Powered By Blogger

Selasa, 28 Februari 2012

ARTIKEL

Lonceng Kematian Pendidikan


‘Kalau saja ada lembaga independen di bidang pendidikan yang mencoba menginvestigasi sistem penerimaan peserta didik baru di seluruh dunia maka Kota Cirebon pasti akan memperoleh peringkat paling semrawut’, gerutu Dogol sambil melempar Koran Kabar Cirebon di halaman depan rumah salah seorang pelanggannya. Pekerjaannya sebagai loper Koran memang ‘memaksa’ nya harus membaca berita-berita hangat yang dimuat dalam media cetak lokal, dan beberapa hari ke belakang mass media lokal memang banyak memuat komentar dari mulai kalangan birokrat, politisi, LSM, ormas kepemudaan. Dan dari obrolan beberapa teman sesama tukang koran, ternyata penjual jasa memasukkan siswa baru juga tidak hanya dari kalangan orang-orang terhormat tetapi juga ternyata yang berprofesi sebagai tukang becak (yang biasa mangkal di sebuah SD) pun ikut bermain.

Dari para pelanggan Koran yang kebetulan terlibat menjadi panitia pendaftaran peserta didik baru (PPDB), dan dikuatkan dengan informasi para orang tua yang memasukkan anaknya diketahui cerita lucu sekaligus mengharukan, ada seorang pendaftar yang diterima di sekolah pilihan ke 2 dan sempat ikut MOS hari pertama, tapi hari-hari berikutnya tidak pernah datang. Munculnya malah di sekolah pilihan ke 1 yang awalnya tidak diterima. Dan banyak lagi kisah lucu PPDB yang tidak pernah terpikirkan terjadi pada PPDB tahun-tahun sebelumnya.

Jika dianalogikan dengan penyakit kanker, maka penyakit PPDB tahun ini sudah masuk ke stadium empat. Virusnya telah menyebar ke seluruh tubuh, semua kalangan ‘ikut bermain’ dalam PPDB dengan berbagai alasan yang absurd. Dari mulai kompensasi politik kepada konstituen pasca pilkada, menanamkan image atau opini publik sebagai partai pembela rakyat, balas budi pengangkatan jabatan birokrasi, intimidasi dan ketakutan dicopotnya jabatan, sampai kepada hal-hal yang berbau uang haram (dalam perspektif materialisme marxis uang harum ini diterjemahkan sebagai ‘uang harum’ karena bisa meningkatkan daya beli).

PPDB online yang digagas oleh komisi C sebenarnya bukan hal baru. Sekolah berstandar internasional yakni SMP 1, SMP 5, SMA 1 dan SMA 2 sudah memulainya. Tapi tahukah komisi C bahwa kelucuan tetap saja terjadi, masih ada siswa yang orang tuanya memiliki kekuatan loby dan uang bisa menembus sistem online RSBI tersebut. Tanpa tes seorang siswa SMP bisa masuk ke SMA 1, setelah ikut MOS beberapa hari di SMA 1 kemudian merasa tidak cocok, tiba-tiba dia muncul di SMA 2 minggu berikutnya. Kasuistis memang sifatnya, tapi dari sini bisa terlihat bahwa sistem online tidak steril terhadap kecurangan ?



Dana APBD.

Yang agak mengejutkan Dogol adalah rencana dikucurkannya dana APBD untuk memfasilitasi sarana PPDB on line di sekolah-sekolah negeri. Entah berapa ratus juta dana rakyat ini akan dianggarkan dalam rangka menyiapkan perangkat software dan hardware, sementara dalam pikiran Dogol yang sederhana kemungkinan sistem online akan bernasib sama dengan sistem sekarang ini. Sehebat apapun sistem yang digunakan kalau kultur relasi subordinasi atau kooptasi antara pelaksana PPDB di pihak sekolah dengan pejabat diknas plus politisi tidak dibenahi maka tidak akan bisa berjalan.

Pernahkan anggota dewan berpikir bahwa masyarakat sekarang sudah demikian cerdas dan penuh siasat. Aturan kuota 10% dari luar kota misalnya, hanya efektif pada tahun pertama. Pada tahun kedua para orang tua calon peserta didik yang kebetulan berada di wilayah kabupaten Cirebon rata-rata sudah mengantongi Kartu Keluarga Kota.

Para calo pembuat Kartu Keluarga aspal (asli tapi palsu) berkeliaran di depan sekolah-sekolah negeri, dengan uang hanya Rp.50.000,00, orang tua calon siswa yang berasal dari luar kota Cirebon bisa memperoleh Kartu Keluarga kota dalam hitungan menit. Praktek jual beli Kartu Keluarga ini demikian kasat mata dan dilakukan di depan publik. Dogol bersyukur menjadi rakyat jelata dengan status penjual Koran sehingga bisa mengamati segala persoalan sosial yang terjadi. Praktek menyiasati kuota 10% ini berlangsung karena adanya simbiose mutualisme antara kapitalisme di satu sisi dan ketakutan tidak diterima pada sisi yang lain. Dan masyarakat pun tampaknya sudah tidak lagi punya sense of belonging terhadap soal-soal peraturan, hukum, atau kepatutan sosial. Bisa jadi tIngginya tingkat korupsi atas dana-dana yang dilakukan para pejabat dan para politisi tampaknya sudah mengubah orientasi masyarakat, dari masyarakat yang menghargai nilai-nilai luhur berbangsa dan bernegara menjadi masyarakat yang apatis, egois, pragmatis, dan abai terhadap kejujuran. Budaya patron yang berkembang di masyarakat menganggap para pejabat atau pollitisi sebagai orang pintar yang perlu ditiru perilakunya ternyata memperoleh momentumnya.

Simbiose mutualisma yang terjadi antara pemesan kartu keluarga dengan para calo pembuat kartu keluarga aspal juga membuat praktek ini berlangsung tanpa hambatan. Sementara validasi yang dilakukan oleh panitia PPDB juga sebatas formalitas. Simbiose mutualisma juga terjadi dalam praktek kecurangan ujian nasional tahun ini antara orang tua siswa dengan pihak sekolah. Untuk menaikkan gengsi daerah dilakukan intrik-intrik kotor untuk menggolkan 100% kelulusan. Sehingga tidak heran banyak siswa yang dalam kesehariannya mendapatkan ulangan dengan nilai rata-rata rendah tetapi mendapatkan nilai maksimal (atau 10) dalam ujian nasional. Orang tua tidak pernah menggugat (bahkan bersyukur) anaknya mendapat nilai tinggi meski paham benar kalau anaknya memiliki kemampuan pas-pasan. Pihak sekolah bangga dengan 100% lulus, para birokrat senang karena peringkat daerahnya terdongkrak. Persoalan anak-anak yang lulus kehilangan orientasi kejujuran, tidak kompetetif, dan kemungkinan filsafat machieveli yang menghalalkan segala cara menjadi panutan tidak pernah dipertimbangkan.

Ketika proses pelulusan melalui ujian nasional yang penuh intrik serta kecurangan dan proses penyaringan input dalam PPDB yang juga tidak mempertimbangkan kualitas dan kepatutan, maka tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari sekolah sebagai pusat perubahan budaya konstruktif masyarakat. Sekolah hanya akan menelurkan ‘bebek-bebek pendidikan’ yang bermental pengekor tanpa akal budi, pengecut dan koruptif. Sekolah hanya meluluskan orang-orang cerdas secara intelektual tapi abai terhadap nilai-nilai ketuhanan.



Political Will

Sebagai rakyat kecil Dogol percaya bahwa selalu ada orang-orang di kalangan birokrasi dan politisi yang berdiri di atas kebenaran. Mereka adalah orang-orang yang selalu mencukupkan diri dengan gaji atau honor yang didapat secara halal. Tidak peduli godaan materi berupa uang pelicin, suap atau apapun istilahnya dari proses PPDB yang begitu besar (menurut hitungan kasar Dogol, jika diakumulasi mencapai miliaran rupiah). Mereka peduli terhadap kualitas generasi dan perbaikan mentalitas masyarakat yang cenderung kian memprihatinkan (merebaknya tawuran antar kampong, fenomena gang motor, pemakaian pil dekstro, merebaknya terorisme dan hal-hal destruktif lainnya).

Validasi data nilai pendaftar, keabsahan kartu keluarga pendaftar kalau memang kuota 10% masih diberlakukan, tekanan para politisi (beserta kroninya) dan birokrat, adalah beberapa kendala yang harus dihadapi sekolah negeri dalam PPDB sistem on line. Beranikah kepala sekolah melawan intimidasi atau kooptasi dari berbagai pihak yang akan meruntuhkan sistem yang disebut-sebut sebagai sistem yang paling handal dan telah disetujui oleh para pengelola sekolah swasta sebagai pihak yang akan terkena imbas. Atau palking tidak, bisakah para politisi dan birokrat menahan diri untuk tidak ikut campur dalam mekanisme PPDB. Kalau tidak, maka lonceng kematian pendidikan kota wali tinggal menunggu waktu.







Cantik Secara Halal


SUATU ketika, dalam forum pengajian Muhammadiyah, salah seorang panitia tampil di podium mempromosikan sebuah produk kosmetika ternama yang dinyatakan aman secara syar’i. Acara selingan tersebut merupakan bagian dari kampanye pemakaian kosmetika halal.

Dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa tidak semua kaum muslimah menyadari adanya produk-produk kecantikan yang mengandung lemak babi dan bahan-bahan yang membahayakan.

Penulis bukanlah seorang pakar bidang kecantikan, juga bukan ahli agama. Melalui tulisan ini sekadar ingin berbagi kegelisahan mengingat masih banyak saudara kita kaum muslimah yang kurang hati-hati memilih kosmetika sehingga tanpa sadar jatuh pada pilihan yang salah. Tampil cantik, anggun dan menawan merupakan idaman kaum perempuan.

Cantik secara Islami bukan hanya menarik secara fisik, melainkan bagaimana seorang muslimah berusaha merias diri secara lahir-batin meliputi cara-cara menggapai kecantikan, sampai pada tujuan dari tampil cantik itu sendiri. Cantik secara halal dan Islami tentunya tidak sekadar menjaga penampilan fisik, tetapi bagaimana agar karunia Allah Swt berupa panca indera disyukuri dengan kesungguhan hati.

Seorang perempuan tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan (ilmu) tentang kecantikan, tetapi juga ilmu keagamaan sehingga antara keduanya tidak berseberangan. Seluruh panca indera merupakan karunia Allah Swt yang disematkan kepada manusia. Secara kodrati, namanya perempuan ya pasti cantik. Ungkapan tersebut merupakan bentuk pengakuan akan kebesaran Allah Swt sebagai pencipta manusia.

Allah Swt menciptakan manusia sebaik-baik makhluk. Atas dasar ini, maka semua perempuan pada dasarnya menyimpan potensi kecantikan. Persoalannya dari sudut mana kecantikan tersebut ditemukan dan dengan cara bagaimana manusia menjaganya. Islam adalah agama yang mencintai keindahan, kebersihan dan kesehatan yang mendasari nilai-nilai kecantikan.

Bagi perempuan, keindahan dan keteduhan yang terlihat dari kulit, bibir dan pancaran mata merupakan karunia Tuhan yang mesti disyukuri, tidak cukup hanya dengan ucapan Alhamdulillah, melainkan juga dengan merawatnya sebaik mungkin. Budaya Kosmetik Kaum perempuan berangan-angan memiliki struktur tubuh yang ideal dan proporsional. Mereka berusaha menutupi sisi kelemahan fisiknya dan memoles bagian-bagian tertentu agar lebih menarik.

Muncullah sederet konsep tentang kecantikan dan tata-cara menggapai dan merawatannya. Make up atau alat-alat kosmetik bagi perempuan senantiasa menjadi “teman hidup” yang perlu disediakan di rumah. Kosmetika hadir menjadi kebutuhan setiap perempuan. Budaya kosmetik telah merambah ke berbagai arah, dan perempuan menjadi bagian penting dari penyebaran berbagai jenis alat-alat kecantikan.

Di pasaran, kosmetika hadir dengan karakteristik yang khas dan tersedia dalam beragam harga dan kelas. Kaum perempuan bebas membeli kosmetika yang diinginkan sesuai kondisi keuangan. Kaum muslimah dihadapkan pada problem dalam memilih kosmetika yang ideal. Salah dalam memilih kosmetika bukan tanpa risiko.

Kita begitu sering disuguhi berita tentang kosmetik yang membahayakan kesehatan tubuh, sampai pada kosmetik yang mengandung bahan-bahan haram. Jika sampai salah pilih, ririkonya bisa fatal. Alih-alih bisa tampil cantik, yang terjadi justru tampilan norak dan menakutkan. Bahkan penggunaan kosmetika yang mengandung bahan haram juga dapat mengganggu ibadah. Kita telah banyak diingatkan para ahli, bahwa penggunaan kosmetik yang tidak tepat dapat mengganggu kesehatan.

Di sinilah tantangan bagi kaum muslimah agar lebih hati-hati dan selektif dalam memilih dan menggunakan kosmetik. Bagi seorang muslimah, mengaplikasikan kosmetika pada wajah dan tubuh, selain sebagai bentuk rasa syukur, juga dapat membuat muslimah bisa tampil menarik dan lebih percaya diri.

Tentu saja perlu menghindari penggunaan kosmetika yang berasal dari bahan-bahan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Bahan-bahan yang mengandung unsur haram seperti lemak babi dan juga bahan yang tidak aman untuk digunakan seperti mercury, tentunya harus dihindari sejauh mungkin.

Sertifikasi halal merupakan jaminan wajib diberikan negara kepada warganya yang mayoritas muslim. Sertifikasi ini penting karena dapat menambah keyakinan muslimah agar tak ragu menggunakan kosmetika sebagai cara untuk menjaga penampilan atau mempercantik diri.

Halal dan aman menjadi standar wajib kosmetika bagi muslimah. Bukan semata-mata mengamankan tubuh dari pengaruh kosmetika berbahaya, tetapi juga demi menjaga ibadah agar sah di hadapan Allah. Ibadah seperti shalat atau berdoa misalnya, tidak aka nada artinya jika dalam tubuh pelakunya tersimpan benda-benda haram dan najis. Selama ini make up produk luar negeri membanjiri pasaran. Sebagai muslimah tentunya perlu berpikir cerdas dan mewaspadai kandungan bahan yang ada dalam kosmetika import tersebut.

Persoalan kecantikan juga tidak terhenti pada urusan kosmetika, tetapi juga busana. Jika ingin tampil cantik secara halal, perempuan muslimah tentu harus mengenakan busana yang menutupi aurat. Ketentuan syariat ini sudah cukup dipahami oleh masyarakat.

Namun demikian perlu terus-menerus menghampanyekan pentingnya menutup aurat. Busana muslimah sudah populer dalam bisnis fashion global. Bahkan busana muslim sudah melintasi antar agama. Tak hanya muslim yang menggunakan baju serba tertutup, banyak orang di Eropa atau Amerika pada musim dingin memakai busana serba tertutup, meskipun tujuannya bukan menutup aurat, melainkan mengusir hawa dingin.

Dari sini dapat dipetik pelajaran, bahwa Islam merupakan ajaran yang universal dan bisa diterima pemeluk agama lain. Menjaga kecantikan dengan mempertimbangkan unsur kehalalan kosmetika dan pakaian, maka Insya Allah akan mampu menampilkan aura keindahan menyeluruh yang bersumber dari cahaya ke-Ilahian. Inilah yang membedakan antara kecantikan kaum muslimah dengan yang bukan muslimah.







LABEL BIASA, MUTU LUAR BIASA


Gonjang-ganjing tentang perlunya distop pendirian sekolah berlabel RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) yang baru cukup menggelitik penulis. Di satu sisi proyek RSBI berasal Kementerian Pendidikan Nasional, namun di sisi lain justru pejabat yang ada di Kementerian Pendidikan Nasional sendiri, dalam hal ini Pusat Penelitian dan Kebijakan Balitbang Kemendiknas, yang merekomendasikan kepada Mendiknas M. Nuh untuk menghentikan kemunculan RSBI yang baru (Lihat Koran Radar Tasikmalaya, edisi tgl 15 dan 16 Maret 2011). Namun demikian penulis tidak akan menyoroti tentang ‘gonjang-ganjing’ itu, biarlah pihak yang berkepentingan, dalam hal ini Kemendiknas, yang mencari solusi terbaik dari hasil evaluasi Pusat Penelitian dan Kebijakan Balitbang Kemendiknas. Dalam kesempatan ini, penulis hanya mencoba mengkaji secara sederhana tentang tidak terlalu pentingnya ‘label’ sekolah, yang justru lebih penting dan strategis adalah bagaimana setiap sekolah mampu menghasilkan lulusan yang bermutu tanpa memandang ‘label’ sekolah yang bersangkutan.

Pada awalnya sekolah didirikan sebagai pelengkap dan pembantu pendidikan di lingkungan keluarga. Sekolah dibutuhkan karena orangtua sibuk bekerja, terbatas dalam ilmu mendidik, sempit dalam waktu luang, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, kini sekolah menjelma seakan-akan menjadi lembaga pendidikan ‘utama’ bagi anak. Di zaman sekarang, sekolah, baik dalam jalur pendidikan formal, informal, maupun non formal, tumbuh secara pesat. Sekolah berlomba-lomba mengeksistensikan diri sebagai sekolah yang mampu menarik minat orangtua, sehingga orangtua merasa tertarik untuk menitipkan anaknya ke sekolah tersebut. Label sekolah pun bermunculan, seperti: negeri, swasta, SSN (Sekolah Standar Nasional), RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional), SBI (Sekolah Berstandar Internasional), dan lain-lain. Apapun labelnya, yang jelas, pada setiap sekolah diharuskan mempunyai fasilitas atau sarana dan prasana yang dapat mendukung berlangsungnya proses pembelajaran. Dari label dan ketersediaan fasilitas yang ada pada sebuah sekolah, maka dalam pandangan penulis, timbul istilah sekolah ‘biasa’ dan sekolah yang ‘tidak biasa’. Sekolah ‘biasa’ salah satunya selalu diidentikan dengan sekolah yang serba miskin fasilitas; sedangkan sekolah yang ‘tidak biasa’ dimaknai sebagai sekolah yang serba kaya fasilitas, mempunyai sarana dan prasarana yang serba lengkap, bahkan terkadang terkesan ‘wah’ dan ‘mewah’.

Penulis mengacungkan jempol pada sekolah yang termasuk kategori ‘biasa’ tapi lulusannya mempunyai kualitas yang luar biasa. Sekolah yang minim fasilitas, namun output-nya berkualitas. Sekolah yang arealnya tidak terlalu luas, tapi semua penghuninya mempunyai hati yang ikhlas dalam mendidik anak. Sekolah yang serba sederhana, namun lulusannya mampu ‘melanglangbuana’. Sekolah yang anak didiknya pada saat masuk punya kemampuan ‘sejengkal’, tapi ketika tamat punya kemampuan ‘ribuan kilometer’. Sekolah yang anak didiknya ketika masuk punya otak ‘sampah’, tapi ketika tamat berubah menjadi otak ‘berlian’. Bisa jadi di saat masuk sekolah kepribadiannya laksana ‘cadas’, namun ketika tamat sekolah berubah drastis menjadi kepribadian ‘emas’.

Membentuk anak didik yang unggul dan berkualitas tidak selamanya tergantung pada ketersediaan fasilitas yang lengkap. Dengan fasilitas yang serba apa adanya sekolah mampu menciptakan anak didik yang sukses. Keterbatasan fasilitas tidak menyurutkan para pengelola dan pendidik dalam membentuk anak didik yang cerdas IQ, EQ, dan SQ. Keterbatasan menjadi pemicu (trigger) untuk membuktikan bahwa kekurangan itu tidak menjadi penghalang dalam mencetak generasi unggul dan bermutu. Biarlah ‘modal’ minimal, tetapi hasil maksimal. Biarlah sekolah berlabel biasa, tetapi mutu lulusannya luar biasa. Eksistensi sekolah bersifat ‘lokal’ tapi anak didiknya ‘go internasional’. Act locally, think globally. Bisa jadi letak sekolah berada di kampung atau di pinggiran kota yang jauh dari hiruk pikuk kemajuan teknologi, tetapi peserta didiknya pada mumpuni.

Lain halnya dengan sekolah yang berfasilitas lengkap. Sangatlah beruntung bagi sekolah itu jika peserta didiknya memiliki kualitas dan berdaya saing tinggi. Berarti ketersediaan fasilitas berbanding lurus dengan kualitas. Akan tetapi sebaliknya akan sangat rugi jika fasilitas yang lengkap tidak berdampak apa-apa terhadap kualitas peserta didik. Peserta didik kurang kreatif, tidak ada inovatif, tidak kompetitif, padahal sarana dan prasarana yang ada sangat komplit. Hal ini bermakna bahwa fasilitas yang serba lengkap tidak berbanding lurus dengan perolehan kualitas peserta didik. Oleh karena itu menjadi tantangan tersendiri bagi sekolah yang memiliki fasilitas lengkap untuk membuktikan bahwa kelengkapan fasilitas bisa berefek positif terhadap tercapainya tujuan pendidikan.

Label sekolah biasa atau tidak biasa, negeri atau swasta, SSN atau bukan SSN, RSBI atau bukan RSBI, tidak terlalu perlu ditonjolkan. Yang harus ditonjolkan dan diperhatikan oleh setiap pengelola dan pendidik pada sebuah lembaga pendidikan adalah bagaimana sekolah bisa mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana yang terdapat dalamUndang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, Bab II Pasal 3: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Kini saatnya marilah kita sama-sama bertanya pada diri masing-masing,”Sudahkah sekolah kita membentuk peserta didik yang berwatak dan beradab? Menciptakan peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab?”Kalau jawabannya sudah, mari kita pertahankan dan tingkatkan. Akan tetapi kalau jawabannya belum, mari kita singsingkan lengan, kencangkan otot pinggang, segera berbuat dan bertindak. Kita tidak ingin disebut pengelola dan pendidik “NATO” alias No Action Talk Only. Hanya banyak bicara tidak ada kerja. Jadikan diri kita Talk less Do more, Sedikit bicara banyak bekerja. Semoga.






MERINDUKAN SOSOK USTAD TELADAN


Berita di Harian Pagi Radar Tasikmalaya edisi 24/10 pada halaman Tasikmalaya Metropolis tentang Bikers Brotherhood Mother Chapter (BB MC) yang akan menggelar Tablig Akbar di Masjid Agung Tasikmalaya pada tanggal 25 Oktober 2011, dengan menghadirkan Ustad Uje (Jefri Al_Bukhori) dan 16 Ustad ternama lainnya, menginspirasi penulis untuk menggoreskan sebuah tulisan dengan judul di atas. Sebuah judul yang biasa-biasa saja, tapi diharapkan bisa berefek luar biasa, terutama menjadi motivasi berharga bagi setiap orang yang menyebut dirinya ustad atau setiap orang yang sering dipanggil ustad.

Dalam bahasa Arab, kata ustad bermakna guru yang berjenis kelamin laki-laki, sedangkan yang perempuan disebut ustadah. Penyebutan ustad/ustadah lazimnya sering digunakan di lingkungan pesantren atau sekolah/madrasah yang berbasis pesantren. Sangat jarang para santri memanggil pimpinan pesantren dengan panggilan ustad/ustadah, yang sering adalah dengan panggilan Kiai atau Ajeungan. Para pengajar yang ditugaskan oleh Kiai untuk membantu proses pendidikan di pesantren terkadang disebut ustad/ustadah oleh para santrinya, bukan Kiai. Bahkan para pembimbing yang usianya masih muda dan bertugas untuk mengawasi keseharian kehidupan di pesantren sering dipanggil ustad/ustadah. Namun demikian, seiring dengan perkembangan jaman, sebutan tersebut ternyata telah merambah ke dunia luar pesantren. Kini seseorang yang sering tampil berceramah di radio, televisi, atau di depan umum juga mendapat sebutan ustad/ustadah. Sebuah sebutan yang sebenarnya sangat berat untuk disandang, sebab mereka harus menjadi sosok manusia teladan dan panutan umat, mesti menjadi manusia yang digugu dan ditiru.

Untuk menjadi seorang ustad bukanlah hanya mengandalkan kepiawaian retorika dakwah dalam bentuk ceramah, hanya mengandalkan ketampanan dan kecantikan rupa belaka, hanya mengutamakan keberanian tampil di depan umum semata, atau pula hanya mengandalkan ‘action’ kata dan gerakan badannya yang membuat hadirin tertawa. Akan tetapi lebih dari itu, seorang ustad adalah sosok dai yang ilmu agamanya luas dan tinggi, penguasaan dalil al-Qur’an dan haditsnya bagus. Yang terpenting dari itu semua adalah seorang ustad mampu menjadi teladan bagi para pendengarnya dan contoh yang patut ditiru bagi setiap orang yang melihatnya. Akhlak seorang ustad idealnya seperti akhlak panutan umat, Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21).

Seorang ustad harus takut akan bahan ceramahnya yang justru menjadi senjata makan tuan. Ia mengajak orang lain berbuat baik padahal dirinya sendiri justru tidak melakukan kebaikan. Setiap orang yang berkata apalagi seseorang yang menerjunkan diri pada dunia ‘ceramah’, tentu harus selalu mengingat Firman Allah surat Ash-Shaff ayat 2 dan 3: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Kehidupan seorang ustad tidaklah terkesan glamour, wah dan mewah, tidaklah ingin disanjung-sanjung bak selebriti, tidaklah ingin disorot-sorot kamera seperti para artis. Kehidupan ustad adalah kehidupan yang sederhana tapi bersahaja, hidupnya tidak sombong, mereka tawadu, rendah hati tinggi budi, bukan sebaliknya tinggi hati rendah budi, selalu tertanam dalam dirinya ketakutan yang luar biasa akan dipuja-puji oleh para penggemarnya. Motivasi seorang ustad senantiasa ikhlas (taujiihul ‘ibaadah libtighaai mardhaatillaah/yang dituju hanya keridhaan Allah). Yang diharap bukan ‘limpahan’ uang atau materi, bukan mengharap amplop dan oleh-oleh dari yang mengundangnya, bukan motivasi duniawi yang dicari, tapi justru motivasi ukhrawi. “Cause Allah is always by your side (Allah selalu di sisimu),” begitulah kata Maher Zain dalam syairnya yang berjudul Insya Allah. Firman Allah: “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam).” (QS. Al-An’am ayat 162)

Ustad adalah sang pencerah, artinya membuat hati para mustaminya tercerahkan, bukan malah membuat mustaminya menjadi marah atau melakukan tindakan brutal/anarkisme. Ustad memberi solusi terhadap masalah, bukan menambah masalah. Setiap olahan kata-katanya menusuk hati dan menjadi motivasi. Ustad memberi kabar gembira, bukan kabar buruk. Ustad sukses menghadirkan kedamaian dan ketenangan bagi umat, bukan malah memunculkan ketidaknyamanan dan keributan. Ustad yang sukses adalah manakala kehidupan umat yang mendengarkan dan memperhatikannya berubah ke arah kebaikan. Kesuksesan ustad juga ditandai dengan setiap kata-kata baiknya yang diucapkan dalam ceramahnya selalu ‘hadir’ dalam setiap gerak langkah kehidupannya.

Surat Al-An’am ayat 162 di atas, Surat Ali-Imran ayat 104 (Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung), dan surat An-Nahl ayat 125 (Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk), selalu menjadi sandaran dalam setiap dakwahnya.

Dengan demikian, semoga dengan kehadiran para ustad di tengah-tengah kehidupan kita menjadi semacam trigger (pemicu dan pemacu), khususnya bagi ustad sendiri dan umumnya bagi setiap insan, untuk hidup lebih baik lagi, kembali ke jalan Allah, dan sebagai penyemangat dan ghirah (spirit) untuk berlomba-lomba dalam kebajikan (ber-Fastabiqul Khairaat).







KEMISKINAN DAN SIFAT BAKHIL MANUSIA

Berdasarkan hasil pencacahan sensus penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 237.556.363 orang, yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan. Dari jumlah sebanyak itu, penduduk yang termasuk kategori miskin sebanyak 31,02 juta (13,3%).Versi BPS, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Berarti pada tahun 2010 ada sebanyak 31,02 juta penduduk Indonesia yang rata-rata pengeluaran perkapita perbulannya berada di bawah garis kemiskinan. Pada tahun 2011 ini, pemerintah menargetkan jumlah penduduk miskin bisa ditekan hingga mencapai 27 juta atau sekitar 12 persen dari jumlah total penduduk Indonesia saat ini. Salah satu faktor terjadinya kemiskinan di Indonesia dan di seluruh negara yang ada di dunia ini adalah faktor manusianya, dalam hal ini manusia yang enggan untuk berbagi dengan orang lain, manusia tidak mau menshadaqahkan hartanya demi membantu orang-orang yang tidak mampu. Dalam dirinya terdapat sifat bakhil.

Kata bakhil yang biasa diterjemahkan dengan kikir atau pelit mengandung arti menahan untuk memberi sesuatu yang semestinya diberikan. Al-Jurjani dalam kitab At-Ta’rifat (1988: 42) mendefinisikan bakhil dengan menahan hartanya sendiri, yakni menahan memberikan sesuatu pada diri dan orang lain yang sebenarnya tidak berhak untuk ditahan atau dicegah, misalnya uang, makanan, minuman, dan lain-lain. Ketika orang memiliki uang, makanan, dan minuman yang mestinya bisa diberikan kepada yang membutuhkan, kemudian enggan untuk memberikannya, maka ia adalah bakhil. Bila bakhil lebih menekankan kepada diri pribadi, maka ada sifat lain yang lebih jelek dari bakhil berkaitan dengan menahan dan mencegah pemberian di atas, yakni yang disebut syuh, artinya sikap orang bakhil yang mendorong orang lain agar berperilaku yang sama. Dalam Tafsir Al-Maraghi Jilid IV (1993: 257) disebutkan bahwa bakhil adalah tidak mau menunaikan zakat dan enggan mengeluarkan harta di jalan Allah. Hal ini sejalan dengan makna bakhil yang diutarakan oleh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam Kitab Tafsir Al-Aisar Jilid I (1992: 416), bahwa orang yang bakhil adalah orang yang memiliki harta tapi mereka pelit untuk menginfakkan hartanya.

Sifat bakhil merupakan salah satu akhlak tercela, berbahaya, harus dijauhi, dan sifat yang menyebabkan orang tidak akan masuk surga. Rasul SAW bersabda: “Jauhilah kekikiran, karena sesungguhnya ia telah mengajak orang-orang sebelum kalian untuk menumpahkan darah mereka, menodai kehormatan mereka dan memutuskan kekerabatan mereka.” (H.R. Hakim). Dalam riwayat lain Rasul SAW bersabda: “Dua sifat yang tidak akan berhimpun dalam diri seorang Muslim: kikir dan perangai yang buruk.” (H.R. Tirmidzi). Sabda Rasul Saw yang lainnya: “Seburuk-buruknya sesuatu yang ada pada seseorang adalah kekikiran yang menyedihkan dan sifat pengecut yang melucuti.” (H.R. Abu Dawud). Sabda lainnya: “Tidak akan masuk surga orang yang bakhil, penipu, pengkhianat dan orang yang berperangai buruk.” (H.R. Ahmad dan Tirmidzi).

Buruknya sifat bakhil ini juga dapat dilihat pada Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 180: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Menurut Al-Maraghi (1993: 259), sebagian mufassir mangatakan bahwa makna pengalungan di sini adalah makna yang hakiki. Orang-orang bakhil kelak akan dikalungi dengan suatu beban sebagai azab bagi mereka, kemudian harta benda yang dibakhilkan itu berubah wujud menjadi ular-ular yang melilit leher. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang diberi oleh Allah harta lalu ia tidak keluarkan zakatnya, maka harta itu akan diserupakan untuknya sebagai seekor ular tua (besar) dengan kedua biji mata seperti dua butir buah anggur yang akan melilitnya pada hari kiamat, ia akan mencengkeram kedua dagunya, lalu berkata,”Aku adalah hartamu, aku adalah harta tabunganmu.” Kemudian Nabi SAW membaca Surat Ali-Imran ayat 180 di atas.

Orang-orang yang bakhil termasuk salah satu golongan orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 36-37: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.”

Waryono Abdul Ghafur (2004: 37-38) dalam bukunya Strategi Qur’ani menganalisis sebab utama yang mendorong manusia bersifat bakhil adalah cinta harta yang berlebihan.Cinta harta biasanya disebabkan oleh dua hal, yaitu: 1) menuruti keinginan yang tidak bisa dicapai kecuali dengan harta yang disertai dengan panjang angan-angan; 2) cinta terhadap harta dan menikmati dalam melihatnya, lebih-lebih bila harta tersebut dapat menambah dalam memenuhi kebutuhan menunjang sisa-sisa umurnya atau kelangsungan keluarganya. Orang-orang yang kikir biasanya berpandangan bahwa ia akan kekal dengan hartanya atau karena alasan untuk anak cucunya kelak.

Mengobati penyakit bakhil dengan cara mengenali sebab-sebabnya. Cara mengobati sebab pertama adalah qona’ah dengan sesuatu yang mudah dan sabar. Sedangkan untuk mengobati panjang angan-angan adalah dengan memperbanyak ingat mati dan melihat orang lain yang juga mati, padahal ia dengan susah payah mengumpulkan harta, kemudian menyia-nyiakannya serta tidak memberi banyak manfaat kepadanya. Adapun cara mengobati sebab yang kedua adalah dengan menyadari bahwa harta yang dianugerahkan Allah kepada kita merupakan amanat atau titipan yang harus dijaga dan digunakan untuk jalan kebaikan bukan jalan kemaksiatan. Bersyukur atas nikmat harta merupakan jalan terbaik daripada mengkufurinya. Tidak lazim dan tidak pantas bagi seorang Muslim menggunakan hartanya untuk berfoya-foya, hura-hura, berjudi, dugem, berzina, modal untuk menipu orang, modal untuk mencuri, menyuap (korupsi), dan perilaku buruk yang lainnya. Sangatlah elegan dan bermanfaat di dunia dan diakhirat jika harta yang kita miliki digunakan untuk berifaq di jalan Allah. Harta dipakai untuk menolong orang yang lemah, fakir, miskin, yatim, piatu; membantu pembangunan madrasah, mushola, masjid, dan lain-lain. Dijamin dengan berinfaq harta tidak akan berkurang dan orang tidak akan bangkrut karena sering bersedekah. Justru dengan menginfakannya di jalan Allah harta akan bertambah bahkan melimpah. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 261: “Perumpamaan (infaq yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menginfakan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.”

Namun demikian, Allah SWT menganjurkan agar manusia beriman memiliki sifat yang moderat terhadap harta, yakni tidak kikir tapi juga tidak terlalu dermawan (mudah memberi), sehingga tidak menyisakan untuk diri dan keluarganya. Hal ini ditegaskan Allah dalam Surat Al-Isra ayat 29: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (jangan kamu terlalu kikir dan jangan pula terlalu pemurah) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” Juga firman-Nya dalam Surat Al-Furqan ayat 67: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”

Tidak lupa juga kita selalu berdo’a agar terlindung dari sifat bakhil. Do’a tersebut adalah: “Allaahumma innii a’uuzubika minal ‘ajji wal kasali wal jubni wal bukhli wal harami.” (Ya Allah, sesungguhnya Aku berlindung kepadamu dari sifat lemah, malas, takut, kikir, dan ketuarentaan (kepikunan)”.









Jadikan Islam Sebagai Kebanggaan Hidup


SETIAP anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi,” demikian kutip sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim



Fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Sebab manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan sosial. Jadi gharizah tadayyun adalah permanen, kecenderungan kepada kekafiran adalah susulan.



Batasan agama yang lurus menurut arahan Allah SWT dan Rasulullah SAW diatas menggunakan terma fitrah, sedangkan agama yang lain menggunakan istilah Yahudi, Nasrani dan Majusi. Maka, makna fitrah yang benar adalah Islam itu sendiri. Agama yang melekat dalam diri manusia sejak di alam rahim ibu.



Al-Quran mengatakan, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus (dinul qayyim), tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum (30) : 3).



Sebelum menjadi janin, manusia sudah bersyahadat di hadapan Allah SWT. Ketika lahir diingatkan ulang kalimat tersebut di telinga kanan dengan suara adzan dan di telinga kiri dengan suara iqamat. Agar dalam kehidupan yang penuh ujian nanti, tidak sampai tergoda/tergelincir/terperosok ke dalam jurang kehancuran (darul bawar), dan meninggalkan Islam. Baik, diuji dengan jabatan, kekayaan dan ilmu.



“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al Araf (7) : 172).



Berpaling dari Islam adalah menyiksa dirinya sendiri. Karena ia melempar dimensi spiritual di dalam dirinya. Maka kehidupan manusia akan mengalami kehampaan (krisis makna). Apa yang diburu dan dimilikinya tidak menambah kebaikan dirinya, keluarganya dan lingkungan sosialnya (tidak barakah).



Jadi, karunia yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah lazzatur ruh (keezatan spiritual), lazzatul Iman wal Islam (kenikmatan beriman dan berislam). Sekalipun kita menggenggam kekayaan dunia tujuh turunan, kekuasaan yang tanpa pensiun, ilmu yang tinggi (sundhul langit, Bhs Jawa), kehidupan yang memiliki pengaruh yang besar, popularitas, tetapi tidak ditemani oleh Islam akan membuat kita kecewa seumur hidup. Sedangkan, sekalipun kita tinggal di gubug reot, di balik jeruji, di rumah kontrakan, kehidupan pas-pasan, jika islam bersama kita, justru disitulah rahasia kemuliaan, dan kebahagiaan kita.



Berbeda dengan dunya (sesuatu yang dekat), mata’ (kepuasaan sesaat), nikmat dinul Islam hanya diberikan kepada hamba yang dicintai-Nya. Itulah sebabnya banyak sekali orang yang menyatakan dirinya secara formal memeluk Islam, tetapi dalam realitas kehidupannya ada yang merasa tidak nyaman dengan atribut keislaman. Bahkan Islam yang indah dan mulia tersebut disalahpahami. Dahulu Islam ditambah-tambah. Kemudian Islam dikurangi. Islam tanpa jihad, Islam tanpa hudud. Sekarang ini Islam diberi embel-embel lain. Islam radikal, Islam moderat dll. Islam masih dipandang belum sempurna. Sehingga memerlukan pengurangan dan penambahan, sehingga dia tidak merasa at home untuk memakainya.





Islam sebagai Dinullah



Nama Muslim bukanlah nama yang diberikan oleh orangtua kita, bukan pula warisan nama yang diberikan oleh nenek moyang kita, bukan pula nama yang dibuat oleh Rasulullah SAW. Yang memberi nama seseorang sebagai Muslim adalah Allah SWT sendiri.


Allah SWT memberi standar (ukuran), criteria (sifat) , status (posisi) orang tertentu yang memenuhi kelayakan sebagai Muslim. Tentu, Muslim disini adalah Muslim hakiki, lahir dan batin, hissiyyan wa ma’nawiyyan (penampakan lahiriyah dan batiniyah).



Jadi, Muslim adalah sebuah nama yang agung, yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Mulia. Sejak sebelum Rasulullah SAW diutus di muka bumi ini.



“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu [kitab-kitab yang diturunkan sebelum Rasulullah SAW], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.” (QS. Al Hajj (22) : 78).



Dahulu para sahabat sangat bangga menjadi Muslim. Mereka mengatakan, ”Ayahku adalah Islam. Tiada lagi selain Islam. Apabila orang bangga dengan suku, bangsa, kelompok, marga, perkumpulan, paham mereka, tapi aku bangga nasabku adalah Islam. Suatu ketika Salman Al-Farisi radhiyallahu anhu ditanya, ”Keturunan siapa Kamu ?” Salman yang membanggakan keislamannya, tidak mengatakan dirinya keturunan Persia, tapi ia mengatakan dengan lantang, ”Saya putera Islam.” inilah sebabnya Rasulullah saw mendeklarasikan bahwa, ”Salman adalah bagian dari keluarga kami –ahlul bait-, bagian dari keluarga Muhammad saw.”





Islam sebagai Dinul Insaniyyah



Jika merujuk nama manusia menggunakan istilah ‘Al-Insan’ mengandung pengertian yang mendalam. Dari kalimat tersebut melahirkan makna turunan ‘al-Uns’ (harmonis). Ini menunjukkan sesungguhnya sifat dasar manusia mudah untuk menjalin komunikasi dengan yang lain (makhluqun madani), meminjam istilah Ibnu Khaldun. Sesungguhnya inti dinul Islam adalah pandai bergaul (ad-Dinu huwal mua’amalah). Indikator kecintaan Allah SWT kepada hamba-Nya adalah hamba tersebut dicintai orang-orang terdekatnya.



Jika terhadap komunitas terdekat tidak memiliki jiwa besar. Mustahil bisa berinteraksi dengan lingkungan social yang lebih luas. Lingkungan terdekat secara minimal terdiri dari 160 KK. Empat puluh KK arah depan. Empat puluh KK arah belakang. Empat puluh KK arah kiri. Dan empat puluh KK arah kanan.



Karena fitrah manusia itu senang kepada perbuatan yang dikenali hati (al-Ma’ruf). Senang kepada kejujuran, keadilan, keberanian dalam membela kebenaran, dermawan. Dan tidak senang kepada sesuatu yang diingkari hati (al-Mungkar). Misalnya, kebohongan, ketidak jujuran, kelemahan, kikir, egois, mau benar sendiri sekalipun tidak benar.



Jika dalam kehidupan manusia memarginalkan dimensi naluri kepada sifat-sifat kemanusiaan ini, maka manusia akan menjadi srigala bagi yang lain. Ia menjadi keras hati, tertutup.Ada sebuah pameo “ Hari ini makan apa, besok dan lusa makan siapa”.





Islam sebagai Manhajul Hayah



Dalam tata bahasa Arab, Muslim adalah isim fa’il (pelaku) yang berasal dari kata – aslama-yuslimu-islaman – yang bermakna berserah diri. Dari akar kata aslama melahirkan kata turunan (derivat) – at-Taslim (berserah diri), as-Silmu (damai), salima minal mustaqdzirat (steril dari motivasi yang kotor), as Salamu (kesejahteraan), as-Salamah (keselamatan lingkungan). Dari turunan terma Al-Islam telah tergambar sistem kehidupan secara utuh. Yaitu sistem aqidah dan ibadah, sistem sosial, sistem akhlak, sistem ekonomi, sistem penyelamatan lingkungan,



Manhajul hayah artinya menjadikan Islam (al-Quran) sebagai panduan aturan kehidupan manusia. Jadi seorang Muslim adalah orang yang telah menyerahkan jiwa dan raganya, pikiran, hati dan perilakunya untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Dan ia yakin dengan cara demikian ia akan merasakan kehidupan yang damai, bisa berbuat dengan tulus, makmur, sejahtera, bisa menyelamatkan lingkungan social dari berbagai bencana.



Seorang Muslim menjalankan segala aspek kehidupannya dengan merujuk referensi Islam. Dalam skala kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa. Sejak kelahirannya (fiqh aqiqah) hingga kematiannya (fiqh janazah). Menyangkut system ideology, politik, social budaya, pendidikan, ekonomi, pertahanan kemanan dll.





Islam sebagai Dinul Kaun



Sudah kita maklumi, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tunduk kepada suatu peraturan tertentu dan menginduk kepada undang-undang tertentu. Matahari, bulan dan bintang-bintang semuanya patuh kepada suatu peraturan yang permanen (tetap), tidak dapat bergeser atau menyeleweng darinya sedikitpun meskipun seujung rambut (hukum alam).



Bumi berputar mengelilingi sumbunya. Ia tidak dapat beranjak dari masa, gerak dan jalan yang telah ditetapkan baginya. Air, udara, cahaya dan panas semuanya tunduk kepada suatu sistem yang khas (unik). Benda-benda yang tidak bernyawa, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang tunduk kepada sesuatu ketentuan yang pasti, tidak lahir dan tidak mati kecuali menurut ketentuan itu.



Demikian pula setiap fase kehidupannya, secara sistematis tunduk kepada pemilik dan pencipta kehidupan. Sejak fase kehidupannya di rahim ibu (berupa janin), ia hidup dengan tenang. Ia dilindungi oleh-Nya dari gangguan suara, panas dan dingin. Kemudian menjadi bayi (shobi), ia diajari oleh Allah menangis ketika dalam keadaan lapar. Kemudian menuju masa kecil (thifl). Ia diajari oleh Allah SWT berbicara, merangkak, berjalan dan berlari. Lalu menuju masa ABG (murahiq). Kemudian melawati masa dewasa (kuhulah). Dan melewati masa syaikh (umur 40 keatas). Dua kelemahan yang melekat pada diri anak Adam adalah masa kecil dan masa tua. Semua fase kehidupan diatas tunduk pada ketentuan Allah SWT. Siapapun tidak bisa menolaknya. Sekalipun mulutnya mengatakan bahwa dirinya Yahudi, Nasrani dan Majusi. Jika manusia bisa memilih, tentu ia ingin tidak melewati masa kecil dan masa tua. Karena masa kecil merepotkan orang tuanya. Dan masa tua merepotkan anak-anaknya.





Islam sebagau Dinul Hadharah



Islam yang diturunkan sebagai din, sebenarnya telah memiliki konsep seminalnya (ilmiah) yang spesifik (unik) sebagai peradaban (kemajuan hidup secara lahir dan batin). Sebab kata din (dal-yak-nun) itu sendiri telah mengandung keragaman makna, ketundukan, keberhutangan manusia kepada Tuhan, struktur kekuasaan, susunan hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil. Memiliki makna pula, kecenderungan manusia secara fitrah kembali kepada Perjanjian Pertama Dengan Allah SWT ketika di alam rahim ibu.



وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ



“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al-A’raf (7) : 172).



Dari din muncul berbagai derivasi (kata turunan), daana (berhutang), da’in (pemberi hutang), dayn (kewajiban), dayunah (hukuman/pengadilan), idanah (keyakinan). Artinya dalam istilah din itu tersirat sistem kehidupan yang utuh. Dinul Islam berarti pola kehidupan yang dibingkai oleh spirit Islam. Paham, perilaku dan kultur kehidupan yang diserap dari nilai-nilai ilahiyah (ketuhanan).



Karena itulah, pada pesan terakhir Allah pada Nabi Muhammad, menyatakan bahwa Islam sebagai agama (din) yang telah sempurnya.



“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah (5) : 3).



إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللّهِ فَإِنَّ اللّهِ سَرِيعُ الْحِسَابِ



“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab [yang diturunkan sebelum Al Quran] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka, barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS. Ali Imran (3) : 19).



Mudah-mudahan, kita dan keluarga kita semakin istiqomah untuk berislam dan bangga kepada pada agama Islam. Sebagaimana Allah telah mengatakan keridhoannaya pada agama ini.







Melintasi Zaman Dengan Kesucian Jiwa

Bal’am Ibnu Ba’ura. Nama itu tertera dalam kisah peradaban masa lalu. Tepatnya pada masa Nabi Musa ‘alaihissalam. Dengan segala kapasitas intelektual, moral dan penghormatan yang tinggi dari umat masa itu, ia tampil menjadi sosok yang sangat tersohor. Karena itu pula Nabi Musa mempercayainya untuk mengemban amanah dakwah kepada penguasa Madyan.

Kepiawaian penguasa Madyan, tampaknya, tidak dapat disepelekan begitu saja. Segala fasilitas kehidupan serba-mewah, diberikan kepada Bal’am Ibnu Ba’ura, yang seiring dengan perjalanan waktu membuatnya sungkan menyampaikan kebenaran (kalimat al-Haq) kepada pemimpin Madyan tersebut. Ekstremnya kemudian, Bal’am tidak saja malu, bahkan ia mendeklarasikan kepada publik : ia secara resmi meninggalkan ajaran Nabi Musa, sekaligus bergabung dengan rezim tiran Madyan untuk bersatu-padu melawan dakwah dan perjuangan Nabi Musa ‘alaihissalam.

Pergeseran yang teramat sistemik , sistematis, dan berlangsung dengan sangat halus pada diri seorang Bal’am. Dalam terma Al-Qur’an (Al-A’raf/7:175) disebut, Al-Insilakh. Inilah sebuah tragedi teologis dan sosiologis yang sangat merisaukan. Bahkan, tragedi ini nyaris tidak dirasakan apalagi disadari oleh individu, kelompok sosial maupun oleh sebuah bangsa yang besar. Sebuah peradaban yang mengalami pergeseran dan inhithath (degenerasi) ke titik nadir kehancurannya (tadahwur), tapi justeru generasinya merasa sedang berada dalam kemajuan dan kedigdayaan. Inilah tragedi dan malapetaka peradaban (al-insilakh al-hadlari)! Peradaban yang minus stamina dan orientasi spiritual, sekaligus kehilangan identitas dan jati diri (shibghah).

Rasulullah ‘alaihissalam pernah bertutur, “”Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat manusia pada setiap kurun seratus tahun orang yang memperbarui ajaran agamanya” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah). Sabda ini memberikan signal yang sangat tegas bahwa usia sebuah peradaban tidak dapat bertahan secara baik dan otentik dalam kurun waktu melampaui seratus tahun. Suatu peradaban itu akan memasuki masa aus-nya di angka satu abad, jika para pewarisnya tidak menyiapkan generasi peradaban untuk masa berikutnya. Oleh karena itulah diperlukan sebuah mekanisme alamiah untuk memperbaharuinya. Pembaharuan itulah yang kita kenal sebaga “tajdid”.

Sejatinya, tajdid tidak bermakna dekonstruksi. Bukan juga diartikan sebagai “amputasi” peradaban itu sendiri. Tajdid memberikan makna dan spirit “re-fine”, memperindah kembali. Sejak awal kehadirannya di samudera peradaban Islam nusantara, Muhammadiyah kita telah memformulasikan konsep tajdid & re-fine tersebut dalam narasi besar : al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah!. Dalam muktamar satu abad-nya di kampus kita ini, dirumuskan kembali dalam sebuah tema “Gerak Melintasi Zaman: Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama”.

Peradaban utama terbaca di atas tidak lain dari peradaban masyarakat yang sebenar-benarnya, yang terus menerus digemakan di Persyarikatan kita ini. Inilah peradaban khairu ummah yang didedikasikan untuk kemanusiaan sejagad dengan dua artikulasi pokok; amar ma’ruf dan nahi munkar. Pesona masyarakat Islam yang sesungguhnya itulah yang menjadi anak kandung gerakan dakwah dan tajdid (re-fine) Muhammadiyah yang menyinari umat manusia secara universal, sebagai mata rantai misi dan risalah gerakan Islam, rahmatan lil-‘alamin.

Ma’rifatu Al-Zaman : Ikhtiar Mendiagnosa Peradaban

Narasi besar di atas tidaklah selalu berjalan linear dan vertical, tanpa aral melintang. Sejak masa kenabian, junjungan kita, Nabi Agung Muhammad ‘alaihissalam telah mengisyaratkan karakteristik zaman yang akan dilalui oleh umatnya. Kepada sahabatnya, Hudzaifah Ibnul Yaman berpesan, betapa dahsyatnya dialektika zaman yang akan dilalui umatnya. Tidak ada zaman yang kita lalu kecuali lebih buruk dari zaman sebelumnya. Lebih lanjut, Rasulullah menjelaskan karakter akhir zaman : munculnya para pemimpin yang dalam menunaikan amanah kepemimpinan tersebut bersikap masa bodoh dengan sumber ajaran Islam (Al-Qur’an & Sunnah). Kedua sumber ini menjadi disfungsional dan tidak otoritatif sama sekali, meskipun diapresiasi sedemikian rupa dalam tataran kultur dan budaya lokal. Generasinya cenderung apatis, anti-Tuhan, berkarakter satanis (syaithan) yang bersemayam di tubuh manusia!.

Membincangkan tanda zaman semacam ini tidaklah dalam perspektif fesimisme, apalagi fatalisme, pasrah tanpa ikhtiar membangun zaman dan peradabannya. Sinyalemen profetik di atas justeru me-refresh dan mengaktivasi kembali titik terdalam area spiritual, akal dan jasmani kita. Tak ubahnya seorang yang hendak menyeberang jalan yang padat lalu lintasnya, kita akan bersikap mawas diri dan tidak semberono. Inilah ma’rifatuz zaman, melek zaman yang diajarkan oleh qudwah kita, Muhammad ‘alaihissalam.

Dalam perspektif Muhammadiyah wacana ma’rifatuz zaman yang penulis kemukakan, sejatinya jauh hari telah digemakan, terkhusus dalam Muktamar ke-45 di Malang periode lalu, 2005. Lihatlah dengan kebeningan mata hati apa yang telah dirumuskan oleh para sesepuh, orang tua dan pimpinan kita dalam untaian “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad” (Zhawahiral-Afkar al-Muhammadiyyah Abra Qarn min al-Zaman).

Selain menegaskan konsistensi dan akhlaq istiqamah dalam mengarungi dinamika zaman, sejak masa berjihad melawan kolonialisme klasik hingga masa reformasi saat ini, Muhammadiyah menyatakan pandangannya tentang kehidupan umat manusia masa ini yang sarat paradox. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan pencemaran lingkungan hidup dan eksploitasi alam yang tak terkendali, berkembangnya nalar-instrumental yang memperlemah naluri-naluri alami manusia, melahirkan sekularisasi kehidupan; pandangan anti-Tuhan dan serba dikotomik. Kehidupan modern melahirkan antitesis post-modern dengan laku hidup serba-bebas (supra-liberal), serba-boleh (anarkhis), dan serba-menapikan nilai (nihilisme), sehingga memberi peluang semakin terbuka bagi kemungkinan anti-agama (agnotisme) dan anti-Tuhan (atheisme) secara sistematis. Demokrasi, kesadaran akan hak asasi manusia, dan emansipasi perempuan membawa implikasi pada kebebasan yang melampau batas dan egoisme yang serba liberal, destruktif terhadap relasi-harmoni antar manusia.

Secara sistemik dan sistematis, masyarakat terjebak pada egoisme (ta’bid al-nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al-mawãd), penghambaan terhadap nafsu seksual (ta’bid al-syahawãt), dan penghambaan terhadap kekuasaan (ta’bid al-siyasah) yang menggeser nilai-nilai fitri (otentik) manusia dalam bertauhid (keimanan terhadap Allah SWT) dan hidup dalam kebaikan di dunia dan akhirat. Globalisasi justeru melahirkan sikap ekstrimisme baru, fanatisme agama tak terkendali, primordialisme etnik, dan kedaerahan semakin mengokohkan sekat kehidupan antar sesama. Neoliberalisme dan kapitalisme global hanya berpihak kepada kaum borjuis dan semakin menistakan hak-hak kaum dlu’afa’ dan mustadl’afin.

Hampir seratus tahun yang lalu, KH Ahmad Dahlan rahimahullah, di saat fajar peradaban Muhammadiyah mulai menyingsing di ufuk timur, juga mengajarkan ma’rifatuz zaman yang tidak berbeda dengan yang tertera di atas kepada murid-muridnya. Beliau berkeyakinan bahwa malapetaka terbesar yang mengancam manusia ialah sikap mempertuhankan hawa nafsu, yang dinyatakannya sebagai musyrik dan paganis! Menghambakan diri kepada hawa nafsu tampil dengan multi-wajah; taqlid buta kepada orang tua dan nenek moyang, patuh mengikuti perilaku kebiasaan yang menyimpang dalam lingkungan dan masyarakat; mendudukkan cinta makhluk di atas cinta kasih kepad Allah ta’ala.

KH Ahmad Dahlan rahimahullah mengajarkan murid-muridnya bahwa berhala hawa nafsu merupakan pokok berhala yang menyesatkan. Pengaruhnya sedemikian kuat dan merajalela. Hawa nafsu mematikan kemampuan dan potensi manusia untuk membedakan antara al-Haqq dan al-Bathil. Bahkan manusia bertabiat sebagai hewan karena terjajah oleh hawa nafsu tersebut. Manusia berbuat semaunya, mengabaikan tatanan etis dan moral. Inilah yang kemudian melahirkan kekacauan, kerusakan dan kerugian kepada dirinya sendiri, masyarakat dan negaranya.

Subhanallah! Tak satupun di antara kita hari ini yang bertatap muka dengan beliau, berinteraksi dan bercengkerama, kecuali apa yang kita warisi dari kisah-kisah indah dan bersahaja dari sisa-sisa generasi peradaban sebelumnya seperti Allahu yarhamuh KH Suprapto Ibnu Juraimai, umpamanya. Tapi yakinlah bahwa, pada tataran ruhiyah, sebagai esensi tertinggi dan energi kuantum dari bangunan materi kemanusiaan kita yang lemah ini, ada satu kepastian : adanya pertautan dan ketersambungan. Inilah pertautan ruh-ruh yang saling mengokohkan, sebagaimana terbaca dalam pesan kenabian “al-arwahu junudun mujannadah”.

Kesucian Jiwa Sebagai Pass Word Melintasi Zaman

Jika dinamika zaman dan peradaban seperti di atas seringkali memaksa, atau bahkan menteror manusia agar meninggalkan poros utama fitrah dan kesuciannya, mungkinkah manusia menemukan kembali fitrah dan kembali ke orbit semula? Inilah kegelisahan spiritual KH Ahmad Dahlan rahimahullah. Beliau mengajarkan kepada kita untuk berkata “bisa”! Karena memang itulah wajah otentik kita, kesucian kita.

Dalam pandangan pendiri Muhammadiyah ini, orang yang berbahagia dan beruntung melintasi zaman ialah orang-orang yang senantiasa melakukan pensucian diri dan jiwanya. Inilah laku tazkyatun nufus yang terinspirasi melalui Kalam Ilahi, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (Al-A’la : 14-17).

Tazkyatun nufus dalam perspektif Muhammadiyah bukanlah jebakan romantisme spiritual yang seringkali bersifat fatalis (jabariyah) dan menafikan relasi dengan alam serta dunia nyata. Tazkyatun nufus yang kita yakini dan lakoni ialah proses pensucian jiwa yang aktif dan produktif sekaligus berkontribusi positif dalam menata ulang dan membangun kembali rumah peradaban kita. Itulah sebabnya beliau menggugah murid-muridnya, “Apakah “kesucian diri” sebatas klaim semata? Bukankah orang-orang Hindu, Budha dan Nasrani juga mengakui hal serupa? “Apakah kamu seperti mereka?”. Baginya, tazkyatun nufus mesti diaktualisasikan dalam kesalehan sosial. Tidak boleh berhenti pada level individu semata.

Tazkyatun nufus ialah titik pertautan tiga amalan sekaligus; Dzikrullah, shalat dan ingat kematian. Pensucian jiwa meniscayakan kokohnya relasi kita dengan Allah. Asma’ & ShifatNya aktual dalam laku kehidupan kita. Totalitas kehidupan kita berada pada bingkai orientasi kepada Allah semata. Inilah esensi penegakan shalat yang melahirkan pribadi dan generasi peradaban yang visioner; menembus batas kehidupan alam materi: ingat kematian!.

Kesucian diri dan jiwa teridentifikasi melalui kata kalbu kita yang lillahi ta’ala, tidak munafik dan ambivalen. Akal dan karunia intelektual yang tersucikan tak akan destruktif dan mengkhianati peradaban yang berketuhanan (theistic-worldview). Pada tataran praksis, kita tidak terjebak pada kubangan sekularisasi yang menafikan relasi alam semesta dengan Penciptanya, meniadakan dimensi spiritual hidupnya serta berpandangan serba dikotomik, anti pandangan tauhidik. Inilah makna tazkyatun nufus: mensucikan dan purifikasi terhadap totalitas organ kemanusiaan kita sebagai syarat dan pass word melintasi zaman. Semoga kita istiqamah ber-Muhammadiyah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar