuk menguatkan diri.

Kita mengubah dari negatif menjadi positif, misalnya dari ”aku selalu gagal” menjadi ”aku sedang menyelesaikan tugasku secara bertahap”; dari ”aku tidak dicintai” menjadi ”aku menyayangi diriku sendiri dan sedang membuat diriku menjadi lebih baik”; dari ”dunia ini buruk” menjadi ”memang banyak sekali masalah sekarang ini tapi aku masih bisa melakukan hal-hal positif di lingkungan terdekatku sendiri”.

Ada hubungan saling memengaruhi antara pikiran, perasaan dan perilaku, dan kita dapat memulai dari mana saja untuk mengembangkan kondisi diri yang lebih positif. Bicara secara positif kepada diri sendiri menjadi salah satu cara untuk membuat diri menjadi lebih bahagia.







Mendeteksi Depresi pada Anak

Apa yang terlintas di kepala, saat melihat anak kita gemar membanting pintu untuk mengekspresikan kekesalannya? Jika kita berpikir itu hanyalah fluktuasi emosi yang harus dihadapi, ada baiknya kita juga “mencurigai” mungkin saja anak kita tengah depresi.

Survei di Amerika Serikat mengestimasi, setidaknya ada 10 persen dari anak-anak yang mengalami depresi akibat proses akil balik. Dan sebagian besar dari mereka tak pernah mendapatkan pertolongan. Inilah yang mempertajam risiko depresi mereka saat dewasa, khususnya masa-masa perubahan hormon terjadi. Maka ada baiknya sebagai orang tua, kita mengetahui tanda-tanda depresi pada anak.

Pada umumnya, depresi akan membuat anak-anak kita tidak nafsu makan dan kesulitan tidur. Bahkan pada tahap depresi yang lebih serius akan membuat mereka menarik diri dari keluarga dan teman-temannya.

Dan seperti yang kita ketahui, emosi yang serba tak menentu akan memengaruhi kesehatan. Hal yang sama juga dialami oleh anak-anak kita. Mereka akan jadi sering mengeluh sakit kepala hingga mengalami penurunan berat badan yang drastis. Jika semua ini tidak berubah selama 2 minggu penuh, bisa jadi anak kita tengah mengalami depresi.

Sebagai orang tua yang harusnya kita lakukan adalah dekati anak sebagai teman. Itu artinya, kita harus bisa menahan diri untuk tidak menggurui tingkah lakunya yang menggangu. Buat dia nyaman untuk bercerita apapun pada kita. Tapi jika Anda merasa tidak bisa mengatasinya sendiri, walaupun sudah mencoba berbagai cara, segeralah temui psikolog khusus anak agar dapat tertangani dengan tuntas







Bayi Rewel dan Masalah Psikologis Saat Dewasa

Menangis merupakan hal yang normal dan menjadi salah satu cara bayi berkomunikasi. Tetapi jika ia kerap rewel, menangis keras dan sulit ditenangkan, bisa jadi hal itu adalah tanda si kecil termasuk bayi yang sulit.

Menangis berlebihan, terutama pada bayi yang sudah berusia lebih dari tiga bulan dan bukan disebabkan oleh kolik atau penyakit, menurut para ahli bisa menjadi tanda si kecil mungkin termasuk anak yang mengalami gangguan hiperaktif dan konsentrasi (Attention Deficit Hyperactivity Disorder/ADHD).

Diperkirakan satu dari lima bayi yang memiliki ciri menangis berlebihan, ditambah dengan gangguan tidur dan makan, merupakan gejala awal gangguan perilaku di kemudian hari.

Tim peneliti internasional melakukan perbandingan data dari 22 riset yang dilakukan antara tahun 1987 hingga 2006 dan menemukan kaitan antara ciri-ciri anak sulit dengan ADHD, gangguan kecemasan, depresi dan perilaku agresif.

Profesor Dieter Wolke dari Universitas Warwick mengatakan, risiko untuk mengalami gangguan perilaku lebih besar pada anak yang memiliki ketiga ciri; menangis berlebihan, sulit tidur dan gangguan makan.

Walau demikian, orangtua tidak perlu cemas berlebihan jika buah hatinya memiliki ciri tersebut. “Orangtua bisa mencegah gangguan perilaku ini sedini mungkin,” kata Wolke.

Anak yang menangis berlebihan bisa ditenangkan dengan cara membuatnya nyaman, baik lewat pelukan, tatapan mata, bersenandung atau menjauhkannya dari lingkungan yang terlalu menstimulasi dirinya. Penelitian lain menunjukkan bayi yang dibiarkan menangis terlalu lama beresiko mengalami masalah psikologis di kemudian hari.







4 Rahasia Manusia Berumur Panjang

Salah satu topik berita yang jadi hot saat pelaksanaan Sensus Penduduk di bulan Mei lalu adalah ditemukannya orang-orang yang berusia di atas 100 tahun. Tak heran bula Anda jadi ingin tahu apa rahasianya. Sebenarnya, sih, tidak susah untuk bisa panjang umur dan tetap sehat. Pastikan Anda punya beberapa hal berikut:

1. Berperut Rata
Riset National Institute on Aging menyatakan, wanita berperut buncit berisiko meninggal dunia lebih cepat dibandingkan yang berperut rata. Ukuran lingkar pinggang yang perlu dipertahankan adalah di bawah 80 cm. Rajin-rajinlah berolahraga dan santap makanan mengandung Omega 3, agar terhindar dari berbagai risiko peradangan akibat radikal bebas.

2. Jauhi Minuman Bersoda
Menurut penelitian di Boston, Amerika Serikat, minuman bersoda bisa menyebabkan gangguan metabolisme. Sementara, bila metabolisme terganggu, otomatis tingkat kesehatan kita juga tidak prima. Padahal, inilah modal penting yang perlu kita punya bila ingin hidup panjang.

3. Miliki Sahabat Baik
Kita membutuhkan orang lain untuk bisa sehat dan bahagia. “Hubungan antar individu yang baik adalah obat penangkal stres yang ampuh,” jelas Micah Sadigh, Ph.D., profesor psikologi Cedar Crest College. Mental dan fisik akan lebih sehat kalau kita punya teman yang selalu mendukung.

4. Berpendidikan Tinggi
Penelitian Harvard Medical School menemukan, orang yang menempuh pendidikan tidak kurang dari 12 tahun punya harapan hidup 18 bulan lebih panjang. Selain itu, hanya 10 persen dari orang yang berpendidikan tinggi yang jadi pencandu rokok. Para ahli percaya, pendidikan membutuhkan kesadaran untuk menjaga diri dan lingkungannya.







3 Cara Mengukur Kebahagiaan Hubungan

Sejumlah aktivitas bisa Anda rancang bersama pasangan untuk mengetes hubungan. Anda bisa mengukur sejauhmana hubungan berpasangan tersebut sehat, bahagia, atau tahan lama.

1. Lakukan perjalanan bersama

Melakukan perjalanan bersama pasangan membantu Anda mengetes hubungan. Saat melakukan perjalanan selama beberapa jam berdua, Anda dan pasangan memiliki waktu luang yang panjang. Jika Anda bisa menikmati waktu bersama pasangan, ini pertanda baik. Anda bisa saling memahami, atau sebaliknya, tak menyenangi pasangan dari perjalanan ini. Pilihan musik untuk menemani perjalanan menjadi alat ukurnya. Bisa atau tidaknya Anda atau pasangan saling berkompromi dengan pilihan musik masing-masing, menjadi alat ukurnya. Saat berkendara, kekompakan Anda dan pasangan juga bisa dinilai dari cara menunjukkan arah menuju destinasi yang sudah dipilih. Berbagai keputusan yang dibuat saat melakukan perjalanan juga bisa menjadi ukuran sejauhmana kekompakan pasangan dan kebahagiaan hubungan.

2. Lakukan permainan 20 pertanyaan

Ambil 20 potongan kertas, dua pulpen, dan mangkuk atau topi. Anda dan pasangan, masing-masing menuliskan 10 pertanyaan yang ingin diketahui dari satu sama lain. Pertanyaan yang diajukan terkait soal nilai yang dianut, misalnya pendapatnya tentang perselingkuhan, termasuk soal rencana pasangan ke depan. Contohnya, apakah pasangan punya rencana tinggal di kota atau negara lain.Pertanyaan seputar nilai, rencana, dan pribadi masing-masing ini kemudian dimasukkan ke dalam topi atau mangkuk. Secara bergantian, Anda dan pasangan mengambil satu per satu pertanyaan tersebut. Bacakan isi pertanyaan dari kertas yang diambil tersebut. Baik Anda dan pasangan perlu menjawab dari setiap pertanyaan yang diajukan. Melalui permainan ini, Anda dan pasangan bisa saling memahami karakter satu sama lain.

3. Kenali masalah pasangan melalui hubungan seks

Nah, bagi pasangan menikah, Anda bisa mengetes kebahagiaan atau sejauhmana hubungan masih sehat dari hubungan seks. Bagaimanapun seks memengaruhi kualitas hubungan. Anda dan pasangan akan merasa lebih mesra melalui hubungan seks yang bergairah. Bicara soal seks tak hanya mengenai praktiknya. Anda dan pasangan juga perlu membicarakannya. Saat hubungan seks mulai terasa hambar, kenali masalahnya, cari sebabnya, dan temukan solusinya bersama. Anda dan suami perlu terbuka membicarakan seks agar hubungan pernikahan lebih bahagia.





tipe kepribadian

#kolerik orangnya keras, hitam hitam, putih putih, idealis, pemimpin, tegas, konsisten, dominan, kharismatik

#sanguine suka bercanda, lebay, gaul, sangat bersahabat, empathy tinggi, paling berisik, flexible, expresive

#pleghmatis pendamai, penengah, ga enakan, suka ngalah, pendengar yang baik, setia, penurut, adem orang nya

#melankolis pendiam, perasa, relatif pasive, suka memendam emosi, konsentrasi tinggi, relatif setia, kurang expresive

Tipe #sanguine cocoknya merit sama #sanguine juga atau #pleghmatis

Tipe #kolerik ga boleh merit sama #kolerik juga, gawat bisa perang Dunia III, ia mesti sama #pleghmatis

#melankolis ga boleh merit ama #kolerik. kasian tekanan batin, #melankolis paling cocok sama #pleghmatis

#pleghmatis tipe yang lumayan akomodatif, bisa merit ama tipe manapun, dia pendamai soalnya, siapa yang pleghmatis?

Ga kebayang kalo #melankolis pacaran ama #melankolis juga, sendu sunyi sepi lalu “miauuww” *kucing liwat*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar