HATI YANG PEKA TERHADAP DOSA
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. al-A’raf 201)
 Disebutkan dalam Mukhtashar Tarikh Dimasyqi, dari Yahya bin Ayub al-Khuza’ bahwa di zaman Umar bin Khathab ada seorang pemuda yang rajin beribadah, dia melazimi masjid, Umar juga menaruh simpati kepadanya. Dia memiliki seorang ayah yang sudah lanjut usia. Sudah menjadi kebiasaan pemuda itu, setelah shalat Isyak ia selalu menyambangi ayahnya. Jalan yang ia lalui melewati rumah seorang wanita yang suka menggodanya. Hingga suatu malam, tatkala pemuda itu melewati jalan itu, wanita itu terus merayu si pemuda, dan pemuda itupun terpedaya dan hampir saja mengikuti ajakannya. Ketika si wanita telah masuk, sementara pemuda itu berada di ambang pintu, tiba-tiba ia mengingat Allah dan secara reflek lisannya membaca firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” Tiba-tiba saja ia tersungkur dan pingsan.
Hati yang Peka Terhadap Dosa
Setiap manusia, tak pernah lepas dari pantauan setan. Kapanpun ada peluang, setan akan masuk menghembuskan bisikan. Seperti yang digambarkan oleh Khalid bin Ma’dan rahimahullah, ”Tiada seorang hambapun melainkan ada setan yang senantiasa mengintainya. Setan berjalan berjingkat melalui punggungnya, lalu memilinkan lehernya di bahu seraya mendekatkan mulutnya di pintu hati manusia. Jika ia dapatkan hamba itu sedang berdzikir maka ia akan menyingkir, namun jika ternyata hamba itu lalai, dia akan masuk dan menggoda.”
Hal ini seperti yang dikatakan oleh sahabat Abdullah bin Abbas tatkala menafsirkan makna ’alwas-was al-khannaas’ dalam Surat an-Naas,
اَلشَّيْطاَنُ جَاثِمٌ عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ، فَإِذاَ سَهَا وَغَفِلَ وَسْوَسَ، وَإِذاَ ذَكَرَ اللهَ خَنَسَ
 
“Setan bertengger di hati Anak Adam, jika manusia itu lalai dan terlena, setan akan membisikinnya, namun tatkala hamba itu berdzikir kepada Allah, setan akan menjauhinya.”
Dengan intensitas setan yang menggoda tanpa henti, maka setiap orang pernah terjatuh dalam bujuk rayunya, hingga ia terjerumus ke dalam dosa. Tak ada orang yang kebal dari dosa. Tak terkecuali orang yang shalih dan bertakwa. Rasulullah bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاء
 
”Setiap Bani Adam pasti pernah melakukan dosa…” (HR Tirmidzi)
Hanya saja, bagaimana kepekaan hamba dalam merespon dosa yang terlanjur dijamahnya sangat tergantung kadar takwanya, dan akhirnya ini pula yang mempengaruhi nilai dan derajat hamba di sisi Allah.
Dalam hal ini, ada tiga tingkatan kepekaan sebagaimana yang diutarakan oleh Ahmad bin ’Ashim al-Hakim rahimahullah.
Dari mereka ada yang menyerah kalah, ia terbuai dengan dosa dan nasihat maupun peringatan tak menghentikannya dari dosa. Ada yang tatkala terjerumus ke dalam dosa, ia tidak segera sadar dengan sendirinya. Tapi tatkala peringatan datang kepadanya, ia menyadari keteledorannya, lalu berjuang untuk melepaskan diri dari belenggu dosa.
Adapun tingkatan yang paling tinggi adalah orang yang senantiasa berhati-hati dan waspada, jika suatu kali tergelincir jatuh, serta merta ia bangun sebelum ada orang lain membangunkannya. Lekas tersadar sebelum orang lain menyadarkannya. Kepekaannya begitu tajam hingga dengan cepat mampu mengendus ‘aroma’ dosa. Mereka itulah yang dimaksud dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS al-A’raf 201)
 
Membalas Muslihat Setan dengan Ketaatan
Tak hanya berhenti pada kesadaran atau siuman dari dosa. Ia segera bangun dan membalas muslihat setan, ia ganti keburukan dengan ketaatan. Ia tunaikan wasiat Nabi,
“Dan tutupilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik yang akan menghapusnya.” (HR Ahmad dan al-Hakim)
Jika suatu kali nafsu mengikuti bujuk rayu setan, ia akan memberikan sangsi atas nafsunya supaya jera. Ia akan mengorbankan apa-apa yang disukai nafsunya untuk dipersembahkan di jalan Allah. Seperti Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu, tatkala beliau shalat sunnah di kebunnya, seekor burung membuatnya terlena dari shalatnya. Maka dia sedekahkan kebunnya sebagai sangsi atas dirinya. Umar al-Faruq juga telah mendahuluinya di medan yang sama. Saat beliau terlambat shalat Ashar karena sibuk dengan kebunnya, beliau pun menyedekahkan kebunnya pula. Diikuti pula oleh puteranya, Abdullah bin Umar. Karena terlambat satu rekaat berjamaah Isyak, ia korbankan nafsu tidurnya, beliau menggantinya dengan shalat sunnah semalam suntuk. Begitulah mereka memberikan sangsi atas nafsunya, sekaligus membalas muslihat setan dengan ketaatan.
Ini bukanlah hal yang mengherankan. Jika seorang pemimpin memberikan sangsi kepada bawahannya karena kesalahan yang dilakukannya, lantas bagaimana dengan kita yang wajib mengendalikan nafsu agar tidak berpetualang secara liar. Apalagi, karakter nafsu yang cenderung mengikuti tawaran setan.
Dengan cara seperti itu, orang yang bertakwa bisa memutus ‘perselingkuhan’ antara nafsu dengan setan. Ia juga memutus rantai keburukan yang jika tidak dihentikan akan terus beranak pinak. Karena maksiat akan membuahkan maksiat setelahnya. Tatkala seseorang tersadar dari dosa, bersegera bertaubat dan mengiringinya dengan amal shalih, maka keburukan akan diganti dengan kebaikan. Jerih payah yang telah diusahakan setan pun akan sia-sia. Allah berfirman,
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS Hud 114)
Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu kita dan buruknya amal-amal kita. Wallahu a’lam bishawab.
RUGI KARENA MENIPU DIRI SENDIRI
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al-Qiyamah:14-15)
Disebutkan dalam Kitab Uyunul Atsar, Imam Zuhri mengisahkan, “Bahwa suatu ketika Abu Sufyan, Abu Jahal dan Akhnas bin Syariq secara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Masing-masing mengambil posisi untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. dalam shalatnya. Mereka bertiga memiliki posisi masing-masing, yang tidak diketahui oleh yang lain. Hingga ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. usai melaksanakan shalat, mereka bertiga memergoki satu sama lainnya di jalan. Mereka bertiga saling mencela dan membuat kesepakatan untuk tidak kembali mendatangi rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
Namun pada malam berikutnya, ternyata mereka bertiga tidak kuasa menahan gejolak jiwanya untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka bertiga   mengira bahwa yang lainnya tidak akan datang ke rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, dan mereka pun menempati posisi mereka masing-masing. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. usai melaksanakan shalat, mereka pun selalu memergoki yang lainnya di jalan. Dan terjadilah saling cela sebagaimana yang terjadi sebelumnya.
Malam berikutnya, lagi-lagi mereka rindu untuk mendengarkan Al-Qur’an, dan merekapun menempati posisi sebagaimana hari sebelumnya. Dan manakala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam usai melaksanakan shalat, mereka bertiga kembali memergoki yang lainnya. Akhirnya mereka bertiga membuat janji satu sama lain untuk tidak kembali ke rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
 
Begitulah, meski mereka memungkiri kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam, namun hati kecil mereka tidak bisa ditipu, bahwa Al-Qur’an itu indah, benar dan menakjubkan. Berbagai alasan, argumen dan kilah sebenarnya tidak bisa mengelabuhi perasaannya,
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al-Qiyamah:14-15)
Rumus ini berlaku bagi siapapun yang menyelisihi kebenaran, baik yang ringan maupun yang berat. Mereka sebenarnya hanya membohongi diri sendiri tatkala lebih memilih menyelisihi daripada tunduk dan patuh terhadap kebenaran.
Sejenak kita introspeksi dan jujur terhadap diri sendiri. Tatkala diri merasa malas untuk belajar ilmu syar’i, berbagai alasan muncul untuk membela diri. Sibuk dengan pekerjaan, ada keperluan yang tak bisa ditinggalkan, kesulitan kendaraan, tidak ada tempat kajian, kurang enak badan dan seabrek alasan yang lain. Ketika itu, nurani kita bisa mengukur, apakah semua yang kita utarakan itu benar-benar menjadi udzur, hingga betul-betul tak memiliki peluang untuk menambah ilmu syar’i? Jawabanya, ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” Diri kita sendiri yang tahu akan kebenaran alasan kita, selagi jujur dengan hati nurani.
Begitupula, tatkala ada yang lama tidak menampakkan diri di masjid untuk shalat berjama’ah, berbagai argumen juga digelar agar orang lain memaklumi. Alasan tidak wajib, ada urusan penting, badan masih kotor karena belum mandi, jauh dari masjid, tidak mendengar adzan, tidak bisa khusyuk shalat di masjid dan masih banyak alasan yang lain. Apakah alasan ini dibuat-buat ataukah tidak, sebenarnya diri kita sendiri mengetahui. Diri kita menjadi saksi atas apa penyebab sesungguhnya ketidakhadiran kita ke masjid untuk berjamaah. Kita juga menjadi saksi akan kejujuran atau kedustaan lisan kita saat mengungkapkan alasan.
Sebagaimana dalam hal meninggalkan ketaatan, setiap kemaksiatan seringkali dicarikan alasan oleh pelakunya. Agar orang lain memaklumi, mengapa dia melakukan itu semua. Alasan belum tahu ilmunya, menurutnya tidak berdosa, tidak sengaja melakukannya, hanya coba-coba dan sederet alasan yang bisa dipaparkan. Tapi, kebenaran ucapannya diuji oleh hati nuraninya sendiri. Benarkah ia belum tahu ilmunya, betulkah berdasarkan ilmu yang diketahuinya itu tidak berdosa dan seterusnya. Cukuplah kita katakan kepadanya, ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.”
Jika kita merenungkan hal ini, niscaya kita dapatkan perkara yang sangat mengherankan, apa gunanya alasan-alasan itu dikemukakan jika tidak sesuai kenyataan? Siapa yang rugi dengan kebohongan itu? Bukankah dirinya sendiri yang rugi?       Tidakkah ini berarti membinasakan diri sendiri? Memang aneh, tapi faktanya banyak orang yang berusaha menjerumuskan diri sendiri.
Sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,
كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا
”Setiap manusia itu berusaha, maka ia mempertaruhkan jiwanya, ada yang usahanya itu menyelamatkan dirinya, ada pula yang membinasakan dirinya.” (HR Muslim)
Orang yang membohongi diri sendiri termasuk golongan orang yang usahanya untuk membinasakan diri sendiri dalam konteks ini.
Setelah hati nurani kita di dunia menjadi saksi atas setiap alasan saat taat atau maksiat, maka kelak di akhirat, seluruh anggota badan kita sendiri juga akan menjadi saksi atas seluruh apa yang kita jalani di dunia. Saat itu, benar atau tidaknya alasan yang diungkapkan lisan, akan dibuktikan dengan kesaksian seluruh anggota tubuh. Inilah makna kedua dari firman Allah, ” ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.”
Ibnu Abbas ra menafsirkan ayat ini, ”makna bashirah adalah saksi. Yakni kesaksian seluruh anggota badan atas dirinya. Tentang tangannya, apa yang telah ia jamah dengan keduanya, tentang kedua kakinya, kemana ia melangkahkan keduanya, tentang matanya, apa yang telah ia lihat dengan keduanya.”
Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, ”
”Pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS an-Nuur 24)
Maka jika kita sayang kepada diri sendiri, hendaknya berlaku jujur dalam menilai diri sendiri. Lalu menepis segala hal yang melemahkan kita dari ketaatan, dan memangkas jalan menuju kemaksiatan. Wallahul muwaffiq.
PERTURUTKAN NAFSU DIDUNIA, TERHALANG KEINGINAN DIAKHIRAT
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al-Qiyamah:14-15)
Disebutkan dalam Kitab Uyunul Atsar, Imam Zuhri mengisahkan, “Bahwa suatu ketika Abu Sufyan, Abu Jahal dan Akhnas bin Syariq secara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Masing-masing mengambil posisi untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. dalam shalatnya. Mereka bertiga memiliki posisi masing-masing, yang tidak diketahui oleh yang lain. Hingga ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. usai melaksanakan shalat, mereka bertiga memergoki satu sama lainnya di jalan. Mereka bertiga saling mencela dan membuat kesepakatan untuk tidak kembali mendatangi rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
Namun pada malam berikutnya, ternyata mereka bertiga tidak kuasa menahan gejolak jiwanya untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka bertiga   mengira bahwa yang lainnya tidak akan datang ke rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, dan mereka pun menempati posisi mereka masing-masing. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. usai melaksanakan shalat, mereka pun selalu memergoki yang lainnya di jalan. Dan terjadilah saling cela sebagaimana yang terjadi sebelumnya.
Malam berikutnya, lagi-lagi mereka rindu untuk mendengarkan Al-Qur’an, dan merekapun menempati posisi sebagaimana hari sebelumnya. Dan manakala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam usai melaksanakan shalat, mereka bertiga kembali memergoki yang lainnya. Akhirnya mereka bertiga membuat janji satu sama lain untuk tidak kembali ke rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
 
Begitulah, meski mereka memungkiri kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam, namun hati kecil mereka tidak bisa ditipu, bahwa Al-Qur’an itu indah, benar dan menakjubkan. Berbagai alasan, argumen dan kilah sebenarnya tidak bisa mengelabuhi perasaannya,
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al-Qiyamah:14-15)
Rumus ini berlaku bagi siapapun yang menyelisihi kebenaran, baik yang ringan maupun yang berat. Mereka sebenarnya hanya membohongi diri sendiri tatkala lebih memilih menyelisihi daripada tunduk dan patuh terhadap kebenaran.
Sejenak kita introspeksi dan jujur terhadap diri sendiri. Tatkala diri merasa malas untuk belajar ilmu syar’i, berbagai alasan muncul untuk membela diri. Sibuk dengan pekerjaan, ada keperluan yang tak bisa ditinggalkan, kesulitan kendaraan, tidak ada tempat kajian, kurang enak badan dan seabrek alasan yang lain. Ketika itu, nurani kita bisa mengukur, apakah semua yang kita utarakan itu benar-benar menjadi udzur, hingga betul-betul tak memiliki peluang untuk menambah ilmu syar’i? Jawabanya, ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” Diri kita sendiri yang tahu akan kebenaran alasan kita, selagi jujur dengan hati nurani.
Begitupula, tatkala ada yang lama tidak menampakkan diri di masjid untuk shalat berjama’ah, berbagai argumen juga digelar agar orang lain memaklumi. Alasan tidak wajib, ada urusan penting, badan masih kotor karena belum mandi, jauh dari masjid, tidak mendengar adzan, tidak bisa khusyuk shalat di masjid dan masih banyak alasan yang lain. Apakah alasan ini dibuat-buat ataukah tidak, sebenarnya diri kita sendiri mengetahui. Diri kita menjadi saksi atas apa penyebab sesungguhnya ketidakhadiran kita ke masjid untuk berjamaah. Kita juga menjadi saksi akan kejujuran atau kedustaan lisan kita saat mengungkapkan alasan.
Sebagaimana dalam hal meninggalkan ketaatan, setiap kemaksiatan seringkali dicarikan alasan oleh pelakunya. Agar orang lain memaklumi, mengapa dia melakukan itu semua. Alasan belum tahu ilmunya, menurutnya tidak berdosa, tidak sengaja melakukannya, hanya coba-coba dan sederet alasan yang bisa dipaparkan. Tapi, kebenaran ucapannya diuji oleh hati nuraninya sendiri. Benarkah ia belum tahu ilmunya, betulkah berdasarkan ilmu yang diketahuinya itu tidak berdosa dan seterusnya. Cukuplah kita katakan kepadanya, ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.”
Jika kita merenungkan hal ini, niscaya kita dapatkan perkara yang sangat mengherankan, apa gunanya alasan-alasan itu dikemukakan jika tidak sesuai kenyataan? Siapa yang rugi dengan kebohongan itu? Bukankah dirinya sendiri yang rugi?       Tidakkah ini berarti membinasakan diri sendiri? Memang aneh, tapi faktanya banyak orang yang berusaha menjerumuskan diri sendiri.
Sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,
كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا
”Setiap manusia itu berusaha, maka ia mempertaruhkan jiwanya, ada yang usahanya itu menyelamatkan dirinya, ada pula yang membinasakan dirinya.” (HR Muslim)
Orang yang membohongi diri sendiri termasuk golongan orang yang usahanya untuk membinasakan diri sendiri dalam konteks ini.
Setelah hati nurani kita di dunia menjadi saksi atas setiap alasan saat taat atau maksiat, maka kelak di akhirat, seluruh anggota badan kita sendiri juga akan menjadi saksi atas seluruh apa yang kita jalani di dunia. Saat itu, benar atau tidaknya alasan yang diungkapkan lisan, akan dibuktikan dengan kesaksian seluruh anggota tubuh. Inilah makna kedua dari firman Allah, ” ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.”
Ibnu Abbas ra menafsirkan ayat ini, ”makna bashirah adalah saksi. Yakni kesaksian seluruh anggota badan atas dirinya. Tentang tangannya, apa yang telah ia jamah dengan keduanya, tentang kedua kakinya, kemana ia melangkahkan keduanya, tentang matanya, apa yang telah ia lihat dengan keduanya.”
Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, ”
”Pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS an-Nuur 24)
Maka jika kita sayang kepada diri sendiri, hendaknya berlaku jujur dalam menilai diri sendiri. Lalu menepis segala hal yang melemahkan kita dari ketaatan, dan memangkas jalan menuju kemaksiatan. Wallahul muwaffiq.

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar