![[9.jpg]](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuNwJj5ct9nRqL506F7DiMl_88cvaz4ARZxjNLNliyApXpjDiVJRgsw_lMPXS0DhWdUCqZBPAUQLHQFUYAueyJJNSZh4-JMjVYWQCoLXpV92Edv6MqmLWgzhPRWFRlT7AZXQZVNSSp/s1600/9.jpg)
ANAK SEKARANG CEPET GEDE
Tiba masanya seorang anak beranjak remaja. Berbagai perubahan terjadi pada fisik dan psikis anak di masa pubertas. Perubahan ini kadang membingungkan mereka, apalagi bila masa pubertas itu datang terlalu dini.
JANGAN REMEHKAN TANGISAN BAYI
-    Lelah
 
-    Terlalu banyak rangsangan
-    Bosan
 
-    Sakit/Nyeri
 
-    Lapar
 
-    Kedinginan
 
-    Kepanasan
 
-    Ingin dipeluk/digendong
 
-    Kekenyangan
 
-    Ingin buang air besar
 
ANAK PEMARAH, SEMUA SERBA SALAH
               Pada  usia tertentu, anak sering marah adalah wajar. Namun, bila melewati  masa-masa itu anak masih tetap sering marah, bahkan disertai kekerasan  fisik, seperti memukul, melempar, menendang dan sebagainya, orangtua tak  bisa lagi tinggal diam.
Karena keinginannya tak dituruti, Rian (5 tahun) menangis sambil mengamuk. Ia menendang-nendang dan memukul ibunya yang berusaha menenangkan. Walau begitu, sang ibu tetap sabar, memeluk dan membujuk anaknya dengan suara lembut. Sungguh tak mudah, apalagi mereka saat itu berada di tempat umum.
Pemandangan seperti itu mungkin pernah kita temui dalam keseharian; anak yang mengamuk, entah anak kita sendiri atau anak-anak lainnya. Tak hanya menangis dan menjerit-jerit, kadang kemarahan anak-anak ini disertai kata-kata kasar, membanting atau melempar benda-benda yang ada di sekitarnya. Tak jarang juga memukul dan menendang orang. Bujukan dan kata-kata lembut untuk menenangkan, tidak mempan. Banyak orangtua yang kehabisan akal dalam menghadapi perilaku anak ini, bahkan tak jarang ikut terbawa emosi dan jadi ikut-ikutan marah. Semua jadi kacau dan tak terkendali.
Marah yang wajar dan tidak wajar
Pada rentang usia tertentu, kemarahan yang tiba-tiba memang biasa dan wajar saja dialami oleh anak. Mereka bisa marah karena sebab apa pun, bahkan yang menurut orangtua sebab-sebab remeh. Kemarahan yang seperti ini diberi istilah temper tantrum atau tantrum saja. Masa-masa anak mengalami temper tantrum biasanya pada usia 2 – 5 tahun atau masa-masa prasekolah.
“Pada usia ini,” jelas Devi Ayutya Wardhani, M.Psi, psikolog anak di Optima Psychology, “perkembangan bahasanya memang masih terbatas, sehingga saat ia mengalami emosi ia belum paham bagaimana cara mengekspresikannya. Dia merasa tak nyaman, misalnya ketika mainannya direbut adik atau kakaknya. Dia ingin mengekspresikan ketidaknyamanan emosinya, yah akhirnya ia membentak, berguling-guling, menangis sebagai ekspresi emosi dia.” Dengan bertingkah seperti itu si anak berharap orang di sekitarnya tahu kalau ia sedang marah.
Ada dua jenis ekspresi kemarahan, lanjut Devi yang juga menjadi konsultan di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia. Pertama, reaksi marah yang impulsif atau agresif, seperti perilaku menendang, melempar dan berguling-guling. Kedua, reaksi marah yang terhambat. Anak dengan reaksi kemarahan yang terhambat, pada saat dia marah dia akan cenderung menarik diri dan menghindari orang yang menyebabkan dia marah.
“Kalau anak kecil itu justru yang sehat adalah kemarahan yang keluar tadi. Kalau pada saat dia marah, dia malah menarik diri, diam, orang tak akan tahu apa yang dia rasakan. Dalam kondisi seperti itu, justru harus dicari penyebab kenapa anak ini tak bisa mengekspresikan emosinya. Apa kira-kira yang menghambat dia. Karena normalnya anak-anak itu adalah makhluk yang paling jujur dan spontan, hingga apa yang ada dalam pikirannya langsung dikeluarkan,” terang ibu 3 anak ini.
Ketika usianya sudah lebih besar atau pada usia 6 tahun ke atas semestinya kemarahan yang meledak-ledak seperti itu tidak terjadi lagi. Sebab, pada usia-usia tersebut perkembangan bahasa anak sudah semakin meningkat. Mereka sebenarnya sudah dapat mengekspresikan kemarahan dengan cara yang lebih positif, seperti penggunaan kata-kata yang lebih terarah, misalnya dengan kata-kata aku marah adik mengambil mainanku. Tanpa tangisan dan jeritan, orangtua atau orang lain di sekitarnya tahu si anak sedang marah. “Nah, kalau sudah sekolah atau usia 6 tahun ke atas, si anak marahnya masih guling-guling dan lempar-lempar barang, itu sudah tidak normal lagi,” kata Devi, yang menyelesaikan S2 Psikologi dengan kekhususan klinis anak di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 2007 ini.
Bila setelah usia 6 tahun si anak masih gampang marah dengan cara kekerasan tadi, ada kemungkinan ia melihat dan mencontoh perilaku itu dari orang terdekatnya. Misalnya, tambah Devi, anak melihat bila ayah dan ibunya marah mereka berteriak-teriak atau barang-barang di rumah “beterbangan”, maka si anak akan belajar bahwa memang begitulah caranya mengekspresikan kemarahan. Tak ayal, mereka pun akan menirunya.
Orangtua pemarah, anak jadi pemarah?
Anak yang gampang atau sering marah acap dikaitkan dengan sifat orangtuanya. Orang menganggap anak yang pemarah bisa jadi karena orangtuanya juga pemarah. Devi mengakui bahwa faktor keturunan juga memengaruhi anak untuk bersifat pemarah, entah dari pihak ibu atau pihak ayah. Anak dapat mewarisi sifat temperamental, gampang marah dan gampang tersinggung dari kedua orangtuanya.
Faktor lingkungan juga tak kalah besarnya dalam memberi pengaruh pada anak. Bahkan, kata Devi, faktor lingkungan inilah yang memberi andil lebih besar bagi anak untuk menjadi pemarah dibanding faktor keturunan. Selain mencontoh dari perilaku orangtua yang kalau marah meledak-ledak tadi, anak-anak juga bisa terpengaruh dari lingkungan di luar keluarganya. Entah dari pengasuh, teman atau dari tontonan yang dilihatnya. Mereka tak akan bisa meluapkan kemarahan dengan kata-kata kasar dan kotor, melempar, menendang, memukul, membanting dan sebagainya bila anak tidak pernah mendengar kata-kata itu dari lingkungannya. Dengan kata lain, mereka pasti pernah melihat atau mendengar ekspresi marah yang demikian entah dari mana sebelum kemudian mencontohnya.
Pola asuh yang salah juga bisa membentuk anak jadi pemarah. Contohnya, ketika anak mengalami masa temper tantrum orangtua selalu mengatasi tantrumnya dengan menuruti segala keinginan anak. Saat anak marah dan menangis ingin dibelikan ini itu, apalagi disertai aksi guling-gulingan di tempat umum, orangtua lantas saja menuruti keinginan anak agar tangisnya cepat berhenti. Ketika besoknya anak menangis lagi dan orangtua menurutinya lagi, maka anak akan merasa dengan kemarahan dan “aksi” yang ditunjukkannya ternyata menguntungkan baginya. “Berarti perilaku anak yang demikian dikuatkan terus oleh orangtua,” kata Devi. Bisa dibayangkan bahwa selanjutnya anak akan terus menggunakan kemarahannya untuk mendapatkan semua yang diinginkannya.
Lagi-lagi orangtua harus mampu bersikap konsisten. Bila sekali bilang ‘tidak boleh’, seterusnya harus bilang ‘tidak boleh’. Jangan terperangkap kemarahan dan tangisan anak hingga akhirnya menuruti keinginan anak, walaupun yang diinginkan anak itu semula dilarang orangtua. Kalau orangtua tak konsisten, anak akan bingung, sebenarnya hal itu boleh atau tidak.
Tak jarang terjadi anak yang semula amat manis tiba-tiba menjadi pemarah. Orangtua harus jeli dalam mencari pemicu kemarahan anak tersebut. Bisa jadi si anak sering marah lantaran cemburu karena ia menganggap orangtua lebih memerhatikan adik baru, misalnya. Dengan luapan kemarahan tersebut ia berharap kembali mendapat perhatian dari orangtuanya. Pada kasus kemarahan seperti ini orangtua harus bisa membuktikan bahwa kasih sayang mereka tetap tercurah buat anak itu walau kini ia telah punya adik.
Menangani kemarahan anak
Perilaku anak yang gampang marah ini, apalagi bila telah melewati masa temper tantrum, tentu tak bisa dibiarkan. Orang-orang di sekeliling anak tentu tak merasa nyaman dengan sikap ini. Tak ada perilaku yang tidak bisa diubah. Bahkan walaupun merupakan keturunan, sifat pemarah tetap bisa diarahkan kepada perilaku yang lebih baik. Devi memberi beberapa poin penting yang mesti diperhatikan orangtua dalam menangani sifat pemarah anak.
Pertama, berikan contoh bagaimana menyalurkan kemarahan dengan cara yang positif. “Apa yang dilihat dan didengar anak setiap hari, itulah yang diserap dan diterapkannya. Kalau mau anak ini berubah, ya suasana di rumahnya juga harus berubah. Sebisa mungkin anak dijauhkan dari lingkungan yang negatif sehingga mereka punya model yang bagus untuk perilaku mereka,” saran wanita kelahiran Jakarta, 29 tahun silam ini.
Kedua, binalah selalu komunikasi yang baik dengan anak. Dengan komunikasi yang lancar dalam kondisi apapun anak tetap bisa mengungkapkan perasaan dan emosinya kepada orangtua, walaupun yang ingin diungkapkannya adalah kemarahan. Dalam suasana ini pula anak bisa dengan mudah diajak untuk belajar mengelola amarahnya dengan cara yang lebih baik, tidak meledak-ledak dan melemparkan barang. Selain mengelola amarah, ajarkan anak untuk memecahkan masalahnya tersebut.
Ketiga, menahan diri agar jangan ikut terpancing marah. Menghadapi anak yang sedang marah, bisa memancing kemarahan orangtua juga. Sebaiknya, saat anak marah, bila memungkinkan, biarkan sejenak sementara kita juga menenangkan diri dahulu. Jangan sampai orangtua menangani anak yang sedang marah dengan kemarahan juga, bahkan mungkin disertai kekerasan fisik. “Kalau di dalam Islam kita kan dianjurkan untuk berwudhu ketika marah,” kata Devi. Setelah diri tenang, barulah orangtua bisa menghadapi kemarahan anak dengan kepala dingin.
Memang tidak mudah menghadapi anak yang gampang dan sering marah. Kesabaran dan konsistensi adalah kuncinya.
ANAK INDIGO,ISTIMEWA TAPI JANGAN DIANGGAP ANEH
  Dengan  segala kelebihannya dibanding anak-anak lain – seperti memiliki  kepandaian di atas rata-rata – keberadaan anak indigo menarik perhatian  masyarakat. Namun keistimewaan mereka jangan dilebih-lebihkan agar  mereka bisa hidup dalam lingkungannya secara normal.
  
Annisa Rania Putri, yang lahir tahun 1999, aktif berbicara dalam bahasa Inggris. Padahal bahasa ini bukan bahasa sehari-hari dalam keluarga mereka. Menurut orangtuanya, kemampuan bicara dalam bahasa Inggris ini didapatnya tanpa belajar, tak lama setelah ia mulai bisa bicara. Selain itu, gadis cilik ini menguasai beberapa bahasa lain, seperti bahasa Arab dan bahasa Korea. Annisa pun kerap memberikan ceramah tentang spiritualitas di hadapan orang-orang dewasa. Belum lagi kemampuannnya merancang bangunan bak seorang arsitek berpengalaman. Sebuah rumah di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Timur, adalah contoh karyanya. Selain itu, bukunya yang bertema spiritualitas juga sudah diterbitkan.
Gadis cilik ini adalah salah satu anak yang di-blow up media sebagai anak indigo. Begitu pula beberapa anak indigo lain beberapa kali diwawancarai media yang berupaya mengungkap keberadaan anak-anak istimewa ini.
Disinyalir keberadaan anak indigo ada sejak awal keberadaan manusia di bumi ini, namun istilah ‘indigo’ sendiri baru dipopulerkan oleh Nancy Ann Tappe, seorang konselor di Amerika Serikat pada era 80-an. Lewat bukunya ia menuturkan bahwa ia mengamati warna aura manusia untuk kemudian menghubungkannya dengan kepribadiannya. Dari pengamatan ini didapatlah sebuah warna indigo atau nila, yang merupakan campuran warna ungu dan biru. Warna ini biasanya dimiliki orang dewasa, namun ternyata dimiliki juga oleh anak-anak tertentu, hingga disebutlah mereka sebagai anak-anak indigo.
Berkemampuan di atas rata-rata
Anak-anak indigo disinyalir memiliki kemampuan istimewa. Dr H Tubagus Erwin Kusuma, SpKJ, yang banyak menangani kasus anak indigo, mengungkapkan bahwa anak-anak indigo itu umumnya punya ciri khusus seperti memiliki kecerdasan superior dengan IQ di atas 130. Pada tingkat kecerdasan ini, anak indigo dapat melakukan sesuatu tanpa belajar terlebih dahulu, sementara anak cerdas biasa baru bisa melakukan sesuatu setelah diajarkan terlebih dahulu.
Ciri lainnya adalah anak indigo sangat berbakat. Mereka juga humanis, konseptual, artistik dan kadang interdimensional (mampu melihat dalam berbagai dimensi). Maka tak heran bila Annisa dengan kemampuan konseptualnya bisa merancang rumah, dari mulai bentuk, bahan-bahan hingga infrastrukturnya. “Selain itu pembicaraannya memang jauh melampaui anak-anak sebayanya, sehingga mereka biasanya tidak mau bermain bersama anak-anak sebayanya,” kata psikiater kelahiran tahun 1939 ini. Pandangan anak indigo terhadap hidup dan kehidupan begitu dewasa, bahkan melebihi kebijakan orang dewasa.
Dokter Erwin menambahkan bahwa biasanya anak-anak indigo juga dapat “membaca” perasaan orang lain. Rasa empati mereka begitu peka, hingga bisa ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain dan tak segan memberikan bantuan pada orang lain. Mereka pun umumnya tertarik dengan segala hal yang berkaitan dengan alam dan kemanusiaan.
Selain kemampuan istimewa ini, beberapa anak indigo juga dikabarkan bisa melihat bahkan berkomunikasi dengan makhluk halus, begitu pula ada yang dikabarkan bisa “membaca” tanda-tanda sebelum sesuatu terjadi ataupun yang sudah berlalu, termasuk tentang dirinya sendiri. Akibatnya mereka sering dianggap mempunyai indera keenam.
Sementara itu kondisi umum yang juga kerap didapati pada anak indigo adalah kebiasaan berbicara sendiri—yang acap ditafsirkan kalau ia tengah bicara dengan makhluk ghaib. Kondisi ini sepintas mirip dengan anak autis yang kadang bicara sendiri. Namun kalau anak indigo omongannya terarah, sementara anak autis tidak terarah dan cenderung ngaco.
Karena memiliki sikap keseharian yang berbeda dengan anak-anak lainnya inilah, kata psikolog Astri S. Widianti, kadang membuat orang salah mengira anak indigo sebagai anak penderita ADD/ADHD (gangguan kekurangan perhatian/gangguan hiperaktif dan kekurangan perhatian). “Memang kalau tidak diamati secara jeli oleh orang-orang yang paham, bisa salah diartikan sebagai ADD/ADHD, hingga anak indigo malah dikasih perlakuan dan obat-obatan ADD/ADHD. Itu kan tidak benar,” kata psikolog yang bergabung di Essa Consulting ini.
Karena itu membawa anak-anak yang diduga kuat sebagai anak indigo kepada ahlinya, yaitu psikiater dan psikolog, untuk dilakukan serangkaian tes adalah hal pertama yang harus dilakukan orangtua agar anak-anak istimewa ini mendapat perlakuan yang semestinya.
Dijelaskan oleh dr Erwin, indigo itu adalah sebuah kelebihan, bukan penyakit – dalam klasifikasi internasional tentang penyakit dari WHO, tak ada penyakit indigo – dan tak dapat digolongkan sebagai cenayang atau paranormal. Keistimewaan ini juga bukan didasarkan atas keturunan, dalam satu keluarga bisa jadi hanya satu anak yang indigo, sementara yang lain tidak.
Kelebihan sebagai indigo ini pun, kata dokter yang menjabat sebagai Kepala Departemen Kesehatan Jiwa RSPAD Gatot Subroto Jakarta ini, akan dibawa si anak terus sampai dewasa. Namun sesuai perkembangan kepribadiannya, para indigo dewasa sudah bisa memahami dan mengelola emosinya hingga mampu memenej kelebihannya secara baik. Jadi mereka tak lagi tampak berbeda dengan orang lain di sekelilingnya.
Pengertian dan pendampingan orangtua
Meski sesungguhnya anak indigo peduli sekitar, dan mudah berempati namun mereka juga acap terlihat mudah terlibat konflik. Ini sesungguhnya disebabkan mereka sering tak setuju terhadap sesuatu hal yang tak sesuai penalarannya, tidak sabaran, mudah bosan hingga mudah marah. Karena itu mereka juga kadang digambarkan sebagai tipe anak yang ‘sulit’ untuk mendapatkan kawan.
Apalagi dengan tingkat kepandaian yang luar biasa bahkan melampaui kepandaian guru-gurunya, anak indigo punya potensi untuk sering berkonflik pula dengan guru-gurunya. Mereka ingin apa pun diterangkan sejelas-jelasnya untuk memuaskan keingintahuan mereka yang sangat besar sesuai tingkat intelektualitas mereka. Dalam banyak kasus, anak-anak indigo akhirnya banyak yang menjalani bersekolah rumah (homeschooling) karena sulit bergaul dengan guru dan teman-teman. Hal ini tentulah bukan keadaan yang nyaman buat anak-anak. Kondisi ini akan menjadi lebih parah dan menjadi beban berat buat anak indigo bila orangtua juga tak memahaminya.
Bila memang si anak sudah terdeteksi sebagai anak indigo, giliran orangtualah yang harus menempatkan diri menjadi orangtua yang baik bagi anak indigo. “Diperlukan konseling untuk orangtua, karena tak banyak orangtua yang mengerti keadaan anak indigo. Orangtua diarahkan untuk tahu bagaimana bersikap dan menyikapi anak agar si anak tidak merasa menjadi anak yang aneh. Dengan segala kelebihan dan kekurangan anak indigo, orangtua harus menyesuaikan diri dengan mereka, bukan anak indigo yang harus menyesuaikan diri dengan orangtua. Selain itu orangtua juga harus banyak tahu tentang indigo, misalnya dari internet, hingga wawasan dalam mendidik anak indigo semakin luas, tak sebatas yang didapat dari konseling saja,” papar Astri.
Selain untuk menyiapkan orangtua sendiri, konseling ini, tambah dr Erwin, diperlukan orangtua agar dapat mengkomunikasikan kondisi anaknya pada pihak luar, termasuk kepada guru-gurunya. Hingga kemudian guru bisa menjadi mediator antara anak indigo dengan teman-temannya, dan diharapkan teman-teman mereka bisa menerima kelebihan dan kekurangan anak indigo.
Untuk kemampuan mereka dalam melihat atau berkomunikasi dengan makhluk ghaib, orangtua juga perlu memberi pemahaman sekaligus perlindungan buat mereka. Sebagai anak kecil, melihat penampakan makhluk halus yang bisa jadi menyeramkan tentu amat mengganggu mereka. Mereka mungkin jadi cemas, takut dan bingung karena hanya dia yang bisa melihat mereka, sementara orang lain tidak. “Jelaskan bahwa makhluk itu memang ada, tapi ia tidak mengganggu kamu. Katakan, ‘Kamu tidak perlu takut, karena ia juga makhluk ciptaan Allah.’ Begitu juga dengan kejadian-kejadian lain yang hanya dia yang melihat, orangtua mesti memberi pengertian yang baik, bukan malah menyangkalnya,” terang Astri.
Dengan kekhasan mereka, anak indigo juga perlu diajari akhlak atau tata karma dan tata tertib – menurut istilah dokter Erwin tentang ‘harus dan jangan’. “Misalnya kenapa kita harus cium tangan kepada yang lebih tua? Lalu kenapa kita sebelum masuk kelas harus baris dan masuk satu persatu, tidak boleh semua sekaligus padahal pintunya kan lebar?” contoh ayah satu putri ini.
Untuk menjelaskan itu semua memang mesti diiringi kesabaran dan penjelasan detail dalam menjawab cecaran pertanyaan anak indigo. Segala ‘harus dan jangan’ mesti diajarkan agar anak indigo menjadi indigo dewasa yang bisa menghargai perbedaan dan tidak bentrok dengan lingkungannya.
Melihat Makhluk Ghaib itu Tak Normal
Kepandaian luar biasa dan bakat di atas rata-rata bagi anak indigo, kata Ustadz Hasan Bishri, Lc, memang sebuah pemberian dari Allah yang harus disyukuri. Namun soal kemampuan untuk melihat alam ghaib, bahkan meramal, itu sudah merupakan kelainan, bukan keistimewaan. “Karena normalnya, manusia itu tidak bisa melihat alam ghaib, kecuali para nabi dan rasul saja, sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raaf ayat 27,” jelas penulis buku Enam Jenis Gangguan Jin pada Anak ini.
Soal kemampuan melihat makhluk ghaib ini kata Ustadz Hasan juga sebenarnya tak hanya dimiliki anak indigo, anak yang tidak indigo pun bisa memiliki kemampuan ini. Biasanya ini terjadi karena si anak kemasukan jin atau karena ia memiliki orangtua, kakek-nenek yang punya emban atau rewang dari alam ghaib yang ketika orangtua atau kakek-neneknya meninggal lalu menempel pada anaknya. Dan kondisi ini menurut Ustadz Hasan tergolong gangguan setan.
Setan memang bisa mengganggu siapa saja, termasuk anak kecil, bahkan janin dalam kandungan. Oleh karena itulah maka Rasulullah mengajarkan umatnya untuk mendoakan anak yang baru lahir agar terlindung dari godaan setan.
  Penampakan  makhluk ghaib ini pada anak, walau dianggap tidak mengganggu,  sesungguhnya sudah merupakan gangguan setan bagi si anak. “Karena anak  ini hidup di dua alam, tentu akan memengaruhi kondisi psikologis anak.  Di satu sisi ia bermain bersama teman-teman nyatanya, di saat lain ia  bermain bersama teman-teman ghaibnya. Ini bahaya dan kasihan buat  kondisi psikologis anak,” kata ustadz yang tergabung dalam tim ruqyah  Majalah Ghoib ini.  Untuk itu, selain berkonsultasi dengan ahlinya, seperti psikiater dan  psikolog, ada baiknya anak juga diruqyah. Ajarkan anak juga untuk  membaca doa-doa memohon perlindungan kepada Allah swt.

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar