![[12.jpg]](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-LFpFD43yuvdL38VxNmRoptdpVFqW6xyvpnyWzAWRM_NTyexvE8DYWtNZqhpt8TgYdG-Mrz-cLyWRBVzWbmxIo-GE-Aaz_iWMCfB92R-c2syyaVP1gP5flRNC9gLfNFRMFq1GMmol/s1600/12.jpg)
UMMU KHAIR BINTI SYAKIR, KESETIAAN SANG ANAK MENGETUK NURANINYA
Ummu Khair adalah ibunda Abu Bakar Ash-Shidiq. Sebelum Abu Bakar, Ummu Khair memiliki beberapa anak namun semuanya berumur pendek. Karena itu, ketika melahirkan Abu Bakar, ia langsung membawanya ke Ka’bah lalu berkata, “Ya Allah ini adalah Atiq-Mu (yang Engkau bebaskan dari maut). Hibahkan ia kepadaku.” Sehingga Abu Bakar pun dikenal dengan sebutan Atiq bin Abu Quhafah.
ZUHAIRAH, ALLAH MENYEMBUHKAN KEBUTAANNYA
JUWAIRIYAH BINTI HARITS, WANITA YG MENDATANGKAN KEBERKAHAN BAGI KAUMNYA
Juwairiyah adalah wanita mulia, putri pemimpin bani Al Musthaliq, Al Harits bin Abu Dhihar. Sebelum masuk Islam, namanya adalah Burrah. Al Harits adalah pemimpin dari kaum musyrik penyembah berhala yang sangat memusuhi Islam. Meski demikian, Juwairiyah dikenal sebagai gadis cantik yang luas ilrnunya dan baik budi pekertinya di antara kaumnya. Kemudian dia menikah dengan seorang pemuda yang bernama Musafi’ bin Shafwan.
Rasulullah memutuskan menyerang Bani Musthaliq setelah mendengar Al Harits merencanakan penyerangan terhadap kaum muslimin di Madinah. Al Harits sudah banyak mendengar kekalahan kaum Quraiys dalam menghadapi kaum muslimin. Ia berharap bisa mengalahkan kaum muslimin untuk mengambil alih kekuasaan di antara suku-suku Arab.
Rasulullah mengirim Buraidah bin Al-Hushaid untuk memastikan kebenaran berita tersebut, dan setelah Buraidah membenarkan, Rasulullah segera menyusun kekuatan dan menyerang terlebih dahulu. Perang ini dikenal dengan nama Perang Muraisi' dan terjadi pada bulan Sya'ban tahun kelima Hijrah.
Perang ini, atas izin Allah swt, dimenangkan umat Islam. Al Harits melarikan diri dari medan peperangan dan suami Juwairiyah terbunuh. Seluruh penduduk yang selamat, termasuk Juwairiyah, menjadi tawanan umat Islam. Begitu mengetahui dirinya menjadi tawanan, Juwairiyah mengajukan tawaran untuk membebaskan diri. Wanita cerdas ini meminta ijin bertemu Rasulullah untuk bernegosiasi mengenai pembebasan dirinya.
Saat diijinkan bertemu Rasulullah, dia berkata, “Rasulullah, aku Burrah, putri dari Al Harits. Ayahku adalah pemimpin kaumku. Sekarang aku ditimpa kemalangan dengan menjadi tawanan perang dan jatuh ke tangan Tsabit bin Qais. Ia memang lelaki baik, tidak pernah berlaku buruk padaku. Namun ketika kukatakan aku ingin menebus diri, ia membebaniku dengan sembilan keping emas. Maka kupikir lebih baik minta perlindungan padamu. Tolong, bebaskan aku!”
Rasulullah berpikir sejenak. Trenyuh hati Rasulullah menyaksikan Juwairiyah, seorang wanita terhormat yang tiba-tiba berubah menjadi budak. Lalu Rasul balik bertanya, “Maukah engkau yang lebih baik dari itu?”
Jawaban Rasulullah kemudian membuat Juwairiyah tercengang, namun wajahnya berseri-seri. Betapa tidak, selain Rasulullah sendiri yang akan membayar tebusan, Rasulullah pun melamarnya. Dengan senyuman, Juwairiyah menerima pinangan Rasulullah, lalu memeluk Islam.
Tak lama, datang Al Harits. Pemimpin bani Al Musthaliq itu datang dengan membawa unta, domba, dan barang-barang berharga lain guna menebus putrinya. Tiba di sana, Al Harits segera menemui Rasulullah dan menyampaikan maksudnya untuk menebus putrinya. Tiba-tiba Rasulullah menanyakan secara retoris, “Mana dua ekor unta yang kau sembunyikan ke balik batu akik itu?”
Mendengar pertanyaan itu Al Harits langsung terperangah, hatinya terguncang hingga tampak bingung. Lalu ia berkata, “Demi Allah, kau benar-benar utusan Allah. Tak ada yang tahu masalah ini selain Allah.”
Saat mengetahui apa yang dilakukan Rasulullah kepada Juwairiyah, Al Harits menjadi girang. Apalagi hatinya telah mulai tersiram keimanan. Ia lalu masuk Islam, dan secara serentak diikuti seluruh kaumnya.
Kabar pernikahan Rasulullah dan Juwairiyah menyebar cepat di kalangan muslimin. Efek dari pernikahan itu sungguh tak terduga, yakni pembebasan semua tawanan yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Juwairiyah. Para sahabat secara spontan melakukan hal itu karena mereka merasa tidak pantas memperlakukan saudara Rasul dari keluarga Juwairiyah sebagai tawanan atau budak. Ada ratusan orang yang langsung dibebaskan sekaligus dikembalikan harta bendanya yang sebelumnya dirampas.
Aisyah mengomentari hal ini: "Belum pernah aku ketahui seorang perempuan yang demikian besar berkah yang dibawanya untuk kaumnya yang melebihi Juwairiyah."SHAFIYAH BINTI HUYAI BIN AKHTAB, UMMUL MUKMININ DARI KALANGAN YAHUDI
Tak banyak yang tahu bahwa di kalangan Ummul Mukminin ada yang berasal dari kaum Yahudi. Dialah Shafiyah binti Huyai. Dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah atau dua tahun setelah kenabian Rasulullah. Ibunya bernama Barrah binti Samaual dari Bani Quraizhah. Sedang ayahnya adalah Huyai bin Akhtab, seorang pimpinan Yahudi terpandang dari kalangan Bani Nadhir. Jika dirunut silsilah keluarganya, Shafiyah masih tergolong keturunan Nabi Harun as.
Sejak masih muda, Shafiyah sudah menggemari ilmu pengetahuan dan sejarah tentang Yahudi. Dari kitab suci Taurat dia mengetahui bahwa kelak akan datang seorang nabi penyempurna agama samawi yang berasal dari jazirah Arab. Fitrahnya yang hanif membuatnya merasa heran ketika ayah dan saudara-saudarnya mendustakan kenabian Muhammad dan risalah Islam yang dibawanya.
Karena kaum Yahudi, khususnya Bani Quraizhah dan Bani Nadhir mengingkari perjanjian Hudaibiyah, terlebih lagi Huyai menghasut kaum Quraiys untuk menyerang kaum muslimin, Rasulullah memutuskan untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu. Dengan izin Allah peperangan yang terjadi di lembah Khaibar itu dimenangkan oleh kaum Muslimin. Benteng-benteng pertahanan kaum Yahudi berhasil dihancurkan kaum Muslimin. Banyak laki-laki Yahudi yang mati terbunuh, sedang yang masih hidup, bersama wanita dan anak-anak di jadikan tawanan. Shafiyah menjadi salah satu tawanan yang ditangkap oleh kaum Muslimin.
  Suami Shafiyah, Kinanah  bin Rabi, beserta ayah dan pamannya mati terbunuh. Shafiyah pun hidup  sebatang kara dan menjadi tawanan pasukan musuh. Lalu, Bilal menggiring  Shafiyah, melewati banyak mayat keluarga dan kaumnya untuk menghadap  Rasulullah. Melihat kedatangan Shafiyah, Rasulullah bangkit dan menaruh  jubah di kepala Shafiyah. Beliau mendekati Bilal dan berkata, "Apakah  kau sudah tidak punya perasaan kasih sayang hingga membiarkan  wanita-wanita itu melewati mayat orang-orang yang mereka cintai?"
 Kemudian Rasulullah mengambil keputusan mengenai rampasan perang,  termasuk para tawanan. Rasulullah saw berkata pada Shafiyyah, "Pilihlah!  Jika engkau memilih Islam, aku akan menikahimu. Dan jika engkau memilih  agama Yahudi, Insya Allah aku akan membebaskanmu supaya engkau bisa  bergabung dengan kaummu," tawar Rasulullah bijaksana.
 "Ya Rasulullah, Aku telah menyukai Islam dan membenarkanmu sebelum  engkau mendakwahiku. Aku tidak meyakini agama Yahudi. Orangtua dan  saudara-saudaraku pun telah tiada. Allah dan Rasul-Nya lebih aku sukai  dari pada dibebaskan untuk kembali ke pada kaumku," jawab Shafiyah  tegas. Rasulullah pun kemudian menikahi Shafiyah dengan
memberikan mahar berupa kebebasannya.
Walaupun sudah menjadi Ummul Mukminin, banyak sahabat yang kurang menyukai Shafiyah karena latar belakangnya sebagai seorang Yahudi. Bahkan Shafiyah pernah menangis karena Aisyah dan Hafsah –isteri lain Rasulullah- pernah menyindirnya sebagai wanita Yahudi. Lalu Rasulullah menghiburnya: "Mengapa tidak kau katakan, bahwa aku lebih baik dari kamu. Ayahku Harun, pamanku Musa, dan suamiku Muhammad saw?”
Maka sejak itu, setiap ada yang mengganggunya Shafiyah pun menjawab sesuai dengan jawaban yang diajarkan Rasulullah.
Setelah Rasulullah wafat, semakin sering terdengar ada yang mempermasalahkan latar belakang Shafiyah sebagai Yahudi. Namun beliau tetap tegar dan membuktikan kesetiaannya pada Islam dengan membantu Khalifah Umar dan Utsman. Shafiyah wafat pada masa pemerintahan Mu'awiyah bin Sufyan sekitar tahun 50 H. Jenazahnya dimakamkan di Baqi, berdampingan dengan makam istri Rasulullah saw yang lain.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar