Powered By Blogger

Senin, 07 Februari 2011

PSIKOLOGI


[9.jpg]
ANAK SEKARANG CEPET GEDE



Tiba masanya seorang anak beranjak remaja. Berbagai perubahan terjadi pada fisik dan psikis anak di masa pubertas. Perubahan ini kadang membingungkan mereka, apalagi bila masa pubertas itu datang terlalu dini.
Banyak definisi tentang pubertas, tapi intinya pubertas adalah masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa ini terjadi pada kisaran usia 11 atau 12 tahun, bisa lebih cepat atau lebih lambat. Selain perubahan fisik dan psikis, pubertas menunjukkan kematangan fungsi seksual, pada anak perempuan ditandai keluarnya haid pertama (menarche). Sedangkan pada anak laki-laki munculnya “mimpi basah”.
Beberapa tanda fisik pun menyertai tahapan ini. Pada anak perempuan, antara lain, mulai membesarnya payudara, tumbuhnya rambut di ketiak dan kemaluan, keringat yang bertambah banyak, dan panggul yang melebar. Sementara pada anak laki-laki, suara menjadi lebih berat, tumbuhnya rambut di ketiak, kemaluan dan di wajah (kumis, jenggot), tumbuh jakun, keringat yang bertambah banyak, otot menguat dan sebagainya.
Takut karena tak paham
Masalah psikologis yang biasanya dihadapi anak-anak yang mengalami pubertas, kata Psikolog Nurul Annisa, M.Psi, lebih banyak disebabkan adanya ketidaknyamanan dan ketidakpahaman terhadap perubahan fisik yang mereka alami. Munculnya jerawat, bau badan, bentuk tubuh yang mulai berubah di sana sini, kadang membuat sebagian anak merasa tak nyaman, bahkan timbul rasa tidak percaya diri.
Keadaan ini tak bisa dibiarkan berlarut karena berimbas pada perkembangan psikologi anak selanjutnya. Bila rasa tak percaya diri ini dibiarkan, kelak bisa menciptakan konsep diri negatif pada anak. Maka yang mesti dilakukan adalah memberi pengertian tentang keadaannya. “Ketidakpahaman ini akan berangsur pulih ketika anak membicarakannya dengan orang yang lebih mengerti, seperti orangtua atau gurunya,” jelas psikolog di Klinik Kancil, Kemang, Jakarta Selatan ini.
Tentu itu bisa dilakukan bila sudah tercipta komunikasi yang baik antara orangtua dan anak agar mereka tidak mendapat informasi yang salah dan menyesatkan soal perubahan yang mereka alami.
Namun, diakui Nurul, anak-anak kini kebanyakan sudah mengetahui apa yang akan mereka alami saat puber melalui media (termasuk internet) yang semakin mudah mereka akses. Sebagian sekolah dasar pun memberikan materi pendidikan seks yang memberi wawasan seks yang tepat pada anak. Jadi, ketika mereka benar-benar mengalaminya, tak ada rasa takut atau cemas lagi.
Pubertas terjadi semakin dini
Bila umumnya pubertas terjadi di usia sekitar 11 atau 12 tahun, ternyata belakangan ini usia pubertas semakin muda saja. Misalnya, anak perempuan 8 tahun sudah menstruasi. Atau, anak laki-laki usia 11 tahun tapi tubuhnya menyerupai remaja 17 tahun. Kondisi ini disebut pubertas dini.
Nurul menjelaskan bila kondisi pubertas dini semakin sering terjadi, semakin banyak anak yang cepat “gede”, terutama secara fisik. Semua itu tak terlepas dari faktor asupan makanan dan lingkungan. “Secara biologis, pubertas dini bisa disebabkan makanan. Misalnya makanan siap saji yang tidak sehat yang berperan pada peningkatan hormon-hormon reproduksi dan pertumbuhan. Sementara faktor lingkungan, terutama dipengaruhi oleh media dan mudahnya mengakses internet,” papar ibu tiga anak ini.
Lingkungan memang tidak berpengaruh terhadap hormon, namun lebih terhadap persepsi anak tentang dunia orang dewasa. Dari film yang mereka tonton, mereka bisa menganggap pacaran adalah hal yang lumrah dan wajar dilakukan. Tak heran bila anak usia sekolah dasar sudah berpacaran. Parahnya, masih kata Nurul, mereka bahkan menganggap pelukan dan ciuman bukan sesuatu yang tabu lagi. Inilah kenapa orangtua harus mengawasi media yang dikonsumsi anak demi menjaga nilai-nilai pendidikan yang selama ini ditanamkan orangtua, termasuk pendidikan agama.
Tak beda jauh dengan anak-anak yang mengalami puber secara normal, masalah yang dihadapi anak yang puber dini adalah ketidakpahaman. Pertumbuhan mereka yang mendahului anak-anak lainnya bisa juga memicu stres karena mereka merasa berbeda. Mereka merasa lebih tua daripada teman-temannya.
Lagi-lagi, peran orangtualah untuk memberi pemahaman kepada anak bahwa yang mereka alami adalah tahapan yang wajar, meski terjadi lebih dulu dibanding teman-temannya. Sementara itu, walau penampilan dan fisiknya anak yang mengalami pubertas dini ini lebih dewasa dari anak seusianya, tetap perlakukan mereka sesuai usianya.
Perhatikan pula pergaulan mereka agar tak keluar jalur. Mungkin karena tubuh dan penampilannya itu mereka merasa pantas bergaul dengan teman-teman remaja. Sebenarnya secara psikologis, termasuk pola pikir, mereka belum siap menjalani pergaulan yang lebih dewasa. Pendampingan orangtua amat dibutuhkan di sini.
Anak memang tak selamanya menjadi anak-anak. Cepat atau lambat mereka beranjak remaja dan kemudian dewasa. Adalah tugas orangtua untuk memahami setiap tahapan perkembangan anak, hingga mampu mengatasi masalah yang timbul dalam perjalanan hidup seorang anak, termasuk saat anak mengalami pubertas dini.








JANGAN REMEHKAN TANGISAN BAYI

Kata orang, tangisan bayi adalah suara terindah bagi ayah ibunya. Tak hanya suara tanpa makna, sesungguhnya tangisan bayi memiliki maksud yang ingin dibaginya kepada orang di sekelilingnya.
Seorang bayi akan langsung menangis sesaat setelah dilahirkan sebagai tanda kehidupannya. Untuk beberapa bulan ke depan, tangisan inilah yang jadi penghubung bayi dengan orangtua dan orang-orang di sekitarnya, sebelum akhirnya bayi mulai bisa bicara dan mengungkapkan kebutuhan dan perasaannya dengan kata-kata.
Tangisan dan bahasa tubuh
“Bagi bayi, menangis adalah perilaku yang wajar. Ini adalah cara berkomunikasi yang diketahui bayi pada usia 3–4 bulan pertama,” terang Vera Itabiliana K. Hadiwidjojo, psikolog anak dan remaja di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia.
Untuk kebutuhan atau keluhan apapun si bayi hanya bisa menggunakan tangisannya guna menarik perhatian sekaligus mengomunikasikan kebutuhannya tersebut. Dari tangisan inilah orangtua atau orang lain di sekitar si bayi akan mengetahui apa yang diinginkan bayi. Umumnya makin keras suara tangisan, makin kuat atau mendesak pula kebutuhannya. Pada semua kondisi yang membutuhkan bantuan orang di sekitarnya, si bayi akan menangis; dari kondisi sakit sampai kekenyangan.
Tak hanya tangisan, biasanya bayi pun menyertakan bahasa tubuh untuk memperkuat maksudnya. Misal, bila terlalu kenyang, bayi akan menangis sambil muntah. Atau bila bayi merasa bosan, ia menangis sambil memainkan jari-jarinya. Tangisan dan bahasa tubuh ini saling menunjang (lihat Inilah Makna Tangisan Bayi Anda). “Umumnya setelah tiga bulan akan terbentuk bahasa khas yang dimengerti oleh ibu dan bayi,” imbuh lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Sampai akhirnya terjadi pengertian antara ibu dan bayi, tentu saja si ibu mesti mempelajari maksud tangis si kecil. Baru kemudian si ibu akan tahu kalau setiap kali bayi menangis, bukan selalu berarti popoknya basah atau ingin menyusu.
Untuk mempermudah proses pengenalan ini, Vera mengungkapkan satu metode yang dikenal sebagai metode SLOW (Slow, Listen, Observe, What’s up). Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut;
Slow. Saat bayi menangis, jangan langsung menggendongnya atau langsung memberikan ASI, karena bisa jadi bukan itu yang diperlukannya. Jadi perhatikan dulu apa yang sesungguhnya dibutuhkan bayi. Perlahan dan tenang saja. Selain memerhatikan, ibu juga bisa mengajak bayi bicara dan menanyakan apa yang diinginkannya. “Meski belum bisa bicara, bayi bisa mendengar perkataan kita,” imbuh ibu satu putra ini.
Listen. Lalu dengarkan tangisan seperti apa yang disuarakan si bayi, apakah tangis karena haus dan lapar, karena lelah, kedinginan dan sebagainya.
Observe . Teliti lagi apa yang menyebabkannya menangis. “Tak ada bayi yang menangis tanpa sebab. Pasti ada sebabnya,” kata Vera. Kita bisa tahu penyebabnya dari tangisannya atau dengan memeriksa keadaan si bayi, dari kondisi tubuh dan keadaan sekelilingnya.
What’s up . Setelah tahu penyebabnya, barulah ibu dapat melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan si bayi.
Biasanya pada tiga bulan pertama, bayi menangis semata karena kebutuhan fisik saja. Sementara kebutuhan psikologi―misalnya kebutuhan ingin lebih diperhatikan―baru bisa diungkapkan si bayi setelah berusia 3 bulan ke atas. Baik kebutuhan fisik maupun psikologi tentu saja harus bisa dipenuhi orangtua atau orang-orang di sekeliling bayi dengan sebaik-baiknya.
Ada mitos yang berkembang di masyarakat, kalau bayi menangis sebaiknya dibiarkan saja supaya tidak manja dan agar fisiknya kuat. Itu tidak benar. Menurut Vera, jangan membiarkan bayi menangis terlalu lama tanpa usaha orangtua untuk mengetahui penyebabnya. Tentu saja jangan langsung menggendong setiap kali bayi menangis. Namun berikanlah respons positif untuk setiap tangisannya, misalnya dengan menyentuh atau mengajaknya bicara. “Di sinilah akan terbentuk trust (kepercayaan – red) bayi pada orang-orang di sekitarnya yang menjadi dasar perkembangan selanjutnya. Dengan diberi respons bayi akan merasa nyaman, dimengerti, disayang dan diinginkan kehadirannya di dunia ini,” papar perempuan kelahiran 35 tahun silam ini.
Bila bayi menangisi dibiarkan terus tanpa direspons positif, bisa jadi kelak anak akan tumbuh menjadi anak yang rendah diri karena ia merasa kurang diperhatikan. Lagipula, bayi hanya menangis bila benar-benar membutuhkan sesuatu, baik kebutuhan fisik maupun psikologis. Sebab, sebagai makhluk paling murni bayi tak mungkin berpura-pura dan memanipulasi tangisannya.
Orangtua harus tenang
Walaupun bayi menangis adalah hal wajar, perlu diwaspadai bila bayi menangis dengan kondisi tertentu. Pertama, bila bayi yang biasanya tenang, tiba-tiba menangis selama 2 jam atau lebih. Semua cara sudah dilakukan untuk menenangkan bayi namun tak berhasil. Kedua, bila bayi menangis disertai demam, kejang, muntah, muka pucat dan sebagainya.
Bila ini terjadi, kemungkinan si bayi sakit. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan meminta bantuan keluarga terdekat atau tetangga yang sudah berpengalaman menangani bayi. Biasanya mereka lebih tenang dan bisa memberikan jalan keluar. Kalau memang kondisi bayi parah, tentu harus secepatnya dicarikan bantuan medis. Si ibu sendiri biasanya secara naluri juga akan tahu bila bayinya sakit atau sekadar cari perhatian saja. Naluri ini, kata Vera, ada dalam diri perempuan seketika ia menjadi ibu.
Namun begitu, dalam menghadapi tangisan bayi sekencang atau selama apapun, ibu harus tetap tenang. Kegelisahan ibu dalam menangani bayinya yang menangis akan “menular” pada si bayi. Alih-alih tenang, bayi akan semakin rewel dan tak berhenti menangis. Jika sulit untuk tetap tenang, sebaiknya ibu meminta bantuan orang di sekitarnya, seperti suami, nenek, atau pengasuh. Sementara bayi ditangani orang lain, ibu bisa menenangkan diri dahulu.
“Anak-anak itu sangat sensitif terhadap perilaku orangtuanya,” tegas Vera, “mereka akan merasakan, misalnya, ketidakikhlasan orangtua menghadapi mereka.” Karena itu ketenangan yang berawal dari keikhlasan amat dibutuhkan dalam menghadapi bayi. Buatlah bayi nyaman dalam dekapan. Perdengarkan suara berirama dari suara kita sendiri atau dari media lainnya, bisa berupa nyanyian lembut, musik klasik, atau lantunan zikir. Lalu ayun bayi perlahan sambil memijat lembut bayi. Beri sesuatu untuk diisap, jika masih menyusu biarkan ia menyusu.
Ada bayi yang relatif lebih sering menangis dibandingkan bayi lainnya. Karena bayi menangis pasti dengan sebab, bayi yang sering menangis atau rewel ini kemungkinan disebabkan ia merasa kebutuhannya belum terpenuhi dengan baik. Ia terus menangis untuk mengomunikasikan kebutuhannya yang belum dipenuhi tersebut. Cepatlah cari tahu apa yang ia butuhkan karena bayi yang merasa kebutuhannya tidak terpenuhi akan tumbuh dengan rasa ketidakamanan dan ketidakpercayaan pada lingkungannya.
Jadi, jangan pernah remehkan tangisan si bayi

Inilah Makna Tangisan Bayi Anda
Psikolog Vera Itabiliana, mengutip buku karya Tracy Hogg dan Melinda Blau, Secrets of the Baby Whisperer: How to Calm, Connect, and Communicate With Your Baby, mengungkapkan kurang lebih ada 10 hal yang bisa kita identifikasikan berkenaan dengan tangisan dan bahasa tubuh bayi.
Apa saja sih maksud yang ingin diungkapkan bayi dengan tangisannya? Berikut penjelasannya.
  1. Lelah
Tangisan : iawali dengan rewel/marah/rengekan, jeritan pendek, tangisan keras, jeda pendek, tangisan lebih panjang dan keras, terus menangis sampai tertidur.
Bahasa tubuh: Menguap, punggung meregang ke belakang,kaki menendang, menggapai kemana-mana, mengusap wajah, menggeliat, wajah merah padam.
  1. Terlalu banyak rangsangan
Tangisan: Panjang dan keras.
Bahasa tubuh : Lengan dan tungkai bergerak ke mana-mana, kepala menjauh dari cahaya, berpaling dari ajakan bermain.
  1. Bosan
Tangisan: Rewel/marah, bukan tangisan langsung.
Bahasa tubuh: Berpaling/menjauh, bermain dengan jari.
  1. Sakit/Nyeri
Tangisan: Jeritan tinggi tiba-tiba,menahan nafas di antara jeritan.
Bahasa tubuh : Tubuh menegang, menarik lutut ke arahdada, wajah mengernyit, lidah menggulung ke atas.
  1. Lapar
Tangisan: Diawali batuk kecil, lalu tangisan pendek, menetap dan berirama.
Bahasa tubuh : Menjilat bibir, lidah menjulur, kepalaberpaling ke samping, menarik genggaman tangan ke arah mulut
  1. Kedinginan
Tangisan: Menangis kencang dengan bibir bawah gemetar.
Bahasa tubuh : Timbul bintil merinding, mungkin menggigil, anggota tubuh terasa dingin, kulit kebiruan.
  1. Kepanasan
Tangisan: seperti terengah-engah, awalnya suara rendah, lalu menangis.
Bahasa tubuh : Berkeringat, nafas tak teratur, bercak merahpada kulit.
  1. Ingin dipeluk/digendong
Tangisan: “uuuu”, berubah “waa” pendek seperti anak kucing, hilang begitu diangkat.
Bahasa tubuh: Memandang sekeliling.
  1. Kekenyangan
Tangisan : Rewel setelah menyusu atau makan.
Bahasa tubuh : Muntah.
  1. Ingin buang air besar
Tangisan: Menggumam atau menangis ketika sedang makan atau menyusu.
Bahasa tubuh : Menggeliat, menekan tubuh ke bawah, berhenti menyusu, pup.








ANAK PEMARAH, SEMUA SERBA SALAH

Pada usia tertentu, anak sering marah adalah wajar. Namun, bila melewati masa-masa itu anak masih tetap sering marah, bahkan disertai kekerasan fisik, seperti memukul, melempar, menendang dan sebagainya, orangtua tak bisa lagi tinggal diam.

Karena keinginannya tak dituruti, Rian (5 tahun) menangis sambil mengamuk. Ia menendang-nendang dan memukul ibunya yang berusaha menenangkan. Walau begitu, sang ibu tetap sabar, memeluk dan membujuk anaknya dengan suara lembut. Sungguh tak mudah, apalagi mereka saat itu berada di tempat umum.

Pemandangan seperti itu mungkin pernah kita temui dalam keseharian; anak yang mengamuk, entah anak kita sendiri atau anak-anak lainnya. Tak hanya menangis dan menjerit-jerit, kadang kemarahan anak-anak ini disertai kata-kata kasar, membanting atau melempar benda-benda yang ada di sekitarnya. Tak jarang juga memukul dan menendang orang. Bujukan dan kata-kata lembut untuk menenangkan, tidak mempan. Banyak orangtua yang kehabisan akal dalam menghadapi perilaku anak ini, bahkan tak jarang ikut terbawa emosi dan jadi ikut-ikutan marah. Semua jadi kacau dan tak terkendali.

Marah yang wajar dan tidak wajar

Pada rentang usia tertentu, kemarahan yang tiba-tiba memang biasa dan wajar saja dialami oleh anak. Mereka bisa marah karena sebab apa pun, bahkan yang menurut orangtua sebab-sebab remeh. Kemarahan yang seperti ini diberi istilah temper tantrum atau tantrum saja. Masa-masa anak mengalami temper tantrum biasanya pada usia 2 – 5 tahun atau masa-masa prasekolah.

“Pada usia ini,” jelas Devi Ayutya Wardhani, M.Psi, psikolog anak di Optima Psychology, “perkembangan bahasanya memang masih terbatas, sehingga saat ia mengalami emosi ia belum paham bagaimana cara mengekspresikannya. Dia merasa tak nyaman, misalnya ketika mainannya direbut adik atau kakaknya. Dia ingin mengekspresikan ketidaknyamanan emosinya, yah akhirnya ia membentak, berguling-guling, menangis sebagai ekspresi emosi dia.” Dengan bertingkah seperti itu si anak berharap orang di sekitarnya tahu kalau ia sedang marah.

Ada dua jenis ekspresi kemarahan, lanjut Devi yang juga menjadi konsultan di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia. Pertama, reaksi marah yang impulsif atau agresif, seperti perilaku menendang, melempar dan berguling-guling. Kedua, reaksi marah yang terhambat. Anak dengan reaksi kemarahan yang terhambat, pada saat dia marah dia akan cenderung menarik diri dan menghindari orang yang menyebabkan dia marah.

“Kalau anak kecil itu justru yang sehat adalah kemarahan yang keluar tadi. Kalau pada saat dia marah, dia malah menarik diri, diam, orang tak akan tahu apa yang dia rasakan. Dalam kondisi seperti itu, justru harus dicari penyebab kenapa anak ini tak bisa mengekspresikan emosinya. Apa kira-kira yang menghambat dia. Karena normalnya anak-anak itu adalah makhluk yang paling jujur dan spontan, hingga apa yang ada dalam pikirannya langsung dikeluarkan,” terang ibu 3 anak ini.

Ketika usianya sudah lebih besar atau pada usia 6 tahun ke atas semestinya kemarahan yang meledak-ledak seperti itu tidak terjadi lagi. Sebab, pada usia-usia tersebut perkembangan bahasa anak sudah semakin meningkat. Mereka sebenarnya sudah dapat mengekspresikan kemarahan dengan cara yang lebih positif, seperti penggunaan kata-kata yang lebih terarah, misalnya dengan kata-kata aku marah adik mengambil mainanku. Tanpa tangisan dan jeritan, orangtua atau orang lain di sekitarnya tahu si anak sedang marah. “Nah, kalau sudah sekolah atau usia 6 tahun ke atas, si anak marahnya masih guling-guling dan lempar-lempar barang, itu sudah tidak normal lagi,” kata Devi, yang menyelesaikan S2 Psikologi dengan kekhususan klinis anak di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 2007 ini.

Bila setelah usia 6 tahun si anak masih gampang marah dengan cara kekerasan tadi, ada kemungkinan ia melihat dan mencontoh perilaku itu dari orang terdekatnya. Misalnya, tambah Devi, anak melihat bila ayah dan ibunya marah mereka berteriak-teriak atau barang-barang di rumah “beterbangan”, maka si anak akan belajar bahwa memang begitulah caranya mengekspresikan kemarahan. Tak ayal, mereka pun akan menirunya.

Orangtua pemarah, anak jadi pemarah?

Anak yang gampang atau sering marah acap dikaitkan dengan sifat orangtuanya. Orang menganggap anak yang pemarah bisa jadi karena orangtuanya juga pemarah. Devi mengakui bahwa faktor keturunan juga memengaruhi anak untuk bersifat pemarah, entah dari pihak ibu atau pihak ayah. Anak dapat mewarisi sifat temperamental, gampang marah dan gampang tersinggung dari kedua orangtuanya.

Faktor lingkungan juga tak kalah besarnya dalam memberi pengaruh pada anak. Bahkan, kata Devi, faktor lingkungan inilah yang memberi andil lebih besar bagi anak untuk menjadi pemarah dibanding faktor keturunan. Selain mencontoh dari perilaku orangtua yang kalau marah meledak-ledak tadi, anak-anak juga bisa terpengaruh dari lingkungan di luar keluarganya. Entah dari pengasuh, teman atau dari tontonan yang dilihatnya. Mereka tak akan bisa meluapkan kemarahan dengan kata-kata kasar dan kotor, melempar, menendang, memukul, membanting dan sebagainya bila anak tidak pernah mendengar kata-kata itu dari lingkungannya. Dengan kata lain, mereka pasti pernah melihat atau mendengar ekspresi marah yang demikian entah dari mana sebelum kemudian mencontohnya.

Pola asuh yang salah juga bisa membentuk anak jadi pemarah. Contohnya, ketika anak mengalami masa temper tantrum orangtua selalu mengatasi tantrumnya dengan menuruti segala keinginan anak. Saat anak marah dan menangis ingin dibelikan ini itu, apalagi disertai aksi guling-gulingan di tempat umum, orangtua lantas saja menuruti keinginan anak agar tangisnya cepat berhenti. Ketika besoknya anak menangis lagi dan orangtua menurutinya lagi, maka anak akan merasa dengan kemarahan dan “aksi” yang ditunjukkannya ternyata menguntungkan baginya. “Berarti perilaku anak yang demikian dikuatkan terus oleh orangtua,” kata Devi. Bisa dibayangkan bahwa selanjutnya anak akan terus menggunakan kemarahannya untuk mendapatkan semua yang diinginkannya.

Lagi-lagi orangtua harus mampu bersikap konsisten. Bila sekali bilang ‘tidak boleh’, seterusnya harus bilang ‘tidak boleh’. Jangan terperangkap kemarahan dan tangisan anak hingga akhirnya menuruti keinginan anak, walaupun yang diinginkan anak itu semula dilarang orangtua. Kalau orangtua tak konsisten, anak akan bingung, sebenarnya hal itu boleh atau tidak.

Tak jarang terjadi anak yang semula amat manis tiba-tiba menjadi pemarah. Orangtua harus jeli dalam mencari pemicu kemarahan anak tersebut. Bisa jadi si anak sering marah lantaran cemburu karena ia menganggap orangtua lebih memerhatikan adik baru, misalnya. Dengan luapan kemarahan tersebut ia berharap kembali mendapat perhatian dari orangtuanya. Pada kasus kemarahan seperti ini orangtua harus bisa membuktikan bahwa kasih sayang mereka tetap tercurah buat anak itu walau kini ia telah punya adik.

Menangani kemarahan anak

Perilaku anak yang gampang marah ini, apalagi bila telah melewati masa temper tantrum, tentu tak bisa dibiarkan. Orang-orang di sekeliling anak tentu tak merasa nyaman dengan sikap ini. Tak ada perilaku yang tidak bisa diubah. Bahkan walaupun merupakan keturunan, sifat pemarah tetap bisa diarahkan kepada perilaku yang lebih baik. Devi memberi beberapa poin penting yang mesti diperhatikan orangtua dalam menangani sifat pemarah anak.

Pertama, berikan contoh bagaimana menyalurkan kemarahan dengan cara yang positif. “Apa yang dilihat dan didengar anak setiap hari, itulah yang diserap dan diterapkannya. Kalau mau anak ini berubah, ya suasana di rumahnya juga harus berubah. Sebisa mungkin anak dijauhkan dari lingkungan yang negatif sehingga mereka punya model yang bagus untuk perilaku mereka,” saran wanita kelahiran Jakarta, 29 tahun silam ini.

Kedua, binalah selalu komunikasi yang baik dengan anak. Dengan komunikasi yang lancar dalam kondisi apapun anak tetap bisa mengungkapkan perasaan dan emosinya kepada orangtua, walaupun yang ingin diungkapkannya adalah kemarahan. Dalam suasana ini pula anak bisa dengan mudah diajak untuk belajar mengelola amarahnya dengan cara yang lebih baik, tidak meledak-ledak dan melemparkan barang. Selain mengelola amarah, ajarkan anak untuk memecahkan masalahnya tersebut.

Ketiga, menahan diri agar jangan ikut terpancing marah. Menghadapi anak yang sedang marah, bisa memancing kemarahan orangtua juga. Sebaiknya, saat anak marah, bila memungkinkan, biarkan sejenak sementara kita juga menenangkan diri dahulu. Jangan sampai orangtua menangani anak yang sedang marah dengan kemarahan juga, bahkan mungkin disertai kekerasan fisik. “Kalau di dalam Islam kita kan dianjurkan untuk berwudhu ketika marah,” kata Devi. Setelah diri tenang, barulah orangtua bisa menghadapi kemarahan anak dengan kepala dingin.

Memang tidak mudah menghadapi anak yang gampang dan sering marah. Kesabaran dan konsistensi adalah kuncinya.








ANAK INDIGO,ISTIMEWA TAPI JANGAN DIANGGAP ANEH

Dengan segala kelebihannya dibanding anak-anak lain – seperti memiliki kepandaian di atas rata-rata – keberadaan anak indigo menarik perhatian masyarakat. Namun keistimewaan mereka jangan dilebih-lebihkan agar mereka bisa hidup dalam lingkungannya secara normal.

Annisa Rania Putri, yang lahir tahun 1999, aktif berbicara dalam bahasa Inggris. Padahal bahasa ini bukan bahasa sehari-hari dalam keluarga mereka. Menurut orangtuanya, kemampuan bicara dalam bahasa Inggris ini didapatnya tanpa belajar, tak lama setelah ia mulai bisa bicara. Selain itu, gadis cilik ini menguasai beberapa bahasa lain, seperti bahasa Arab dan bahasa Korea. Annisa pun kerap memberikan ceramah tentang spiritualitas di hadapan orang-orang dewasa. Belum lagi kemampuannnya merancang bangunan bak seorang arsitek berpengalaman. Sebuah rumah di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Timur, adalah contoh karyanya. Selain itu, bukunya yang bertema spiritualitas juga sudah diterbitkan.

Gadis cilik ini adalah salah satu anak yang di-blow up media sebagai anak indigo. Begitu pula beberapa anak indigo lain beberapa kali diwawancarai media yang berupaya mengungkap keberadaan anak-anak istimewa ini.

Disinyalir keberadaan anak indigo ada sejak awal keberadaan manusia di bumi ini, namun istilah ‘indigo’ sendiri baru dipopulerkan oleh Nancy Ann Tappe, seorang konselor di Amerika Serikat pada era 80-an. Lewat bukunya ia menuturkan bahwa ia mengamati warna aura manusia untuk kemudian menghubungkannya dengan kepribadiannya. Dari pengamatan ini didapatlah sebuah warna indigo atau nila, yang merupakan campuran warna ungu dan biru. Warna ini biasanya dimiliki orang dewasa, namun ternyata dimiliki juga oleh anak-anak tertentu, hingga disebutlah mereka sebagai anak-anak indigo.

Berkemampuan di atas rata-rata

Anak-anak indigo disinyalir memiliki kemampuan istimewa. Dr H Tubagus Erwin Kusuma, SpKJ, yang banyak menangani kasus anak indigo, mengungkapkan bahwa anak-anak indigo itu umumnya punya ciri khusus seperti memiliki kecerdasan superior dengan IQ di atas 130. Pada tingkat kecerdasan ini, anak indigo dapat melakukan sesuatu tanpa belajar terlebih dahulu, sementara anak cerdas biasa baru bisa melakukan sesuatu setelah diajarkan terlebih dahulu.

Ciri lainnya adalah anak indigo sangat berbakat. Mereka juga humanis, konseptual, artistik dan kadang interdimensional (mampu melihat dalam berbagai dimensi). Maka tak heran bila Annisa dengan kemampuan konseptualnya bisa merancang rumah, dari mulai bentuk, bahan-bahan hingga infrastrukturnya. “Selain itu pembicaraannya memang jauh melampaui anak-anak sebayanya, sehingga mereka biasanya tidak mau bermain bersama anak-anak sebayanya,” kata psikiater kelahiran tahun 1939 ini. Pandangan anak indigo terhadap hidup dan kehidupan begitu dewasa, bahkan melebihi kebijakan orang dewasa.

Dokter Erwin menambahkan bahwa biasanya anak-anak indigo juga dapat membacaperasaan orang lain. Rasa empati mereka begitu peka, hingga bisa ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain dan tak segan memberikan bantuan pada orang lain. Mereka pun umumnya tertarik dengan segala hal yang berkaitan dengan alam dan kemanusiaan.

Selain kemampuan istimewa ini, beberapa anak indigo juga dikabarkan bisa melihat bahkan berkomunikasi dengan makhluk halus, begitu pula ada yang dikabarkan bisa “membaca” tanda-tanda sebelum sesuatu terjadi ataupun yang sudah berlalu, termasuk tentang dirinya sendiri. Akibatnya mereka sering dianggap mempunyai indera keenam.

Sementara itu kondisi umum yang juga kerap didapati pada anak indigo adalah kebiasaan berbicara sendiri—yang acap ditafsirkan kalau ia tengah bicara dengan makhluk ghaib. Kondisi ini sepintas mirip dengan anak autis yang kadang bicara sendiri. Namun kalau anak indigo omongannya terarah, sementara anak autis tidak terarah dan cenderung ngaco.

Karena memiliki sikap keseharian yang berbeda dengan anak-anak lainnya inilah, kata psikolog Astri S. Widianti, kadang membuat orang salah mengira anak indigo sebagai anak penderita ADD/ADHD (gangguan kekurangan perhatian/gangguan hiperaktif dan kekurangan perhatian). “Memang kalau tidak diamati secara jeli oleh orang-orang yang paham, bisa salah diartikan sebagai ADD/ADHD, hingga anak indigo malah dikasih perlakuan dan obat-obatan ADD/ADHD. Itu kan tidak benar,” kata psikolog yang bergabung di Essa Consulting ini.

Karena itu membawa anak-anak yang diduga kuat sebagai anak indigo kepada ahlinya, yaitu psikiater dan psikolog, untuk dilakukan serangkaian tes adalah hal pertama yang harus dilakukan orangtua agar anak-anak istimewa ini mendapat perlakuan yang semestinya.

Dijelaskan oleh dr Erwin, indigo itu adalah sebuah kelebihan, bukan penyakit – dalam klasifikasi internasional tentang penyakit dari WHO, tak ada penyakit indigo – dan tak dapat digolongkan sebagai cenayang atau paranormal. Keistimewaan ini juga bukan didasarkan atas keturunan, dalam satu keluarga bisa jadi hanya satu anak yang indigo, sementara yang lain tidak.

Kelebihan sebagai indigo ini pun, kata dokter yang menjabat sebagai Kepala Departemen Kesehatan Jiwa RSPAD Gatot Subroto Jakarta ini, akan dibawa si anak terus sampai dewasa. Namun sesuai perkembangan kepribadiannya, para indigo dewasa sudah bisa memahami dan mengelola emosinya hingga mampu memenej kelebihannya secara baik. Jadi mereka tak lagi tampak berbeda dengan orang lain di sekelilingnya.

Pengertian dan pendampingan orangtua

Meski sesungguhnya anak indigo peduli sekitar, dan mudah berempati namun mereka juga acap terlihat mudah terlibat konflik. Ini sesungguhnya disebabkan mereka sering tak setuju terhadap sesuatu hal yang tak sesuai penalarannya, tidak sabaran, mudah bosan hingga mudah marah. Karena itu mereka juga kadang digambarkan sebagai tipe anak yang ‘sulit’ untuk mendapatkan kawan.

Apalagi dengan tingkat kepandaian yang luar biasa bahkan melampaui kepandaian guru-gurunya, anak indigo punya potensi untuk sering berkonflik pula dengan guru-gurunya. Mereka ingin apa pun diterangkan sejelas-jelasnya untuk memuaskan keingintahuan mereka yang sangat besar sesuai tingkat intelektualitas mereka. Dalam banyak kasus, anak-anak indigo akhirnya banyak yang menjalani bersekolah rumah (homeschooling) karena sulit bergaul dengan guru dan teman-teman. Hal ini tentulah bukan keadaan yang nyaman buat anak-anak. Kondisi ini akan menjadi lebih parah dan menjadi beban berat buat anak indigo bila orangtua juga tak memahaminya.

Bila memang si anak sudah terdeteksi sebagai anak indigo, giliran orangtualah yang harus menempatkan diri menjadi orangtua yang baik bagi anak indigo. “Diperlukan konseling untuk orangtua, karena tak banyak orangtua yang mengerti keadaan anak indigo. Orangtua diarahkan untuk tahu bagaimana bersikap dan menyikapi anak agar si anak tidak merasa menjadi anak yang aneh. Dengan segala kelebihan dan kekurangan anak indigo, orangtua harus menyesuaikan diri dengan mereka, bukan anak indigo yang harus menyesuaikan diri dengan orangtua. Selain itu orangtua juga harus banyak tahu tentang indigo, misalnya dari internet, hingga wawasan dalam mendidik anak indigo semakin luas, tak sebatas yang didapat dari konseling saja,” papar Astri.

Selain untuk menyiapkan orangtua sendiri, konseling ini, tambah dr Erwin, diperlukan orangtua agar dapat mengkomunikasikan kondisi anaknya pada pihak luar, termasuk kepada guru-gurunya. Hingga kemudian guru bisa menjadi mediator antara anak indigo dengan teman-temannya, dan diharapkan teman-teman mereka bisa menerima kelebihan dan kekurangan anak indigo.

Untuk kemampuan mereka dalam melihat atau berkomunikasi dengan makhluk ghaib, orangtua juga perlu memberi pemahaman sekaligus perlindungan buat mereka. Sebagai anak kecil, melihat penampakan makhluk halus yang bisa jadi menyeramkan tentu amat mengganggu mereka. Mereka mungkin jadi cemas, takut dan bingung karena hanya dia yang bisa melihat mereka, sementara orang lain tidak. “Jelaskan bahwa makhluk itu memang ada, tapi ia tidak mengganggu kamu. Katakan, ‘Kamu tidak perlu takut, karena ia juga makhluk ciptaan Allah.’ Begitu juga dengan kejadian-kejadian lain yang hanya dia yang melihat, orangtua mesti memberi pengertian yang baik, bukan malah menyangkalnya,” terang Astri.

Dengan kekhasan mereka, anak indigo juga perlu diajari akhlak atau tata karma dan tata tertib – menurut istilah dokter Erwin tentang ‘harus dan jangan’. “Misalnya kenapa kita harus cium tangan kepada yang lebih tua? Lalu kenapa kita sebelum masuk kelas harus baris dan masuk satu persatu, tidak boleh semua sekaligus padahal pintunya kan lebar?” contoh ayah satu putri ini.

Untuk menjelaskan itu semua memang mesti diiringi kesabaran dan penjelasan detail dalam menjawab cecaran pertanyaan anak indigo. Segala ‘harus dan jangan’ mesti diajarkan agar anak indigo menjadi indigo dewasa yang bisa menghargai perbedaan dan tidak bentrok dengan lingkungannya.


Melihat Makhluk Ghaib itu Tak Normal

Kepandaian luar biasa dan bakat di atas rata-rata bagi anak indigo, kata Ustadz Hasan Bishri, Lc, memang sebuah pemberian dari Allah yang harus disyukuri. Namun soal kemampuan untuk melihat alam ghaib, bahkan meramal, itu sudah merupakan kelainan, bukan keistimewaan. “Karena normalnya, manusia itu tidak bisa melihat alam ghaib, kecuali para nabi dan rasul saja, sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raaf ayat 27,” jelas penulis buku Enam Jenis Gangguan Jin pada Anak ini.

Soal kemampuan melihat makhluk ghaib ini kata Ustadz Hasan juga sebenarnya tak hanya dimiliki anak indigo, anak yang tidak indigo pun bisa memiliki kemampuan ini. Biasanya ini terjadi karena si anak kemasukan jin atau karena ia memiliki orangtua, kakek-nenek yang punya emban atau rewang dari alam ghaib yang ketika orangtua atau kakek-neneknya meninggal lalu menempel pada anaknya. Dan kondisi ini menurut Ustadz Hasan tergolong gangguan setan.

Setan memang bisa mengganggu siapa saja, termasuk anak kecil, bahkan janin dalam kandungan. Oleh karena itulah maka Rasulullah mengajarkan umatnya untuk mendoakan anak yang baru lahir agar terlindung dari godaan setan.

Penampakan makhluk ghaib ini pada anak, walau dianggap tidak mengganggu, sesungguhnya sudah merupakan gangguan setan bagi si anak. “Karena anak ini hidup di dua alam, tentu akan memengaruhi kondisi psikologis anak. Di satu sisi ia bermain bersama teman-teman nyatanya, di saat lain ia bermain bersama teman-teman ghaibnya. Ini bahaya dan kasihan buat kondisi psikologis anak,” kata ustadz yang tergabung dalam tim ruqyah Majalah Ghoib ini. Untuk itu, selain berkonsultasi dengan ahlinya, seperti psikiater dan psikolog, ada baiknya anak juga diruqyah. Ajarkan anak juga untuk membaca doa-doa memohon perlindungan kepada Allah swt.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar