Powered By Blogger

Kamis, 29 Desember 2011

IBROH

TUDUHAN GILA


Di antara isu yang kaum kafir Quraisy sebar luaskan di Makkah tentang Nabi Muhammad saw adalah sebutan sebagai majnun (orang gila). Tuduhan ini mereka lancarkan untuk menjauhkan Nabi Muhammad saw dari siapapun, terutama para pengunjung Ka’bah agar tidak mendekatinya dan dapat terpengaruh oleh dakwahnya.

Maka ketika Dhimad al-Azdiy datang ke Makkah iapun mendengar berita tentang Nabi Muhammad saw yang mereka sebut gila itu. Dhimad al-Azdiy merasa prihatin dengan kondisi ini. Dhimad al-Azdiy bahkan ingin bertemu Nabi Muhammad saw dengan harapan agar dapat membantu menyembuhkan penyakit gila seperti yang ia dengar, karena Dhimad al-Azdiy terkenal sebagai perawat orang gila di kaumnya dan membantu menyembuhkannya. “Kalau saja saya bisa berjumpa dengan orang itu, dan Allah berikan kesembuhannya lewat sentuhan tanganku,” begitu Dhimad al-Azdiy berharap.

Dan harapan itupun terkabul, Dhimad al-Azdiy berjumpa dengan Nabi Muhammad saw. Dhimad al-Azdiy berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya saya mendengar orang-orang menyebutmu gila, dan saya ingin meruqyah penyakitmu ini. Dan sesungguhnya Allah SWT telah menyembuhkan beberapa orang lewat sentuhan tangan saya. Apakah engkau bersedia?”

Ungkapan ini bisa membuat marah orang yang mendengarnya. Tetapi Nabi Muhammad saw menanggapinya dengan sabar dan tenang, tidak marah, dan tidak menunjukkan sikap kesal. Nabi Muhammad melihat ketulusan dan kepolosan Dhimad Al-Azdiy, orang yang telah berpengalaman membantu menyembuhkan orang-orang gila.

Maka dengan sabar dan bijak Nabi Muhammad menjawab tawaran Dhimad al-Azdiy dengan mengatakan: “Sesungguhnya segala puji milik Allah, kami memuji-Nya, dan memohon pertolongan-Nya. Barang siapa yang Allah telah berikan hidayah maka tidak seorang pun yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang telah Allah sesatkan maka tidak ada seorangpun yang dapat menunjukinya. Dan saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya, dan utusan-Nya”.

Jawaban Nabi Muhammad saw yang jelas dan lugas itu mengejutkan Dhimad al-Azdiy. Tidak ada sedikitpun ciri orang gila seperti yang disebar luaskan kafir Quraisy Makkah dalam diri dan ucapan Nabi Muhammad saw. Bahkan Dhimad al-Azdiy merasakan hal yang luar biasa dari jawaban Nabi Muhammad saw yang sangat singkat itu. Dan setelah mendengar jawaban itu Dhimad al-Azdiy meminta agar Nabi Muhammad saw mengulanginya, “Ulangilah ucapanmu itu”. Nabi Muhammad saw mengulanginya hingga tiga kali.

Dhimad al-Azdiy terpesona dan menghormati Nabi Muhammad saw dengan sebaik-baiknya seraya berkata, “Saya telah mendengar berulang kali mantra para dukun, jampi-jampi para penyihir, ungkapan para penyair, tetapi belum pernah mendengar ungkapan indah seperti yang telah engkau ucapkan. Alangkah dalam sekali ucapanmu itu, sehingga sampai ke dasar dasar samudra. Ulurkan tanganmu, saya akan berjanji kepadamu menjadi muslim pengikutmu”.

Nabi Muhammad saw mengulurkan tangannya, menerima janji Dhimad al-Azdiy untuk masuk Islam dan menjadi pengikutnya. Lalu Nabi Muhammad saw bersabda: ”Kamu mewakili kaummu semua untuk masuk Islam? Dhimad al-Azdiy menjawab: “Ya, saya mewakili seluruh kaum saya untuk setia dan berjanji masuk Islam”.

Dhimad al-Azdiy sangat terkesan dengan ungkapan indah Nabi Muhammad saw yang sangat jelas dan terang. Ungkapan Nabi Muhammad saw adalah suara hati yang paling dalam, bukan retorika, bukan pula permainan kata-kata dari bibir dan lidah yang tidak bertulang, sehingga mampu menembus hati Dhimad al-Azdiy dalam waktu sekejap dan menebar benih iman di hatinya. Ungkapan yang bersumber dari hati akan masuk pula ke dalam hati. Dan kata-kata yang hanya permainan bibir dan lidah hanya akan lewat di telinga, tidak mampu menembus hati manusia.

Jawaban Nabi Muhammad saw kepada Dhimad al-Azdiy adalah muqaddimah khutbah yang sangat indah karena berisi pujian dan syukur kepada Allah. Mengakui Kebesaran dan Keagungan Allah, serta Ke-Esa-an Allah untuk disembah diminta pertolongan.

Begitu cepatnya Dhimad al-Azdiy menyatakan Islam membuktikan bahwa agama ini adalah agama fithrah dan ketulusan. Dakwah Islam adalah ketulusan sebagaimana Dhimad al-Azdiy datang menemuinya juga dengan ketulusan.

Demikianlah jiwa manusia yang merdeka, bersih dari kedengkian, tidak dipenuhi oleh kepentingan-kepentingan duniawi akan lebih mudah merespon dan memenuhi panggilan dakwah, lebih cepat menyerap hidayah. Jiwa yang fitri itu menemukan habitat aslinya. Habitat yang memperkenalkannya dengan Yang Maha Pencipta, dan memberinya harapan untuk kehidupan yang lebih berharga.

Tuduhan negatif yang disebar luaskan oleh kaum kafir Quraisy itu menggugah hati Dhimad al-Azdiy dan berubah menjadi pintu masuknya hidayah Islam ke dalam hatinya. Wallahu a’lam.








GESEKAN PERSAHABATAN


Suasana santai Rasulullah saw bersama Abu Darda ra mendadak berubah serius ketika muncul Abu Bakar As Shiddiq ra yang datang tergopoh-gopoh, berjalan bergegas, menyisingkan kainnya, sehingga hampir tampak kedua lututnya. Dari kejauhan Rasulullah saw memandangi Abu Bakar ra dan berkomentar: “Sesungguhnya sahabatmu itu sedang ada keperluan serius”.

“Assalamualaikum....” Abu Bakar ra menyapa Rasulullah saw dan para sahabat. Setelah dijawab salam itu kemudian Abu Bakar mengadukan masalahanya: “Ya Rasulullah saw, sesungguhnya tadi saya ada sedikit masalah dengan Umar, saya agak tergesa-gesa kepadanya, sehingga membuatnya agak kesal. Kemudian saya menyesali kejadian itu. Saya telah memintanya agar ia bersedia memaafkan saya, tetapi Umar menolak. Saya sempat menyusulnya ke Baqi’, saya tunggu ia keluar dari rumahnya tetapi tetap saja ia menolak memaafkan kesalahan saya. Sehingga saya datang ke mari menghadap engkau Wahai Rasulullah”.

Persahabatan sangat mudah terkoyak oleh gesekan-gesekan kecil dan goresan yang terkadang menyisakan rasa kesal dan kecewa. Padahal persahabatan itu sulit membina dan membangunnya. Maka mempertahankan persahabatan sangat diperlukan kesadaran diri dan keterbukaan untuk bisa memaafkan kekhilafan sahabat yang lain.

Menanggapi kegelisahan Abu Bakar ra yang nyaris putus asa untuk mendapatkan maaf dari Umar, Rasulullah saw berdoa: “Semoga Allah memberikan ampunan untukmu Wahai Abu Bakar”. Dan untuk menunjukkan kesungguhan doa itu, Rasulullah saw mengulangi doa itu tiga kali.

Rasulullah saw pendidik sejati yang mampu meredam kegelisahan sahabatnya, dengan mendekatkannya kepada Allah SWT. Sikap kebapakan yang mengayomi dan solutif inilah yang menyebabkan para sahabat tidak segan-segan mengadukan masalah-masalah pribadinya kepada Rasulullah saw. Para sahabat optimis jika mengadukan masalah kepada Rasulullah saw akan ada solusi dan tidak menyisakan polusi.

Di sisi lain, Umar bin Al Khaththab ra mulai juga menyesali sikapnya “Kenapa menolak memaafkan Abu Bakar, ketika Abu Bakar meminta maaf atas kekhilafannya?”. Umar bin Al Khaththab ra pergi ke rumah Abu Bakar ra. Dan ketika sampai di rumah Abu Bakar, Umar tidak menemukan Abu Bakar di rumahnya. Keluarga Abu Bakar memberitahukan bahwa kemungkinan besar kalau tidak ada di rumah Abu Bakar biasanya berada bersama Rasulullah saw.

Umar bin Al Khaththab ra begegas menemui Rasulullah saw dengan harapan mendapatkan Abu Bakar ra di sana dan dapat menyelesaikan masalahnya itu dengan sebaik baiknya. Umar bin Al Khaththab ra tidak ingin memendam masalah yang tidak terselesaikan dengan baik kepada para sahabatnya khususnya Abu Bakar As Shiddiq.

Melihat kedatangan Umar bin Al Khaththab ra, wajah Rasulullah saw berubah dan tampak marah, sehingga Abu Bakar ra tampak kasihan dan tidak ingin Umar bin Al Khaththab ra mendapatkan kemarahan dari Rasulullah saw. Abu Bakar ra ketakutan hingga duduk tersungkur dan berkata: “Ya Rasulallah, saya yang salah, saya yang telah melakukan kezhaliman”. Dua kali Abu Bakar ra mengulang pernyataannya itu, mengiba agar Rasulullah saw tidak marah kepada Umar bin Al Khaththab ra.

Tampak dari cara Rasulullah saw menerima Umar bin Al Khaththab ra, ketidak senangannya jika ada orang yang menolak memaafkan sahabatnya yang telah menyadari kekhilafan dan meminta maaf. Seseorang yang telah mengakui kesalahannya secara psikis ia telah kalah, maka tidak pantas untuk ditambah penderitaannya dengan tidak mendapatkan maaf dari sahabatnya. Dan Abu Bakar ra tampak begitu mulia dan cintanya kepada Umar bin Al Khaththab ra. Ia bersedia menanggung kesalahan itu hanya ada di pundaknya dan berusaha membebaskan Umar bin Al Khaththab ra dari kesalahan.

Begitulah persahabatan dibangun, dikelola dan diperbaiki jika ada gesekan, atau goresan luka. Masalah dalam mu’amalah adalah keniscayaan, dan yang terpenting adalah cara indah dalam menemukan solusi.

Rasulullah saw kemudian mengingatkan kepada seluruh ummatnya secara umum untuk mengingat prestas dan kebaikan orang lain. Rasulullah bersabda: “Wahai manusia semua, seungguhnya Allah SWT mengutusku kepada kalian semua, lalu kalian semua mendustakanku, tetapi Abu Bakar membenarkan dan mengimaniku. Ia telah melipurku dengan jiwa, raga dan hartanya. Bersediakah kalian memaafkan sahabatku ini? Rasulullah mengulang pertanyaannya itu tiga kali. Dan setelah peristiwa itu, Abu Bakar ra tidak terganggu lagi.









MENGEMBALA DOMBA


Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra Nabi Muhammad saw pernah bersabda, “Tidak ada seorang Nabi yang Allah utus kecuali ia pernah menggembala domba. Para sahabat bertanya, “Termasuk Engkau wahai Rasulullah? Ia menjawab, “Ya, saya pernah mengembala domba miliki orang Makkah dan mendapatkan upah.”

Menggembala domba pada waktu itu selain menjadi salah satu pekerjaan yang menghasilkan uang, ia juga sekaligus menjadi sarana pembinaan rasa untuk tumbuh rasa belas kasihan, kelembutan, cinta, kasih sayang, mengenali, dan memperhatikan baik kepada hewan ternak maupun kepada sesama penggembala.

Menggembala domba memberi ruang bagi Rasulullah saw untuk ke luar jauh dari lingkaran sosial keluarganya, dapat berjumpa dengan sesama penggembala, berbaur di tengah-tengah masyarakat yang kaya pengalaman, berkomunikasi, beradaptasi dan memahami lingkungan di sekitarnya. Masa kecil itu telah memberi kesempatan bagi Rasulullah saw untuk keluar dari teritorial kampungnya mampu melihat hamparan yang luas, menatap ufuk langit, menemukan udara yang bersih, mengenali betapa indah ciptaan Allah di muka bumi ini.

Inilah pelajaran kepemimpinan efektif yang Rasulullah saw lalui dan sempat ia ungkapkan dengan meminjam kata “raa’in” yang berarti penggembala, sebagaiman yang tertulis dalam buku-buku hadits. Kepemimpinan berbasis pengalaman penggembala itu dapat difahamai dalam beberapa point penting berikut ini.

Pertama, penggembala yang baik akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencarikan makanan dan minuman terbaik bagi domba gembalaannya. Inilah kewajiban mendasar para penggembala, yaitu menghadirkan kesejahteraan bagi ternaknya. Demikianlah Allah SWT mempersiapkan Rasulullah saw untuk menjadi pemimpin besar umat ini, dengan memberinya kesempatan menggembala kambing di usia dini.

Perhatian serius terhadap kesejahteraan umat terlihat dalam syariat Islam seperti adanya kewajiban zakat, sedekah, infaq, dsb.

Kedua, penggembala yang baik akan melindungi ternakannya dari ancaman bahaya, baik oleh hewan buas seperti serigala, macan, dll, atau bahaya situasi seperti hujan, angin dan udara yang panas menyengat. Penggembala yang baik itu tidak akan membiarkan hewan gembalaannya berada dalam ancaman bahaya, apalagi diserang oleh hewan pemangsa.

Begitulah Rasulullah saw melindungi umat ini agar tidak menjadi obyek kezhaliman bangsa lain, sehingga ia memerintahkan minoritas Muslim Makkah itu hijrah ke Habasyah, disyariatkannya jihad fi sabilillah adalah salah satu bentuk proteksi umat ini dari ancaman bahaya eksternal.

Ketiga, penggembala yang baik tidak membiarkan hewan gembalaannya melakukan kesalahan atau perbuatan yang membahayakan diri maupun orang lain di sekitarnya. Penggembala itu akan segera menghalau hewan ternaknya yang bergerak mendekati pematang sawah, atau pagar kebun orang lain. Usaha preventif lebih di dahulukan daripada tindakan kuratif pemberian hukuman.

Begitulah Rasulullah saw menghalau siapapun umat ini dari kesalahan atau bahaya yang akan terjadi sekarang atau nanti. Seruan pertama yang Rasulullah saw sampaikan kepada sanak keluarganya ketika memulai dakwah jahriyah kepada keluarga terdekatnya adalah ungkapan: “...selamatkan diri kalian dari api neraka”

Keempat, penggembala yang baik itu akan melatih hewan ternaknya untuk mengoptimalkan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Penggembala domba berusaha agar dombanya bisa menghasilkan susu atau keturunan yang berkualitas. Penggembala sapi melatih sapinya untuk membajak sawah, dan pekerjaan lain yang bisa dilakukannya.

Rasulullah saw memberdayakan sekecil apapun potensi para sahabat untuk dapat berkontribusi. Melatih para sahabat untuk mengemban tugas-tugas dakwah. Mengutus para sahabat untuk melakuan ekspedisi jihad ke berbagai sudut wilayah yang terjangkau ketika itu.

Inilah pengalaman penggembala domba di masa kecil yang melandasi kepribadian Rasulullah sebagai pemimpin besar bagi umat manusia ini. “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang Mukmin,” (QS at-Taubah: 128). Wallahu a’lam bishshawab..










PERJUANGAN MENDATANGKAN PERTOLONGAN


Beberapa hari telah berlalu. Rasulullah saw berangkat meninggalkan Madinah menuju Tabuk. Di tengah hari yang sangat panas, Abu Khaitsamah pulang ke rumahnya. Ia tidak ikut berangkat ke Tabuk bersama dengan Rasulullah ketika itu.

Oleh: Muhith Muhammad Ishaq*

Sesampainya di rumah ia disambut dua orang istrinya yang duduk di pelaminan di rumahnya yang indah. Di hadapan istrinya itu telah dihamparkan sajian makanan kesukaannya. Tidak ketinggalan pula air penyejuk ruangan hingga mereka tidak kepanasan.

Melihat panorama yang sangat menggoda itu, Abu Khaitsamah tertegun di depan pintu rumahnya. Udara yang sejuk di dalam rumah, dua istri yang cantik di atas pelaminan, dan makanan kesukaan yang terhampar menyentakkan kesadarannya dalam titik klimak kemewahan.

Ia berkata dalam hati, menegur dirinya sendiri: “Rasulullah saw sedang disengat terik matahari, menahan terpaan angin gurun, sementara Abu Khaitsamah duduk manis di ruangan berpendingin, dengan makanan lezat tersaji, bersama istri cantik yang mendampingi, ini tidak adil”.

Kemudian ia membalikkan badan dan berkata: “Demi Allah saya tidak akan menyentuh seorangpun dari kalian, sebelum saya berjumpa dengan Rasulullah. Ayo kalian berdua siapkan perbekalan, saya hendak menyusul Rasulullah”.

Kedua istrinya melaksanakan perintah suaminya itu dengan cepat. Segera ia menuju ke tempat ontanya ditambat dan bergegas berangkat menyusul Rasulullah.

Setelah berhari-hari melintasi bukit batu, jalan terjal, dan gurun pasir seperti umumnya daratan Jazirah Arab, Abu Khaitsamah berhasil menemukan Rasulullah yang sudah sampai di Tabuk.

Begitulah kepekaan hati sahabat Rasulullah saw. Rasa cinta yang ada dalam hati mereka tidak memberi ruang baginya untuk berbeda situasi dengan Rasulullah dalam suka dan duka. Hati Abu Khaitsamah tidak bisa menerima kesenangan dunia yang diterimanya pada saat Rasulullah dan para sahabatnya berada dalam kesulitan situasi dan beratnya medan jihad di jazirah Arab.

Tidak seperti orang-orang berpenyakit hati yang merasa mendapatkan beban berat ketika merasakan sulitnya jihad, dan berkhayal seandainya ia masih berada di luar kota sehingga tidak ikut berjihad bersama Rasulullah. Orang-orang yang merasa senang dan mendapatkan lindungan Allah ketika tidak ikut terlibat dalam perjalanan jihad yang berat.

Di Madinah pada saat perjalanan perang Tabuk ini hanya tersisa orang-orang udzur, karena sakit, tua renta, anak-anak, para wanita, dan orang yang mendapatkan tugas khusus dari Rasulullah. Para sahabat Rasulullah memahami betul bahwa kemulian dirinya itu hanya ada pada amal perbuatannya bukan pada nikmat dan kesenangan yang diterimanya.

Dalam perjalanan ini pula Abu Khaitsamah berjumpa dengan Umair ibn Wahb al-Jumahi yang juga dalam perjalanan menyusul Rasulullah karena ketinggalan. Keduanya kemudian bersama-sama melintasi jalan panjang menuju Tabuk.

Ketika sudah mendekati Tabuk, Abu Khaitsamah meminta kepada Umair bin Wahb al-Jumahi: “Sesungguhnya saya punya dosa, maka silahkan engkau meninggalkan saya, sehingga nanti saya bertemu dengan Rasulullah SAW sendirian”.

Umair bin Wahb al-Jumahi setuju dengan permintaan itu, meskipun keduanya telah berhari-hari suka dan duka bersama dalam perjalanan, namun di ujung perjalan itu keduanya harus berpisah karena ada hal pribadi yang harus saling dihormati.

Umair bin Wahb al-Jumahi memahami privasi Abu Khaitsamah, dan Abu Khaitsamah juga tidak ingin melibatkan Umair bin Wahb dalam masalah pribadi yang dihadapinya. Salah satu bentuk ta’awun sesama sahabat yang sangat unik. Tidak masuk dalam masalah pribadi orang lain yang tidak ingin diintervensi, dan tidak ingin melibatkan orang lain dalam kesalahan pribadi.

Abu Khaitsamah berjalan agak lambat di belakang Umair bin Wahb. Ketika jarak semakin dekat ke Tabuk tempat Rasulullah dan para sahabat beristirahat, beberapa orang pasukan kaum Muslimin berkata: “Ada pengendara yang sedang mendekat”. Rasulullah menjawab, “Semoga dia itu adalah Abu Khaitsamah”.

Jarak Abu Khaitsamah dengan tempat Rasulullah beristirahat semakin dekat dan kaum Muslimin yang mengamatinya itupun kemudian berkata: “Betul, Wahai Rasulullah, dia Abu Khaitsamah”.

Perkenalan dan pergaulan Rasulullah yang sangat intensif dengan para sahabatnya sehingga bisa menebak dari jauh, sosok sahabatnya itu, ketika kaum Muslimin lain belum mengenalinya. Rasulullah mengenali dengan baik cara jalan para sahabatnya.

Jarak semakin dekat, wajah letih Abu Khaitsamah bisa dengan jelas terlihat, Rasulullah menyambutnya. Abu Khaitsamah menghadap dan memberikan salam kepada Rasulullah. Setelah menjawab salam, Rasulullah SAW bersabda: “Hampir saja, kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu”.

Abu Khaitsamah menceritakan pengalamannya sejak ketinggalan di Madinah tidak ikut berangkat ke Tabuk bersama Rasulullah, sambutan dua orang istri, dan kemewahan rumah tinggalnya sehingga ia menyusul Rasulullah ke Tabuk dengan lengkap.

Rasulullah mendengarkan dengan seksama cerita Abu Khaitsamah. Setelah selesai cerita Rasulullah mendoakan Abu Khaitsamah dengan doa kebaikan, dan semoga Abu Khaitsamah senantiasa dalam kebaikan.

Tidak ada kata terlambat untuk berbuat baik. Selama masih ada kemauan kuat, maka kebaikan itu insyallah akan didapat. Pertolongan Allah biasanya diberikan kepada hamba-Nya yang beramal di jalannya, kemudian ada kesulitan yang menghadangnya. Tidak ada perjuangan tidak ada pertolongan. Wallahu a’lam.








KEBAHAGIAAN INSAN BERTAQWA


Dan orang-orang yang menjauhi menyembah thaghut dan kembali kepada Allah bagi mereka kabar gembira maka berikan kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku. Orang orang yang mendengarkan ucapan dan mengikuti yang terbaik merekalah orang-orang yang ditunjuki oleh Allah dan merekalah orang-orang yang berakal,” (QS az-Zumar 17-18)

Cyber Sabili-Jakarta. Bahagia dalam Islam tidak identik dengan kekayaan, jabatan, fasilatas hidup yang lengkap, melainkan berkaitan dengan kepuasan hati. Bisa saja semua yang di atas dicapai ternyata banyak yang belum bahagia. Kebahagiaan ada yang semu dan ada yang hakiki, ada yang sementara dan ada yang abadi. Tanpa dimungkiri ada kebahagiaan yang dirasakan oleh orang yang mendapatkan kecukupan materi, tapi kebahagiaan itu adalah semu sementara. Adapun setelah kematian sungguh semua materi tidak akan berarti.

Kebahagiaan abadi yang hakiki hanya dengan iman kepada Allah, beribadah kepadanya, serta mendapatkan ridha Allah SWT. Inilah yang diisyaratkan oleh ayat di atas. Allah mengabarkan bahwa orang yang menjauhi thaghut yaitu semua yang melampaui batas apa yang Allah tentukan, baik yang disembah, diikuti, dicintai, maupun yang ditakuti dan tidak meyembah-Nya, serta kembali kepada Allah, kepada diin-Nya, ibadah kepada-Nya, tawakkal kepada-Nya, bagi mereka –sebagaimana Allah beritakan- kabar gembira,yang menjadikan mereka bahagia. Kabar gembira bahwa Allah mengampuni dosa-dosa mereka, menerima amal mereka, membalas mereka dengan balasan yang terbaik, menyertai mereka dalam segala kondisi mereka. Dan Allah-pun memerintahkan Nabi untuk memberi kabar gembira pada mereka.

Sebelum kita rinci apa kabar gembira itu kita jelaskan dulu siapa hamba-hamba Allah yang hakiki. Mereka yang berbahagia dengan ketaqwaan, selalu berusaha mendengarkan segala kalimat, pendapat, kemudian selalu mencari dan mengikuti yang terbaik dari segala ucapan, pendapat, dan amal. Allah memuji mereka bahwa mereka orang yang paling dapat memanfaatkan potensi akal pikiran dan hati. Mereka adalah orang yang Allah berikan petunjuk. Kepada mereka diberi gelar ulul albab, orang-orang yang berpikiran cerdas.

Orang yang bahagia sejati dalam ayat ini adalah orang yang memahami hakikat dirinya dan hakikat Allah. Memahami hakikat kebenaran kemudian menempatkan dirinya sebagai hamba Allah. Tidak mau diperbudak oleh siapapun, memilih Allah sebagai ilahnya, Rabbnya. Hanya tunduk dan patuh kepada Allah SWT tidak sujud dan ruku kepada manusia, materi dan jabatan. Mereka orang yang selalu mecari kebenaran dan kebaikan, mengikuti yang paling benar yang datang dari Allah kemudian ia amalkan. Mereka da’wahkan dan tegakkan di tengah umat manusia.

Orang yang bahagia adalah orang yang berhasil mengetahui kebenaran dan menjalankannya, mengetahui kebatilan dan menjauhinya, mengetahui yag bermanfaat dunia dan akherat dan dapat mengambilnya, mengetahui yang berbahaya dan dapat menghindarinya. Lebih bahagia manakala dia dapat meresapinya dan mencintainya. Di situ ia merasakan kemenangan yang luar biasa nikmatnya karena dapat mengalahkan musuhnya yang akan menyesatkan dan mencelakakannya. Bahagia karena ia menanti kesudahan hidup yang baik di dunia, dan kehidupan yang lebih baik di akhirat.

Coba kita renungi berbagai janji Allah bagi orang yang bertaqwa, mereka dijanjikan mendapatkan jalan keluar dari segala kesulitan, dan ini banyak dirasakan oleh orang yang telah membuktikan ketaqwaan dalam kehidupan, mendapatkan rizki yang tidak disangka-sangka, dimudahkan segala urusannya.

Siapa yang bertaqwa Allah berikan untuknya jalan ke luar, dan Allah berikan rizki kepadanya dari arah yang tidak disangka dan siapayang bertawakkal kepada Allah maka Dialah yang mencukupinya. Itulah yang difirmankan Allah SWT dalam surat QS ath-Thalaq 2-3

“Siapa yang bertaqwa Allah jadikan untuknya dari perkaranya kemudahan, itulah perintah Allah yang Allah turunkan kepada kalian, dan siapa yang bertaqwa, Allah hapus kesalahnnya, dan Allah besarkan pahala baginya,” (QS Thalaq 4-5).











MOMEN INDAH MENUJU JANNAH


Nafsu mutmainah adalah jiwa yang tenang dengan iman dalam hidupnya kepada Allah SWT serta beribadah menjalankan misi dakwah. Saat menghadapi musibah ia selalu bertawakal. Ia akan meninggal dalam keadaan khusnul khotimah kemudian bertemu Allah swt di surga.

“Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Rabbmu dalam kondisi ridha dan diridhai. Masuklah ke dalam (golongan) hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surgaKu,” (QS Al-Fajr [89]: 27-29).

Momen paling indah dalam perjalanan hidup manusia adalah ketika disambut oleh malaikat dari berbagai arah pintu surga. Setiap orang yang memiliki sifat sabar itu bahagia karena akan menuai buah manis, masuk surga. Walaupun kematian sangat berat karena sakitnya sakaratulmaut, tetapi Allah akan mengganti dengan ridhaNya.

Sebagaimana wasiat Bilal ketika sakaratulmaut kepada putrinya:

“Jangan engkau tangisi aku wahai putriku. Besok pertemuan dengan para kekasih Muhammad dan para sahabatnya seperti, Umar bin Abdul Aziz ra khalifah yang sangat adil, bijak, dan zuhud”. Di akhir hayatnya beliau dinasehati agar memberikan wasiat harta untuk anak-anaknya dari baitul muslimin. Beliau kemudian memeluk putra-putranya yang berjumlah dua belas. Kemudian berkata kepada mereka “Wahai anak-anakku kalau kalian shaleh Allah akan mengurus kalian. Jika, kalian berbuat maksiat maka Allah akan mengazab kalian.”

Kemudian beliau berkata : “Keluarlah kalian sebentar lagi akan datang tamu-tamu bukan dari kalangan jin dan manusia. Mereka keluar dengan panggilan “Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Rabbmu dalam kondisi ridha dan diridhai. Masuklah kedalam (golongan) hamba-hambaKu. Masuklah kedalam surgaKu”

Nafsu mutmainah beribadah dengan khusyu. Menjalankan syariat, melakukan perintah dan larangan-Nya dengan selalu berpikir positif kepada Allah. Maha Penyayang lagi Maha Mengetahui apa yang dirasakan hamba-Nya dan Allah sangat menyayangi hamba-Nya yang bertakwa.

Nafsu Muthmainah yakin dengan janji Allah yang akan memenangkan diin-Nya di atas seluruh diin “Dialah Allah yang mengutus RasulNya degan petunjuk dan diin yang haq, agar Dia mengunggulkannya di atas diin-diin yang lainnya dan cukuplah Allah sebagai saksi”(QS Al Fathayat :28).

Yakin terhadap janji Allah yang akan memberikan kemenangan kepada orang-orang beriman “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh bahwa Dia akan menjadikan mereka khalifah(penguasa) di muka bumi sebagaimana telah memberikan kedudukan orang sebelum mereka, dan akan mengokohkan diin mereka yang Allah Ridhoi buat mereka dan akan mengganti rasa takut kepada mereka dengan rasa aman, mereka menyembahku dan menyekutukanku” (QS Annur: 55).

Mereka yakin dengan pertolongan Allah, “Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul kami dan orang-orang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari bangkitnya para saksi(kiamat)(QS Al-Mukminayat : 51).

Maka nafsu mutmainah itu istiqomah berdakwah, berjihad, bermujahadah dalam menegakkan kalimat Allah sampai diinullah tegak. Tenang menghadap Allah dalam kematiannya hanya diperuntukkan bagi hambaNya yang shaleh bukan untuk orang kafir, zalim, dan durjana.

Allah mengatakan kepada nafsu mutmainah ”Kembalilah kepada Rabbmu dengan ridha dan diridhai, ridha dengan amal apa yang Allah berikan kepada mereka dari surga dengan ridha dan diridhai amal shalehnya oleh Allah.”

Dikatakan kepada nafsu mutmainah “Masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu”. Memiliki arti yaitu jiwa yang bertawakal kepada Allah, melakukan semua amalan yang baik dan puncaknya ketundukan serta merendahkan hati dengan sempurnanya cinta, takut dan harapan. Menempatkan diri sebagai hamba yang bertawakal kepada Allah, baik sebagai penguasa, rakyat, orang kaya, orang miskin maka ia akan menjadi sumber kebaikan bagi orang lain dan alam semesta.

Nafsu mutmainah dipanggil oleh Allah “Masuklah kesurgaKu”. Inilah momentum paling membahagiakan, mendapati di dalamnya semua yang diminta dan terlintas dalam pikiran lalu puncaknya melihat Allah swt. Dalam hadis dikatakan “Ketika ahli surga telah masuk surga, ahli neraka masuk neraka, dikatakan kepada penghuni surga, Rabb kalian punya janji kepada kalian dan akan memenuhinya,”. Ahlu jannah mengatakan, “Apa yang Rabb kami akan berikan, padahal telah memberikan kepada kami apa yang tidak diberikan kepada selain kami seseorangpun, setelah itu Allah menyingkap tabir dan mereka melihat Allah”.

Allah berfirman : “hari ini Aku berikan kepada kalian keridhaanKu dan Aku tidak murka kepada kalian selamaNya”(HR Bukhari Muslim).

Saat yang paling indah adalah saat pertemuan sang khalik dengan makhlukNya yang Dia sayangi dan cintai karena ketakwaanNya. Ketenangan nafsu mutmainah di akhirat sangat ditentukan sejauh mana dia beristiqomah dalam iman, ibadah, dan perjuangan dalam melaksanakan perintahNya.










KEHANCURAN NEGERI


Dan jika Kami menghendaki untuk menghancurkan suatu penduduk negeri, Kami perintahkan orang-orang yang bergelimang dalam kekayaan lantas mereka berbuat fasik di dalamnya. Kemudian tetaplah atas mereka keputusan (Allah), maka Kami hancurkannya sehancur-hancurnya. (QS al-Isra’: 16)

Cyber Sabili-Jakarta. Ayat di atas merupakan satu sisi sunnatullah tentang keberlangsungan suatu negeri dengan kehancurannya, yaitu ketika para konglomeratnya berbuat kefasikan, menyombongkan diri, memamerkan kekayaannya dengan kesombongan. Seperti kisah Qarun yang diteggelamkan Allah ke bumi karena menyombongkan diri dengan kekayaannya. Dalam ayat di atas ada kata “amarnaaha” yang memiliki beberapa penafsiran, yaitu pertama, kami jadikan orang-orang konglomerat menjadi penguasa lantas mereka berbuat fasik.

Kedua kami perintahkan orang konglomerat beriman dan taat malah mereka berbuat fasik. Tafsiran ketika “Kami jadikan mereka para konglomerat berjumlah banyak, lantas mereka berbuat fasik, maka tiga penafsiran ini benar, ada benang merahnya dari sisi bahasa.

Suatu negeri dapat dikatakan baik jika orang-orang memiliki kekayaan berupa harta, ilmu, kekuasaan serta iman yang kuat tetapi mereka malah berbuat kerusakan di bumi. Kerusakan yang mereka perbuat akan menjadi virus yang menular dengan cepat pada masyarakat dan ketika itu tetaplah keputusan Allah bagi negeri itu untuk dihancurkan.

Dalam hadits shahih, Muslim Zaenab binti Jahsy bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah kita dibinasakan sementara di tengah-tengah kita ada orang orang shalih? Nabi bersabda :Yaa jika perzinaan (penyimpangan seksual) merata”.

Jika kekayaan sudah menjadi tujuan hidup dan tidak lagi menjadi sarana ibadah, maka negeri akan dipenuhi berbagai kemaksiatan. Kekayaan itu diperoleh dengan menghalalkan berbagai cara, seperti korupsi, suap menyuap dan pungli yang dapat menyengsarakan rakyat. Para penguasa negeri untuk mendapatkan kekuasaaan dengan cara money politik, yaitu membeli suara nurani rakyat. Dengan demikian, yang berkuasa di negeri ini adalah kaum kapitalis yang akan memperbudak rakyat dan membebani berbagai pungutan dan pajak yang mencekik.

Berangkat dari tamak terhadap harta yang penuh rasa bangga, maka munculah berbagai bisnis narkoba, prostitusi, bahkan teroris menciptakan dunia teroris dengan mencari dana dari Barat padahal mereka sendiri yang menciptakannya, seperti yang terjadi di negeri ini. Ketika harta yang didapat dengan cara haram, maka penggunaannya dengan cara haram pula. Mereka mementingkan prestise seperti membeli barang yang bermerk dengan harga yang cukup mahal. Kita biasa membeli tas dengan harga ratusan ribu, mereka membeli sampai jutaan, padahal dari segi kualitas dan penampilannya pun sama dengan harga yang murah. Namun, mereka rela dan senang menggunakan harta yang haram dengan penuh kemewahan.

Islam tidak melarang seseorang untuk kaya, memakai baju dan sepatu yang indah, tetapi dilarang untuk membanggakan dan memamerkan kekayaannya kepada publik. Rasulullah bersabda, “Makanlah, minumlah berpakaianlah sesukamu tanpa berlebih-lebihan dan tanpa kesombongan.” (HR Bukhari,Ahmad dan Abu Dawud)

Jadi, kalau sudah berlebih-lebihan, seperti membeli mobil yang harganya milyaran hanya ingin mentereng dan supaya prestisnya naik, maka membeli milyaran tanpa mengindahkan perasaan fuqara dan masakin bahkan sampai melalaikan hak-hak mereka itulah yang tercela.

Cukuplah pada kisah Qarun yang memamerkan kekayaaannya di hadapan kaumnya dengan penuh kesombongan dan merasa bahwa kekayaan hanya didapat karena kecerdasannya. Kemudian Allah menenggelamkannya ke bumi menjadi pelajaran bagi mereka. Lihat QS Qashash: 76-83

Orang yang membanggakan kekayaan dengan penuh kesombongan akan tenggelam dalam perbudakan harta. Lalu, ditenggelamkannya ke bumi dalam kehinaan bahkan di akhirat nanti akan dihinakan Allah dalam siksanya yang abadi, dalam hadits dikatakan: “Ada seorang laki-laki yang berjalan sombong lantas Allah tenggelamkan ke bumi dan dia terus disiksa dengan dimasukkan ke perut bumi sampai hari kiamat” (Thabarany Abu Ya’la)

Sekali lagi Islam tidak melarang seorang menjadi kaya, menikmati kekayaaan yang masih dalam batas Ibadah. Bahkan perjuangan tanpa membanggakan dan menyombongkannya. Kekayaan yang dimilki tidak hanya harta, tetapi hati yang ikhlas berinfak dijalan Allah. Harta bukan tujuan hidup dan tidak pula klimaks ilmu, melainkan dipandang sebagai karunia Allah. Tidaklah digunakan kecuali untuk kebaikan dengan penuh tawadhu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar