MENCIPTAKAN MUJADALAH BERAKHIR MASLAHAH
Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia. Mereka dianugerahi akal agar digunakan untuk berfikir tentang segala hal, masalah ketuhanan, kehidupan, lingkungan, dan lain sebagainya.
“Afala tatadzakkarun, afala ta’qilu,” adalah di antara redaksi firman Allah, yang menganjurkan manusia untuk memfungsikan akalnya untuk berfikir. Karena demikian, tidak sedikit dari manusia harus berselisih antarsesama, karena perbedaan cara pandang dalam menela’ah suatu masalah.
Kullu ra’sin ra’yun (setiap kepala –manusia-- itu mempunya pendapat), demikianlah bunyi pribahasa bahasa Arab yang menggambarkan betapa manusia itu memiliki keberekaragaman pendapat dalam mengkaji sesuatu.
Dalam hidup bermasyarakat, manusia tidak bisa mengelak dari hal ini; di perkuliahan seorang dosen akan berdebat dengan mahasiswanya, presiden dengan bawahannya (lawan politik ataupun masyarakat biasa), penjual dengan pembeli, dan lain sebagainya.
Karena dorongan hawa nafsu (baca: ingin menang sendiri), maka, tidak sedikit kasus silang pendapat ini, justru menjadi awal perpecahan dan pertikaian. Debat tidak lagi bertujuan untuk memecahkan suatu masalah, tapi justru dijadikan ajang saling menyalahkan, menghina, mencemooh, dan lain-lain, yang ujungnya –terkadang-- berakhir dengan anarkis.
Sebagi gambaran, ‘drama’ kekacauan sidang paripurna kasus Century, yang ditayangkan secara live oleh beberapa TV swasta beberapa waktu lalu, adalah salah satu potret betapa perbedaan pendapat, bisa berakhir dengan mempertaruhkan martabat, bahkan nyawa sekalipun.
Itu baru sekelumit contoh debat yang berakhir dengan bad ending. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain, yang pastinya tidak kalah seru.
Sejatinya perselisihan pendapat telah dimulai semenjak dahulu, sebelum manusia itu diciptakan. Ketika Allah menerangkan kepada para malaikat, bahwa Ia akan menyiptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, mereka (para malaikat) ‘mendebat’-Nya, seraya mengajukan argumen mereka, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana (bumi), sedangkan kami senantiasa bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu? …” (Al-Baqarah 30).
Protes yang lebih keras keluar dari golongan iblis. Mereka tidak hanya menyatakan ketidaksenangan mereka terhadap hadirnya Adam, juga memperkeruh dengan menyombongkan diri karena alasan bahwa bahan penciptaan mereka (api) lebih mulia daripada Adam yang terbuat dari tanah.
Namun, setelah menyaksikan kebesaran kekuasaan Allah yang diperlihatkan melalui perantara Adam, maka malaikat pun tunduk terhadap kebenaran Allah. Adapun Iblis karena sifat iri, dengki yang menyelimuti, tetap membangkang, hingga dilaknat dan terusir dari surga.
Perselisihan pendapat, juga terjadi antara bapak manusia (Adam) dengan anaknya Qobil, ketika turun perintah, agar ia menikah dengan kembaran dari adiknya Habil, sedangkan Habil dipasangkan dengan kembarannya Qobil sendiri. Ia (Qobil) menolak perjodohan tersebut, dengan dalih kalau ia lebih pantas bersanding dengan kembarannya sendiri.
Meskipun demikian, bukan berarti setiap perbedaan itu harus berakhir dengan tragis. Allah dan Rasulullah-Nya telah mengajarkan kita, untuk berdialog dengan baik, ketika terjadi perselisihan pendapat, sehingga, dampak dari adu argumen tersebut, tidak harus berakhir dengan adu jotos.
Kemenangan yang mengagumkan oleh kaum muslimin atas orang-orang Quraisy (Fathul Mekah), tidak terlepas dari hasil dialog yang dilakukan oleh Nabi dengan utusan orang-orang Quraisy, Suhail bin Amru, dalam perjanjian perdamaian. Nabi tidak terprovokasi dengan syarat yang diajukan oleh Suhail, seperti, Muhammad Rasulullah diganti dengan Muhammad bin Abdillah, harus mengembalikan sanak keluarga orang-orang Quraisy yang kabur tanpa seizin ahlinya, untuk memeluk Islam, dan lain-lain. Dan benar saja, justru dengan cara ini, kaum muslimin bisa meraih kemenangan tanpa harus bersusah-payah menghunuskan pedang.
Singkatnya, perselisihan pendapat itu bisa dibilang sudah menjadi sunnatullah. Tugas kita, bagaimana meramunya agar tidak melebar menjadi perpecahan.
Jidal (debat)
Apa jadinya bila ada seseorang yang terkenal kealimannya, kejujurannya, amanahnya, tapi, pada suatu hari, masyarakat mengetahui bahwa orang tersebut talah melakukan penipuan? Sudah barang tentu, citranya akan rusak. Dan untuk mengembalikannya ke pada posisi semula, bukanlah perkara yang mudah, atau yang lebih ekstrim lagi, sangat tidak mungkin.
Hal itu juga berlaku dalam bermujadalah. Esensinya, tujuan yang ingin dicapai untuk mencari kebaikan. Namun, ketika proses dan akhirnya justru melahirkan kerusuhan, alih-alih akan mendatangkan manfaat, justru ini akan memperparah permasalahan. Dampaknya, tentu citra pribadi, lembaga, agama, dan negara akan tercoreng.
Kasus kericuhan di gedung DPR RI (kasus Century), secara tidak langsung telah mencemari nama baik lembaga tersebut di mata masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Dan yang lebih memalukan lagi, mayoritas dari mereka adalah muslim. Dan ini, tentu juga telah menjadi tamparan bagi umat Islam.
Sebab itu, perlu kiranya para peserta menjaga kode etik dalam bermujadalah (berdebat), demi melancarkan acara tersebut, sehingga melahirkan citra positif/baik di mata masing-masing peserta, lebih-lebih publik.
Adabul Mujadalah
Dalam bahasa Arab, perdebatan dikenal dengan istilah al-mujadalah. Kata al mujadalah seakar dengan kata al-jidal yang artinya perdebatan sengit. Pendapat lain mengartikannya dengan tali yang terikat kokoh. Dari sini, kata al-jidal mengandung arti debat yang dilakukan dengan cara yang baik dan didasari dalil yang kuat dan benar.
Dan untuk mewujudkan itu semua, berikut di antara etika yang perlu diperhatikan dan diterapkan dalam bermujadalah (debat) :
1. Meluruskan Niat
Meluruskan niat dalam bermujadalah sangatlah penting. Ketika niat kita benar-benar murni mengharap ridla Allah untuk mencari kebenaran, maka, keputusan apapun yang dihasilkan, kita akan berlapang dada menerimanya. Yang terpenting bagi kita adalah telah menyampaikan pendapat kita yang diyakini kebenarannya. Sifat memaksakan kehendak, dan mencela pendapat orang lain, akan terhindari, karena kita faham bahwa hal tersebut dilarang oleh Allah.
Dan akan sangat berbeda ketika unsur duniawi (ingin dipuji, terkenal, uang, dan lain-lain), yang melandasi mujadalah ini. Ia akan mati-matian mempertahankan pendapatnya, sekalipun kesalahan telah tampak di pelupuk mata. Oleh sebab itu, jagalah niat.
2. Jujur Kembali kepada Rujukan
Di antara yang menyebabkan sukarnya menemukan benang merah dalam berdebat, karena kedua belah pihak di dalam menyampaikan argumen, tidak berlandaskan rujukan. Argumen, “menurut saya”, justru menjadi penyebab dari kesia-siaan debat.
Dalam memilih rujukan, kita pun harus selektif. Jangan sampai orang yang kita jadikan sandaran, ternyata orang yang salah, atau secara ilmu, kurang memumpuni. Ingat, hujjah yang sedikit namun kuat, itu lebih baik daripada hujjah yang banyak, namun lemah dan terbantahkan.
3. Berpegang Teguh pada Kebenaran
Sangat mustahil untuk menghasilkan titik temu antarpeserta mujadalah, apabila di antara mereka ada yang menutup-nutupi kebenaran. Sebagai seorang muslim, pantang baginya untuk menyembunyikan kebenaran, meskipun hal tersebut berasal dari lawan kita. Kita harus gentle mengakui kekeliruan kita. Dengan ini, mujadalah akan berakhir dengan menghasilkan satu keputusan yang jelas.
Debat adalah perkara yang diperintahkan syariat untuk menyatakan yang haq dan membatalkan yang batil. Dalilnya antara lain adalah firman Allah swt berikut :
“Serulah (manusia) pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. (TQs. An-Nahl : 125)
4. Memperhatikan Diri
Memang pada hakekatnya, mujadalah yang kita lakukan bertujuan untuk mengoreksi pendapat orang lain, yang menurut kita –mungkin- kurang benar. Meskipun demikian, bukan berarti kita lepas diri untuk mengevaluasi pernyataan kita sendiri. Sebab, sekiranya dari hasil mujadalah itu lawan kita akhirnya berubah menjadi lebih baik, maka itu merupakan satu keuntungan baginya.
Dan untuk meminimalisir kesalahan kita, perlu kiranya kita mengoreksi segala macam pembicaraan, sikap dan segala hal yang berkaitan dengan mujadalah kita.
5. Sportivitas
Ibarat pertandingan sepak bola, kedua pihak tentu menginginkan satu sama lain, bermain secara sportif. Dan di antara bukti yang menunjukkan kesportivitasan tim, mereka menerima kekalahannya ketika kalah, dan mengakui keunggulan lawan atas tim mereka.
Begitu pula dalam hal bermujadalah. Ketidakmampuan menerima kekalahan secara apa adanya menunjukkan bahwa peserta mujadalah telah terjebak dalam tipu daya, yang jauh dari kondisi sesungguhnya.
6. Menghormati Pihak Lain
Secara fithrah, semua orang membutuhkan kehormatan. Marahnya akan meledak-ledak, ketika kehormatannya tersebut diacak-acak oleh seseorang. Lebih menyakitkan lagi, kalau hal itu dilakukan di depan umum. Bagi para peserta mujadalah, harus saling menghormati antarmereka, terkait apakah pendapatnya diterima oleh lawan, ataupun ditolaknya.
Namun, hal ini bukan berarti menuntut peserta untuk berkompromi murahan atau kemunafikan yang rendah, atau berbohong dengan menunjukkan sifat-sifat yang kurang patut. Tidak demikian. Pernyataannya harus tetap dengan perangai tegas namun etis. Dan ini akan menumbuhkan perasaan dan akhlak karimah, yang merupakan sifat-sifat terpuji. Pada gilirannya, hal itu akan meningkatkan kemampuannya dalam memuaskan pihak lain dan kemungkinan gagasannya didengar oleh orang lain akan lebih besar.
7. Senantiasa Memilih yang Lebih Baik
Pernyataan yang baik dengan diiringi perilaku dan sikap yang terpuji, akan memberikan stigma yang berbeda kepada pihak lawan debat kita, sekalipun, mereka (lawan kita) itu menunjukkan sikap yang berbeda.
8. Perbedaan Pendapat dan Kasih Sayang
Ada orang bijak yang mengatakan, “cukuplah perbedaan (pendapat) itu berada di otak (akal), tapi tidak merasuk ke hati”. Artinya, jangan sampai silang pendapat menjadi titik awal terperciknya api permusuhan, perpecahan, dan lain sebagainya.
Kita harus senantiasa menjaga hati, jangan sampai mujadalah yang fungsinya untuk mencari kemaslahaan (kebaikan), tapi justru berakhir dengan kemafsadatan (kerusakan).
9. Tidak Emosional
“Awwalul ghadhabi junuunun wa akhiruhu nadamu,” (permulaan marah adalah gila, dan akhirannya adalah penyesalan). Demikianlah peribahasa menggambarkan sifat emosi/marah. Orang yang dikuasi oleh emosi, tidak lagi menggunakan akal pikirannya dalam bertindak. Yang ada hanyalah nafsu, nafsu, dan nafsu. Adapun akal sehat itu tenggelam, terkendalikan oleh nafsu amarah, maka hilanglah kejernihan otaknya untuk menganalisa suatu permasalahan.
Dalam bermujadalah, hal ini harus dihindari. Alih-alih akan menghasilkan keputusan yang tepat, justru nantinya kerusakan yang lebih parah akan terjadi, ketika para peserta mujadalah berdebat dengan emosi.
10. Tidak Menampakkan Kurang Perhatian
“Hormatilah orang lain, maka orang lain pun akan menghormatimu”. Prinsip ini sangat perlu dipegang erat-erat oleh para peserta mujadalah. Jika seseorang terlihat kurang memberikan penghargaan, penghormatan dan perhatian pada orang lain, hal ini sama artinya bahwa ia tidak ingin dihargai atau diperhatikan orang lain.
Ketika proses mujadalah tidak berlandaskan hal ini, besar kemungkinan kericuhan akan terjadi. Sebab itu saling perhatian merupakan salah satu hal yang perlu tercipta dalam suasana mujadalah.
Demikianlah di antara prinsip-prinsip dalam mujadalah yang harus dimiliki oleh para peserta, sehingga, mujadalah yang dilakukan tersebut, benar-benar membawa kemaslahatan.
11. Tak Mendebatkan Al-Quran
Yang terpenting adalah, tidak ada yang memperdebatkan ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang kafir (QS Al-Ghafir : 44).
Berdebat tentang Al-Quran untuk menetapkan bahwa Al-Quran itu bukan mukzijat atau bukan berasal dari Allah, merupakan suatu kekufuran dan dianggap keluar dari Islam.
Rasulullah saw bersabda: “Berdebat tentang Al-Quran adalah kekufuran.” [HR. Ahmad dari Abu Hurairah).
JANGAN CEROBOH MEMILIH JODOH
“Kapan kalian menikah, kapan punya anak, kapan punya adik?” Demikian salah satu bunyi iklan KB di TV. Sudah menjadi fitrah, jika manusia memiliki rasa mencintai terhadap lawan jenisnya. Laki-laki mencintai wanita, begitu pula sebaliknya, wanita mencintai laki-laki.
Yang tidak fitrah, jika ia mencintai sesama jenis. Karena hal ini telah menjadi naluri, mau-tidak mau, ia pun harus memenuhi kebutuhannya. Kalau tidak, justru akan berdampak buruk pada diri sendiri, dan tentu saja terhadap keeksistensian manusia. Karena itu, biasanya, pertanyaan-pertanyaan seperti iklan itu selalu hadir pada setiap orang, mana-kala ia telah mengalami cukup umur untuk itu.
Secara umum, semua orang pasti menginginkan pendamping yang mampu memberikannya kebahagiaan. Dan seiring dengan perkembangan zaman (teknologi dan informasi), berbagai acara dimunculkan sebagai media penghantar, yang memfasilitasi tercapainya tujuan tersebut. Sebagai contoh, acara gelar jodoh di sebuah stasiun TV semarak pengikut.
Ada juga, SMS jodoh. Tinggal ketik “REG (spasi) Jodoh dan kirim ke ….” Maka secara spontanitas, ciri/tipe pasangan yang cocok bagi pemirsa yang sedang berkelana mencari pasangan, akan muncul. Gaung bersambut, acara sejenis ini, banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia.
Pertanyaannya, benarkah cara-cara demikian akan menghasilkan pasangan yang akan memberi kebahagiaan seperti yang didamba-dambakan? Lalu, bagaimana sebenarnya tipe pasangan yang bisa menghantarkan kepada kebahagiaan hakiki itu?
Nikah Sebagai Ibadah
Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur kehidupan manusia secara proporsional, sehingga tidak satu pun ajaran yang telah ditetapkannya, kecuali membawa kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Sebagai makhluk biologis, sudah barangtentu mereka (manusia) membutuhkan pasangan hidup, untuk melampiaskan hasrat birahinya.
Dan demi kebaikan tatanan manusia, baik secara individu ataupun jama’ah, syari’ah atau sosial, Islam menganjurkan kepada bani Adam untuk menikah, sebagai sarana yang suci, yang diberkahi, dalam menyalurkan naluri biologisnya tersebut. Selain itu, ia juga menjadi sarana yang akan menjauhkan manusia dari perbuatan zina, yang mana tindakan tersebut telah diharamkan oleh Allah. "Janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang paling buruk" (QS. Al-Israa':32). Demikianlah ketegasan Allah, mengenai hubungan di luar nikah.
Anjuran untuk menikah, secara langsung difirmankan oleh Allah dalam Al-Quran, surat An-Nisa’ ayat 2, ”Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi....”
Sedangkan dalam hadits, Rasulullah bersanda: “Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah mampu kawin, maka kawinlah; karena hal itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari)
Karena menikah adalah ibadah, oleh sebab itu proses menuju ke sana juga harus berlandaskan syari’at (silakan dibuka semua kitab fikih yang membahas tentang syarat dan rukun nikah). Tidak itu saja, untuk memastikan bahwa calon pasangan kita itu merupakan tipe orang yang akan membawa keselamatan bagi keluarga di dunia dan akhirat, maka kita harus memperhatikan, kemudian malaksanakan pesan Nabi mengenai kriteria calon pasangan hidup, yang dapat membawa angin keselamatan.
Sabda beliau, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir, ”Sesungguhnya Nabi Shalallahu ’alaihi wassallama, bersabda ”sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, hartanya, dan kecantikannya; maka pilihlah yang beragama.” (Riwayat Muslim dan Tirmidzi)
Melalui sabdanya ini, beliau, Rasulullah, menjelaskan secara transparan bahwa dalam memilih calon pendamping hidup, siapapun dia, tiga alasan yang menjadi standar acuan seseorang mencari pendamping hidup; kecantikan/ketampanan, kekayaan, nasab (keturunan), dan agama.
Bagi mereka yang normal, tentu sangat mengharapkan kalau calon pasangannya itu, merupakan perpaduan dari tiga unsur ini. Siapa yang tidak bangga memiliki pendamping yang shaleh/shalehah, tampan/cantik, lagi tajir. Akan tergambar begitu indahnya mahligai rumah tangga masa depan, yang dibangun dengan berpondasikan keimanan, serta dihiasai oleh kecantikan dan kemewahan. Terbayang jelas di pelupuk mata, betapa indahnya surga dunia yang akan mereka lalui berdua bersama anak-anak keturunan mereka mendatang.
Masalahnya, manakah yang harus diprioritaskan, ketika kita ditemukan dengan mereka yang tidak memenuhi tiga standart di atas? Karena bukan sesuatu yang mudah, untuk menemukan tipe macam ini. Jawabannya, perhatikanlah kalimat terakhir dari sabda Nabi di atas, ”Maka pilihlah yang beragama”.
”Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena kecantikannya, karena nasabnya, karena agamanya. Maka pilihlah alasan menikahinya karena agamanya. Kalau tidak maka rugilah engkau,” demikian sabda Nabi.
Jelas sudah, seberapapun elok, cantik, tampan, paras calon pasangan kita, dan setinggi apapun gundukan permata dan berlian yang menumpuk di rumahnya, tetapi ketika nilai-nilai keagamaan tidak terpancar dari jiwanya, maka tetap agama menjadi prioritas utama.
Model pilihan macam ini harus kita hindari, sebab bisa jadi, wajah nan cantik/tampan bak sinar rembulan di tengah gelapnya malam, harta yang berlimpah ruah hingga tak terhitung jumlahnya, justru menjadi momok penghancur mahligai rumah tangga, karena kesombongan diri terhadap apa yang mereka miliki. Sungguh hamba sahaya yang hitam kelam lagi beriman, takut kepada Allah dan Rosul-Nya, lebih baik dari mereka tersebut.
Rasulullah mengingatkan kita melalui sabdanya:
”Janganlah kamu menikahi perempuan karena kecantikannya, mungkin kecantikan itu akan membawa kerusakan bagi diri mereka sendiri. Dan janganlah kamu menikahi karena mengharap harta mereka, mungkin hartanya itu menyebabkan mereka sombong, tetapi nikahilah mereka atas dasar agama. Dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik, asal ia beragama,” (Riwayat Baihaqi)
Lebih tegas lagi, dalam sabdanya yang lain Rasulullah menjelaskan, ”Barang siapa yang menikahi seorang perempuan karena hartanya, niscaya Allah akan melenyapkan harta dan kecantikannya. Dan barang siapa yang menikahi karena agamanya, niscaya Allah akan memberi karunia kepadanya dengan harta dan kecantikannya.” (Al- Hadits)
Mereka Perhiasan Dunia
Kasus perceraian artis karena skandal perselingkuhan, sudah menjadi rahasia umum. Betapa sakitnya perasaan salah satu pihak, mengetahui kalau istri/suaminya, bergandengan mesra dengan orang lain. Hal tersebut tidak mungkin terjadi, sekiranya kedua belah pihak benar-benar faqih fiddien (faham agama).
Si suami, misalnya, tidak mungkin berselingkuh ketika ia bertugas di luar rumah, karena dia faham akan syari’at. Lebih-lebih, ketika ia mengingat, bagaimana si istri melayaninya dengan begitu baik, mendidik anak tanpa kenal lelah, menjaga harta dengan amanah, mengingatkan ketika dia lalai, memberi motivasi ketika semangat turun, dan sebagainya, dan sebagainya.

Suami yang saleh --yang taat kepada Allah dan Rosul-Nya-- ia akan senantiasa menenangkan hati dan menentramkan jiwa istrinya. Begitu sebaliknya. Istri yang beriman, ia senantiasa menjaga harta dan dirinya di kala suami tak ada di rumah. Hal ini sejalan lurus dengan sabda Rosulullah, ”Sebaik-baik perempuan yang apabila engkau memandangnya, ia menyenangkanmu; dan jika engkau menyuruhnya, diturutnya perintahmu; dan jika engkau bepergian, dipeliharanya hartamu dan dijaganya kehormatanya.”
Betapa banyak artis yang lebih memilih “kembali ke panggung” untuk mencari ketenaran dibanding menjaga rumah-tangganya di rumah? Tak sedikit di antara mereka bahkan rela memilih cerai daripada kehilangan ketenaran yang pernah diraihnya.
Apakah tipe seperti ini yang sedang Anda cari? Tentu tidak. Lantas wanita yang bagaimanakah yang mampu mencerminkan sosok di atas ini? Tidak lain, hanya mereka yang faham akan agama, karena dengan faham agama, mereka akan mengerti akan tugas-tugas sebagai istri terhadap suami.
”Sebab itu maka wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri sepeninggal suaminya karena Allah telah memelihara,” terang Allah dalam surat An-Nisa’, ayat 34, mengenai keutamaan wanita salehah.
Trik Syar’i
Islam adalah agama yang memberi solusi. Begitu pula dengan permasalahan di atas. Al-Quran telah menyodorkan rahasianya kepada kaum muslimin, sehingga mampu mendapatkan pasangan, yang sesuai dengan kriteria di atas, tanpa harus melanggar syari’at, seperti, berkhalwat, dan sejenisnya. Lalu apa rahasianya?
Allah menerangkan dalam Al-Quran :
”Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji, untuk perempuan-perempuan yang keji pula (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik, untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untu perempuan-perempuan yang baik (pula)..........” (An-Nur 26).
Mustahil akan ditemukan yang saleh/salehah, jika seseorang mencarinya di tempat-tempat yang tidak baik dan dengan cara yang tidak diridai Allah dan Rasul-Nya. Pasangan yang mulia tak mungkin didapatkan dengan ramalan dukun, atau mengikuti anjuran TV dengan ikut reg_spasi. Akan lebih mudah dengan memperbaiki diri dengan sempurna mungkin, maka jodoh yang sempurna itu akan tiba. Dalam kata lain, jodohnya tergantung kepada kepribadiannya. Ketika kepribadiannya baik, maka, ia pun akan mendapatkan yang terbaik, ketika kepribadiannya buruk, ia pun akan mendapatkan yang setimpal.
Kesimpulannya, mencari pasangan hidup, bukan seperti seseorang yang membeli kucing di dalam karung. Sebab, indah suaranya, belum tentu elok rupanya. Semakin tinggi gelarnya, juga belum tentu tinggi ilmu agama atau akhlaknya. Sekali lagi, “Jangan ceroboh dalam mencari jodoh, sebab ia merupakan salah satu penentu dari kebahagiaan Anda!” Wallahu 'alam bis-shawab.
TUGAS KITA , BUKAN SEKOLAH
Jumat malam, menjelang penutupan tahun 2009, seorang teman mengadu. Ia begitu kecewa dengan sekolah tempat anaknya belajar. “Saya sudah bayar mahal-mahal, hasilnya cuma segitu,“ ujar pria, sebut saja namanya Ilham (35). Pekerja super sibuk ini tentu punya asalan mengapa ia begitu marah. Menurutnya, ia sudah memilih sekolah yang tepat, gedung megah, fasilitas lengkap, dan teman-teman terhormat. Semuanya sudah ada. Berkualitas. Kurang apa lagi?
Tapi nampaknya ia kecele. Setelah beberapa tahun perjalanan perkembangan sang anak, ia tak menemui sikap dan tindakan sang buah hati seperti yang diharapkannya. Ia mengaku, anaknya punya nilai akademik di atas rata-rata. Hanya kesopan dan akidahnya di bawah rata-rata.
Ilham adalah seorang manager sebuah perusahaan besar dengan gaji lumayan. Demi masa depan anaknya, ia bekerja banting-tulang dan pulang malam. Hanya sedikit waktu bertemu dengan buah hatinya. Hari panjangnya bertemu anak dan keluarganya hanya hari Ahad. Setiap hari, jika ia datang, ditemui anaknya sudah terlelap. Meski tak banyak waktu yang ia contohkan tentang kehidupan pada buah hatinya, ia tetap berharap, anaknya bisa menjadi anak yang baik. “Masa lalu saya cukup buruk dan tidak mengerti agama, jangan sampai anak saya ikut seperti saya, “ tambahnya.
Tauladan
Anak merupakan amanah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena amanah, maka kelak Dia akan meminta pertanggungjawaban kepada kita atas amanah tersebut.
Jika anak-anak tumbuh menjadi shalih dan shalihah, tentu akan membawa keuntungan dunia dan akhirat bagi orangtuanya. Sebaliknya, jika orangtua lalai dalam mengajar dan mendidik, keberadaannya akan membawa bencana dunia dan akhirat. Banyak orangtua percaya, uang bisa “menyulap” akhlak anak. Mereka memposisikan sekolah seperti pabrik atau penitipan sepeda. Padahal seorang anak adalah manusia. Sering pula orangtua menyangka, nilai akademis selalu sejajar dengan perilaku baik dan akidah yang lurus. Banyak kasus di negeri ini orang-orang bertindah ceroboh, melakukan korupsi dan melakukan kejahatan bahkan dari orang-orang terdidik dan pandai.
Para orangtua menilai dengan menitipkan seorang anak di lembaga pendidikan, semuanya selesai. Sementara di rumah, apa yang anak dapat tak sama dengan nilai-nilai yang diajarkan di sekolahnya. Tak ada keteladanan yang diperolah dari anak menyebabkan mereka bimbang terhadap nilai-nilai. Di sekolah ia diajarkan kebaikan, dilarang berbuat kasar, memaki, berbuat sopan, sementara di rumahnya ibu-bapaknya setiap hari berlaku kasar dan tak mencontohkan nilai-nilai kebaikan.
Lembaga pendidikan hanya institusi menjalankan proses pendidikan dan mengenalkan nilai. Anak hanya mampir sesaat di sekolah. Hari-hari panjang justru berada di rumah. Di sinilah tugas para orangtua mengawal apa yang telah diperoleh di sekolah. Itulah sinergi terbaik antara sekolah dan orangtua. Yang terjadi sering sebaliknya. Para orangtua sering menyalahkan sekolah, padahal kesalahan ada pada orangtua.
Sesungguhnya tugas pendidikan ada pada keluarga dan sekolah. Namun pertanggujawabannya di akhirat, di hadapan Allah SWT tetap para orangtua.
Terkait dengan mendidik anak, di Islam memberikan tuntunan sangat baik. Di bawah beberapa tip dan tuntunan ajaran Islam:
Tanamkan Akidah yang Benar
Ini hal yang sangat penting. Jika anak-anak memiliki akidah yang benar, maka itu lahan subur bagi tumbuhnya kebaikan-kebaikan. Tidak ada kebaikan pada diri anak yang akidahnya melenceng. Penanaman akidah harus dimulai dari orangtua, dari rumah. Tunjukkanlah akidah yang lurus. Jika kita tak memiliki semua itu, setidaknya, pilihkanlah mereka sekolah-sekolah yang baik, di mana Islam menjadi bagian utama dari dasar pijakannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak, aku akan ajarkan padamu beberapa kalimat: Jagalah Allah pasti engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat berkumpul untuk menolongmu, mereka tidak bisa menolongmu dengan sesuatu kecuali atas hal yang telah Allah takdirkan. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat berkumpul untuk mencelakaimu, mereka tidak bisa mencelakaimu dengan sesuatu kecuali atas yang telah Allah takdirkan, pena-pena telah diangkat dan catatan-catatan telah kering.” (Riwayat Ahmad dan Tirmidzi)
Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, peliharalah diri-diri kamu dan keluargamu dari api neraka.” [QS: At Tahrim ayat 6]
Memohon Pahala
Rasulullah bersabda, “Jika seseorang menafkahkan hartanya kepada keluarganya dengan mengharap pahala, maka baginya adalah pahala sedekah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Mas’ud)
Ingatkan Shalat
Shalat merupakan kewajiban paling utama seorang hamba terhadap Allah. Rasulullah menegaskan, “Perintahkan anakmu untuk shalat saat usia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika meninggalkan shalat) saat usia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Hakim, Baihaqi, dan lain-lain)
Menuntun Berakhlak Baik
Mustahil mengajarkan kebaikan jika yang dilihat anak di rumah setiap jam, setiap hari justru keburukan. Di tangan orangtualah anak-anak tumbuh dan menemukan jalan-jalannya. Jika yang dilihat setiap saat buah keburukan, di masa datang, orangtua akan panen keburukan. Begitu pula sebaliknya.
Membiasakan praktik-praktik sunnah dalam kehidupan keseharian. Misalnya makan dengan membaca "Bismillah" dan membiasakan berdoa, mengakhirinya dengan "Alhamdulillah", masuk/keluar rumah dengan “Salam”, dll. Menghapalkan doa-doa sejak sedini mungkin memberikan pengaruh besar dalam perkembangan kejiwaan anak.
Mulailai kebaikan dari diri sendiri sebelum mengajarkan pada anak-anak kita. Sekecil apapun.
Umar bin Abu Salamah Radhiyallahu ‘anhu saat masih kecil dalam asuhan Rasulullah, tangannya ke sana ke mari di atas makanan. Dia bersabda, “Wahai anak, bacalah ‘Bismillah’, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat darimu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abu Salamah)
Tanamkan kepada mereka akhlak-akhlak mulia. Ajari berkata dan bersikap jujur, berbakti kepada orangtua, dermawan, menghormati yang lebih tua dan sayang kepada yang lebih muda, serta beragam akhlak lainnya.
Melarang mereka dalam perbuatan yang diharamkan. Ajarkan sejak sedini mungkin beragam perbuatan yang tidak baik atau bahkan diharamkan. Tidak merokok, berjudi, minum khamr, mencuri, mengambil hak orang lain, zhalim, durhaka kepada orangtua, dan segenap perbuatan haram lainnya.
Memisahkan Tempat Tidur
Memasuki usia sepuluh tahun, pisahkanlah tempat tidurnya. Anak-anak pada usia ini sudah terhitung dewasa dan mendekati masa baligh (puber), gairahnya mulai muncul, maka memisahkan tidur mereka akan mencegah petaka yang tidak diinginkan. Rasulullah bersabda, “…pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim, Baihaqi, dan lain-lain)
Berbuat Adil
Tidak bijak bila membeda-bedakan anak dalam berinteraksi dan menafkahi. Perlakuan pilih kasih kerap membawa permusuhan di antara saudara. Hal itu merupakan bentuk kezhaliman terhadap anak.
Rasulullah bersabda, ”Aku tidak akan bersaksi atas suatu kejahatan, takutlah kamu kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anakmu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir)
Lemah Lembut, Bermain, dan Mencium
Rasulullah tidak segan mengajak anak-anak untuk bermain, berlaku lemah lembut, serta mendekati dan mencium mereka. Simaklah bagaimana cara Rasulullah memanggil mereka, “Wahai anakku.” Hindari cacian, cibiran, perbanyak pujian.
Tegas Saat Diperlukan
Anak yang tidak pernah mendapat hukuman (saat diperlukan) akan mempunyai tabiat yang kurang bagus. Hendaklah orangtua bisa menunjukkan kepada anak-anak dan keluarganya bahwa dia adalah orang yang tegas dan keras saat kondisi mengharuskan itu.
Rasulullah pernah bersabda, “…pukullah mereka (jika meninggalkan shalat) saat usia sepuluh tahun.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).
Juga, “Gantunglah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluargamu, karena hal itu akan menjadi sebuah pelajaran.” (Riwayat Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad)
Selain yang terurai di atas, hendaknya para orangtua tampil menjadi teladan bagi buah hatinya, lalu mengajari ilmu yang membawa kemanfaatan dunia dan akhirat, serta tidak mendoakan yang buruk kepada mereka (anak-anak).
Pertanggujawaban
Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban.” Mudah-mudahan kita semua selamat di dunia dan di akhirat untuk mengantarkan anak-anak kita ketika kelak dihadapkan pada mahkamah Allah
PANDAI PANDAI MENATA NIAT
Dahulu ada seseorang dari Bani Israil yang alim dan rajin beribadah kepada Allah SWT. Suatu ketika ia didatangi sekelo

Melihat gelagat tersebut, iblis mulai beraksi dan berusaha menghalangi niat orang alim itu. Ia mengecohnya dengan menyamar sebagai orang tua renta yang tak berdaya. Didatanginya orang itu setelah ia tiba di lokasi pohon yang dimaksud.
”Apa yang hendak kau lakukan?” tanya iblis. Orang alim itu menjawab, ”Aku mau menebang pohon ini!”
“Apa salahnya pohon ini?” tanya iblis lagi.
“Ia menjadi sesembahan orang-orang selain Allah. Ketahuilah ini bukan termasuk ibadahku.” Jawab orang alim itu.
Tentu saja iblis tidak menginginkan niat orang itu terlaksana dan tetap berusaha untuk menggagalkannya.
Karena iblis berusaha menghalang-halanginya, orang alim itu membanting iblis dan menduduki dadanya. Di sinilah iblis yang licik mulai beraksi. ”Lepaskan aku supaya aku dapat menjelaskan maksudku yang sebenarnya,” kata iblis.
Orang alim itu kemudian berdiri meninggalkan iblis sendirian. Tapi ia tidak putus asa. ”Hai orang alim, sesungguhnya Allah telah menggugurkan kewajiban ini atas dirimu karena engkau tidak akan menyembah pohon ini. Apakah engkau tidak tahu bahwa Allah mempunyai Nabi dan Rasul yang harus melaksanakan tugas ini.”
Orang alim tersebut tak mempedulikannya dan tetap bersikeras untuk menebang pohon itu. Melihat hal itu, iblis kembali menyerang. Tapi orang alim itu dapat mengalahkanya kembali. Merasa jurus pertamanya gagal, iblis menggunakan jurus kedua. Ia meminta orang alim itu untuk melepaskan injakan di dadanya.
”Bukankah engkau seorang yang miskin. Engkau juga sering meminta-minta untuk kelangsungan hidupmu,” tanya iblis.
”Ya, memang kenapa,” jawab orang itu tegas, menunjukkan bahwa ia tak akan tergoda.
“Tinggalkan kebiasaan yang jelek dan memalukan itu. Aku akan memberimu dua dinar setiap malam untuk kebutuhanmu agar kamu tidak perlu lagi meminta-minta. Ini lebih bermanfaat untukmu dan untuk kaum muslimin yang lain daripada kamu menebang pohon ini,” kata Iblis merayu.
Orang itu terdiam sejenak. Terbayang berbagai kesulitan hidup seperti yang didramatisasi iblis.
Rupanya bujuk rayu iblis manjur. Ia pun mengurungkan niatnya. Akhirnya ia kembali ke tempatnya beribadah seperti biasa. Esok paginya ia mencoba membuktikan janji iblis. Ternyata benar. Diambilnya uang dua dinar itu dengan rasa gembira. Namun itu hanya berlangsung dua kali. Keesokan harinya ia tidak lagi menemukan uang. Begitu juga lusa dan hari-hari selanjutnya. Ia pun marah dan segera mengambil kapak dan pergi untuk menebang pohon yang tempo hari tidak jadi ditebangnya.
Lagi-lagi iblis menyambutnya dengan menyerupai orang tua yang tak berdaya.
”Mau ke mana engkau wahai orang alim?”
”Aku hendak menebang pohon sialan itu,” jawabnya emosi.
“Engkau tak akan mampu untuk menebang pohon itu lagi. Percayalah! Lebih baik engkau urungkan niatmu,” jawabnya melecehkan.
Orang alim itu berusaha melawan Iblis dan berupaya untuk membantingnya seperti yang pernah dilakukan sebelumnya.
”Engkau tak akan dapat mengalahkanku,” sergah iblis.
Kemudian iblis melawannya dan berhasil membantingnya.
Sambil menduduki dadanya, iblis berkata, ”Berhentilah kamu menebang pohon ini atau aku akan membunuhmu.”
Orang alim itu kelihatannya tidak punya tenaga untuk mengalahkan iblis seperti yang pernah dilakukannya sebelum itu.
”Engkau telah mengalahkan aku sekarang. Lepaskan dan beritahu aku, mengapa engkau dapat mengalahkanku,” tanya orang alim.
Iblis menjawab, ”Itu karena dulu engkau marah karena Allah dan berniat demi kehidupan akhirat. Tetapi kini engkau marah karena kepentingan dunia, yaitu karena aku tidak memberimu uang lagi.”
Kisah yang diuraikan Imam Al-Ghazali dalam kitab Mukasyafatul Qulub itu memberi pelajaran bahwa betapa pentingnya nilai sebuah keikhlasan, yakni berbuat kebajikan tanpa pamrih kecuali hanya mencari ridho Allah SWT. Ikhlas ini merupakan ruh ibadah kepada Allah SWT. Karena itu untuk mewujudkan ibadah yang berkualitas kepada Allah SWT kita harus pandai-pandai menata niat. Niat inilah yang akan membawa konsekuensi pada diterima atau tidaknya suatu ibadah yang kita lakukan.
Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya, seseorang itu akan memperoleh apa yang telah diniatkannya. Barang siapa hijrahnya itu karena Allah dan rasulnya, maka ia akan memperoleh pahala dan barang siapa hijrahnya itu karena harta atau wanita, maka ia akan memperoleh apa yang telah diniatkanya itu.”
Asal muasal hadits ini adalah ketika Rasulullah SAW berdakwah di negeri Mekah merasa sulit karena selalu mendapatkan perlawanan hebat dari kaum Quraisy. Beliau akhirnya mendapat perintah untuk hijrah ke Yatsrib (Madinah). Beliau pun memerintahkan para sahabat untuk berhijrah. Tapi para sahabat ternyata punya motivasi yang berbeda-beda dalam melakukan hijrah. Mulai dari sahabat yang ikhlas mencari keridhoan Allah SWT hingga alasan wanita, harta, dan benda. Karena itu Rasulullah menginstruksikan kepada para sahabat untuk menata niat mereka melalui hadits itu.
Memang niat mudah diucapkan namun sukar untuk dipraktikkan. Saat kita punya niat baik, maka saat itu juga iblis telah bersiap siaga untuk menjerumuskan dan merusaknya. Padahal awalnya niat itu murni karena Allah. Itulah sebabnya, Ibnu Qoyim mengatakan bahwa ikhlas itu membutuhkan keikhlasan (al-ikhlashu yahtaju ilal ikhlash).
Niat itu bersarang dalam hati. Agar ia tetap terjaga utuh, seseorang harus menata niatnya sebelum melakukan amal, ketika melakukannya, dan sesudah selesai. Dan hal itu bisa dimiliki dengan melalui berbagai latihan (riyadhah) mental yang intensif, yakni berusaha menata niat, karena ia tidak akan serta merta bersih dengan sendirinya.
Yang perlu diwaspadai, iblis menggoda manusia sesuai dengan kualitas ketaatannya kepada Allah. Semakin berkualitas seseorang kepada Allah, maka akan digoda oleh iblis kelas berat. Di sinilah pentingnya kita selalu memohon perlindungan kepada Allah SWT untuk menjaga niat.
Apalagi manusia memiliki nafsu yang cenderung mengarahkan kepada hal-hal yang buruk dan jahat. Bila ia tidak diarahkan sebagaimana mestinya, maka ia akan bekerja sama dengan iblis untuk merusak niat seseorang, baik itu lewat penyakit ujub, riya, dan sum’ah.
Kunci ibadah adalah ikhlas. Dan ikhlas itu ada di dalam hati orang yang melakukan amal tersebut. Maka sah atau tidaknya pahala amal itu, tergantung pada niat ikhlas atau tidak hati pelakunya. Jika dalam melakukan amal itu hatinya bertujuan untuk mendapat pujian dari manusia, maka hal itu berarti tidak ikhlas. Akibatnya amal ibadah yang diusahakannya tidak menerima pahala dari Allah.
Kita benar-benar diperintahkan oleh Allah untuk memasang niat dengan ikhlas dalam setiap ibadah kita. Jangan dicampuri niat itu dengan hal yang lain, yang nantinya akan merusak pahala amal ibadah tersebut. Allah berfirman:
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” (Q.S Al-Bayyinah: 5)
Sebagai seorang muslim, kita harus bercermin dari kisah antara iblis dan orang alim dari Bani Israil di atas. Semoga Allah SWT melindungi kita dari iblis si perusak amal
RESEP MENEPIS BOSAN PADA PASANGAN MUSLIM
Bagi pasangan yang baru saja mengayuh biduk rumah tangga, mungkin perasaan bosan belum menjangkiti hati. Masih banyak pemakluman yang disematkan. Masih banyak toleransi yang direntangkan, manakala melihat pasangan melakukan hal-hal yang tidak berkenan. Kita pun masih tersenyum, manakala ia datang membawa sesuatu yang membuat kita lupa akan tingkahnya yang menjengkelkan.
Namun, bagaimana bila seiring dengan berjalannya waktu, pemakluman itu tak lagi ada? Kata-kata yang diucapkannya pun tak lagi menjadi penawar atas gundah yang berkecamuk di hati. Lisannya justru menjadi pemicu akan kemarahan yang sudah lama bertumpuk. Kehadirannya justru menjadi pemandangan yang menyebalkan. Akhirnya, pertemuan demi pertemuan hanyalah sebuah rutinitas karena memang tidak ada tempat pulang yang ‘harusnya’ kecuali rumah. Akhirnya, hanya ada satu kata yang mengemuka: bosan!
Sejatinya, bosan merupakan akibat yang muncul dari permasalahan yang selalu datang berulang tetapi tidak kunjung menemui penyelesaian yang tuntas. Ada baiknya, kita tidak perlu terlalu fokus pada kejenuhan yang dirasakan, tetapi justru berusaha menyelesaikan permasalahan yang menjadi biang keladi.
Putuskan dalam Hati
Berupaya menemukan jalan keluar dari permasalahan yang berlarut-larut memang bukan perkara mudah. Kadang, kita terlanjur menarik kesimpulan sendiri akan jawaban atau sikap yang akan dihadirkan pasangan. Tentunya, ini bukanlah penyikapan terhadap masalah yang baik. Membiarkan diri kita selalu mendengar ungkapan negatif versi perasaan kita sendiri, akan menyeret kita pada suasana hati yang buruk dan penuh prasangka.
Cobalah sesekali untuk memberi ruang bagi jawaban atau sikap pasangan. Karena, untuk merasa bahagia, bingung, kecewa, sedih, marah bahkan jenuh adalah masalah keputusan yang dibuat dalam hati kita sendiri. Bila kita memutuskan untuk melapangkan dada, mendengar jawaban atau menyaksikan sikap yang ditampakkan oleh pasangan, maka kita pun tidak akan merasa kecewa atau marah terhadap respon yang diberikan olehnya. Bahkan, bila kita telah memutuskan untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi, bukan mustahil, Allah Subhanahu wa Ta’ ala (SWT) akan memudahkan jalan keluarnya.
Kita adalah apa yang kita pikirkan. Bila kita berpikir bahwa masalah itu sudah berurat-akar dan tak dapat diselesaikan, maka akan seperti itu pulalah keadaan hubungan kita dengan pasangan. Penuh rasa kecewa, bosan, dan terperangkap pada rutinitas kewajiban. Itulah sebabnya, hindari membiarkan perasaan kita menjadi sesuatu yang sulit dipahami oleh Anda dan pasangan. Buatlah keputusan bahwa masalah kita akan berakhir dengan baik dan mendatangkan kebahagiaan.
Bosan pun bisa dihindari dengan tindakan yang kita ambil. Aktivitas yang monoton dengan lawan interaksi yang tak berubah, sangat potensial untuk memicu kejenuhan. Karena itu, interaksi yang saling mengisi, mengerti, dan dikemas dalam pola yang baru, diharapkan mampu menjadi jurus yang ampuh untuk mengimbangi kecenderungan merasa jenuh. Artinya, dalam keseharian, perlu adanya inisiatif dari masing-masing pihak untuk mengatasi pemicu kebosanan dengan rasa saling mengisi.
Mencoba Mengerti
Inisitiaf ini tentu tak akan muncul, bila tidak didasari oleh terbangunnya rasa pengertian di antara pasangan. Masalah pun akan terlihat lebih jelas, bila kedua belah pihak mau sejenak berhenti menomorsatukan perasaan masing-masing dan mengerti apa yang dirasakan oleh pasangannya.
Terkadang, kita adalah orang yang sangat membutuhkan pengertian. Hidup bersama orang yang tidak mau mengerti kita, tentu hidup akan terasa tidak masuk akal. Apapun yang kita lakukan adalah kesalahan. Dengan adanya pasangan yang senantiasa berusaha mengerti dan mengisi, kita akan merasa ditemani. Selain itu, merasa bahwa apa yang kita lakukan juga dapat membahagiakan orang lain.
Begitu pula sebaliknya, apa yang dirasakan suami atau isteri kita. Bila kita berusaha memahami bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk memberikan yang terbaik, tentu ia akan bersemangat dan berusaha melakukan hal yang baik itu menjadi lebih baik. Inilah yang akan menghindarkan kehidupan berumahtangga dari kejenuhan.
Cobalah kita cermati sejenak, tindakan yang diambil oleh Rasulullah SAW saat menemani Aisyah RA. Saat itu Aisyah RA melakukan hal yang bagi sebagian orang mungkin tidak masuk akal dan kekanakkan.
Aisyah RA berkata, "Demi Allah, aku pernah melihat Rasulullah SAW berada di pintu kamarku, sedangkan saat itu di dalam masjid ada beberapa orang Habsyi (Abyssinia) yang sedang bermain tombak. Rasulullah SAW pun kemudian menutupiku dengan selendangnya agar aku tidak terlihat oleh orang banyak, tapi aku dapat melihat permainan mereka. Aku sandarkan wajahku di antara bahu dan telinga beliau dengan menempel di pipi beliau, kemudian beliau bersabda, “Wahai Aisyah, apakah engkau sudah puas?” Aku menjawab, “Belum.” Dan aku tetap melihat permainan itu dari tempatku berdiri sampai aku merasa puas."
Dalam riwayat lain disebutkan, "Beliau tetap berdiri karena menemaniku (Aisyah) melihat permainan itu hingga aku puas, lalu aku pergi meninggalkan permainan itu, maka perkirakanlah dengan perkiraan wanita remaja yang masih senang melihat permainan." (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Agar istrinya mendapatkan hiburan dan merasa senang, Rasulullah SAW tak merasa rugi meluangkan waktu sejenak untuk menemani Aisyah RA melakukan sesuatu yang mungkin bagi sebagian orang “sudah lewat masanya”. Nah, agar Anda dan pasangan tak dihantui rasa bosan, bagaimana jika bersama-sama melakukan hal yang tidak biasa?
Rasulullah SAW dalam berbagai Hadits yang masyhur menggambarkan betapa beliau sangat menjaga mood isteri-isterinya. Beliau senantiasa melakukan hal-hal kecil yang membuat rumahtangga beliau selalu terlihat cerah setiap harinya. Siapa pun tak akan mampu menyembunyikan rasa ketersanjungan manakala diperlakukan laksana Rasulullah SAW memperlakukan Shafiyah binti Huyay. Dengan lembut, Rasulullah SAW menyediakan pahanya untuk dijadikan injakan Shafiyah, saat isteri beliau tersebut hendak menaiki kuda tunggangannya. Jadi, meskipun Anda tahu bahwa suami Anda bisa merapikan jenggotnya sendiri atau isteri Anda bisa membuka pintu mobil sendiri, apa salahnya jika suatu saat Anda yang melakukan hal tersebut untuknya?
Nah, bila rasa bosan sudah mulai menghinggapi denyut keseharian Anda dan pasangan, marilah bersama kembali pada sunnah Rasul-Nya. Yaitu sunnah untuk mendengarkan apapun yang disampaikannya, berprasangka baik, berinsiatif untuk melakukan hal-hal yang membuatnya gembira, dan menjadikannya satu-satunya yang terbaik di hati Anda.
Dan jangan lupa, perhatian dan tindakan Anda yang membuatnya merasa paling istimewa, tentu akan membuatnya menjadikan Anda pun orang yang diistimewakannya, setiap saat. [Kartika, ibu rumah tangga tinggal di Jakart
Tidak ada komentar:
Posting Komentar