Powered By Blogger

Selasa, 28 Februari 2012

ARTIKEL

BERFIKIR MANHAJI DAN ‘IRFANI Mempertemukan Pemikiran Substantif Kulliyyat dan Formal Juziyyat

Islam yang memiliki cita-cita rahmatan li al-‘âlamîn tidak mungkin tercapai dalam kehidupan ini kecuali dengan berfikir dan bertindak secara manhaji dan ‘irfani. Berfikir manhaji adalah berfikir tuntas dan komprehensif dari awal sampai akhir; dari zhahir sampai bathin, bahkan dari perseorangan sampai kolektif. Cara berfikir ini memiliki ciri komprehensif dari pemikiran awal sampai pencapaian tujuan akhir; komit-men yang jelas terhadap instrumen-instrumen formal yang perlu dilalui; perumusan sasaran yang perlu pada setiap instru-men formal; dan tujuan akhir merupakan kumulasi dari penca-paian setiap sasaran dalam instrumen formal.

Adapun berfikir ‘irfani adalah pengetahuan tentang sesuatu melalui proses berfikir mendalam dan sistemik untuk memper-oleh atsar dari buah fikir dan tindakannya itu. Cara berfikir ini memiliki ciri khas substantif; aspek batin dari setiap aturan formal sangat diperhatikan untuk membangun spirit; dan mengatur setiap aturan formal agar seimbang dengan capaian batinnya.

Langkah yang harus ditempuh untuk menuju pemikiran manhaji dan ‘irfani adalah dengan mengevaluasi berbagai hal yang berkaitan dengan keberagaman baik perorangan maupun jamaah. Beberapa pertanyaan sebagai bahan evaluasi tersebut meliputi: (1) sudahkah membaca teks suci keagamaan dan konteks lingkungan yang sedang terjadi; (2) sudahkah memak-nai keduanya itu secara seksama; (3) sudahkah memahami hubungan-hubungan di antara keduanya itu dengan teliti dan benar; (4) mampukah berdialog dengan keduanya dimana posisi diri dan umat dalam tuntutuan teks dan konteks; (5) sudahkah bersikap sesusai dengan tuntutuan yang dikehendaki keduanya; dan (6) bisakah berperilaku seirama dengan sikap yang dikehendaki oleh predikat kemuliaan sebagai makhluk Allah paling mulia.









MASYARAKAT ISLAM (AL-UMMAH) DIMENSI MASA KERASULAN DAN KEKHALIFAHAN
Pengertian.

Umat dalam term Alqur’an, diungkapkan Raghib al- Ashbahani ( Gharîb al-Qur’ân, Juz I / 22-23) berasal dari kata al-um ( ibu ), bermakna pakaian atau perhiasan al-ab ( ayah). Dalam hubungan kekeluargaan, posisi al-um itu, merupakan pihak yang melahirkan kekerabatanitu sendiri, baik dalam pengertian kerabat dekat karena melahirkan anak-nya; atau kerabat jauh seperti terhadap ibu Hawa dikatakan ummunâ( ibu kita semua), sekalipun waktu di antara kita dengannya sangat jauh. Raghib mengungkapkan juga makna al-um itu, adalah asal atau permulaan keberadaan, perkembangandan perbaikan segala sesuatu. Al-Khalil berkata, al-um, bermakna tempat berkumpulnya segala sesuatu, atau segala sesuatu itu mendekat kepadanya; atau bermakna al-qashd al-mustaqîm ( tujuan yang lurus )[2]. Q.S. Al-Fatihah di katakan ummu al-kitâb, karena terhimpunnya pokok-pokok isi keseluruhan yang dikandung Alqur’an yang 30 Juz itu; atau ummu al-kitâb adalah sebutan bagi al-lawh al-mahfûzh, karena tempat berhimpunnya berbagai ilmu pengetahuan; atau setiap ilmu pengetahuan dinisbahkan kepadanya atau datangdanlahir darinya. Demikian juga Makkah disebut Ummu al-Qurâkarena penduduk dunia ini berkumpul terpusat kepadanya; ummu al-adhyâf ( tempat kembalinyaatau berkumpulnyapara tamu ); atau kepada Negara dikatakan ummu al- jais ( tempat kembalinya atau berkumpulnya para prajurit). Dalam Q.S.al-Qari’ah diungkapkanفأمه هاوية( tempat berkumpul dan kembalinya adalah hawiyah), sebagaimana makna Q.S. al-‘Ankabut, 25;ma’wa kum al-nar( tempat berkumpul dan kembali kamu adalah api neraka).Istri-istri nabi SAW di sebut juga ummahât al-mukminîn, karena mereka berposisi sebagai teladan bagi setiap kaum mukminin, atau tempat berkumpul dan kembalinya para mukminat dalam urusan keagamaan mereka. Kemudian ungkapan al-ummah (الامة) bermakna semua komunitas yang segala urusannya terhimpun, baik dalam satu agama tertentu, dalam waktu tertentu atau tempat tertentu, atau himpunan itu terjadi karena ketundukan secara alamiah; atau karena suatu ikhtiar atau usaha yang dikomandoi oleh perorangan atau beberapa orang yang bekerja sama dalam sebuah organisasi untuk tujuan tertentu. Jamak al-ummah adalah al-umam ( ممالا ). Sedangkan posisi perorangan atau sekelompok orang yang menggerakkan itu, atau seseorang yang menjadi pusat ketundukan tersebut, dikatakan pemimpin ( الامام ). Jamak al-imâm adalah al-aimmah ( الائمة ) yang pelembagaannya disebut al-imâmah bermakna kepemimpinan.



Konsep Ummah dalam Alqur’an.

Kata al-umam, dipakai juga bagi semua makhluk Allah, hewan melata di bumi Allah maupun burung dengan kedua sayapnya terbang di udara kecuali mereka berhimpun dalam sebuah umat seperti kamu sekalian; labah-labah karena rumah jaringnya, semut karena kebersamaannya dan gudang penyimpanan makanan yang siap untuk berbagai musim dan iklim; dan makhluk lainnya karena tabi’at mereka masing-masing, disebut juga ummah. Hal itu diungkap dalam Q.S.al-An’am, 38; وما من دابة في الارص ولا طائر يطير بجناحيه إلا أمم أمثالكم. Masing-masing mereka dari berbagai jenis umat itu memiliki jalan dan cara sendiri-sendiri yang telah ditetapkan secara alamiah;[3] dan sudah tentu manusia sebagai umat disebutkan secara khusus dalam Q.S. al-Baqarah, 213; كان الناس أمة واحدة, karena memiliki sifat tertentu, atau karena jalan yang ditempuhnya, seperti kesesatan atau kekufuran;[4] termasuk juga mereka yang menempuh jalan keimanan, seperti Q.S.Hud, 118;ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة; dan tentu yang dimaksudkan ayat ini adalah kesatuan dalam keimanan[5]. Juga, Q.S. Ali ‘Imran, 104;ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخيرlebih spesipik lagi, yaitu komunitas orang yang beriman itu yang dalam pilihan setiap geraknya didasarkan atas ilmu pengetahuan, amal shalih, sehingga menjadi teladan bagi umat beriman atau tidak beriman yang lainnya.[6] Namun, terdapat juga komunitas manusia yang bergeraknya atas dasar tradisi dan kebiasaan masyarakatnya, sebagaimana dinyatakan Q.S.al-Zuhruf, 23; إنا وجدنا آباءنا على أمة[7]. Selain dari itu semua, adalah komunitas karena terkena penyakit lupa atau lalai yang menjadikan punahnya suatu umat karena alih generasi atau murtad. Padahal, teladan yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim as yang posisinya sebagai pribadi, sangat merapat dengan umat ini; sehingga disebutkan perannya sebagai pemimpin, anutan dan pengajar berbagai kebaikan agar umat bisa memperoleh manfaat kebaikan dari dirinya tersebut; di samping dia juga sebagai pribadi pengabdi yang sangat taat kepada Tuhannya; seorang yang tidak memiliki kecenderungan buruk digatinya; tidak musyrik kepada Tuhannya; dan senantiasa bersyukur atas segala kenikmatan yang diberikan kepadanya. Karakter pribadi seperti itu tercatat dalam Q.S. al-Nahal, 119-123. Bahkan, secara tegas dinyatakan bahwa tidak ada kesamaan satu kelompok ahli kitab pun dengan yang lainnya dalam menegakkan komitmen keummatannya. Artinya, yang satu dengan yang lainnya memiliki jalan hidup sendiri-sendiri, sebagaimana dinyatakan Q.S. Ali ‘Imran, 113; لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آَيَاتِ اللَّهِ آَنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ. Ayat ini menerangkan keberadaan suatu umat yang komitmennya sangat tinggi dalam pelaksanaan ketaatan kepada Tuhannya, sekalipun dalam menjalankannya berbeda-beda.

Raghib menjelaskan juga kata al-ummy ( الامى ) yaitu nisbah kepada seseorang yang tidak bisa menulis dan membaca kitab. Hal ini, diambil dari kandungan Q.S. al- Jum’ah , 2 ; هو الذى بعث في الاميين رسولا منهم. Kata ummiyyah di sini mengandung makna lalai (ghaflah) dan bodoh (jahâlah); atau kurang pengetahuan, sebagai mana juga dinyatakan Q.S. al-Baqarah, 78; ومنهم أميون لا يعلمون الكتاب إلا أمانى; mereka tidak mengetahui kitab suci, kecuali yang setelah dibacakan kepada mereka, kemudian mereka mengikutinya. Al-Farra mengungkapkan bahwa mereka itu adalah bangsa Arab yang tidak memiliki kitab Suci. Dan Q.S. al-A’raf, 157 ; الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيل. Kata al-ummiy dalam ayat itu adalah nisbah kepada umat yang tidak bisa menulis dan membaca, kecuali karena adat kebiasaan masyarakat pada umumnya. Hanya saja Nabi Muhammad SAW telah diberi karunia Allah SWT, yaitu memiliki kecukupan untuk menjaganya melalui daya hafalannya yang kuat, sebagaimana dinyatakan Q.S. al-A’la, تنسى سنقرئك فلا . Dikatakan juga bahwa al-ummiy itu nisbah dari Ummu al-Qurâ, yang berarti bahwa Muhammad yang di9angkat sebagai rasul Allah itu adalah bangsa al-Ummu al-Qurâ, yaitu Makkah.

Kata al-imâm ( الامام ), dimaknai pemimpin, karena diikuti oleh sekelompok manusia, baik perkataan atau perbuatan, atau tulisan, atau selainnya; baik itu menyangkut kebenaran maupun menyangkut kebatilan, sebagaimana Q.S. al-Isra, 71; يوم ندعو كل أناس بإمامهم. Ayat ini, menegaskan bahwa kepemimpinan itu terjadi dalam komunitas orang-orang bertaqwa, seperti Q.S. al- Furqan, 74; واجعلنا للمتقين اماما ; atau orang-orang durhaka, sebagaimana Q.S. al-Qashash, 41; وجعلناهم أئمة يدعون إلى النار . Bahkan, lebih tegas lagi bahwa secara umum segala sesuatu akan diperhitungkan dalam aspek kepemimpinannya ( pihak yang bertanggung jawab pengaturannya ), sebagaimana firman Allah Q.S.Yasin, 21; وكل شئ أحصيناه في إمام مبين . Hal ini merupakan ketetapan sejak di lawh mahfuzh ( Raghib, Ibid. 24 ). Oleh sebab itu, maka dikenal bahwa segala sesuatu itu ada pihak yang mengaturnya dan mengurusi kebaikannya. Alqur’an adalah imâm bagi orang-orang muslim, Nabi Muhammad SAW imâm bagi para pemimpin; khalifah adalah imâm bagi rakyatnya; sedangkan panglima perang adalah imâm bagi para prajurit.

Disamping konsep al-ummah dan al-imâmah sebagaimana diungkap di muka, Alqur’an juga menjelaskan tentang proses bagaimana seorang pemimpin bekerja untuk melahirkan ummah yang baik, sesuai dengan kehendak Alqur’an itu sendiri. Perhatikan kisah perjalanan Nabi Ibrahim as., sebagaimana diungkapkan berikut: a) Bagi kepemimpinan, diungkap dalam Q.S. al-Baqarah, 124; dan do’a strategisnya, 129-nya; misi ini dilanjutkan Nabi Muhammad SAW, Q.S. al- Jum’ah, 2; dan proses tersebut merupakan anugrah Allah bagi orang-orang yang beriman di kemudian harinya, Q.S. Ali ‘Imran, 164;

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Alur proses secara lengkap ditunjukkan dalam bentuk scheme map di belakang.

Demikian konsep Alqur’an tentang ummah dan para pemimpinnya, serta proses pembentukannya yang telah dilakukan Nabi SAW.



Gambaran Ummah dalam Masyarakat Madinah.

Sebagai acuan bagi gambaran masyarakat Medinah yang dibangun Rasul Allah SAW bersama para shahabatnya, adalah penjelasaan Q.S. al-Tawbah, 28-31;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (28) قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (29) وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ (30) اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ (31

Muhammad Husai Haikal ( Hayatu Muhammad, hal. 301-307 ) memberikan cacatan dari ayat itu, meliputi : 1) penegasan orang kafir tidak akan masuk surga; 2) orang musyrik tidak boleh melakukan haji setelah tahun ini; 3) larangan berthawaf sambil telanjang;[8] 4) orang yang telah melakukan perjanjian dengan Rasulullah berlaku selamanya; 5) orang-orang musyrik bangsa Arab tidak boleh tinggal dan mengadakan ibadat dengan cara berhalanism; 6) jika mereka melakukan hal tersebut, akan berhadapan dengan penyerangan Allah dan rasul-Nya. Hal itu juga berlaku bagi penduduk sebelah selatan Yaman dan Hadhramawt. Penduduk Hijaj dan mereka telah bersama-sama berada dalam agama Islam, diisyaratkan Q.S. al-Nashr, yang sebelumnya mereka itu adalah musyrik dan beragama Nashrani. Sedangkan mereka yang masih beragama Yahudi dan Nashrani, akan terkena ancaman sebagaimana dalam ayat itu dan ayat setelahnya. Terciptanya suasana seperti itu, diproses melalui perjungan berat selama 23tahun, di Makkah 13 tahun dan di Makkah 10 tahun. Sehingga terbentang wilayah kehidupan umat Islam di seluruh jazirah Arab, ¼ penduduk Yaman beragama Islam berkat delegasi Mu’adz Ibn Jabal yang diutus Nabi SAW untuk mengajarkan agama kepada mereka, dan Ali Ibn Abi Thalib sebagai qadhi-nya, sesuai dengan perintah dan tuntunan Nabi SAW. Tugas tersebut dijalankannya dengan mudah tidak dipersulit, dengan bergembira tidak dibuat orang lari.

Lebih tegas lagi, sebagai strategi mengkondisikan kehidupan masyarakat Medinah agar missi tersebut dapat dilanjutkan oleh mereka para sahabatnya di kemudian harinya dalam berbagai seginya, politik, sosial, ekonomi, seni budaya, penegakkan hukum, dan termasuk hubungan antar agama, memelihara dan mempertahankan wilayah, hubungan internal dan ekternalnya, digambarkan dalam peristiwa khutbah Haji Wada’. Posisi khutbah Nabi SAW pada Haji Wada’ itu, tidak lebih dari pertanggungjawaban nabi SAW di hadapan para sahabatnya dan umat manusia bahwa tugasnya itu telah selesai dilakukan. Pesan Nabi SAW dalam khutbah Haji Wada’, meliputi : 1) Perintah mendengarkan taushiah Nabi SAW, yang dimungkinkan tidak akan bertemu lagi setelah tahun ini; 2) penetapan harus saling menjaga dan memelihara darah, harta dan kehormatan di antara kaum muslimin; 3) penetapan setiap amal akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan; 4) perintah menunaikan amanah; 5) setiap riba perlu ditinggalkan, tetapi pokok hartanya bagi kamu sekalian, dan larangan diantara kamu saling menzhalimi; 6) setiap darah yang tertumpah pada masa jahiliah perlu dihilangkan, tidak di pakai dendam; 7) syetan itu kadang-kadang membuat putus asa karena ibadat kamu di muka bumi ini secara dawam; jika syetan ditaati, maka sungguh dia akan rela oleh karena kamu telah melakukan perbuatan hina, lalu kamu meninggalkan agama kamu; 8) bahwa riba nasi’ah itu adalah suatu tambahan ketika masa kekufuran, lalu diselewengkan oleh orang-orang kafir dengan cara menghalalkan satu tahun dan mengharamkannya satu tahun, agar mereka bisa menghimpunkannya; dan sejumlah apa yang dihalalkan Allah mereka haramkannya, dan apa yang diharamkan Allah mereka halalkannya; 9) putaran waktu satu tahun itu 12 bulan, 4 bulannya adalah bulan haram; 3 bulan berurutan dan bulan Rajab terpisah; 10) diantara suami istri itu terdapat hak dan kewajiban, seorang istri tidak boleh berkumpul dengan seseorang yang yang lain yang tidak disenangi suaminya, dan ia tidak boleh melakukan perbuatan keji; jika para istri melakukannya, suami boleh berpisah tempat tidur dan memukulnya dengan tidak mecederai pisik; dan jika mereka berhenti dari segala perbuatan buruk itu, para suami tetap berkewajiban memberikan nafakah, pakaian dengan baik; 11) kewajiban bertausiah terhadap para wanita, karena mereka itu penolong kamu, tidak ada lagi sesuatu yang kamu bisa ambil dari diri mereka itu; sungguh kamu hanya bisa mengambilnya dari mereka itu dengan amanat Allah, dan kamu halalkan farjinya dengan kalimat Allah juga; 12) pahamilah setiap apa yang dikatakan ku itu, bahwa aku telah menyampaikannya; 13) aku telah meninggalkan sesuatu yang jika kamu memeganginya kamu tidak akan tersesat selamanya, yaitu kitabullah dan sunnah Rasul-Nya; 14) diantara sesama kaum muslimin itu adalah saudara, maka tidak halal seseorang mengambil harta saudaranya kecuali yang diberikan secara baik, dan jangan menzhalimi diri kamu sekalian; 15) Nabi SAW mempersaksikan apa yang disampaikannya itu, kepada orang-orang agar diakuinya bahwa hal itu sudah ditunaikannya dengan yang sebenarnya.

Apa yang disampaikan Nabi SAW dalam Khutbah Haji Wada’ itu, merupakan laporan akhir dari hasil perjuangan terhadap apa yang telah dijalankannya sejak di Makkah dan di Medinah. Sejak awal di Medinah, Nabi SAW meletakkan fondasi bangunan kemasyarakatan yang diinginkannya, sebagaimana tercatat dalam Shahifah Madinah, setelah beberapa saat lamanya dari peristiwa hijrah tiba. Fondasi bangunan masyarakat yang ditegakkannya itu, meliputi: 1) Penetapan dasar-dasar persaudaraan internal kaum muslimin di antara kaum Muhahjir dan Anshar, agar mereka tidak saling membiarkan jika beban berat menimpa kehidupan di antara mereka, seperti pembayaran diyat secara adil, sebagaimana dilakukan sejak dulu; 2) Banu ‘Auf secara kelompok membayar diyat, demikian pula setiap kelompok membayar diat dengan baik dan adil di antara orang-oeang mukmin; 3) orang-orang mukmin tidak saling membiarkan diantara mereka, tetapi menunaikan secara bersama-sama pembayaran diat; 4) seorang mukmin tidak diperkenankan mengangkat sebagai keluarga dari seorang mukmin lainnya, tanpa kerelaan kelurganya; 5) mukmin yang taqwa akan bermusuhan dengan siapa yang berbuat salah, dosa atau kerusakan; 6) penetapan keberagamaan yang dianut masyarakat Medinah terdiri dari Yahudi, Nashrani, terutama agama Islam; 7) penetapan hubungan di antara umat beragama agar satu sama lain saling menjaga dan menghormatinya; 8) pengakuan keberadaan berbagai suku-suku/ kabilah-kabilah, seperti Quraisy, Yatsrib di dalamnya meliputi Bani al-Harits, Bani Sa’adah, Bani Jusyam, Bani Najjar, dsb.; untuk saling membangun kesatuan dan persatuan; 9) Larangan berbuat kezhaliman dan perintah menegakkan keadilan diantara semua warga masyarakat, dan keadilan itu perlu didukung semua pihak, sekalipun terhadap anaknya sendiri; 10) Jika terjadi tindak pidana pembunuhan di antara orang mukmin, maka diselesaikan oleh orang-orang mukmin berdasar ketentuan hukum agamanya; dan orang mukmin tidak menolong orang kafir, demikian sebaliknya dalam hal keagamaan di antara mereka; 11) orang Yahudi yang mengikuti hukum-hukum muamalah di bawah Nabi SAW, dapat diberikan pertolongan dengan tidak zhalim, tetapi masalah yang terjadi di internal mereka diselesaikan oleh mereka sendiri; 12) orang mukmin adalah pelindung orang mukmin lainnya, dalam hal penjagaan terhadap darah mereka; 13) orang mukmin yang bertaqwa, merupakan sebaik-baiknya bahan pertimbangan; 14) seorang pembunuh akan diqishash, kecuali atas keridhaan/ pemaafan dari keluarga si terbunuh; 15) orang-orang mukmin secara total dan mandiri untuk menjalankan kewajiban dalam penegakan hukumnya; 16) tidak halal seorang mukmin yang telah mengetahui isi dalam shahifah ini, berpaling pada hukum lain, kecuali Alah akan melaknat dan memurkai mereka pada hari kiamat; 17) jika terjadi perselisihan diantara mereka sebagai penduduk Medinah, maka Allah dan Rasul-Nya, Muhammad SAW yang menyelesaikan di antara mereka; 18) orang-orang Yahudi dituntut bersama orang mukmin membantu belanja perang; 19) Yahudi bani Auf merupakan satu umat bersama dengan kaum mukminin, hanya urusan agama mereka diselesaikan oleh mereka masing-masing, kecuali para pihak yang berlaku zhalim dan dosa adalah tanggung jawab sendiri dan keluarganya; 20) posisi Yahudi lainnya sama dengan posisi Yahudi Bani Auf; 21) diantara kamu sekalian tidak boleh keluar Medinah kecuali atas idzin Muhammad SAW; 22) Masing-masing penganut agama, mengatur dan membelanjai kebutuhannya sendiri-sendiri, kecuali di antara mereka yang berbuat zhalim; 23) hukum bertetangga itu seperti hukum terhadap diri, tidak disulitkan dan tidak menyulitkan pihak lainnya; 24) tidak dibangun tetangga baru kecuali atas seizin penduduk lamanya; 25) kewajiban diantara ahli shahifah ini adalah tidak saling menzhalimi, bahkan diperintahkan untuk saling melakukan perbaikan dan penjagaan; 26) siapa saja yang keluar Medinah akan aman, berada di Medinah akan aman, kecuali para pihak yang zhalim. Allah bersama orang-orang yang berbuat baik dan bertaqwa. Strategi tersebut dilaksanakannya dengan sepenuh kekuatannya, maka terciptalah suasana kemerdekan aqidah, kemerdekaan berpandangan, kemulyaan berkehidupan dan berperadaban di Madinah, di sertai keharaman melakukan tindakan kejahatan ( Muhammad Husein Haikal, Ibid., hal. 149-151).[9] Bagian-bagian ini, yang dibutuhkan dunia sekarang ini .

Suasana seperti tersebut itu, tetap dipertahankan pada masa Khulafa al-Rasyidin, bahkan lebih dikembangkan lagi. Pengembangan itu, merupakan strategi bagi tetap terbangunnya kemaslahatan dalam kehidupan umat secara keseluruhan, seperti fatwa Abu Bakar sebagai khalifah pertama yang menetapkan bahwa mereka yang inkar zakat diacam dengan diperangi. Demikian juga,pada masa Umar Ibn al- Khattab bahwa ghanimahtidak dibagikan ke para prajurit, tetapi diganti dengan system penggajian dari bait al- mal. Secara tegas dan berdasarkan zhahir nash, fatwa Abu Bakar tidak ada nashnya, baik dalam Alqur’an maupun dalam Hadits Nabi SAW; dan fatwa Umar Ibn al- Khattab, jelas keluar dari tuntutan nash zhahir yang ghanimah itu harus dibagikan 4/5 untuk para , dan 1/5 untuk Allah SWT dan Rasul-Nya[10]. Sekalipun demikian, cita-cita nash yang berada didalam fatwa yang sudah menjadi ketetapan hukum itu, telah berposisisebagai Undang-undang kekhalifahan. Ketika fatwa itu dilaksanakan tidak berimplikasi buruk bagi umat, bahkan umat dan agama Islam menjadi terlindungi disertai perkembangan luas wilayah dakwah ke luar daratan Arabia.

Dari beberapa kasus terbatas di atas, ada bagian yang luput dari muthalaah kita semua, yaitu metodologi studi agama di antara masa Nabi SAW dan kita sekarang ini berbeda, bukan perbedaan karena teks zhahir ajaran agama. Jika mengacu pada Q.S al- Maidah 48, studi ajaran agama itu dibangun oleh dua pola.Pertama, pola Syir’ah; dan kedua pola Minhaj. Pada masa RasulSAWkedua pola tersebut dipakai secara sempurna dan terintegrasi.Sedangkan pada masa setelahnya, lebih dominan menekankan aspek syir’ah-nya. Bahkan, oleh sebagian golongan terbesar umat Islam pola Syir’ah dijadikan ukuran satu-satunya bagi justifikasi kualitas keagamaan mereka, terutama kalau sudah dibawa keranah politik. Bagian ini pula, penyebab terjadinya konplik pertama sampai darah tertumpah di dunia Islam, seperti peristiwa tahkim diantara kelompok Ali Ibn Abi Thalib dan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, perang Jamal diantara kelompok Ali dan kelompok ‘Aisyah. Wa Allahu a’lam.



Kontekstualisasi Konsep Ummah ( Masyarakat Islami ) di era Kontemporer.

Apa yang terlukiskan oleh bahasan yang lalu itu, merupakan realitas masyarakat Islam pada saat itu, sedangkan jika ditarik dalam kontek sekarang masih merupakan aspek idealitanya yang perjuangan untuk terwujudnya masih jauh. Namun, kita semua tidak boleh berputus asa, untuk tetap perlu membangun komitmen bersama. Secara khusus bagian ini akan disampaikan apa yang digagas dalam program Muhammadiyah, dilaksanakan dan terus di evaluasi, sekalipun kritik dan pertanyaan bermunculan, terutama setelah muktamar 2010 yang lalu sebagai muktamar melintas zaman, lewat satu abad. Komunitas masyarakat mana yang sudah sampai pada tujuan Muhammadiyah itu ?.



Lihat Slide diluar teks makalah ini. ……… !





Problema Realisasi Perwujudan Masyarakat Islami di Indonesia.

A. Politik.

kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan; Kelembagaan yang kurang efektif; Sistem kepartaian tidak mendukung; Berkembangnya pragmatisme;

B. Ekonomi.

Paradigma ekonomi yang tidak konsisten; Struktur ekonomi yang dualistis; Kebijakan piskal belum mandiri; Sistem keungan perbankkan tidak memihak; Kebijakan perdagangan dan industri liberal.

C.Sosial Budaya.

Memudarnya rasa ikatan kebangsaan; Disorientasi nilai keagamaan; Memudarnya kohesi dan integrasi sosial; Melemahnya mentalitas positif.

D. Keumatan.

Kemiskinan kepemimpinan dan keteladanan; Komoditisasi agama; Konservatisme agama; Kemajemukan agama; Keadilan jender.

E. Kemanusiaan Universsal.

Krisis kemanusiaan modern; Krisis pangan dan energi; Krisis ekonomi global; Migrasi global; Dialog antar agama dan peradaban.

F. Keilmuan.

Tidak searah dengan tuntutan kehidupan; Lebih menonjolkan aspek kecerdasan daripada aspek skil; dan tidak dapat membangun kemandirian berwirausaha.

Wassalam.



Daftar Bacaan .

1. Isu-isu Strategis keummatan, kebangsaan dan kemanusiaan Universal, Kep. Muktamar satu Abad Muhammadiyah,

2. Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa, PP Muhammadiyah;

3. Kebijakan pelaksanaan Program Muhammadiyah, 2010-2015;

4. Usulan kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Bermutu, 2010-2015.

5. Muhammad Husen Haikal, Hayatu Muhammad, 1935.

6. Raghib al- Ashbahaniy, Gharib al-Qur’an, t.t

7. Ayat Dimyati, Sumber-sumber Kekayaan Negara, 2008

8. KH. Irfan Heilmi, Masyarakat Madani, 1999.

9. Muhammad Sa’id Ramdhan al- Buthi, Fiqh al- Sirah, 1968






Rasulullah Menyuruh Kita Berbuat Baik kepada Pekerja

Insiden perlakuan buruk terhadap kalangan pegawai (servant) atau pembantu rumah (housemaid) masih sering terjadi. Perlakuan buruk ini mulai dari kekasaran dalam bentuk ucapan, penipuan, penyiksaan secara fisikal dan bahkan sampai kepada jinayah (criminal) yang merenggut nyawa.

Tidak sedikit di antara golongan tenaga kerja yang sering membuat pengaduan yang menggugah rasa prihatin. Seperti sikap majikan yang kasar dan pemarah, adanya iming-iming upah yang menggiurkan, sementara kenyataannya sungguh jauh dari apa yang diangan-angankan. Bahkan ada yang sudah bekerja berbulan-bulan baik sebagai pembantu rumah tangga atau kuli bangunan, tetapi kerja keras dan peluh mereka dirasakan sia-sia karena upahnya tidak dibayar oleh majikan atau perusahan yang bersangkutan.

Penderitaan semakin lengkap ketika ada di antara mereka yang dianiaya secara fisik, berupa pukulan, tendangan, injakan kaki, ditempel besi panas, disiram air panas, dicambuk, diikat dengan tali atau rantai binatang peliharaan, disekap di kamar mandi dan sebagainya. Sebagaimana insiden paling buruk di akhir tahun 2010 tentu belum bisa dilupakan, pasangan suami isteri yang menempelkan setrika panas kepada bagian badan pembantunya dan menyiramnya dengan air panas. Sadis dan tidak manusiawi.

Penganiyaan terhadap pekerja atau pembantu rumah tersebut merupakan bentuk jinayah yang memerlukan pencegahan dan penanganan secara serius. Sebab, selain melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), perlakuan buruk tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang telah diajarkan Allah dan RasulNya.

Berkenaan dengan masalah ini, Rasulullah SAW telah memberikan arahan kepada para sahabat dan kaum muslimin supaya memperlakukan para pekerjanya dengan baik, bijaksana dan penuh kasih sayang.

Disebutkan dalam sebuah riwayat yang datang dari Abu Dzar, Rasulullah SAW bersabda: "Ada saudara-saudara kalian yang dijadikan oleh Allah SWT sebagai pembantu yang berada di bawah kekuasaan kalian. Barang siapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya, maka hendaklah dia memberinya makanan dari makanannya, memberinya pakaian dari pakaiannya, dan janganlah kalian membebaninya dengan sesuatu yang tidak sanggup ia kerjakan. Jika ia membebaninya dengan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan, maka hendaklah ia membantunya." (HR Bukhari Muslim)

Sedangkan dalam hadis lain, Abdullah bin Umar juga pernah meriwayatkan, "Seorang lelaki menghadap kepada baginda Nabi SAW kemudian berkata: Wahai Rasulullah, berapa kali aku harus memaafkan pembantuku? Rasulullah SAW terdiam. Lelaki itu kemudian bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Maka Rasulullah SAW menjawab: Tujuh puluh kali setiap hari." (HR Tirmidzi). Wallahu 'alam Al-Musta'an.







Khutbah Arafah dan Tantangan Pemikiran

Pada hari ini telah Kusem­purnakan bagi kalian agama kalian dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan Islam telah Kuridhai menjadi agama bagi kalian (QS AI-Ma’idah [5]: 3).


Pada tanggal 8 Dzulhijjah ( juga disebut dengan Hari Tarwiyah) pada tahun ke 10 Hijrah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pergi ke Mina dalam proses melaksanakan ibadah haji yang pertama dan terakhir , sebab Rasululah hanya berhaji sekali sahaja. Di Mina rasul beliau melaksanakan shalat zuhur, asar dengan cara jamak qashar demikian juga dalam melaksanakan shalat magrib dan isya, dan beliau juga melakukan shalat subuh di sana. Setelah itu beliau menanti beberapa saat sehingga matahari terbit, barulah beliau melanjutkan perjalanan dari Mina menuju Arafah. Rasululah tiba di Arafah pada 9 Dzulhijjah sebelum waktu Dzuhur. Setelah masuk waktu Dzuhur, beliau melakukan shalat Dzuhur dan Ashar dengan jama’ taqdim.

Setelah matahari tergelincir, seusai shalat Dzuhur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meminta agar Al-Qashwa’, unta beliau, didatangkan. Beliau kemudian menungganginya hingga tiba di tengah Padang Arafah. Pada waktu itu telah berkumpul sekitar 124.000 atau 144.000 kaum Muslim. Beliau kemudian berdiri di hadapan mereka me­nyampaikan khutbah haji yang merupakan pesan dan wasiat terakhir beliau yang lebih dikenal dengan sebutan khutbatul wada’ yang berarti Khutbah perpisahan. Adapun isi khutbah beliau adalah sebagai berikut :

Wahai manusia! Dengarkanlah nasihatku baik-baik, karena barangkali aku tidak dapat lagi berjumpa dengan kamu semua di tempat ini. Tahukah kamu semua, hari apakah ini? (Beliau menjawab sendiri) Inilah Hari Arafah. Tahukah kamu bulan apakah ini? Inilah bulan suci. Tahukah kalian tempat apakah ini? Inilah tempat yang suci. Karena itu, aku permaklumkan kepada kalian semua bahwa darah dan nyawa kalian, harta kekayaan kalian dan setiap individu mempunyai kehormatan diri yang setiap indvidu haram untuk menumpahkan darah yang lain, menganggu kehormatan diri dan harta kekayaan yang lain, sampai kalian nanti bertemu dengan Tuhanmu di hari kemudian kelak. Semua harus kalian sucikan sebagaimana sucinya hari ini, sebagaimana sucinya bulan ini, dan sebagaimana sucinya kota ini. Hendaklah berita ini disampaikan kepada orang-orang yang tidak hadir di tempat ini oleh kamu sekalian!

Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah, saksikanlah!

Sejak hari ini dihapuskan segala macam bentuk riba. Barang siapa yang memegang amanah di tangannya, maka hendaklah segera menyampaikan kepada yang empunya. Dan, sesungguhnya sistem riba jahiliah adalah batil. Dan awal riba yang pertama sekali aku batalkan adalah riba yang dilakukan oleh pamanku sendiri, Al-’Abbas bin’Abdul-Muththalib.

Demikian juga pada hari ini haruslah semua bentuk pembalasan dendam atas pembunuhan jahiliah telah dibatalkan demikian juga segala bentuk penuntutan darah cara jahiliah. Penuntutan darah yang pertama kali kuhapuskan adalah tuntutan darah terhadap ‘Amir bin Al-Harits.

Wahai manusia! Hari ini setan telah putus asa untuk dapat disembah pada bumimu yang suci ini. Tetapi, ia bangga jika kamu dapat menaatinya walau dalam perkara yang kelihatannya kecil sekalipun. Karena itu, waspadalah kalian atasnya! Wahai manusia! Sesungguhnya zaman itu terus beredar sejak Allah menjadikan langit dan bumi.

Wahai manusia! Sesungguhnya bagi kaum wanita (istri kalian) itu ada hak-hak yang harus kalian penuhi, dan bagi kalian juga ada hak-hak yang harus dipenuhi istri itu. Yaitu, mereka tidak boleh sekali-kali membawa orang lain ke tempat tidur selain kalian sendiri, dan mereka tak boleh membawa orang lain yang tidak kalian sukai ke rumah kalian, kecuali setelah mendapat izin dari kalian terlebih dahulu. Karena itu, sekiranya kaum wanita itu melanggar ketentuan-ketentuan demikian, sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian untuk meninggalkan mereka, dan kalian boleh memukul dengan pukulan ringan terhadap diri mereka yang berdosa itu.Tetapi,jika mereka berhenti dan tunduk kepada kalian, menjadi kewajiban kalianlah untuk memberi nafkah dan pakaian mereka dengan sebaik-baiknya. Ingatlah, kaum hawa adalah makhluk yang lemah di samping kalian. Mereka tidak berkuasa. Kalian telah membawa mereka dengan suatu amanah dari Tuhan dan kalian telah halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. Karena itu, bertakwalah kepada Allah tentang urusan wanita dan terimalah wasiat ini untuk bergaul baik dengan mereka.

Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah, saksikanlah!

Wahai manusia! Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian sesuatu, yang jika kalian memeganginya erat­-erat, niscaya kalian tidak akan sesat selamanya. Yaitu: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Wahai manusia! Dengarkanlah baik-baik apa yang kuucapkan kepada kalian, niscaya kalian bahagia untuk selamanya dalam hidupmu!

Wahai manusia! Kalian hendaklah mengerti bahwa orang-orang beriman itu bersaudara. Karena itu, bagi tiap­-tiap pribadi di antara kalian terlarang keras mengambil harta saudaranya, kecuali dengan izin hati yang ikhlas.

Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah saksikanlah!

Janganlah kalian, setelah aku meninggal nanti, kembali kepada kekafiran, yang sebagian kalian mempermainkan senjata untuk menebas batang leher kawannya yang lain. Sebab, bukankah telah kutinggalkan untuk kalian pedoman yang benar, yang jika kalian mengambilnya sebagai pegangan dan lentera kehidupan kalian, tentu kalian tidak akan sesat, yakni Kitab Allah (Al ­Quran).

Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah, saksikanlah!

Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhan kalian itu satu, dan sesungguhnya kalian berasal dari satu bapak. Kalian semua dari Adam dan Adam terjadi dari tanah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian semua di sisi Tuhan adalah orang yang paling bertakwa. Tidak sedikit pun ada kelebihan bangsa Arab dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa.

Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah, saksikanlah!

Karena itu, siapa saja yang hadir di antara kalian di tempat ini berkewajiban untuk menyampaikan wasiat ini kepada mereka yang tidak hadir!

Tak lama setelah Rasulullah Saw. menyampaikan khutbah tersebut, turunlah firman Allah : “ Pada hari ini telah Kusem­purnakan bagi kalian agama kalian dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan Islam telah Kuridhai menjadi agama bagi kalian (QS AI-Ma’idah [5]: 3).

Dari khutbah diatas dapat dilihat bahwa Hari Arafah adalah hari kemanusian, hari persaudaraan dan hari keadilan umat manusia. Arafah adalah pertemuan umat islam sedunia setahun sekali, dari berbagai belahan sudut penjuru dunia, dengan berbagai warna kulit, bangsa dan budaya. Semuanya berkumpul ditempat yang satu, memakai pakaian ihram, semuanya berada dalam kedudukan yang sama tanpa mengenal pangkat, gelar dan kedudukan. Dengan khutbah diatas dapat dilihat, inilah pesan persaudaraan yang bdisampaikan kepada umat manusia, Islam adalah agama persaudaraan, bukan agama kekerasan. Umat Islam adalah umat yang menghargai darah, harta dan kehormatan manusia yang lain. Dari khutbah diatas dapat dilihat bahwa seorang muslim adalah individu yang menjaga hak-hak individu yang lain, bukan individu teroris sebagaimana yang digambarkan oleh media barat.

Demikian juga islam adalah agama yang mengakui perbedaan bangsa, suku dan budaya. Persamaan dan persaudaraan global tersebut tidak sampai kepada pengakuan semua agama sama yang dilontarkan oleh kelompok pluraisme agama. Oleh sebab itu setelah khutbah turun ayat yang menyakatan bahwa agama Islam aadalah agama sempurna. Islam mengakui perbedaan budaya dan agama (pluraritas agama ) tetapi tidak mengakui pluralism agama yang menyatakan bahwa semua agama itu adalah sama.

Demikian juga Islam adalah agama yang sangat menghargai kedudukan wanita, bukan agama yang menindas wanita sebagaimana yang dogambarkan oleh kelompok gerakan feminism. Hukum Islam adalah hukum yang menjaga kehormatan ndan harga diri wanita bukan hokum yang membatasi dan mendzalimi sifat-sifat kewanitaan. Jika terjadi beberapa mkasus dalam masyarakat itu bukanlah produk hukum Islam tetapi sikap muslim yang tidak memahami bagaimana islam menjaga wanita.

Setelah khutbah turunlah ayat yang menjelaskan bahwa islam adalah agama sempurna, sehinga tidak memerlukan perubahan hokum sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh kelompok islam liberal. Semoga dalam menyambut hari rafah dan Idul Adha tahun ini, umat Islam dapat menghayati khutbah arafah tersebut sebagai pedoman dalam menghadapi tantangan pemikiran globalisasi, hak asasi manusia, yang disebarkan oleh kelompok barat yang disuarakan oleh gerakan feminism, islam liberal dan lain sebagainya. Fa’tabiru ya ulil albab.





Haji Mabrur : Ibadah, Akhlak dan Perjuangan


Setiap jamaah haji, mengharapkan agar menjadi haji mambrur sebab dalam hadis disebutkan bahwa : “ Tiada balasan dari haji yang mabrur kcuali surge “ ( hadis muslim ) . Dalam hadis lain kedudukan haji babrur setelah jihad di jalan Allah, sebagaimana dinyatakan dalam hadis Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw ditanya, "Amal apakah yang paling utama?" Maka beliau menjawab, "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya." Ditanyakan lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Jihad di jalan Allah." Ditanyakan lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Haji mabrur." (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadis ini, dapat dilihat bahwa haji mabrur dihubungkan dengan jihad fi sabilillah. Mengapa demikian, sebab haji mabrur bukan hanya sekedar ibadah, tetapi juga memerlukan akhlak yang mulia, manajemen yang rapi dan perjuaangan yang keras sebagaimana yang diperlukan dalam suatu perang dan jihad.

Mabrur berasal dari kata kata "barra-yabirru- mabrur” yang berarti berbuat kebaikan, kebajikan dan berbakti. Kita sering mendengar kata-kata "Birrul Walidain" yang berarti berbuat baik dan berbakti kepada kedua orangtua. Kata-kata "Mabrur" dalam tatabahasa Arab berarti orang yang melakukan kebaikan dan kebajikan. Oleh karena itu haji yang mabruur adalah haji yang dapat menghayati makna-makna yang tersirat dalam ibadah haji dalam sikap dan tindak tanduk sehari-hari di tengah kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Haji Mabrur merupakan sikap hidup, kepribadian, dan akhlaq yang dapat menjadi uswah hasanah, contoh teladan bagi masyarakat. Rasulullah saw bersabda : Haji yang mabrur tiada balasannya kecuali surga. Sahabat kemudian bertanya kepada Rasul : Apakah yang dimaksud dengan haji mabrur tersebut. Rasul menjawab : "Ucapan yang baik dan memberi makan". Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa haji mabrur adalah sikap berbuat baik dan kebajikan kepada masyarakat. Maka haji mabrur adalah pribadi yang teladan, pribadi yang dapat menjadi rahmat , pribadi yang dalam sikap hidupnya dapat memberikan kehidupan surgawi baik kepada keluarga, kepada tetangga, kepada masyarakat. Dalam hadis lain disebutkan bahwa mereka yang baru pulang haji, bagaikan bayi yang baru lahir tanpa noda dan dosa. Berarti haji mabrur setelah pulang dari tanah suci akan menampilkan kepribadian yang bersih dari cela dan noda. Kehadiran merera diharapkan laksana sabun pembersih yang dapat membersihkan segala kekotoran, kemungkaran, dan kemaksiatan di tengah masyarakat. Mengapa demikian..? Karena mereka adalah manusia pilihan yang telah menyaksikan dan mengadakan nipak tilas bagaimana perjuangan Rasulullah dan Rasul-rasul yang lain melakukan dakwah untuk amar makruf dan nahi munkar.

JIka kita meneliti perjalanan haji di tanah suci, maka jamaah haji harus memfokuskan kepada tiga hal yaitu : ibadah, akhlak dan perjuangan. Ibadah, selama di tanah suci, jamaah haji akan disibukkan dengan ibadah di masjidil haram, dan di masjid nabawi, dimana pahala ibadah di masjid haram adalah seratus ribu kali daripada masjid yang lain, sedangkan di masjid nabi seribu kali lebih daripada masjid yang lain. Jamaah haji disibukkan dengan segala bentuk ibadah, dari thawaf, shalat berjamaah, shalat sunat, membaca alquran , berzikir , dan lain sebagainya. Disaat yang sama dengan jumlah manusia yang berjuta,juta dengan berbagai budaya dan pebedaan, mereka berdesak-desak, berinteraksi dengan jamaah lain, maka dalam melakukan ibadah tersebut jemaah haji harus memperhatikan akhlak yang mulia, ditengah keramaian manusia. Keseimbangan antara melaksanakan ibadah kepada Allah dengan tetap menjaga akhlak yang mulia ditengah keramaian, merupakan latihan dalam haji. Ditambah lagi , untuk mencapai masjididl haram sebagian jemaah terpaksa menembuh perjalanan yang melelahkan dari tempat pondokan, dengan kemacetan lalulintas, malah ada yang berjalan kaki setiap akan ke masjid dari tempat yang jauh, itu merupakan perjuangan yang memerlukan stamina dan kesabaran, serta kekuatan badan yang prima.

Demikian juga sewaktu jamaah haji wukuf di arafah, semuanya berkumpul di tempat yang sama dalam waktu yang sama dengan alam yang penuh tantangan, dengan tempat yang terbatas di dalam tenda, dan fasilitas sanitari yang sangat minim. Di Arafah jamaah berzikir, bertafakkur, di tengah keramaiaan manusia dan harus segera bergerak cepat setelah sore hari menuju muzdalifah secara serentak, demngan berjalan kaki dan menaiki bis yang berjalan dengan perlahan. Jutaan manusia bergerak di malam hari untuk mabit ( bermalam ) di Muzdalifah, di alam terbuka. Sehinga setiap tempat padang pasir, dan gunung batu dipenuhi oleh jemaah haji yang ingin beribadah mabit, di tengah kegelapan malam, tanpa tenda, hanya beralaskan tikar apa adanya, merupakan latihan perjuangan yang diperlukan oleh umat setelah jemaah haji pulang ke tanah air.

Setelah tengah malam, jutaan manusia yang bertebaran di seluruh kawasan muzdalifah, bergerak bersama menuju mina untuk melakukan lontar jamrah aqabah, bergerak bersama-sama dengan berjalan, dan berkenderaan, hanya untuk memenuhi rukun ibadah melontar jumrah. Jamrat yang bertingkat, walaupun melapaangkan jamaah dari berdesak-desak, tetapi untuk melakukan lontaran tersebut jamaah perlu berjalan jauh, sehingga memeerlukan stamina yang kuat., Di malam hari, jamaah di mina, mabit (bermalam) baik mereka yang di tenda-tenda yang telah dipersiapkan, maupun tenda sederhana dal alas mabit dari tikar memenuhi seluruh kawasan mina, sampai sebagian mereka mabit dan tidur di tepi jalan, dan di lereng-lereng gunung batu yang curam.

Dapat dibayangkan jemaah haji dari hari wukuf berkumpul di Arafah, kemudian bergerak dalam waktu yang sama berjalan sekitar 8 kilometer menuju muzdalifah, berhenti untuk mabit memenuhi seluruh kawasan sehingga gunung muzdalifah tertutup oleh badan-badan manusia yangs edang mabit, setelah tengah malam, jemaah yang sedang mabit, semuanya bergerak bersama-sama menuju mina yang berjaran dua kilo meter dari muzdalifah, untuk melakukan lontaran jumrah.Jutaan jamaah dengan kekuatan iman, dapat bergerak menaklukkan gurun pasir yang gersang dan penuh tantangan, dengan waktu yang terbatas, dalam gerak yang cepat. Ini semua merupakan latihan perjuangan, sehingga dapat dibayangkan jika seandainya jemaah haji tersebut sepulang dari tanah suci dapat bergerak dengan cepat, tabah dan sabar dalam menghadapi segala tantangan, siap menghadapi setiap perlawanan sebagaimana mereka siap menghadapi musuh di Mina yang dilambangkan dengan melontar jumrah, bergerak bersama-sama, ini merupakaj kekuatan umat yang sangat hebat.

Setelah melontar jamrah aqabah, jemaah haji mabit di Mina , baik di kemah-kemah maupun di setiap tempat yang dowong, ada yang di tepi jalan, di kolong jembatan, malah ada yang di bawah bus dan truck, di samping w.c, di setiap pojok semuanya mabit untuk beribadah, berdambingan dengan segala macam bangsa, dengan warna kulit, budaya, sikap dan tingkah laku. Kemudian setalah waktu dzuhur, semuanya segera bergerak untuk melontar jamrah ula, wustha, dan aqabah, ada yang menuju escalator dan ada yang berjalan menuju ketempat melontar. Ibadah, akhlak dan perjuangan diperlukan selama jamaah berada di Mina baik sewaktu melontar maupun sewaktu melakukan mabit.

Setelah melontar jumrah, seluruh jamaah haji bergerak menuju Makkah, ada yang berjalan kaki, dan sebagian besar manaiki kenderaan, seluruh jalan penuh sehingga untuk mencapai Makah yang berjaran hanya sekitar 8 kilo meter tersebut sebagian kenderaan mengalami kemacetan total sehingga 5 sampai 7 jam. Semuanya menuju Masjidil haram untuk melakukan thawaf ifadhah, sehingga kawasan tawaf baik yang berada di bawah, disamping ka’bah, sampai ke lantai atas, di atap Masjidil haram penuh sesak oleh jamaah yang akan melakukan thawaf dan sai.

Seluruh jamaah haji yang telah ditempa dengan ibadah dengan penuh kekhusyukan disebabkan keadaan dan tempat jemaah yang selalau ingin mendekatkan diri kepada Allah di sekeliling Ka’bah, dengan penuh kecintaan kepada Allah sebagaimana keinginan mereka untuk mencium hajaral aswad, disamping dilatih untuk berakhlak mulia di tengah perbedaan karakter dan kultur umat yang dating dari segala penjuru dunia, dan dilatih dengan perjuangan dengan kondisi alam yang begitu keras, dengan pengaturan waktu dan manajemen yang harus dilaksanakan dengan baik, Ini semua merupakan modal utama untuk mendapatkan haji mabrur, pribadi yang akan tetap beribadah, berakhlak mulia dan berjuang di tengah masyarakat sekembalinya mereka ke tanah air. Semoga jemaah haji dapat menjadi haji mabrur.





MENJADI GURU KREATIF


Seiring dengan semakin meningkatnya perhatian pemerintah terhadap profesi guru, terlebih lagi dengan adanya program sertifikasi guru, maka perbincangan tentang guru tidak akan pernah berhenti dan selalu menarik serta aktual. Zaman dahulu profesi ini seakan-akan dicibiri, namun kini justru berubah 180 derajat, profesi ‘oemar bakri’ ini justru semakin diminati dan ‘dicemburui’. Hampir setiap hari di media massa kita dapat membaca good news, best news, atau bad news tentang profesi yang satu ini, baik yang berhubungan dengan sertifikasi guru, pengangkatan guru honorer, penilaian terhadap guru bersertifikat, maupun berita tentang kasus-kasus yang menimpa guru.

Dengan meningkatnya status profesi guru, maka berimplikasi pada pembuktian bagi semua guru untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka betul-betul bisa menampilkan sosok guru yang profesional dan berkompeten. Guru yang menjadi idaman, teladan sekaligus panutan para peserta didik. Satu diantara sekian banyak tuntutan yang harus dibuktikan oleh guru adalah kreatifitasnya dalam mengajar.

C.P. Chaplin dalam buku Kamus Lengkap Psikologi (1999: 117) menyatakan bahwa kreatif artinya penggunaan atau upaya memfungsikan kemampuan mental produktif dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah, atau upaya pengembangan bentuk-bentuk artistik dan mekanis, biasanya dengan maksud agar orang mampu menggunakan informasi yang tidak berasal dari pengalaman atau proses belajar secara langsung, akan tetapi berasal dari perluasan konseptual dari sumber-sumber informasi tadi. Pengertian ini mengandung makna bahwa kreatif berkaitan erat dengan pengembangan dan perluasan dari asal atau bentuknya yang asli.

Dengan demikian guru kreatif adalah guru yang selalu berusaha untuk mengembangkan dan memperluas proses pembelajaran yang selama ini dianggap statis dan baku. Guru kreatif adalah guru yang anti kemapanan, ia punya ide-ide cerdas dan brilian dalam meningkatkan mutu pendidikan, memiliki keingintahuan yang besar dalam mencoba, menemukan dan meneliti sesuatu yang dapat mendongkrak kualitas pembelajarannya.

Guru kreatif ibarat air yang mengalir. Bila di suatu tempat dibendung atau dihambat supaya tidak jalan, air itu akan berbulak-belok ke arah lain untuk mencari celah-celah sehingga bisa dilalui. Seberat apapun permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan, bagi guru kreatif selalu berusaha mencari berbagai alternatif atau solusi pemecahan masalahnya. Apabila solusi yang satu mentok, maka dicari solusi yang lain, begitulah seterusnya, sehingga permasalahan tersebut bisa diatasi dengan baik dan tuntas.

Guru kreatif tidak terbawa oleh irama guru lain yang stagnan. Guru kreatif tertarik akan sesuatu yang baru dan bersifat positif. Bila guru lain hanya mengajar dengan satu metode dan atau satu media, maka guru kreatif menggunakan multi/variasi metode dan atau multi/variasi media. Guru kreatif bukanlah guru yang datang ke sekolah menyampaikan materi pelajaran saja. Ia tidak peduli apakah materi itu dipahami oleh peserta didik atau tidak, yang penting baginya adalah transfer of knowledge, sementara transfer of value-nya diabaikan. Guru kreatif bukanlah guru yang selesai mengajar diteruskan dengan ngerumpi atau ngobrol-ngobrol tak karuan sambil balakecrakan makan-makan di kantin sekolah atau di kantor. Yang diobrolkan oleh para guru kreatif adalah perbincangan atau tema yang aktual dan up to date yang menjurus pada bagaimana mutu pendidikan ini bisa ditingkatkan pencapaian keberhasilannya. Guru yang selalu berdiskusi dengan teman-temannya membicarakan bagaimana cara meningkatkan kompetensi keguruannya (kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial).

Guru kreatif jarang mengeluh atau tidak pernah berkeluh kesah tentang kehidupan pribadi dan keluarganya di depan kelas, justru mereka seringnya memuaskan hati anak didiknya dengan tetap tampil fresh, menarik, menyenangkan, dan selalu punya spirit untuk memberi bukan meminta. Pendekatan pembelajaran yang digunakan oleh guru kreatif adalah pendekatan student centered (terpusat pada peserta didik), bukan teacher centered (terpusat pada guru). Ia senantiasa memberi kesempatan seluas-luasnya pada peserta didik untuk mengembangkan potensinya. Guru kreatif memberi kemudahan atau fasilitas pada anak didiknya untuk berkreatifitas. Guru kreatif membuat peserta didik menjadi kreatif. Peserta didik menjadi kreatif salah satunya karena terdorong oleh pengamatan mereka yang melihat gurunya kreatif.

Guru kreatif punya dinamika (dinamis), senang akan perubahan dan selalu terpacu untuk berubah. Firman Allah SWT dalam Surat Ar-Ra’du ayat 11 (…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri…) senantiasa menjadi motivasi untuk merubah diri. Dirinya mempunyai sebuah prinsip: “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini”.

Guru kreatif senang membaca ‘tanda-tanda zaman’ dan senantiasa mencermati laju perkembangan zaman. Buku, majalah, koran, dan televisi menjadi ‘makanan’ sehari-harinya. Tentunya media-media tersebut penggunaan dan pemanfaatannya dilakukan secara selektif, tidak taken all tanpa pemilahan. Guru kreatif tidak terbawa oleh efek negatif dari pesatnya perkembangan IPTEK. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang positif diresponnya dengan melakukan sesuatu yang positif pula. Ia melek teknologi (Metek), tidak gagap teknologi (Gaptek). Adanya internet dijadikan sarana oleh dirinya untuk memperluas wawasan, sebagai sumber pengayaan referensi, sehingga guru kreatif mempunyai ilmu pengetahuan yang luas dan sikap yang luwes (fleksibel).

Akhirnya, guru kreatif adalah guru yang berlomba-lomba dalam kebaikan (ber-fastabiqul khairaat), bukan guru yang berlomba-lomba dalam kemungkaran (ber-fastabiqul munkaraat). Semoga kita, khususnya para guru, termotivasi untuk menjadi guru kreatif. Meskipun sudah menjadi guru kreatif, tetaplah kita rendah hati (tawadhu) dan selalu ingin berbagi (sharing), menularkan dan mendakwahkan ilmu serta pengalamannya kepada orang lain sehingga termasuk manusia yang menurut sabda Rasul SAW: “Khairun Naasi Anfa’uhum Linnaasi”. Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain. Amin. (Dimuat di Koran Harian Pagi Radar Tasikmalaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar