Powered By Blogger

Rabu, 29 Juni 2011

TAZKIYATUN NAFS


AL MA'RUF DAN PUNCAK AMAL KEBAJIKAN


DALAM al-Quran, banyak disebutkan lafaz-lafaz yang menunjukan segala perbuatan yang baik atau 'amal salih. Misalnya saja: al-ma'ruf, al-khoir, al-birru, al-hasanah, at-thoyyibah, dan al-ibadah.
Ungkapan-ungkapan ini mempunyai tujuan dan makna yang sama, yaitu kebaikan, kebajikan, dan pengabdian.
Prof. Hamka dalam kitab tafsirnya "al-Azhar" mengatakan bahwasanya puncak dari segala amal kebajikan atau amal ibadah itu ada dua, yaitu: pertama, memperhambakan diri kepada Allah; dan kedua memperbanyak perbuatan yang memberi manfaat kepada sesama makhluk.

Antonim lafaz-lafaz di atas adalah al-munkar (kemungkaran), as-sayyiah (keburukan), az-dzunub atau al-itsm (perbuatan dosa) dan al-ma'asiyah (maksiat). Yaitu, suatu perbuatan yang menunjukan sikap membangkang terhadap Allah dan perbuatannya tersebut tidak berfaedah, bahkan justru menimbulkan mudhorat dan kerugian, baik kepada dirinya sendiri atau pun kepada orang lain.

Di dalam surah al-'Ashr ditegaskan, bahwa manusia itu berada dalam kerugian yang nyata, kecuali empat perkara yang menjadikannya beruntung dan bahagia, yaitu iman, amal saleh, saling menasihati untuk menepati kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran. (Q.S. al-'Ashr:2-3)

Ayat di atas menggambarkan sebuah hubungan yang begitu erat dan saling menguatkan antara amal saleh (perbuatan kebajikan) dan iman (keyakinan) yang dimiliki oleh pelakunya. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Maknanya, iman tanpa diiringi amal saleh akan menyeret pelakunya kepada kerugian, begitu sebaliknya amal saleh yang dikerjakannya akan menjadi sia-sia apabila tidak didasarkan kepada iman kepada Allah SWT.

Mengenai hal ini, Allah menurunkan sebuah perumpamaan yang sangat indah dan penuh makna. "Dan orang-orang kafir, amal perbuatan mereka adalah bagaikan fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila dihampirinya air itu, dia tidak mendapati apa pun." (Q.S. an-Nuur:39).

Oleh sebab itu, dalam melakukan pengabdian secara sempurna kepada Allah sebagai puncak amal kebajikan yang pertama tadi, diperlukan keyakinan yang total kepada Allah SWT.

Kaitannya dengan puncak amal kebajikan yang kedua, Rasulullah saw. pernah bersabda: "Sebaik-baik manusia di antara kamu adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain." (HR. Bukhari).

Secara berulang-ulang, al-Qur'an pun banyak menyebutkan keutamaan mengerjakan amal saleh, di mana Allah SWT menghadiahkan pahala yang sangat besar kepada hamba-hambaNya yang mengerjakan amal kebajikan. Sebagaimana firmanNya dalam surat an-Nahl ayat 97, Allah menjanjikan suatu kehidupan dan balasan yang baik bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. "Barangsiapa mengerjakan kebajikan baik kaum laki-laki maupun perempuan dan dia beriman, maka pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan Kami akan berikan balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."

Hakikatnya, ayat di atas mendorong kita untuk lebih giat dalam melakukan amal kebajikan. Bahkan kalau dipahami secara teliti dan diiringi keyakinan yang mantap, ayat ini boleh membangkitkan optimisme yang luar biasa pada diri seseorang dalam menjalani proses kehidupan ini. Di mana Allah SWT telah menjanjikan suatu kehidupan yang baik, aman dan tentram (hayatan thoyyibatan) bagi orang-orang yang berbuat amal kebajikan karena Allah SWT. Sedangkan di akhirat nanti, Allah akan memberikan balasan yang lebih baik daripada balasan yang diberikan di dunia.

Selain itu, ayat ini sekaligus mengandung bantahan terhadap orang-orang yang selalu pesimis dan beranggapan bahwa nasib hidupnya itu tidak baik atau kurang beruntung, padahal dirinya telah beribadah dan berbuat kebajikan.

Seseorang hanya akan merasa pesimis dan akan beranggapan negatif kepada Allah, kecuali jika dia mengetahui dan memahami hakikat puncak amal kebajikan dengan sebaik-baiknya. Wallahu 'alam bi showab

*Penulis adalah Ketua Bagian Dakwah dan Tabligh Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Kuala Lumpur, Malaysia dan Kandidat Master Program Usuluddin, Universiti Malaya, Kuala Lumpur






YA ILMUWAN YA AHLI IBADAH


SEJAK surat pertama turun yang memerintahkan untuk membaca dengan redaksi kata kerja perintah 'iqra’ (bacalah), kita memahami bahwa Islam sangat menekankan pada penggunaan akal pikiran (rasio). Itulah sebabnya, sebelum proses taklif (pembebanan syariat), terlebih dahulu harus diawali dengan proses ta’wid (pembiasaan pada anak usia dini) dan proses tafhim (pemahaman). Tiada agama yang tidak menggunakan akal pikiran (laa dina liman laa ‘aqla lahu).

Hal itu berarti, instrumental yang dikaruniakan oleh Allah SWT secara cuma-cuma kepada hamba-Nya manusia berupa akal pikiran, hendaklah diberdayakan untuk melakukan fungsi dan perannya secara optimal, yaitu melakukan tadabbur, tafakkur dan tadzakkur terhadap ayat-ayat quraniyah, ayat-ayat nafsiyyah dan ayat-ayat kauniyyah. Bahkan semua makhluk ciptaan Allah SWT.

Islam menolak tegas terhadap sesuatu apa pun yang tidak didukung oleh bukti-bukti yang tidak valid, sikap mengikuti suatu pemikiran/paham yang sifatnya membabi buta (taqlid), mengecam terhadap asumsi dan keinginan yang semata-mata dilandasi oleh hawa nafsu. Islam mengharamkan pula semua bentuk sihir, pedukunan, para normal (ramalan) dan bentuk kebatilan yang lain.

Islam sangat menghormati ilmu pengetahuan dan mengangkat derajat para ulama. Bahkan ilmuan lebih mulia daripada ahli ibadah. Islam merespons dengan atusias terhadap ilmu pengetahuan apa saja yang dinilai bisa mendatangkan manfaat bagi kelangsungan kehidupan manusia baik ilmu umum maupun agama.

Karena itu kewajiban menuntut ilmu dijelaskan dalam sebuah hadits dengan menggunakan redaksi “faridhatun”. Ta marbuthah tersebut bukan tanda isim muannats tetapi bermakna mubalaghah – superlatif - (penyangatan). Islam sangat mendukung pemeluknya dalam berpikir dan bertindak secara ilmiah, sehingga dalam menjalankan roda kehidupan dibingkai oleh kesempurnaan ilmu dan keimanan.

Kata kerja ‘aqala’ mengandung pengertian menghubungkan sebagian pikiran dengan sebagian yang lain, dengan mengajukan bukti-bukti yang nyata sebagai argumentasi yang dipahami secara rasional. Dalam al-Quran kata ‘aqala disebut kurang lebih sebanyak 50 kali dan tiga belas kali berupa pertanyaan retorik (istifham tankiri), sebagai protes untuk mengadakan kajian ilmiah.

Belum lagi meneliti kata “nazhara” (menganalisa), “tafakkara” (memikirkan), “faqiha” (memahami), ‘alima' (mengerti, menyadari), "burhan" (bukti, argumentasi), "lubb" (intelektual, cerdas, berakal). Jika kata-kata tersebut diteliti secara lebih cermat, akan menemukan banyak sekali nilai-nilai ilmiah dalam Islam.

Orang-orang kafir yang menolak mentah-mentah ajakan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, oleh al-Quran dideskripsikan sebuah komunitas yang tidak mau menggunakan akal pikirannya. Mereka memenjara potensi akal sehatnya dengan mengekor tradisi yang diwarisi nenek-moyang mereka secara turun temurun. Akal sehat mereka mengalami disfungsi. Tidak digunakan untuk mencari kebenaran dan mengkritisi kultur para pendahulu mereka. Maka, keberadaan mereka laksana binatang ternak bahkan lebih sesat (bal hum adhol). Karena mereka lemah dalam merespons simbol-simbol, ayat-ayat yang bertebaran di sekitar mereka.

Fakta Historis

Secara historis, setidak-tidaknya ada lima langkah penting yang menunjukkan perhatian Islam secara kongkrit terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan penggunaan akal sehat.

Pertama, al-Quran secara tersurat dan tersirat menekankan kepada para pemeluknya agar menggunakan planning yang matang dalam melakuan apa pun. Baik dalam skala kehidupan yang kecil maupun berskala besar.

Hal itu dapat dilihat pada kisah Nabi Yusuf as, ketika dilantik sebagai menteri yang membidangi urusan logistic, dia melakukan perencanaan yang matang dan teliti sehingga berhasil menyelamatkan penduduk Mesir dari kelaparan (krisis ekonomi). Ini menunjukkan bahwa Islam tidak berdiri secara kontradiktif dengan ilmu menejemen sebagaimana yang dipahami oleh orang yang berwawasan picik dalam memahami ajaran islam.

(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): "Yusuf, Hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya." Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.” (QS. Yusuf (12) : 46-47).

Kedua, Rasulullah SAW menggunakan data statistik sejak beliau hijrah dari Makkah ke Madinah dan memulai babak baru dalam ekspansi dakwah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim diceritakan bahwa beliau setelah hijrah ke Madinah memerintahkan sebagian sahabat untuk mendata jumlah orang yang telah memeluk islam. Setelah diteliti, mereka menyimpulkan bahwa jumlah orang yang masuk Islam di Madinah sebanyak 1.500 orang. Di sini kita memahami metode statistik bukan impor dari bangsa lain, tetapi bersumber dari Islam itu sendiri.

Ketiga, Rasulullah SAW terbiasa melakukan uji coba (eksperimen) dalam persoalan duniawi. Demikian pula dilakukan para sahabat. Seperti eksperimen (riset) tentang penyerbukan pohon kurma, yang hasilnya berbeda dengan saran yang dilontarkan oleh beliau. Dan beliau menerima hasil eksperimen yang semula bertentangan dengan pendapat beliau. Beliau bersabda, “Kalian lebih mengetahui terhadap urusan dunia kalian.” (HR. Muslim).

Keempat, Islam mendorong para pemeluknya yang menggali secara optimal teknologi tepat guna, yang dinilai mendatangkan manfaat bagi kelangsungan kehidupan manusia. Hal ini dibuktikan oleh beliau ketika tidak segan mengikuti pendapat Salman Al-Farisi, seorang yang berkebangsaan Parsi tentang penggalian parit di sekeliling kota Madinah. Metode ini sudah biasa dilakukan oleh bangsa Parsi. Beliau pernah dibuatkan sebuah mimbar yang biasa digunakan khutbah dari tukang kayu bangsa Romawi.

Rasulullah SAW bersabda, ilmu pengetahuan itu bagaikan barang yang hilang dari seorang mukimin, di mana saja ia menemukannya maka dia berhak mengambilnya (HR. al-Turmudzi dan Ibnu Majah). Hadits lemah yang matannya bermakna benar.

Kelima, al-Quran menjunjung tinggi nilai-nilai industrialisasi bagi kelangsungan kehidupan manusia. Para hamba pilihan Allah SWT adalah sosok-sosok professional (memiliki profesi tertentu) di bidang industrialisasi.

Nabi Nuh as adalah sosok yang ahli di bidang perkapalan. Nabi Ibrahim dan Islamail, keduanya dikenal arsitek bangunan. Hal itu dibuktikan dengan ketrampilan keduanya dalam merenovasi ka’bah. Nabi Dawud dikenal memiliki keahlian di bidang industri baju besi, sebagai alat perlengkapan yang paling vital saat itu. Beliau juga ahli dalam peleburan dan pelemasan besi.

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman) : Wahai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud, dan Kami telah melunakkan besi untuknya.” (QS. Saba (34) : 10).

“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu, maka hendaklah kamu bersyukur.” (QS. Al Anbiya (21) : 25).

Nabi Sulaiman memiliki keahlian dalam mengalirkan cairan tembaga. Pula memiliki kemampuan untuk menundukkan ahli penyelam (ghowwash) dan ahli bangunan (banna) dari kalangan jin, untuk membuat apa saja sesuai kehendaknya. Seperti, gedung-gedung pencakar langit, patung-patung, piring-piring besar seperti periuk yang selalu berada di atas tungku. Sedangkan Zulkarnain memiliki keahlian bisa membangun dinding besar dari besi dan tembaga.

Bahkan sejak awal perkembangan Islam, para sahabat yang memiliki kempampuan dalam bidang tafaqquh fiddin (pendalaman keagamaan) diwadahi khusus oleh Rasulullah SAW dalam emperan masjid yang dikenal dengan ahlush shuffah. Para sahabat yang memiliki keunggulan dalam jihad, diwadahi untuk terjun di medan pertempuran dan mengadakan ekspansi besar-besaran dalam membebaskan negeri, agar tunduk kepada aturan Islam, dan orang-orang dari kalangan grass root pula diberdayakan untuk giat dalam melakukan ibadah.

Harusnya, para penuntut ilmu ya pahlawan perang ya pahlawan ibadah. Ketiganya harus berjalan secara sinergis. Rasulullah SAW berhasil menyatukan ulama, mujahid dan zu’ama’ secara professional dan proporsional dalam dirinya.

Seorang yang mengerti ilmu secara benar, harusnya ia tunduk di bawah wahyu. Selain pandai ia juga ahli ibadah. Tidak seperti sekarang ini. Banyak orang cerdik-pandai tapi justru sombong bahkan menggugat-gugat wahyu, mempertanyakan Nabi para sahabat dan ulama. Akhirnya, karena tidak memahami wahyu banyak orang pandai tapi curang dan culas.

Jika ilmunya benar dan dia tunduk pada wahyu, maka dirinya akan mengangkat ‘izzul islam wal muslimin (semata-mata untuk kejayaan Islam dan umatnya). Apapun yang dilakukan atas ilmunya, digunakan untuk membela agama dan Islam. Jika tidak, pastilah ada sesuatu yang salah pada dirinya. Nah, pertanyaannya, bagaimana dengan kita?






JADILAH PEMUDA ISLAM YG BERKARAKTER


ORANG mengulasnya sebagai tokoh yang mengharumkan dunia. Ia bukan saja milik ummat Islam, tetapi panutan kaum Yahudi dan juga Nasrani. Abul Anbiya, Khalilullah, Ibrahim as.

Para pengamat sejarah purba berbeda pendapat tentang negeri asal Ibrahim (Abun Rahim, Bapak Yang Penyayang, Bhs Arab). Ada yang berpendapat bahwa Ibrahim berasal dari kawasan masuk daerah Babilon Mesopotamia, diperkirakan 6000 tahun yang lalu. Pengamat sejarah lain bersepakat bahwa bapak pendobrak paham paganisme ini pada akhirnya menetap di Palestina.

Beliau menetap di sebuah kota kecil bernama Al Khalil, 45 km sebelah barat daya Jerusalem. Kota kecil itu terletak di lambang Jabal Ar Rumaidah, kawasan dikenal sejuk dalam ketinggian 927 meter. Sebenarnya kota kecil itu tidak akan memiliki arti penting dalam lintasan sejarah sekiranya Nabi Ibrahim as. tidak berdiam di sana.

Ibrahim adalah manusia besar. Untuk mengabadikan keharuman namanya, Allah SWT memberinya gelar Khalilullah atau Khalilur Rahman, artinya Kekasih Allah. Di kalangan orang Barat yang merujuk Bybel menyebutnya: "Abraham The Friend of God" (Ibrahim teman dekatnya Tuhan). Dari gelar ini kemudian menjadi nama kediamannya Al Khalil. Kepustakaan Barat lebih senang menyebutnya Hebron (‘Ibrani, Bhs Arab). Hingga kini penduduk asli lebih senang menyebutnya Al Khalil.

Kadang-kadang menyebutnya dengan nama yang lebih indah Khalilur Rahman.
Disanalah Nabi Ibrahim as. menetap bersama isterinya yang cantik dan shalilah, Sarah. Semoga Allah SWT melimpahkan sakinah, mawaddah wa rahmah kepada keluarga ini untuk selama-lamanya. Suasana itulah yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan pisik dan kejiwaan anak, sebagai buah ikatan kekeluargaan. Hingga usia kurang satu abad, Ibrahim bersama Sarah mendambakan keturunan (pelanjut perjuangan).

***

Dalam hadist, pemuda sering diistilahkan dengan kata-kata syaabun. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, disebutkan bahwa diantara 7 kelompok yang akan mendapatkan naungan Allah SWT pada hari ketika tak ada naungan, selain naungan-Nya, adalah Syaabun nasya’a fii ‘ibaadatillah (pemuda yang tumbuh berkembang dalam pengabdian kepada Allah SWT).

Sepanjang peradaban manusia, pemuda adalah pelopor. Berbagai perubahan terjadi di setiap bangsa, selalu digerakkan oleh pemuda. Di balik setiap transformasi sosial, juga ada anak muda. Ibarat sang surya, maka pemuda bagaikan sinar matahari yang berada pada tengah hari dengan terik panas yang menyengat. Yang menentukan fase kehidupan manusia sejak di janin, balita, kanak-kanak, dewasa dan masa tua adalah usia murahiq – masa muda - (antara 30-40), meminjam istilah ahli kepribadian. Berbagai bakat, potensi, kecenderungan, baik mengarah kepada kebaikan maupun kepada kejahatan memiliki dorongan yang sama kuatnya ketika pada masa muda. Itulah sebabnya, kegagalan dan keberhasilan seseorang, kematangan kepribadian manusia pada masa tua ditentukan oleh masa mudanya.

Dalam al Quran pemuda menggunakan istilah ‘fatan’. Sebagaimana firman Allah SWT:

Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.” (Al Anbiya (21) : 60).

Dalam Islam, dikenal bapak yang mengenalkan tauhid, dialah Ibrahim. Ia menegakkan nilai-nilai tauhid di tengah dominasi dan hegemoni paham paganisme, seorang diri. Bahkan bapaknya sendiri melawannya. Kalau bukan kesabaran dan keyakinan yang terpatri di dalam hati, mustahil misi suci ini bisa diwujudkan.

Sebagaimana kisah Ashabul kahfi pada surat Al Kahfi (18) ayat 10 dan 13.

“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa : Ya Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-MU dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).

Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.”

Karakteristik Pemuda Pejuang

Eksistensi dan perana pemuda sangat urgen. Dalam al-Quran ataupun hadits, banyak diucapkan karakteristik/jati diri sosok pemuda ideal yang harus dijadikan teladan oleh pemuda yang bercita-cita sebagai orang atau pemimpin sukses.

Pertama, memiliki keberanian (syaja’ah) dalam menyatakan yang hak (benar) itu hak (benar) dan yang batil (salah) itu batil (salah). Katakanlah kebenaran walaupun rasanya pahit (al Hadits). Jihad yang paling tinggi adalah kalimat haq di depan pemimpin yang zalim (al Hadits). Lalu, siap bertanggung jawab serta menangung resiko ketika mempertahankan keyakinannya.

Contohnya adalah pemuda Ibrahim yang menghancurkan “berhala-berhala” kecil, lalu dan menggantung kapaknya ke “berhala” yang paling besar untuk memberikan pelajaran kepada kaumnya bahwa menyembah berhala itu (tuhan selain Allah SWT) sama sekali tidak bisa mendatang manfaat dan menolak bahaya. Kisah keberaniannya dikisahkan dalam surat al-Anbiya’[21] ayat 56-70.

Kedua, ia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (curiosity) untuk mencari dan menemukan kebenaran atas dasar ilmu pengetahuan dan keyakinan. Artinya, tidak pernah berhenti dari belajar dan menuntut ilmu pengetahuan (QS al-Baqarah [2]: 260). Semakin banyak ilmu yang dimilikinya, ia menyadari betapa banyak ilmu yang belum diketahui. Semakin berilmu, semakin tunduk tauhidnya pada wahyu.

Ketiga, selalu berusaha dan berupaya untuk berkelompok dalam binkai keyakinan dan kekuatan akidah yang lurus, seperti pemuda-pemuda Ashabul Kahfi yang dikisahkan Allah SWT pada surah al-Kahfi [18] ayat 25. Bukan berkelompok untuk mengadakan konspirasi jahat (makar). Atau berpikir yang aneh-aneh hanya untuk cari sensasi.

Para pemuda pejuang yang berkarakter ala Ibrahim, ia ingin berkelompok bukan untuk huru-hara atau tujuan yang tidak ada manfaatnya. Tetapi berkelompok dalam kerangka ta’awun ‘alal birri wat taqwa (bersinergi dalam kebaikan dan ketakwaan). Bukan berkerjasama dalam perbuatan dosa dan permusuhan.

Keempat, selalu berusaha untuk menjaga akhlak dan kepribadian sehingga tidak terjerumus pada perbuatan asusilasi. Hal ini seperti kisah nabi Yusuf dalam surah Yusuf [12] ayat 22-24.

Pemuda dengan tipe ini, bisa digambarkan pada sosok Nabiullah Yusuf yang tak tergoda nafsu,meski kesempatan ada. Yusuf tak mau meladeni wanita (Zulaikha) yang terus menggodanya. Ketika Yusuf digoda, ia justru berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik."

Kelima, memiliki etos kerja dan etos usaha yang tinggi serta tidak pernah menyerah pada rintanga dan hambatan. Ia memandang berbagai kesulitan adalah sebagai peluang untuk mengukir prestasi dan sarana kematangan jiwa. Seandainya menjadi manusia besar itu mudah, betapa banyak manusia yang terlahir sebagai pahlawan, meminjam ungkapan ahli sastra Arab.

Hal itu diperagakan oleh sosok pemuda Muhammad yang menjadikan tantangan sebagai peluang untuk sukses hingga ia menjadi pemuda yang bergelar al-Amin (terpercaya) dari masyarakat.

Wahai pemuda, marilah kita ikuti perjalan sosok-sosok yang mengagumkan itu.

Wahai para orantua, tak ada salahnya, kita persiapkan anak-anak kita dalam tipe pemuda yang berkarakter itu. Merekalah sosok pemuda ideal yang dicontohkan dalam al-Quran dan Hadits. Mudah-mudahan mereka bisa menjadi sumber inspirasi bagi para pemuda Indonesia masa kini dan masa depan. Wallahu a’lam bishshowab.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar