Powered By Blogger

Minggu, 30 Januari 2011

TOMBO ATI

12 300x224 pohon indah




MEMBURU UNTUNG, MENGHINDARI BUNTUNG




MENJADI
orang yang beruntung adalah cita-cita semua orang. Sebab tak satupun manusia, memimpikan diri menjadi orang yang merugi. Dalam berniaga, misalnya, sudah pasti si penjual mengharapkan keuntungan dari peniagaannya. Seorang pengusaha, dengan sekuat tenaga mengerahkan kemampuan, supaya usahanya senantiasa memiliki omzet yang setiap bulan atau tahun selalu mengalami peningkatan.

Seorang politikus yang mengikuti ‘kontes’ pemilihan wakil rakyat, akan berjuang mati-matian untuk menggapai kursi DPR RI/DPRD, sekalipun harus mengeluarkan kocek pribadi yang tidak sedikit. Pada intinya, dalam segala aspek kehidupan, manusia menginginkan keberuntungan.

Memiliki ambisi untuk selalu meraih keuntungan adalah suatu yang lumrah, bahkan, Allah dan Rosul-Nya senantiasa memacu manusia (mukmin) untuk senantiasa berusaha, tidak putus asa dari rahmat-Nya, tidak lain, agar mereka survive dalam kehidupan, terutama kehidupan akhirat.

“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS: 94: 7).

Dalam ayat ini, tersirat perintah Allah supaya kita senantiasa berusaha untuk menggapai keuntungan/kesuksesan. Jangan pernah merasa puas dengan satu prestasi yang telah kita raih. Tapi, burulah prestasi-prestasi yang lain, rengguh sebanyak-banyaknya.

Al-Imam Abdurrahman bin Nashir Assyaa’di, dalam tafsirnya,”Taisiiru Al-Karim Al-Rahman Fii Tafsiiri Kalaami Al-Manaan”, menjelaskan kandungan dari surat ini, bahwa termasuk mereka yang merugilah orang-orang yang menggunakan waktu luangnya untuk sesuatu yang kurang bermanfaat, bukan untuk berdzikir, beribadah, ataupun bekerja.

Dan yang perlu dijadikan titik tekan dalam hal ini, bahwa dalam meraih keuntungan, itu dibutuhkan kesabaran, karena dalam menggapainya, harus melalui proses yang panjang dan –terkadang-- penuh ujian.

Sama halnya, ketika kita hendak mengambil manfaat dari hasil cocok tanam yang kita lakukan. Butuh proses. Dimulai dari penyemaiannya, penanaman, perawatan, hingga akhirnya menghasilkan buah. Itupun tidak langsung bisa kita nikmati. Kalau kita pingin menikmatinya, maka terlebih dahulu kita harus memetiknya. Ketika kita hendak menjadikannya pemasukkan (uang) kitapun kudu memasarkannya, menjajakannya kepada pembeli.

Sayangnya, dalam realitas di lapangan, tidak sedikit orang, justru gagal pada tahap ini. Mereka tidak tahan melewati ‘duri-duri ’ kecil yang ‘menggoda’ ketangguhan mereka. Padahal, sudah jelas bahwa “Sesungguhnya setelah kesusahan itu ada kemudahan” demikianlah penegasan Allah dalam salah satu firman-Nya.

Namun, karena sebagian mereka hanya menghendaki kemudahan, banyak dari mereka yang melakukan keculasan, dengan menempuh cara-cara yang sangat tidak profesional, bahkan, irasional. Mereka menipu, mendatangi dukun-dukun, tempat-tempat keramat, memasang jimat-jimat, dan lain sebagainya, dengan harapan, agar semua usaha, profesi, jabatan yang dia kejar/pegang, berjalan dengan normal, dan menghasilkan keuntungan yang melimpah.

Trik macam ini tentu saja tidak dibenarkan, dan yang pastinya telah menyalahi sunnatullah, terkait dengan terjadinya segala sesuatu. Bukankah penciptaan langit dan manusia, itu melalui proses dan tahapan-tahapan? Ini membuktikan bahwa dalam menggapai segala hal yang kita kejar, semua membutuhkan proses.

Keuntungan Semu


Hakekat dari meraih keuntungan adalah agar tercapainya kebahagiaan hidup. Sedangkan kebahagiaan hidup, itu bersumber dari kebahagiaan hati. adapun hati, akan mengecap kebahagian manakala ia berjalan di atas rel-rel ketetapan Allah. Harta yang melimpah, tidak menjamin mendatangkan kebahagiaan. Betapa banyak bukti nyata yang menunjukkan kebenaran hal tersebut. Banyak orang kaya yang meninggal dengan cara bunuh diri, lantaran hatinya kering, tidak pernah merasakan kebahagiaan yang sebenarnya.

Tidak sedikit orang kaya lari ke narkoba, diskotik, wanita-wanita penghibur, hanya untuk menghilangkan kegundahan hatinya, barang sekejap, setelah itu, kembali dia merana.

Tentu saja, kita, sebagai muslim berlindung kepada Allah dari hal ini. Kita tidak ingin menukar kebahagiaan akhirat yang abadi, dengan kebahagian di dunia yang sementara. Yang menjadi incaran kita (dan ini memang diperintahkan) ialah meraih kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

Bermuamalah dengan curang, meminta bantuan jin, dukun, sejatinya hanyalah menghantarkan kita kepada kebahagiaan semu, yang hanya bersandarkan hawa nafsu. Bukalah kembali sejarah nenek moyang kita, Adam. Beliau dan istrinya, Hawa, termakan oleh bujuk rayu syetan yang menjanjikan keuntungan, kehidupan abadi. Namun yang terjadi, justru kesengsaraan huduplah yang mereka terima.

Kisah ini merupakan warning bagi kita, bahwa janji-janji syetan dan sekutu-sekutunya (para dukun dll) yang –mungkin- sangat menggiurkan itu, hanyalah tipu daya belaka. Sebab itu, jangan terkecoh. Jalanilah garis yang telah ditetapkan untuk meraih keuntungan.

Allah berfirman, “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6)

Kiat –Kiat Al-Quran


Al-Quran adalah dustur kaum muslimin, yang mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk tentang tuntunan bermuamalah agar memperoleh keuntungan, yang tidak membuahkan ‘kebuntungan’ di dunia, lebih-lebih di akhirat. Berikut adalah diantara kiat-kiat tersebut, yang telah terjamin akan kebenarannya:

1. Fokus


Dalam mengerjakan sesuatu, hendaklah kita mengfokuskan diri dalam menyelesaikannya. Fokus bisa diartikan dengan bekerja sungguh-sungguh. Insya Allah, dengan cara demikian, lambat-laun apa yang impian kita akan menjadi kenyataan. “Man jadda wa jada” (barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya).

2. Tidak Membuang-Buang Waktu


Dalam pribahasa Arab dikatakan, “Lan tarji’a ayyaamu al-latii madhat” (Tidak akan pernah kembali hari-hari yang telah berlalu). Sebab itu, dalam rangka mengejar kesuksesan, kita harus memanfaatkan waktu dan peluang sebaik-baiknya. Kalau tidak, maka waktu akan membinasakan kita. Ingat, waktu bagaikan pedang, kalau kita tidak handal menggunakannya, bisa-bisa kita yang akan dilukainya, “Al-Waktu kaa shoifi in lam taqtho’hu qatha’aka.”

3. Menunaikan Zakat

Sesungguhnya dalam harta-harta yang kita miliki, itu terdapat hak-hak orang miskin. Sebab itu, kita harus menunaikan zakat, demi kesucian harta yang kita miliki. Jangan sampai, kasus Qorun yang ingkar akan nikmat Allah, setelah dia dianugerahi kenikmatan harta, menimpa diri kita. Selain itu, dengan jalur zakat, secara secara sosiologis, sebenarnya dalam rangka membangun relasi yang baik dengan pihak luar, sehingga mereka tertarik untuk menjalin hubungan dengan kita.

4. Memelihara hawa nafsu sahwat


Tidak usah jauh-jauh untuk menggambarkan betapa persoalan seks yang diumbar di sana-sini, telah menyebabkan kehancuran orang-orang tersohor. Para politikus, selebritis, pengusaha, dll, banyak ‘berguguran’ karirnya, lantaran perilaku seks yang mereka lakukan di sembarang ‘tempat’. Sebab itu, akan lebih baik bagi kita menikah sebagai jalur yang suci dalam melampiaskan nafsu shwat, apabila ia tidak tertahankan lagi. Dan cara ini, justru akan menghantarkan kita kepada kehormatan dan kemulyaan hidup.

5. Amanah

Amanah merupakan sifat yang sangat penting dalam meraih keuntungan. Dengannya akan terbangun kepercayaan orang lain terhadap kita. Sebaliknya, ketika kita berbuat curang, sekalipun hanya sekali dan orang lain merasakan efeknya, berarti kita telah membangun stigma/citra buruk diri kita sendiri, yang kemudian membuat orang enggan untuk menjalin hubungan dengan kita.

6. Menjaga Sholat


Sebagaiman yang telah dituturkan di atas, bahwa perburuan keuntungan/kebahagiaan seorang muslim, skupnya tidak hanya dunia semata, tetapi jauh ke depan, yaitu akhirat. Sebab itu, apapun profesi kita, jangan lupa untuk senantiasa melaksanakan sholat, sehingga kebahagiaan kedua-duanya bisa kita raih.

Demikianlah di antara kiat-kiat yang dusugukan Al-Quran untuk kita, agar mampu memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Keseluruhan kiat-kiat ini, merupakan kandungan ayat-ayat Al-Quran yang tercantum dalam surat Al-Mukminun, ayat 1-11. Semoga kita termasuk di dalamnya. Amin, amin yaa rabbal ‘aalamin. Wallahu ‘alam bis-showab









ENYAHKAN MINTA MINTA,AGAR TAK TERHINA

DI Madura ada sebuah desa yang penduduknya bekerja sebagai peminta-minta. Yang cukup mengagetkan, rumah-rumah mereka sangat mewah dan berkelas.

Fenomena mental peminta-minta, juga berkembang ke berbagai aspek. Di zaman sekarang, kadar dan jenisnya sudah mulai ada modifikasi dan perubahan.

Tidak terlalu sulit bagi kita untuk menjelaskan kondisi yang terjadi di lapangan. Banyak pemandangan, bagaimana masyarakat berduyun-duyun dan dan saling berebut untuk memperoleh bagian masing-masing, walaupun harus saling adu sikut. Bahkan, terkadang nyawa pun dijadikan taruhannya hanya untuk sebuah kupon.

Peristiwa yang menewaskan beberapa warga yang berdesak-desakan untuk mendapatkan uang sedekah salah satu dermawan di Jawa Timur, pada bulan puasa beberapa tahun lalu, adalah bukti nyata akan hal ini. Untuk memperoleh uang kurang lebih Rp. 30.000, mereka rela berdesak-desakkan, yang pada akhirnya nyawa pun hilang tak terelakkan.

Di akui atau tidak, budaya meminta-minta memang tengah menjangkiti sebagian dari kita. Predikat sebagai warga miskin sepertinya suatu kebanggaan yang diperebutkan, karena akan mendapat bantuan. Tidak sedikit orang akan mencak-mencak ketika dirinya tidak terdaftar sebagai gakin sebagai syarat untuk mendapatkan BLT, atau lain sebagainya.

Maka tidak mengherankan, ketika kita bepergian, terdapat di sana-sini pengamen, pengemis berseliweran. Belum selesai yang satu, sudah antri yang lain. Bahkan, di salah satu daerah di bumi pertiwi ini, terdapat satu desa yang menjadikan mengemis ataupun mengamen sebagai profesi hidup. Padahal, kalau kita perhatikan fisik dan anggota tubuh mereka, terlihat masih kekar dan sehat, yang bisa dimanfaatkan untuk mengais rezeki dengan cara yang jauh lebih mulia, daripada meminta-minta. Dan yang membuat hati lebih sesak lagi, tidak semua mereka dalam keadaan futur sehingga mereka harus meminta-minta. Hal ini belum termasuk tingkah laku para pejabat yang tak jarang juga ’berteriak-teriak’ untuk menuntut kenaikkan gaji, perlengkapan fasilitas, dan seterusnya.

Potret buram kondisi sosial ini, tentu sangat memprihatinkan. Sebab, bagaimana mungkin, Indonesia yang termasyur dengan negeri yang syarat akan kesuburan tanahnya, penduduknya yang mayoritas muslim, justru ’bangga’ dengan menggantungkan hidup pada orang lain. Dan tentu saja, gaya hidup macam ini sangat bertentangan dengan ajaran yang telah disampaikan oleh Rasulullah. Islam mengajarkan konsep memberi, bukan meminta. ”Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah,” demikianlah sabda Rasulullah, yang artinya kita diperintahkan untuk membumikan konsep memberi, bukan meminta-minta.

Ancaman Allah

Dalam hal penciptaan makhluk, Allah telah menjadikan mereka dengan berpasang-pasangan. Ada malam dan siang, pria dan wanita, jantan dan betina, dan begitu seterusnya, termasuk adanya si kaya dan si miskin. Terhadap mereka yang benar-benar terpuruk masalah ekonomi yang memaksa mereka harus meminta-minta, maka Islam memberi lampu hijau bagi mereka, dengan catatan tidak menjadikannya sebagai profesi hidup.

Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.”

Jelas sudah bahwa pada dasarnya hukum meminta-minta tanpa landasan udzur yang telah dijelaskan di atas, merupakan perbuatan yang dilarang. Meskipun demikian, jangan sampai, karena alasan kita masuk dalam salah satu dari ketiga kategori tersebut, dengan seenaknya kita jadikan sebagai hujjah untuk melegalkan meminta-minta sebagai profesi hidup. Ingat, bagaimanapun alasannya, hakekat meminta-minta adalah perilaku yang akan mencederai kehormatan diri. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu.” (HR. Tirmidzi)

Selanjutnya, terhadap mereka yang menjadikan meminta-minta sebagai wasilah untuk memperkaya diri, bukan karena kebutuhan yang mendesak, maka Allah telah mengingatkan dengan peringatan yang tegas, melalui perantara lisan Rasulnya, “Siapa saja di antara kalian senantiasa meminta-minta, nanti ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (H.R. Bukhari, Muslim)

Dalam sabdanya yang lain yang diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api; sehingga terserah padanya apakah cukup dengan sedikit saja atau akan memperbanyaknya.” (HR. Muslim).

Berusaha dan Berkarakter Kaya


Dalam sebuah hadits yang diriwatkan oleh Abdullah bin Zubair dijelaskan bahwa mencari kayu di hutan, kemudian menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, itu merupakan perkara yang jauh lebih mulia daripada harus meminta-minta. Hadits tersebut mengajarkan agar kita tidak mudah untuk menggantungkan hidup kepada orang lain. Tapi sejatinya, pola macam ini belumlah cukup untuk mencegah diri dari meminta-minta, dan itu bisa kita saksikan di tengah-tengah masyarakat kita saat ini, sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas.

Memiliki karakter orang kaya, juga merupakan suatu yang sangat penting dalam menanggulangi kasus ini. Orang kaya dalam kontek ini, bukanlah mereka yang memiliki segudang emas dua puluh empat karat. Sekalipun mereka memiliki itu semua, tetapi ketika kekikiran menyelimuti diri, dahaga akan harta semakin membahana, maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang miskin. Hakikat orang kaya adalah orang yang mampu memberi, bukan mereka yang gemar menumpuk dan menumpuk harta, ”Tidak disebut kaya karena banyak hartanya, tetapi yang disebut kaya (yang sebenarnya) adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Karakter macam inilah yang dibangun oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk menengadahkan tangan, meminta-meminta bantuan orang lain, sekalipun mereka dalam kesusahan. Abdurrahman bin Auf adalah salah satu contohnya. Memang, beliau adalah termasuk salah satu sahabat yang kaya raya. Namun perlu diperhatikan, ketika beliau berhijrah ke Madinah, kekayaan yang dimilikinya ditinggal di Mekkah. Setibanya beliau di Madinah, kemudian Rasulullah mempersaudarakannya dengan salah satu sahabat Anshor, Sa’ad bin Ar-Rabi’. Ketika itulah terlihat betapa Abdurrahman termasuk tipe orang yang tidak ingin merepotkan orang lain dengan cara menerima segala apa yang ditawarkan kepadanya.

Saat itu, sahabat Anshor tersebut memberinya tawaran agar ia (Abdurrahman) sudi menerima sebagian harta yang ia miliki, termasuk salah satu istrinya, apabila Abdurrahman berkenan. Namun apa yang dilakukan oleh sahabat mulia ini, beliau menolak dengan halus, dan meminta agar ditunjukkan pasar. Dengan kemahirannya dalam berniaga, akhirnya beliau mampu memperoleh apa yang pernah ia rasakan sebelum berhijrah, yaitu harta yang berlimpah ruah. Perilaku yang tidak jauh berbeda, juga ditunjukkan oleh para sahabat muhajirin lainnya, ketika memperoleh tawaran bantuan dari saudara-saudara mereka, sahabat-sahabat Anshar.

Karenanya, menanamkan konsep bahwa ”tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah”, setelah memiliki jiwa wirausaha, merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam meninggalkan kebiasaan meminta-minta. Wallahu ’Alam Bis-Shawab









BERBURU KAROMAH CINTA

Demikianlah sya'ir lagu yang dibawakan oleh 'Bung' Haji Roma Irama, yang menggambarkan akan kehampaan dunia, tanpa dihiasi cinta. Cinta adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada anak manusia, bahkan -bagi orang mukmin- keberadaannya telah menjadi syarat akan keimanan mereka, “Tidak beriman di antara kalian, hingga kalian mencintai saudara kalian, sebagaimana kalian mencintai diri kalian sendiri”, demikianlah penegasan Rasulullah, akan anjuran kepada kaum muslimin untuk menyebarluaskan cinta antarsesama, khususnya, terhadap saudara seiman.

Cinta adalah sebuah legenda yang tidak pernah habis untuk dibahas. Ia datang dan pergi tanpa harus permisi. Tiba-tiba ia hinggap di hati, dan bisa jadi, sekejab kemudian ia menghilang. Itulah cinta, penuh dengan dinamika.

Bagi mereka yang sedang dimabuk cinta, maka mereka akan mengorbankan apapun yang dimiliki, demi mewujudkan apa yang dicintai. Bukan cinta namanya, kalau seseorang tidak mau berkorban untuk menggapai apa yang dicintainya, karena memang cinta identik dengan pengorbanan.

Nah, di sini lah kita harus mewas diri terhadap cinta, sebab kalau kita lengah, harga diri kita akan tergilas olehnya. Bahkan, akhirat kita juga akan menjadi taruhannya. Apa sekejam itu cinta? Yaa, tapi tetap tergantung kepada siapa yang mengendalikannya.

Para Budak Cinta


Kalau diumpamakan, cinta itu bagaikan pisau bermata dua. Satu sisi ia bisa menjadi inspirasi yang mampu melejitkan diri. Dan di sisi yang lain, ia bisa menjelma menjadi sosok yang akan menghancurkan kita sendiri. Dan hal tersebut akan terjadi, apa bila kita memposisikannya (cinta), laksana seorang raja yang harus ditaati titahnya, tanpa harus mempedulikan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Sang-Penganugerah cinta, Allah.

Sepertinya, hal inilah yang sedang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita saat ini. Betapa banyak orang, baik itu rakyat ataupun pejabat, mereka telah menjadi budak-budak cinta. Rasa malu sepertinya telah sirna, karena kerakusan mereka di dalam memenuhi hajat cinta.

Perhatikanlah, kasus perzinaan, sepertinya telah menjadi berita biasa, karena hampir setiap saat kita disuguhkan dengan pemberitaan-pemberitaan yang memilukan tersebut. Atas dasar suka sama suka, dengan 'lapang dada' mereka melakukan perbuatan keji, yang dimurkai Allah tersebut.

Ini masih dalam konteks, sama-sama 'ridha'. Belum lagi kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, dan lain sebagainya.

Kasus korupsi, yang didasari oleh cinta terhadap harta yang berlebihan, telah menyebabkan negeri ini menjadi salah satu negeri terkorup di dunia. Ratusan ribu anak putus sekolah dan mati karena kelaparan, disebabkan asupan uang yang harusnya mengalir ke tangan mereka, justru tersendat di kantong-kantong para koruptor. Ironinya, 'budaya' korupsi ini tidak hanya melanda kolongan elit, namun, mereka yang masih duduk di kelas 'teri' pun tak mau ketinggalan.

Cinta yang brutal macam inilah, yang benar-benar akan menggiring pemiliknya, selangkah demi selangkah menuju gerbang kehancuran di dunia. Lebih-lebih di akhirat kelak.

Islam sebagai agama yang sempurna, telah mengatur segalanya, temasuk masalah cinta dengan begitu indah, sehingga tidak menjerumuskan kepada kebinasaan. Dalam Al-Quran, terdapat sosok suri tauladan yang sangat agung, yang mampu mengelola cintanya, dan dengan hal tersebut, beliau dimuliakan oleh Allah. Dia adalah Nabiullah Yusuf 'Alaihissalam.

Dari sekian banyak kisah para Nabi yang tertera dalam Al-Quran, kisah Nabi Yusuf, merupakan kisah yang paling unik, sebab kisahnya memiliki 'page' tersendiri. Mulai dari awal surat hingga akhirnya, mengisahkan perjalanan beliau. Hal ini tentu saja karena di dalam dirinya terdapat pelajaran-pelajarn yang sangat penting, yang harus kita ikuti. Dan diantaranya adalah tauladan cinta.

Beliau merupakan sosok yang sangat berpegang teguh dalam menjaga kesucian cinta. Dan itu dipertahankan, tidak hanya dalam kondisi sukar, dalam keadaan nyaman pun prinsip ini tetap dipegang erat-erat.

Penolakan terhadap bujuk rayu Zulaikha untuk melakukan perbuatan keji (zina) adalah bukti akan kekuatan beliau di dalam menjaga prinsip, untuk tidak mencederai kemurnian cinta. Ia sadar apa yang akan dilakukannya ini merupakan perbuatan bejat yang dimurkai oleh Allah, dan yang akan membinasakannya. Pada akhirnya, sekuat apapun usaha Zulaikha untuk menundukkan hati Yusuf agar takluk di pangkuannya, gagal total dan Yusuf terhindar dari dosa besar.

Ketika beliau telah diangkat menjadi bendahara negara yang menangani mesalah pangan, tidak serta-merta posisi tersebut menjadikan beliau tamak harta (sebelumnya beliau pernah menjadi budak).

Begitu pula, tatkala ada kesempatan untuk membalas perilaku kakak-kakaknya yang telah membuangnya ke dasar sumur, tidak beliau laksanakan, karena memang cinta yang bersemayam di hati beliau benar-benar cinta yang murni, yang lebih mencintai untuk memberi maaf, dari pada harus membalas, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (Yusuf: 92)

Inilah di antara kisah perjalanan cinta Nabi Yusuf, yang secara nyata telah mampu mengantarkan beliau ke posisi mulia. Firman Allah dalam Al-Quran, “Mereka berkata, “demi Allah, sungguh Allah telah melebihkan engkau (Yusuf) di atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang bersalah.” (Yusuf: 91)

Cinta yang Berkaromah


Dari ulasan di atas, bukan berarti Islam melarang umatnya untuk mencintai lawan jenisnya, ataupun harta yang mereka miliki. Justru sebaliknya, Al-Quran menjelaskan, bahwa memang telah dihiasi manusia itu keindahan berupa cinta terhadap istri, anak, harta dan lain-lain, “Dijadikan indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah dan ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik,” demikian Firman Allah dalam Al-Quran, surat Al-Imron, 14.

Pertanyaannya, bagaimana cara mengantarkan cinta, hingga mendatangkan karomah (pengaruh baik) bagi setiap pribadi yang sedang dirasuki olehnya, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Yusuf?

Allah sebagai Penanganugerah cinta telah menjelaskan dalam Al-Quran, bahwa untuk mendapatkan hal tersebut, maka, orang itu harus memposisikan cinta sesuai dengan hirarkinya. Cinta memiliki hirarki, ketika cinta telah mengikuti jejak hirarki tersebut, maka, kemuliaan yang didasari oleh cinta pun akan diperoleh.

Adapun hirarki pertama, dan itu harus menjadi landasan untuk mencintai hal-hal yang lainnya adalah cinta ke pada Allah. Allah sebagai pecipta manusia, yang telah menganugerahkan kepada mereka bumi dan apa yang ada di dalamnya, harus kita utamakan. Dan ketika hal tersebut kita lakukan, kita akan menuai akan manisnya iman. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah, ada tiga hal yang akan menjadikan seseorang mengecap manisnya iman, dan salah satu di antara tiga hal tersebut adalah, mencintai Allah di atas segalanya.

Mencintai Allah, menuntut kita untuk mencintai apa yang Ia cintai, dan membenci apa yang Ia benci, termasuk juga, dengan menjalankan apa yang diperintahkan oleh-Nya, dan menjauhi apa yang dilarang.

Hanya dengan inilah, kita bisa membuktikan akan ketulusan cinta kita kepada-Nya. Allah berfirman tentang hal ini, “Katakanlah (Muhammad), “jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Imran: 31).

Cinta model ini pula, yang telah mengantarkan Umar bin Khathab, menjadi sosok yang mulia, yang sebelumnya, merupakan sosok yang bengis. Al-kisah, pada suatu hari Rasulullah menanyai tentang besar cintanya terhadap beliau. Umar menjawab, “Aku mencintaimu ya Rasulullah melebihi cintaku kepada semua yang lain kecuali diriku sendiri”. Mendengar jawaban demikian, Rasulullah akhirnya menimpali, “Tidak wahai Umar! Sampai aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.”

Ketika cinta telah mengikuti hirarki demikian, maka, cinta kita terhadap yang lainnya akan lurus. Cinta terhadap istri, anak-anak, keluarga, harta benda, jabatan, akan menjadi lurus kalau ia berada dalam ruang besar yang bernama cinta kepada Allah. Tidak akan ada cerita tentang penyelewengan cinta, yang dilakukan bani Adam, ketika cinta mereka telah menapaki jejak cinta yang telah ditetapkan oleh Allah. Sikap sami'na wa atha'na (kami dengar dan kami taati) terhadap apa yang telah menjadi ketetapan Allah dan Rasulnya (tanpa harus mendiskusikannya terlebih dahulu), juga menjadi cirri akan kemurnian cinta kepada Ilahi Rabbi.

Dan cinta tipe inilah yang telah diterapkan oleh Nabi Yusuf, sehingga beliau dikaruniai kemuliaan oleh Allah. Simaklah jawaban beliau, ketika dibujuk rayu oleh Zulaikha, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik….” (Yusuf: 23).

Kesimpulannya, untuk meraih karomah cinta, maka, kita harus memposisikan cinta sesuai dengan hirarki yang telah dipaparkan di atas. Mudah-mudahan Allah mencatat kita termasuk golongan orang-orang yang telah menapakkan cinta sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Yusuf 'Alaihi Wassalam. Wallahu'alam bis-shawab.









BERSEGERALAH, JANGAN MENUNDA!

Sudah menjadi rahasia umum dalam masalah waktu, masyarakat kita dikenal suka menggunakan sistem “jam karet”. Layaknya sebuah karet, ia akan bisa kita ulur sekehendak kita. Begitu pula halnya dengan jam karet, tidak ada prinsip tepat waktu di dalam penerapannya. Ia selalu molor, molor, dan molor. Sebagai contoh, ketika kita hendak mengadakan rapat ataupun kegiatan sejenisnya yang berkaitan dengan ketepatan waktu, maka setiap kali itu pula pemunduran jadwal dari waktu yang telah disepakati, senantiasa terjadi.

Sepakat kumpul jam tujuh, tibanya jam setengah delapan. Berjanji untuk datang jam sepuluh, munculnya malah jam sebelas, begitu seterusnya, dan begitu seterusnya. Dan 'tradisi' ini terjadi, bermuara pada karakter masyarakat yang 'doyan' menunda-nunda pekerjaan/waktu.

Ironinya, kasus tersebut (menunda-nunda) tidak hanya melanda golongan bawah (masyarakat biasa) negeri ini, namun, mereka yang ‘duduk’ di kursi pemerintahan (yang seharusnya menjadi tauladan) pun melakukan hal serupa. Perilaku yang kurang terpuji ini, tentu sangat memprihatinkan, sebab sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seharusnya kita harus lebih cermat dalam memanfaatkan waktu. Kenapa? Karena dalam ajaran Islam, tidak mengenal konsep menunda-nunda. Laa tuakhir ‘amalaka ilal ghaadi maa taqdiru an-ta’malal yaum (janganlah kamu menunda-nunda pekerjaanmu besok hari, apa yang bisa kamu lakukan sekarang).

Mengapa menunda?


Menunda biasa kita artikan dengan menangguhkan suatu urusan untuk sementara waktu, dengan jaminan akan mengerjakanya di waktu yang lain. Pada dasarnya, menunda itu tidaklah jadi masalah, dengan catatan, berhenti kita dari aktivitas tersebut, karena dituntut untuk menunaikan kewajiban yang lain, yang lebih penting atau memang kondisi yang darurat.

Dalam bukunya, Fiqh Al-Awwaliyah, Dr Yusuf Qaradhawi menerangkan, , selayaknyalah kaum muslimin untuk lebih memilih suatu pekerjaan yang dianggap paling prioritas, dari pada yang kurang prioritas.

Yang menjadi masalah –dan ini yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita saat ini-- seringkali mereka menunda-nunda pekerjaan dengan alasan yang kurang dibenarkan, atau lebih tepatnya, karena merasa masih punya waktu luang, bad mood, atau sejenisnya. Penundaan macam ini yang --biasanya- justru akan membuat pekerjaan kita terbengkalai, karena untuk kembali melanjutkan aktivitas yang sudah kita tangguhkan, sukarnya luar biasa. Hal ini tidak lepas dari gangguan setan, yang notabene adalah musuh kita yang nyata.

Sebagai contoh, ketika kita hendak belajar, membaca, ataupun menelaah bidang ilmu, kita sering berleha-leha dengan alasan masih banyak waktu, "besokkan masih bisa dilanjutin." Bisikan-bisakan demikian, sejatinya berasal dari bisikan setan dan hawa nafsu yang tidak pernah rela apabila kita melakukan kebajikan.

Tidak hanya satu, dua kali setan dan hawa nafsu mendorong kita untuk menunda pekerjaan, namun, mereka akan terus-menerus memperdayai kita, hingga kita takluk dengan bujuk rayuan mereka. Dan ketika mereka (setan dan hawa nafsu) berhasil membelokkan kita, maka, kemudian hari, kita pun akan menuai buahnya, yaitu berlalunya waktu dengan kesia-siaan. Masa muda yang penuh semangat, berlalu begitu saja hingga tiba masa tua renta. Masa kaya sirna tanpa makna berganti dengan masa sengsara. Waktu luang terbuang, berganti dengan masa sibuk. Masa sehat kita lalui tanpa sesuatu yang bermanfaat, hingga tiba masa sakit. Semua waktu berlalu, tanpa memiliki makna.

Dan yang perlu diperhatikan, setiap hitungan detik itu senantiasa terkandung akan dua hal, yaitu; hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.

Pengabaian terhadap hak dan kewajiban tersebut akan membawa kemudharatan yang berlipat-lipat bagi pelaku. Seorang ahli hikmah berkata bahwa kewajiban pada tiap-tiap waktu memungkinkan untuk diganti, namun hak-hak dari tiap waktu tersebut tidak mungkin diganti.

Ibnu 'Atha mengungkapkan, "Sesungguhnya pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban yang lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan!"

Hasan Al Banna mengatakan bahwa, ”Alwaajibatu Aktsaru minal Auqoot.” Kewajiban yang dibebankan kepada kita itu lebih banyak daripada waktu yang kita miliki, pada saat kita menunda dari menyelesaikan suatu perkara. Hakikatnya kita sedang menumpuk-numpuk kewajiban, semakin kita sering menunda maka semakin banyak tumpukkan pekerjaan yang harus kita selesaikan, sehingga apabila kita menunda berarti kita hidup dalam tumpukan-tumpukan kewajiban untuk diselesaikan dalam waktu yang lebih sedikit.

Di saat kita bekerja dengan sekian banyak kewajiban dengan waktu yang sedikit, jangan harap kita dapat bekerja dengan profesional dan menyenangkan. Yang ada, justru hidup tidak tenang, selalu dihantui sekian banyak tugas dan kewajiban yang harus dikerjakan. Dan tidak menutup kemungkinan, ada beberapa kewajiban yang tidak bisa kita tunaikan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran yang pada akhirnya akan mendapatkan kegagalan demi kegagalan yang diakibatkan oleh kebiasaan menunda tersebut

Selain itu, rasa takut juga –terkadang- menjadi alasan orang menunda-nunda pekerjaan. Padahal untuk mengatasinya, tersedia tiga pilihan bagi kita, yaitu; menghindarinya, mengharapkan ia cepat berlalu, atau menghadapinya untuk dilaksanakan.

Menghindar, jelas bukan solusi karena menghindar dari kewajiban adalah sama dengan lari dari kenyataan. Sedangkan lari dari kenyataan, berarti kekufuran atas ketetapan Allah SWT. Begitu juga dengan angan-angan kosong, agar ia (permasalahan) cepat berlalu tanpa menimpa kita, jelas ini adalah perbuatan tercela. Pilihan yang benar adalah hadapi permasalahan tersebut, dan selesaikan.

Segera, segera, segera!

Para ulama salaf kita telah menuliskan resep yang ampuh untuk mengobati penyakit kronis ini, yaitu dengan mendidik diri agar segera melakukan dan bersegera menuntaskan.

Allah Ta’ala berfirman, “Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran [3]: 133).

Rasulullah juga bersabda berkaitan dengan pentingnya mempersegerakan suatu urusan. Sabdanya, “Bersegeralah melakukan perbuatan baik, karena akan terjadi fitnah laksana sepotong malam yang gelap.” (HR. Muslim). Dalam hadits lain, beliau juga menerangkan, “Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang menyeberangi jalan.” Ibnu umar berkata. “Bila engkau berada di sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi, dan bila engkau di pagi hari, maka janganlah menunggu datangnya sore.” Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.

Hasan Al-Bashri berwasiat, “Jangan sekali-kali menunda-nunda karena Anda adalah hari ini bukan besok.” Beliau juga berkata ,”Apabila Anda memiliki esok hari, maka penuhilah dengan ketaatan, sebagaimana hari ini yang Anda penuhi dengan ketaatan bila Anda tidak lagi hidup di esok hari, maka Anda tidak akan menyesal atas apa yang Anda lakukan hari ini.”

Ibnu Al jauzi mewanti-wanti kita agar tidak mengulur-ulur waktu. Beliau pernah mengatakan, “Jangan sekali-kali mengulur-ulur waktu, karena ia merupakan tentara iblis yang paling besar.” Penundaan merupakan bekal orang yang bodoh dan lalai. Itulah sebabnya orang yang saleh berwasiat, “Jauhilah ‘saufa (nanti)’, penundaan juga kemalasan, merupakan penyebab kerugian dan penyesalan.”

Di penghujung tulisan ini, bisa kita simpulkan, kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, merupakan perilaku buruk, yang bisa menjadi penghalang kesuksesan kita di kemudian hari. Sejarah telah berkata, tidak sedikit bani Adam mati dengan meninggalkan segudang cita-cita yang gagal direalisasikannya, dan itu dimodusi, seringkalinya ia mengucapkan kata ‘nanti’ setiap kali melakukan aktivitas. Karena itu, kita berdo’a mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam golongan tersebut. Wallahu ‘alam bis-shawab









UTANG, BIKIN HIDUP TIDAK TENANG

Suatu hari ada tamu asal Jawa Tengah. Di tengah-tengah obrolan, sang tamu memberikan sebuah tips agar mudah mendapat pinjaman uang untuk modal usaha.

“Jadi caranya begini, kamu harus mencari kepercayaan orang terdahulu. Mula-mula, kamu coba pinjam uang, dan simpan uang tersebut hingga tiba waktu untuk mengembalikannya. Setelah itu, serahkanlah uang tersebut pada si empunya. Lakukanlah hal demikian hingga beberapa kali. Dengan trik tersebut, kamu telah membangun stigma baik dirimu terhadapnya,” ujar si tamu. “Hasilnya, ketika suatu hari kamu benar-benar butuh uang untuk modal usaha, maka dengan lapang dada ia akan meminjamimu modal, tanpa banyak tanya. Dan itu terjadi, karena kamu telah mampu membangun kepercayaan kepadanya.”

Bila kita perhatikan, realitas gaya hidup masyarakat saat ini, tidak sedikit dari mereka yang menjadikan utang bagian dari hidup mereka. Parahnya lagi, para pemodal sepertinya memanfaatkan situasi ini. Sekedar untuk memberikan contoh kecil, coba kita perhatikan brosur-brosur, iklan-iklan di media massa yang memasarkan produknya dengan sistem kredit. Cukup membayar uang yang tidak terlalu besar, mereka bisa membawa barang yang diinginkan, sepeda motor, misalnya. Kemudian, untuk pembayaran selanjutnya, akan dicicil setiap bulan dengan besar dana yang telah ditentukan. Gayung bersambut, tidak sedikit dari masyarakat kita yang tertarik dengan tawaran ini. Maka, jadilah mereka memiliki utang yang dibalut dengan nama kredit.

Pada dasarnya utang-piutang bukanlah sesuatu yang diharamkan dalam Islam. Namun, bukan berarti umat Islam diperkenankan untuk membudayakannya hal ini dalam konsep kehidupan mereka. Rasulullah sendiri, seringkali berlindung dalam do’anya agar supaya dihindarkan dari utang. Ini menunjukkan, kalau beliau sejatinya tidak berkenan dililit utang.

Simaklah hadits dari Urwah berikut ini, bahwa ‘Aisyah ra. memberitahunya bahwa Rasulullah saw. selalu berdo’a dalam shalatnya: ”Ya Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan utang”. Lalu ada orang yang berkata kepada beliau,”berapa sering engkau wahai Rasulullah berdo’a berlindung (kepada Allah) dari utang?” beliau menjawab,”sesungguhnya seseorang itu jika berutang, dia berbicara lalu berdusta, dia berjanji lalu mengingkari.” (HR. Bukhari)

Lihatlah Rasulullah, betapa beliau sangat mewaspada diri terhadap utang, sekalipun ia (utang) termasuk perkara yang dihalalkan. Kenapa demikian? Karena memang utang itu bisa membuat seseorang gelisah, tidak tenang dalam menjalani kehidupan.

Ketika datang malam, si pengutang akan senantiasa memikirkan beban utang yang melilitnya, sehingga membuat dirinya tidak nyaman untuk istirahat. Belum lagi kalau sudah jatuh tempo, dan di kantong, sepeser uang pun tidak ada, kecemasannya akan semakin meninggi.

Ketika malam berganti siang, “volume” cemasnya akan tambah meningkat, sebab ia khawatir, kalau-kalau yang meminjaminya uang datang ke rumah, dan menagih utang. Karena itu, sebisa mungkin ia akan menghindari untuk bertatap muka dengan si pemodal.

Adakah orang yang merasa tenang/tentram kehidupannya dengan kondisi demikian ini? Tentu tidak akan ia dapati. Penjelasan ini, sejalan dengan sabda Rasulullah dalam sebuah riwayat, “Hammun billaili wa madzallatun binnahaari” (utang itu membuat sedih di malam hari dan hina di siang hari).

Selain kondisi demikian ini, utang sangat memicu seseorang untuk berbuat dusta dan mengingkari janji, sebagaimana yang tercantum dalam hadits di atas (sesungguhnya seseorang itu jika berutang, dia berbicara lalu berdusta, dia berjanji lalu mengingkari). Padahal, sebagaimana yang telah diketahui bahwa dua perkara ini termasuk tiga dari ciri-ciri orang munafik. Rasulullah bersabda, “Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga, apa bila dia berbicara berdusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila diberi amanah, dia bekhianat.” (Al-Hadits).

Selanjutnya, resiko buruk bagi orang yang berutang yang tidak bisa melunasi utang-utangnya hingga ia meninggal, adalah ia terhalang untuk memasuki surga, sekalipun ia mati dalam keadaan syahid. Sabda Rasulullah, “Semua dosa itu diampuni bagi orang yang mati syahid kecuali utang.” Dalam riwayat lain, “Mati di jalan Allah itu menebus segala sesuatu (dosa-dosa) selain utang.” (HR. Muslim).

Demikianlah di antara dampak-dampak buruk yang bisa menimpa kita di kemudian hari, apa bila kita memiliki beban utang pada orang lain. Tidak hanya wibawa kita di dunia yang bisa runtuh, nasib kita di akhirat, pun tergantung padanya.

Melihat begitu besarnya resiko utang, seyogyanya kita menghindarinya. Jangan sampai, karena hanya untuk memenuhi hawa nafsu yang menginginkan ini dan itu, ia (hawa nafsu) senantiasa kita turutkan, sekalipun dengan jalur utang. Akan tetapi, sekiranya kita dalam kondisi genting, dan seluruh alternatif tidak mampu mengeluarkan kita dari permasalahan tersebut, kecuali dengan berutang, maka, apa boleh buat, kita pun harus pinjam uang. Dan untuk mencegah hal-hal buruk yang telah dipaparkan di atas, berikut adalah etika-etika dalam berutang:

1. Menghindari Utang Sebisa Mungkin

Bagaimana pun besar manfaat utang, tetaplah ia berposisi sebagai beban kehidupan, yang secara langsung akan mengganggu ketenangan hidup kita, ataupun keluarga kita. Mencari solusi lain sebelum berutang, tentulah perkara yang jauh lebih bijak.

Dan termasuk dari gaya hidup yang kurang dibenarkan, kalau ada seseorang (muslim) mencari kenikmatan, kemewahan hidup dengan cara berutang, sebagaimana yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini.

2. Berniat Untuk Melunasi

“Setiap perkara itu tergantung pada niatnya”. Demikianlah penjelasan Rasulullah dalam sebuah riwayat yang menganjurkan kita untuk senantiasa menjaga/meluruskan niat setiap kali melakukan kegiatan/aktivitas. Begitu pula dalam hal berutang. Berniat untuk melunasnya dengan sungguh-sungguh, merupakan suatu keharusan bagi siapa yang hendak berutang. Dan termasuk orang yang berkhianatlah, apa bila ada seseorang yang meminjam uang, tapi dalam lubuk hatinya sudah tertancap niat untuk tidak mengembalikan uang tersebut.

Selain itu, niat untuk membayar utang, juga akan mengundang keterlibatan Allah dalam melunasi utang tersebut. Begitu pula sebaliknya, apa bila ada yang berazam untuk tidak melunasi utang tersebut, maka ancaman Allah akan kebinasaan bagi dirinya.

Dari Abi Hurairah. Dari Nabi Shollallahu ’alaihi wasaallama bersabda, ”Barangsiapa mengambil (berutang) orang sedang dia berniat untuk melunasinya, niscaya Allah akan (membantu) melunasi bagi pihaknya. Dan barangsiapa mengambilnya (mengutangnya) dengan niat merusaknya (mengemplangnya), niscaya Allah akan membinasakannya.” (HR. Al-Bukhari)

3. Mencatat Utang Piutang

Tidak dipungkiri, kebanyakan orang yang lalai membayar utang, karena dilandasi dasar lupa. Untuk mencegah hal tersebut, maka proses catat-mencatat utang-piutang sangat dianjurkan. Dan ini sesuai dengan apa yang dituntunkan dalam Al-Quran, surat Al-Baqoroh, 282, yang membahas secara terperinci tentang utang-piutang.

4. Hadirnya Dua Saksi

Untuk mempertegas akan kebenaran transaksi utang-piutang antardua orang atau lebih, selain menggunakan proses catat-mencatat antar yang meminjam dan yang meminjami, akan lebih baik bagi mereka apabila menghadirkan dua saksi yang menjadi saksi akan keabsahan transaksi antar mereka. Ini pun masih merupakan petunjuk Al-Quran yang ada di surat dan ayat yang sama dengan etika nomor 4.

5. Melunasi Tepat pada Waktu

Biasanya, di dalam kesepakatan utang-piutang terdapat perjanjian, kapan utang tersebut akan dilunasi. Membayar utang tepat pada waktu (akan lebih baik sebelum jatuh tempo) merupakan suatu keharusan. Seseorang harus berusaha sekuat tenaga untuk menyiapkan dana tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Dengan demikian, berarti kita telah berkomitmen dengan apa yang telah disepakati. Jangan sampai kita mengecewakan orang yang telah meringankan urusan kita dengan meminjamkan uangnya, tapi kita balas dengan pengingkaran janji. Lebih-lebih, kalau penangguhan tersebut, sengaja kita rencanakan. Sungguh hal ini termasuk kedzaliman yang nyata terhadap diri sendiri, ataupun orang lain.

Rasulullah bersabda, ”Penangguhan orang kaya (dalam pembayaran utangnya) itu adalah kedzaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim).

6. Melunasi Utang Sebelum Harta Warisan Dibagi

Di antara kewajiban ahli waris (orang yang berhak mendapat harta warisan dari saudaranya yang meninggal) terhadap harta yang ditinggalkan adalah melunasi utang si mayit, sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris. Demikianlah ketentuan dari syariat Islam. Sekiranya harta tersebut ternyata kurang, maka masing-masing pihak (terutama keluarga) berkewajiban untuk melunasinya.

7. Menyedekahkan Utang Atas Nama Pemilik Piutang

Tidak menutup kemungkinan, dalam membayar utang, kita kehilangan jejak orang yang telah memberi kita utang. Hal ini bisa terjadi karena beberapa sebab, misal pindah alamat ataupun meninggal dunia. Bila ahli warisnya masih ada dan kita mengetahui keberadaan mereka, maka kewajiban kita menyerahkan uang pinjaman tersebut kepada mereka (ahli waris). Akan tetapi, apa bila kita benar-benar tidak mengetahui keberadaan mereka, maka kita menyerahkan uang tersebut untuk fi sabii lillah atau kita sedekahkan atas namanya.

A-Hasan berkata, ”Jika seseorang meninggal sedang ia mempunyai piutang dan ahli warisnya tidak diketahui, maka hendaknya piutang tersebut dijadikan fi sabilillah. Jika ia seorang muslim dan tidak diketahui ahli warisnya, maka hendaknya piutang itu disedekahkan.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah).

Demikianlah adab-adab dalam berutang yang harus kita laksanakan, sekiranya kita memang harus terpaksa mengutang untuk suatu kepentingan. Kita berdoa kepada Allah, mudah-mudahan Ia (Allah) menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang terbebas dari utang, sebagaimana yang senantiasa beliau (Rasulullah) ucapkan setiap kali selesai shalat, sehingga, kegundahan hati karena merasa dikejar-kejar penagih utang, bisa diterelakkan. ”Allahumma innie a’udzubika minal maktsami wal maghrami.” (Ya Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan utang). (HR. Bukhari) . Wallahu ’alam bisshowaab.











SENI MENDIDIK BUAH HATI

SECARA umum, seluruh orangtua pasti meminginginkan buah hatinya menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah. Siapa pun dia, sebagai orangtua pasti menharapkan hal tersebut. Seorang pejudi, tentu akan suka ketika ia mengetahui anaknya menjadi penjudi. Seorang pencuri, sangat tidak mungkin memiliki cita-cita, agar anaknya menjadi pelanjut perilaku buruknya, begitu pula terhadap kasus-kasus yang lain.

Islam memandang anak itu sebagai asset masa depan, yang akan penyuplai pahala bagi orangtuanya. Dan itu akan terwujud, apa bila orangtua sukses menghantarkan mereka menjadi pribadi-pribadi yang shaleh dan shalehah, yang senantiasa mentaati Allah dan Rosul-Nya. Rosulullah bersabda, “Ketika anak adam meninggal, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga perkara; shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh, yang senantiasa mendoakan orangtuanya," (Al-Hadits).

Untuk melangkah ke sana, maka peran orangtua dalam mendidik anaknya semasa dini sangat berperan penting bagi pertumbuhan karakter mereka. Ingat, orangtua adalah guru pertama setiap bani adam, sebelum mereka menempuh bangku sekolah. Karenanya, pada masa ini sangat penting mengarahkan mereka menjadi sosok yang berkepribadian muslim sejati.

Namun sayangnya, khususnya dewasa ini, yang lebih dikenal dengan gaya hidup yang konsumtif lagi hidonis, banyak orangtua yang salah kaprah di dalam mendidik anak-anaknya. Tidak sedikit dari mereka memperlakukan anak-anak mereka bak raja yang selalu dituruti kemauannya, tanpa mempertimbangkan tanpa mempertimbangkan nilai positif dan negatif.

Ada lagi di antara mereka yang disibukkan dengan urusan bisnis –yang katanya- demi masa depan anak-anak. Baby sitter dijadikan wakil mereka di dalam membangun karakter anak, padahal, belum lah tentu, pengasuh bayi tersebut akan mengarahkan anak-anak sesuai dengan apa yang kita inginkan (berbudi mulia). Maka jangan salahkan siapa-siapa, bila kemudian hari para orangtua memetik buah yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, karena pola pendidikan yang mereka (orangtua) terapkan sendiri.

Tengoklah di sekitar kita, betapa banyak anak orang kaya, pejabat, yang terjerumus dalam dunia gelap, diskotik, narkotika, dan lain sebagainya, karena mempraktekkan pola pendidikan yang demikian.

Sebagai orangtua, tentulah hatinya akan miris melihat kenyataan demikian. Sebelum hal tersebut terjadi pada keluarga kita, atau untuk menyetop itu semua, maka, sebagai orangtua, mari kembali kita perhatikan pendidikan anak-anak kita lebih intens, dan tentunya sesuai dengan tuntunan yang telah dicontohkan oleh Rosulullah, sebagai suri tauladan kita dalam segala hal.Dan di bawah ini beberapa seni islami, yang yang telah dicontohkan oleh Rosulullah dalam membimbing anak-anak beliau, sahabat-sahabat beliau, sehingga menjadi pribadi-pribadi yang mulia, yang berakhlakul karimah, sekelas Ali bin Abi Thalib, dan putri beliau sendiri, Fathimah:

1. Memberi Teladan

Memberi teladan yang baik kepada anak, merupakan suatu keharusan bagi orangtua yang ingin anaknya tumbuh sebagai orang yang berperilakuan baik. Sebab, bagaimanapun juga, sebagai anak, tentu mereka akan bercermin kepada tingkah laku orangtuanya di dalam bertindak. Jangan sampai, larangan yang kita berikan secara verbal, justru bertolak belakang dengan perbuatan kita. hal ini lah –terkadang- yang menyebabkan turunnya wibawah orangtua di mata anak. “ayah/ibu sendiri kayak gitu”. Bantahan-bantahan seperti ini menunjukkan akan adanya degradasi martabat orangtua di mata anak. Hal ini akan terjadi ketika orangtua tidak mampu memberikan teladan terhadap apa yang ia ucapkan sendiri.

Ingat ada pepatah yang mengatakan, “kalaamul haali afshahu min kalaamil lisaani”, ucapan dengan tindakan, itu lebih fasih (mengena) dari pada dengan lisan. Rosulullah sendiri, banyak mendidik sahabat-sahabatnya, istri-istri, anak-anaknya, dengan memberi teladan, tanpa harus mengeluarkan kata. Dan itu bisa kita lihat, pada hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat dengan redaksi, raaitu (aku melihat), sami’tu (aku mendengar). Dan salah satu dari hadits tersebut adalah sebagaimana yang ditriwayatkan oleh ‘Adurrahman bin Abi Bakrah, bahwa ia berkata pada ayahnya, “Wahai ayahku, sesungguhnya aku mendengar engkau setiap pagi berdo’a: allahumma ‘aafini fii badanii, allahumma ‘aafinii fii sam’ii, allahumma ‘aafinii fii basharii, walaa ilaaha illan anta (ya Allah, sehatkanlah badanku. Ya Allah sehatkanlah penglihatanku, ya Allah sehatkanlah badanku. Tiada Tuhan kecuali Engkau). Yang engkau ulang tiga kali pada pagi hari dan tiga kali pada sore hari”. Ia (ayahnya) menjawab: “sungguh aku telah mendengar Rosulullah Shalallahu ‘alaihi wasallama, berdo’a dengan kata-kata ini. oleh karena itu, aku senang mengikuti sunnah-sunnahnya. (H.R. Abu Daud)

2. Bercerita

Sungguh sepertiga dari isi Al-Quran itu adalah berisi tentang kisah-kisah nyata orang terdahulu. Dan tidak lain tujuannya, agar supaya umat manusia mengambil pelajaran dari mereka, baik dari golongan yang mulia, ataupun dari mereka yang dimurkai. Simaklah firman Allah, “sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pengajaran bagi mereka yang memiliki akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat. Akan tetapi, membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya yang menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (Yunus: 111).

Selain memberi tauladan, menceritakan kisah-kisah orang shaleh, sukses, dermawan, dll, merupakan seni mendidik yang sangat baik bagi pertumbuhan karakter mulia pada diri anak-anak. Nasehat yang kita berikan dengan pola demikian, akan lebih mudah bagi mereka untuk mencernanya. Cara mendidik model ini, pun telah dipraktekkan oleh Rosulullah dalam membina ummatnya. Sebab itu, orangtua dituntut untuk memiliki segudang kisah-kisah dan mampu mengemasnya dengan baik. Hadits yang menjelaskan tentang dimasukkannya seorang pelacur ke dalam surga karena menyelamatkan seekor anjing yang kehausan adalah di antara buktinya.

3. Menyertai Bermain

Di tengah kehidupan yang menjadikan harta sebagai setandar kebahagiaan seperti saat ini, tak jarang orangtua lebih memilih untuk meningggalkan anaknya, demi meniti karer, atau bisnisnya. Apapun alasan yang mendasari keputusan mereka tersebut, tentu tidak serta merta dibenarkan. Anak memiliki hak untuk ditemani berjengkrama. Jangan sampai, karena alasan bisnis, orangtuanya membiarkan anaknya tergilas moralnya, karekternya oleh lingkungan sekitar, baik itu teman mainnya, ataupun tontonan yang ia lihat dari layar kaca.

Kasus video yang memperlihatkan seorang bocah asal Malang yang berinisial S.A.S, yang tengah menyeruput kopi dan rokok, serta ‘disempurnakan’ dengan omelan-omelan cabulnya beberapa waktu lalu, setidaknya bisa dijadikan pelajaran, betapa turut-sertanya orangtua dalam setiap kegiatan mereka, sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian yang shaleh/shalehah.

Perhatikan penuturan Abu Sufyan berikut ini mengenai urgensi orangtua dalam menyertai anaknya bermain. Dari Abi Sufyan, ia berkata: Saya datang ke rumah mu’awiyah ketika ia bersandar, sedangkan punggung dan dadanya digelayuti seorang anak laki-laki atau anak perempuan. Saya berkata: “singkirkanlah anak ini dari dirimu, wahai amirul mukminin!” ia menjawab: “saya mendengar Rosulullah pernah bersabda: ‘barang siapa yang memiliki anak kecil, hendaklah ikut bermain-main dengannya.” (H.R. Ibnu Asakir).

4. Menciptakan Kondisi Untuk Berbuat Baik


Ada pepatah yang mengatakan, “belajar di waktu kecil, bagaikan mengukir di atas batu.”. secara tersirat, pribahasa ini memeberi tahu kita, bahwa mengarahkan anak yang masih berusia dini untuk menjadi sosok yang berakhlakul karimah, itu relatif lebih mudah, ketimbang mereka yang sudah ‘kadar luarsa’. Sebab itu, orangtua harus mampu menciptakan kondisi agar anak tertarik untuk berbuat baik.

Sebagai contoh, ketika orangtua tekun beribadah, berakhlakul karimah, membantu yang lemah, maka secara tidak langsung, mereka telah menciptakan suatu kondisi yang positif untuk anak-anak mereka, agar melaksanakan apa-apa yang mereka (orangtua) kerjakan. Hal inilah yang dituntunkan oleh Rosulullah kepada para sahabatnya. Sabda beliau yang disampaikan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Rosulullah saw bersabda, “bantulah anak-anakmu untuk dapat berbakti (kepada orangtuanya) bagi siapa yang ingin anak-anaknya tidak durhaka ke pada mereka (orangtua) (HR. Thabrani).

5. Menanamkan Kebiasaan Baik

Suatu hari, Abdullah bin Mas’ud sedang berkumpul-kumpul dengan sahabat-sahabat senior, yang pernah bersua dengan Rosulullah. Di tengah-tengah pembicaraan mereka, Abdullah bin Mas’ud bertutur tentang bagaimana memperlakukan anak-anak, “biasakanlah mereka dengan perbuatan baik, karena sesungguhnya kebaikan itu dengan membiasakannya”.

Suatu perbuatan, apa bila itu telah menjadi kebiasaan, maka ia akan berubah menjadi karakter bagi si-pelaku. Karenanya, kita harus membiasakan putra-putri kita untuk berbuat baik sedari dini mungkin, sehingga, kebiasaan-kebiasaan positif yang telah tertanam sejak kecil, benar-benar tertancap pada jiwa mereka, yang kemudian menjelma menjadi karakter pribadian. Akhirnya, jadilah ia sosok yang memiliki jiwa yang luhur, lagi terpuji.

6 Mencontohkan Figur Yang Benar

Seiring dengan derasnya laju perkembangan zaman yang tak terkontrol saat ini, tak jarang membuat anak-anak tertarik untuk mengidolakan sosok yang sebenarnya kurang patut untuk dijadikan idola/figur. Acara-acara di TV, kini juga sedang menggiring mereka untuk memilih para idola yang tolak ukurnya bukan kepada akhlak mereka, namun lebih dipacu kepada mereka yang memiliki ketenaran secara publik, sekalipun akhlak mereka busuk. Hal yang demikian ini, tentu sangat membahayakan bagi kepribadian anak-anak. Kenapa? Sebagai pengidola, tentulah mereka akan melacak segala hal yang berkaitan denga si-idola, bahkan, bukan suatu yang tak mungkin mereka akan meniru apa yang mereka dapatkan, sekalipun hal tersebut sesuatu yang tercela.

Karenanya, sebagai orangtua, sepantasnya memilihkan figur yang baik bagi anak-anak mereka, sehingga tidak salah pilih. Para nabi, sahabat, ulama adalah sosok yang patut diteladani.

Berkaitan dengan hal memilih figur, Syaidina Ali pernah berkata, “Didiklah anak-anak kamu sekalian dengan tiga sifat yang baik, yaitu: cinta kepada Nabimu (Muhammad), cinta kepada anggota keluarganya, dan cinta untuk membaca Al-Quran.” (HR. Thabrani dan Ibnu Najjar)

7. Santun

Tak jarang orangtua karena kesal terhadap perilaku anak-anaknya yang bertentangan dengan apa yang mereka (orangtua) inginkan, bentakanpun akhirnya meluncur pada anak bani adam yang masih polos-polos ini. bahkan, terkadang, tanganpun ikut ‘berbicara’ dengan cara menjewer, mencubit, dan lain sebagainya.

Cukuplah sabda rosulullah di bawah ini, mengajak kita untuk mendidik anak dengan cara santun, sesantun-santun mungkin. Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulaimi, ia berkata: ketika aku shalat bersama Nabi, tiba-tiba ada seorang dari kaum itu bersin, lalu aku berkata: ‘Yarhamukallah!’ (semoga Allah menghormatimu’) orang-orang pun melemparkan pandangannya kepadaku. Akupun berkata: ‘sialan ibu! Mengapa kalian memandangku? Mu’awiyah berkata: ‘lalu mereka memukulkan tangan mereka pada pahanya, yang kami duga mereka menyuruh diam, maka akupun diam. Tatkala Nabi selesai shalat, demi ayah dan ibuku, aku belum pernah melihat seorang guru sebelum dan sesudahnya yang teramat baik pengajarannya, kecuali Nabi saw. Demi Allah, beliau tidak pernah merendahkan aku, dan mencelaku, namun beliau bersabda: “Sesungguhnya shalat itu tidak patut dicampur dengan omongan manusia. Tidak lain sholat itu melainkan bertasbih, bertakbir, dan membaca Al-Quran atau kata yang serupa itu.”(HR. Ahmad, Muslim, Nasa’I, dll.)

8. Memberi Dorongan dan Peringatan.

Cinta seorang muslim terhadap anaknya, bukanlah cita yang buta, akan tetapi, justru kecintaannya tersebut mampu menghantarkan keduanya lebih kenal dan cinta kepada Allah. inilah cinta hakiki seorang ayah/ibu yang taat beragama kepada anaknya. Sebab itu, mereka senantiasa memberi dorongan kepada anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, dan menegurnya ketika lalai, ataupun sebagainya.

Selaras denga hal ini, ada sebuah riwayat yang menyatakan, dari Watsilah bin Asqa’, sesungguhnya Rosulullah saw, menemui Utsman bin Mazh’un yang sedang bersama salah seorang anak kecilnya yang laki-laki dan anak tersebut diciumnya. Nabi saw. Bertanya kepadanya: “Apakah ini anak laki-lakimu?” ia menjawa “ya” kembali Nabi bertanya “Engkau mencintainya wahai Utsman?’ ia berkata “ demi Allah wahai Rosulullah, saya mencintainya” Nabi bersabda “maukah engkau aku tunjukkan agar engkau lebih mencintai dia?” ia berkata” baiklah, ya Rosulullah” Nabi bersabda “barang siapa yang membuat senang hati anak kecil dari keturunannya hingga dia menjadi senang, maka Allah akan menjadikan ia senang pada hari kiamat sampai orangtua itu senang.” (HR. Ibnu Asakir).

Demikianlah di antara seni dalam mendidik anak, agar mereka tumbuh sebgai Qurratul ‘ayun (yang menyejukkan hati) karena menyaksikan ketaatan mereka kepada Allah dan Rosul-Nya. Wallahu ‘alam bia-shawab





Tidak ada komentar:

Posting Komentar