Powered By Blogger

Kamis, 29 Desember 2011

KATA BIJAK PENUH MAKNA

CARI MUKA BEROLEH NISTA


Imam al-Hakim meriwayatkan, suatu kali Umar bin Khathab datang ke Syam. Beliau mengenakan izaar (pakaian bawah/semisal sarung), kasut (alas kaki) dan imamah (penutup kepala). Dalam riwayat lain disebutkan pula beliau turun dari onta dan melepaskan kasutnya. Dikalungkannya kedua kasutnya diatas bahu, kemudian ia mengambil kendali ontanya dan dipegangnya sambil mengarungi sungai. Lalu di antara sahabat berkata,



“Wahai Amirul Mukmunin, para tentara dan pembesar negeri Syam akan menyambut Anda, tetapi Anda seperti itu keadaannya?” Lalu Umar menjawab, “Sesungguhnya kami adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam. Karena itu kami tidak akan mencari kemuliaan selain dengan Islam.”



Begitulah kemuliaan dalam pandangan generasi terbaik. Kemuliaan yang dinilai dari tingkat ketakwaan, pada sejauh mana ia bisa mengabdikan dirinya kepada Allah dan komitmennya terhadap syariat Islam. Bukan kemuliaan yang didapat dengan mencari sanjungan manusia, atau mengukurnya dengan barometer dunia. Dengan karakter itulah, kaum muslimin di waktu itu berwibawa, baik di mata kawan maupun lawan.



Ingin Mulia, Malah Terhina

Ada yang menarik dari kalimat kedua yang diucapkan oleh Umar radhiyallahu ’anhu, “Kita tidak akan mencari kemuliaan selain dengan Islam.” Karena ketika umat Islam mencari kemuliaan dengan selain Islam, lalu menggantinya dengan nilai-nilai materi duniawi yang ingin dibanggakan di hadapan manusia, maka yang didapatkan adalah kehinaan, dan bukan kemuliaan. Sayang sekali, fenomena inilah yang justru menimpa kaum muslimin hari ini.

Demi kehormatan dan pengakuan ‘modern’ di mata dunia, dengan enteng kebanyakan kaum muslimin menanggalkan identitas keislamannnya, lalu menggantinya dengan identitas Barat yang kafir. Kemuliaan diukur dari seberapa kemiripannya dengan orang kafir. Mengekor kepada tradisi dan cara berpikir Barat dianggap hebat. Dan menjadi pembeo Barat diklaim sebagai kaum moderat. Meskipun tradisi dan keyakinan yang diimpor itu berupa kemaksiatan dan kenistaan. Selainnya, diklaim sebagai kejumudan dan ketinggalan jaman.

Lalu apa hasilnya, kewibawaankah? Bahkan, keadaan kaum muslimin nyaris sempurna atau mungkin sempurna menyamai gambaran umat akhir zaman yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam,

يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ الله مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ الله فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ



“Hampir-hampir umat-umat menge-rumuni kalian layaknya orang-orang yang mengerumuni hidangan. Seseorang bertanya, “Apakah jumlah kami sedikit ketika itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bahkan ketika itu jumlah kalian banyak. Akan tetapi kalian laksana buih di lautan. Allah akan mencabut dari dada musuh-musuh kalian perasaan gentar terhadap kalian, dan Allah mencampakkan di hati kalian penyakit al-wahn.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah wahn itu?” Beliau bersabda, “cinta dunia dan benci (takut) mati.” (HR Abu Dawud, al-Albani menshahihkannya)

Begitulah jika kemuliaan diburu dengan jalan yang salah, Allah menghukum dengan keadaan yang sebaliknya.



Mencari Muka, Beroleh Nista

Tak berbeda halnya dengan balasan bagi masing-masing individu. Ketika seseorang ingin mencari kewibawaan bukan di atas jalurnya, maka justru kehinaan yang akan didapatkannya. Seperti orang yang ingin memperdengarkan kebolehan dan kelebihannya di tengah manusia, agar manusia menyanjungnya. Atau memamerkan kebaikannya agar manusia memujinya, justru akan diganjar dengan aib yang akan terkuak. Nabi shallahu alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ الله بِهِ ، وَمَنْ يُرَائِى يُرَائِى الله بِه



“Barangsiapa berlaku sum’ah, Allah akan memperdengarkan aibnya. Dan barangsiapa berbuat riya’, maka Allah akan memperlihatkan aibnya.” (HR. al Bukhari)

Al-Khaththabi menjelaskan hadits tersebut, “Yakni barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan dengan tidak ikhlas, dan hanya ingin didengar dan dilihat manusia, maka ia akan dibalas dengan terkuaknya keburukan-keburukannya. Sehingga tampaklah apa yang disembunyikan dan dirahasiakannya.”

Peringatan ini semestinya menjadi kontrol dan sarana bagi seorang muslim untuk mawas diri. Jika suatu kali ada aib atau rahasia yang memalukan terungkap, jangan-jangan ada amalan atau ibadah yang mestinya ditujukan kepada Allah, namun dilakukan untuk mengharap pujian manusia semata. Hingga Allah mengganti pujian dengan celaan, kemuliaan menjadi kehinaan, nas’alullahal ‘aafiyah.

Sebagaimana dalam hal ibadah, fenomena ujub, pamer atau merasa hebat dari orang lain terjadi pula dalam hal duniawi.

Demi mendapatkan penghargaan dan penghormatan masyarakat, ada yang memaksakan diri untuk berpenampilan ’wah’ dan selalu mengikuti tren, meski sejatinya dia termasuk orang yang tidak mampu. Dia mengira, bahwa orang-orang akan berdecak kagum melihat penampilannya. Padahal, orang yang mengetahui realita kehidupannya akan geleng-geleng dibuatnya. Bukan karena kagum, tapi karena merasa kasihan bercampur jengkel melihat orang yang tak mau mengaca diri. Orang kaya yang sombong memang tidak terpuji, namun lebih parah lagi jika ada orang miskin yang sombong. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ الله يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِر



”Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak akan disucikan, tidak akan dilihat dan baginya adzab yang pedih; orang tua yang berzina, raja yang pendusta dan orang miskin yang sombong.” (HR Muslim)

Bukan berarti orang yang diuji dengan sedikitnya harta tidak boleh berpenampilan menarik. Namun sisi celanya adalah pada mengada-ada dan memaksa diri dalam hal yang sebenarnya ia tidak mampu. Karena selayaknya seorang muslim tampil dalam wujud aslinya, jujur dengan kondisinya, dan tidak memoles diri dengan apa yang tidak dimampui agar disangka sebagai orang yang jauh lebih kaya atau lebih hebat dari kenyataannya. Inilah yang diumpamakan Nabi dengan istilah ’labisu tsaubai zuur’, memakai dua pakaian dusta. Belum lagi buntut dari ambisi tersebut tidak sederhana. Hutang yang menumpuk, kredit yang macet dan seabrek problem yang disandang hanya demi ambisi untuk dipuji.

Adapun orang yang diuji dengan kelebihan harta dan jabatan, lebih banyak lagi yang terjerumus pada sikap angkuh dan sombong. Tentang harta, Qarun dinyatakan tak lulus ujian lantaran ujub dan keangkuhannya, di mana dia berkata,

”Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (QS al-Qashash 78)

Begitupun Fir’aun, dinyatakan tak lulus ujian karena sombong atas kekuasaan yang dimilikinya, hingga dia mengaku sebagai tuhan,

”berkata (Fir’aun), ”Akulah Tuhanmu yang paling tinggi”. (QS an-Nazi’at 24)

Keduanya mati dalam keadaan terhina, dan bagi keduanya azab yang pedih di neraka. Sayangnya, banyak sekali qarun-qarun kecil dan fir’aun-fir’aun kecil yang mengikuti jejak keangkuhannya.

Mereka mengira, dengan unjuk kekayaan atau kekuasaan itu membuat orang akan mencintai mereka, membanggakan dan memuja mereka. Padahal sejatinya, kabanyakan orang muak melihat polah tingkah mereka yang angkuh. Dan berapa banyak orang-orang lemah yang justru mendoakan keburukan untuk mereka. Inikah kemuliaan? Tentu saja kehinaan lebih pas untuk menggambarkan keadaan mereka.



Di Akhiratpun Terhina

Belum lagi kelak di akhirat orang-orang yang angkuh akan semakin ternista dan tak berharga. Tak ada yang memandang mereka sebagai orang kaya atau pejabat. Nabi shallallahu alaihi wasallam menggabarkan keadaan mereka di akhirat,

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِى صُوَرِ الرِّجَالِ يَغْشَاهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ



”Orang-orang yang sombong pada hari Kiamat akan dihimpun pada hari Kiamat semisal semut kecil dalam bentuk manusia, kehinaan meliputi mereka dari segala penjuru.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan haditsnya hasan).

Begitulah nasib tragis mereka yang mencari kemuliaan dengan jalan menyimpang. Hina di dunia, nista dan siksa di akhirat. Adapun insan yang beriman tentulah menyadari, bahwa izzah dan kewibawaan itu hanyalah milik Allah seluruhnya. Hanya dengan taat kepada Allah pula, kewibawaan umat akan kembali. Firman Allah,

”Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” (QS Fathir 10)

Alangkah indah doa yang dipanjatkan oleh seorang ulama salaf, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan taat kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan bermaksiat kepada-Mu.” Wallahu a’lam bishawab.









BALASAN SETIMPAL PERBUATAN


Adz-Dzahabi dalam Kitabnya al-Kaba’ir, dan juga Ibnu Hajar dalam Kitabnya az-Zawaajir menyebutkan suatu kisah, bahwa ada seorang laki-laki yang buntung tangannya hingga pangkal lengannya berkata, “Barangsiapa yang melihat keadaanku, maka jangan sekali-kali berlaku zhalim kepada seorang pun.” Lalu orang itu ditanya, “Apa yang terjadi atas dirimu?” Lalu dia bercerita, “Kisahku sangat menyedihkan. Dahulunya aku seorang yang mudah sekali mendzalimi orang. Suatu hari aku melihat seorang nelayan mendapatkan ikan besar yang menakjubkanku. Akupun mendekatinya dan berkata, “Berikanlah ikan itu kepadaku.” Dia menjawab, “Tidak, karena ikan ini akan saya jual dan hasilnya untuk membeli makan bagi keluargaku.” Lalu aku memukulnya dan merebutnya dengan paksa dan langsung pergi. Ketika aku pulang membawa ikan tersebut, tiba-tiba ikan itu menggigit jempol tanganku dengan gigitan yang kuat. Sesampainya di rumah aku letakkan ikan itu, sementara jempol tanganku semakin terasa sakitnya hingga aku tidak bisa tidur karena nyeri.Pagi harinya aku mendatangi tabib dan mengeluhkan rasa sakitku, lalu sang tabib berkata, “Anda terkena infeksi, seharusnya jempol ini dipotong, kalau tidak niscaya akan menjalar ke tanganmu.” Maka saya harus merelakan jempolku diamputasi. Namun rasa sakit telah menjalar ke telapak tangan hingga aku tetap belum bisa tidur karena sakitnya. Akupun kembali mendatangi tabib dan tabib berkata, “potonglah telapak tanganmu, agar penyakit tidak menjalar ke hasta.” Akhirnya telapak tanganku diamputasi juga.”

Penyakit terus menjalar, hingga orang itu harus memotong tangannya sampai siku, lalu dipotong lagi di pangkal lengannya. Hingga seseorang menyarankan agar dia meminta maaf kepada orang yang dizhalimi. Allah berkehendak mempertemukan keduanya, dan penyakit tersebut tak lagi menjalar setelah orang yang dizhalimi memaafkannya.

Begitulah balasan orang yang berlaku zhalim, seperti pepatah ‘menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.”



Balasan Setimpal Dengan Kejahatan

Sayyid Husain al-Affaani dalam Kitabnya al-Jaza’ min Jinsil ‘Amal juga menyebutkan sebuah kisah,

“Ada seorang laki-laki yang memiliki orangtua yang sudah lanjut usia. Dia sudah merasa lelah untuk melayani dan menuruti kemauan ayahnya itu. Hingga suatu ketika ia membawa orangtuanya ke perbukitan. Sesampainya di tempat yang dituju, dia menurunkan orangtuanya dari kendaraan. Orangtuanya bertanya keheranan, Apa yang hendak engkau lakukan terhadapku wahai anakku?” Dia menjawab, “Aku ingin menyembelih ayah!” Ayahnya berkata, “Jika kamu bersikeras untuk menyembelihku, maka sembelihlah aku di bukit yang sana, karena dahulu aku juga menjadi seorang anak yang durhaka, dan aku telah menyembelih ayahku di sana. Tapi ingat, kelak kamu juga akan mengalami hal serupa wahai anakku.”

Betapa kejahatan dibalas dengan perlakuan serupa. Maka hendaknya kita pikirkan bagaimana kita memperlakukan orang lain, sebagaimana kaidah berlaku, ”fakamaa tadiinu tudaanu”, sebagaimana kamu berbuat, maka seperti itu pula kamu akan diperlakukan.

Kisah yang lain diangkat oleh at-Tanuukhi dalam bukunya al-Faraj Ba’da asy-Syiddah,

“Seorang menteri di Baghdad telah merampas dengan paksa harta kekayaan seorang wanita tua. Segala harta milik wanita itu dijarah dengan cara licik. Lalu wanita itu datang menuntut haknya di hadapan sang menteri sambil menangis. Namun sang menteri tak mau peduli, tidak jera dan tidak mau bertaubat atas kesalahannya itu. Kemudian wanita itu mengancam, “Jika engkau tidak mengembalikannya juga, aku akan memohon kepada Allah agar engkau celaka.” Menteri itu malah tertawa mengejek seraya berkata, “Berdo’alah pada sepertiga malam.” Begitulah ucapan yang keluar dari orang yang fasik lagi pongah. Wanita itupun pergi meninggalkannya. Pada setiap sepertiga malam terakhir, ia selalu berdo’a. Tak berapa lama berselang, menteri itu dipecat dari jabatannya, dan seluruh harta bendanya disita. Ia diikat di tengah pasar dan dicambuk sebagai hukuman menurut ketentuan majelis hakim atas kekejamannya terhadap rakyatnya. Pada saat itu wanita tua itu lewat sambil melihat siapa yang sedang diikat itu. Begitu melihatnya, ia berkata, “Engkau benar, engkau telah menganjurkan kepadaku untuk berdo’a di sepertiga malam terakhir, ternyata terbukti bahwa sepertiga malam terakhir itu memang waktu yang terbaik.”

Begitulah, saat orang lalim yang merasa punya kuasa dan kekuatan dengan santai berbuat aniaya, dia lupa bahwa orang yang dizhalimi memiliki senjata ampuh untuk menjatuhkannya. Karena Nabi saw bersabda,

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ

“Takutlah kamu terhadap doa orang yang dizhalimi, karena tidak ada penghalang antara dia dengan Allah.” (HR Bukhari)

Maka orang yang menimpakan kezhaliman kepada orang lain, baik dalam bentuk menipu, mengambil harta orang lain dengan cara yang haram, menyakiti dengan lisan dan perbuatan, atau merusak kehormatan, dan yang ingin mencelakakan orang lain hakikatnya sedang menggali lubang untuk kuburannya sendiri. Sebagaimana dikatakan, “man hafara hufratan liakhiihi waqa’a fiiha,’ dan barangsiapa menggali lubang untuk saudaranya, ia sendiri yang akan terperosok ke dalamnya.



Belum Mengalami, Bukan Berarti Takkan Terjadi

Banyaknya kasus, kisah dan realita yang menimpa orang zhalim di dunia seringkali tidak membuat mata orang zhalim menjadi terbuka. Mungkin karena mereka merasa tidak bernasib sama. Meski telah berlaku aniaya, namun telah berselang lama tak tampak pula tanda-tanda akan bernasib celaka. Padangan inilah yang membuat mereka terus terlena.

Jika mereka belum merasakan balasan yang setimpal, itu bukan berarti Allah lupa, atau kejahatannya tidak mendatangkan efek apa-apa. Hingga mereka tak merasa perlu menyesali perbuatannya, apalagi menyudahi kezhaliman yang dilakukannya.

Padahal bisa jadi Allah hanya melepaskan ia sementara, hingga pada saat yang tak diduga ia akan dibalas sepadan dengan perbuatannya, dan ia tidak bisa berkutik apa-apa. Allah mengancam mereka dengan firman-Nya,

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُ‌هُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ‌



”Dan janganlah sekali-kali kamu mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak..” (QS Ibrahim: 42)

As-Sa’di mengatakan tentang ayat ini, ”Sungguh, ini merupakan ancaman yang keras bagi orang yang berbuat zhalim, sekaligus penghibur bagi orang yang dizhalimi.” Karena orang yang dizhalimi akan mendapatkan keadilan yang sesungguhnya. Kalaupun hingga akhir hayat hukuman belum diturunkan, balasan di akhirat telah menanti. Keadilan hakiki akan ditegakkan. Maka kelak ada orang-orang yang merasakan dampak dari kezhaliman yang ia lakukan. Pahala kebaikan menjadi hilang, dan dosa keburukan banyak tersandang. Hingga ada yang disebut Nabi saw sebagai muflis, yakni orang yang bangkrut. Beliau bertanya kepada para sahabat, ”Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab, ”Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham maupun kekayaan.” Lalu beliau bersabda,



إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّار



“Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari Kiamat dengan membawa pahala shalat, shaum dan zakat. Namun ia juga mencela si anu, menuduh si anu, menjarah harta si anu, menumpahkan darah si fulan dan memukul si fulan. Maka kebaikannya dibagikan untuk ini dan itu hingga ketika kebaikannya habis sebelum cukup melunasi kezhalimannya, maka keburukan orang yang dizhalimi akan ditimpakan kepadanya, lalu dia dilemparkan ke neraka.” (HR Muslim)

Allahumma inna na’udzubika min an-nazhlima au nuzhlama, ya Allah, kami memohon perlindungan kepada-Mu dari menzhalimi atau dizhalimi. Aamiin.










MENYINGKAP CELA ORANG TERNGANGA AIB SENDIRI


Pernah tersebar gosip keji tentang Ummul Mukminin Aisyah radiyallahu anha, yang menuduh beliau telah berbuat serong. Adalah Abu Ayyub al-Anshari termasuk sahabat yang sangat hati-hati menjaga pendengarannya, tidak menelan mentah-mentah semua informasi yang mampir di telinganya. Tatkala istrinya bertanya, “Wahai Abu Ayyub, Tidakkah kamu mendengar desas desus yang memperbincangkan Aisyah?” Beliau menjawab, “Itu hanyalah berita bohong.” Lalu beliau bertanya kepada Ummu Ayyub, “Apakah kamu pernah melakukan (serong), wahai Ummu Ayyub?” Ia menjawab, “Belum pernah, demi Allah, dan aku tidak akan pernah melakukannya.” Lalu Abu Ayyub berkata, “Demi Allah (wahai istriku), Aisyah lebih baik dari dirimu.”

Begitulah cara Abu Ayyub menyeleksi informasi. Tidak semua ucapan boleh dinikmati oleh telinga, dan tidak setiap informasi boleh disebarkan kepada orang lain. Ada hal-hal yang seharusnya ia dengar. Ada pula hal-hal yang tidak layak didengarnya. Dan dalam hal yang ia mendengarnya tanpa sengaja, ia seleksi mana yang layak dipercayai dan mana pula yang layak dimusnahkan dari memori. Inilah cara mensyukuri nikmat pendengaran. Seperti jawaban Abu Hazim rahimahullah tatkala ditanya, “Bagaimana cara mensyukuri nikmat pendengaran?” Beliau menjawab, “Jika kamu mendengar kebaikan, maka jagalah dan jika kamu mendengar tentang keburukan, maka sembunyikanlah.”



Menyebarkan Berita Dusta

Telinga adalah mitra paling setia dari lisan. Dari lisan siapapun ucapan terlontar, memungkinkan telinga untuk menikmatinya, sengaja atau tidak sengaja. Maka, seberapa kuat sensor pendengaran untuk menyaring setiap suara yang masuk, menentukan baik buruknya seseorang. Begitu strategisnya fungsi pendengaran, hingga kelak secara khusus ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah didengarnya,

”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (QS al-Isra’ 36)

Di antara berita yang pasti sempat hinggap di telinga adalah kabar miring mengenai pribadi dan kehormatan seseorang. Sudah tentu, tidak semua yang didengar telinga itu sesuai dengan realita yang sebenarnya. Pasti ada berita dusta yang berseliweran di telinga. Karenanya Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam memberi stempel ‘pendusta’ bagi orang yang suka menceritakan setiap apa yang didengarnya,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ



“Cukuplah seseorang dikatakan pendusta, jika ia menceritakan setiap apa yang ia dengar.” (HR Muslim)

Betapa ringan lisan membeberkan, betapa nikmat telinga mendengarkan. Akan tetapi, begitu dahsyat efek yang ditimbulkan. Berapa banyak orang-orang yang bersaudara dipisahkan oleh berita-berita bohong? Berapa banyak pasangan suami istri berpisah karena kabar dusta? Dan berapa banyak pula peperangan antar kaum yang dipicu oleh informasi palsu? Dan berapa banyak orang terpidana karena kesaksian palsu?

Allah Yang Maha Bijaksana telah mengingatkan umat ini, agar masyarakat ini tidak tercabik-cabik, tidak terpecahbelah dan terbakar oleh api fitnah yang tatkala berkobar sulit untuk dipadamkan. Allah berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita. Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. al-Hujurat: 6)

Sebagaimana indikasi ayat di atas, bahwa dampak berita dusta itu tak hanya menimpa korban tertuduh. Bahkan bisa jadi yang tertuduh mendapatkan keuntungan. Sebagaimana Allah menghibur Aisyah dan keluarganya terkait berita dusta tentang dirinya,

“Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu” (QS. An-Nuur: 11)

Adapun bagi orang yang turut terlibat menyebarkan berita dusta, justru terancam akan menyesal. Bisa saja ia menyesal karena telah turut menyiarkan kabar burung tapi akhirnya terbukti sebagai kabar bohong. Bisa juga ia menyesal karena buntut dari tindakan itu bisa membahayakan dirinya. Tatkala ia menyebarkan berita dusta, berarti telah berlaku zhalim kepada orang lain. Sedangkan orang yang dizhalimi memiliki peluang besar mendoakan keburukan untuk orang yang telah merusak kehormatannya, dan doa orang yang dizhalimi tidak terhalang untuk diijabahi.

Seperti kasus yang menimpa orang yang mencemarkan nama baik Sa’ad bin Abi Waqash ra dengan tuduhan dusta. Sebagaimana diriwayatka oleh Jabir ra,

“Seorang laki-laki itu berkata, “Kami mengadukan Sa’ad karena ia tidak membagi rampasan secara sama rata, tidak pernah ikut berperang bersama pasukannya dan tidak adil dalam menghukumi sesuatu.”

Mendengar tuduhan itu, maka Sa’ad berdoa, “Ya Allah, jika ia berdusta, maka panjangkanlah umurnya, panjangkan kefakirannya, dan timpakan berbagai fitnah atasnya.”

Ibnu Amir menceritakan bahwa ia menyaksikan laki-laki yang mengadukan Sa’ad itu berumur panjang, sampai-sampai alisnya menutupi mata karena saking panjangnya, ia betul-betul ditimpa kemiskinan, dan di sebuah jalan ia pernah bertemu dengan budak-budak perempuan kemudian mecolek mereka, karena itu ia terkena fitnah. Sewaktu ditanya, “Mengapa kamu bisa jadi begini?” Jawabnya, “Aku menjadi tua bangka dan terkena fitnah karena doa Sa’ad.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

Begitulah balasan di dunia. Adapun di akhirat, Allah mengancam orang yang suka menuduh dan menyebarkan berita bohong tentang keburukan seseorang,

”Dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun. Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar” (QS. an-Nuur: 15)

Hingga firman-Nya,

”…mereka terkena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”(QS. an-Nuur: 23-24)

Menyingkap Aib Orang, Ternganga Aib Sendiri

Berita dusta tentang keburukan seseorang sudah pasti terlarang untuk disebarkan. Lalu bagaimana jika berita tentang aib seseorang itu benar adanya? Sering kita dengar, ketika teguran ditujukan kepada orang yang sedang menggunjing, ia pun segera menyergah, “Saya mengatakan apa adanya, saya tidak berdusta!” Padahal, tidak semua berita yang benar itu boleh menjadi konsumsi publik, atau diperdengarkan orang lain. Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mendefinisikan ghibah atau menggunjing,

“Menyebutkan keburukan tentang saudaramu, hal yang ia tidak suka (diketahui orang lain).” Lalu Nabi ditanya, “Bagaimana jika ternyata apa yang saya sebutkan memang benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab,

إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Jika (aib) itu memang ada padanya, berarti kamu telah menggunjingnya, dan jika apa yang kamu katakan tidak ada pada dirinya, berarti kamu telah membuat kedustaan tentangnya.” (HR. Muslim)

Itulah ghibah, yang diumpamakan Allah dengan memakan bangkai saudaranya sendiri.

Jangan disangka, bahwa kerugian hanya menimpa orang yang digunjing. Sejatinya, akibat yang dialami oleh orang yang menggunjing lebih parah. Rata-rata orang yang suka mencacat dan mengumbar aib orang, niscaya akan sedikit mendapat teman. Karena tidak akan ditemukan teman yang tak memiliki cacat, dan tak banyak orang yang bisa bertahan jika cacatnya diumbar oleh temannya sendiri. Alangkah indahnya nasihat Imam asy-Syafi’i kepada Yunus bin Abdil A’la. Beliau berkata, “Wahai Yunus, jika kamu mendengar seorang temanmu melakukan apa yang tidak kamu suka, janganlah kamu lekas memusuhinya, atau memutus persahabatan. Karena sesuatu yang meyakinkan (tentang kebaikan teman) jangan dihapus dengan sesuatu yang masih meragukan (tentang keburukan teman). Sebaiknya, temuilah dia, dan katakan kepadanya, “Telah sampai desas-desus tentang dirimu begini dan begitu…” Tapi ingat, janganlah kamu menyebutkan sumber beritanya. Jika dia menyanggah dan mengingkari kabar tersebut, maka katakanlah, “Baiklah, kamu lebih jujur dan lebih layak aku percaya.” Dan jangan menambahnya dengan pertanyaan atau komentar yang lain. Namun jika dia mengakui kebenaran berita itu, dan kamu memaklumi alasannya, maka terimalah alasannya…”

Tak hanya sulit mendapatkan teman, orang yang hobi mengumbar aib saudaranya, maka kelak aibnya akan tersebar. Ini sebagai balasan yang setimpal untuk dirinya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda,

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِى بَيْتِه

“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya sedangkan iman belum merasuk di hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin, dan janganlah mencari-cari aib mereka, karena barangsiapa yang mencari-cari aib mereka, niscaya Allah akan mengawasi aib mereka, dan barangsiapa yang diawasi aibnya oleh Allah, niscaya Allah akan membeberkan aibnya di rumahnya.” (HR. Abu Dawud)

Jika tak ingin aib kita terbuka, maka jangan coba-coba mengumbar aib saudaranya. Kecuali jika aib itu berupa dosa yang membahayakan orang lain, atau dilakukan terang-terangan dengan bangga. Semoga Allah menutupi aib kita, dan menjaga telinga dan lisan kita dari segala bentuk kezhaliman atas kaum muslimin.aamiin.










DERITA KARENA DUSTA



Tak seorangpun rela dan suka dibohongi. Tapi anehnya, rata-rata orang tidak membenci dirinya berbohong. Sebagian bahkan merasa enjoy dan menikmati kebiasaan dusta. Memang, awal mula dusta itu tidak terjadi begitu saja. Ada faktor pemicunya, dan ada segudang alasan sehingga banyak orang nekat melakukannya.



Untung Diharap, Apes Didapat

Adakalanya seseorang berdusta demi mendapatkan berbagai manfaat. Seperti dusta yang dijalani saat berjual beli. Dalam hitungan matematis, pembohong itu merasa mendapat keuntungan dengan menipu. Karena dia mendapatkan selisih keuntungan dari takaran, timbangan maupun kualitas barang. Hingga dusta menjadi jurus andalan untuk mengeruk keuntungan.

Ia lupa bahwa ada Dzat yang kuasa menentukan kadar keuntungan, yang tidak terikat oleh rumus matematis atau kalkulasi yang dibuat oleh manusia. Dzat yang kuasa untuk menimpakan kebangkrutan di luar perhitungan para penipu yang ingin kaya dengan cara berbuat curang. Dan Nabi telah mengabarkan kerugian yang dialami oleh orang yang berjual beli dengan dusta,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Dua orang yang bertransaksi jual beli itu punya hak khiyar (memilih) selama belum berpisah. Bila keduanya jujur dan menerangkan (apa adanya), maka keduanya akan diberi barakah dalam jual belinya. Tapi bila mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat) maka akan dihilangkan keberkahan jual beli keduanya.” (HR Bukhari dan Abu Dawud)

Alloh berkehendak membalas tipu daya orang yang ingin meraup untung dengan jalan yang haram. Hingga apa yang didapatkan akhirnya berkebalikan dengan apa yang diharapkan. Dusta akan melenyapkan keberkahan dan kemanfaatan rejeki, mendatangkan kesulitan dan kesempitan, serta menghilangkan kepercayaan pelanggan terhadapnya. Karena betapapun pintar seseorang menyembunyikan kedustaan, akhirnya akan terendus juga. Dan tatkala orang-orang telah mengetahui pedagang yang suka mengelabuhi, maka takkan ada lagi yang sudi untuk berjual beli.



Mencari Simpati Menuai Caci

Adakalanya seseorang berdusta untuk menaikkan gengsinya di hadapan manusia. Atau ingin menarik simpati orang yang diajaknya bicara. Iapun berusaha memoles kata, menghiasi cengkerama dengan kisah yang hiperbola, dan membumbui cerita dengan data-data dusta tentang dirinya. Tentang aset yang dimilikinya, kepahlawanannya, atau aktifitas palsu yang membuat lawan bicara berdecak kagum terhadapnya.

Hanya orang yang cupet nalar dan berakal dangkal, yang ingin menarik simpati orang dengan jalan mengumbar dusta. Sungguh dia tak pernah belajar dari pengalaman. Bukankah masing-masing kita pernah merasa kecewa berat karena ditipu, merasa jengkel dan betapa merasa bodohnya kita saat kita terbuai oleh kata-kata manis yang menipu. Dan akhirnya kita memutuskan untuk tidak respek kepada si pembohong, dan memberikan stempel buruk terhadapnya. Maka jika kita pernah mengalami peristiwa semisal ini, bagaimana mungkin kita akan menjadikan dusta sebagai cara memperoleh simpati?

Sesaat, terkadang dusta memang bisa menaikkan pamor, menarik simpati pendengar bahkan boleh jadi lawan bicara lantas memutuskan untuk mengiyakan ajakannya. Namun, itu tak akan berlangsung lama. Seperti kata pepatah “sepandai-pandai menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga.” Dan jeda antara dusta dan waktu terbongkarnya, pembohong tak pernah merasakan lega dan tenang di hatinya. Rasa was-was dan bayang-bayang resiko yang ditimbulkan oleh kebohongannya selalu menghantui pikirannya. Dan iapun tahu, bahwa kelak akan terkuak juga, seperti menunggu bom waktu, yang ia tidak tahu kapan akan meledak dan meluluhlantakkan dirinya.

Yang sebenarnya, tidak ada kata yang lebih enak untuk didengar, lebih menenangkan hati bagi pembicara dan lebih mengundang simpati dari kejujuran. Dan tiada kata yang lebih menyakitkan, membuat hati was-was dan mendatangkan kebencian dari kedustaan. Maka benarlah yang disabdakan Nabi n,

فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَة

“Sesungguhnya kejujuran itu (membawa) ketenangan, dan kedustaan itu (menyebabkan) kebimbangan.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan “hadits hasan”)

Kejujuran tak akan berkurang kadar kebaikannya, meski kita berada di zaman yang dipenuhi oleh atmosfir kedustaan. Yang menganggap kedustaan sebagai kecerdikan, dan memandang kejujuran sebagai kampungan atau kepolosan. Alangkah indah ungkapan sahabat Umar bin Khathab, “Sungguh, aku direndahkan orang karena kejujuranku, itu lebih aku sukai daripada aku disanjung karena kedustaanku.”

Karena sanjungan semisal itu hanyalah semu dan hanya muncul dari orang-orang yang tidak tahu. Sementara yang pasti, dusta itu kotor dan keji. Ada riwayat yang disebutkan oleh Imam Tirmidzi bahwa, “Jika seorang hamba berdusta, maka malaikat akan menjauh darinya sejauh satu mil lantaran bau busuk yang keluar dari lisannya.” Tirmidzi menyatakan haditsnya hasan, hanya saja Syeikh al-Albani menyatakan sebagai hadits dha’if.

Dusta Berakhir Derita

Sebagaimana kerugian akan dialami oleh pendusta dalam hal duniawi, begitupun dalam hal ukhrawi. Satu dusta akan melahirkan dusta kedua untuk menutupi dusta pertamanya. Dusta kedua akan mengundang dusta yang ketiga demi menutupi dusta yang kedua, dan seterusnya. Karena dusta berpotensi kuat untuk beranak pinak dan berkembang biak.

Bukan saja mengundang dusta berikutnya, bahkan dusta bisa menjadi awal dari dosa apa saja. Baik berhubungan dengan Sang Pencipta, maupun dengan sesama manusia. Karena dengan lisannya dia merasa aman untuk menutupi dosanya di hadapan manusia. Maka yang terus menjadi perhatiannya adalah, bagaimana ia bisa berdosa apa saja sekaligus menyiapkan alibi dusta untuk menutupinya. Namun, ia tidak bisa bersembunyi dari Alloh. Jika kedustaannya tak terendus oleh manusia yang mempercayainya, itu bukan berarti Alloh mengasihinya. Bukan pula Alloh tidak punya cara untuk menyingkapnya di tengah manusia. Justru dengan kelihaiannya dalam berdusta, semakin bersemangatlah ia untuk menumpuk dosa, dan jika dosa telah menggunung, kemana lagi ujung perjalanannya kalau bukan ke neraka. Nabi n bersabda,

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ



”Jauhilah oleh kalian dusta, karena dusta itu membawa kepada dosa, dan dosa itu menjerumuskan ke neraka.” (HR )

Semoga Alloh menjauhkan kita dari sifat dusta, aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar