BANGGA SEBAGAI SEORANG MUSLIM
Di antara nikmat yang tidak terhitung bagi kita semua adalah ni’matul wujud atau nikmat kehidupan. Bahwa kita dijadikan salah satu makhluk-Nya yang dimuliakan yang hidup di alam raya ini. Kehidupan ini memberikan kepada kita hak-hak yang luar biasa banyaknya setelah Allah swt memberikan eksistensi/keberadaan diri kita dalam kehidupan.
Karunia kedua, ni’matul insan, fakta bahwa kita adalah manusia yang ditetapkan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan, keunggulan dalam struktur jasmani dan ruhani dibanding makhluk-makhluk lainnya.
Karunia ketiga, ni’matul ‘aql atau karunia akal. Allah swt memberi kepada kita kemampuan membaca dan menulis, kemampuan untuk menjelaskan, kekuatan untuk memahami ayat-ayat-Nya yang tersurat dan tersirat, diantara ayat-ayat-Nya yang tidak tertulis adalah fenomena di alam raya ini.
Lebih dari pada itu, ada karunia yang jauh lebih besar. Yakni, ni’matul hidayah ilal Islam (karunia petunjuk menjadi seorang Muslim). Inilah nikmat yang paling mulia dan paling berharga.
Dan ini tidak Allah berikan kepada semua manusia, melainkan hanya kepada kita.
"Sesungguhnya kenikmatan beragama hanya Aku berikan kepada hamba yang Aku pilih dari hamba-hamba-KU yang shalih." (al Hadits).
Karena itu nikmat ini haruslah kita syukuri. Inilah jalan satu-satunya yang Allah berikan kepada kita agar kita mendapat kebaikan/kemuliaan di dunia dan di akhirat.
“Jika kamu mensyukuri nikmat-Ku, pasti akan Aku tambah. Tapi jika kamu mengingkari nikmat-Ku, ketahuilah bahwa adzab-Ku pasti pedih .” (QS. Ibrahim (14) : 7)
Mensyukuri nikmat hidayah Islam itu dengan beberapa cara.
Pertama, syukuri nikmat ini dengan menumbuhkan perasaan bahwa kita bangga dan mulia dengan beragama Islam. Kita harus merasa bangga, percaya diri bahwa kita adalah orang Islam. Katakan kepada semua orang dengan penuh kebanggaan, ”Saya adalah orang Islam. Saya adalah umat tauhid. Saya adalah umat al-Qur’an. Saya adalah umat Muhammad saw.”
Dahulu para sahabat sangat bangga menjadi Muslim. Mereka  mengatakan, ”Ayahku adalah Islam. Tiada lagi selain Islam. Apabila orang  bangga dengan suku, bangsa, kelompok, marga, perkumpulan, paham mereka,  tapi aku bangga nasabku adalah Islam.
Suatu ketika Salman Al-Farisi radhiyallahu anhu ditanya, ”Keturunan siapa Kamu ?” Salman yang membanggakan keislamannya, tidak mengatakan dirinya keturunan Persia, tapi ia mengatakan dengan lantang, ”Saya putera Islam.” inilah sebabnya Rasulullah saw mendeklarasikan bahwa, ”Salman adalah bagian dari keluarga kami, bagian dari keluarga Muhammad saw.”
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُولُواْ اشْهَدُواْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
"Katakanlah, Hai Ahli kitab marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan suatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain daripada Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS. Ali Imran (3) : 64).
Maka tatkala ia merasakan keingkaran dari mereka (Bani Israil) berkatalah dia, Siapakah yang menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah? para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. "Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri." (QS. Ali Imran (3) : 52).
Kita harus bangga bahwa kita adalah Muslim. Karena faktanya bahwa Islam itu diturunkan sebagai misi di mana Muhammad saw sebagai Rasulnya, juga diturunkan ke muka bumi dengan tujuan menyebarkan kasih sayang. Karena itu kita haruslah bangga, karena kitalah yang dinanti-nanti/dirindukan oleh umat manusia. Kita rahmat bagi alam semesta ini. Kita bagaikan air yang dirindukan oleh orang yang haus dahaga. Kita adalah makanan yang sedang dimimpikan oleh orang yang lapar. Kita adalah thabib yang ditunggu-tunggu para pasien.
Fakta lain, kita harus bangga menjadi Muslim, adalah bahwa kita mempunyai kitab suci. Al-Qur’an sendiri telah menjamin bahwa kitab ini tidak mungkin ternodai. Tidak satu huruf atau titik pun yang akan merubah kesucian al-Qur’an yang sudah pasti di pelihara oleh Allah. Karena itu kebenaran al-Qur’an akan tetap abadi. Al-Qur’an yang ada di Indonesia adalah al-Qur’an yang ada dan dibaca oleh saudara-saudara kita di muka bumi lain. Al-Qur’an yang dicetak di Indonesia, Arab Saudi, Mesir adalah al-Qur’an yang dicetak di seluruh dunia. Oleh karena itu, kita mempunyai alasan yang sangat kuat bahwa kitalah pihak yang paling berhak menyampaikan kebenaran dari Allah kepada seluruh umat manusia.
Menjadi rahmat
Kita adalah rahmat untuk seluruh umat manusia. Rahmat bagi yang jauh dan dekat. Rahmat dalam keadaan damai dan keadaan perang. Rahmat untuk Muslimin dan Muslimat. Rahmat untuk manusia dan binatang. Rahmat untuk Muslim dan non-Muslim. Rahmat untuk lingkungan sosial kita. Al-Quran sendiri yang terdiri dari 114 surat, semuanya diawali dengan bismillahirrahmanirrahim kecuali surat at Taubah. Ini menunjukkan bahwa sifat yang menonjol, dan melekat pada diri Allah SWT adalah Ar Rahman dan Ar Rahim. Rahmat-Nya agung, Rahmat-Nya selalu mengalir, membasahi seluruh alam. Panutan kita Rasulullah saw dalam peri hidupnya memiliki sikap kasih sayang. Demikianlah Allah swt memuliakan kita dengan Al-Qur’an dan Rasul-Nya.
Cobalah perhatikan, pernah dalam suatu pertempuran Rasulullah saw menyaksikan ada seorang perempuan yang ikut terbunuh. Lalu beliau mengatakan kepada para sahabatnya, ”Tidak mungkin perempuan ini ikut berperang sehingga ia tidak layak di bunuh.” Demikian rahmat Islam dalam peperangan. Rasulullah saw melarang umatnya untuk membunuh perempuan, anak-anak, orang tua, para pendeta, merusak tempat ibadah, memotong pohon. Perang adalah perkara yang sangat dibenci dalam Islam meskipun perang itu sebagai kenyataan yang dipaksakan dalam kehidupan. Itulah sebabnya Islam menjelaskan bahwa kita adalah rahmat untuk manusia sekalipun kita berperang.
Tidak ada manusia yang mencintai perang. Tidak ada manusia yang senang dengan pertumpahan darah. Oleh karena itu, ketika Rasulullah saw ada kesempatan untuk membunuh lawan-lawannya dalam peristiwa Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah), tapi itu tidak pernah dilakukan oleh beliau. Ketika seluruh orang Quraisy berkumpul di sekeliling masjidil Haram sebagai pihak yang kalah, Rasulullah saw bertanya kepada mereka, ”Apa yang kalian duga yang akan saya lakukan kepada kalian?” orang-orang Quraisy itu tertunduk dengan mengatakan, ”Kami menduga engkau pasti akan melakukan sesuatu yang baik bagi kami karena engkau adalah saudara kami yang mulia (akhun karim),” Kemudian Rasulullah saw mengatakan kepada mereka, ”idzhabu faantum thulaqa’. laa yatsriba ‘alaikumul yaum. (Hari ini tidak ada dendam. Hari ini kalian bebas semuanya. Pergilah semuanya, kalian bebas.
Lihatlah bagaimana Rasulullah memperlihatkan kasih sayang, ketulusan dan kecintaannya. Bandingkan dengan karikatur yang digambarkan oleh orang-orang Denmark tentang Rasulullah dengan kartun yang menggambarkan Rasulullah dikelilingi perempuan sambil menghunus pedang. Itu sangat berlawanan (kontradiktif) dengan kemuliaan dan kasih sayang Rasulullah saw. Karena ternyata fakta sejarah menunjukkan Rasulullah saw justru mampu memunculkan rasa kasih sayang hingga dalam situasi beliau mampu melakukan apa saja terhadap musuh-musuhnya.
Bila kewajiban kita adalah mensyukuri nikmat Islam, maka kita harus bangga dengan Islam, dan itu artinya kita harus istiqamah dan konsisten serta konsekwen dengan ajaran Islam. Tidak cukup dengan kata-kata bahwa kita adalah Muslim, tapi kita harus mengamalkan apa yang diajarkan oleh Islam. Islam harus mewarnai kehidupan kita, dalam cara berpikir, bersikap, merasa, dan dalam seluruh gaya hidup kita semuanya. Islam sebagai pengarah tunggal dalam segala aspek kehidupan kita. Aspek ideologi, politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan pertahanan keamanan.
Jika kehidupan ini tidak ditemani oleh Islam akan membuat pemburunya kecewa dan akan terjadi penyesalan sepanjang hayat.
Marilah kita jadikan Islam sebagai darah daging kita dan jati diri  kita. Di sinilah rahasia kemuliaan, kejayaan dan kemenangan kita secara  mikro dan makro. Tunjukkan keislaman kita dengan bentuk apa saja;  kepribadian, perilaku, pekerjaan dan hubungan. Di mana saja dan kapan  saja.  Sebab, jika orang Islam tak bangga dengan Islam-nya, di situlah  salah satu indikasi awal kemunduran Islam terjadi. Wallahu a’lam.
BEBERAPA waktu yang lalu, saya membaca sebuah karya tulis ilmiah yang disusun oleh seorang intelektual Mesir Syeikh Muhammad Quthub. Beliau dilahirkan dari keluarga terdidik dan agamis. Rupanya, faktor keluarga yang mengantarkan beliau memiliki reputasi yang baik di dunia Islam. Dosen pasca sarjana di Universitas Ummul Qura' itu pernah pula memperoleh hadiah nobel dunia Islam King Faishal Abdul Aziz atas karya spektakulernya setelah mengalami futur (stagnasi) dan berhasil mengkhatamkan al-Quran sebanyak 15 kali “Manhajut Tarbiyah Al-Islamiyyah Nadhariyyan Wa Tathbiqiyyan.”
Karya tulis beliau yang saya maksud berjudul “Hal Nahnu Muslimun?"  (Muslimkah Kita?). Berbagai buku karangan beliau yang pernah saya baca  menunjukkan bahwa beliau adalah akademisi inovatif, kreatif dan  produktif, yang sangat peduli dengan nasib yang menimpa bangsanya.  Beliau saudara kandung Sayid Quthub dan Hamidah Quthub.
Setelah  saya bolak-balik buku tersebut, saya sedikit merenung dan lahirlah  pertanyaan-pertanyaan sederhana yang cukup menggelitik, betapa berat dan  strategisnya membangun citra diri sebagai muslim di tengah-tengah  lingkungan social kita yang identik “sok sial”. Selanjutnya, saya bisa  membuat kesimpulan yang agak mudah dipahami, sesungguhnya persepsi orang  lain terhadap jati diri kita yang mewakili lingkungan strategis  berbanding lurus dengan keberhasilan kita dalam membangun citra diri.  Jika citra diri (gambaran mental) kita positif, orang lain  mempersepsikan kita kurang lebih sama. Dan demikian pula sebaliknya.
Saya juga membaca buku komunikasi, psikologi, sejarah, sosiologi sebagai bahan perbandingan (muqaranah) dalam memperkuat kualitas komitmen (iltizam)  keberagamaan saya. Menurut Stone (pakar psikologi social), sesungguhnya  penampilan adalah fase transaksi social yang menegaskan identitas para  partisan (pemeran-serta transaksi social tersebut). Penampilan itu,  sebagaimana adanya, bisa dibedakan dengan wacana yang kita  konseptualisasikan sebagai teks transaksi. Penampilan dan wacana adalah  dua dimensi yang kontradiksi dari transaksi sosial.
Penampilan tampaknya bersifat lebih fundamental. Ia memungkinkan,  menopang, menetapkan batas-batas, dan menyediakan ruang bagi  (perwujudan) berbagai kemungkinan wacana dengan jalan memastikan  kemungkinan-kemungkinan bagi diskusi yang bermakna. Satu amal lebih  fasih dari seribu kata-kata (lisanul hal afshahu min lisanil maqal),  meminjam sastra Arab.
Bila kita berjumpa dengan orang lain, kita  segera mengkategorikan orang lain dalam satu kategori yang terdapat  dalam laci memori kita. Kita akan secepatnya mengelompokkannya sebagai  mahasiswa, cendikawan, petani, pedagang, atau kiai.
Kita menetapkan kategori orang itu berdasarkan deskripsi verbal,  petunjuk proksemik, petunjuk kinestik, petunjuk wajah, petunjuk  paralinguistic, dan petunjuk artifaktual.
Proyek Besar Peradaban Kita ?
Al-Hamdulillah  wasy syukru lillah, hari ini kita kecipratan nikmat berislam. Berkat  perjuangan air mata dan darah yang istiqamah dan tidak mengenal lelah  pendahulu kita yang shalih (salafus shalih). Bahkan, kebanyakan  mereka mengakhiri hidupnya di medan dakwah. Para wali-wali dahulu  datang ke negeri ini, meninggalkan negeri dan tanah tumpah darah mereka  mengarungi samudra yang tidak bertepi karena mereka yakin bahwa Islam  ini adalah jalan kebenaran dan jalan keselamatan.
Di antara bukti faktualnya pada medan semantik membuktikan, kosa kata  yang digunakan bangsa Indonesia adalah inhearent dengan term Islam.  Islam yang datang ke Nusantara ini dengan cara damai dan mencerahkan  (merubah cara pandang dengan metode yang sistematis) telah menjadi  bagian yang tak terpisahkan dari budaya bangsa (refleksi dari keyakinan  yang dianut). Budaya senyum, sapa, supel, menghormati tamu, tepo sliro,  toleran, tegas dalam prinsip, tahan uji dalam menghadapi ujian,  paternalistik adalah turunan (derivasi) dari Islam.
Secara  historis, Islam adalah ajaran terakhir yang menyempurnakan ajaran  nabi-nabi sebelumnya dan terbukti hingga kini masih steril dari berbagai  penyimpangan tangan jahil manusia, maka pemeluknya berhak  menyebarkan  kebenaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Inilah konsekwensi sebagai  umat terakhir dari penutup para nabi dan utusan Allah SWT.
Jadi, kewajiban jihad dakwah secara otomatis terpikul pada setiap individu muslim, dalam kedudukan apapun dan dimanapun dan kapanpun. Maka setelah kita berhasil mengirimkan para mujahid dakwah secara terjun bebas di seluruh pelosok nusantara, dilanjutkan ekspansi dakwah ke luar negeri. Ke depan perwakilan Hidayatullah di luar negeri hal yang niscaya. Sehingga kita mengembalikan ketaatan manusia hanya kepada pemilik kehidupan, Allah SWT.
Itulah sebabnya di pundak seorang muslim terpikul tanggungjkawab yang tidak ringan. Islam sudah memberikan mediator untuk mengadakan muhasabah yaumiyyah, usbu’iyah, syahriyyah, ‘amiyyah atau marrotan fil ‘umr (sekali seumur hidup), secara berkesinambungan dan radikal. Betulkah kehidupan kita secara individu, keluarga, masyarakat, baik aspek ideologi, sosial, kebudayaan, politik, keamanan merujuk keislaman yang sudah kita anut salama ini? Inilah proyek besar peradaban kita !. Menata ulang persepsi, perasaan, perilaku mereka agar selaras dengan referensi Islam itu sendiri.
Hanya saja, yang perlu menjadi catatan penting, bahwa pesan Islam  tidak akan sampai kepada obyek dakwah hanya dengan ceramah-ceramah,  makalah-makalah, seminar-seminar, orasi-orasi, diskusi-diskusi,  diplomasi-diplomasi (katsratur riwayah).  Justru, Islam sampai  menerobos dinding-dinding pembatas teritorial dunia ini dengan  akhlak/moralitas yang melekat dalam diri para muballigh itu sendiri.  Akhlak yang mulia itu merupakan gambaran dari kekokohan iman/keyakinan.
وَقَالَ  لِفِتْيَانِهِ اجْعَلُواْ بِضَاعَتَهُمْ فِي رِحَالِهِمْ لَعَلَّهُمْ  يَعْرِفُونَهَا إِذَا انقَلَبُواْ إِلَى أَهْلِهِمْ لَعَلَّهُمْ  يَرْجِعُونَ
فَلَمَّا رَجِعُوا إِلَى أَبِيهِمْ قَالُواْ يَا أَبَانَا  مُنِعَ مِنَّا الْكَيْلُ فَأَرْسِلْ مَعَنَا أَخَانَا نَكْتَلْ وَإِنَّا  لَهُ لَحَافِظُونَ
"Ingatlah sesungguhnya para kekasih Allah  itu tidak ada ketakutan dan kesedihan hati pada mereka. (Yaitu)  orang-orang yang beriman dan selalu  bertakwa (memelihara iman dengan  akhlak) (QS. Yunus (10) : 62-63)."
Jadi, yang menjadi  tantangan dakwah ke depan adalah bagaimana kita mendekatkan jarak diri  kita dengan refrensi Islam itu sendiri. Setiap individu muslim adalah  sebagai alat peraga dakwah. Kita dituntut menjadi al-Quran dan al-Hadits  yang beroperasi secara kongkrit di jalan raya, pasar, gedung parlemen,  lembaga pendidikan, tempat-tempat wisata, dan di tempat-tempat yang  lain. Karena semua medan kehidupan menghajatkan untuk ditemani Islam,  agar tidak membuat pemburunya kecewa. Terjangkiti oleh penyakit manusia   modern, yaitu krisis makna.*
HARI ini kita menyaksikan sebuah fenomena yang menyedihkan, betapa keindahan dan kemuliaan Islam tidak menjadi magnit power (daya tarik) bagi lingkungan sosialnya? Mengapa Islam yang secara tekstual sebagai rahmat bagi seluruh alam dan ya’lu wa la yu’la ‘alaihi ini tidak dinantikan kehadirannya? Justru, Islam yang menyejukkan dan mencerahkan pikiran dan hati itu mendapatkan citra buruk (stigma negatif), menyimpan keshalihan ritual sekaligus criminal secara sosial?
Inilah sebuah pertanyaan yang memilukan hati kita sebagai seorang Muslim.
Kalau  boleh menjawab dengan logika sederhana dan mudah,  meminjam sebuah  statemen seorang ‘alim dari Mesir, Syeikh Muhammad Abduh: "Al Islamu mahjubun bil muslimin" (keimuliaan Islam ditutupi oleh perilaku oknum orang Islam itu sendiri).
Saya yakin, pernyataan yang diucapkan 50 tahun yang silam itu tidak muncul secara spontan, tetapi melewati sebuah penelitian yang panjang. Bahwa, perilaku yang salah dalam berislam diakibatkan oleh pemahaman yang salah secara fatal tentang islam.
Kesalahan dalam memahami dinul Islam (agama Islam) berefek pada kesalahan krusial dalam mengkomunikasikan dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Saya pernah mendengar cerita ekonom Islam, Dr Syafii Antonio di salah  satu forum diskusi,  bahwa ayah beliau siap masuk Islam dengan beberapa  persyaratan, jika orang Islam berhenti dari sikap mental jorok,  menghindari korupsi, sandal aman ketika pergi ke masjid, waktu haji  berhenti dari berbicara pornografi (rafats) dan meninggalkan  kebiasaan senang berdebat. Kebanyakan mereka masuk Islam sebelum  menyaksikan perilaku pemeluknya. Kita yakin kesalahan krusial dalam  membumikan Islam karena kesalahan fundamental dalam memahami subtansi  Islam itu sendiri. Bukankah kita memiliki saham yang besar dalam menodai  kemurnian ajaran Islam?
Ÿوَلاَ يُنفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً  وَلاَ كَبِيرَةً وَلاَ يَقْطَعُونَ وَادِياً إِلاَّ كُتِبَ لَهُمْ  لِيَجْزِيَهُمُ اللّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
وَمَا كَانَ  الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ  مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ  قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak  (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan  bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada  mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Tidak  sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa  tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang  untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi  peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya  mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah (9) : 121-122).
"Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan pada sesorang, maka ia memahamkannya dalam urusan agamanya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Bukankah  hari ini kita menyaksikan orang yang menyatakan dirinya Nasrani yang  jarang pergi ke gereja, orang islam setahun sekali ke masjid, orang  Hindu yang sering absen di kuil, orang yang Yahudi yang tidak pernah  menyentuh tempat ibadahnya Sinagog kecuali kepepet.
Lihatlah para ulama terdahulu sejak usia kanak-kanak sudah menghafalkan al-Quran dan isinya 30 juz. Sehingga al-Quran menjadi darah dagingnya.
Sekarang, marilah kita memotret kualitas keislaman umat Islam sekarang, bukankah hari ini kita menyaksikan orang Islam belajar islam setelah pensiun.
Bagaimana mungkin agama yang mulia ini diperjuangkan dari sisa umur dan sisa tenaga?
Pandangan yang sangat ironis belakangan ini, bukankah masjid yang semula dibangun untuk meningkatkan kualitas taqwa (ussisa littaqwa) beralih fungsi menjadi ajang kampanye kepentingan golongan tertentu. Terasa, kurang sakral lagi sebagai media untuk tawajjuh, tabattul dan taqarrub ilallah.
Kita khawatir dengan peringatan Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya, masajiduhum ‘amiratun faraghun minal huda (dilihat dari sisi bangunan masjid tersebut mentereng tapi kosong dari petunjuk). Kita tidak at home lagi untuk beribadah di dalamnya. Inilah tanda-tanda kiamat shughra.
Al-Quran Sebagai Manhaj
Jadi,  al Quran diturunkan untuk diamalkan, bukan untuk menghiasi  dinding-dinding tetapi untuk menghiasi kehidupan manusia secara lahir  dan batin. Dengan mengamalkan isinya kehidupan manusia semakin hidup  (yang bermakna), tidak sekedar hidup.
Al Quran diturunkan pula bukan untuk dibacakan kepada orang yang telah meninggal, tetapi meluruskan dan mencerahkan perjalanan kehidupan orang yang hidup. Al Quran diturunkan untuk mengatur manusia dan mengeluarkan mereka dari kegelapan ke arah cahaya. Akan tetapi sayang sekali kita sebagai umat Islam, bertolak belakang dengan al Quran.
Kita adalah ummat yang dibimbing dengan spirit Surat Asy-Syura (musyawarah), tetapi kita tidak pandai melakukan musyawarah. Kita adalah ummat yang memiliki surat Al Hadid, tetapi kita tidak pandai membuat industri besi. Kita ummat yang didorong dengan perintah iqra (bacalah), tetapi kenyataannya ummat kita adalah bangsa yang paling bodoh dan terbelakang dalam hal ilmu pengetahuan.
Kita adalah ummat yang diintrodusir untuk mengembara mencari ilmu, sekalipun ke negeri China, tetapi kita adalah ummat yang sempit pandangan dan miskin wawasan. Kita adalah ummat yang diperintahkan bertebaran di muka bumi untuk mencari karunia yang disimpan di perutnya, tetapi kita adalah ummat yang tidak pandai berniaga. Bahkan, kita terpuruk secara ekonomi. Kita dimotivasi untuk memiliki kekuatan, tetapi kita terbelakang secara militer pada saat dunia memamerkan kekuatan militernya. Jika demikian keadaannya, betapa rendahnya kedudukan al-Quran di dalam hati kita?
Agar kita menjadi orang-orang yang berorientasi al-Quran, hendaklah al-Quran menjadi penuntun dan pemandu seluruh kehidupan kita (manhaj). Sehingga al-Quran merubah kehidupan kita sebagaimana isi al0Quran – yang kini di hadapan kita yang masih otentik dan orisinil, masih gadis, meminjam istilah Muhammad Abduh – telah merombak pola pikir dan sikap mental para sahabat secara totalitas.
Marilah kita perbaiki pemahaman dan kita luruskan sikap kita yang terlanjur bengkok terhadap kitab suci, dengan ta’wid (pembiasaan membaca sejak usia dini) tilawah yang benar, tasmi’, (mendengarkan dengan merenungi isinya) tafhim (memahami), ta’lim (mengajarkan kepada orang lain), tathbiq (mengamalkan), kemudian mengajak orang lain ke jalan al-Quran tersebut.
Inilah yang dimaksud al-Quran sebagai manhaj. Mendekatkan jarak antara idealitas dan realitas. Mensinergikan antara cita-cita dan fakta di lapangan. Antara tekstual dan kontekstual. Antara pemahaman secara literal dan menerjemahkan di ranah public. Memadukan antara kualitas keilmuan dan keterampilan mengamalkannya. Antara kemampuan menyerap kandungan isinya dan mendokumentasikan dan membahasakannya di benak publik.
Karena, fiqhusy Syariah memerlukan fann (seni) tersendiri dan mengkomunikasikan di lingkungan sosial memerlukan fann (seni) yang lain (fiqhud dakwah), demikian istilah Imam Syafii.
Jadi disamping kita dituntut memahami maddatud dakwah (materi dakwah), tidak kalah pentingnya adalah menguasai maidanud dakwah (obyek dakwah). Jika kita sudah berinteraksi dengan umat, mereka tidak mempertanyakan tentang wacana kita, tetapi apa yang bisa diperankan untuk memberikan pelayanan terhadap mereka.
Yakni menjadikannya tata acuan dalam berpikir, berprilaku dan rujukan  tata kelola kehidupan secara infiradi dan jama’i. Kita mustahil  mendakwakan al-Quran jika kita sendiri tidak memahaminya dengan benar  dan memiliki pengalaman yang unik dalam mengamalkannya. Al Quran bisa  menjadi pembelamu (hujjatun laka) atau saksimu yang memberatkan (hujjatun ‘alaika) di akhirat kelak, begitu kata Rasulullah SAW.
“Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Quran kepada mereka, mereka berkata:  "Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu ?" Katakanlah: "Sesungguhnya  aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Quran  Ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi  orang-orang yang beriman." Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka  dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu  mendapat rahmat[mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri] (QS. Al  Araf (7) : 203-204).”
Untuk mengakhiri muhasabah usb’uiyah  (intropeksi pekanan) pada momentum hari Jumat ini baiklah kita mengutip  dua ayat  firman Allah SWT dalam surat ash Shaf (61) dan Al Jumu’ah  (62).
“Wahai orang-orang yang beriman ! Mengapa kamu  mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan ?. (Itu) sangatlah dibenci  di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS.  Ash Shaf (61) : 2-3).”
Mudah-mudahan kita mampu menjadi individu dan umat terbaik (khoirul bariyyah) sepanjang zaman.*

Tidak ada komentar:
Posting Komentar