HUKUM HADIAH DALAM PRODUK
Sekarang ini, banyak produsen gencar menyelipkan hadiah dalam poduk-produknya guna meningkatkan volume penjualan. Tentunya tidak sedikit yang lantas membeli karena menginginkan hadiahnya. Padahal, benarkah setiap hadiah dari sebuah produk hukumnya halal? mari kita bahas.
 
Bentuk-bentuk Hadiah
Pertama: Hadiah Melalui Perlombaan, Kuis, atau Undian
Bentuk hadiah yang pertama ini mempunyai bentuk yang bermacam-macam, diantaranya adalah :
1.       Hadiah Yang Diberikan Produsen Melalui Registrasi
Undian semacam ini hukumnya haram, karena termasuk dalam perjudian yang dilarang dalam Islam. Kenapa masuk dalam katagori perjudian? Karena peserta membayar sejumlah uang melebihi dari harga biasa, padahal ia belum tentu mendapatkan apa yang diharapkan. Mungkin dia untung ketika mendapatkan hadiah dan mungkin juga bisa rugi jika tidak mendapatkan hadiah tersebut. Jika peserta undian jumlahnya banyak, maka yang meraup keuntungan adalah pihak penyelenggara. Hadiah yang diberikan peserta hanyalah bagian kecil dari keuntungan tersebut.
2.       Hadiah Dengan Cara Membeli Barang
Produsen menawarkan hadiah kepada konsumen dengan syarat dia harus membeli produk-produknya. Di dalam produk tersebut terdapat kupon hadiah yang nanti dikumpulkan untuk diundi, yang namanya keluar dalam undian tersebut, maka dialah yang berhak mendapatkan hadiah.
Bagaimana hukum undian hadiah dalam bentuk seperti ini? Untuk menjawabnya, perlu dirinci terlebih dahulu sebagai berikut:
Pertama: Hadiah yang diberikan kepada konsumen berpengaruh kepada harga produk tersebut. Artinya jika tidak disertai hadiah, maka harga produk tersebut menurun, jika ada hadiahnya – dengan melalui undian- , maka harga produknya akan naik sebesar jumlah hadiah yang akan diberikan. Maka undian hadiah seperti ini hukumnya haram, karena termasuk bentuk perjudian. Dikatakan masuk dalam bentuk perjudian, karena pembeli telah membayar uang diluar harga produk yang sesungguhnya, padahal dia belum tentu mendapatkan hadiah tersebut. Adapun yang mendapatkan hadiah, sebenarnya dia telah mendapatkan sesuatu di atas kerugian para pembeli yang lain.
Kedua: Hadiah yang diberikan kepada konsumen tidak berpengaruh pada produk. Hadiah diberikan dari anggaran promosi yang bertujuan agar para konsumen tertarik untuk membeli produk tersebut.
Bagaimana status hukumnya? Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan status hukumnya.
Pendapat Pertama: Harus dirinci terlebih dahulu; jika konsumen membeli produk tersebut karena memang ia membutuhkannya, bukan karena hadiah, yaitu dia akan membeli produk tersebut, baik ada hadiahnya, maupun tidak ada hadiahnya. Maka hal ini dibolehkan. Sebaliknya, apabila dia membeli produk tersebut karena ada hadiahnya, yaitu jika tidak ada hadiahnya dia tidak akan membeli, karena  sebenarnya dia tidak membutuhkan barang tersebut, dia membelinya sekedar untuk mengejar hadiahnya. Maka hal ini tidak dibolehkan, karena pada hakekatnya dia berjudi dengan membayar sejumlah uang dalam bentuk barang yang tidak dibutuhkan untuk meraih hadiah atau keuntungan yang belum jelas.
Pendapat Kedua:  Hukumnya tetap haram, karena akan mendorong seseorang untuk membeli barang-barang yang tidak diperlukan, karena hanya sekedar mengejar hadiah tersebut. Ini adalah sifat berlebih-lebihan di dalam berbelanja.
Hukum di atas juga berlaku untuk hadiah yang diberikan kepada konsumen yang membeli barang dalam jumlah banyak atau dalam jumlah tertentu, seperti kalau konsumen membeli barang dan produk pada toko tertentu seharga Rp.100.000,- ke atas, maka akan mendapatkan hadiah piring dan gelas.
Kedua: Hadiah Langsung Pada Barang
Hadiah langsung pada barang ini mempunyai tiga bentuk :
Bentuk Pertama: Jika seseorang membeli barang, kemudian dia mendapatkan hadiah, baik berbentuk barang tertentu, seperti ketika dia membeli meja belajar, penjual memberikannya hadiah buku tulis.  Atau berbentuk jasa, seperti ketika dia membeli mobil, maka dia mendapat hadiah atau bonus mencuci mobil gratis di tempat tersebut selama satu bulan penuh. Hadiah seperti ini dibolehkan selama tidak ada syarat tertentu ketika membeli barang tersebut.
Bentuk Kedua:  Hadiah tersebut jelas bisa dilihat oleh konsumen di dalam barang yang akan dibeli. Setiap orang yang membeli barang tersebut pasti mendapatkan hadiah itu.  Dalam hal ini, hukumnya halal.
Bentuk Ketiga:  Hadiah terdapat dalam sebagian produk. Artinya orang yang membeli barang tersebut untung-untungan, kadang dapat, kadang pula tidak dapat. Maka hukumnya boleh jika hadiah yang ditawarkan tersebut tidak mempengaruhi harga produk, tetapi diberikan dengan tujuan menarik pembeli. Dan pembelinya membeli produk tersebut karena kebutuhan, bukan karena hadiah, sebagaimana yang telah diterangkandi atas.
Ketiga : Kupon Undian Berhadiah
Produsen atau toko memberikan kupon kepada para pembeli produk mereka. Kupon tersebut akan diundi pada akhir bulan umpamanya, barang siapa yang namanya keluar dalam undian tersebut, maka akan mendapatkan hadiah. Apa perbedaan masalah ini dengan masalah sebelumnya? Perbedaannya adalah pada masalah sebelumnya produsen menawarkan hadiah terlebih dahulu, tetapi dengan syarat harus membeli produknya, sehingga setiap pembeli mengetahui hadiah sebelum membeli produk, bahkan kadang dia membeli produk tersebut, karena ada hadiahnya. Adapun pada masalah ini produsen tidak menawarkan hadiah, tetapi memberikan kupon langsung bagi setiap pembeli produknya. Pembeli belum tentu tahu kalau di dalam produk yang akan dibelinya terdapat kupon berhadiah.
Bagaimana hukumnya? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :
Pendapat Pertama: Hukumnya boleh, tetapi dengan dua syarat; yang pertama hadiah tersebut tidak mempengaruhi harga produk, dan yang kedua konsumen membelinya karena kebutuhan.
Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari yang pernah dialami penulis adalah ketika membeli bensin di SPBU, setiap pembelian satu liter maka akan dapat kupon satu, dan kupon tersebut diundi. Dalam kasus ini hukumnya boleh, karena hadiah tersebut tidak mempengaruhi harga produk, karena harga bensin tetap sama dengan harga di tempat lain, kemudian konsumen membeli bensin tadi karena kebutuhan.
Pendapat Kedua : Hukumnya tidak boleh, karena mendorong orang berbuat berlebih-lebihan dalam belanja dan membeli barang-barang yang kadang tidak dibutuhkan demi mengejar kupon hadiah yang akan diundi.
.Cipayung, Jakarta Timur, 18 Sya’ban 1432 H / 20 Juli 2011 M
AYAT AYAT CINTA, AYAT AYAT BENCI
(81) Kami mencintai orang-orang yang adil dan amanah, membenci orang-orang yang lalim dan khianat
Penempatan matan ini setelah matan yang menjelaskan prinsip wajib taat kepada ulil amri walaupun mereka lalim sungguh tepat. Meskipun kita tetap berkeyakinan sah dan tetap pula mengerjakan shalat di belakang para penguasa lalim (bukan kafir), tetapi kita tidak menyamakan antara pemimpin yang baik dan pemimpin yang buruk, antara para amir yang bertindak adil dan para amir yang berlaku aniaya. Matan ke-81 ini menegaskan; siapa pun orangnya jika ia seorang mukmin yang adil dan beramanah, kita wajib mencintainya. Sebaliknya; siapa pun jika ia seorang mukmin yang lalim dan berkhianat, kita wajib membencinya.
Keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan dalam pengertian yang luas sebagaimana yang difirmankan oleh Allah,
“Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan, ihsan (berbuat baik), dan memberi kerabat dekat.” (an-Nahl: 90)
Seluruh perintah dalam Islam adalah keadilan. Keadilan yang terbesar adalah tauhid.
Seperti halnya keadilan, kelaliman atau kezhaliman pun luas; terkait dengan hak Allah, hak Nabi, hak sesama, dan hak diri.
Amanah yang dimaksud di sini adalah amanah dalam pengertian yang luas sebagaimana difirmankan oleh Allah,
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
Amanah adalah seluruh beban syar’i yang diperintahkan oleh Allah.
Seperti halnya amanah, khianat pun dipahami secara luas. Terkait dengan semua beban syar’i.
Maka, orang-orang yang berbuat adil sama dengan orang-orang yang amanah, dan orang-orang yang berbuat lalim sama dengan orang-orang yang khianat. Kelompok pertama berhak atas cinta. Kelompok kedua wajib dibenci.
 
Bukti Sempurna Iman
Cinta dan benci yang ditujukan kepada kedua kelompok ini merupakan bukti kesempurnaan iman dan ubudiyah kita kepada Allah. Ubudiyah yang tidak disertai dengan cinta adalah ubudiyah palsu. Bahkan, pangjkal dari ubudiyah yang benar adalah terkumpulnya kesempurnaan dan puncak cinta serta kesempurnaan dan puncak ketundukan.
Pada asalnya mencintai para rasul, para nabi, dan orang-orang yang beriman tidak dibolehkan. Hanya karena Allah memerintahnnya saja, kita mencintai mereka. Selain Allah hanya boleh dicintai karena Allah.
Mencintai apa yang dicintai Allah, membenci apa yang dibenci oleh Allah, ridha pada apa yang diridhai Allah, murka dengan apa yang dimurkai Allah, memerintahkan apa yang diperintahkan Allah, melarang apa yang dilarang Allah, dan menyesuikan diri dengan Allah dalam segala hal adalah konsekuensi cinta kita kepada Allah.
Allah mencintai orang-orang yang ihsan, takwa, teubat, dan suka bersuci. Kita mencintai siapa yang dicintai oleh Allah. Allah tidak mencintai orang-orang yang khianat, membuat kerusakan, dan sombong. Kita tidak mencintai mereka lantaran menyesuaikan diri dengan Allah.
Imam al-Bukhari dan Muslim meri-wayatkan bahwa Nabi n bersabda,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فيه وَجَدَ حَلَاوَة الْإِيمَانِ مَنْ كَانَ الله ورسوله أَحَبَّ إليه مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَمَنْ كَانَ يُحِبُّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّه إِلَّا لله ، وَمَنْ كَانَ يَكْرَه أَنْ يَرْجِعَ في الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَه الله منه ، كَمَا يَكْرَه أَنْ يُلْقَى في النَّارِ
 
“Ada tiga perkara, barangsiapa ketiganya ada pada dirinya ia pasti mendapati manisnya iman: barangsiapa Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya; barangsiapa mencintai seseorang, ia mencintainya hanya karena Allah; barangsiapa benci kembali kepada kekafiran setelah Allah mengentasnya darinya sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api.”
Cinta sempurna yang sejati menuntut penyesuaian diri dengan yang dicintai dalam segala yang yang dicintai dan dibencinya, dalam siapa yang diloyali dan dimusuhi. Sudah maklum bahwa barangsiapa yang mencintai Allah ia harus membenci musuh-musuh-Nya dan mencintai apa yang dicintainya. Salah satunya: jihad menghadapi mereka. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dengan berbaris rapi seperti bangunan yang kokoh.” (ash-Shaf: 1)
 
Dua Cinta
Cinta adalah amal hati. Cinta ada dua. Pertama, cinta yang merupakan tabiat, seperti cinta seseorang kepada keluarga, istri, anak-anak, teman-teman, dan kesenangannya untuk makan-minum. Ini cinta yang tidak dimasuki unsur ibadah. Kedua, cinta yang bersifat keagamaan. Dan cinta jenis kedua ini pun ada dua: cinta kepada Allah dan cinta karena Allah. Cinta kepada Allah adalah jenis ibadah yang paling agung. Seorang hamba tidak boleh mempersembahkan cinta jenis ini kepada selain Allah atau selain mencintai Allah, juga mencintai selain-Nya dengan cinta jenis ini. Allah berfirman, “Dan di antara manusia ada yang menjadikan sesuatu selain Allah sebagai tandingan-tandingan, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Cinta orang-orang yang beriman kepada Allah melebihi cinta orang-orang musyrik kepada berhala-berhala mereka. Cinta kepada Allah tak terputus di dunia saja, sedangkan cinta kepada berhala akan terputus di ujung dunia dan akan terganti oleh permusuhan antara yang beribadah dengan yang diibadahi.
“Dan orang-orang yang beriman amat-sangat cinta mereka kepada Allah.”                            (Al-Baqarah: 165)
“Dan apabila manusia dikumpulkan, maka mereka akan saling bermusuhan dan kufur terhadap peribadatan mereka.” (al-Ahqaf: 6)
“… kemudian pada hari kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kamu melaknati sebagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka…”                     (al-‘Ankabut: 25)
Cinta karena Allah adalah simpul iman yang paling kuat, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah n, “Simpul iman yang paling kuat adalah: cinta karena Allah dan benci karena Allah.”
Cinta karena Allah ini akan langgeng sampai ke akhirat, berbeda dengan cinta karena dunia dan hawa nafsu yang berakhir di dunia fana. Allah berfirman, “Orang-orang yang bersaudara pada hari ini saling bermusuhan, kecuali (persaudaraan) orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 67)
 
Manusia ketiga
Terkait dengan kewajiban mencintai dan membenci ini, manusia diklasifikasi menjadi tiga. Mereka yang wajib dicintai total. Mereka adalah para rasul dan orang-orang yang beriman dengan iman yang murni. Termasuk juga as-Salafush Shalih dan ahlussunnah wal jamaah karena kemurnian akidah mereka dan kebenaran yang mereka pegangi. Juga karena mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kedua, mereka yang wajib dibenci total. Mereka adalah musuh-musuh Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang.” (Al-Mumtahanah: 1)
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (al-Mujadalah: 22)
Ketiga, mereka yang di satu sisi wajib dicintai namun di sisi yang lain harus dibenci. Mereka adalah orang-orang beriman yang bermaksiat kepada Allah. Cinta dan benci ditujukan kepada mereka sekadar dengan kebaikan dan kejahatan yang ada dalam diri mereka.
“Apabila ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai mereka kembali pada perintah Allah.” (Al-Hujurat: 9)
Dus, Islam mengajarkan damai dan cinta. Islam juga mengajarkan perang dan benci. Namun, semua dengan porsi yang tepat. Ada banyak sekali ayat dan hadits yang secara jelas memerintahkan kita—sebagai seorang hamba Allah—untuk perang dan benci. Seorang hamba Allah sejati akan berusaha memenuhi dan mengejawantahkan perintah-Nya dengan sebaik-baiknya. Tidak berlebih-lebihan, tetapi juga tidak menyepelekan atau bahkan menentang. Ada ayat-ayat cinta, ada ayat-ayat benci. Semua datang dari Allah. Wallahu a’lam.
TAHU DIRI TIDAK TAHU
هُ
 (82) Kami katakan, “Allah lebih tahu,” untuk berbagai hal yang kami tidak benar-benar mengetahuinya.
Menurut Ahlussunnah wal Jamaah, seorang mukmin tak boleh mengatakan apa yang tidak diketahuinya. Jika ia mengetahui sesuatu, ia boleh mengatakannya. Jika tidak, ia harus diam dan menjaga lisannya. Seorang mukmin tidak boleh berkata-kata dalam urusan agama dan ibadah tanpa ilmu. Dia harus berhenti dan berkata, “Allahu A’lam, Allah lebih tahu.”
Imam Malik bin Anas, imam Darul Hijrah, suatu hari didatangi oleh seseorang yang mengajukan 40 pertanyaan. Hanya empat pertanyaan beliau jawab, sedangkan sisanya beliau katakan, “Saya tidak tahu.” Orang itu pun berkata, “Aku datang dari tempat yang jauh dengan mengendarai onta, namun Anda hanya memberikan jawaban, ‘Saya tidak tahu?!’.” Imam Malik pun berkata, “Kendarailah ontamu dan pulanglah ke negerimu, lalu katakan kepada orang, ‘Aku telah bertanya kepada Malik, namun dia menjawab, ‘Aku tak tahu.’!”
Apabila Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam ditanya tentang sesuatu yang wahyu belum turun berkenaan dengannya, beliau menunggu sampai turunnya wahyu. Begitu pun para sahabat, saat mereka ditanya oleh Rasulullah saw tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui, mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Pada beberapa edisi yang lalu telah dijelaskan bahwa agama seseorang hanya tegak di atas pondasi kepasrahan kepada Allah dan Rasulullah saw serta mengembalikan ilmu berbagai hal kepada yang berhak.
Bahkan Allah telah memerintahkan Nabinya untuk mengembalikan apa yang tidak diketahuinya kepada Yang Mahatahu (Allah).
“Katakanlah, ‘Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua).’!” (QS. Al-Kahf: 26)
“Katakanlah, ‘Rabb-ku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.’!” (QS. Al-Kahf: 22)
Dan ketika Rasulullah saw ditanya tentang nasib anak-anak orang-orang musyrik di akhirat kelak, beliau menjawab, “Allah Mahatahu apa yang mereka kerjakan (sekiranya mereka diberi umur sampai dewasa).”
 
Jawaban Haram
Ketika seseorang ditanya tentang suatu urusan agama, lalu ia menjawabnya, maka sesungguhnya ia sedang menyandarkan ucapannya kepada Allah. Islam ini agama Allah. Dan Allah mengharamkan mengatakan sesuatu lalu menyandarkannya kepada-Nya. Allah berfirman,
“Katakanlah, “Rabb-ku hanya meng-haramkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak orang lain tanpa alasan yang benar, menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan menyandarkan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)
”Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya!” (QS. Al-Isra`: 36)
Barangsiapa yang berbicara tanpa ilmu, sesungguhnya ia sedang dan telah mengikuti hawa nafsunya dan setan.  Allah berfirman,
“Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun.” (QS. Al-Qashash: 50)
“Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang jahat,” (QS. Al-Hajj: 3)
Termasuk bab berkata tanpa ilmu adalah menafsirkan al-Qur`an dengan pendapat pribadi. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang menafsirkan al-Qur`an dengan pendapatnya, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka.”
(HR. Muslim)
 
Bukan Aib atau Cela
Mengatakan “saya tidak tahu” atau “Allah lebih tahu” bukanlah aib, cacat, atau cela bagi para ulama. Apalagi bagi para pencari ilmu. Sebaliknya, ia adalah kesempurnaan, bukti wara’ dan cerminan takwa. Orang-orang justru akan merasa tenang dan aman karena mereka yakin bahwa orang yang mereka tanya adalah orang yang jujur dan tidak akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan. Mereka pasti mengatakan tidak tahu saat mereka tidak tahu.
Seseorang tidak perlu malu untuk mengatakan “Saya tidak tahu, Allah lebih tahu.” Mengapa mesti malu, sedangkan para malaikat pun tidak malu untuk mengatakan “Kami tidak tahu” saat mereka tidak tahu. Allah berfirman,
“Dan (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!’ Mereka (para malaikat) menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Baqarah 2:32)
Nabi juga memberi teladan dalam menjawab pertanyaan dengan jawaban tidak tahu. Ibnu Umar menyatakan bahwa ada seorang yang bertanya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, “Tempat apakah yang paling buruk?” Beliau menjawab, “Aku tidak tahu. Kutanyakan dulu kepada Jibril.” Setelah ditanyakan kepada Jibril,  Jibril menjawab,  “Aku juga tidak tahu. Kutanyakan dulu kepada Mikail.” Akhirnya (setelah mendapatkan jawaban), Jibril datang dan berkata, “Tempat yang paling baik adalah masjid. Sedangkan tempat yang paling buruk adalah pasar.”  (HR Ibnu Hibban dinyatakan hasan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth)
 
Jejak Salaf
Menahan lisan tidak berucap untuk sesuatu yang tidak diketahui serta secara tegas mengatakan ‘Saya tidak tahu’ dan ‘Allah lebih tahu’ sudah menjadi kebiasaan  para Salaf. Inilah sebagian dari atsar mereka.
Abu Bakar ash-Shiddiq ra berkata, “Bumi mana yang akan kupijak, langit mana yang akan kujadikan naungan, jika aku mengatakan sesuatu tentang ayat dalam Kitabullah dengan pendapatku sendiri atau dengan sesuatu yang tidak aku ketahui?”
Umar bin Khattab berkata, “Berprasangka buruklah kepada pendapatmu sendiri dalam urusan agama. Jika kalian menyaksikanku pada hari Abu Jandal (perjanjian Hudaybiyah), sungguh pada saat itu aku telah menolak perintah Rasulullah saw dengan pendapatku. Aku memang  berijtihad, tetapi aku tidak berpaling. Hari itu adalah hari Abu Jandal, saat perjanjian itu hendak ditulis, beliau bersabda, ‘Tulislah: Bismillahirrahmanirrahim!’ Orang Quraisy berkata, ‘Tulis saja: Dengan nama-Mu, ya Allah!’ Rasulullah saw setuju dengan permintaannya. Orang itu menulis, namun aku enggan menulisnya. Rasulullah saw bersabda,’“Wahai Umar, kau telah menyaksikan aku rela, tetapi kenapa kamu enggan?’
Ibnu Sirin bertutur, “Tidak ada yang lebih khawatir berkata tentang yang tidak diketahuinya seperti Abu Bakar. Setelah Abu Bakar, yang paling khawatir adalah ‘Umar. Sungguh, saat dihadapkan pada suatu masalah, sedangkan tidak didapati pokoknya dalam al-Qur`an atau as-Sunnah, lalu ia berijtihad, ia berkata, ‘Ini pendapatku. Jika benar, maka ia datang dari Allah, dan jika salah, maka ia datang dari diriku sendiri, dan aku memohon ampunan kepada Allah.”
Ali bin Abi Thalib ra pernah ditanya tentang suatu permasalahan, beliau menjawab “Saya tidak tahu.” Kemudian beliau berkata lagi, “Alangkah sejuknya hati ini,” sebanyak tiga kali. Orang-orang bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apa maksud perkataanmu itu?” Beliau menjawab, “Apabila seseorang ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya ia menjawab, “Allah lebih tahu.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Barangsiapa mengetahui sesuatu hendaklah ia berkata dengan pengetahuannya itu, sedangkan yang tidak mengetahui hendaklah ia mengucapkan “Allahu A’lam (Allah lebih mengetahui)”.
Humaid bin ‘Abdirrahmaan berkata, “Menjawab dengan jawaban tidak tahu lebih aku sukai daripada harus memaksakan diri menjawab sesuatu yang tidak aku ketahui”
Qatadah berkata, “Jangan kamu katakan bahwa kamu melihat sementara kamu tidak melihat, mendengar sementara kamu tidak mendengar, mengetahui sementara kamu tidak mengetahui karena Allah akan bertanya kepadamu tentang itu semua.”
Muhammad bin Sirin berkata, “Bagiku sama saja, ditanya tentang sesuatu yang aku ketahui atau yang tidak aku ketahui. Jika aku ditanya tentang sesuatu yang aku ketahui, maka akan aku katakan apa-apa yang aku ketahui. Namun jika aku ditanya tentang sesuatu yang tidak aku ketahui, maka akan aku katakan, ‘Aku tidak tahu.’.”
Sa’id bin Jubair pernah ditanya tentang satu permasalahan, lalu ia menjawab, “Aku tidak tahu.” Kemudian ia melanjutkan, “Sungguh celaka orang yang mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui, ‘Aku mengetahuinya.’.”
Asy-Sya’bi pernah ditanya tentang sesuatu, dan menjawab, “Saya tidak tahu.” Tapi beliau malah ditanya lagi, “Apakah engkau tidak malu mengucapkan tidak tahu, sedangkan engkau seorang ahli fiqih di Iraq?” Asy-Sya’bi menjawab, “(Kenapa mesti malu, sedangkan) Malaikat pun tidak malu untuk berkata ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang engkau ajarkan kepada kami.’.“
Sufyan ats-Tsauriy berkata, “Ibadah yang pertama kali adalah diam, kemudian menuntut ilmu, (lalu) mengamalkannya, menghafalnya dan menyampaikannya.”
Wallahu a’lam.
MENDAHULUKAN WAHYU MENGIKUTI SUNAH
(83) Menurut kami, boleh mengusap kedua khuff ketika bepergian maupun mukim, sebagaimana tersebut dalam atsar.
Khuff adalah sejenis sepatu yang terbuat dari kulit dan menutupi seluruh bagian kaki yang wajib dibasuh saat wudhu (menutupi mata kaki). Sedangkan yang dimaksud dengan “mengusap” adalah menyentuh sesuatu dengan tangan yang basah dan menggerakkannya.
Sebenarnya pembahasan mengusap khuf termasuk pembahasan fiqh. Namun, karena firqah Syi’ah dan Khawarij menolaknya maka Abu Ja’far ath-Thahawi menjadikannya sebagai salah satu bagian dari matan aqidah beliau. Para ulama Ahlussunnah yang lain pun sependapat dengan beliau dan menjadikan ihwal mengusap khuff pengganti membasuh kaki ketika wudhu sebagai salah satu syi’ar Ahlussunnah.
Dalil yang menjelaskan keabsahan mengusap khuff adalah hadits mutawatir yang diriwayatkan dari sekira 80 orang sahabat—di antara mereka adalah 10 sahabat yang dijamin masuk surga.
Abdullah bin Mubarak menyatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sahabat mengenai bolehnya mengusap khuff. Setiap ada riwayat dari sebagian mereka yang menunjukkan pengingkaran mereka terhadap masalah ini, selalu didapati riwayat lain dari mereka juga yang menunjukkan kebalikannya: boleh mengusap khuff.”
Penolakan yang didengungkan oleh Syi’ah dan Khawarij—juga siapa saja yang sependapat dengan mereka—umumnya bermula dari kesalahan mereka dalam memosisikan akal di hadapan wahyu. Mereka yang mendahulukan akal, tidak dapat menerima mengusap bagian atas khuff dengan tanpa menggusap bagian bawahnya, padahal yang terkena kotoran adalah bagian bawah.
Sedangkan Ahlussunnah berpedoman: jika sudah terbukti shahih dan datang dari Rasulullah saw, maka amal atau apa pun harus diterima dan tidak boleh ditentang dengan akal, logika, dan lain sebagainya. Ahlussunnah mengikuti sunnah mendahulukan wahyu.
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib ra berkata,
لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
“Sekiranya agama itu dengan akal semata, niscaya bagian bawah khuff lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun, sungguh aku pernah melihat Rasulullah saw mengusap bagian atas khuff beliau.”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menyatakan, ‘Mungkin ada yang berkata, ‘Sepintas mengusap bagian bawah khuff lebih utama, karena bagian inilah yang langsung mengenai tanah atau kotoran. Namun, jika diperhatikan dengan seksama, kita dapatkan bahwa mengusap bagian atas khuff adalah lebih utama dan sesuai dengan logika. Sebab, tujuan mengusap khuff bukan untuk membersihkannya, akan tetapi bertujuan ibadah.”
Di antara hikmah dibolehkannya mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi setiap muslim. Dalam kondisi tertentu, seseorang akan mendapati kesulitan untuk melepas khuff dan membasuh kedua kaki pada saat berwudhu. Misalnya pada saat musim dingin atau ketika menghadapi cuaca yang amat dingin. Kesulitan bisa jadi ditemui seseorang saat ia bepergian, karena pada saat itu biasanya seseorang ingin serba cepat sehingga tidak punya waktu untuk melepas khuffnya.
Tata Cara Mengusap Khuff
Para ulama sepakat, apabila seseorang berada dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun besar, lalu ia memakai khuff, maka jika batal wudhunya, ia tidak harus melepas khuffnya ketika bewudhu. Dia boleh tetap memakainya dan ketika sampai pada rukun membasuh kaki, ia cukup mengusap khuffnya.
Caranya, kedua tangan dibasahi air, lalu diletakkan pada ujung khuff bagian depan (yang menutupi jari-jemari kaki), jari-jemari tangan direnggangkan, tangan kanan pada kaki kanan, tangan kiri pada kaki kiri, lalu keduanya digerakkan bersamaan ke arah dalam (punggung telapak kaki) sampai pada khuff yang menutupi bagian betis depan paling bawah. Jika membasuh kaki disunnahkan sampai tiga kali, tidak demikian halnya dengan mengusap khuff ini. Cukup sekali, sebagaimana dikabarkan oleh sahabat Mughirah bin Syu’bah ra.
Bagian samping dan belakang khuff tidak perlu diusap, karena tidak ada satu riwayat shahih pun yang menjelaskan pengusapan keduanya.
 
Masa Berlaku Mengusap Khuff
Para fuqaha Ahlussunnah sepakat, saat seseorang tidak bepergian, ia boleh mengganti membasuh kaki dengan mengusap khuff dalam rentang waktu sehari-semalam atau 24 jam. Jika misalnya seseorang mengambil air wudhu untuk mengerjakan shalat Zhuhur, lalu ia mengenakan khuff, kemudian pada waktu ‘Ashar ia berwudhu lagi dengan mengusap khuffnya, maka selama 24 jam berikutnya ia boleh mengusap khuff setiap kali berwudhu.
Syaratnya, dalam 24 jam itu ia tidak berhadats besar/junub. Maknanya, jika ia junub, otomatis ia wajib mandi dan harus melepas khuffnya. Syarat berikutnya, ia tidak boleh melepas khuffnya ketika berhadats kecil. Sebab, dengan begitu ia akan memasukkan khuffnya dalam keadaan dirinya tidak suci dari hadats. Lain halnya jika untuk suatu urusan ia harus melepas khuffnya, dan ia melepasnya dalam keadaan suci dari hadats. Asalkan sebelum berhadats ia telah memakai khuffnya lagi, masa boleh mengusap khuffnya masih berlaku. Inilah pendapat Imam al-Awza’i, Imam Ahmad, dan Ibnul Mundzir.
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Mughirah bin Syu’bah bertutur, “Suatu malam dalam sebuah perjalanan, aku bersama Nabi saw. Kutuangkan air dari timba ke atas tangan beliau, lalu beliau membasuh wajah sampai mengusap kepala. Kemudian aku berjongkok hendak melepaskan kedua khuff beliau. Ketika itulah beliau bersabda, ‘Biarkan keduanya! Sesungguhnya aku memakainya dalam keadaan suci.’ Kemudian beliau mengusap kedua khuff itu.”
Masa berlaku rukhshah boleh mengusap khuff bagi musafir lebih lama lagi. Tiga hari tiga malam dengan cara menghitung dan syarat spt tersebut di atas. Dasarnya adalah penuturan Ali bin Abu Thalib bahwa Rasulullah saw telah menetapkan tiga hari tiga malam bagi musafir dan sehari semalam bagi orang yang mukim. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi menyatakan, “Para ulama terkemuka telah sepakat atas bolehnya mengusap kedua khuf, baik ketika safar ataupun ketika mukim, baik karena ada hajat ataupun tidak. Diperbolehkan juga bagi perempuan yang selalu berdiam diri di rumahnya atau orang-orang yang menderita sakit kronis yang tidak bisa berjalan untuk mengusap bagian atas khufnya. Hanya golongan Syi’ah dan Khawarij sajalah yang bersikeras menentang masalah ini.”
 
Urgensi Kajian Historis
Dalam menentang kebolehan mengusap khuff ini, ada yang menyatakan bahwa semua hadits tentangnya, hukumnya telah dinasakh oleh firman Allah yang menjelaskan tata cara wudhu.
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai siku-siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Ayat di atas memang termasuk dalam surat al-Maidah yang diturunkan menjelang akhir nubuwah. Meskipun demikian, ada satu hadits shahih—diriwayatkan oleh Imam Muslim—dari sahabat Jabir bin ‘Abdullah ra yang isinya, ia pernah menyaksikan Rasulullah saw mengusap khuff saat berwudhu.
Sekilas, tidak ada yang istimewa dari hadits Jabir ini jika dikomparasikan dengan hadits-hadits mengusap khuff yang diriwayatkan dari sahabat lain. Namun, jika memperhatikan realita sejarah keislaman Jabir, hadits ini istimewa. Jabir bin ‘Abdullah masuk Islam setelah diturunannya surat al-Maidah. Dengan demikian, tak terbantahkan lagi bahwa ayat tentang wudhu tidak menasakh hadits-hadits tentang mengusap khuff. Demikianlah pernyataan penulis Tuhfatul Ahwadzi dan Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim.
Wallahu a’lam.
HAJI DAN JIHAD SAMPAI KIAMAT
يُبْطِلُهُمَا شَيْءٌ وَلاَ يَنْقُضُهُمَا
(83) Haji dan jihad dilaksanakan bersama pemimpin kaum muslimin, baik yang shalih maupun yang fajir, sampai hari Kiamat. Tidak ada sesuatu pun yang membatalkan atau menggugurkan keduanya.
Seperti matan sebelumnya, matan ke-83 ini membahas perkara fikih yang menjadi ciri khas Ahlussunnah wal Jamaah. Perkara itu adalah haji dan jihad. Menurut Ahlussunnah, keduanya wajib dilaksanakan di bawah kepemimpinan seorang muslim, baik ia orang yang shalih dan adil maupun seorang yang fajir dan zhalim. Jika yang memimpin adalah imam yang yang fajir (durhaka), kewajiban keduanya diingkari oleh firqah Syi’ah Rafidhah dan Khawarij.
Dalih Rafidhah-Khawarij
Pengingkaran Rafidhah dan Khawarij ini bermula dari akidah mereka tentang imamah. Kepemimpinan.
Rafidhah meyakini, haji dan jihad tidak sah kecuali diimami oleh imam mereka yang sah. Imam yang sah itu―imam ke-12―sekarang sedang “digaibkan” setelah masuk ke dalam gua Samarra` saat berumur 5 tahun bersama ibunya. Gua itu terletak di daerah Ray, Iran. Muhammad bin Hasan al-’Askariy nama imam yang mereka klaim sampai sekarang masih hidup dan akan keluar menjelang akhir zaman. Meskipun sudah ribuan tahun, sampai hari ini orang-orang Rafidhah masih menunggu kedatangan imam mereka ini. Setiap menjelang Maghrib mereka berkerumun di depan gua dan memanggil-manggil nama sang imam.
Berbeda dengan Rafidhah yang mengingkari haji dan jihad secara umum, Khawarij hanya menolak haji dan jihad apabila imam yang memimpin adalah imam fajir. Menurut mereka, seorang yang fajir―pelaku dosa besar―telah kafir, sehingga tidak berhak memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin. Oleh sebab itu, haji dan jihad pun tidak sah dilakukan di bawah kepemimpinannya. Menurut mereka, pelaksanaan haji dan jihad harus di bawah kepemimpinan seorang yang adil dan shalih.
Dalil Ahlussunnah
Rafidhah dan Khawarij menyelisihi akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam menetapkan akidah berlakunya syariat haji dan jihad sampai akhir zaman di bawah kepemimpinan imam, baik yang shalih maupun yang fajir, Ahlussunnah berpedoman kepada banyak dalil dan atsar Salaf. Di antaranya:
Firman Alloh, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Alloh, taatlah kepada Rasul, dan pemimpin di antara kalian!” (QS. An-Nisa`: 59)
Pada ayat di atas, Alloh memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati pemimpin di antara mereka secara umum, baik yang shalih maupun yang fajir. Rasulullah n menegaskan dengan bersab-da, “Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak berpegang kepada petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku. Dan akan ada di antara para penguasa itu orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.” Hudzaifah bertanya, “Apa yang harus saya perbuat jika mendapatinya?” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu mendengar dan taat, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas. Dengar dan taatlah!” (HR. Muslim)
Ketaatan kepada penguasa yang fajir tidaklah mutlak. Ia adalah ketaatan dalam perkara yang makruf/kebaikan saja. Rasulullah n bersabda, “Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa muslim) pada apa-apa yang ia sukai dan ia benci, kecuali apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” (HR. Al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Imam al-Bukhari menulis satu bab khusus dalam al-Jami’ush Shahih dengan judul: Jihad tetap berlangsung bersama pemimpin yang baik maupun yang jahat. Kemudian, beliau menyitir hadits ‘Urwah al Bariqiy a. bahwa Rasulullah n bersabda, “Di ubun-ubun kuda itu senantiasa terikat kebaikan sampai hari Kiamat, yaitu pahala dan ghanimah”
Mensyarah hadits di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani menulis, “Ini tidak dibatasi hanya pada pemimpin yang baik saja. Hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal mendapatkan keutamaan tersebut antara peperangan bersama penguasa yang adil atau bersama penguasa yang jahil”
Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab beliau, Ushulus Sunnah menulis, “Perang di bawah kepemimpinan para amir terus berlangsung hingga hari Kiamat, terlepas apakah dia seorang penguasa yang baik atau yang jahat.”
Ali Ibnu al-Madini berkata, “Perang di bawah kepemimpinan para amir terus berlangsung hingga hari Kiamat, baik dia seorang penguasa yang baik ataupun jahat.”
Imam ash-Shabuni dalam kitab beliau, ‘Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits menulis, “Ashhabul hadits berpandangan disyariatkannya shalat Jumat, shalat ‘Id dan shalat-shalat yang lainnya bersama penguasa kaum muslimin, yang baik atau pun yang fajir. Mereka juga berpandangan disyariatkannya jihad melawan orang-orang kafir bersama penguasa walaupun mereka adalah orang-orang yang kejam dan jahat.”
Imam al-Barbahari dalam  Syarhus Sunnah menulis, “Haji dan perang di bawah kepemimpinan amir (kaum muslimin) akan tetap terus berlangsung.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam ‘Aqidah Wasithiyyah menulis, “(Ahlus Sunnah wal Jama’ah) meyakini (disyari’atkannya) pelaksanaan ibadah haji, jihad dan shalat Jumat bersama para penguasa yang baik dan yang jahat.”
Ibnu Qudamah menyatakan, “Perkara jihad diserahkan kepada imam dan ijtihadnya. Wajib  atas seluruh rakyat untuk mentaati kebijakan-kebijakan yang ditentukannya.”
Pada tataran praktik, sejarah mencatat para sahabat telah dan tetap melaksanakan haji dan jihad di bawah kepemimpinan raja-raja Bani Umayah. Padahal, tak ada yang meragukan kezhaliman yang dilakukan oleh para raja dan penguasa dari kalangan Bani Umayah.
Adalah Ibnu ‘Umar h yang melaksanakan haji di bawah kepemimpinan Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Pada hari ‘Arafah selepas matahari tergelincir, Ibnu ‘Umar memberi isyarat kepada Hajjaj untuk mengimami shalat Zhuhur dan ‘Ashar secara jamak-qashar.  Hajjaj pun maju dan Ibnu ‘Umar menjadi makmum. Bersama Ibnu ‘Umar ada banyak sahabat dan tokoh-tokoh tabi’in.
Rela tapi tak rela
Akidah Ahlussunnah bahwa pemimpin―sekalipun–fajir harus ditaati bukan berarti Ahlussunnah rela dengan kefajiran dan kemungkaran yang dilakukannya. Kemungkaran tetaplah kemungkaran. Hanya, selama kemungkaran itu belum mencapai derajat kekafiran yang nyata, seorang pemimpin tidak kehilangan haknya untuk ditaati pada perkara-perkara yang makruf.
‘Ubadah bin Shamit a menyatakan, “Rasulullah n telah mengajak kami dan kami membaiat beliau. Di antara isi baiat kami, hendaklah kami senantiasa patuh dan taat (kepada pemimpin), baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan kami mendahulukannya atas kepentingan kami. Kami juga tidak boleh menentang orang yang telah terpilih dalam urusan kepemimpinan ini. Rasulullah n bersabda, ‘Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian memiliki bukti dari Allah di dalamnya.’.”  (HR. al-Bukhari)
Kemungkaran yang dilakukan oleh pemimpin lebih berat daripada kemungkaran yang dilakukan oleh orang lain. Setidaknya kemungkaran pemimpin membawa dua dampak buruk. Karena melihatnya, orang-orang akan menirunya dan menganggap kemungkaran itu sebagai sesuatu yang sepele. Karena ia seorang pemimpin, kemungkinan ia akan meninggalkan dan bertaubat darinya jadi kecil. Orang yang hendak mengingkari atau menegurnya berpikir lebih dari sekali sebelumnya.
Sampai Kiamat
Yang dimaksud dengan haji dan jihad akan dilaksanakan sampai hari Kiamat pada matan di atas bukanlah sampai benar-benar ditiupnya sangkakala saat Kiamat terjadi. Tetapi, hanya sampai ketika sudah tidak ada lagi orang-orang yang beriman dengan selemah-lemah iman. Sampai datangnya suatu masa bumi hanya berisikan orang-orang kafir seperti yang dinyatakan oleh Rasulullah n. Wallahu a’lam.

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar