Powered By Blogger

Senin, 07 Februari 2011

TAUSIYAH

[17.jpg]


KOMITMEN MUSLIM KEPADA ISLAM



Kekuatan misi seorang muslim, amat bergantung kepada kekuatan komitmennya terhadap Islam. Mulai nomor ini akan dibahas segala hal mengenai komitmen kepada Islam.

Mu’jizat Islam tidak akan pernah habis tergali. Semakin digali akan semakin banyak dan besar keindahan serta kekuatan Islam yang dirasakan manusia. Sebegitu indah, tinggi, dan mulianya Islam. Dengan keagungan karakteristik Islam –meskipun manusia tentu punya keterbatasan dalam menjabarkannya– sangat mudah kita fahami jika sebagian non-Muslim sepanjang sejarah menyadari kekuatan ajaran Islam dalam memengaruhi manusia dan menyadari kecemerlangan masa depan Islam.

Misalnya Emmanuel Deutch. Ilmuwan Jerman ini menilai Islam dengan kalimatnya, “Dengan bantuan Al-Quran orang-orang Arab menaklukan suatu dunia yang lebih besar dari dunia Alexander Agung dan dunia Roma. Dan dalam masa puluhan tahun itu Alexander memerlukan ratusan pengganti untuk melaksanakannya. Sementara dengan pertolongan Al-Quran hanya orang Arab-lah, dari segala bangsa Semit, datang ke Eropa sebagai raja ke negeri-negeri dimana orang-orang Persia telah melawat sebagai orang-orang dagang dan orang Yahudi sebagai orang-orang buruan atau tawanan.”

Itu hanyalah satu dari sekian banyak penilaian orang, bukan Islam terhadap Islam dengan segala perangkat sumber hukumnya. Tapi apa arti Islam yang luhur itu bagi manusia jika ia tidak berkomitmen dan berpegang teguh padanya? Lalu, bagaimana cara orang berkomitmen atau berpegang teguh kepadanya? Dengan kata lain, orang yang dianggap berkomitmen kepada Islam itu orang yang seperti apa? Dengan apa seseorang bisa menisbatkan (menghubungkan) diri dengan Islam?

Apakah dianggap cukup ciri komitmen seseorang kepada Islam dengan cara, misalnya selalu berpakaian jubah- lengkap dengan sorban ala orang Arab, selalu memakai baju koko dan menghindari memakai batik, dengan dalih baju koko itu Islami dan batik itu tidak Islami? Apakah orang yang berkomitmen kepada Islam itu adalah orang yang wajahnya selalu ditekuk, murung, merengut, tak pernah ada rona keramahan, senyuman, sikap bersahabat –selain hanya dengan konco-konco “seperjuangan”? Dan apakah orang yang berkomitmen kepada Islam itu yang punya “keberanian” menghancurkan segala sesuatu dan semua orang yang dibencinya– karena semua itu dianggapnya sebagai thoghut yang harus dimusnahkan dari muka bumi? Apakah pula komitmen kepada Islam ditandai dengan hanya wirid, dzikir, doa, rajin merayakan berbagai peringatan yang diklaim sebagai peringatan Islam atau hari besar Islam, atau ritual-ritual yang kadang tidak jelas atas perintah ayat yang mana atau hadits apa?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu saya akan berbicara tentang sesuatu yang ideal, sesuatu yang seharusnya terjadi atau seharusnya tercapai. Allah memang menghendaki kita mencapai sesuatu yang ideal itu. Tapi jangan kecil hati, karena hanya Allah yang Maha Sempurna. Justru karena ke-Mahasempurnaan-Nya itulah Dia juga bersifat pemurah dan pemaaf. Orang yang Allah nilai sebagai orang shalih bukan harus sesempurna para nabi dan para sahabatnya. Orang yang Allah cintai adalah orang yang memang bisa bersalah, tapi selalu bertaubat dan menyucikan diri alias memperbaiki diri. Selama tidak melakukan dosa syirik, bolong-bolong sedikit bisa ditambal dangan amal kebaikan yang lain.

Mengapa kondisi ideal Muslim harus dipahami dan setiap muslim wajib berusaha untuk mencapainya? Karena meskipun memang urusan final manusia adalah urusan surga atau neraka, akan tetapi manusia beriman punya misi dalam kehidupannya di dunia. Kalau pun bicara “hanya” urusan akhirat yakni surga dan neraka, maka misi manusia beriman adalah menyelamatkan manusia sebanyak-banyak dari perbuatan yang menyebabkan masuk neraka agar menjadi orang-orang yang layak diterima surga.

Namun kenyataannya, toh Islam bukan agama akhirat saja melainkan agama dunia dan akhirat. Jadi kebaikan sempurna adalah kebaikan dunia dan akhirat. Mari camkan doa yang Allah ajarkan kepada kita dalam ayat-Nya, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”(QS Al Baqarah: 201)

Dalam doa yang diajarkan langsung oleh Allah swt itu justru kita diperintah mengejar kebaikan dunia terlebih dahulu sebelum kemudian kebaikan di hari akhirat. Logikanya, kebaikan yang kita capai di dunia punya kekuatan untuk mengantarkan pada kebaikan di hari akhirat.

Nah, itulah misi besar yang diembankan kepada manusia muslim selama hidup di dunia: mewujudkan hasanah (kebaikan) di dalam kehidupan dunia. Jadi misi besar manusia Muslim bukan hanya berurusan dengan hari akhirat melainkan juga dengan kehidupan dunia. Dan karena itulah dibutuhkan komitmen ‘sempurna’ dan ideal dari seorang Muslim kepada Islam. Seorang Muslim harus menjadi bagian dari umat yang layak menyandang predikat umat terbaik (khairu ummah). Tidak ada yang namanya khairu ummah jika tidak ada khairul-afrad (pribadi-pribadi terbaik).

Adalah kekeliruan besar jika ada orang yang mengatakan, “Kita ini sebagai Muslim, tidak apa-apa menderita di dunia yang penting di hari akhirat bahagia.” Kalimat ini sama dengan mengatakan, “Tidak apa-apa kita ditindas, dijajah, dizalimi, dan dipecundangi karena nanti kita akan masuk surga.”

Wajar jika ada tuduhan dari kaum atheis bahwa agama adalah candu (racun). Karena realitasnya memang ada doktrin yang diatasnamakan agama (mungkin juga diatasnamakan keshalihan Islam) untuk rela menerima penderitaan dunia demi mencapai kemuliaan akhirat. Termasuk harus rela dan sabar saat orang lain melakukan tindakan sewenang-wenang, kezaliman, bahkan pembantaian. Karena, kilahnya, orang yang zalim nanti akan disiksa dan orang yang dizalimi nanti akan mendapatkan kebahagiaan di hari akhirat.

Tidak! Pemikiran semacam itu sama sekali bukan bersumber dari akal Islam, apalagi aqidah Islam. Islam berlepas diri dari paradigma yang melahirkan mentalitas budak seperti itu! Pemikiran itu berasal dari akal penjajah yang dimaksudkan untuk melanggengkan cengkeraman penjajahannya –dalam segala bentuknya– dan tidak diusik dengan perlawanan dan sikap kritis orang-orang yang dijajahnya.

Karenanya, adalah salah besar jika tuduhan itu ditujukan kepada Islam. Karena Islam, sekali lagi, tidak mengajarkan kerelaan dan kesabaran untuk ditindas. Bahkan orang yang diperlakukan secara zalim dan tidak mau mengambil tindakan untuk minimalnya menghindari kezaliman orang lain terhadap dirinya disebut oleh Allah sebagai orang yagn menzalimi diri sendiri. Firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya,’Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka menjawab, Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). Para malaikat berkata, ’Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An-Nisa: 97)

Allah juga berfirman, Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (QS Asy-Syura: 39)

Ayat terakhir disebut itu adalah salah ayat yang diturunkan di Mekah. Ayat itu merupakan rangkaian dari ayat-ayat yang menjelaskan tentang karakteristik komunitas (baca: jama’ah) Muslimin yang kelak diharapkan mampu menjadi pengendali peradaban umat manusia saat berkuasa. Dan karena ayat itu Mekah, kita memahaminya bahwa ayat tersebut diturunkan pada masa-masa pembangunan jama’ah kaum Muslimin. Artinya, di antara sifat Muslim adalah yang berani –minimal – membela diri bila dizalimi.

Jadi, kesimpulannya, seorang Muslim hidup bukan untuk di akhirat saja melainkan di dunia dan akhirat. Dan di dunia ia mempunyai misi yang agung dan mulia. Orang karena itu, agar ia dapat menjalankan misinya dengan baik, ia harus berkomitmen kepada Islam secara kuat. Dengan cara bagaimana?




Ketika Islam jadi pegangan hidup, setiap Muslim yang ada di muka bumi ini sesungguhnya adalah saudara yang lebih kuat ikatannya daripada saudara sedarah. Kesadaran ini menimbulkan semangat saling tolong dan saling bela antarsesama Muslim.


Kedua, menjadi bagian dari umat Islam

Setelah memastikan diri sebagai bagian dari Islam, komitmen seseorang kepada Islam juga dibuktikan dengan memosisikan dirinya sebagai bagian dari umat Islam. Sungguh besar “tubuh”–menggunakan perumpamaan yang dipakai Rasulullah saw–umat Islam hari ini. Hasil survei The Pew Forum on Religion and Public Life yang dirilis Oktober 2009 menyebutkan, “Populasi umat Islam di seluruh dunia mencapai 1,57 milyar atau 23% populasi dunia yang kini berjumlah 6,8 miliar jiwa. Angka itu menunjukkan sekitar 1 dari 4 orang penduduk dunia memeluk agama Islam.”

Lembaga itu menambahkan, Islam menjadi agama kedua terbesar di dunia setelah Kristen yang dianut sekitar 2,1-2,2 miliar jiwa. Menariknya, perkembangan Islam di Eropa termasuk yang paling pesat. Harun Yahya, ilmuwan Muslim kenamaan dewasa ini, mengatakan, “Islam berada di titik perkembangan pesat di Eropa. Perkembangan ini telah menarik perhatian yang lebih besar di tahun-tahun belakangan, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak tesis, laporan, dan tulisan seputar ‘Kedudukan Kaum Muslim di Eropa’ dan ‘Dialog antara Masyarakat Eropa dan Umat Muslim’. Beriringan dengan berbagai laporan akademis ini, media massa sering menyiarkan berita tentang Islam dan Muslim.”

Harun Yahya meyakini bahwa peningkatan populasi Muslim ini tidak dapat dianggap hanya disebabkan oleh imigrasi. Meskipun imigrasi dipastikan memberi pengaruh nyata pada pertumbuhan populasi umat Islam, banyak peneliti mengungkapkan bahwa permasalahan ini dikarenakan oleh faktor lain, yaitu angka perpindahan agama yang tinggi.

“Suatu kisah yang ditayangkan NTV News pada 20 Juni 2004 berjudul Islam adalah Agama yang Berkembang Paling Pesat di Eropa membahas laporan yang dikeluarkan badan intelijen domestik Prancis. Laporan tersebut menyatakan bahwa jumlah orang yang memeluk Islam di negara-negara Barat terus bertambah, terutama pascaperistiwa serangan 11 September. Misalnya, jumlah mualaf di Prancis meningkat sebanyak 30 sampai 40 ribu orang pada tahun lalu,” imbuhnya (dikutip dari: us2.harunyahya.com).

Tentu saja realitas itu perlu kita syukuri, sebab perkembangan umat Islam yang demikian pesat dari sisi kuantitas merupakan salah satu pembenar terhadap keyakinan kita; bahwa di alam semesta ini, dan dalam kancah pertarungan antara hidayah dan kesesatan, hanya ada satu kekuatan yang berpengaruh, yakni kekuatan Allah swt. Hanya ada satu rencana yang berlaku yakni rencana Allah swt, dan hanya ada satu kendali yang efektif yakni kendali Allah swt.

Semua kekuatan, segala rencana, dan setiap kendali manusia bertekuk lutut di hadapan kekuatan, rencana dan kendali-Nya. Benarlah firman-Nya: Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat menyesatkannya. Bukankah Allah Maha Perkasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) mengazab?” (QS Az-Zumar: 37). Lihat juga QS Ash-Shaff: 8 dan An-Naml: 50.

Jadi, di satu sisi kita berbahagia dan bersyukur, tapi di sisi lain kita boleh bertanya, sudahkah setiap Muslim memosisikan dirinya sebagai bagian dari umat Islam yang besar itu? Apakah setiap Muslim sudah memerankan dirinya sebagai anggota tubuh pada diri seseorang atau bagaikan komponen dalam satu bangunan, sebagaimana yang disebut Rasulullah saw dalam sabdanya?

Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berempati adalah bagaikan satu tubuh. Jika satu anggota tubuh itu merasakan sakit maka seluruh tubuh turut terjaga dan merasa demam” (HR Muslim).

“(Sikap) seorang mukmin terhadap mukmin lainnya bagaikan bangunan, satu sama lain saling menguatkan” (HR Bukhari dan Muslim).

Lalu, apa konsekuensi dari afiliasi kepada umat Islam itu? Konsekuensinya antara lain:

Pertama, menempatkan diri sejajar dengan Muslim lainnya, di bagian bumi mana pun mereka tinggal. Tidak ada perasaan lebih mulia atau lebih tinggi hanya karena perbedaan kebangsaan, ras, warna kulit, status sosial, harta atau parameter-parameter duniawi lainnya. Dalam momentum yang amat penting dan strategis, yakni haji wada’ (perpisahan), Rasulullah saw menegaskan, “Wahai segenap manusia, ingatlah bahwa Tuhan kalian adalah satu dan bahwa ayah kalian adalah satu. Ingatlah, tiada keutamaan bagi bangsa Arab atas bangsa non-Arab, tidak ada keutamaan bagi bangsa non-Arab atas bangsa Arab, tidak pula bagi bangsa berwarna kulit merah atas bangsa berwarna kulit hitam dan tidak pula bangsa berwarna kulit hitam atas bangsa berwarna kulit merah melainkan dengan ketakwaan.”

Kedua, menghormati dan menjaga kehormatan, harta, fisik dan jiwa Muslim lainnya. Artinya, kita tidak boleh menodai, melukai, merusak, atau merampas kehormatan, harta, fisik, jiwa sesama Muslim. Dalam kesempatan haji wada’ itu pun Rasulullah saw menyatakan, “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (dilanggar, dinodai, dirampas) seperti haramnya hari ini, bulan ini dan negeri kalian ini.”

Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw juga bersabda, “Muslim (sejati) adalah orang yang (menyebabkan) orang-orang Muslim lainnya selamat dari (gangguan) lidah dan tangannya.”

Ketiga, menjauhkan sesama Muslim dari segala marabahaya. Orang yang merasakan dirinya sebagai bagian dari umat Islam akan merasa sakit dan menderita bila ada saudaranya yang mengalami kenestapaan, baik fisik maupun psikis. Oleh karena itu ia akan senantiasa berusaha menjauhkan segala sesuatu yang menyakitkan dari tubuh umat Islam. Sebaliknya, orang munafik–orang yang yang Islamnya hanya pura-pura–justru merasa senang manakala umat Islam mendapat gangguan dan petaka, dan merasa sedih jika umat Islam memperoleh kebahagiaan. Allah swt melukiskan sikap orang-orang munafik itu dalam ayat-Nya: Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan(QS Ali ‘Imran:120). Juga dalam QS Al Ahzab: 19.

Keempat, menghadirkan solusi untuk berbagai persoalan yang dihadapi kaum Muslimin khususnya dan umat manusia pada umumnya. Kehadiran seorang Muslim hendaknya menjadi bermakna dan bukan menjadi beban bagi orang lain. Dalam kehidupan, dunia ini tidak mungkin sunyi dari orang-orang yang bernasib nestapa dan membutuhkan sentuhan tangan untuk memberdayakannya. Beliau bersabda: “Barangsiapa mengenyahkan satu kedukaan dunia dari seorang Mukmin maka Allah mengenyahkan kedukaan darinya pada hari kiamat. Barangsiapa memberikan kemudahan bagi orang yang kesulitan maka Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim maka Allah akan menutupi (aib)-nya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hambanya selama ia menolong saudaranya” (HR Muslim).

Menjadi bagian dari umat Islam berarti seorang Muslim tidak hanya menambah bilangan, tapi juga menambah manfaat dan kualitas. Allahu A’lam.





Dengan terjun langsung ke kancah dakwah, seorang Muslim akan tahu sekecil apa pun perkembangan umat ini, lalu mensyukurinya. Pun memahami setiap permasalahan umat, lalu berupaya mencari solusinya.
Ketiga, menjadi bagian dari perjuangan dan dakwah Islam
Islam dan perjuangan Islam hari ini tidak membutuhkan tambahan para pengamat. Umumnya pengamat hanya melihat Islam dan perjuangan Islam dari “kejauhan” atau dari luar. Karenanya, tidak sedikit pengamat yang mudah menyederhanakan persoalan atau menggeneralisir penilaian.
Bukanlah berita baru bila ada pengamat yang tidak objektif menilai sebuah perjuangan atau situasi yang dialami umat Islam. Bila pengamat melihat betapa kemaksiatan masih merajalela, segeralah ia mengatakan, “Mana hasil dakwah? Omong kosong! Tidak ada efek dari berbagai ceramah dan pengajian yang dilakukan di masjid atau disiarkan media massa.” Dalam anggapannya seolah memang tidak ada manfaat sama sekali apa yang dilakukan orang-orang yang aktif di kancah dakwah.
Namun ada kalanya pengamat juga over estimasi. Misalnya dengan mengatakan segala sesuatu sudah cukup. Tidak ada masalah pada umat Islam dan dakwah Islam. Semua yang terjadi sudah ideal.
Amat berbeda dengan pelaku dakwah dan perjuangan Islam. Orang yang terjun langsung dalam liku-liku perjuangan dakwah akan melihat persoalan secara objektif dan merespons segala capaian, sekecil apa pun, dengan penuh rasa syukur. Bertambahnya orang yang dapat membaca Qur'an saja, dalam kacamata seorang pejuang, adalah sebentuk keberhasilan yang disyukurinya. Terlebih lagi keberhasilan memberi pengaruh dalam hal-hal yang terkait dengan kepentingan publik.
Itulah beda pengamat dengan pelaku. Apalagi bila pengamat sudah dimuati beban kebencian dan iri dengki. Memang sejak zaman Rasulullah saw, model pengamat yang mengamati kaum Muslimin dengan pandangan kebencian sudah ada. Perilaku itu disebutkan dalam Qur'an sebagai perilaku orang munafik. Jika mereka melihat seorang Muslim bersedekah dalam jumlah kecil, mereka mengatakan bahwa Allah tidak membutuhkan sedekah yang kecil. Jika mereka melihat seorang Muslim mengeluarkan infak dalam jumlah besar, mereka mengatakan bahwa hal itu dilakukan dengan riya.
Tentang itu Allah swt menjelaskan, “(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang Mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih(QS At-Taubah [9]: 79).
Jadi, mari kita hadir bukan sebagai pengamat, melainkan pelaku perjuangan dan dakwah Islam. Penting dimengerti oleh setiap Muslim, semua umat Islam dapat memberi kontribusi untuk perjuangan Islam dan dakwah Islam. Melakukan perjuangan Islam bukan hanya monopoli para ustadz, muballigh, kyai, atau orang dengan label dan gelar tertentu. Tidak!
Harap dicatat, jika kita mengacu pada generasi sahabat dalam kancah perjuangan Islam, maka ketahuilah bahwa tidak semua sahabat adalah penghafal Quran (huffazh), tidak semua sahabat adalah mufassir, tidak semua sahabat menghafal banyak hadits, dan tidak semua sahabat ahli fiqih (faqih). Toh mereka tetap diakui sebagai para pejuang Islam, dengan peran dan posisinya masing-masing. Misalnya, Khalid bin Al-Walid, ia bukanlah tipe ulama seperti yang kita kenal di zaman ini. Ia 'hanyalah' ahli strategi perang dan kepemimpinan di medan laga.
Esensi perjuangan Islam adalah i’laa-u kalimatillahi, menegakkan kalimat Allah. Maknanya adalah segala upaya yang ditujukan untuk menjadikan ajaran Islam sebagai rujukan dalam setiap sendi kehidupan. Dan dakwah adalah upaya mengajak orang ke arah itu.
Jadi, pastilah dakwah mempunyai manfaat yang tinggi, antara lain:
  1. Dakwah mendatangkan pahala yang besar
Tentang agungnya pahala berdakwah, Rasulullah saw bersabda, “Sungguh, jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang melalui (usaha dakwah) kamu, maka (pahalanya) bagimu lebih baik dari unta-unta merah” (HR Bukhari dan Muslim).
Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukannya” (HR Muslim).
  1. Dakwah menghadirkan curahan rahmat Allah
Menyeru manusia kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar akan mendatangkan rahmat dari Allah. Firman-Nya, “Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang maruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS At-Taubah [9]: 71).
Rasulullah saw bersabda, “Semoga Allah mencerahkan (membahagiakan, merahmati) seseorang yang mendengar dari kami satu hadits (ajaran Islam) lalu ia menyampaikannya kepada orang lain. Sebab boleh jadi pembawa suatu pemahaman (ajaran Islam) menyampaikan kepada orang lain yang (menjadi) lebih paham dari dirinya. Dan boleh jadi pembawa (penyampai) suatu pemahaman tidak termasuk orang yang faqih” (Shahih Ibnu Hibban).
3. Memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran akan menjauhkan malapetaka di dunia
Ada sunnatullah yang berlaku di dunia ini, yakni manakala kerusakan dan penyimpangan dibiarkan merajalela di suatu negeri, Allah akan membinasakan negeri tersebut. Sejarah kehidupan telah membuktikan kebenaran sunnatullah tersebut. Al-Qur'an mengisahkan kepada kita contoh-contoh bangsa besar yang hancur akibat menyimpang dari agama Allah. Allah berfirman, “Apakah mereka tidak memerhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain” (QS Al-An’am [6]: 6).
4. Mengajak orang lain kepada kebaikan akan mendorong pembersihan jiwa (tazkiyatunnafs)
Saat kita mengajak orang lain kepada kebaikan, kita akan selalu berusaha untuk menjadi seperti yang kita serukan. Sungguh, itu karunia yang luar biasa. Saat berdakwah kita meyakini firman Allah swt, “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar” (QS Al-Anfal [8]: 29). Inilah sebuah dorongan dalam diri kita.
Jika Rasulullah saw bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menegakkan kebenaran. Mereka tidak terganggu oleh orang-orang yang menghinadinakan mereka, tidak pula oleh orang yang menentang mereka, hingga datang kemenangan dari Allah dan mereka tetap (konsisten) dalam keadaan demikian. Jika Rasul bersabda demikian, adakah kita termasuk di dalamnya?







BERBUAT KEBAIKAN ITU MUDAH DAN RINGAN

Dalam kajian Hadits Arba’in nomor 26 sebelumnya telah disebutkan bahwa Rasulullah saw begitu bersemangat dalam menunjukkan dan membuka setiap peluang kebaikan bagi umatnya. Beliau saw juga selalu berupaya menepis dan menutup munculnya sifat putus asa dan rasa tidak mampu dari dalam diri umatnya saat mereka dihadapkan pada berbagai amal keagamaan yang mereka anggap berat.

Perbuatan ringan bernilai sedekah

Rasulullah saw menjelaskan bahwa, “Pada diri manusia terdapat 360 ruas tulang, maka hendaklah ia bersedekah melalui setiap ruas ini.” Mendengar hal itu, spontan saja para sahabat bertanya, “Siapakah yang mampu melakukannya, wahai Nabi Allah?”

Spontanitas para sahabat ini wajar saja. Betapa tidak, bagi kebanyakan para sahabat yang sederhana, mungkinkah setiap hari bersedekah sebanyak 360 kali? Lebih tidak mungkin lagi adalah bahwa sedekah yang 360 kali itu hendaknya dilakukan oleh setiap ruas tulang!

Melihat bahwa para sahabatnya – juga umatnyakeberatan atas hal ini, maka Rasulullah menjelaskan jalan keluarnya. Beliau kemudian bersabda, “Engkau meludah di masjid dan menguruk (atau menimbun dengan pasir karena di zaman itu lantai masjid masih berupa pasir), sesuatu yang ada di jalan yang engkau singkirkan…

Penjelasan seperti itu membuat sahabat mengerti bahwa bersedekah 360 kali, setiap hari dan atas nama setiap ruas tulang, ternyata bisa diwujudkan melalui pekerjaan-pekerjaan ringan. Begitu mudahnya hingga siapa saja, baik tua atau muda, kaya atau miskin, besar atau kecil, asal bersedia, dapat melakukannya.

Siapakah yang tidak mampu menguruk ludahnya dengan pasir atau kerikil atau semacamnya setelah ia meludah? Siapakah yang tidak mampu menyingkirkan sesuatu yang berpotensi membahayakan orang yang lewat dari tengah jalan? Siapakah yang keberatan untuk mengucapkan tasbih (subhanallah), tahmid (alhamdulillah), takbir (Allahu Akbar), istighfar (astaghfirullah) dan semacamnya?

Kenapa manusia tidak tertarik membantu saudaranya yang sedang mengangkat atau menjinjing barangnya? Siapakah yang merasa keberatan memberi petunjuk arah yang benar saat melihat orang kehilangan arah dalam suatu perjalanan? Dan yang lebih ringan lagi adalah, siapakah yang tidak mampu menahan dirinya agar tidak menyakiti orang lain?

Dalam penjelasan selanjutnya, beliau saw bersabda, "Jika tidak mampu, maka dua rakaat Dhuha cukup sebagai gantinya” (Hadits shahih lighairihi diriwayatkan oleh Ahmad [5/354, 359] dan Abu Daud hadits no. 5242). Jadi, bahkan sedekah pun dapat diganti dengan ‘hanya’ mengerjakan shalat Dhuha.

Rasulullah pun mencontohkan perbuatan ringan lainnya yang bernilai sedekah. Beliau bersabda, "Kalian tidak akan masuk surga sehingga beriman, dan tidak beriman sehingga saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai? Maka. sebarkanlah salam di antara sesama kalian" (hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim no. 106).

Di bagian awal hadits ini, ada kesan ancaman. Sebab dinyatakan oleh beliau para sahabat tidak akan dapat masuk surga. Namun Rasulullah memberi jalan keluar agar para sahabat – dan umatnya – bisa masuk surga, yaitu dengan cara: beriman. Rupanya, beriman pun dianggap sulit. Maka, Rasulullah memberi jalan keluar lainnya, yaitu dengan keharusan saling mencintai sesama mukmin. Lalu beliau saw menunjukkan rahasia untuk saling mencintai, yaitu menyebarluaskan salam.

Sifat-sifat Rasulullah saw

Contoh-contoh tersebut menegaskan bahwa Rasulullah saw, sebagaimana tercantum dalam QS At-Taubah: 128, adalah seorang Rasul yang merasakan beratnya penderitaan yang dialami umatnya, yang sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi umatnya dan yang penyantun serta penyayang terhadap orang-orang yang beriman.

Sifat-sifat Rasulullah tersebut merupakan suri teladan bagi umatnya, dalam konteks ini khususnya untuk para guru, pendidik dan pemimpin. Dalam rangka meneladani Rasulullah dalam perkara ini, para pakar pendidikan Islam menjelaskan, di antara adab seorang guru kepada muridnya hendaklah:

  • Memberi bimbingan kepada sang murid agar ia mencapai kemaslahatannya.
  • Bersikap sayang dan lembut kepada sang murid.
  • Membantunya sekuat kemampuannya agar sang murid mendapatkan ilmu.
  • Memotivasinya agar selalu semangat dalam belajar.
  • Senantiasa mengingatkan sang murid akan keutamaan ilmu, sebab yang demikian itu akan meningkatkan semangatnya.
  • Memerhatikan kemaslahatan sang murid sebagaimana ia memerhatikan kemaslahatan anak dan dirinya sendiri.
  • Mencintai sang murid sebagaimana ia mencintai diri sendiri.
  • Menjauhkan sang murid dari hal-hal yang tidak disukainya sebagaimana ia menjauhkan hal itu dari dirinya (lihat At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur'an, karya Imam Nawawi, hal. 39 – 40).

Kemudian dengan memerhatikan teladan Rasulullah tersebut, maka terkait dengan pemimpin, para ulama pun mengatakan bahwa di antara adab pemimpin adalah:

  • Bersikap sayang dan lembut kepada rakyat.
  • Mengambil hak dari mereka dan menyerahkannya kepada yang berhak.
  • Menutup celah-celah yang membahayakan mereka.
  • Mengamankan jalan.
  • Menegakkan keadilan dengan cara menindak yang zalim dan membela yang terzalimi.
  • Mengupayakan agar si kuat membela si lemah (lihat Al-Jauhar an-Nafis fi Siyasat Ar-Rais, hal. 133).

Adab-adab seperti ini, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama adab (pendidikan) dan ulama-ulama siyasah (politik), adalah hasil kajian dan penelusuran mereka kepada cara-cara Rasulullah saw dalam mendidik dan memimpin, yang semuanya mengacu kepada QS At-Taubah: 128, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Inilah butir-butir pelajaran yang dapat digali dari hadits Arba'in An-Nawawiyyah ke-26. Semoga Allah swt memberi taufik, hidayah dan kekuatan kepada kita dan menjadikan kita hamba-hamba yang mendengarkan perkataan-perkataan yang terbaik, lalu mengikuti dan mengamalkannya. Amiin.







MENGGANJAL, RAGU DAN MALU

Di antara kandungan hadits Arba’in Nawawiyah yang ke-27 adalah penjelasan tentang al-itsm (dosa). Rasulullah saw mendefinisikan al-itsm sebagai, ”Sesuatu yang mengganjal dalam jiwamu dan engkau tidak suka bila hal itu terlihat oleh manusia (orang lain)" (HR Muslim).
Dalam riwayat lain beliau saw mendefinisikannya, ”Sesuatu yang mengganjal di dalam jiwa dan ragu di dada, meski manusia memberi fatwa kepadamu.” (Imam Nawawi berkata, "Hadits hasan, kami meriwayatkannya dalam dua kitab Musnad; Ahmad bin Hanbal dan Ad-Darimi dengan isnad hasan.").
Ciri-ciri dosa
Penjelasan Rasulullah saw di atas menegaskan bahwa dosa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Terasa mengganjal di jiwa.
  2. Ada keraguan di dada.
  3. Tidak senang kalau diketahui atau terlihat oleh orang lain, sebab jika orang lain mengetahuinya niscaya mereka mengingkarinya (menganggapnya sebagai suatu yang salah atau buruk).
Atau pada hakikatnya hanya ada dua ciri, yaitu terasa mengganjal di jiwa dan ragu di dada oleh yang melakukannya. Dengan kata lain, hatinya sendiri mengingkarinya. Jika hal ini ada pada hati seorang mukmin, cukuplah itu menjadi ciri atau pertanda bahwa perbuatan yang akan dilakukannya itu adalah dosa.
Dalam konteks seperti ini maka benarlah pendapat Ibnu Mas’ud ra (wafat 32 H) yang menyatakan, ”Apa yang dilihat oleh orang-orang beriman sebagai kebaikan, maka hal itu di sisi Allah swt adalah baik. Dan apa yang dilihat oleh orang-orang beriman sebagai buruk, maka di sisi Allah swt hal itu adalah buruk” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad).
Jiwa seorang Mukmin
Ciri-ciri dan kaidah tentang dosa tersebut tidak berlaku bagi semua hati, jiwa dan dada. Ini hanya berlaku bagi jiwa, dada dan hati orang yang beriman, di mana keimanan telah mendarah daging, merasuk sampai ke relung-relung hati. Sebab, hati seorang yang fasik, ahli maksiat, apalagi kafir dan atheis, atau hati dan jiwa manusia-manusia yang telah rusak fitrahnya, maka bagi mereka berbuat dosa malah menjadi suatu kebanggaan dan tidak ada sedikit pun keraguan atau ganjalan dalam melakukannya. Bahkan, saat diingatkan dan diberitahu tentang dosa suatu perbuatan, mereka bukannya sadar, tapi malah timbul dalam diri mereka rasa ego dan gengsi bahkan kebanggaan dengan dosa-dosa dan maksiat yang dilakukannya, sebagaimana diceritakan dalam QS Al-Baqarah (2): 206.
Terkait hal ini, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (736–795 H), ulama yang mengulas hadits Arba’in, berkata, “Hal ini hanya terjadi pada seseorang yang hatinya terbuka dan menjadi tempat bersemayam bagi keimanan.” Yaitu, hati mereka yang telah tenteram dengan keimanan, lapang dadanya karena cahaya ma’rifat dan telah dipenuhi oleh keyakinan kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Timbul keraguan
Keraguan tentang apakah suatu perbuatan itu dosa atau bukan, bisa terjadi dalam dua kondisi, yaitu:
  1. Saat tidak ada nash dalam masalah yang dihadapinya.
  2. Ada nash, tetapi belum jelas baginya yang manakah yang berkenaan secara tepat dengan kasusnya; apakah nash tersebut 'membolehkan'–berarti halal dan tidak berdosa–ataukah nash tersebut 'melarang'–berarti haram dan berdosa jika ia melakukannya. Dengan kata lain, seseorang masih dalam posisi syubhat.
Hal ini perlu ditegaskan sebab segala perkara yang telah dijelaskan oleh nash, maka manusia wajib mengikuti nash itu, apa pun perasaan hatinya, suara jiwanya, kondisi dadanya serta apapun komentar dan tanggapan manusia. Ini karena manusia berkewajiban mengikuti nash dan dalil yang datang dari Allah swt dan Rasul-Nya.
Jadi, jika ada dalil atau nash yang menjelaskan riba, zina, mencuri dan semacamnya adalah haram, maka manusia wajib meninggalkannya, tanpa memperhatikan lagi suara hatinya. Dan jika suatu perbuatan dinyatakan oleh dalil/nash sebagai halal, maka harus dilakukan oleh manusia, apa pun perasaan jiwanya.
Penegasan ini penting sebab manusia terkadang menolak sesuatu yang jelas-jelas ada dalil atau nashnya. Misalnya rukhshah dibolehkan shalat jama’ (dua waktu digabung menjadi satu waktu, misalnya Zhuhur dengan Ashar, atau Maghrib dengan Isya’) atau qashar (shalat empat raka'at dilakukan dua raka’at saja).
Sebagian kaum Muslimin terkadang tidak mau melakukan shalat jama’ dan qashar walaupun ia sedang dalam keadaan sakit atau bepergian. Alasannya, suara hatinya mengatakan itu merupakan dosa atau kesalahan, atau takut pahalanya dikurangi. Padahal jelas yang membolehkan adalah Allah swt, dan Dia senang jika rukhshah (kemurahan-Nya) diterima dan digunakan, sebagaimana Dia juga senang kalau azimah (bukan rukhshah)-Nya diterima dan digunakan.
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, ”Hadits Wabishah dan yang semakna dengannya menunjukkan kewajiban seorang mukmin untuk merujuk kepada hati saat ia dalam posisi syubhat, apa saja yang hatinya merasa tenang terhadapnya, dan dadanya merasa lega, maka hal itu berarti merupakan kebajikan dan halal, dan yang tidak demikian, berarti itu merupakan dosa dan haram.”
Selanjutnya Ibnu Rajab juga menjelaskan, ”Jika seorang mufti memberikan fatwa dengan berdasar kepada dalil syar’i, maka wajib bagi seseorang yang meminta fatwa untuk berpegang kepada dalil syar’i itu, walaupun dadanya tidak merasa lega terhadapnya. Yang ini terjadi dalam kasus-kasus rukhshah, seperti tidak berpuasa saat bepergian atau sakit, meng-qashar shalat dan semacamnya, di mana banyak dada orang-orang bodoh yang merasa tidak lega. Ketidaklegaan dalam posisi demikian tidak ada bobot dan nilainya sama sekali.”
Rasulullah saw terkadang memerintahkan para sahabat dengan perintah-perintah yang mereka merasa tidak lega dalam menjalaninya. Karena itu kadang mereka menolak perintah beliau saw tersebut. Maka murkalah Rasulullah saw kepada mereka.
Singkatnya, jika ada nash, maka tidak ada pilihan bagi seorang Mukmin kecuali menaati Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana penjelasan QS Al-Ahzab (33): 36. Pun perintah Allah dan Rasul-Nya harus diterima dengan lapang dada, tanpa rasa sempit dan pasrah kepada-Nya, sebagaimana dijelaskan QS An-Nisa’ (4): 65.
Kesimpulannya, yang disebut dosa adalah:
  1. Segala sesuatu yang secara nash (dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah) dinyatakan sebagai perbuatan dosa. Ketetapan dosa seperti ini tidak perlu lagi melihat perasaan jiwa dan suara hati.
  2. Segala sesuatu yang tidak ada nash atau dalilnya, atau ada dalil tetapi ia masih dalam posisi syubhat. Jika demikian halnya, maka untuk menilai apakah itu dosa, hendaklah ia memerhatikan perasaan pribadinya. Jika hatinya mengatakan bahwa hal itu dosa, dan kemudian dikuatkan pula oleh perasaan orang-orang beriman lainnya, maka ia wajib meninggalkannya.
  3. Segala sesuatu yang tidak ada nash atau dalilnya, atau ada dalil tetapi ia masih dalam posisi syubhat. Jika demikian, maka untuk menilai apakah hal itu dosa atau bukan hendaklah ia memerhatikan perasaan pribadinya, walaupun suara pribadinya bertentangan dengan suara orang beriman lainnya. Jika ia merasa lebih yakin bahwa suara hatinya lebih tepat, lebih benar dan ia lebih mengerti bahwa orang lain itu tidak tahu kedalaman masalah sebagaimana yang ia ketahui. Wallahu a’lam.







BERSYUKUR ATAS NIKMAT ALLAH

Di antara kandungan hadits Rasulullah saw dalam kitab Arba'in Nawawiyyah yang ke-26 ini adalah pelajaran kepada manusia untuk mensyukuri nikmat Allah swt yang sangat melimpah dan tidak dapat dihitung.

Sebab, hadits Arba'in ini bisa dimaknai atau dipahami, “diciptakan oleh Allah terdiri dari banyak ruas, semuanya ada tiga ratus enam puluh (360) ruas. Setiap ruas ini mencerminkan kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia. Oleh karena itu, setiap ruas ini diperintahkan untuk bersedekah, sebab atas nama setiap ruas ini merupakan ekspresi dan bentuk syukur manusia kepada Allah.” (lihat Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jami' al-Ulum wa al-Hikam saat menjelaskan hadits ini).

Kewajiban manusia untuk mensyukuri nikmat penciptaan manusia yang terdiri dari susunan ruas-ruas dan organ-organ ini telah diisyaratkan dalam QS Al-Infithar: 6-8, QS Al-Mulk: 23, QS An-Nahl: 78, QS Al-Balad: 8-9.

Diceritakan bahwa pada suatu malam seorang ulama bernama al-Fudhail bin 'Iyadh membaca Al-Qur'an surat Al-Balad ayat 8 sampai 9 ini, lalu ia menangis. Maka orang-orang yang melihatnya menanyakan apa yang membuatnya menangis? Ia menjelaskan, "Tidakkah engkau memasuki malam harimu dalam keadaan bersyukur kepada Allah swt yang telah memberikan dua mata kepadamu dan dengan dua mata ini engkau dapat melihat? Tidakkah engkau memasuki malam harimu dalam keadaan bersyukur kepada Allah swt yang telah menjadikan untukmu satu lidah yang dengannya engkau dapat berbicara?" Fudhail terus menerus menyebutkan organ-organ seperti ini dengan mengajukan pertanyaan retoris yang sama.

Kenikmatan yang terlupakan

Sebagai penegas terhadap keharusan untuk mensyukuri nikmat Allah ini, Rasulullah bersabda, “Ada dua kenikmatan, banyak manusia menjadi merugi gara-gara dua kenikmatan ini, yaitu; nikmat kesehatan dan nikmat waktu luang.” (HR Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits no. 6412).

Bukankah semua ruas tulang belulang manusia merupakan wujud dari kesehatan yang Allah swt berikan itu? Namun, sayangnya, sebagaimana tersebut dalam hadits, banyak manusia melupakannya sehingga mereka menjadi merugi karena tidak mensyukurinya.

Pertanggungjawaban untuk setiap kenikmatan

Semua kenikmatan yang Allah swt berikan kepada manusia akan dimintai pertanggungjawabannya. Termasuk kenikmatan yang berupa 360 ruas tulang belulangnya. Caranya adalah dengan menunaikan hak dan kewajiban setiap ruas tulang belulang tersebut untuk bersedekah, sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan yang lalu.

Hal ini sejalan dengan QS At-Takatsur: 8 yang menegaskan bahwa manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala bentuk kenikmatan yang telah diterimanya. Sejalan pula dengan QS Al-Isra':36 yang menegaskan bahwa pendengaran, penglihatan dan hati itu akan dimintai pertanggungjawaban.

Cara mensyukuri nikmat Allah

Ada banyak cara yang dapat dilakukan manusia untuk mensyukuri nikmat Allah swt. Secara garis besar, mensyukuri nikmat ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

  1. Mensyukuri dengan hati, dengan mengakui, mengimani dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan ini datangnya dari Allah swt semata.

  2. Mensyukuri dengan lisan, dengan memperbanyak ucapan alhamdulillah (segala puji milik Allah) wasysyukru lillah (dan segala bentuk syukur juga milik Allah).

  3. Mensyukuri dengan perbuatan.

    1. Mempergunakan segala bentuk kenikmatan Allah untuk menunaikan perintah-perintah Allah, baik perintah wajib, sunnah maupun mubah.

    2. Mempergunakan segala bentuk kenikmatan Allah dengan cara menghindari, menjauhi dan meninggalkan segala bentuk larangan Allah, baik larangan yang haram maupun yang makruh.

Syukur dengan hati, lisan dan perbuatan ini hendaklah terefleksi dan tercermin pada setiap momentum yang bersifat zhahir, bahkan yang tersamar sekalipun. Contoh cerminan sikap mensyukuri nikmat Allah yang tampak secara lahir ini dapat dilihat dalam sikap Nabi Sulaiman as saat ia mendapati singgasana Bilqis telah ada di sampingnya dalam sekejap mata. Saat itu Nabi Sulaiman langsung berkata, "Ini adalah anugerah Allah. Dia bermaksud mengujiku, adakah aku bersyukur ataukah aku kufur." (QS An-Naml: 40)

Juga tampak dari sikap Raja Dzulqarnain yang sukses membangun radm (semacam benteng) untuk menghalau serbuan Ya'juj Ma'juj. Setelah sukses besar yang luar biasa ini, ia tidak menisbatkan prestasi spektakulernya itu kepada dirinya, akan tetapi menisbatkannya kepada Allah. Ia berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku." (QS Al-Kahfi: 98)

Sikap yang sebaliknya ditunjukkan oleh Qarun. Saat ia ditanya oleh kaumnya tentang sukses bisnisnya, ia tidak menisbatkan sukses itu kepada Allah. Dengan penuh 'ujub, sombong dan takabbur ia berkata, "Semua ini aku dapatkan semata-mata karena ilmuku, kepintaranku, kepiawaianku" (QS Al-Qashash: 78). Karena itulah ia diazab Allah.

Nikmat Allah terlalu banyak

Jumlah kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia begitu banyaknya, dan sekiranya manusia bermaksud menghitungnya, niscaya ia tidak akan mampu melakukannya, sebagaimana QS Ibrahim: 34 dan QS An-Nahl: 18.

Jika kenikmatan sangat banyak dan manusia tidak akan mampu menghitungnya, lalu bagaimana kita harus mensyukuri seluruhnya?

Memang demikianlah adanya, yaitu bahwa manusia tidak akan mampu mensyukuri seluruh nikmat yang Allah berikan kepada manusia. Oleh karena itu, jangan ada perasaan, apalagi keyakinan bahwa manusia akan mampu mengimbangi seluruh kenikmatan Allah dengan mensyukurinya. Dengan demikian, manusia akan terus berusaha untuk secara terus menerus mensyukurinya.

Inilah yang dilakukan Rasulullah saw. Beliau terus melakukan shalat malam yang panjang dan sangat baik, sehingga telapak kaki beliau bengkak-bengkak. Saat 'Aisyah ra bertanya, “Bukankah dosa engkau yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni oleh Allah?" Maka beliau saw menjawab, "Tidakkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?" (HR Muslim, no 2819).

Namun, perasaan bahwa manusia tidak akan mampu mensyukuri nikmat Allah, bisa menjadi kontraproduktif. Ini akan menjadikan manusia frustrasi dan putus asa untuk dapat mensyukuri nikmat Allah dan sikap ini tentunya tidak dibenarkan oleh Islam. Oleh karena itu, ada dua cara yang ditawarkan Rasulullah dalam hal ini, yaitu:

  1. Setiap hari hendaklah manusia menunaikan shalat Dhuha. Terkait hal ini beliau bersabda, "Semua itu cukup tergantikan dengan dua rakaat Dhuha(HR Muslim, hadits no. 720). Maksudnya, shalat Dhuha bernilai cukup untuk menggantikan kewajiban setiap ruas tulang belulang manusia dalam menunaikan kewajibannya untuk bersyukur.

  2. Hendaklah seorang manusia merutinkan membaca dzikir pagi dan sore dengan bacaan sebagai berikut: Allahumma ma ashbaha bi (kalau sore membaca: Allahumma ma amsa bi) min ni'matin auw bi ahadin min khalqika faminka wahdaka la syarika laka, falakal hamdu walakasy-syukru. Yang artinya "Ya Allah, kenikmatan apa saja yang engkau berikan kepadaku pada pagi hari ini, atau pada sore hari ini, atau yang engkau berikan kepada siapa pun dari makhluk-Mu, maka semua itu adalah dari-Mu semata, tidak ada sekutu bagi-Mu, maka, untuk-Mu segala puji dan untuk-Mu pula segala syukur."

Rasulullah menjelaskan bahwa siapa saja yang pada pagi harinya membaca dzikir tersebut, maka ia telah menunaikan syukurnya pada hari itu. Dan siapa saja yang membaca dzikir tersebut pada sore harinya, maka ia telah menunaikan syukurnya pada malam hari itu. (HR Abu Daud, An-Nasa-i, menurut Imam Nawawi, hadits ini Isnad hadits ini bagus dan Abu Daud tidak mendha'ifkannya. Namun menurut Syekh Nashiruddin al-Albani hadits ini dha'if)

Syekh Abul Hasan Ubaidullah al-Mubarakfuri berkata dengan mengutip dari Imam Asy-Syaukani, "Hadits Rasulullah ini mengandung faedah agung dan perilaku mulia, sebab hadits ini telah menjelaskan bahwa kosa kata yang singkat dan pendek ini telah mampu menunaikan kewajiban bersyukur...” (lihat Mir'atul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, juz 8 hal. 148).










MUKMIN BEMENTAL KAYA

Beberapa orang berpendapat bahwa kaya itu adalah pilihan dan hanya di’jatuhkan’ pada mereka-mereka yang mau dan punya mental kaya. Disebutkan contoh, orang-orang yang bermental kaya setiap kali memiliki harta akan terlebih dahulu mengupayakan terjadinya pertambahan nilai baik dengan menabung atau dengan melakukan pengeluaran yang memberi nilai tambah seperti berinvestasi atau membeli aset.

Sementara orang yang bermental miskin saat memperoleh harta cenderung menghabiskan hartanya. Jarang berpikir membeli aset atau sekedar menabung dengan alasan, ah hartaku hanya segini-gininya, untuk apa disimpan-simpan, habiskan saja. Belum tentu dapat kesempatan lagi…

Tidak, saya tidak akan mempersoalkan sanggahan seperti: banyak juga kok orang kaya yang foya-foya dan orang miskin yang gigih menambah aset hingga menjadi kaya. Saya hanya berpusat pada satu hal, tentang orang bermental kaya yang senang dengan nilai tambah, yaitu setiap kegiatan yang mampu memberikan nilai lebih kepada kekayaannya sehingga menjadi semakin berlipat ganda.

Di dalam ajaran Islam terdapat begitu banyak kesempatan untuk memberi nilai tambah dalam hal kekayaan (baik yang berwujud materil maupun non materil) yang kerap dianjurkan baik lewat nash Quran dan hadits.

Ambillah contoh betapa nilai tambah harta dijanjikan oleh Yang Maha Menepati Janji akan datang lewat berinfaq, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (2:261). Begitupula ketika hadis Rasulullah saw menyatakan, “Harta yang dizakati tidak akan pernah susut (berkurang).” (HR. Muslim)

Namun, meski telah begitu gamblang diungkapkan, masih banyak orang yang mengaku beriman pada Quran dan Sunnah tetapi tidak terdorong untuk memiliki mental kaya dengan memperbanyak infaq atau sigap berzakat. Agaknya masih lebih banyak mukmin yang mudah mengeluarkan 100 ribu rupiah untuk makan di restoran namun merasa sangat berat mengeluarkan 50 ribu untuk berinfaq.

Hal lain lagi adalah shalat berjamaah. Telah diungkapkan dalam hadits Rasulullah saw bahwa pahala shalat berjamaah itu bernilai 27 kali lipat dibanding shalat sendirian. Tetapi, lagi-lagi jauh lebih banyak mukmin bermental miskin bisa ditemukan di ruang-ruang shalat publik, di mall misalnya, yang masih memilih shalat sendiri meski di kiri-kanannya banyak orang tengah shalat berjamaah.

Itu sebabnya di saat kita kehilangan figur-figur teladan, kita sebaiknya berkaca pada seorang sahabat yang dikenal sebagai bapak kaum miskin (dhuafa) Abu Dzar Al Ghifari, namun ia justru bermental sangat kaya. Kala datang seorang tamu, Abu Dzar meminta pelayannya menyembelih satu domba terbaik untuk disajikan pada sang tamu. Sang pelayan pun menyembelih domba nomor dua terbaik. Mungkin dia merasa ‘sayang’ dan berpikir untuk menyisakan yang terbaik bagi keluarga tuannya. Namun apa yang terjadi? Abu Dzar justru marah dan menegur si pelayan karena Abu Dzar justru menginginkan harta terbaiknyalah yang menjadi harta abadinya, kekal dan berlipat-lipat ganda nilai kebaikannya, itulah harta yang dikeluarkannya dengan ikhlas untuk memuliakan tamunya.

Ah, bagaimana kita mau sedekah, wong kita saja miskin? Begitulah orang bermental miskin kerap memberi alasan, padahal, lagi-lagi Islam memudahkan kita untuk menjadi kaya, seperti tertuang dalam hadits Rasulullah, “Mendamaikan dua orang (yang berselisih) adalah sedekah, menolong orang hingga ia dapat naik kendaraan atau mengangkatkan barang bawaan ke atas kendaraannya merupakan sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, setiap langkah kaki yang engkau ayunkan menuju ke masjid adalah sedekah dan menyingkirkan aral (rintangan, ranting, paku, kayu, atau sesuatu yang mengganggu) dari jalan juga merupakan sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan seulas senyum pun ujar Rasulullah merupakan sedekah.

Tak mampu juga memberi sekadar seutas senyum tulus pada keluarga kita, rekan kerja kita, klien kita, anak buah kita, customer kita? innalillahi wa innailaihi rojiun….semoga Allah menjauhkan kita dari sosok miskin, miskin absolut. Zirlyfera Jamil



Tidak ada komentar:

Posting Komentar