
"' SERAKAH" YANG MEMBAWA BERKAH
Serakah  adalah satu sifat buruk yang tak layak dimiliki oleh orang-orang  beriman. Dengannya, seseorang akan berperilaku bengis, dzolim terhadap  orang lain, lagi lebih mementingkan kepuasan diri sendiri, keluarga,  ataupun para sekutu-sekutunya, ketimbang mempedulikan kemaslahatan umum.
Untuk  memenuhi keserakahan mereka, tidak sedikit orang harus menempuh jalur  ‘kiri’, dalam arti, yang penting tujuan tercapai, tak peduli dengan cara  apapun jua, haram-halal dilabrak. Tidak bisa dengan cara damai, jalur  paksa pun ditempuh. Buntu dengan negosiasi, cara tak manusiawi, pun  terkadang dilakukan.
Ketika fenomena ini menjalar di  tengah-tengah masyarakat, dan menjadi budaya praktek kehidupan mereka,  maka bisa dipastikan tatanan hidup sosial tidak akan pernah berjalan  harmonis. Yang kaya memeras yang miskin, yang kuat menindas yang lemah,  yang pintar mengibuli yang bodoh, begitu seterusnya, dan begitu  seterusnya.
Tidak hanya itu saja efek negatif yang bisa  ditimbulkan oleh orang yang memiliki sifat serakah. Yang paling  berbahaya, dia pun akan menantang/durhaka terhadap Allah SWT. Sebagai  ‘cermin’, kita bisa beraca pada keserakahan yang dimiliki Fir’aun  terhadap kekuasaan, kedudukan, dan kemegahan, yang telah menyebabkannya  buta hati, sehingga tega mengdzolimi masyarakat jelata. Dan yang paling  fenomenal, dia menetapkan satu keputusan yang sangat sepihak demi  mempertahankan kedudukannya yang nyaman, yaitu; dengan membunuh setiap  anak-anak laki-laki dari Bani Isroil, karena khawatir kalau di kemudian  hari, mereka akan merebut kekuasaan yang berada di kendalinya.
Allah  berfirman: “Dan (ingatlah) ketika kami menyelamatkan kamu dari Fir’aun  dan pengikut-pengikutnya. Mereka menimpakan siksaan yang sangat berat  kepadamu. Mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu dan membiarkan hidup  anak-anak perempuanmu.  Dan pada yang demikian itu merupakan cobaan  besar dari Tuhanmu”. (Q:S. 2:49).
Yang lebih celaka, raja yang  konon memiliki nama asli Menephthan anak Ramses ini, pun berujar: “Aku  lah Tuhanmu yang Maha Tinggi”, (Q:S.79:24), ketika dia diingatkan oleh  Nabi Musa untuk kembali ke jalan yang benar, menyembah Allah semata.
Jejak  buruk yang ditinggalkan Fir’aun tersebut, termaktub dalam beberapa  surat dari al-Quran, yang tidak lain tujuannya, agar kita (khususnya  kaum muslimin) mampu mengambil ‘mutiara’ yang tersirat dari bencana yang  menimpa Fir’aun. Sayangnya, dalam praktek lapangan, tidak sedikit orang  justru mengikuti gaya hidup raja bengis tersebut.
Sejalan  demikian, Allah pun menegur manusia melalui firman-Nya: “Sungguh, pada  yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (pada  Allah).” (An-Naziat: 26)
Penghubung Kehancuran
Sejatinya,  tidak ada kebahagian yang dimiliki oleh orang serakah. Mereka terus  diliputi oleh kekurangan, serta senantiasa dihantui ketakutan atau  kekhawatiran akan pudarnya kekuasaan. Boleh jadi, dari segi fisik  (materi) yang nampak, mereka sepertinya diliputi kesenangan, dikelilingi  kemewahan, dan disertai kedamaian, namun, bila ditilik lebih jauh lagi,  sesungguhnya mereka senantiasa diliputi oleh kegalauan batin, dan  kekeringan jiwa. Pertanyaannya, adakah kebahagiaan bagi orang yang  hatinya setiap saat diliputi kecemasan? Bukankah kebahagiaan itu sendiri  bermuara dari ketenangan hati? Bila hati tenang, nyaman, bukankah  seluruh permasalahan akan terasa ringan? Adakah kebahagiaan lebih besar  dari ketenangan jiwa (hati)?
“Sungguh beruntung orang yang telah mensucikannya (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang telah mengotorinya.” (Q:S.91: 9-10)
Dan  untuk mereka yang jiwanya telah terjangkit keserakahan, maka tunggulah  kehancuran. Karena, sejatinya atas perbuatannya tersebut, dia tengah  mengaktifkan bom waktu, yang tiap saat  bisa saja meledak dan  membinasakannya. Bagaimana tidak, orang yang serakah acap kali  menimbulkan kedzoliman bagi orang lain. Dengan demikian, orang yang  tersakiti tersebut, lambat laun menanti kesempatan untuk membalas  dendam. Ketika waktu itu tiba, maka akan ditumpahkannyalah siksa batin  yang selama ini dipendam.
Di lain pihak, Allah pun telah  menjanjikan kehancuran hidup di dunia dan di akhirat bagi mereka yang  berbuat serakah, dan semena-mena, semisal Fir’aun dan sejenisnya.  Firman-Nya (lanjutan ayat di atas) “Maka Allah menghukumnya dengan adzab  di akhirat dan siksaan di dunia.” (Q:S.79:25).
Singkatnya, orang  yang serakah, cepat atau lambat, pasti akan musnah, dan siksa api  neraka telah menanti kedatangannya. Na’udzubullah tsumma na’udzubillah  min dzalik.     
Ini yang Dianjurkan!      
Sekalipun  demikian, bukan berarti seluruh keserakahan akan menggiring pelakunya  kepada kemusnahan atau kecelakaan. Justru, adakalanya, malah dengan  memiliki keserakahan yang tinggi, orang tersebut akan menggapai  kebahagiaan dan kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Oia..! kapan  itu terjadi?
Hal tersebut akan terwujud, ketika seseorang  memiliki keserakahan/kerakusan dalam mengerjakan kebajikan, salah  satunya adalah menuntut ilmu. Dalam salah satu sabdanya, Rosulullah  pernah menjelaskan, bahwa seseorang tidak akan pernah berhasil menuntut  ilmu, kecuali dia memenuhi enam syarat, dan salah satunya adalah dia  harus memiliki jiwa khirshun, yang bila kita terjemahkan dalam bahasa  Indonesia memiliki arti –salah satunya- rakus/serakah.
Ketika  sifat ini benar-benar dimiliki oleh para penuntut ilmu, maka dia akan  ‘gila-gilaan’ dalam ‘melahap’ seluruh sajian ilmu yang dihadapkan  padanya. Dia tidak akan pernah puas. Ketika telah menguasai satu bidang  ilmu, maka dia akan berusaha untuk mempelajari satu bidang yang lain,  dan begitu seterusnya. Bagi mereka ilmu adalah segala-galanya. Motto,   “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”, benar-benar terpatri  dalam lubuk hati mereka yang paling dalam, sehingga tidak mudah terkecoh  dengan godaan-godaan di sekitarnya, efeknya, tidak ada waktu terbuang,  kecuali digunakan untuk belajar, belajar, dan belajar.
Buah dari  itu semua, orang tersebut akan menjadi orang yang ‘alim lagi faqih dalam  segala hal, terutama masalah ilmu agama. Dengan demikian, dia akan  berhati-hati dalam bertindak, sebab setiap langkah yang dia lakukan  selalu berbarometerkan ilmu. Ingat, salah satu sifat ilmu adalah menjaga  si-empunya (dari keburukkan), sebagaimana yang diutarakan oleh Syaidina  ‘Ali Karamullahu Wajhah, bahwa salah satu di antara yang membedakan  ilmu dengan harta adalah jika ilmu itu menjaga pemiliknya, sedangkan  harta itu harus dijaga .
Ketika ilmu itu menjelaskan sesuatu yang  haram –misalnya-, maka ia akan menjauhi perkara tersebut, sekalipun  sangat menggiurkan hasratnya. Begitu pun sebaliknya, ketika ilmu  mengatakan bahwal hal tersebut halal, dia pun akan mengikuti titahnya,  sekalipun kebanyakan orang mencemoohnya.
Walhasil, orang tersebut  akan merengguh kemulyaan dengan sendirinya, karena seluruh lini  kehidupannya bersandarkan pada ilmu. Rosulullah pernah bersabda, “Barang  siapa yang menghendaki kebahagiaan di dunia, maka hendaknyalah dia  meraihnya dengan ilmu. Dan barang siapa yang menginginkan kebahagian di  akhirat, maka gapailah ia dengan ilmu, dan barang siapa menghendaki  kedua-duanya, maka rengguhlah pula ia dengan ilmu.” (Al-Hadits).
Pada  tatanan inilah serakah akan berbuah keberkahan. Karena itu, mari kita  memposisikan serakah pada posisi yang mampu mengundang keberkahan bagi  diri kita masing-masing, bukan sebaliknya, justru mendatangkan  malapetaka kehancuran hidup, di dunia dan di akhirat. Berkah (barakah)  sendiri –menurut pendapat para ulama- adalah ‘ziadatul khoir’ (tambahnya  kebaikkan). Semoga kita termasuk di dalamnya. Wallahu ‘alam bis-shawab.
TUJUH KIAT TINGGALKAN MAKSIAT
“Tiada  hari tanpa maksiat”, kata ini mungkin lebih tepat untuk suasana hidup  di zaman ini. Di kantor, di kampus, di jalan, bahkan di rumah sendiri,  fasilitas maksiat tersedia.
Di kantor, godaan  maksiat ada di mana-mana. Teman, orang luar, bahkan diri sendiri. Jika  tidak karena iman, bukan mustahil akan mudah bermaksiat di hadapan Allah  baik dengan terang-terangan atau tersembunyi. Kesempatan terbuka luas.  Jadi kasis kita bisa memanipulasi uang, jadi pemasaran kita bisa  memanipulasi dan korupsi waktu.  
Televisi kita  24 jam menyediakan tontonan penuh fitnah dan umbar aurat. Bahkan di  saat istirahat dan di tempat yang kita anggap aman dari gangguan mata,  masih saja ada kesempatan bermaksiat.
Memang,  meninggalkan maksiat adalah pekerjaan yang tidak ringan. Ia lebih berat  daripada mengerjakan taat (menjalankan yang diperintah oleh Allah dan  Rasul-Nya), karena mengerjakan taat disukai oleh setiap orang, tetapi  meninggalkan syahwat (maksiat) hanya dapat dilaksanakan oleh para siddiqin (orang-orang yang benar, orang-orang yang terbimbing hatinya).
Terkait dengan hal tersebut Rasulullah Sallallahu aalaihi wa sallam. bersabda: "Orang  yang berhijrah dengan sebenarnya ialah orang yang berhijrah dari  kejahatan. Dan mujahid yang sebenarnya ialah orang yang memerangi hawa  nafsunya."
Apabila seseorang menjalankan  sesuatu tindak maksiat, maka sebenarnya ia melakukan maksiat itu dengan  menggunakan anggota badannya. Orang yang seperti ini sejatinya telah  menyalahgunakan nikmat anggota tubuh  yang telah dianugerahkan Allah  pada dirinya. Dalam bahasa lain dapat dikatakan, ia telah berkhianat  atas amanah yang telah diberikan kepadanya.
Setiap  kita berkuasa penuh atas anggota tubuh kita, pikiran dan jiwa kita.  Akan tetapi, terkadang, kita begitu susah menggendalikan apa yang  menjadi ‘milik kita’ itu. Tangan, mata, kaki dan anggota tubuh yang  lain, kerap bergerak diluar kendali diri, yang tak jarang bertentangan  dengan idealisme atau nilai-nilai keyakinan  yang kita anut dan kita  yakini. Padahal, rekuk relung kalbu  kita bersaksi bahwa semua anggota  tubuh itu, kelak  akan menjadi saksi atas segala perbuatan kita di  Padang Mahsyar.
Firman Allah SWT : "Pada  hari ini (Kiamat) Kami tutup mulut-mulut mereka; dan berkatalah kepada  Kami tangan mereka dan memberi kesaksian lah kaki mereka terhadap apa  yang dahulu mereka lakukan (di dunia dahulu)." (Yassin:  65).
Bagaimana agar kita selamat dari maksiat?
Di bawah ini beberapa ikhtiar, yang bila dijalankan secara sungguh-sungguh, insya Allah membawa faedah.
1. Menjaga Mata
Peliharalah  mata dari menyaksikan pemandangan yang diharamkan oleh Allah SWT  seperti  melihat perempuan yang bukan mahram. Hindari, atau minimal  kurangi-- untuk pelan-pelan tinggalkan sejauh-jauhnya--  melihat  gambar-gambar yang dapat membangkitkan hawa nafsu. Termasuk menjaga  mata, janganlah memandang orang lain dengan pandangan yang  rendah(sebelah mata/menghina) dan melihat keaiban orang lain.
2. Menjaga Telinga
Menjaga  telinga dari mendengar perkataan yang tidak berguna seperti:  ungkapan-ungkapan mesum/kotor/jahat. Poin kesatu dan kedua ini menjadi  tidak mudah di saat di mana gosip telah menjadi komuditas ekonomi. Gosip  telah menjadi kejahatan berjamaah yang dianggap hal yang lumrah  dilakukan, dan wajib ditonton dan disimak. Kehadirannya disokong dana  yang tidak sedikit, dimanajeri, ada penulis skenarionya, ada kepala  produksinya, ada reporternya dan seterusnya.
Rasulullah S.A.W. bersabda : "Sesungguhnya  orang yang mendengar (seseorang yang mengumpat orang lain) adalah  bersekutu (di dalam dosa)dengan orang yang berkata itu. Dan dia juga  dikira salah seorang daripada dua orang yang mengumpat."
Oleh karenanya, menjaga mata-telinga adalah pekerjaan yang memerlukan energi dan kesungguhan yang kuat dan gigih.
3.Menjaga Lidah
Lidah  adalah anggota tubuh tanpa tulang yang kerap mengantarkan pada  perkara-perkara besar. Kehancuran rumah tangga, pertengkaran sahabat  karib, hingga peperangan antar negara, dapat dipicu dari sepotong daging  kecil di celah mulut kita ini.
Rasulullah Saw. bersabda : “Kebanyakan dosa anak Adam karena lidahnya.” (Riwayat Athabrani dan Al Baihaqi)
Jagalah  lidah dari perkara-perkara seperti berbohong, ingkar janji, mengumpat,  bertengkar / berdebat / membantah perkataan orang lain, memuji diri  sendiri, melaknat(mncela) makhluk Allah, mendoakan celaka bagi orang  lain dan bergurau( yang mengandung memperolok atau mengejek) orang lain.
4. Menjaga Perut
Yang  hendaknya selalu di ingat:  perut kita bukan tong sampah! Input yang  masuk ke dalam perut akan berpengaruh langsung/tidak langsung terhadap  tingkah laku/sikap/tindakan kita. Karenanya, peliharalah perut dari  makanan yang haram atau yang syubahat. Sekalipun halal, hindari  memakannya secara berlebihan. Sebab hal itu akan menumpulkan pikiran dan  hati nurani. Obesitas (kelebihan berat badan) adalah penyakit modern  sebagai akibat lain dari tidak terkontrolnya urusan perut. 
5. Menjaga Kemaluan
Kendalikan sekuat daya dorongan melakukan apa-apa yang diharam kan oleh Allah SWT. Firman Allah-Nya:"Dan  mereka yang selalu menjaga kemaluan mereka, kecuali terhadap  isteri-isteri mereka atau apa-apa yang mereka miliki (daripada hamba  jariah) maka mereka tidak tercela." (Al Mukminun:  5-6)
6.Menjaga Dua Tangan
Kendalikan  kedua tangan dari melukai seseorang (kecuali dengan cara hak seperti  berperang, atau melakukan balasan yang setimpal). Katakan “stop”, pada  tangan, ketika akan bertindak sesuatu yang diharamkan, atau menyakiti  makhluk Allah, atau menulis sesuatu yang diharamkan atau menyakiti  perasaan orang lain.
7.Menjaga Dua Kaki
Memelihara  kedua kaki dari berjalan ke tempat yang diharamkan atau berjalan menuju  kelompok orang atau penguasa yang zalim tanpa ada alasan darurat karena  sikap dan tindakan itu dianggap menghormati  kezaliman mereka,  sedangkan Allah menyuruh kita berpaling dari orang yang zalim.
Firman Allah SWT. : "Dan jangan kamu cenderung hati kepada orang yang zalim, nanti kamu akan disentuh oleh api neraka." (Hud: 113)
Pintu-pintu  bagi masuknya maksiat terbuka lebar pada ketujuh anggota tubuh di atas.  Pun kunci-kuncinya ada dalam genggaman tangan kita untuk membendungnya.  Jadi, semua kembali kepada manusianya. Tentu hamba Allah yang cerdik,  adalah mereka yang  mempergunakan amanah tubuh untuk senantiasa berjalan  di atas rel keridhaan-Nya.
Akhirul kalam, ada sebuah hadits Nabi mengatakan, “Barangsiapa meninggalkan maksiat terhadap Allah karena takut kepada Allah, maka ia akan mendapatkan keridhaan-Nya.” (Riwayat Abu Ya’li). Nah, bagaimana dengan kita?
DELAPAN KUNCI "MENJAGA ANAK"
Anak merupakan amanah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena amanah, maka kelak Dia akan meminta pertanggungjawaban kepada kita atas amanah tersebut.
Jika  anak-anak tumbuh menjadi shalih dan shalihah, tentu akan membawa  keuntungan dunia dan akhirat bagi orangtuanya. Sebaliknya, jika orangtua  lalai dalam mengajar dan mendidik, keberadaannya akan membawa bencana  dunia dan akhirat.
Bukan satu dua kali kita dikejutkan dengan  pemberitaan akibat ulah anak-anak kita. Seorang siswa yang sopan,  tiba-tiba bisa bunuh diri. Seorang mahasiswa yang ketika di rumah kalem,  tiba-tiba bisa menjadi perampok bahkan memperkosa atau membunuh teman  dekatnya. Yang tak kalah mengejutkan, berita terbaru dari Jawa Timur,  seorang gadis belia, sudah mampu menjadi bos mucikari dan agen  pelacuran. Sungguh mengagetkan.
Ada apa yang salah dengan kita, para orangtua? Bukankah kita semua ini, adalah para sarjana dan orang-orang terdidik?
Akidah yang Benar
Sesungguhnya,  agama kita (Islam) telah menetapkan banyak hal, termasuk masalah  pendidikan pada anak. Ini hal yang sangat penting. Jika anak-anak  memiliki akidah yang benar, maka itu lahan subur bagi tumbuhnya  kebaikan-kebaikan. Tidak ada kebaikan pada diri anak yang akidahnya  melenceng.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Wahai anak, aku akan ajarkan padamu beberapa kalimat: Jagalah Allah  pasti engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka  mintalah kepada Allah. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat berkumpul  untuk menolongmu, mereka tidak bisa menolongmu dengan sesuatu kecuali  atas hal yang telah Allah takdirkan. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat  berkumpul untuk mencelakaimu, mereka tidak bisa mencelakaimu dengan  sesuatu kecuali atas yang telah Allah takdirkan, pena-pena telah  diangkat dan catatan-catatan telah kering.” (Riwayat Ahmad dan Tirmidzi)
Memohon Pahala
Rasulullah bersabda, “Jika seseorang menafkahkan hartanya kepada keluarganya dengan mengharap pahala, maka baginya adalah pahala sedekah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Mas’ud)
Diingatkan Shalat
Shalat merupakan kewajiban paling utama seorang hamba terhadap Allah. Rasulullah menegaskan, “Perintahkan  anakmu untuk shalat saat usia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika  meninggalkan shalat) saat usia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat  tidur mereka.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Hakim, Baihaqi, dan lain-lain)
Menuntun Berakhlak Baik dan Memperbaiki Kesalahan
Umar bin Abu Salamah Radhiyallahu ‘anhu saat masih kecil dalam asuhan Rasulullah, tangannya ke sana ke mari di atas makanan. Dia bersabda, “Wahai anak, bacalah ‘Bismillah’, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat darimu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abu Salamah)
Memisahkan Tempat Tidur
Memasuki  usia sepuluh tahun, pisahkanlah tempat tidurnya. Anak-anak pada usia  ini sudah terhitung dewasa dan mendekati masa baligh (puber), gairahnya  mulai muncul. Maka memisahkan tidur mereka akan mencegah petaka yang  tidak diinginkan. Rasulullah bersabda, “…pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim, Baihaqi, dan lain-lain)
Berlaku Adil
Tidak  bijak bila membeda-bedakan anak dalam berinteraksi dan menafkahi.  Perlakuan pilih kasih kerap membawa permusuhan di antara saudara. Hal  itu merupakan bentuk kezhaliman terhadap anak.
Rasulullah bersabda, ”Aku tidak akan bersaksi atas suatu kejahatan, takutlah kamu kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anakmu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir)
Lemah Lembut, Bermain, dan Mencium
Rasulullah  tidak segan mengajak anak-anak untuk bermain, berlaku lemah lembut,  serta mendekati dan mencium mereka. Simaklah bagaimana cara Rasulullah  memanggil mereka, “Wahai anakku.”
Tegas Saat Diperlukan
Anak  yang tidak pernah mendapat hukuman (saat diperlukan) akan mempunyai  tabiat yang kurang bagus. Hendaklah orangtua bisa menunjukkan kepada  anak-anak dan keluarganya bahwa dia adalah orang yang tegas dan keras  saat kondisi mengharuskan itu.
Rasulullah pernah bersabda, “…pukullah mereka (jika meninggalkan shalat) saat usia sepuluh tahun.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).
Juga, “Gantunglah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluargamu, karena hal itu akan menjadi sebuah pelajaran.” (Riwayat Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad)
Selain  yang terurai di atas, hendaknya para orangtua tampil menjadi teladan  bagi buah hatinya, lalu mengajari ilmu yang membawa kemanfaatan dunia  dan akhirat, serta tidak mendoakan yang buruk kepada mereka (anak-anak)
WAHAI MUSLIM, PERANGI VIRUS MALAS!
Ditinjau  dari sisi Psikologis, malas memang bukan penyakit fisik yang dapat  terlihat secara kasat mata, yang bisa dikonsultasikan ke dokter lalu  kita cari obatnya di apotik.
Malas memang salah satu penyakit yang sering hinggap pada kita, kadang ia datang di saat-saat yang sangat genting seperti saat deadline  tugas atau saat-saat sibuk. Boleh jadi ia adalah masuk salah satu  penyakit “berbahaya” karena menyerang pusat seluruh organ kita, hati.
Ia  juga dapat disebut sebagai kelemahan mental, karena memang virus malas  menyerang bagian penting dalam pergerakan hidup manusia, yakni mental.
Dengannya  kita dapat bersemangat dan optimis menatap hidup, ketiadaannyapun akan  membuat manusia terus berada dalam jurang kepesimisan. Hebatnya lagi,  penyakit ini tak memandang usia, golongan, tua, muda, anak-anak, remaja,  semua dapat terkena ‘serangannya’.
Banyak faktor yang  menyebabkan orang menjadi malas, diantaranya; terlalu terbebani dengan  tugas, tidak suka dengan pekerjaan yang ia kerjakan, keadaan yang  tertekan, bawaan sejak lahir, terlalu banyak harapan (muluk) yang tidak  dapat direalisasikan dan lain-lain. Tapi semua itu tak dapat dijadikan  alasan seseorang untuk bermalas-malasan.
Tulisan ini dapat  bermanfaat bagi mereka yang sedang terjangkit “virus abu-abu’ ini.   Beberapa trik di bawah ini dapat Anda coba ketika malas atau mulai  merasakan gejala-gejala penyakit ini;
1. Intropeksi dan berkeinginan kuat untuk berubah.
Seluruh  orang sadar bahwa malas adalah perbuatan yang kurang baik, anehnya  ternyata kita sering melakukan hal ini. Tak bijak rasanya kalau kita  terus menyalahkan diri tanpa ada niat untuk berubah, selain memang malas  adalah perbuatan yang manusiawi, menyesal tanpa adanya usha untuk  berubah sama saja nihil. Langkah awal yang tepat ketika kita malas  adalah intropeksi dan berniat untuk berubah, karena ketika seseorang  mempunyai niat dan keinginan yang kuat maka ia akan menemukan cara dan  jalan keluar dari setiap masalah yang ia hadapi.
Seorang guru kami pernah berpesan, “Himmatu rijal tahdimul jibal.”  (keinginan yang kuat seseorang akan mampu menaklukkan gunung).  Karenanya, tak ada yang tak mungkin di dunia ini, selama niat masih  terpatri dalam diri maka yakinlah kesuksesan akan selalu menghampiri.
Keinginan  untuk berubah ini dibarengi dengan sedikit merenung akan dampak  negative dan positif yang kita dapat dari kemalasan ini. Sesudah  merenung dan intropeksi diri kita bisa meninggalkannya sambil sedikit  tersenyum dan katakan dalam diri; “Saya akan selalu semangat dan tidak  akan malas lagi”.  Kabarnya, sedikit senyum dapat merenggangkan  otot-otot kita yang sedang tegang.
Untuk berubah, tak etis kalau kita masih menunda-nunda (taswif)  hingga esok. Mulailah dari sekarang, tak ada kata nanti, esok, ini dan  itu. Semua sudah harus dimulai saat ini juga karena tugas kita lebih  banyak dari kesempatan yang kita miliki. Kalau bukan sekarang kapan  lagi!, kalau bukan kita, siapa lagi!, dan kalau bukan dari hal ini  darimana lagi!. 
2. Bangkit, bergerak dan cari Motifasi tuk terus bangkit.
Setelah  membulatkan tekad dan niat untuk meninggalkan kemalasan, kita mulai  kembali beraktivitas. Kita bisa memulai dari kegiatan yang paling kita  sukai namun masih membawa manfaat. Mencoba kegiatan baru yang tak biasa  juga tak ada salahnya, semakin banyak kita menyibukkan diri semakin  terkikis pula kemalasan kita. Usahakan penuhi hari-harimu dengan  kegiatan dan aktifitas. Dari aktivitas-aktivitas yang kita lakukan  mungkin akan membentuk sebuah kebiasaan baru yang menyenangkan hingga  kita akan merasa enjoy melakukannya.
Dibawah ini ada beberapa opsi untuk mengisi hari-hari malasmu:
a. Tontonlah acara yang dapat membangkitkan semangat dan motivasimu; Sebuta misalnya Kick Andy, Mario Teguh atau ESQ dan lain-lain.
b.   Kunjungi kawan and saudara (silaturahmi), selain menjalin persaudaraan,  kita juga mendapat pahala dan karunia berupa umur panjang dan rizki  yang luas. Kita juga dapat mengendurkan otot yang sedang tegang dengan  saling bercanda ria dan bertukar cerita.
c.  Rekreasi,  mungkin kegiatan yang penuh kadang membuat kita jenuh. Rekreasi dapat  menjadi selingan dari sekian kegiatan kita yang padat. Berkunjung ke  taman dan kebun bisa jadi pilihan yang baik dan ekonomis, selain  harganya murah, rekreasi ini bisa mencerahkan pikiran dan menyehatkan  mata.
d.  Bacalah buku-buku  motivasi untuk dapat bangkit  dan bergerak kembali, seperti 7 Habits, buku para Trainer. Bagi para  pelajar pencari ilmu ada beberapa buku yang dapat dijadikan bahan bacaan  seperti; Ta’limul Muta’allim Thariqut Ta’allum karya Imam Zarnuji, Shafahat min Shabril Ulama karya Syekh Abdul Fattah Abu Guddah , Uluwul Himmah karya Muhammad Ismail Al Muqaddim, La Tahzan karya ‘Aidh Al Qarny, Al JAmi’ Li Akhlaqi Rowi wa Adabus Sami, ’ karya Imam Khatib Al Baghdadi, Tadzkirotus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim karya Imam Ibnu Juma’ah, Al Mufid fi Adabil Mufid wal Mustafid karya Imam Al ‘Almawi.
3. Ciptakan tujuan dan target hidup
Tujuan  dan target ibarat peta, tanpanya perjalanan hidup akan terasa hampa dan  tak terarah. Sudah seyogyanya bagi seorang yang ingin bangkit dari  kemalasan untuk membuat tujuan dan target dalam hidupnya, kalaupun sudah  ada ia dapat mengeceknya kembali serta menganalisis kelemahan apa saja  yang ia miliki dalam (awakness).
Setelah menentukan tujuan dan  arah hidup, hal penting lainnya adalah disiplin. Tanpanya semua yang  sudah direncanakan akan nihil dan sia-sia. Jangan pernah memberi peluang  pada hawa nafsu untuk menjatuhkan kita dalam lubang kemalasan untuk  yang kesian kalinya.
4. Benahi hati
Pusat penyakit  malas adalah hati. Semua akan dapat diselesaikan dengan menyembuhkan  hati. Para Ulama memberikan lima alternative untuk merehabilitasi hati  yang sedang eror; membaca al Qur’an dengan penuh penghayatan, mendirikan  Shalat malam, perbanyak Zikir, berkumpul dengan orang shaleh, dan  berpuasa. Hati adalah sentral dari semua organ manusia, ketika ia sudah  baik maka seluruh tubuh akan baik begitupun ketika hati masih rusak maka  jangan harap organ lain akan baik. Sering-seringlah berbenah hati,  Karena kalau sudah rusak kita akan sulit mengobatinya. Pastkan kondisi  hati selalu mood dengan banyak bertaqarrub pada yang Maha Kuasa.
5. Bentuk komunitas yang baik
“Bergaul  denagan tukang minyak wangi, akan terkena wangi. Bergaul dengan tukang  las akan terkena baunya juga.” Begiutlah kiranya pepatah berkata.
Pergaulan  sedikit banyak mempengaruhi kepribadian dan tingkah laku seseorang.  Ketika kita sedang merasakan penyakit ini, cepat-cepatlah mencari  komunitas dan lingkungan yang baik untuk dapat memprotek kita dari  segala keburukan yang dapat ditimbulkan olehnya. Banyak orang yang dapat  menaklukan hawa nafsu dan kemalasannya seorang diri, tapi tak sedikit  dari kita yang tak dapat bangkit dari kemalasan hanya dengan seorang  diri.
Di sinilah peran penting seorang teman dan orang lain untuk  dapat memberikan support dan dukungan bagi kita untuk dapat bangkit  kembali.
Dari komunitas yang baik pula kita akan dapat  mengembangkan kemampuan yang lainya. Kenali diri, Gali potensi, raih  prestasi. Kiranya trilogy ini yang sering didengungkan para sahabatku  untuk terus berpacu dan berjuang. Masih banyak potensi yang terpendam  dalam diri kita, sudah saatnya kita mengeksploitasi sumber daya itu.
6. Ciptakan kegiatan baru 
Setiap  sesuatu punya sebab akibat. Karenya usahakan semaksimal mungkin untuk  meninggalkan segala faktor pendorong munculnya kemalasan ini.  Tidur-tiduran, menonton Film yang kurang bermanfaat, ngerumpi,  berleha-leha, menunda-nunda adalah sebagian aktifitas yang sudah harus  menjadi “Black List” dalam agenda hidup kita kedepan. Tak jarang dari  kegiatan baru inilah kita menemukan kegiatan yang sesuai dengan karakter  atau menjadi income keuangan kita.
7. Perbanyaklah doa
Rasullah  SAW pernah memohon dijauhi dari beberapa perkara; kesulitan, kesedihan,  lemah, malas, penakut, pelit, banyak hutang, dan tertindas. Tak ada  sesuatu yang dijauhi Rasul kecuali memang ia memiliki dampak negative  yang luar biasa. Salah satu permohonan Rasul di atas adalah dijauhi dari  penyakit malas.
Salah satu doa yang sering Rasulullah SAW panjatkan adalah, “Allahumma  inna na’udzubika minal hammi wal hazan wa na’udzubika minal ajzi wal  kasal wa na’udzubika minal jubni wal bukhl wa naudzubika min galabatid  daini wa qahril rijal”.
Terakhir, mungkin kita akan merasakan  semua ini akan terasa sulit awalnya, tapi yakinlah kawan, dengan  berjalannya waktu dan proses kita pasti kan dapat melewati itu semua.
Selamat derjuang dan selamat mencoba! 
SUKA MEMBODOHKAN ORANG, TANDA ILMU TAK BERMANFAAT.
Suatu  saat beberapa sahabat Al Hasan Al Bashri menyebutkan beberapa definisi  tawadhu’, namun beliau diam saja. Saat definisi semakin banyak disebut,  beliau mengatakan,”Aku menilai kalian telah banyak menyebut apa itu  tawadhu’.”
Akhirnya mereka balik bertanya, “Apa tawadhu’ itu menurut Anda?”
Al  Hasan Al Bashri menjawab, “Seorang keluar dari rumahnya, maka ia tidak  bertemu seorang Muslim, kecuali mengira bahwa yang ditemui itu lebih  baik dari dirinya.” (Az Zuhd, hal. 279)
Apa yang disebutkan Al Hasan Al Bashri mirip dengan nasihat Imam Al Ghazali mengenai tawadhu’.  Beliau mengetakan,”Janganlah engkau melihat kepada seseorang kecuali  engkau menilai bahwa ia lebih baik darimu. Jika melihat anak kecil,  engkau mengatakan,’Ia belum bermaksiat kepada Allah sedangkan aku telah  melakukannya, maka ia lebih baik dariku’. Jika melihat orang yang lebih  tua, engkau mengatakan, ‘Orang ini telah melakukan ibadah sebelum aku  melakukannya, maka tidak diragukan bahwa ia lebih baik dariku.’ Dan jika  ia melihat orang alim (pandai), maka ia berkata,’Ia telah diberi Allah  ilmu lebih dibanding aku dan telah sampai pada derajat yang aku belum  sampai kepadanya.’ Kalau ia melihat orang bermaksiat, ia berkata, “Ia  melakukannya karena kebodohan, sedangkan aku melakukannya dan tahu bahwa  perbuatan itu dilarang. Maka, hujjah Allah kepadaku akan lebih kuat.’” (Maraqi Al Ubudiyah, hal. 79)
Maka  seyogyanya kita selalu melihat ke dalam diri kita sendiri dan tidak  sibuk menghakimi orang lain, karena disamping bisa jadi sebenarnya  mereka lebih baik dari kita, hal demikian bisa menimbulkan sifat ujub.
Sebab itulah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan,” Jika seorang laki-laki berkata ‘manusia telah celaka’, maka ialah yang paling celaka.” (Riwayat Muslim)
Imam  Al Khattabi menjelaskan bahwa kemungkinan orang yang mengatakan  demikian menimbulkan sifat ujub kepada dirinya dan menilai bahwa pada  manusia sudah tidak terdapat sifat kebaikan. Dan merasa bahwa dirinya  lebih baik dari mereka. Maka pada hakikatnya, orang ini telah celaka.  (lihat, Al Adzkar, hal. 574)
Imam Malik pun berpendapat  bahwa kalau pelakunya mengatakan hal demikian karena ujub dan meremehkan  manusia terhadap dien mereka, maka itu hal yang dibenci dan yang  terlarang. Namun jika mengatakannya karena merasa prihatin, maka hal itu  tidak mengapa. (lihat, Al Adzkar, hal. 575)
Tanda-tanda Ilmu Bermanfaat
Salah satu hal yang menyebabkan seseorang rawan kehilangan sifat tawadhu’nya  adalah ilmu yang dimiliki. Karena merasa memiliki ilmu, terkadang  seseorang dengan mudah membodoh-bodohkan manusia. Sebab itulah Al Hafidz  Ibnu Rajab dalam karya beliau, Fadhl Ilmi As Salaf ala Ilmi Al Khalaf, memberi penekanan khusus tentang hal ini.
 
Beliau mengatakan, ”Adapun tanda-tanda ilmu tidak bermanfaat adalah, seseorang tidak memiliki kesibukan kecuali takabbur  dengan ilmunya di hadapan manusia. Dan menunjukkan kelebihan ilmunya  kepada mereka. Serta merendahkan meraka, untuk meninggikan posisinya  terhadap mereka. Ini merupakah hal yang terburuk dan paling menjijikkan  dari yang diperoleh. Bisa jadi ia menisbatkan para ulama sebelumnya  sebagai dengan kebodohan, kelalaian dan kealphaan.”
Kemudian beliau mengatakan, ”Adapun tanda-tanda ilmu bermanfaat adalah suudzan terhadap diri sendiri dan husnudzan  terhadap para ulama sebelumnya. Mengakui dalam hati dan jiwa terhadap  kelebihan para ulama sebelum mereka dibanding dirinya dan  ketidakmampuannya menyamai posisi mereka untuk sampai atau mendekati  derajat mereka.” (lihat, Shafhat min Shabri Al Ulama, hal. 378)
Mudah-mudahan  kita semua dianugerahi sifat-sifat tawadhu’ dan dijauhkan dari  sifat-sifat tercela seperti kibr dan ujub, hingga tercatat sebagai dalam  golongan orang-orang yang ilmunya bermanfaat.
JANGAN JADI PENGHAMBAT DAKWAH SEPERTI MONYET!
Jika  mau digambarkan, Indonesia saat ini mirip dengan apa yang dijelaskan  Allah Subhana wata’ala ada dalam surah Al 'Araf. Dalam surah Al A'raf  intinya adalah perintah kepada manusia untuk menentukan sifat.  Menetapkan pilihan. Setiap surah dalam Al-Qur'an ada tujuannya. Tujuan  dari surah ini adalah perintah agar manusia menentukan pilihan hidupnya.
 
Surah  Al ‘Araf turun saat Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam telah  memulai dakwahnya secara terbuka (jahr). Ketika dakwah berlangsung  dilakukan secara terbuka, maka timbullah konfrontasi seperti yang kita  kenal seperti sekarang. Yakni konfrontasi antara al-Haq dan al-Bathil.
 
Konfrontasi  ini, tentu saja, risikonya sangatlah berat. Namun demikian, konfrontasi  semacam ini akan terus berlangsung. Itulah mengapa dalam surah Al ‘Araf  banyak menceritakan tentang kisah para nabi. Sebab pada intinya,  perjuangan para nabi adalah suatu perjuangan membela kebenaran dan  melenyapkan kebathilan.
 
Kita  tahu, perjuangan para Nabi pembawa risalah kebenaran memakan waktu  panjang dan sangat berat. Tapi pada akhirnya selalu Al Haq jualah yang  menang. Kita ingat ketika kaum terdahulu dihancurkan. Misalnya, hukuman  Allah untuk kaumnya Nabi Luth, Nabi Nuh, Fir'aun, dan sebagainya. Atau  di kisah yang lain, dalam waktu 23 tahun semenanjung Arab bisa berada di  bawah panji Islam. Semua memerlukan waktu yang panjang untuk  memenangkan kebenaran.
 
Kemudian  di dalam al-Qur'an juga menceritakan tentang orang-ortang yang  menentukan sikap dan orang-orang yang tidak menentukan sikap. Menentukan  sikap adalah menentukan pilihan. Sedangkan pilihan dalam hidup hanya  ada dua, yaitu kebenaran al Islam dan kebathilan.
 
Allah  telah mengetengahkan banyak contoh tentang orang yang menentukan sikap,  misalnya, para tukang sihirnya Fir'aun. Ketika Fir'aun menentang Nabi  Musa Alaihi salam dengan membawa tukang sihir. Para Tukang Sihir  berkata, kalau kami menang, apa ganjaran yang kami dapatkan. Maka  dijawab Fir'aun, saya akan memberi upah yang besar dan akan dekat dengan  kami, waminal muqorrbin.
 
Apa  yang terjadi?. Begitu tukang sihir menyaksikan mukjizat yang ada pada  Nabi Musa, mereka langsung menyatakan sikap; amannaa bi rabbii musa,  saya beriman kepada tuhannya Musa.
 
Kemudian  ketika diancam oleh Fir'aun akan dipotong tangannya, kakinya, dan  disalib, tukang-tukang sihir dengan mantap menentukan sikap mereka  dengan gagah. “Faqdii maa anta qoodii . Lakukan apa yang kamu mau  lakukan,” kata tukang-tukang sihir itu tanpa ragu.
 
Jelas,  bahwa ketika kita sudah mengambil sikap yang tegas dalam pertarungan  antara al-Haq dan bathil ini, maka kita diuji oleh Allah. Jika kita bisa  bertahan dalam sikap kita, maka syurga yang akan kita dapatkan.
 
Akibat Tidak Menetapkan Pilihan
 
Surah  Al ‘Araf artinya adalah gunung yang tertinggi di batas surga dan  neraka. Dikisahkan dalam al-Qur’an, diantara penghuni gunung yang tinggi  itu ada kelompok manusia yang mereka dulunya tidak menentukan sikap.  Mereka hanya diam. Akibatnya mereka tidak ke syurga, ke neraka juga  tidak. Tapi mereka tetap mendapatkan azab Allah SWT.
 
Di  negara kita, Alhamdulillah sudah semakin semarak orang yang berusaha  untuk membangkitkan agama Islam, berusaha melaksanakan perintah Islam.  Namun pada waktu yang sama, banyak juga orang-orang yang benci kepada  Islam, berusaha memerangi Islam, mereka terus berusaha juga  menghancurkan Islam dengan dahsyat.
 
Jadi  sebagai seorang muslim sudah selayaknya kita harus menentukan sikap.  Apakah kita memilih Al Haq (kebenaran, Al Mustakim) atau Al bathil  (kesesatan, Ad-Dhalliin).
 
Sebab  kalau jadi penonton dan tidak menentukan sikap, maka itulah oleh Allah  dimaksud dalam surah Al ‘Araf. Yakni kelompok orang yang diam saja. Diam  tapi mendapatkan murka Allah.
 
Di  akhir surah ini dikisahkan tentang Ashabul Sabt. Ketika Allah  menuangkan perintah melarang mereka untuk memancing pada Hari Sabtu,  maka ummat ini terbagi dalam 3 golongan.
 
Golongan pertama adalah golongan yang melanggar. Golongan kedua, golongan yang diam saja. Golongan ketiga, mereka yang berusaha mencegah dan berusaha menasehati mereka yang melanggar perintah Allah tersebut dengan dakwah.
 
Ketika  golongan yang ketiga berusaha untuk menyampaikan dakwahnya, tapi  dicegah oleh golongan yang kedua. “Buat apa kamu memperingatkan mereka.  Kalau orang sudah melanggar, nanti pasti akan disiksa oleh Allah SWT,  begitulah kata golongan kedua berusaha menghalangi dakwah mulia  tersebut.
 
Golongan  ketiga tetap dalam keyakinan dakwahnya. Kata golongan ketiga, ‘agar kami  nanti ada jawaban di hadapan Allah kelak bahwa kami sudah memberikan  peringatan. Kalau dibiarkan terus, bagaimana bisa golongan pertama ini  akan tahu jika apa yang mereka lakukan adalah salah.
 
Karena  yang membangkang terus membangkang, semakin membandel, akhirnya azab  itu turun. Kalau bala Allah sudah turun, maka akan terkena semua.  Barangkali mungkin sepertilah yang pernah terjadi di Aceh, karena waktu  itu maksiat sedang marak di sana.
 
Allah  mengakhiri kisah ini (Ashabul Sabt) dengan perintah memisahkan  keberadaan kaum pembangkang dengan orang yang baik-baik, maka  dibangunlah tembok pemisah. Ada daerah untuk kaum yang selalu komitmen  dengan dakwah dan memberi peringatan, ada daerah yang dekat pantai yakni  daerah untuk yang suka membangkang, dan daerah untuk mereka yang diam  bahkan mencegah jalanya dakwah.
 
Berhari-hari  dalam masa pemisahan itu, suara manusia diantara tembok masih terdengar  bingar. Suara mereka terdengar yang ada di pasar-pasar, di keramaian,  dan lain-lain. Setelah berhari-hari hingga bulan, tiba-tiba sepi tidak  ada suara.
 
Hingga  kemudian salah satu orang dari golongan ketiga yang selalu berusaha  memberi peringatan naik ke atas bukit dan melihat ke bawah. Memastikan  apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
 
Apa  yang dia saksikan? Dia hanya melihat sekumpulan monyet!. Siapa yang  jadi monyet itu? Mereka itulah yang suka membangkang dan mereka yang  hanya diam tidak memberi peringatan.
 
Tak Diam Menyaksikan Kemunkaran
 
Bukan  saja orang yang mancing yang membangkang yang menjadi monyet, tapi juga  orang yang diam. Inilah bukti kebenaran al Qur’an tentang kaum shabt.  Mereka yang hanya diam, tidak mau memberi peringatan, atau bahkan  melarang untuk melakukan amar ma’rif nahyi munkar. Akhirnya mereka juga  mendapat hukuman dari Allah.
 
Inilah  yang sering digembar-gemborkan kelompok kebebasan menafsirkan agama.  Kalau ada yang melakukan amar ma'ruf nahi munkar, dianggap berusaha  menggangu ketertiban dan kenyamanan orang lain. Mereka dianggap tidak  toleran dan sebagainya. Akibatnya, orang pun akan menganggap yang munkar  sebagai sesuatu yang ma'ruf. Yang ma'ruf dianggap munkar.
 
Maka,  kaum muslimin semua, kita semua punya kewajiban untuk menegakkan amal  ma’ruf nahii munkar. Jangan berhenti menasehati dan memberi peringatan.  Kita dukung saudara kita yang berusaha menegakkan kebenaran dan mencegah  kemaksiatan pada Alllah SWT.
 
Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang diam apalagi menghambat dakwah Islam, jika kita tidak mau menjadi monyet. Wallahu ‘Alam Bishawab.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar